Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PESAN MORAL DALAM TRADISI MAPPANRETASI

MASYARAKAT SUKU BUGIS PANGATAN


KALIMANTAN SELATAN.
Oleh : Maddukelleng

A. Pendahuluan.

Indonesia adalah negara dengan beragam suku, budaya dan tradisi.


Tradisi seperti upacara adat dapat menjadikan sumber inspirasi bagi
perkembangan budaya dan memperkaya hasana daerah. Mappanretasi (pesta
laut) bagi suku Bugis adalah tradisional yang dilakukan oleh masyarakat suku
Bugis sejak dulu kala hingga kini tersebar luas, di mana ada kelompok
nelayan Bugis disitu ada upacara mappanretasi, termasuk di desa Pangatan,
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan melalui migran Bugis sejak tahun 1941
(Muklis, 1989) . Banyak orang berasumsi bahwa perayaan tradisional
Mappanretasi adalah ritual untuk ibadah atas hasil laut, dalam pergeseran
makna perayaan itu berarti berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk bersyukur dan berterima kasih atas produksi hasil laut yang melimpah,
waktu Mappanretasi digunakan sebagai makna untuk membangun relasi
pertemanan antara berbagai masyarakat yang terdiri dari banyak etnis dengan
yang lainnya dalam lingkungan sosial, ini ditafsirkan dalam ritual ibadah laut.
Penerapan Mappanretasi masih banyak yang tidak dimengerti oleh banyak
orang, memberikan sebuah persepsi negatif atas pesan esensial yang
terkandung dalam perayaan tersebut. Hasil studi analis dan diskusi banyak
pakar bahwa perayaan Mappanretasi adalah sebuah pesan moral, setiap orang
harus berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, kelimpahan
rezeki, dan kesehatan yang diberikan. Sebaiknya setiap orang harus
menghormati bentuk dari pengetahuan lokal dan posisi sifat manusia yang
tidak mengekspoitasi alam, tetapi memiliki moral tanggung jawab dan untuk
keseimbangan alam itu sendiri, dan disitulah tergambar dalam acara
Mappanretasi.
Disisi lain, bahwa upacara adat apapun namanya jika menggunakan
symbol-simbol ritual adat, seperti sesembahan dengan wadah kemenyang,
telur, nasi kuning, nasi hitam, ayah sebagai perujudan mencapai niatan bahkan
rasa terima kasih melalui perantara wadah tadi baik di laut, di gunung maupun
ditempat-tempat lain, itu sudah pasti bertentangan dengan nilai-nilai agama
terutama Islam, bahkan dianggap sudah mendekati syiriq, dengan alasan
apapun itu. Jika alasan penghormatan pada pengetahuan lokal sebenarnya
1

tidak pada posisi seperti itu, karena muatan lokal sangat banyak tidak pada
upacara dengan doa syukuran dengan memanfaatkan wadah, karena
semestinya rasa syukur dilakukan dengan doa langsung kepada Allah SWT,
dan ucapan terima kasih dengan cara bersedekah, membagi-bagi rezki kepada
yang membutuhkannya.
B. Permasalahan

Upacara adat bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan, apalagi


pelaksanaanya untuk kepentingan banyak orang melalui sector wisata
sepanjang tidak dilakukannya dengan cara bersentuhan dengan nilai-nilai
agama. Tapi, upacara adat Mappanretasi dengan penyerahan sesajen,
menggunakan wadah sebagai perantara rasa syukur, memilih tempat sebagai
keyakinan untuk mencapai niatan, maka menjadi soal. Jika dimaksudkan adat
sebagai symbol nilai budaya dan pengetahuan lokal, seperti pengembangan
tari-tarian sebagai symbol penghargaan pada pahlawan, penjemputan tamu
agung dengan variasi yang diambil dari nilai-nilai luhur, itu tidak menjadi
permasalahan. Berdasar uraian tersebut dan latar belakang di atas, maka
permasalahan kajian ini dapat dirumuskan sbb : Bagaimana nilai adat
Mappanretasi bisa memberi pesan Moral untuk membedakan dengan nuansa
keagamaan?
C. Metode Pemecahan Masalah

