Anda di halaman 1dari 10

Alterasi dan Mineralisasi Daerah Bada

Pada dasarnya mineralisasi logam yang terjadi pada daerah Bada sangat berhubungan erat
dengan proses vulkanisme dan magmatisme setelah pembentukan batuan berlangsung.
Keberadaan logam dasar berupa mineral sulfida, logam mulia maupun mineral hasil
alterasi, pada daerah Bada sangat berhubungan dengan keberadaan batuan pembawanya (source
rock) maupun batuan sampingnya (host rock). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
secara umum litologi yang menyusun daerah penelitian disusun oleh batuan vulkanik berupa lava
andesitic sebagai batuan samping, dan batuan intrusive berupa dike granit sebagai batuan
pembawa.
Sebagian besar logam mulia, logam dasar maupun mineral sulfide lainnya kebanyakan
berasosiasi dengan tipe intrusi monzonit kuarsa hingga granit, (Lowell and Guilbert, 1970).
Berdasarkan pendekatan litologi maka keberadaan intrusi granit diyakini berhubungan erat
dengan keberadaan alterasi dan mineralisasi pada daerah Bada.
Zona Alterasi Daerah Bada
Injeksi larutan magma ke permukaan dapat membentuk batuan dan mineral barn serta
mengakibatkan terjadinya alterasi pada batuan yang telah ada. Berdasarkan pada kumpulan
mineral ubahan yang dapat teramati langsung dilapangan dan pengamatan petrografis, dengan
mengacu pada klasifikasi Thomson dan Thomson (1996), maka alterasi yang terjadi pada daerah
penelitian dapat dibagi menjadi 2 zona ubahan yang didasarkan pada tipe alterasi yang
berkembang yaitu zona argilic dan zona propilitic.
Zona Propilitic
Zona propilitic (Thomson dan Thomson, 1996; Meyer dan Hemley, 1967) merupakan
zona alterasi yang dicirikan oleh kumpulan mineral aluminosilikat, dimana kehadiran mineral
klorit dan epidot mendominasi serta serisit dalam jumlah kecil sebagai penciri tipe alterasi ini.
Berdasarkan hasil pengamatan secara megaskopis dan petrografis pada daerah penelitian,
zona alterasi propilitic ini dicirikan keberadaan mineral serisit, klorit serta epidot sebagai mineral
penciri utama, serta nampak kehadiran mineral lempung dalam jumlah yang kecil. Tipe alterasi
ini menempati daerah yang cukup luas dan dijumpai pada bagian timur laut daerah penelitian.
Foto 2.1 Andesit (stasiun T7) yang nampak telah mengalami ubahan berwarna kehijauan terdapat
klorit, dan terisi oleh urat kuarsa setebal 0,5 1,5 cm, urat kuarsa yang nampak sejajar (A), urat
kuarsa nampak saling berpotongan (B).
Pengamatan megaskopis, memperlihatkan batuan khususnya andesit sebagai batuan
samping yang mengalami ubahan propilitik nampak berwarna abu-abu kehijauan tersusun oleh

