CR Cidera Kepala Pipit
CR Cidera Kepala Pipit
Cedera Kepala
Disusun oleh :
Fitri Permatasari
1102012089
Pembimbing :
Dr. Dik Adi Nugraha, Sp.B, M.Kes
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. M
Umur
: 34 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No. RM
: 497332
Alamat
:Bunisari Padasuka RT 3 RW 3 Kec. Kutawaringin
Kab.Bandung
Tanggal masuk RS : 5 Oktober 2016
Tanggal pemeriksaan : 5 Oktober 2016
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Kepala terbentur keramik lantai
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan pusing dan nyeri di belakang kepala akibat terpleset
dan kepala terbentur keramik lantai 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien terjatuh
dalam posisi terlentang dan kepala belakang terbentur keramik lantai. Pasien
mengalami mual, pusing dan pandangan menjadi ganda setelah jatuh. Keluhan
muntah menyemprot disangkal pasien. Setelah pasien terjatuh, pasien sadar dan
berdiri kembali dibantu suami. Keesokan harinya, pasien kontrol ke poli bedah RSUD
Soreang karena masih pusing setelah meminum obat warung.
: Clear
: RR: 24 x/menit
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: VBS ka=ki
Rh -/- Wh-/-
: N: 92x/menit, regular,
TD: 110/70 mmHg
: GCS: 15
Kesadaran: compos mentis
Pupil isokor
Status Lokalis
Tidak didapatkan krepitasi dan benjolan pada kepala belakang.
Refleks Patologis
Refleks Babinski -/Refleks Chaddock -/Refleks Gorda -/Refleks Gordon -/Refleks Oppenheim -/-
IV. RESUME
Pasien datang dengan keluhan pusing dan nyeri di belakang kepala akibat terpleset
dan kepala terbentur keramik lantai 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami
mual, pusing dan pandangan menjadi ganda setelah jatuh. Keluhan muntah menyemprot
disangkal pasien. Setelah pasien terjatuh, pasien sadar dan berdiri kembali dibantu suami.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan foto schedel.
V.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pemeriksaan foto schedel.
2
VIII.
Piracetam 3 x 800mg po
Omeprazol 2 x 20mg po
Paracetamol 3x500mg po
PROGNOSA
1. Quo ad vitam
: ad bonam
2. Quo ad functionam
: ad bonam
3. Quo ad sanationam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI FISIOLOGI
Otak terdiri dari dua bagian sisi, yaitu otak sisi kanan dan sisi kiri. Sisi sebelah
kanan bertanggung jawab terhadap tubuh bagian kiri, dan sebaliknya sisi bagian kiri
bertanggung jawab terhadap tubuh bagian kanan.
memastikan objek di
menggunakan bahasa
sekeliling kita.
(mendengarkan,
membaca, berbicara,
dan menulis)
Mengingat pembicaraan
dan menulis
pesan.
Tulang Tengkorak
Terdiri Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :
1. Anterior : tempat lobus frontalis
2. Media : tempat lobus temporalis
3. Posterior : tempat batang otak bawah dan serebelum
Lobus frontal bertanggung jawab atas kontrol emosional dan kepribadian, yang
mempengaruhi fungsi motorik, keputusan dan pemecahan masalah, spontanitas, ingatan,
ekspresi dan pemilihan bahasa atau kalimat, inisiatif, serta perilaku sosial dan perilaku sex.
Lobus parietal memiliki dua fungsi utama, yaitu yang pertama bertanggung jawab
pada sensasi dan persepsi, dan yang kedua bertanggung jawab pada pengintegrasian input
sensorik, terutama pada sistem visual.
Lobus temporal bertanggung jawab terhadap kemampuan pendengaran, sebagian
persepsi visual, serta pengakategorian objek.
Lobus Occipital merupakan pusat dari system persepsi visual. Sehingga bertanggung
jawab pada penglihatan.
Batang otak sangat berperan pada masalah vital, seperti aurosal dan kesadaran.
Seluruh informasi yang masuk dan keluar dari tubuh kita menuju dan keluar dari otak mesti
melewati batang otak.
Secara garis besar terdapat tiga hal yang mempengaruhi keadaan fisiologis otak, yaitu
tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak, serta aliran darah otak.
Tekanan intrakranial normal berkisar antara 10 mmHg (136 mm H 20). Dan menurut
hukum Monro Kellie, hal-hal yang mempengaruhi tekanan intrakranial, yaitu volume darah,
volume LCS dan volume jaringan otak adalah berbanding lurus dan bersifat konstan.
