Anda di halaman 1dari 46

BAB I

STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama

: Ny. E

Usia

: 70 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Mulyasari Cincin RT/RW:3/7 Kec.Soreang Kab. Bandung

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Status perkawinan

: Menikah

No. RM

: 570061

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 13 Oktober 2016


Tanggal Pemeriksaan

: 14 Oktober 2016

II. Anamnesa
Dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis kepada pasien dan anak pasien
pada hari Jumat, 14 Oktober 2016 pukul 05.00 di Ruang Mawar Bedah RSUD Soreang.
Keluhan Utama
Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 hari SMRS.
Pasien mengeluh tidak bisa BAB dan BAK sejak satu hari SMRS. Pasien juga mengeluh
tidak bisa buang angin yang disertai rasa tidak enak pada perut. Riwayat nafsu makan
menurun sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat penurunan berat badan dialami 4 bulan
terakhir. Keluhan mual disangkal. Riwayat panas badan juga disangkal.
Riwayat BAB berbentuk kecil-kecil seperti kotoran kambing dan berwarna hitam
diakui pasien. Pola BAB berubah menjadi susah dan frkeuensi berkurang sejak 4 bulan
terakhir. Riwayat jarang makan sayuran juga diakui pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi Diabetes Mellitus Maag +
Alergi Obat
1

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada
III. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran

Composmentis

Tanda vital

Tekanan Darah

: 90/60 mmHg

Nadi

: 92x/menit regular, equal, isi lemah

Respirasi

: 30x/menit

Suhu

: 35,50C

A. Status Generalis

Mata
Konjungtiva

: anemis

Sklera

: tidak ikterik

Leher
Tekanan Vena Jugularis tidak meningkat, KGB tidak teraba membesar

Thorax
COR

: Bunyi Jantung Murni Regular, Murmur (-) Gallop (-)

Pulmonal

: Vesicular Breath Sound kanan = kiri, Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen
Inspeski

: datar, tidak ada kelainan kulit

Palpasi

: Soepel, Nyeri tekan (+) Hepar/Lien tidak teraba membesar

Perkusi

: timpani diseluruh lapang abdomen

Auskultasi

: Bising Usus (+)

Ekstremitas

Ekstremitas atas: akral dingin +/+, CRT <2, turgor baik, edema (-)
Ekstremitas bawah : akral dingin +/+, CRT <2, turgor baik, edema (-)
B. Status Lokalis

Inspeksi
2

Tidak tampak gambaran kontur usus (darm contour) dan gerak peristaltik usus (darm
steifung) pada dinding abdomen.

Palpasi
Terdapat nyeri tekan pada regio hipokondrium, regio iliaka kanan dan kiri.

Nyeri Tekan (+)

Rectal Toucher
Inspeksi
Palpasi

: Anoperineal : anus hiperemis (-), benjolan (+), perdarahan (-)


: mukosa licin, nodul (-), tumor (-), ampula recti kolaps (+), nyeri tekan

(+)
Hand scoon : darah (-), lendir (-), feses (+) berbentuk bulat seperti kotoran kambing
dan berwarna hitam

III. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 hari SMRS.
Pasien mengeluh tidak bisa BAB dan BAK sejak satu hari SMRS. Pasien juga mengeluh
tidak bisa buang angin dan disertai rasa tidak enak pada perut. Riwayat pola BAB berubah
menjadi susah BAB dan frkeuensi berkurang sejak 4 bulan yang lalu.
3

Pemeriksaan fisik generalis dan status lokalis di dapatkan kelainan pada abdomen
yaitu nyeri tekan pada regio hipokondrium, regio iliaka kanan dan kiri. Pemeriksaan rectal
toucher didapatkan ampula recti kolaps, nyeri tekan dan feses keras berbentuk bulat seperti
kotoran kambing dan berwarna hitam.
IV. Diagnosis
Suspek Ileus Obstruktif Partial et causa suspek tumor colon sigmoid
V. Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin
Hemoglobin 6,3g/dl
Hematokrit 20%
Leukosit
4.600/mm3
Trombosit
391.000/mm3
Golongan darah
: A+
Kimia Klinik
Elektrolit Na
: 128mmol/L (sudah diulang)
Elektrolit K
: 5.00 mmol/L
Glukosa Rapid Sewaktu
: 67.0 mg/dl
Protein Total
: 5.04 g/dl
Albumin
: 2.75 g/dl
Globulin
: 2.29 g/dl
Ureum
: 80.7 mg/dl
Kreatinin
: 2.24 mg/dl
Hemostasis
Masa Pembekuan/CT
: 8 menit
Masa Pendarahan/BT
: 1 menit
BNO 3 posisi
Kesan : Pneumoperitoneum
Kardiomegali tanpa bendungan paru
Tidak tampak KP aktif ataupun bronchopneumonia