klorit, serisit, kuarsa, epidot dalam bentuk disseminasi, serta urat kuarsa dengan ketebalan 0,5
1,5 cm (Foto 2.1)
Pengamatan megaskopis memperlihatkan pada tempat tertentu khususnya batuan
samping yang kontak langsung dengan vein kuarsa pada zona alterasi propilitik mengalami
mineralisasi dalam bentuk disseminasi beruap mineral pirit dalam jumlah yang kecil. Sedangkan
batuan samping yang terletak jauh dari vein hanya mengalami alterasi tipe argilic, dan
mineralisasi hampir tidak ditemukan.
Foto 2.2 Mikrofotograf nikol sejajar conto stasiun T7 memperlihatkan mineral plagioklas (C3C4), dan mineral ubahan berupa epidot (G2), lempung (CS), klorit (F6) serta gejala mineralisasi
ditunjukan oleh mineral opak (CS).
Pengamatan petrografis batuan samping (andesit) stasiun T7 dan A02 yang mengalami
alterasi memperlihatkan warna abu-abu kecoklatan, komposisi mineral yang hadir berupa
plagioklas (30%-40%), kuarsa (20%-25%), serisit (5%-10%), klorit (15%-25%), epidot (10%20%), lempung (2%-5%), dan mineral opak (5%-15%) nampak adanya mikroveinlet (urat mikro)
yang terisi oleh mineral klorit, lempung, dan kuarsa (Foto 2.1 dan Foto 2.2).
Zona alterasi propilitik yang diindikasikan oleh kumpulan mineral-mineral alterasi
tersebut (Tabel 2.1) dan merupakan zona alterasi dengan kondisi pembentukan yang
memungkinkan terbentuk dari suhu 150 2500C (Hedenquist, 1996; Henley dan Anles, 1983).
Tabel 2.1 Hubungan mineral alterasi daerah Bada dengan kondisi pH dan temperature
pembentukan (Hedenquist, 1996; Henley dan Anles, 1983).
Alterasi propilitik biasanya disebabkan oleh larutan hidrotermal yang banyak
mengandung Ca, H2O dan CO2 serta sedikit H (Pirajno, 1992). Kehadiran mineral klorit, epidot
menunjukan bahwa pH fluida mendekati netral (Corbett dan Leach, 1993; White dan Hedenquist,
1995).
Foto 2.3 Mikrofotograf nikol sejajar conto Stasiun AO2 memperlihatkan mineral plagioklas
(AS), mikro vein kuarsa saling berpotongan (C3-C5 dan A3-C3), lempung (D9), urat klorit (I-16A12).
Zona Argilik
Berdasarkan pengamatan megaskopis dan petrografis zona alterasi argilik, dicirikan oleh
kumpulan mineral lempung sebagai mineral utama. Zona alterasi argilik menempati bagian
paling luar dan indikasi keberadaan mineralisasi yang terjadi pada daerah penelitian. Zona ini
menempati bagian selatan lokasi penelitian.
Pengamatan secara megaskopis pada singkapan (Foto 2.4) memperlihatkan batuan
samping berupa andesit nampak telah mengalami ubahan yang sangat kuat dan hampir tidak

dikenali. Batuan samping tersusun oleh mineral lempung dan massa dasar sebagai komposisi
penyusun utama. Secara megaskopis zona alterasi argilik yang berkembang pada daerah
penelitian tidak menunjukan adanya mineralisasi.
Foto 2.4 Andesit pada stasiun All yang nampak telah terubah kuat komposisi penyusunnya
nampak telah berubah menjadi lempung. Difoto kea rah N 600 E
Pengamatan secara petrografis pada sampel stasiun All (Foto 2.12) memperlihatkan
warna abu-abu kecoklatan tersusun atas mineral lempung (30%), plagioklas (30%), klorit (5%),
massa dasar (35%).
Berdasarkan kehadiran mineral lempung dalam jumlah yang besar, maka zona alterasi ini
dapat diklasifikasikan sebagai zona argilic (Hedenquist dan Houghton, 1988; Thomson dan
Thomson, 1996; Heyer dan Hemley, 1967). Zona alterasi argilik terbentuk pada temperature <
20000C dan mendekati pH asam temperature 0-2000 (Hedenquist dan Houghton, 1996) (Tabel
2.1)
Foto 2.5 Mikrofotograf nikol sejajar conto stasiun A13 memperlihatkan mineral plagioklas
(G5), lempung (E7), Klorit (A2-A4) dan massa dasar (D7).
Mineralisasi Daerah Bada
Berdasarkan pengamatan lapangan terhadap singkapan dan conto batuan pada daerah
penelitian nampak bahwa mineralisasi umumnya berkembang secara intensif dalam bentuk veinvein kuarsa dan memotong zona alterasi propilitik. Sedangkan mineralisasi dalam bentuk
disseminasi pada batuan samping (andesit) hanya nampak dalam jumlah yang sangat kecil dan
jarang dijumpai.
Kenampakan lapangan (Foto 2.6) dan vein-vein kuarsa memperlihatkan cirri fisik
berwarna putih kecoklatan, disusun oleh kuarsa sebagian bertekstur crustform dan sebagian
berupa kuarsa amorf, tebal vein 45 cm sampai 75 cm, dengan kedudukan yaitu N 220 0E-2400E
dan N 1100E-N 1300E dengan kemiringan 400-700.
Secara megaskopis pada vein tersebut dapat diamati keberadaan mineral sulfide berupa
pirit, sphalerit, kalkopirit, mangan dan sedikit mineral oksida berupa hematite serta dijumpai
emas hasil pendulangan masyarakat dalam bentuk nugget.
Foto 2.6 Kuarsa bertekstur amorf yang berasosiasi dengan mineral biji dalam bentuk disseminasi
(A, B), vein kuarsa pada andesit (stasiun A04) dengan trend N 240/45, difoto kea rah N 250 0E
(C)
Pembentukan vein kuarsa diyakini berasal dari sisa larutan magma yang terbentuk pada
kondisi temperature rendah (Simon and Schusters, 1975). Tekstur crustiform dan amorf pada