Tekanan perfusi otak normal berkisar antara 70 mmHg. Sedangkan aliran darah otak
normal berkisar antara 50 ml/100 gr jaringan otak/menit.
Kulit Kepala (SCALP)
Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika jaringan ikat berhubungan langsung
dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar Merupakan tempat
I. DEFINISI
Cedera kepala atau Traumatic Brain Injury adalah suatu keadaan yang bukan
disebabkan oleh penyakit degeneratif atau bawaan, tetapi disebabkan oleh kejadian eksternal
oleh trauma fisik yang bisa menyebabkan gangguan kesadaran. Akibatnya terjadi gangguan
kognitif, emosi, tingkah laku dan fungsi tubuh yang mungkin bisa menjadi permanent, baik
parsial ataupun total.
II. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya, berat
ringannya, serta morfologinya.
1. Mekanisme terjadinya :
-
Trauma tumpul, baik kecepatan tinggi misalnya tabrakan kendaraan bermotor atau
kecepatan rendah misalnya terjatuh bukan dari ketinggian.
lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan,
kontusio klasik, dan Cedera Aksonal Difus (CAD).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
region temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
(Sudiharto, 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan
dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral yang diikuti
oleh timbulnya gejala neurologi yang secara progresif berupa pupil anisokor,
hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural
difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi
dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia
serebral dan paresis nervus kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Gambar
Subdural
diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad (keadaan amnesia pada
peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komosio cedera klasik adalah cedera
yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu
disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran
beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversible. Penderita akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6
jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat
neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurologis untuk
beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing
,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal Difus (CAD)
adalah dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama
dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Penderita akan
dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu,
penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih
sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
g. Cedera otak primer dan sekunder.
Cedera otak sekunder terjadi akibat hipotensi, hipoksia, gangguan aliran darah,
serta peningkatan tekanan intrakranial.
a) Komusio Cerebri
Pingsan < 10 menit
Nyeri kepala
Pusing, mual muntah
Noda-noda depan mata
Gangguan keseimbangan, linglung
Kelemahan
b) Kontusio cerebri
Edema jaringan otak didaerah sekitarnya
Bila oedema meluas akan terjadi tekanan intra cranial
Sering terjadi kenaikan suhu diatas 40oC
Otak memiliki peranan dan bertanggung jawab pada penampilan atau gambaran
kebiasaan manusia, yang sangat riskan atau rawan dan mudah untuk terkena cedera akibat
trauma. Hal tersebut ternyata menimbulkan perubahan yang signifikan pada fungsi tabiat dan
fungsi adaptasi dalam kehidupan sosialnya. Keadaan-keadaan setelah terjadinya cedera
kepala, yang tentunya berpengaruh pada otak bisa menyebabkan defisit dari fungsi otak yang
berjangka panjang. Defisit jangka panjang yang dapat terjadi dari cedera pada otak yang
dapat terjadi dapat dikategorikan pada tiga kategori, yaitu :
1. Defisit fungsi fisik, misalnya :
Paralisis atau parese, baik kedua tangan dan kedua kaki, atau hanya satu
bagian sisi tubuh.
Ataxia.
Diplopia.
Oral apraxia.
Apraxia.
Kelemahan
dalam
pengambilan
keputusan
terutama
keadaan
yang
menyangkut sosial.
3. Defisit fungsi tingkah laku, misalnya :
Impulsif
Untuk menentukan derajat cedera kepala dapat digunakan skala Glasgow Coma
Scale= GCS, yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennet dalam tahun 1974 dan
banyak digunakan dalam klinik.
Pada GCS tingkat kesadaran dinilai menurut 3 aspek :
1. Kemampuan membuka mata
: Eye opening
=E
2. Aktifitas motorik
: Motor response
=M
3. Kemampuan bicara
: Verbal respone
=V
:4
:3
:2
:1
2. Aktivitas Motorik
Dinilai anggota gerak yang memerikan reaksi yang paling baik dan tidak dinilai pada
anggota gerak dengan fraktur/kelumpuhan. Biasanya dipilih lengan karena
gerakannay lebih bervariasi daripada tungkai.
a. Mengikuti perintah
:6
b. Melokalisasi rangsangan
:5
:4
:3
:2
:1
3. Kemampuan bicara
Menunjukkan fungsi otak dengan integrasi yang paling tinggi.
a. orientasi yang baik mengenali orang tempat dan waktu
:5
:4
14
:3
:2
:1
Gejala klinis juga ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak
kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling
ringan ialah penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila
derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 14-15, sedang 9-13, dan
berat bila 3-8.
V. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses cedera otak
dibagi:
1. Proses primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik
yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya,
kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan
dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan primer
membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun
fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult sekunder pada otak berakhir
dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya. Kerusakan ini
dapat berakibat:
15
- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium mengenai
semua jenis sel
- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler
o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran kapiler disusul
dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel
darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian membengkak
akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini menyebabkan kompresi
dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian
tekanan intracranial. Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi
neuronal yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler dan
meningkatnya
kadar
neurotransmitter
eksitatorik.
Peningkatan
dan
kebocoran
neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu
kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium (ca)
intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya sitoskeleton karena
enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang memperburuk dan merusak
integritas membran sel yang masih hidup.
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary brain injury)
Penyebab dari proses ini bisa intrakranial atau sistemik:
o Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-angsur
dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak
cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak
dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut
misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat
menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi
o Sistemik
Perubahan sistemik akan sangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat menyebabkan
penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan
16
sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia,
hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan
hipoproteinemia.
Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala. Selanjutnya
bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup mempunyai
elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang tumpul atau datar.
Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang akan patah/retak. Hal ini
dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai ke
basis. Benturan yang lebih hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebih hebat lagi
dapat menyebabkan depresi fraktur. Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari
kecepatan pukulannya, tetapi yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang
mengenai tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak
sedangkan objek yang lebih besar dengan kecepatan yang sama menyebabkan depresi fraktur.
Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak bergerak lebih cepat dari
otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami contusio pada tempat bawah benturan,
tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolantonjolan tulang, crista galli, pada sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat
pada contusio pada fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal). Pada
benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan benturan pada
daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis, sedangkan lateral impact
menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain.
17
Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusion adalah sebagai
berikut:
1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan tulang yang tidak
rata
3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa contra coup efek
4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra coup tanpa lesi
coup.
VI. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan
menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis
terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien
dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama
perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi,
sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk
akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:
18
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan
serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia
akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau
perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir
atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral
adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan
central neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,edema
paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari dan diatasi faktor penyebab
dan kalau perlu memakai ventilator.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang
hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan
sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan
plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
b. Pemeriksaan fisik
Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal
serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data
20
dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan
sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas
indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau
hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang
normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol,
dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang
diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu
dicoba dilepas dgn mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek
dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo
peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui
sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis
pemberiannya
harus dihentikan.
21
22
koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl
0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali
normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral
melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan
cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik,
diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan
ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya
kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah
3-4 haridengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipanasograstrik
bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang
terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada
anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien
dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang
50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral.
23
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti
pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang.
h. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf,
memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut
masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis
glutama dan sitikolin.
Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan atau meminimalkan
kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan penanggulangannya sangat penting.
Adanya jarak walaupun singkat antara proses primer dansekunder harus digunakan sebaik
mungkin, waktu tersebut dinamakan jendela terapi.
VII. KOMPLIKASI
o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan
suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan
suhu dengan kompres.
o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian
antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara
perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
VIII. PROGNOSIS
24
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami. Nilai GCS saat
pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang besar. Nilai GCS
antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki
nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan
seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.
Pengukuran Outcome
A. Glasgow Outcome Scale (GOS)
C.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997: 874-901
Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
Bisono, Pusponegoro AD; Luka, Trauma, Syok dan Bencana. Dalam : Syamsuhidajat R,
Jong WD ed Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997 : 81-91.
Charles W. Van Way III, Charles A, Buerk : Manual Ketrampilan Dasar Ilmu Bedah,
Binarupa Aksara, 1990, 105-110.
Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia in head injury.
Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,1995:1-7
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma. Philadelphia : WB
Sounders, 1996: 53-90
Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
Jong D, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC, 2010
Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney :Butterworth,
1990: 422-426
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill,1996
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management.
Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase following severe head
trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J. neurosurgey, 1997(87): 9-19
Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall
Medical, 1997
26
27