Anda di halaman 1dari 23

KEJANG DEMAM

DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (Pusponegoro et al, 2006). Kejang demam terjadi pada 2-4%
anak berumur 6 bulan-5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa
demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam
(Pusponegoro et al, 2006).
Kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang berhubungan
dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau
penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam (Tumbelaka et al, 2005; Lumbantobing, 2007;
aminulah dan Mudiyono, 2002).
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf
seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu Livingston
membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam
sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh
demam (epilepsi triggered of by fever) (Lumbantobing, 2007).

Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah


menderitanya (Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari
percobaan binatang berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. (Tumbelaka et al, 2005).

EPIDEMIOLOGI
Kejang demam terjadi pada 2 % - 4 % dari populasi anak 6 bulan - 5
tahun. 80 % merupakan kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus adalah
kejang demam

kompleks. 8%

berlangsung

lama (lebih

dari

15

menit). 16% berulang dalam waktu 24 jam. Kejang pertama terbanyak di antara
umur 17 - 23 bulan. Anak laki-laki

lebih

kejang demam. Bila kejang

demam

sering

mengalami
sederhana yang

pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan, maka risiko kejang demam ke
dua 50 %, dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah umur 12 bulan,
risiko kejang demam ke dua turun menjadi 30%. Setelah kejang demam pertama, 24 % anak akan berkembang menjadi epilepsi dan

ini

4 kali

risikonya

dibandingkan populasi umum.


70 80% KD sederhana, 20 - 30% KD kompleks dan 4% fokal- 8%
berlangsung > 15 mnt- 16% berulang dalam 24 jam.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi
serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai peranan.
Lennox-Buchthal berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang
demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak
sempurna. Lennox berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita
mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%
(Tumbelaka et al, 2005).

KLASIFIKASI KEJANG DEMAM (KD)


Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu
kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan
berlangsung umum, dan kejang demam kompleks, yang berlangsung kurang
dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam).
Kriteria penggolongan tersebut dikemukan oleh berbagai pakar. Dalam hal
ini terdapat beberapa perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut,
menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang
berlangsung, gambaran rekam otak dan lainnya (Tumbelaka et al, 2005;
Lumbantobing, 2007).
Menurut Konsensus Penanganan Kejang Demam UKK Neurologi
IDAI 2006. Kejang demam diklasifikasikan menjadi :
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, umum,
tonik dan atau klonik , umumnya akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau
berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan ciri (salah satu di bawah ini):
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari , diantara 2 bangkitan
kejang anak sadar (Pusponegoro et al, 2006).

Kalsifikasi KD menurut Prichard dan Mc Greal


Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1.

Kejang demam sederhana

2.

Kejang demam tidak khas

Ciriciri kejang demam sederhana ialah:


Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri
yang kejang sama seperti yang kanan
Usia penderita antara 6 bulan - 4 tahun
Suhu 1000F (37,780C) atau lebih
Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit
Keadaan neurology (fs saraf) normal dan setelah kejang juga tetap
normal
EEG (electro encephalography rekaman otak) yang dibuat setelah
tidak demam adalah normal.
Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkan
sebagai kejang demam tidak khas

Klasifikasi KD menurut Livingston


Livingston membagi dalam:
1.

KD sederhana

2.

Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

Ciri-ciri KD sederhana:
Kejang bersifat umum
Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
Usia waktu KD pertama muncul kurang dari 6 tahun
Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun
EEG normal
KD

yang

tidak

sesuai

dengan

ciri

tersebut

diatas

sebagai epilepsi yang dicetuskan oleh demam

Klasifikasi KD menurut Fukuyama


Fukuyama juga membagi KD menjadi 2 golongan, yaitu:

KD sederhana

KD kompleks

Ciri-ciri KD sederhana menurut Fukuyama:

digolongkan

Pada keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi


Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
Serangan KD yang pertama terjadi antara usia 6 bulan - 6 tahun
Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
Kejang tidak bersifat fokal
Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau
abnormalitas perkembangan
Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
KD yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut diatas digolongkan
sebagai KD jenis kompleks
Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FKUI RSCM Jakarta, menggunakan
kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuak
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:
Umur anak ketika kejang antara 6 bulan 6 tahun
Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
Kejang bersifat umum
Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukkan kelainan

Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali


KD yang tidak memenuhi kriteria diatas digolongkan sebagai epilepsi
yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok kedua ini mempunyai
suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan
demam hanya merupakan faktor pencetus (Lumbantobing, 2007).

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam.
Selain itu juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau
saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus,
anak dalam pengawasan khusus, dan kadar natrium rendah.
Faktor risiko berulangnya kejang demam
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80 %, sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10 % - 15 % kemungkinan
berulang. Kemungkinan berulang paling besar pada tahun pertama
(Pusponegoro et al, 2006).
Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko
menjadi epilepsi adalah :

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang


demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 % (Level II-2). Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya
untuk mendapat kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orangtuanya dan satu saudara pernah pula mengalami KD, kemungkinan ini
meningkat menjadi 50% (Tumbelaka et al, 2005; Lumbantobing, 2007;
aminulah dan Mudiyono, 2002).
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat
keluarga pada 231 penderita KD. Dari mereka ini 60 penderita merupakan
anak tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang
mempunyai satu atau lebih saudara kandung - 79 penderita (36%)
mempunyai satu atau lebih saudara kandung yang pemah mengalami kejang
yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara kandung dari 221 penderita
ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah mengalami kejang
yang disertai demam (Lumbantobing, 2007).

ETIOLOGI
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti.
Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam,yaitu:

Demamnya sendiri : Kebutuhan O2 meningkat

Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus)


terhadap otak

Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi

Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit


Gabungan semua faktor diatas Demam yang disebabkan oleh
imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang
mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan
setelah imunisasi pertusis (DPT) dan morbili (campak) (Tumbelaka
et al, 2005).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing

pada 297 penderita

kejang

demam, 66 (22,2%)

penderita

tidak

diketahui penyebabnya (Lumbantobing, 2007). Penyebab utama didasarkan


atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita yang mengalami
kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis
dan otitis media akut. (lihat tabel).
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai KD
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oleh
kuman Shigella mengaiami KD dibanding gastroenteritis oleh kuman
penyebab lainnya di mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%, Lahat dkk,
1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD pada shigellosis
dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan.

PATOFISIOLOGI
Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam, yaitu (1)
imaturitas otak dan termoregulator, (2) demam, dimana kebutuhan oksigen
meningkat, dan (3) predisposisi genetic > 7 lokus kromosom (poligenik,
autosomal dominan) (Pudjiadi et al, 2009).
Hippocampus dan termoregulator di hipotalamus imatur sehingga
rentan kejang (agespecificity of the brains sensitivity to fever). Percobaan
otak tikus in vitro, peningkatan temperatur pada hipocampus menginduksi
aktivitas epileptiform.
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa
faktor fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu
kejang (Tumbelaka et al, 2005). Untuk mempertahankan hidup sel atau
organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme.
Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.
Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran
ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel.

Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:


1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai
20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat
dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan
tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38 oC, sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada
suhu 40oC atau lebih (Behrman et al, 2007).
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis
disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot
meningkat.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan


hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem
otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron.
MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu
yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39 0C atau
lebih (rectal). Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik
klonik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik
keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan berulang
tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal
(Tumbelaka et al, 2005; Lumbantobing, 2007; aminulah dan Mudiyono,
2002; Behrman et al, 2007; Fleisher, 2010)
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang
dari 8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti
sendiri setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak
tampak capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi
apapun untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang,
tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering
bersifat fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood
(lumpuh sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama
biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama
(Lumbantobing, 2007).

DIAGNOSIS
Anamnesis
-

Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang

Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan


anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat (gejala infeksi saluran napas akut/ISPA, ISK, OMA, dll)

Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsy dalam


keluarga,

Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang


mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).

Pemeriksaan fisik
-

Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh:


apakah terdapat demam

Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, bruzinski I dan II, kernique,


laseque

Pemeriksaan nervus cranial

Tanda peningkatan TIK: ubun-ubun besar membonjol, papil edema

Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll

Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex


patologis.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab demam,
seperti darah perifer, elektrolit, gula darah, urinalisis, biakan darah, urin atau
feses (level II-2 dan level III, rekomendasi D).
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7
%. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis,
oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis
tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan

elektroensefalografi

(EEG)

tidak

dapat

memprediksi

berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien


kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan ( level II-2,
rekomendasi E).
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam
yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,
atau kejang demam fokal.
Pencitraan

Foto

X-ray kepala dan

neuropencitraan

seperti Computed Tomography (CT)atau Magnetic Resonance Imaging


(MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutindan atas indikasi, seperti:
1.Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2.Parese nervus VI
3.Papiledema (Pusponegoro et al, 2006).
PENATALAKSANAAN
Tata Laksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,
Mencegah kejang demam berulang
Mencegah status epilepsi
Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
Terdapat 3 langkah tatalaksana:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis untuk kejang demam berulang (intermitten
dan jangka panjang) (Deliana, 2002).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 - 0,5 mg/kg perlahanlahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis
maksimal 20mg.Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis
diazepam rectal adalah 0,5 - 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan
berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.

Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5
mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3 - 0,5 mg/kg. Bila kejang
tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10 - 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg /kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kg/hari, yaitu12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam dan faktor risikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks
Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan
bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam (level I,rekomendasi E). Dosis asetaminofen yang digunakan
berkisar 10-15 mg/kg/kalidiberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5-10mg/kg/kali ,3 - 4 kali sehari.
Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, meskipun jarang. Antipiretik pilihan adalah
parasetamol 10 mg/kg yang sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg
dalam menurunkan suhu tubuh.

Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3 - 2/3 kasus), begitu pula dengandiazepam
rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C (level I,rekomendasi
E).Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi
yang cukup berat pada 25-39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam.
Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnyahemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal4. Perngobatan rumat dipertimbangkan bila:. Kejang berulang dua
kali atau lebih dalam 24 jam. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari
12 bulan. kejang demam > 4 kali per tahun
Penjelasan:

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit


merupakanindikasi pengobatan rumat

Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan


ringanbukan merupakan indikasi

Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak


mempunyaifokus organik

Jenis obat antikonvulsan untuk pengobatan rumatan


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).
Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign dan
efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terusmenerus
diberikan

dalam

jangka

pendek,

dan

pada

kasus

yang

sangat

selektif (rekomendasi D). Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat


menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40 - 50 %).Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis
namun insidensnya kecil. Dosis asam valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 23 dosis dan fenobarbital 3 - 4 mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.
Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.
Indikasi rawat
-

Kejang demam kompleks

Hiperpireksia

Usia di bawah 6 bulan

Kejang demam pertama kali

Terdapat kelainan neurologis (Pudjiadi et al, 2009).

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saatkejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali


4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat efek samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan

muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan


lidah tergigit, sebaiknya jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang
telah berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5
menit atau lebih
Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi dengan standar vaksinasi. Kejang
setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi
DPT adalah 6 - 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi sedangkan setelah
vaksinasiMMR 25 - 34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan diazepam
oral ataurektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa
dokter anak merekomendasikan asetaminofen pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian.
.

Penjelasan:
1. Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermiten atau rumatan diberikan

berdasarkan apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan


bagaimana faktor risikonya.

2. Pemberian

fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena (20

menit)dicampur dengan cairan NaCl fisiologis, untuk mengurangi efek


samping aritmia dan hipotensi.

PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang
demam baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang
ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:

Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada


wanita 50% dan pria 33%.

Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa
riwayat kejang 25%.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian,


misalnya Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%,
sedangkan Living-ston (1954) mendapatkan dari golongan kejang
demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi epilepsi dan dari golongan
epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata 97% yang menjadi
epilepsi.

Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor:

Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.

Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak


menderita kejang demam.

Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal (Lumbantobing, 2007).


Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka
dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam
sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali
faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2% - 3%
saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada
penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal
Project di Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak pasca
kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun,
tidakdidapatkan kematiansebagai akibat kejang demam. Anak
dengan kejang demam ini lalu dibandingkan dengan saudara
kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan menggunakan
WISC. Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang
pernah mendapat kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna
dari saudara kandungnya (kontrol). Anak yang .sebelum terjadinya
kejang demam sudah abnormal atau dicurigai menunjukkan gejala
yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara
kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative
Perinatal Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di
Inggris oleh The National Child Development-Study* Didapatkan
bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya tidak berbeda
dengan populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun.
(Tumbelaka et al, 2005; Lumbantobing, 2007; aminulah dan
Mudiyono, 2002; Behrman et al, 2007)

Pada penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada


perbedaan IQ waktu diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan
kembarannya yang tanpa kejang demam (Behrman et al, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Aminulah A, Madiyono B (2002). Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada


Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Behrman, Richard E., Robert M, Kliegman., Hal B. Jenson (2007). Nelson
Ilmu Kesehatan Anak : Kejang Demam. Edisi 18. Jakarta: EGC.
Deliana M (2002). Tatalaksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, Vol.
4, No. 2, September 2002: 59 - 62
Fleisher, Gary R, Ludwig S (2010). Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London.
Lumbantobing, S.M (2007). Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris N, Gandaputra EP, Harmoniati
ED (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Badan penerbit IDAI.
Pusponegoro

HD,

Widodo

DP,

Ismael

(2006).

Konsensus

Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan penerbit IDAI.


Tumbelaka, Alan R., Trihono, Partini P., Kurniati, Nia., Putro Widodo, Dwi
(2005). Penanganan

Demam

Pada

Anak

Secara

Profesional:

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII.


Cetakan pertama. Jakarta: FKUI-RSCM.

Anda mungkin juga menyukai