mineral kuarsa mencirikan bahwa umumnya terjadi pada lingkungan epitermal sulfide rendah
(White dan Hedenquist, 1995).
Pengamatan secara megaskopis menunjukan bahwa tidak semua mineral logam dapat
teridentifikasi dengan baik. Keberadaan mineral logam daerah Bada dapat diidentifikasi melalui
pengamatan petrografis maupun dari hasil assay terhadap beberapa conto batuan.
Pengamatan petrografis memperlihatkan kehadiran beberapa jenis mineral logam sulfide
dan tekstur tertentu pada mineral-mineral tersebut. Pada pengamatan petrografis nampak
keberadaan pirit (FeS2) dan kalkopirit (CuFeS2) dalam jumlah yang melimpah dan selalu hadir
pada semua vein yang ada pada daerah Bada. Selain pirit dan kalkopirit dijumpai pula mineral
sulfide lain berupa sphalerit (ZnS), galena (PbS2) dan pirrothite (FeS)
Hasil analisa mikroskopis sayatan poles T08 (Foto 1.15) memperlihatkan adanya mineral
berupa galena (PbS2) yang dicirikan oleh warna abu-abu, belahan triangular pit dan bentuk
mineral anhedral, pirit (FeS2) dengan cirri fisik berwarna kuning muda, bentuk subhedral serta
kehadiran mineral pirrothite dengan warna merah muda sampai ungu dan bentuk anhedral.
Foto 2.7 Mikrofotograf sayatan poles stasiun T08 dengan kenampakan galena (E8-E11) dan
pirrothite (E11), pirit (D3-F3). Perbesaran 10x
Analisa mineragrafi sayatan poles nomor stasiun (Ti 1) (Foto 1.16) memperlihatkan jenis
mineral sulfide antara lain pirit, kalkopirit dan sphalerit. Pirit nampak dengan cirri fisik berwarna
abu-abu, bentuk Kristal subhedral-euhedral. Kalkopirit dicirikan dengan ciri fisik berwarna
kuning terang bentuk mineral anhedral. Sphalerit nampak berwarna abu-abu keputihan bentuk
kristal subhedral serta kehadiran mineral pirrothite pada kalkopirit. Nampak adanya reaction rims
antara sphalerit dengan kalkopirit dimana nampak pada bagian tepi kristal tergantikan oleh
sphalerit serta kehadiran mineral berupa pirrothite yang nampak intergrowth dalam mineral
kalkopirit, hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan pirrothite dan kalkopirit terbentuk
bersamaan.
Foto 2.8 Mikrofotograf sayatan poles stasiun Ti 1 dengan kenampakn reaction rims sphalerit
(F1-F2) terhadap kalkopirit (C2-F2), pirrothite (D2). Perbesaran 50x.
Pengamatan petrografis sayatan poles stasiun A04 (Foto 2.9) menampakkan mineral pirit
dengan bentuk kristal yang euhedral dan sphalerit yang berwarna kebiruan nampak dengan
tekstur lamellae, tekstur tersebut terbentuk pada fase pendinginan magma membentuk mineral
dimana terjadi pemisahan unsure yang sejenis, hal tersebut mengindikasikan bahwa pirit dan
sphalerit terbentuk pada fase yang bersamaan.
Foto 2.9 Mikrofotograf sayatan poles A04 struktur lamellae (F2-F8) pada pirit dan sphalerit.
Perbesaran 50x.