USG upper-lower abdomen


Menunggu hasil

VI. Diagnosis Banding


Ileus obstruktif partial et causa ca recti, ca colon descendens
VII. Penatalaksanaan
Non-Farmakologi

NGT

Kateter
5

Puasa

Farmakologi

IVFD NaCl 0,9% 40gtt


Ketorolac 3 x 3omg (IV)
Omeprazol 2x40mg (IV)
Metronidazol 3x500mg (IV)
Ceftizoxim 2x1gram (IV)
Transfusi 2 labu PRC

VIII. Prognosis
Quo ad Vitam

: dubia

Quo ad Functionam

: dubia ad malam

Quo ad Sanationam

: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6

I.

Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
Duodenum, merupakan segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal
berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus pankreas. Doudenum dipisahkan
dari gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh batas Ligamentum Treitz.
Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui
mesenterium. Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara Jejunum dan
Ileum; 40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya sebagai
Ileum. Ileum berbatasan dengan sekum di katup ileosekal (Whang et al., 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau valvula
conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga terlihat secara
radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan kolon. Lipatan ini
akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal
lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus
halus ialah sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak
mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang. Pemeriksaan
makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel tersebut,
berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer Patches. (Whang et al., 2005)

Gambar 2.1 : Gambaran Usus Halus


(Sumber : Simatupang, 2010)

Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar terdiri
atas segmen awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens, sigmoid,
rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam
usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat otot muskularis
eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu berbentuk semi cair; saat
mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi semi solid sebagaimana feses
umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh
lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah
dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis maupun
vili intestinales, dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam daripada usus halus
(Eroschenko, 2003).

Gambar 2.2 : Sistem Saluran Pencernaan Manusia


(Sumber: Simatupang, 2010)
Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta tepat
dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali Duodenum yang
sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu cabang
dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah Duodenum diperdarahi oleh A.
Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A. Mesenterika Superior. Pembuluh pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan Ileum ini beranastomosis satu sama
lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian Ileum yang terbawah juga
8

diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V. Messentericus Superior


yang menyatu dengan V. lienalis membentuk vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian kanan
(sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1)
ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan
sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3)
rektalis superior (Price, 1994) (Whang et al., 2005).

Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1.
Ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici
gastroduodenalis dan kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah,
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang
terletak sekitar pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan
melewati banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi
lymphatici msentericus superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan
limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk
kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk
ke nodi limphatici mesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal
kolon transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus
inferior (Snell, 2004).
Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus)
dari pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan
ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus
mesentericus superior (Snell, 2004). Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas
sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan
usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan
9

serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam
lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian
pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price, 2003). Sekum,
appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan
parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon
transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus superior dan
inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua pertiga proksimal
kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari
pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell,
2004). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi,
serta

perangsangan

sfingter

rektum,

sedangkan

perangsangan

parasimpatis

mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).


II.

Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahanbahan
nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan
lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk.
Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim enzim pankreas
yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat zat yang lebih
sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam
dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim enzim. Sekresi empedu dari hati
membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sukus
enterikus). Banyak di antara enzim enzim ini terdapat pada brush border vili dan
mencernakan zat zat makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus
akan mencampur zat zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan
sekresi usus dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung
lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu isi
10

lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan
protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel
sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan bahan
makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :
Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur
makanan dengan enzim enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan
diabsorbsi.
Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus
besar.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2
lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama
berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot
longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh makanan, dinding usus halus akan
berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1
4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi,
segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus halus
berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan
hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang
merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi
segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7
kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada usus halus mendorong makanan
menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian
proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan
biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm

Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur oleh adanya
gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi yang disebabkan oleh adanya sel
11

sel pace maker yang terdapat pada dinding usus halus, dimana aktifitas dari sel sel
ini dipengaruhi oleh sistem saraf dan hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks
peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin,
CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya
sekretin dan glukagon menghambat pergerakan usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang kadang terhambat selama
beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks gastrileal
meningkatkan aktifitas peristaltik dan mendorong makanan melewati katup ileocaecal
menuju ke kolon. Makanan yang menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum
oleh adanya sfingter ileocaecal berfungsi agar makanan dapat diabsorbsi pada daerah
ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan kembali dari caecum masuk
ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam
caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan
meningkat dan gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat
pengosongan ileum. Bila terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka
sfingter ileocaecal akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis
sehingga pengosonga ileum sangat terhambat.

I.

Ileus Paralitik

Definisi
Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal atau tidak
mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya (Sjamsuhidajat, 2003).
Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai
penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan
obat-obatan yang dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Ileus paralitik
merupakan kondisi dimana terjadi kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltic usus
tanpa adanya obstruksi mekanik. (Badash, 2005)

12

Ileus paralitik adalah hilangnya peristaltik usus sementara akibat suplai saraf
otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu
mendorong isi sepanjang usus, contohnya amiloidosis, distrofi otot, gangguan endokrin,
seperti diabetes militus, atau gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson
(Sjamsuhidajat, 2003)
Etiologi
Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal seperti
pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis,
perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang memerlukan
intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan
elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia); dan (3) obatobatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid, antikolinergik, fenotiazine). Setelah
pembedahan, usus halus biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam),
diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam). (Badash, 2005)
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya obstruksi
usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk mengangkut isi usus.
Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan
dalam usus.
Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi adalah keadaan
yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang, ileus merupakan konsekuensi yang
diharapkan dari pembedahan perut. Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3
hari, setelah motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari
3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi.
Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga terjadi setelah
pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi terpanjang dari ileus tercatat
terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka
waktu yang lebih singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan ileus
merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi paru. Ileus juga
meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan
biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit (Badash, 2005).
Beberapa penyebab terjadinya ileus:

13

Trauma abdomen
Pembedahan perut (laparatomy)
Serum elektrolit abnormalitas
Hipokalemia
Hiponatremia
Hipomagnesemia
Hipermagensemia

Infeksi, inflamasi atau iritasi (empedu, darah)


1. Intrathorak
1. Pneumonia
2. Lower lobus tulang rusuk patah
3. Infark miokard
2. Intrapelvic (misalnya penyakit radang panggul)
3. Rongga perut
1. Radang usus buntu
2. Divertikulitis
3. Nefrolisiasis
4. Kolesistitis
5. Pankreatitis
6. Perforasi ulkus duodenum

Iskemia usus
1. Mesenterika emboli, trombosis iskemia
Cedera tulang
1. Patah tulang rusuk
2. Vertebral Retak (misalnya kompresi lumbalis Retak )

Pengobatan
1. Narkotika
2. Fenotiazin
3. Diltiazem atau verapamil
4. Clozapine
5. Obat Anticholinergic
Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem

saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal,


14

menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem
parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap
yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis
mukosa, dimana ia merangsangnya), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh
inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan
yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus
gastrointestinal (Badash, 2005).
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastrointestinal, namun tidak
semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik,
beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter
inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.
Menurut beberapa hipotesis, ileus pasca operasi dimediasi melalui aktivasi hambat
busur refleks tulang belakang. Secara anatomis, 3 refleks berbeda yang terlibat: ultrashort
refleks terbatas pada dinding usus, refleks pendek yang melibatkan ganglia prevertebral, dan
refleks panjang melibatkan sumsum tulang belakang. (Nobie, 2003)
Respon stres bedah mengarah ke generasi sistemik endokrin dan mediator inflamasi yang
juga mempromosikan perkembangan ileus.
Penyakit atau keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang
tercantum dibawah ini:

Neurogenik
- Refleks inhibisi dari saraf afferent: incisi pada kulit dan usus pada operasi
-

abdominal.
Refleks inhibisi dari saraf efferent: menghambat pelepasan neurotransmitter

asetilkolin.
Hormonal
Kolesistokinin, disekresi oleh sel I dalam mukosa duodenum dan jejunum
terutama sebagai respons terhadap adanya pemecahan produk lemak, asam lemak dan
monogliserida di dalam usus. Kolesistokinin mempunyai efek yang kuat dalam
meningkatkan kontraktilitas kandung empedu, jadi mengeluarkan empedu kedalam
usus halus dimana empedu kemudian memainkan peranan penting dalam
mengemulsikan

substansi

lemak

sehingga

mudah

dicerna

dan

diabsorpsi.

Kolesistokinin juga menghambat motilitas lambung secara sedang. Oleh karena itu
disaat bersamaan dimana hormon ini menyebabkan pengosongan kandung empedu,
15

hormon ini juga menghambat pengosongan makanan dari lambung untuk memberi
waktu yang adekuat supaya terjadi pencernaan lemak di traktus gastrointestinal bagian
atas.
Hormon lainnya seperti sekretin dan peptide penghambat asam lambung juga
memiliki fungsi yang sama seperti kolesistokinin namun sekretin berperan sebagai
respons dari getah asam lambung dan petida penghambat asam lambung sebagai
respons terhadap asam lemak dan asam amino.

Inflamasi
- Makrofag: melepaskan proinflammatory cytokines (NO).
- prostaglandin inhibisi kontraksi otot polos usus.
Farmakologi
Opioid menurunkan aktivitas dari neuron eksitatorik dan inhibisi dari pleksus
mienterikus. Selain itu, opioid juga meningkatkan tonus otot polos usus dan
menghambat gerak peristaltik terkoordianasi yang diperlukan untuk gerakan propulsi.
-

Opioid: efek inhibitor, blockade excitatory neurons yang mempersarafi otot


polos usus.

Manifestasi Klinik
Ileus adinamik (ileus inhibisi) ditandai oleh tidak adanya gerakan usus yang
disebabkan oleh penghambatan neuromuscular dengan aktifitas simpatik yang berlebihan.
Sangat umum, terjadi setelah semua prosedur abdomen, gerakan usus akan kembali normal
pada: usus kecil 24 jam, lambung 48 jam, kolon 3-5 hari.
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention),
anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut
kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus
obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik
abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan
bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi,
pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi
peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis,
manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.

16

Diagnosa
Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen
yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan pelebaran
udara usus halus atau besar.
Anamnesa
Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan distensi dari usus, rasa mual
dan dapat disertai muntah. Pasien kadang juga mengeluhkan tidak bisa BAB ataupun flatus,
rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai nyeri.
Pemeriksaan fisik
-

Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor
kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut
abdomen, hernia dan massa abdomen. Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan
peristaltik.

Palpasi
Pada palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan,
yang mencakup defence muscular involunter atau rebound dan pembengkakan atau
massa yang abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.

Perkusi
Hipertimpani

Auskultasi
Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent abdomen) dan borborigmi

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit.
Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,
glukosa darah dan amylase. Foto polos abdomen sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung, usus halus dan usus besar.
Air fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air
fluid level pada ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga).
17

Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto
abdomen dengan mempergunakan kontras.
Penatalaksanaan
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa
dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa dan penyakit
primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat (Sjamsuhidajat, 2003) Prognosis biasanya baik,
keberhasilan dekompresi kolon dari ileus telah dicapai oleh kolonoskopi berulang (Levine,
1992). Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau parasimpatomimetik
pernah dicoba, ternyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan
pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan
elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsipprinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid
bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik pascaoperasi, dan
klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan.
(Sjamsuhidajat, 2003)
1. Konservatif

Penderita dirawat di rumah sakit.

Penderita dipuasakan

Kontrol status airway, breathing and circulation.

Dekompresi dengan nasogastric tube.

Intravenous fluids and electrolyte

Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

2. Farmakologis

Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.

Analgesik apabila nyeri.

Prokinetik: Metaklopromide, cisapride

Parasimpatis stimulasi: bethanecol, neostigmin

18

Simpatis blokade: alpha 2 adrenergik antagonis

3. Operatif
Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis.
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis
sekunder atau rupture usus. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan
teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.

Pintas usus : ileostomi, kolostomi.

Reseksi usus dengan anastomosis

Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.

Diagnosis Banding
Masalah lain yang perlu dipertimbangkan
Masalah umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi, juga disebut sebagai sindrom
Ogilvie, dan obstruksi usus mekanik.
Pseudo-obstruction (Pseudo-obstruksi)
Pseudo-obstruksi didefinisikan sebagai penyakit akut, ditanda dengan distensii dari
usus besar. Seperti ileus, itu terjadi didefinisikan karena tidak adanya gangguan mekanik.
Beberapa teks dan artikel cenderung menggunakan ileus sinonim dengan pseudo-obstruksi.
Namun, kedua kondisi itu adalah hal yang berbeda. Pseudo-obstruksi ini jelas terbatas pada
usus besar saja, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus besar kanan
terlibat dalam klasik pseudo-obstruksi, yang biasanya terjadi pada pasien yang terbaring lama
di tempat tidur dengan gambaran penyakit ekstraintestinal serius atau pada pasien trauma.
Agen farmakologis, aerophagia, sepsis, dan perbedaan elektrolit juga dapat berkontribusi
untuk kondisi ini.Kondisi kronis pada pseudo-obstruksi usus juga diamati pada pasien dengan
penyakit kolagen-vaskular, miopati viseral, atau neuropati. Bentuk kronis dari pseudoobstruksi melibatkan dismotilitas baik dari usus besar dan kecil. Dismotilitas ini disebabkan
hilangnya kompleks motorik yang berpindah dan bakteri berlebih. semua hal ini
bermanifestai klinik sebagai obstruksi usus kecil.
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan tanda perut kembung tanpa rasa sakit,
namun pasien bisa juga mempunyai gejala mirip obstruksi. Radiografi dari foto polos
abdomen mengungkapkan adanya keadaan yang terisolasi, dilatasi usus proksimal yang

19

membesar, seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah, dan pencitraan kontras
membedakan ini dari obstruksi mekanik.
Distensi kolon dapat mengakibatkan perforasi caecum, terutama jika diameter caecum
melebihi 12 cm. Tingkat kematian untuk pseudo-obstruksi adalah 50% jika pasien
berkembang menjadi nekrosis iskemik dan perforasi.
Perawatan awal meliputi hidrasi, pemasangan NGT dan rectal tube, koreksi
ketidakseimbangan elektrolit, dan penghentian obat yang menghambat motilitas usus.
Dekompresi melalui kolonoskopi cukup efektif dalam mengurangi pseudo-obstruksi.
Neostigmine intravena mungkin juga efektif, menghasilkan perbaikan pseudo-obstruksi
dalam waktu 10-30 menit. Dosis 2,5 mg dari neostigmine diinfuskan perlahan-lahan selama 3
menit dengan pengawasan jantung untuk mengamati efek bradikardi. Jika terjadi bradikardia,
atropin harus diberikan. Laparotomi dan reseksi usus untuk peritonitis dan iskemia
merupakan jalan terakhir.
Obstruksi Mekanik
Obstruksi mekanik usus dapat disebabkan oleh adhesi, volvulus , hernia, intususepsi ,
benda asing, atau neoplasma. Pasien datang dengan nyeri kram perut berat yang paroksismal.
Pemeriksaan fisik ditemukan borborygmi bertepatan dengan kram perut. Pada pasien yang
kurus, gelombang peristaltik dapat divisualisasikan. Dengan auskultasi dapat terdengar suara
bernada tinggi, denting suara bersamaan dengan aliran peristaltic. Jika obstruksi total, pasien
mengeluhkan tidak bisa BAB. Muntah mungkin terjadi tapi bisa juga tidak jika katup
ileocecal kompeten dalam mencegah refluks. Tanda peritoneal terlihat nyata jika pasien
mengalami strangulasi dan perforasi.
Tabel berikut menyajikan perbedaan antara ileus, pseudo-obstruksi, dan obstruksi mekanis.

Ileus
Gejala

Pseudo-obstruksi

Mekanikal
Obstruksi

Sakit perut,

Nyeri kram perut,

Nyeri kram perut,

kembung, mual,

konstipasi,

konstipasi,

muntah, konstipasi

obstipasi, mual,

obstipasi, mual,

Temuan

Silent abdomen,

muntah, anoreksia
Borborygmi,

muntah, anoreksia
Borborygmi,

Pemeriksaan Fisik

kembung, timpani

timpani, gelombang

timpani, gelombang

peristaltik, bising

peristaltik, bising
20

usus hiperaktif atau

usus hiperaktif ayau

hipoaktif, distensi,

hipoaktif, distensi,

Gambaran

dilatasi usus kecil

nyeri terlokalisasi
dilatasi usus besar

nyeri terlokalisasi
Bow-shaped loops

Radiografi

dan besar,

yang terlokalisir,

in ladder pattern,

diafragma meninggi

diafragma meninggi

berkurangnya gas
kolon di distal,
diafragma agak
tinggi, air fluid
level.

Tabel. Karakteristik ileus, Pseudo-obstruksi, dan Mekanik Sumbatan. (Fiedberg,


2004)
Tabel. Perbandingan Klinis bermacam-macam ileus.
Macam

Nyeri Usus

ileus
Obstruksi

++

simple

(kolik)

tinggi
Obstruksi

+++

simple

(Kolik)

rendah
Obstruksi

++++

Distensi Muntah
+

abdomen
-

+++

Meningkat

Tak tentu

Lambat, fekal
++

+++

biasanya

menerus,
terlokalisir)
+
+++++

Ketegangan

borborigmi
+++
Meningkat

strangulasi (terus-

Paralitik
Oklusi

Bising usus

meningkat
++++
+++

+
+++

Menurun
Menurun

vaskuler
Prognosis
Prognosis dari ileus bervariasi tergantung pada penyebab ileus itu sendiri. Bila ileus
hasil dari operasi perut, kondisi ini biasanya bersifat sementara dan berlangsung sekitar 24-72
jam. Prognosis memburuk pada kasus-kasus tetentu dimana kematian jaringan usus terjadi;

