Menurut
melalui penelitian yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada Hal tersebuttidak hanya
berlaku dalam ilmu alam saja, tetapi juga pada ilmu sosial. Dalam ilmu alam,paham
positivistik tersebut tidak banyak menemui kendala karena objeknya adalah materiatau
benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu sosial, maka bukan saja sulit dilakukan,
tetapijuga banyak ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik
tersebutberpendapat bahwa segala sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta.2
b. Epistemologi
1Umar
Aziz,
Positivis
dan
Non
Positivis,
http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis
Desember 2014.
diakses
pada
melalui
tanggal
:
16
Paradigma Positivismemeyakini adanya realitas yang objektif. Hal ini terjadi karena
antara subjek (pengamat) dan objek (yang diamati) selalu ada jarak. Distansi ini
meyebabkan objek ini dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil (kesimpulan) yang sama
sepanjang metodologi yang digunakan juga sama. Realitas itu, dengan demikian, selalu
tunggal. Pada Abad Pertengahan, realitas objektif juga sangat dipentingkan. Namun,
realitas objektif itu dipahami secara spekulatif, bukan dengan logiko-empirisme. Periode
transisi dari logiko-spekulatif ke logiko-empirisme itu sempat mendekatkan kutub
subjek dengan objek. Namun, kecenderungan ilmu-ilmu alam untuk mendominasi
metodologi ilmu akhirnya melepaskan lagi subjek dari objek. F. Budi Hardiman
menyatakan, dalam kata positif bukan hanya termuat prinsip normatif bahwa
pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak
usaha penghancuran subjek yang berpikir dengan prinsip keras bahwa pengetahuan kita
dipeoleh dengan menyalin fakta objektif. Dengan demikian, menurutnya, dalam
Positivisme pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang
sekarang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek inderawi, bukan objek
spekulatif sebagaimana tampil dalam Abad Pertengahan.3
Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya,
objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Realitas selalu dinilai
sebagai apa adanya karena antara subjek (peneliti) dengan objek (yang diteliti) selalu
ada jarak atau terpisah. Adanya jarak ini menyebabkan objek dapat dikaji oleh
siapapun dengan kesimpulan yang sama. Jadi paradigma positivisme ini akan melihat
hukum sebagai realitas.4 Hal ini mengakibatkan hubungan epistemologi positivisme,
harus menempatkan peneliti dibelakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa
adanya untuk menjaga objektivitas temuan.5 Maka secara epistimologi paradigma
positivisme mengkonsepsikan peneliti mendudukan diri secara impersonal, terpisah
2Aman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara
Diklat Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan
oleh HIMA Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1,
diunduh pada staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf.
3Sidharta, 2013. Misnomer Dalam Nomenklatur dan Penalaran Positivisme Hukum
dalam, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi (Editor : Sulistyowati Irianto dan
Sidharta), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 45-46.
4FX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing, hal. 66.
dengan objek penelitian. Posisi peneliti dengan demikian netral, tidak berpihak terhadap
objek penelitian.6
c. Metodologis
Secara metodologis, seorang periset dituntut untuk menggunakan metodologi
eksperimen empirik atau metode lain yang setara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, mencari derajat pesisi yang tinggi, melakukan pengukuran yang akurat, dan
juga menguji hipotesis melalui analisa atas angka-angka yang berasal dari
pengukuran.Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap
bagian-bagian dan fenomena serta hubungan hubunganya. Tujuan penelitian
kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori
teori atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah
bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan
yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubunganhubungan kuantitatif7
Satu-satunya cara untuk mengatahui benarnya pernyataan tersebut adalah melalui
verifikasi. Ayer
juga
memberikan
batas-batas
pada
prinsip
verifikasi
yang
diberlakukannya sebagai tolak ukur. