SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi
Nama
NIM
: 1111102000038
Tanda tangan
Tanggal
iii
16 Oktober 2015
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
Jerawat merupakan penyakit kulit yang biasa muncul pada wajah, leher, dada, dan
punggung. Jerawat disebabkan oleh aktivitas kelenjar minyak yang berlebihan dan
diperburuk oleh infeksi bakteri. Kulit pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan
limbah dari produk olahan pisang kepok (Musa balbisiana) yang biasanya tidak
dimanfaatkan. Di Indonesia, kulit pisang dipercaya dapat digunakan untuk
melembutkan, mencegah jerawat, dan mengencangkan kulit. Kulit pisang kepok
(Musa balbisiana) mengandung alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang
mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan kulit pisang kepok (Musa balbisiana) yang diekstraksi
dengan etanol 96% sebagai agen antibakteri, khususnya terhadap bakteri
penyebab jerawat (Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Staphylococcus
aureus ATCC 25923, dan Propionibacterium acne ATCC 11827). Metode difusi
cakram digunakan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol 96%
limbah kulit pisang kepok (Musa balbisiana). Klindamisin sebagai kontrol positif
digunakan untuk menjadi pembanding aktivitas antibateri. Kulit pisang kepok
(Musa balbisiana) yang diekstraksi dengan etanol 96% menunjukan adanya
aktivitas antibakteri terhadap ketiga bakteri uji penyebab jerawat (Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne). Aktivitas
antibakteri paling tinggi dari kulit pisang kepok (Musa balbisiana) yang
diekstraksi dengan etanol 96%, terjadi pada konsentrasi 100.000 ppm. Diameter
zona hambat dari bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus, dan
Staphylococcus epidermidis sebesar 12,8 mm,12,4 mm, dan 10,2 mm.
Kata kunci : Kulit Pisang (Musa balbisiana), jerawat, antibakteri, difusi cakram
vi
ABSTRACT
Name
Department
Title
Acne is a skin disease that usually appears on the face, neck, chest, and back.
Acne is caused by excessive oil gland activity and aggravated by a bacterial
infection. Kepok banana peel (Musa balbisiana) is a waste of kepok banana
products (Musa balbisiana) which is normally not used. In Indonesia, banana peel
is believed to be used to soften, tighten, and prevent acne skin. Kepok banana peel
(Musa balbisiana) contain alkaloids, flavonoids, saponins and tannins that able to
inhibit the growth of bacteria. This study was conducted to determine the ability
of kepok banana peel (Musa balbisiana) that was extracted with etanol 96% as an
antibacterial agent, especially against strain of acne-causing bacteria
(Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Staphylococcus aureus ATCC 25923,
and Propionibacterium acne ATCC 11827). Disc diffusion method was used to
determine the antibacterial activity of kepok banana peel (Musa balbisiana).
Clindamycin as control positive was used as comparison of the antibacterial
activity. The result showed kepok banana peel (Musa balbisiana) that was
extracted with 96% etanol had antibacterial activity against the three acne-causing
bacteria
(Staphylococcus
epidermidis,
Staphylococcus
aureus
and
Propionibacterium acne). The Best antibacterial activity of kepok banana peel
(Musa balbisiana) that was extracted with 96% etanoloccurred in concentration
100.000 ppm. The diameter of inhibition zone of Propionibacterium acne,
Staphylococcus aureus, and Staphylococcus epidermidis were 12.8 mm, 12.4 mm,
and 10.2 mm.
Key Words: Banana Peel (Musa balbisiana), Acne, Antibacteria, Disc Diffusion
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahirabbilalamin,
puji
syukur
selalu
terpanjatkan
atas
kehadirat Allah subhanahu wa taala atas segala berkah dan kasih sayang-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada keharibaan junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga
hari akhir zaman.
Skripsi dengan judul Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol 96%
Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana ) Terhadap Bakteri
Penyebab Jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan
Propionibacterium acne) ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat
menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari
begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya,
mendidik dan membimbing, memberikan secercah harapan, dan mendoakan yang
terbaik kepada penulis. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt dan Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt selaku
pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan
bimbingan, motivasi, petunjuk, serta dorongan bagi penulis dari awal
hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Bapak Saiful Bahri., M.Si selaku dosen mikrobiologi yang telah
memberikan saran serta masukan kepada penulis.
viii
ix
Penulis
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
NIM
: 1111102000038
Jenis karya
: Skripsi
PENYEBAB
JERAWAT
(Staphylococcus
epidermidis,
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Yang menyatakan,
x
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
3.2
3.3
xii
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil Uji Skrining Fitokimia ............................................................ 40
Tabel 2. Hasil Kurva Pertumbuhan ................................................................ 44
Tabel 3. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri ......................................................... 46
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DATAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8.
Lampiran 9.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
Staphylococcus
aureus,
dan
Propionibacterium
acnes.
juga
dapat
menimbulkan
kerusakan
organ
dan
memuat tentang informasi manfaat kulit pisang bagi kecantikan. Salah satunya
yaitu sebagai anti jerawat (Dewi, 2009).
Pemanfaatan buah pisang menyisakan limbah kulit pisang, yang belum
dimanfaatkan secara optimal. Salah satu produk olahan pisang adalah keripik
pisang dan pisang goreng. Produk samping pedagang keripik pisang dan
pisang goreng adalah limbah kulit pisang.
Tanaman pisang memiliki banyak kandungan senyawa aktif (metabolit
sekunder) yang berperan sebagai senyawa antimikroba dan agen kemoterapi.
Pada ekstrak bonggol pisang ambon kuning memiliki kandungan metabolit
sekunder senyawa fenol seperti saponin dalam jumlah yang banyak, glikosida
dan tanin (Soesanto dan Ruth, 2009). Organ pelepah pisang memiliki
kandungan metabolit sekunder saponin dalam jumlah banyak, flavonoid dan
tanin (Priosoeryanto et al., 2006). Organ jantung pisang mengandung alkaloid,
saponin, tanin, flavonoid, dan fenol (Mahmod et al., 2011 dalam Ningsih,
2013). Buah pisang pada umumnya mengandung alkaloid, terpenoid, sterol,
dan flavonoid (Rastogi dan Mehrota, 1999 dalam Ningsih, 2013).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zainab et al.,
(2013) dalam Fadhilah (2014), komponen fitokimia dari kulit pisang adalah
tanin dan kuinon yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Komponen
lainnya juga dijelaskan oleh Subrata et al. (2011) dalam Fadhilah (2014) yaitu
alkaloid, flavonoid, dan saponin.
Kulit buah pisang masak yang berwarna kuning kaya akan senyawa
flavonoid, maupun senyawa fenolik, disamping itu kulit buah pisang banyak
mengandung karbohidrat, mineral seperti kalium dan natrium, serta selulosa.
Flavonoid dan senyawa fenolik merupakan senyawa bioaktif yang
menunjukkan
berbagai
aktivitas
yang
berguna,
seperti
antioksidan,
dan
diuji
aktivitasnya,
sehingga
dapat
meningkatkan
pemanfaatan limbah kulit buah pisang lebih optimal (Sri Atun, et al., 2007).
Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa kandungan kulit pisang
adalah katekulamin, serotonin dan depamin (Waalkes, et al., 1958),
kepada
bakteri
penyebab
jerawat
(Staphylococcus
aureus,
Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba
dari ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa
balisiana).
1.3.2
Tujuan Khusus
kepok
(Staphylococcus
yang
aktif
aureus,
terhadap
bakteri
Staphylococcus
penyebab
epidermidis,
jerawat
dan
Propionibacterium acnes).
Secara teoritis
Secara teoritis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol 96% limbah
kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) terhadap bakteri penyebab
jerawat yang nantinya akan memberikan manfaat terhadap pembuatan obat
baru.
1.4.2
Secara metodologi
Secara metodologi penelitian ini menggunakan ekstrak etanol 96%
limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana)
sebagai agen
Secara aplikatif
Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan
dalam usaha mendapatkan sumber obat baru yang bermanfat bagi ilmu
pengetahuan sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selatan. Pisang kepok bisa dimakan dalam keadaaan segar, tetapi bisa juga
untuk diolah lebih lanjut menjadi hasil olahan. Pisang kepok merupakan
komoditi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena sifat dan
kegunaannya itu, sehingga banyak digunakan oleh seluruh pelosok kepulauan
Indonesia (SNI, 1998).
: Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom
Super divisi
Divisi
Kelas
Sub kelas
: Commelinidae
Ordo
: Zingiberales
Famili
Genus
: Musa
Spesies
: Musa balbisiana
2.1.2
Kandungan Kimia
Buah pisang pada umumnya banyak mengandung karbohidrat baik
isinya maupun kulitnya. Umumnya masyarakat hanya memakan buahnya
saja dan membuang kulit pisang begitu saja. Di dalam kulit pisang ternyata
memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang
cukup. Hasil analisis fitokimia menunjukan bahwa kandungan pisang pada
umumnya adalah katekulamin, serotonin dan depamin (Waalkes, et al,.
1985), karbohidrat (Anwange, 2008), saponin, tanin, alkaloid, flavanoid,
phylobattanin, antrakuinon, dan kuinon (Salau, et al., 2010).
Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri. Menurut Ajizah (2004) tanin bersifat antibakteri
dengan cara mempresipitasi protein. Efek antimikroba tanin melalui reaksi
dengan membran sel, inaktivasi enzim, destruksi atau inaktivasi fungsi
2.1.3
Kegunaan
Kegunaan tanaman pisang menurut Munadjim (1988), tanaman
pisang merupakan tanaman yang banyak memiliki manfaat, mulai dari
akar sampai daun dapat digunakan.
a. Umbi batang (Bonggol)
Pati yang terkandung dalam umbi batang pisang dapat
dipergunakan sebagai sumber karbohidrat bahkan bisa dikeringkan
untuk menjadi abu. Dimana abu dari umbi ini mengandung soda yang
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sabun dan pupuk
(Munadjim 1988).
b. Batang pohon
Bagian batang pohon pisang dapat digunakan sebagai makanan
ternak dimusim kekurangan air dan secara sederhana dapat
dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos yang
humusnya sangat tinggi (Munadjim 1988).
c. Daun pisang
Daun yang segar dapat digunakan sebagai makanan ternak
dimusim
kering
dan
dimanfaatkan
oleh
masyarakat
sebagai
2.2 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan masa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Soesilo, 1995).
perbedaan
metode
ekstraksi
yang
akan
10
c. Suhu ekstraksi
d. Konsentrasi pelarut
e. Polaritas pelarut
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi
menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Ditjen POM, 2000).
2.2.1.1 Ekstraksi Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen
POM, 2000).
Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya
yaitu cara pengerjaannya yang lama, membutuhkan pelarut yang
banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk
ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang
kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode
tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat
terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang
termolabil (Tiwari et al., 2011).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru
sampai penyarian sempurna (exhaustive extraction) yang umunya
dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan
pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali dari bahan (Ditjen POM,
2000).
Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap
perendaman, tahap perkolasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
12
dan konstituen yang stabil terhadap panas dengan cara direbus dalam
air selama 15 menit (Tiwari et al., 2011).
e. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur lebih tinggi
dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50oC (Ditjen POM, 2000).
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada
temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini
adalah jenis ekstraksi maserasi dimana suhu sedang digunakan selama
proses ekstraksi (Tiwari et al., 2011).
2.3 Pelarut
Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan
zat lain. Kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan
sangat tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi
(Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas
dari pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat
mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat, dapat mengawetkan dan
tidak menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari et al., 2011).
Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa yang
ditargetkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah
jumlah senyawa yang akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa
yang akan diekstraksi, kemudahan dalam penanganan ekstrak untuk
perlakuan berikutnya, toksisitas pelarut dalam proses bioassay, potensial
bahaya kesehatan dari pelarut (Tiwari et al., 2011).
2.3.1 Alkohol
Pelarut etanol memiliki sifat yang dapat melarutkan seluruh bahan
aktif yang terkandung dalam bahan alami, baik bahan aktif yang bersifat
polar, semipolar maupun non polar (Tiwari et al., 2011).
13
2.5 Bakteri
2.5.1 Penggunaan Istilah Nomenklatur
Istilah bakteri berasal dari kata bakterion (bahasa Yunani) yang
berarti tongkat atau batang. Istilah bakteri ini sekarang banyak dipakai
untuk setiap mikroba yang bersel satu. Banyak negara di dunia belum
sepakat dalam klasifikasi spesies bakteri, demikian pula penggunan
istilah dalam mikrobiologi (Diah, 2004).
2.5.2
Bentuk Bakteri
Bentuk morfologi bakteri dapat dibagi menjadi 5 jenis (Adam, 1992):
A. Bentuk Basil (Basillus)
Basil berbentuk seperti tongkat pendek, agak silindris. Bentuk basil
meliputi sebagia besar bakteri (Adam, 1992).
14
2.5.3
15
untuk bergerak (bulu getar), ada pula yang terlihat berselubung sebagai
pembungkus (kapsul) (Adam, 1992).
2.5.4
Ukuran Bakteri
Ukuran bakteri bermacam-macam, diantaranya (Adam, 1992) :
a. Bentuk basil
b. Bentuk coccus
c. Bentuk spiril
2.5.5
d. Bentuk vibrio
e. Bentuk spirocheta
2.5.6
16
2.5.7
memiliki
permukaan
yang
luas
sesuai
dengan
Fase Lag :
Fase lag merupakan fase bakteri beradaptasi terhadap
lingkungannya yang baru. Pada fase ini bakteri belum mencapai
pertumbuhan maksimum. Panjang fase lag tergantung pada jenis
bakteri dan kondisi pertumbuhannya, misalnya komposisi medium,
faktor lingkungan, dan sebagainya (Sudjaji et al., 2006).
b.
17
Fase Stasioner :
Fase stasioner merupakan fase pertumbuhan mencapai titik
nol. Pada fase ini tidak terjadi penambahan jumlah sel bakteri. Dalam
fase ini jumlah sel yang hidup seimbang dengan jumlah sel yang mati
sehingga grafiknya terlihat mendatar. Jika fase ini diteruskan maka
jumlah sel yang mati akan menjadi lebih besar dibandingkan jumlah
sel yang hidup sehingga sel akan memasuki fase kematian (Sudjaji et
al., 2006).
d.
Fase Penurunan :
Fase penuruan disebut juga fase kematian. Pada fase ini, sel
berhenti memperbanyak diri dan rata-rata kematian meningkat
(Sudjaji et al., 2006).
subtilis,
Vibrio
cholerae,
Staphylococcus
epidermidis,
18
19
di permukaan kulit muka, bagian dada dan atas lengan. Ada 3 tipe jenis
jerawat yang sering dijumpai, yaitu (Dewi, 2009) :
a. Tipe yang pertama adalah komedo.
Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka atau
tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti
pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya
bukan kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna
karena teroksidasi dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads,
biasanya memiliki kulit yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat
maka terlihat seperti tonjolan putih kecil-kecil di bawah kulit. Jerawat
jenis ini disebabkan sel-sel kulit mati dan kelenjar minyak yang
berlebihan pada kulit (Dewi, 2009).
b. Tipe yang kedua adalah Jerawat biasa atau klasik.
Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil
berwarna pink atau kemerahan. Hal ini terjadi karena pori-pori yang
tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat di permukaan kulit,
kuas make-up, dan jari tangan. Stress, hormon, dan udara yang lembab
dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan
kulit memproduksi minyak yang merupakan tempat berkembangbiaknya
bakteri. Pengobatan pada tipe ini dapat diatasi dengan menghambat
pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dengan suatu zat antibakteri
misalnya benzoil peroksida, tetrasiklin, dan lain-lain (Dewi, 2009).
Kadar benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan
bakteri penyebab jerawat, namun kerugian utama antibakteri ini adalah
dapat menyebabkan iritasi (Pramasanti, 2008). Antibakteri tetrasiklin dan
oksitetrasiklin yang diberikan dengan dosis 500 mg, rutin dua hari sekali
selama 2 bulan terbukti efektif mengobati jerawat. Demikian pula dengan
Erythromycin dengan dosis 250-500 mg 2 kali sehari secara rutin juga
efektif mengobati jerawat (Pramasanti, 2008).
20
c. Tipe yang ketiga adalah Cystic Acne (Jerawat Batu atau Jerawat
Jagung).
Biasanya jerawat batu memiliki bentuk yang besar dengan
tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul di seluruh wajah.
Penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki banyak
kelenjar minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak normal dan
tidak dapat mengalami regenerasi secepat kulit normal (Dewi, 2009).
Jerawat
dapat
Propionibacterium
Staphylococcus
disebabkan
acne,
auerus
oleh
aktivitas
Staphylococcus
(Loveckova
dan
bakteri
epidermidis,
Havlikova,
seperti
dan
2002).
2.7.1
: Bacteria
Devisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
21
2.7.2
Bangsa
: Bacilliales
Suku
: Staphylococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: S. Epidermidis
Bakteri
Staphylococcus
aureus
menurut
Syahrurachman (1994) :
Kerajaan
: Eubacteria
Devisi
: Firmicutes
Bangsa
: Eubacteruales
Suku
: Micrococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus aureus
aureus
pada
tulang
juga
sering
menyebabkan
22
adalah
adanya
resistensi
bakteri
terhadap
antibiotik
2.7.3
23
: Bacteria
Devisi
: Actinobacteria
Kelas
: Actinobacteridae
Bangsa
: Actinomycetales
Suku
: Popionibacteriaceae
Marga
: Propionibacterium
Jenis
: Propionibacterium acnes
Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium
24
2.7.4
dari
suatu
antimikroba
diperkirakan
dengan
25
jernih
mengindikasikan
adanya
hambatan
pertumbuhan
untuk
dapat
menghambat
pertumbuhan
26
ataupun agen
2.7.5
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
27
28
29
ditimbang beratnya. Berat awal limbah kulit pisang kepok kuning yang
sudah di rajang adalah 5 kg. Pengeringan sampel limbah kulit pisang
kepok dan pengecekan kadar air, dilakukan di Balittro (Balai Peneliti
Bahan Alam dan Senyawa Aromatik) pada tanggal 26 November 2014.
Proses pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 45C sampai kadar
airnya stabil (kurang dari 10%, yaitu 8,90%) selama 5 hari. Simplisia yang
didapat dari Balitro sudah berupa serbuk seberat 1 kg. Serbuk hasil
pengeringan sudah siap untuk dimaserasi.