Menurut Nahrowi Adjie dan Maulana (2006 : 46-51) langkah-langkah


penyelesaian masalah ada 4 tahapan yang harus dilalui untuk memecahkan
masalah, yakni ; setiap penulis harus terlebih dahulu memahami soal,
memilih pendekatan atau strategi, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi.
Dalam tulisan ini penulis mencoba menelusuri data tentang keberadaan
suku bugis pangatan di Kalimanta Selatan dengan ragam upacara adat melalui
literatur, baik dalam bentuk teks buku maupun melalui data elektronik
terutama berkaitan dengan Mappanretasi yang sampai saat ini masih terus
dilakukan bulan April setiap tahunnya. Upacara adat Mappanretasi sudah
menjadi even tahunan di Pangatan Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan
Selatan, karena menjadi salah satu obyek wisata daerah itu. Temuan data
melalui penelusuran pustaka ini dianalisis dan ditafsirkan sejauh kemampuan
penulis untuk mengungkap dan menjawab persoalan yang ada.

D. Data Empirik

Di Pantai Pagatan merupakan pantai indah yang berada di ujung


tenggara Kalimantan Selatan, dihuni oleh kelompok nelayan Bugis migran
sejak tahun 1942, kini telah berkembang dan penjadi penduduk Pangatan,
setiap tahunnya melakukan satu upacara adat yang disebut Mappanretasi.
Bagi suku bugis upacara adat ini tidak asing lagi, dan kini telah menjadi ajang
tahunan, menjadi Pelabuhan Budaya Bagi Seluruh Suku Di Kabupaten Tanah
Bumbu.
Mappanretasi merupakan sebuah upacara adat Suku Bugis di Pantai
Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Mappanretasi berasal
dari bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata yaitu Mappanre yang berarti
memberi makan dan Tasi berarti laut. Jadi Mappanretasi, artinya memberi
makanan di laut.
Upacara adat ini dilaksankan secara turun temurun oleh masyarakat
setempat. Pesta laut ini dilaksanakan selama tiga minggu di bulan April. Dan
puncaknya dilaksanakan pada minggu terakhir di Bulan April. Kegiatan
mendapat dukungan pemerintah daerah, Dinas Pariwisata, Lembaga Adat
Ogie yang berada di sekitar wilayah Pangatan. Selama hampir tiga minggu,
pantai Pagatan setiap sore hingga malam menjadi pusat keramaian masyarakat
karena di barengi dengan pasar malam dan menjadi primadona warga di
pesisir pantai yang telah berlangsung sekitar 50 tahun lamanya secara turun
temurun.
Para nelayan Suku Bugis yang tinggal di pesisir pantai Pangatan Tanah
Bumbu menggelar upacara Mappanretasi atau memberi makan laut dengan
cara melarung sesajen sebagai wujud syukur atas hasil laut. Sesajen tersebut
berupa sesisir pisang Barengseng, nasi ketan warna putih, hitam, kuning dan
merah jambu yang melambangkan ke empat unsur yang ada di muka Bumi,
juga dilengkapi dengan ayam jantan hitam si Kadi dengan betina si Manis dan
pisang raja. Pemimpin acara sakral selamatan laut atau biasa disebut Sandro.
Sandro merupakan gelar yang diperoleh secara turun temurun yang diperoleh
melalui titisan leluhurnya yang tidak dapat diambil alih oleh orang lain.
3