21

operasi menjadi perlu untuk membuang jaringan nekrotik. Bila penyebab primer dari ileus
cepat tertangani maka prognosis menjadi lebih baik.
A. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan
pasase lumen usus terganggu
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi intestinal
untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal ini merujuk pada
adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total dari usus besar dan usus
halus.
B. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan
pertama. Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah
perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001
mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan usus, kemudian diikuti Hernia
33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.(5,10).
C. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan
pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak dapat melewati
lumen intestinal karena adanya sumbatan yang menghalangi. Obstruksi mekanik dari
lumen intestinal biasanya disebabkan oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen
(obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen
atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan
terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari
satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)

22

Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif


(Sumber: Simatupang, 2010)
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan umur dan
tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan penyebab utama dari
terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak pernah dilakukan operasi
laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi dan berbagai hal yang berkaitan
dengan kasus ginekologi harus dipikirkan. Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan
80 % penyebab dari kasus ileus obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang
disebabkan oleh adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif
23

yang terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus


komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus obstruktif
ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon, pankreas, dan
karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering daripada tumor primer di
intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus merupakan penyebab tersering
terjadinya obstruksi kolon, dengan karsinoma kolorektal. (Thompson, 2005).
Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al.,
2005) (Thompson, 2005)
Obturasi Intraluminal
Lesi Ekstrinsik
Lesi Intrinsik
Benda Asing
Adhesi
Kongenital
- Iatrogenik
- Atresia, stenosis,
Benda Asing
- Tertelan
dan webs
Hernia
- Divertikulum
- Batu Empedu
- Eksternal
Meckel
- Cacing
- Internal
Intususepsi
Pengaruh Cairan
- Barium
- Feses
- Meconium

Massa
Inflamasi
- Anomali organ atau
- Divertikulitis
pembuluh darah
- Drug-induced
- Organomegali
- Infeksi
- Akumulasi Cairan
- Coli ulcer
- Neoplasma

Post Operatif
Volvulus

Neoplasma
- Tumor Jinak
- Karsinoma
- Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Trauma
- Intramural
Hematom

Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan
pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan menuju
ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal
bagian distal dan kolon. Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di
proksimal daerah obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi

24

normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah
distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam beberapa
jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah
terkumpul dalam intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah
terjadinya obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan
meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa
splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan
intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen
terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen
menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif.
Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme bakteri.
Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida
(8%), yang komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida yang
memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik dengan
cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut: terjadinya
hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus.
Bagian distal obstruksi segera menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang
berkepanjangan menyebabkan penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan
kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon
terhadap rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH 2O, sehingga menyebabkan aliran
cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari pembuluh
darah ke lumen meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan
sekresi dari Natrium dan Khlorida. Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu
terjadi dan mungkin terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada
mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin, atau
endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di
bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses
25

obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin
ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit
cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan
intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan
nasogastric tube malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss.
Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering
dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri. Bakteri
Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri
dapat merangsang absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan
terjadinya translokasi bakteri dan komplikasi sepsis.

Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif


(Sumber : Simatupang, 2010)
26

Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi dari
intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa
mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada dinding intestinal. Komplikasi
ini sering berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan oleh hernia dan volvulus.
Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan
peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena,
kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari
arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam setelah
strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat merangsang
pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka
terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal
bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan
mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan
segera berpindah tempat dari dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe
pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya
iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian
akibat syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya
gagal organ, seperti paru.

Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate


(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
Obstruksi Gelung Tertutup
27

Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab yang
paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran mesenterium.
Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat menyebabkan terjadinya closed
loop obstruction jika katup ileocekal masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen
obstruksi meningkat, sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya
menurun. Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung tertutup
terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu bahkan sebelum
gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi merupakan
penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan terjadinya
strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya penebalan dinding
intestinal akibat hipertrofi otot. Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan
kelompok kontraksi merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris
ini dan kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan
terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon
khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi.
Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada
paling distal dari saluran pencernaan dan karena sebagian besar cairan telah
diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan
kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang
inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding
cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture.
Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari
lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon
berakibat pada motilitas abnormal namun tidak hiperperistaltik.