30
31
3. Uji Saponin
Ditimbang 0,5 gram ekstrak, lalu ditambahkan dengan 2 mL air
sampai semua bagian ekstrak terendam dan kemudian dikocok kuat-kuat.
Terdapat busa setelah pengocokan, busa ditunggu selama 10 menit tetap
konstan maka ekstrak positif mengandung senyawa saponin (Tiwari et al.,
2011)
4. Uji Tanin
Ektrak sebanyak 0,5 gram ditambahkan 3 mL air hangat. Ekstrak
diujikan dengan 1-2 tetes FeCl3 1%, terbentuk warna biru tua atau hijau
kehitaman menunjukan adanya senyawa golongan tanin (Markham,
1988).
5. Uji Kuinon
Ekstrak 0,5 gram ditambahkan dengan 1 mL air hangat. Ekstrak
diuji dengan 1-2 tetes pereaksi NaOH 1 N, terbentuk warna merah maka
menunjukan adanya senyawa golongan kuinon (Markham, 1988).
Sterilisasi Alat
Alat-alat yang akan disterilkan terlebih dahulu dicuci bersih dan
dikeringkan. Cawan petri dibungkus dengan kertas perkamen. Untuk alatalat gelas (tabung reaksi, gelas beker, erlenmeyer) ditutup mulutnya
dengan kapas steril yang dibalut dengan kain kasa steril, kemudian
dibungkus dengan kertas perkamen, disterilkan dalam oven pada suhu
150C, selama 2 jam. Kasa, kapas, tali, gelas ukur, pipet tetes dan kaca
objek juga di bungkus dengan kertas perkamen dan disterilkan dengan
autoklaf pada suhu 121 C dengan tekanan 1atm selama 15 menit. Untuk
alat seperti ose, batang L (untuk metode spread plate) dan pinset
32
diinkubasi
pada suhu
37C
selama 48
jam
untuk
33
34
optik
(Optical
Density,
OD)
dengan
menggunakan
35
Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning ditibang sebanyak
5gram, kemudian dilarutkan dengan 50 mL etanol 96%. Dari larutan
induk, diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi, yaitu 50.000 ppm,
25.000 ppm, 12.500 ppm, 6.250 ppm, dan 3.125 ppm.
C. Proses Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan Metode Difusi Kertas
Cakram (Jawetz et al., 2005). Hasil daya uji antibakteri didasarkan pada
pengukuran Diameter Daerah Hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang
terbentuk di sekeliling kertas cakram. Pada masing-masing ekstrak dengan
konsentrasi yang berbeda, diambil sebanyak 20 L dan diteteskan pada
kertas cakram steril, lalu ditunggu sampai menjadi jenuh (Ningsih, 2013).
Suspensi bakteri uji diambil sebanyak 100 L, dituang secara
merata pada medium Nutrient Agar (NA) menggunakan metode spread
plate (Aziz, 2010). Ditunggu beberapa saat sampai mengering, lalu
diletakkan kertas cakram yang telah dijenuhkan dengan 20 L ekstrak
etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning dengan konsentrasi yang
telah ditentukan (100.000 ppm, 50.000 ppm, 25.000 ppm, 12,500 ppm,
6.250 ppm dan 3.125 ppm). Kontrol negatif (blangko) yang digunakan
adalah etanol 96% sebanyak 10 L yang dijenuhkan pada cakram steril
dan sebagai kontrol positif digunakan kertas cakram antibiotik
Klindamisin 30 g/disk. Media yang sudah berisi bakteri uji, kontrol
negatif, kontrol positif, dan cakram yang telah dijenuhkan dengan larutan
uji, diinkubasi pada suhu 37C selama 24-48 jam. Diameter Daerah
Hambat (DDH) yang terbentuk di sekitar cakram setelah 24 - 48 jam,
diamati dengan menggunakan jangka sorong. Uji dilakukan dengan tiga
kali pengulangan (Ningsih, 2013).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
36
37
2011).
Pemilihan etanol sebagai pelarut karena etanol (96%) sangat efektif
dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana bahan
penganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan pengekstraksi
(Voight, 1994). Menurut Agustiningsih (2010) dalam Mardiyaningsih (2014),
etanol merupakan pelarut yang paling maksimal menarik senyawa fenolik dan
flavonoid dibandingkan dengan pelarut air atau campuran etanol-air.
Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari
adalah air, etanol, etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari
karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20%
38
keatas, tidak beracun, netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan
air pada segala perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan
lebih sedikit (Anonim, 1986).
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida,
kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak,
malam, tanin dan saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat
pengganggu yang terlarut hanya terbatas. Untuk meningkatkan penyarian
biasanya menggunakan campuran etanol dan air. Perbandingan jumlah etanol
dan air tergantung pada bahan yang disari (Anonim, 1986).
Bagian tanaman
: Kulit buah
: Pisang Kepok
Organoleptik
Bentuk
: cairan kental
Warna
: cokelat kehitaman
Bau
: khas
Rasa
: agak pahit
daya
tahan
produk
pangan
dan
terkait
aktivitas
39
40
Metabolit
Sekunder
Hasil Pengamatan
Hasil Uji
Alkaloid
Terjadi endapan
berwarna merah
Flavonoid
Terdapat
perubahan warna
menjadi merah
Saponin
Terbentuk busa
stabil
Tanin
Terbentuk warna
hijau kehitaman
Kuinon
Terbentuk warna
merah
Gambar
41
yang
dibiakan
untuk
penelitian
ini
adalah
bakteri
42
(a)
(b)
(c)
43
44
2.5
Absorbansi (OD)
2
1.5
s.epidermidis
S. aureus
0.5
P.acne
0
-0.5
9 11 13 15 17 19 21 23
-1
Waktu (jam)
Kurva ini dapat dibagi ke dalam 4 fase yaitu fase lag (adaptasi), fase
log (eksponensial), fase stasioner (seimbang) dan fase kematian (penurunan).
Pada fase lag atau adaptasi, suatu massa penyesuaikan diri dalam
lingkungannya yang baru. Fase log, biasanya pada fase ini ditunjukan dengan
garis horizontal pada awal pertumbuhannya. Di sini, populasi bertambah
secara teratur, menjadi dua kali lipat pada interval waktu tertentu selama
inkubasi. Fase eksponensial, fase ini laju pertumbuhan akan berkurang. Fase
stasioner, pada fase ini kehabisan zat makanan atau terjadi penumpukan hasilhasil metabolisme yang beracun sehingga akan mengakibatkan pertumbuhan
terhenti (Jawetz, 1982 dalam Khodijah, 2006).
Tabel 2. Hasil Kurva Pertumbuhan
Bakteri Uji
1-3
4-9
Staphylococcus aureus
1-2
3-15
Propionibacterium acne
1-3
4-9
Staphylococcus
epidermidis
45
Pengenceran
bakteri
dilakukan
untuk
mendapatkan
kerapatan
pertumbuhan koloni yang sesuai (koloni yang tumbuh tidak terlalu rapat dan
tidak terlalu sedikit).
Metode pengujian yang dilakukan adalah spread plate. Sebanyak 100
L suspensi bakteri dituang di atas media Nutrient Agar yang sudah mengeras
dalam cawan petri, kemudian diratakan dengan batang L sampai mengering.
Cawan petri yang sudah berisi bakteri tadi, kemudian ditaruh beberapa cakram
yang masing-masing berisi kontrol positif (klindamisin), kontrol negatif
(etanol 96%), dan caram yang berisi larutan uji dengan konsentrasi yang
berbeda-beda. Konsentrasi larutan uji yang dibuat merujuk pada penelitian
Rizka Hastari (2012).
46
Tabel 3. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit Pisang Kepok
Kuning terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan
Propionibacterium acne
Konsentrasi
ppm
Staphylococcus
Staphylococcus
Propionibacterium
(g/mL)
aureus
epidermidis
acne
100.000
12,4
10,3
12,8
50.000
8,2
8,3
11,8
25.000
6,7
8,4
12.500
6.250
3.125
14,9
15,3
15,9
Kontrol
Positif
(30g/disk)
Keterangan : (-) = tidak ada zona hambat
47
48
bakteri uji diketahui bahwa ekstrak memiliki aktivitas antibakeri dengan kategori
sedang hingga kuat terhadap bakteri Staphylococcus aureus, kategori sedang
terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis, dan kategori sedang hingga kuat
terhadap bakteri Propionibacterium acne.
Mitscher, et al., (1972) dalam Apristiani (2005) menyatakan bahwa, jika
ekstrak aktif pada konsentrasi >1000 g/mL ekstrak tersebut dianggap tidak
berpotensi dikembangkan sebagai antimikroba baru dibanding obat-obat antibiotik
yang sudah ada sekarang. Ekstrak dikatakan berpotensi jika pada kadar pemberian
1000 g/mL mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan pernyataan
tersebut, ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana)
memang memiliki aktifitas antibakteri, namun ekstrak tersebut tidak berpotensi
untuk dikembangkan sebagai obat antibakteri baru.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa
balbisiana) positif memiliki aktifitas sebagai agen antibakteri terhadp
bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Propionibacterium acne).
b. Berdasarkan luas daerah zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak
etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana),
ekstrak masuk dalam kategori memiliki aktifitas antibakteri sedang
hingga kuat.
c. Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa
balbisiana) memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap bakteri
Propionibacterium acne, dengan menghasilkan diameter zona hambat
sebesar 8,4 mm pada konsentrasi 25.000 ppm.
d. Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa
balbisiana) tidak berpotensi untuk dikembangkan menjadi obat
antibakteri terhadap ketiga bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Propionibacterium acne).
5.2 Saran
a. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas
antibakteri ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning
terhadap bakteri Gram negatif.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap ekstrak limbah kulit
pisang kepok yang diperoleh dari pelarut lainya.
49
Daftar Pustaka
Adam, Syamsuri. 1992. Dasar-dasar Mikrobiologi dan Parasitologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Anonim. 2001. British Pharmacopeia. Published on The Recomendation of The
Medicine Commision. The Stasioner Office. London.
Anwange, B.A., 2008. Chemical Composition of Musa sapientum (Banana) Peels.
J. Food Tech. 2008.6(6). Hal : 263-266.
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella thyphymurium Terhadap Ekstrak Daun
Jambu Biji (Psidium guajava L.). Bioscientiae. Volume I, No. I, Program
Studi Biologi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat.
Apristiani, Dwi dan Puji Astuti. 2005. Isolasi Komponen Aktif Antibakteri
Ekstrak Kloroform Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss.) dengan
Bioautografi. Biologi FMIPA UNS Surakarta.Biofarmasi 3 (2): 43-46,
Agustus 2005, ISSN: 1693-2242
Aziz, S., 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun dan Umbi Bakung
Putih (Crinum asiaticum L.) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat. Skripsi.
Program Studi Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN
Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Bouman, R.W., 2007, Microbiology with diseases by taxonomy, Pearson
Benjamin cummings, San Fransisco.
Brooks, G.F., Butel, J.S., dan Morse, S.A., 2005. Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta: Salemba Medika.
Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Damayanti, Maya. 2014. Uji Efektivitas Larutan Bawang Putih (Allium sativum)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Propionibacterium acnes Secara Invitro.
Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. UIN Syarifhidayatullah. Jakarta.
Departemen Kesehata RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta : Diktorat Jendral POM-Depkes RI
Dewi F K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda
Citrifolia, Linnaeus) Terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Jurusan
Biologi MIPA, Univ. Sebelas Maret. Surakarta.
50
51
Dewi, S.A., 2009, Cara Ampuh Mengobati Jerawat, Buana Pustaka, Jakarta.
Dewi, TM. 2009. Studi Etnobotani Tumbuhan Obat di Hutan Adat Pengajit Desa
Sahan Kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang. Fakultas Kehutanan.
Untan. Pontianak.
Diah Aryulina, Ph.D., Choirul Muslimin, Ph.D., dkk. 2004. Biologi Jilid I.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Djajadisastra, Joshita, et al., 2009. Formulasi Gel Topikal Dari Ekstrak Nerii
Folium Dalam Sediaan Anti Jerawat. Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 4 No. 4
Juli 2009: 210 -216. Universitas Indonesia. Fakultas MIPA.
Dzen SM, Santoso S., Roekistiningsih, Winarsih S., 2003. Bakteriologi Medik.
Edisi I. Bayumedia Publishing. Malang. Hal : 16-22, 122-123, 247-251.
Endang Sri Lestari, & Severin, J.A. (2009, December 15). Antimicrobial
Resistance in Indonesia: Prevalence, determinants and genetic basis.
Erasmus MC: University Medical Center Rotterdam.
Fadhilah, Fairuz Mohd Jalani, Suharni Mohamad, wan Nazatul Shima Shahidan.
Antibacterial effect of banana pulp extracts based on different extractio
methods againts selected microorganisms. Asian Journal of Biomedical and
Pharmaceutical Sciences; 04 (36); 2014, 14-19.
Finegold, MS dan Baron J.E. 1986. Bailey and Scotts Diagnostic Microbiology
7th Edition. Mosby Company. Toronto. Hal : 182.
Handayani, Dian. 2009. Isolasi Senyawa Kimia Utama dan Unji Aktivitas
Antibakteri dari Fraksi Etil Asetat Spon Laut Petrosia nigrans. Jurnal Sains
dan Teknologi Farmasi, Vol.14, No.1. ISSN:1410-00177
Hastari, Rizka. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pelepah dan Batang
Tanaman Pisang Ambon (Musa paradisiaca var.sapientum) terhadap
Staphylococcus aureus.Semarang : Jurnal Universitas Diponegoro.
Heinrich, M. Barnes, J. Gibbons, S. Williansom, M, E. Fundamental Of
Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia: Penerbit Elsevier.
Hidayat, Yusuf dan Sutarma. 1999. Teknik Pembuatan Kultur Media Bakteri.
Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
52
Holetz, F.B., G.L. Pesini, N.R. Sanchez, D. Aparicio, G. Cortez, C.V. Nakamura,
& B.P.D. Filho. 2002. Screening of Some Plants Used in The Brazillian
Folk Medicine for The Treatment of Infectious I. Journal of Bioline.
Jauhari, Lendra Tantowi. 2010. Seleksi dan Identifikasi Kapang Endofit Penghasil
Antimikroba Penghambat Pertumbuhan Mikroba Patogen. Skripsi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Jakarta
Jawetz, E., J. L. Melnick dan E. A. Adelberg. 2005. Mikrobiologi Untuk Profesi
Kesehatan Edisi 4. Diterjemahkan oleh Bonang, G.Jakarta : Penerbit Buku
Kesehatan.
Kandalkar, A., A. Patel, S. Darade, D. Baviskar. 2010. Free Radical Scavenging
Activity Of Euphrbia Hirta Linn. Leaves And Isolation Of Active Flavonoid
Myricitrin. Asian Journal of pharmaceutical and Clinical Research. ISSN :
0974-2441
Khan, Z.Z.; Assi M. & Mo0re, T.A. 2009. Recurent Epidural Abcess Caused by
Propionybacterium acnes. Khansas Journal of Medicine : 92-95.
Khodijah, Siti, B.J. Tuasikal, I. Sugoru, dan Yusneti. 2006. Pertumbuhan
Streptococcus agalactiae Sebagai Bakteri Penyebab Mastitis Subklinis Pada
Sapi Perah. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah : Jakarta.
Loveckova, Y. dan Havlikova, I., 2002, A Microbiological Appoach to Acne
Vulgaris, Papers, 146 (2) : 29-32.
Matsyoh, Lex G., et al. 2014. Antimicrobial Assay and Phyto-cemical Analysis of
Solanum nigrum Complex Growing in Kenya. African Journal of
Microbiology Research. Vol. 8 (50)
Mardaningsih, Ana dan Resmi Aini. 2014. Pengembangan Potensi Ekstrak Daun
Pandan (Pandanus amaryllifolius Roxb) Sebagai Agen Antibakteri.
Pharmaciana, Vol. 4, No. 2, 2014: 1845-192.
Mariance Thomas, Manuntun Manurung, dan I. A. R. astiti Asih, 2013,
Pemanfaatan Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kulit Akar Mengkudu (Morinda
citrifolia Linn) Pada Kain Katun, Jurnal Kimia, 7 (2) : 119-126
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, a.b. Kosasih
Padmawinata, Penerit ITB, Bandung.
53
54
Terhadap
Pertumbuhan
Bakteri
Aeromonas
hydrophila,
55
Raihana, Nadia. 2011. Profil Kultur Dan Uji Sensitivitas Bateri Aerob Dari
Infeksi Luka Operasi Laparatomi di Bangsal Bedah RSUP DR. M. Djamil
Padang. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang.
Rosidah, Wila Mahita Afizia. 2012. Potensi Ekstrak Daun Jambu Biji Sebagai
Antibakterial
Untuk
Menanggulangi
Serangan
Bakteri
Aeromonas
56
Sugita, T.; Miyamoto, M.; Tsuboi R.; Takatori, K.; Ikeda, R. & Nishikawa, A.
(2010).
In
Vitro
Activities
of
Azole
Antifungal
Agents
againts
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penyiapan Sampel
BALITRO
(pengeringan dan pengukuran kadar air)
57
58
59
60
d. penyaringan tahap 1
menggunakan kapas
e. penyaringan tahap 2
menggunakan kertas saring
c. hasil maserasi
setelah 3 hari
x 100%
Massa Simplisia
= 67,52 x 100%
500
= 13,50 %
x 100%
26,840 gram
= 6,702%
61
= 500.000
100.000
V1
= 5 mL
= 25.000 ppm. 10 mL
= 250.000
100.000
V1
= 2,5 mL
= 12.500 ppm. 10 mL
= 125.000
100.000
V1
= 1,25 mL
62
= 6.250 ppm. 10 mL
= 62.500
100.000
V1
= 0,625 mL
= 3.125 ppm. 10 mL
= 31.250
100.000
V1
= 0,313 mL
63
Pembuatan Standar
Turbiditas Mc. Farland
Peremajaan Bakteri
Identifikasi Bakteri
Pembuatan Suspensi
Bakteri Uji
(a)
(b)
Gambar 7. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan konsentrasi
3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (a) dan konsentrasi 25.000ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (b).
64
(c)
(d)
Gambar 8. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dengan konsentrasi
3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (c) dan konsentrasi 25.000ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (d).
(e)
(f)
Gambar 9. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acne dengan konsentrasi
3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (e) dan konsentrasi 25.000 ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (f).