Berdasarkan hasil analisa sampel assay test sebanyak 13 sampel (tabel 1.2), diidentifikasi
keberadaan beberapa jenis unsure dengan kadar yang bervariasi, adapun unsure-unsur yang
diketahui adalah Pb, Zn, Cu, Ag, Au, Mo dan As. Pada umumnya unsure-unsur tersebut diyakini
hadir sebagai mineral yang berkaitan dengan unsure sulfide. Unsur Pb tersebar dalam galena, Zn
tersebar dalam sphalerit, dan Cu tersebar dalam kalkopirit dan Au dan Ag merupakan unsure
penyusun logam mulia (precious metal).
Hasil analisa assay memperlihatkan bahwa unsure penyusun logam dasar (Pb, Zn, Cu)
memiliki kadar yang sangat besar dan sangat signifikan berbeda dengan kadar unsure logam
mulia (Au dan Ag). Berdasarkan hasil analisa assay test diketahui kehadiran beberapa unsure
berupa unsure As dan Mo dengan kadar yang rendah dan diyakini juga berikatan dengan unsure
sulfide.
Tabel 2.2 Hasil analisa assay test 13 conto batuan pada daerah Bada
Tekstur Vein
Pengamatan dan interpretasi tekstur mineralisasi sangat penting dan membantu dalam
menafsirkan genesa pembentukan, lingkungan pengendapan (tipe endapan), cara pengendapan,
maupun proses yang berlangsung setelah pengendapan bijih tersebut berlangsung (Dowling dan
Morrison, 1990). Struktur yang terbentuk sangat beragam tergantung pada karakteristik sifat
fluida, sifat kimia batuan samping dan proses pengendapannya (Guilbert dan Park, 1986).
Berdasarkan pengamatan megaskopis maupun petrografis maka dapat diketahui bahwa
tekstur yang umumnya berkembang sehubungan dengan proses mineralisasi daerah Bada adalah
sebagai berikut :
Pengamatan megaskopis memperlihatkan pada umumnya vein-vein kuarsa yang dijumpai
membentuk tekstur mineral kuarsa berupa crustform dan amorf. Vein kuarsa yang dijumpai
dalam bentuk amorf mengindikasikan bahwa proses pembentukan kuarsa tersebut terjadi pada
kondisi suhu yang sangat tinggi dan banyak mengandung air (Weres dkk, 1982). Tekstur kuarsa
berupa crustform mengindikasikan bahwa vein tersebut terbentuk pada lingkungan epitermal
(Buchanan, 1981).
Pada pengamatan petrografis nampak adanya tekstur tumbuh bersamaan (intergrowth)
dan lamellae antara pirit dan kalkopirit serta sphalerit, hal tersebut menafsirkan bahwa pirit dan
kalkopirit terbentuk secara bersamaan.
Hubungan Alterasi dan Mineralisasi daerah Bada
Keberadaan mineral-mineral tertentu berupa mineral alterasi dan mineral logam, serta
tekstur dan mineral yang terbentuk pada proses mineralisasi dapat menafsirkan kondisi
pembentukan serta lingkungan pembentukan mineral-mineral tersebut (Corbet dan Leach, 1998;
Sillitoe, 1999; White dan Hedenquist, 1995). Karakteristik mineralisasi daerah Bada, dapat