Sandro mappanretasi didampingi 12 pengiring atau dayang yang terdiri dari 6


orang perempuan dan 6 orang laki-laki telah menunggu di atas kapal nelayan
tersebut. Sandro yang mengenakan (songko Recca) kopiah bugis Bone dan
mengenakan pakaian adat Bugis yang serba kuning memberi aba-aba agar
kapal bertolak dari pantai menuju ke titik di tengah laut yang telah ditentukan
oleh sandro.
Setelah kapal sampai ke titik yang telah ditentukan, puluhan kapal
nelayan terlihat mengerubungi kapal yang ditumpangi sandro untuk mengikuti
pembacaan doa selamatan laut. Usai pembacaan doa oleh sandro, ayam hitam
yang telah disiapkan langsung dipotong dan dilepas ke laut. Namun, ritual
yang berlangsung sejak puluhan tahun silam itu, tak menjamin nelayan bakal
mendapat hasil yang berlimpah saban tahun.
Seperti yang dikatakan Ketua Lembaga Adat Mappanretasi, Drs.
Burhansyah, Mappanretasi berarti sebuah perayaan mengajak nelayan untuk
makan-makan dilaut. Yang dimaknai sebagai bentuk ucapan rasa syukur atas
rezeki berupa limpaahan hasil tangkapan ikan yang diberikan Tuhan kepada
nelayan. R.E.Johannes, (1981 ; 68) menyebutnya to have is to share,
sebuah Pepatah tradisional yang mereka anut untuk membagi kebahagiaan,
menikmati apa yang ada di alam secara bersama-sama, dan menjadi sebuah
modal social yang kokoh menjaga persatuan dan keamanan laut mereka.
Kehidupan sosial dan ekonomi pedesaan saling terkait erat. Ini adalah salah
satu upaya antisipasi dampak dari budaya asing di Palau tempat sumber
penghidupan mereka adalah menghilangkan/mengikis sistem ini.
"Hanya kerena tempat nelayan mencari rezeki adalah dilaut, maka
wajarlah mereka ucap syukur ditempat tersebut. Hal ini dapat kita analogikan
perayaan panennya para petani, jika dia mengucapkan rasa syukur atas
melimpahnya hasil panen, maka para petani akan melakukan wadah syukuran
diareal persawahan," terang Burhansyah.
Dia juga menerangkan, terkait ritual berupa penyembelihan hewan
dan suguhan makanan yang dilakukan oleh sandro berupa ketan yang
dilarungkan dilaut, bukan berarti sebuah ritual untuk memberi makan laut
4

yang selama ini dianggap sebagian masyarakat, sebuah perbuatan yang


menyalahi aturan Islam.
Sementara makanan yang dilarungkan hanyalah sebuah tindakan
atraktif atau simbolis, yang nantinya makanan tersebut akan diambil kembali
untuk dimakan bersama-sama diatas kapal. Menurutnya lagi, tindakan
tersebut, bukan sesuatu yang mubazir, kerena suguhan makanan yang
dilarungkan, bukan merupakan jumlah dana yang besar dan tidak sampai pada
angka Rp 500 ribuan. Bagi suku Bugis persoalan nilai dalam sebuah upacara
adat ataupun pesta bukanlah masalah, mereka menganggap bahwa uang dan
segalanya itu bisa dicar tetapi prinsip hidup dengan nilai-nilai Siri lebih
penting dari segalanya, dipandang dari sudut agama Islam ;
Siri atau menjaga harga diri itu sama dengan artinya menjaga syariat,
dipandang dari segi ilmu ahlak suatu kewajiban moral yang paling
tinggi hingga ada syair ; jika tidak engkau pelihara hak dirimu, engkau
meringankan dia orang lainpun akan lebih meringankan, sebab itu
hormatilah dirimu Hamka (dalam Abu Hamid at all, 2009 : 22).
Filsafat hidup dengan Siri menjadi pedoman hidup yang diaplikasi
dimana saja mereka tinggal, termasuk pelaksanaan upacara adat dan lainnya.
Mappanretasi, merupakan adat yang telah dilakukan secara turun temurun
menjadi prinsip yang harus dilakukan. Kita lihat dalam prosesi Mappanretasi
dilakukan dengan menggunakan mantra oleh pihak sandro, selama ini
dipersepsikan masyarakat adalah sebuah tindakan yang jauh dari aturan
agama. "Sekarang prosesi dengan mantera tersebut sudah diluruskan dengan
doa-doa yang islami, berupa niat-niat yang sesuai dengan ajaran Islam,".
Pemberian sesajen dengan banyak rupa merupakan pesan nilai-nilai budaya
yang dimaknai keragaman nilai dan etnis yang bersatu padu dalam susah dan
kebahagiaan menjadi pesan moral, begitu pula doa yang telah diubah dengan
doa islami menunjukan bahwa masyarakat Pangatan bisa memisahkan nilainilai budaya lokal dengan nilai keagamaan. Semua itu menjadi pesan moral
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman. Menjadi pesan moral suku
Bugis atas keberadaannya untuk mendapat pengakuan atas keberhasilan yang
dicapainya, pengakuan akan kemampuannya untuk meradaptasi dimana saja
mereka berada, dimana tanah diinjak disitu langit dijunjung, menjadi sebuah
5