28

Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok
(Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Berdasarkan Lokasi Obstruksi :
a.Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b.

Letak Tengah : Ileum Terminal

c.Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum


Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau
gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari
jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar
suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.
29

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi
dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai duodenum,
jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon, sigmoid
dan rectum.
Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan obstipasi.
Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri khas dari
obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang
berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya
menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada bagian tengah
abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri
menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.
(Whang et al., 2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang akan
sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak terjadi
bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising usus. Hasil
laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan
abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih sering
saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah linear dengan
tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi.
30

Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah
lebih bersifat malodorus. (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk
membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi pada
obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang
terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun
distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal yang
muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di
diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi. Auskultasi digunakan
untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun
rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak
terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda
strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta
rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu
dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam, takikardia,
dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga menyebabkan diagnosis
strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan. Pada obstruksi karena strangulasi bisa
terdapat takikardia, nyeri tekan lokal, demam, leukositosis dan asidosis. Level serum
dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat.
Penting dicatat bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara
obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.
Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus
ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi
dan bukan menunda mulainya terapi yang segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh
dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan
penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi
31

sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada ileus obstruktif
usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus
besar kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus
berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan
turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya
distensi, parut abdomen, hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang
kurus/sedang juga dapat ditemukan darm contour (gambaran kontur usus)
maupun darm steifung (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada
saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan juga
pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat sewaktu
serangan kolik.

Gambar 2.5 Gerakan Peristaltik Usus (Sumber : Faradilla, 2009)


b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani yang
menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi
peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup defance muscular
involunter atau rebound dan pembengkakan atau massa yang abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing
logam bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah
beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka
32

aktivitas peristaltik (sehingga juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah.
Tidak adanya nyeri usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus
obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum
dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter ani biasanya
cukup namun ampula recti sering ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi
perforasi akibat obstruksi. Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan apabila
penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum maka akan
teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi, serta
jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri
tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis.
Kita juga menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif
usus feses tidak teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung
tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif
adalah lesi intrinsik di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik dengan
ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi parsial atau
komplit dan membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi. Hal penting yang
harus diketahui saat anamnesis adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya
adhesi) dan adanya kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau
sindroma iritasi usus) yang dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya
obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus
diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah menuntun kita ke
arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi
intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kreatinin
dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan menyebabkan
perubahan pada hasil laboratorium jadi pemeriksaan ini tak akan banyak membantu
untuk diagnosis obsruksi intestinal yang sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes
fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada
50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi

33

a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi
dekubitus) dan posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus
( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan
kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi
adanya obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada
foto abdomen dapat ditemukan beberapa gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan
gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa
dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada
pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus dan
ketika lumen usus dipenuhi oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan
demikian menghalangi tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan
selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang penting
pada pasien dengan obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun
memakan biaya yang sedikit.

Tabel 2.4 Perbedaan Radiologi obstruksi intestinal dan ileus


Temuan Radiologis
Air-fluid Level

Osbtruksi Mekanik
Present
proximal

Ileus
to Prominent throughout
34

obstruction
Gas in small intestine
Large bowel shape loops; Gas
present
diffusely;
moveable
stepladder pattern
gas ini colon
Absent or diminished
Increase throughout
Thickened bowel wall
Present
if
chronic
or Present with inflamation
strangulation
Intraabdominal fluid
Rare
Often present
Diapraghm
Slightly elevated; normal Elevated; decrease motion
motion
Gastrointestinal contrast Rapid progression to point of Slow progression to colon
media
obstruction

Gambar 2.6 Dilatasi usus (Nobie, 2009)

Gambar 2.7 Multipel air fluid level dan string of pearls sign (Nobie, 2009)

35

Gambar 2.8 Herring bone appearance (Nobie,2009)

Gambar 2.9 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002)

Gambar 2.10 Step ledder sign (Nobie, 2009)


b. Enteroclysis

36

Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk


membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos
abdomen memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan
adanya obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada
pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor
rekuren dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan
kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi.
Namun, penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan
penggunaannya harus dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.11 Intususepsi (coiled-spring appearance).(Khan,2009)


c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi
strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis
dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab
obstruksi intestinal, seperti adhesi, hernia karena penyebab ekstrinsik dari
neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai
dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian
yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat

sensitifitas

CT

scan

sekitar

80-90%

sedangkan

tingkat

spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal.