diketahui berdasarkan beberapa ciri-ciri yang teridentifikasi, kemudian cirri-ciri tersebut dapat
dihubungkan dengan beberapa karakteriksik jenis endapan tertentu yang telah di kemukakan oleh
beberapa ahli sebelumnya.
Beberapa pada kumpulan mineral yang telah diketahui dan hasil pengamatan secara
megaskopik, petrografis, dan hasil analisa assay, berupa sphalerit, galena, kalkopirit dalam
jumlah yang melimpah serta kehadiran unsure Mo, As, Au, dan Ag dalam jumlah kecil bila
dibandingkan dengan kehadiran unsure mineral logam dasar ( Pb, Zn, Cu ) (tabel 1.2 ).
Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mineral logam sulfide berupa
logam dasar dan logam mulia serta asosiasinya dengan kuarsa sebagai mineral gangue berada
pada kondisi pembentukan mineral dengan system hidrotermal yang terbentuk pada kedalaman
0-1500 m dengan temperature 00C 6000C ( Lingdren, 1933 dalam Evans, 1993 ). Menurut
beberapa ahli seperti Lingdren, Corbett, Hedenquist, dan Buchanan system hidrotermal tersebut
dibagi lagi menjadi beberapa bagian yang dicirikan oleh keberadaan mineral alterasi dan mineral
sulfide dan tekstur kuarsa tertentu.
Tabel 2.3 Penentuan Kisaran Temperatur Mineral Sulfida daerah penelitian (berdasarkan datadata Thomson 1995 )
Mineralisasi berupa mineral logam dasar yang terdiri atas galena, sphalerit, kalkopirit
serta kehadiran unsure logam mulia Au dan Ag dan logam sulfide lainnya seperti pirrothite
dengan kadar yang signifikan, dijumpai berasosiasi dengan vein kuarsa.Injeksi larutan magma
membentuk vein kuarsa mengakibatkan batuan di sekitarnya teralterasi dengan tipe alterasi
propilitik kondisi pH netral yang dicirikan oleh kumpulan mineral epidot, klorit dan sedikit
lempung.(Hedenquis 1996 ;Henley dan Anless 1983 )
Tabel 2.4 Hubungan Alterasi dan Mineralisasi Pada Daerah Bada
Asosisasi mineral ubahan dan mineral sulfide berupa logam dasar serta logam mulia
( tabel 1.4 ) mengindikasikan mineralisasi yang terjadi pada daerah Bada merupakan tipe
epitermal sulfide rendah ( epitermal low sulfidation ) yang terbentuk pada kondisi dengan
temperature 2000C-2500C dengan kedalaman 350 m 500 m dan berada pada level pendidihan
( Boiling level ) dan apabila level tersebut telah lewat maka akan terjadi percampuran secara
cepat fluida hidrotermal dan air tanah untuk membentuk larutan klorida mendekati pH netral,
fluida ini kemudian naik kearah permukaan melewati rekahan-rekahan pada batuan dan
mengendapkan silica pada rongga tersebut ( Buchanan 1981;Morison 1990;Corbett dan Leach
2001;Hedenquist 1996;Henley dan Anless 1983 )(Gambar 1.2 )
Kontrol Struktur dan Litologi Terhadap Mineralisasi Daerah Bada
Andesit yang dijumpai Nampak telah teralterasi mengindikasikan bahwa litologi andesit
merupakan batuan samping yang terubah karena aktifitas magmatisme menghasilkan intrusi
berupa dike granit dengan arab intrusi N 2400E. Pengamatan dan pengukuran lapangan

memperlihatkan arah vein searah dengan dike granit, hal tersebut mengidikasikan bahwa injeksi
magma dalam bentuk vein membawa mineral sulfide dan logam mulia bberasosiasi dengan
keberadaan dike granit dan kemungkinan berhubungan dengan tubuh granit Kambuno ( T.o
Simandjuntak, Suroso dan J.B Supandjino,1997) yang berumur Pliosen yang secara geografis
terletak pada daerah Bada.
Pengukuran lapangan terhadap arab mineralisasi yang dijumpai dalam dua arah vein yang
saling berpotongan yaitu N 220 240 0E dan N 110-1300C, hal tersebut mengindikasikan bahwa
keberadaan kekar tersebut merupakan salah satu factor pengontrol mineralisasi yang terjadi pada
daerah penelitian.
Pembentukan mineralisasi daerah Bada dipengaruhi oleh kondisi geologi secara umum
yaitu kondisi litologi dan struktur yang berkembang pada daerah tersebut, yang memungkinkan
terjadinya injeksi magma membentuk vein (urat) sebagai perangkap mineralisasi pada daerah
Bada, dan dapat digambarkan dalam penampang mineralisasi dan alterasi.(Gambar 3.1 )