filsafat hidup yang memudahkan mereka bisa berada dimana-mana di


nusantara ini.
Prospek lain upacara Mappanretasi pada suku Bugis yang ada di
Pangatan, membuka lebar bahwa keberadaan pesta rakyat sudah menjadi ajang
tahunan sekaligus obyek wisata, karena daerah wilayah pesisir tidak saja
karena alamnya yang indah, tetapi budaya masyarakat turut memberi
kontribusi (Dahuri at. All, 1996 : 215).
E. Kerangka Teoritis dan Pemecahan Masalah

Kerangka konseptual adalah kerangka berpikir yang berisi penjelasan


atau pengertian yang sudah dibakukan secara ilmiah dari apek aspek yang
akan dibahas. Karena itu, dalam tulisan yang berjudul Analisis Pesan
Moral Dalam Tradisi Mappanretasi Masyarakat Suku Bugis Pagatan
Kalimantan Selatan, akan dijelaskan Konsep konsep yang dipergunakan
dalam penulisan, agar tidak menimbulkan multi penafsiran.
Mappanretasi, yakni memberi makan dan Tasi, laut (Bugis). Jika di
Indonesiakan memberi makan laut, atau lebih dikenal dengan Pesta Laut atau
Pesta Pantai, adalah sebuah festival adat suku Bugis yang diturunkan secara
turun-temurun, dan kini terus berlangsung di Pagatan, Kabupaten Tanah
Bumbu, Kalimantan Selatan.
Mappanretasi, sebagai Pesta Pantai, telah diabadikan dalam sebuah
lagu yang diciptakan oleh Hamka dalam album Putri Junjung Buih
dipopulerkan oleh penyanyi dangdut Meggy Z. Mappanretasi merupakan
pelabuhan budaya bagi seluruh suku yang ada di kabupaten Tanah Bumbu.
Festival yang dilangsungkan selama tiga minggu di bulan April ini
dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas rezeki yang dilimpahkan dari pantai Pagatan yang menjadi sumber utama
penghidupan masyarakat bugis Pagatan yang berprofesi sebagai nelayan.
Pelaksanaan upacara Mappanretasi termasuk bagian dari upacara
ritual yang banyak dilakukan oleh komunitas adat, baik yang bekerja disektor
pertanian, perkebunan maupun nelayan. Abdullah (dalam Jurnal Penelitian
Komunikasi dan Opini Publik Vol. 20 No.1, Juni 2016) mengatakan, ritual
sebagai suatu pemadatan nilai kelompok dan komunitas dapat ditanggapi
sebagai sebuah pernyataan tentang prioritas nilai atau hal-hal yang dianggap
ideal dan penting dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa ritual
menjadi jembatan bagi tujuan pemahaman dunia ideal suatu masyarakat.
6

Teori tentang budaya yang bisa menjadi dasar memahami ritual secara
filosofis menyebutnya bahwa manusia sebagai homo religious. Ritus
merupakan suatu upaya manusia untuk mencari hubungan dengan dunia
trasendental dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan, ketentraman dan
sekaligus menambah kelestarian kosmos, pelaksanaan ritualisasi merupakan
upacara keagamaan yang paling umum di dunia yang melambangkan kesatuan
mistis dan sakral dari mereka yang ikut hadir di dalamnya (Geertz 1992, 13).
Ritus merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia
bawah (manusia) dengan dunia atas (Tuhannya). Salah satu alat perantara itu
adalah adanya sesaji yang dipersembahkan kepada roh leluhur dengan harapan
Tuhannya akan memberi berkah keselamatan manusia di dunia.
Teori ini sebagai representasi dan artikulasi dari religi yang memuat
unsur verbal dan non verbal. Unsur verbal dari dalam religi dalam ritus, antara
lain terungkap dalam mantra, mitos, ajaran kearifan hidup berupa tuturantuturan dalam ritual, yang memuat pernyataan-pernyataan teologis, dan moral
yang berkaitan dengan lingkungan alam, manusia dan Tuhan. Sedangkan,
unsur-unsur nonverbal ritus dapat ditemukan dalam proses pelaksanaannya
berupa sarana-prasarana yang dihadirkan, sesaji, bahan-bahan ritual, serta
waktu dan tempat yang digunakan untuk mengaktualkan ritual tersebut oleh
para pemimpin upacara dan pembantu-pembantunya, atau (Sandro) dan warga
atau umat yang terlibat. Dengan kata lain, ritus tersebut menunjuk dan
memberi informasi tentang yang sakral dalam hubungannya makhluk gaib,
yang dipercayai oleh pendukungnya dari generasi ke generasi secara turun
temurun.
Secara konseptual ritual Mappanretasi diartikan sebagai salah satu
ritus di bidang kelautan (nelayan) yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan hasil yang banyak dan dijauhkan dari penyakit dan
mendatangkan banyak rezeki terutama dari laut di mana mereka mencari
nafkah. Karena menurut asumsi masyarakat suku Bugis Pangatan, dan suku
Bugis umumnya, laut tempat mereka mencari penghidupan, jika tidak
dilakukan persembahan, doa rasa syukur ini dianggap dapat menyebabkan
bahaya bagi nelayan, dan mengharapkan mendapatkan keberkahan atas ritual
atau sesajen itu.
Upacara ritual merupakan penyampaian harapan secara simbolistik
kepada kekuatan-kekuatan alam yang dipercaya pengikutnya, untuk
mendatangkan rezki dan keselamatan melalui ragam wadah dalam
pelaksanaan ritual dimaksud. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan di
7

kalangan ulama, karena kekhawatiran, nilai ritual adat akan bertentangan


dengan syariah islam yang mereka anut.
(Koentjaraningrat, 1982; 26) menyebutnya, sistem nilai budaya ini
telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga
sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat. Karena itu merubahnya
melalui proses pendidikan, pertumbuhan system informasi yang kuat,
perbaikan standar hidup, dan terpenting adalah keterlibatan tokoh-tokoh
agama, pemerintah memberi dorongan kearah yang bisa bermakna lain tanpa
harus menghilangkan symbol-siumbol ritual. Hal inilah yang dilakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten Tanah Bumbu, dengan merubahn doa-doa ritual
menggunakan ajaran agama Islam untuk menghindari nilai yang bisa
bertentangan dengan syariah Islam. Konsep ritual adat Suku Bugis Pangatan
di Kalimtan Selatan ini, telah dirubah nilai-nilai ritualnya menjadi sebuah
ritual budaya, menjadi obyek wisata. Selain mendatangkan devisa juga
menjadi alat komunikasi sosial diantara suku-suku yang ada di daerah
pangatan khususnya, dan didalamnya ada pesan-pesan moral untuk menjadi
perekat sosial di dalam kehidupan bersama, juga sebagai salah satu strategi
adaptasi bagi suku Bugis perantauan.
Daftar Rujukan :
Adjie, Nahrowi & Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matamatis.
Bandung: UPI PRESS.
Ahmadin, (2008). Kapitalisme Bugis, Aspek Sosial-Kultural dalam Etika
Bisnis Orang Bugis. Makassar, Putaka Refleksi.
Dahuri, Rokhmin at all (1996). Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, Jakarta, PT. Pradnya Paramita.
Geertz, Clifford (1992). Penjajah dan Raja, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Hamid, Abu at all (2009). Siri & Pesse, Harga Manusia Bugis. Makassar,
Pustaka Repleksi.
Johannes, R.E (1981). Words of The Lagoon. Fishing and Marine Lore In The
Palau District of Micronesia, University of California Press. Los
Angeles London.
Koentjaraningrat (1982). Kebuadayaan Mentalitas dan Pembangunan. PT.
Gramedia, Jakarta.

Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik. Juni 2016, (Vol. 20 No.1).
Komunikasi Transendental Dalam Ritual Kapontasu Pada Sistem
Perladangan Masyarakat Etnik Muna, hlm. 66
DIANANTA P. SUMEDI.

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/24/242765456/inimappanretasi-ritual-nelayan-bugis-di-tanah-kalimantan

Anda mungkin juga menyukai