37

Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal, dekompresi usus
bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat melewati bagian obstruksi dan
kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga dapat memberikan
gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung
tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat
distribusi radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi
ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding
usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam
dinding dari bowel yang affected. CT scan juga digunakan untuk evaluasi
menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah
(<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona
transisi yang tipis akan sulit untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.12 CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium


(Khan, 2009)

Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi usus halus
yang tidak diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)
d. CT enterography (CT enteroclysis)

38

Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis.


Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada
pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan (seperti tumor, operasi besar).
Pada pemeriksaan ini memperlihatkan seluruh penebalan dinding usus dan dapat
dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini
menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT
biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi
obstruksi (100% vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya
obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari obstruksi.
Namun, MRI memiliki keterbatasan antara lain kurang terjangkau dalam hal
transport pasien dan kurang dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie,
2009)

Gambar 2.14 Kehamilan dengan ileus obstruktif (Edelman, 2010)

f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi
dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi,
39

USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan
akurat menunjukkan lokasi dari usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi
yang lain, USG dapat memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu
membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih
murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya
dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2009)

Gambar 2.15 USG Abdomen tumor dinding epigastrium (Khan, 2009)

Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah menunjukkan distensi
multiple dari usus halus akibat invaginasi (Hagen-Ansert, 2010).
diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1. Ileus paralitik
40

2.
3.
4.
5.
6.

Appensicitis akut
Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
Konstipasi
Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease

7. Pancreatitis akut
Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan
intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor
dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada
cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya hematokrit
dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas
diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk
dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk
mengosongkan lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena
muntah dan meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi
parsial dapat diterapi secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja.
Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 85% pada obstruksi
parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi
operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal
komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak
akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam,
takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non
operatif ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya
injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif
melaporkan bahwa penundaan operasi 12 24 jam masih dalam batas aman namun
meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
41

Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi
dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan
adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari
enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari
segmen hernia dan dilakukan penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat
keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar,
terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya
sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif.
Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada
by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi
usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari
segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan,
segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin
moistened sponge selama 15-20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila
warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus
tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada
obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata nonstrangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus
yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi,
misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,
invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif
bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,

42

misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari
dilakukan reseksi usus dan anastomosis. (Ullah et al., 2009).
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus yang
masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang terkumpul
dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan tersebut
mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak
dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising usus. Hal
tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi
meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca
bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga
keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca
bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring
pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain
pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai
nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan
disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
Komplikasi
Komplikasi

pada

pasien

ileus

obstruktif

dapat

meliputi

gangguan

keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat
menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).
Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi
dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi
strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35%
atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat
(Nobie, 2009).
III. Ileus Vaskuler
Etiologi
Terjadi akibat adanya sumbatan pada cabang-cabang arteri vena mesentrika superior, arteri
vena mesentrika inferior oleh thrombus dan embolus sehingga terjadi : gangren hekrose
43

nekroseis perforasi cepat terjadi toksemia. Terjadinya ileus vaskuler juga dihubungkan
dengan penderita infark miokard dan atrium fibrilasi.
Komplikasi
1. Trombus yang hebat vasa yang tersumbat pecah perdarahan
2. Keluarnya lendir, darah per anus
Penanganan
1. Tidak ada tindakan konservatif (karena terjadinya lambat maka diagnose ditegakkan
setelah muncul gejala hebat)
2. Tindakan operatif : Dilakukan laparotomi, bila ada perdarahan diatasi dengan reseksi
segmen usus dengan mesentriumnya lalu dilakukan end to end anastomose.

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011,
Available

at:

http://www.mr-tip.com/serv1.php?type=img&img=Pregnancy%20and

%20Small%20Bowel%20Obstruction
3. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D.
Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
4. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed., pp.
1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
6. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved June
6th,

2011,

Available

at:

http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msucmeaa.html
7. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011,
Available at emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
8. Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D, Giannopoulos
P,et al. 2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical presentation, etiology,
management and outcome. World Journal of gastroenterology. January 2007
21;13(3):432-437. Available from:URL:http://www.wjgnet.com
9. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
10. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th, 2011,
from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
11. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price, L.
McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
12. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
13. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
14. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
45

15. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R. H. Bell,


L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119).
Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of
causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach. Retrieved
June 6th, 2011, Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
18. Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.),
Schwatz`s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
19. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L,
Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd ed. New
York: Churchill Livingstone. p.306-9

46

Anda mungkin juga menyukai