Kesimpulan
Berdasarkan data lapangan dan hasil anaisa laboratorium dengan menggunakan
pendekatan teori dan model yang telah dibuat para ahli sebelumnya maka dapat disimpulkan
beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan mineral sulfide dan asosiasinya pada daerah
Bada sebagai berikut :
1. Batuan vulkanik andesit merupakan batuan samping, dan dike granit sebagai batuan
pembawa mineralisasi pada daerah Bada
2. Berdasarkan kumpulan mineral ubahan yang teridentifikasi maka tipe alterasi yang
berkembang di daerah Bada terdiri atas Zona propylituc, dan zona argillie,
3. Mineralisasi berkembang baik pada zona silissie yang berasosiasi edengan kuarsa dalam
bentuk vein, saling berpotongan yaitu arah N 220-2300E dan N 120-1300E. Arah
mineralisasi tersebut relative sama dengan arah kekaar yang terbentuk dikontrol oleh
rekahan pada batuan.
4. Mineralisasi daerah Bada berasosiasi dengan vein kuarsa menghasilkan mineral sulfide
berupa mineral logam dasar yaitu sphalerit, galena,kalkopirit, pirrothyte, serta logam
mulia berupa unsure Au, dan Ag.
5. Berdasarkan keberadaan mineral sulfide dan assosiasinya serta mineral alterasi yang
dijumpai, maka dapat disimpul bahwa mineralisasi pada daerah Bada termasuk tipe
ephitermal sulfide rendah ( epithermal low sulfidation ) ( Buchanan,1981;Morison
1990;Corbett dan Leach,2001;Hedenquist 1996;Henley dan Anless,1983)

DAFTAR PUSTAKA

Bobis,R,E, and Aquino,J,S, 1995.Guide To the Epithermal Environment.


Beterman,A.M, 1950,Economic Mineral Deposits, 2th Edition, John Wiley & SonsInc, New York.
Corbett, G and Terry Leach, 1995, Southwest Pasific Rim Gold-Copper System: Structure, Alteration
and Mineralization, Auckland, New Zealand.
Corbett, G, 2002, Epithermal Gold for Explorationist, Greg corbet consultant Geology, Auckland, New
Zealand.
Corbett, G, 2002, Epithermal Au-Ag-The Magmatic Connection Comparisons between East and
West Pasific Rims, Greg corbet consultant Geology, Auckland, New Zealand.
Evans, A, M, 1993, Ore Geology And Industrial Mineral An Introduction, 3th Edition, Blackwell
Science, London.
Guilbert, J,M and Park,F,C, 1975, The Geology of Ore Deposit, University Of Arizona, New York.
Hedenquist,J,W and J,P,Richard, 1998, The Influence Of Geochemical Techniques On The
Development Genetic Models For Porphyry Copper Deposits, Society Of Economic
Geologist.
Hudson, M,D, 2002. Geology and Epithermal Mineralization of The Comstock, Lode, Canada.
Idrus, A, 1998, Model Genetik Endapan Emas Perak Epitermal Daerah Cibodas Cikidang
Kabupaten Lebak Jawa Barat, Institut Teknologi Bandung.
Morrison, G,Jaireth, S and Guoyi,D,1990, Textural Zoning In Epitermal Quartz Veins, Kiodinke
Exploration Service, Australia.
Poliquin,M, 2000. Low Sulphidation Epithermal Quartz-Adularia Gold Silver Vein & The Fuego
Project. Mexico, Horseshoe Gold Minning, Canada.
Panteleyev,A, 2005, Ephitermal AU-Ag: Low Sulphidation, Yukon Geological Survey, Canada.
Simon and Schusters, 1978, Rocks and Minerals, Simon and Schusters Inc, New York.
Sudrajat, D,M, 1982, Endapan Mineral, Laboratorium Geologi Ekonomi, Jurusan Pendidikan Geologi
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung.
Sillitoe, R,H, 1993, Ephitermal Models:Genetic Types, Geometrical Controls And Shallow Feature,
Highgate Village, London, England.

Sillitoe, R,H, 1994, Characteristic And Controls Of The Largest Porphyry Copper-Gold And
Ephitermal Gold Deposits in the Circum Pasific Region, Highgate Village, London,
England.
Simandjuntak,T,O, Surono dan J,B,Supandjono, 1997. Geologi Lembar Poso, Sulawesi, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
White, N,C, and J,W, Hedenquist, 1995, Ephitermal Gold Deposits: Styles, Characteristic And
Exploration, Society Of Economic Geologist.
Zulkiffli,D,H, 2006, Karakteristik Mineralisasi Epitermal di Daerah Taran, Hulu Kahayan,
Kalimantan Tengah berdasarkan studi mikroskopis, X-ray diffraction (XRD) dan
studi inklusi Fluida, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai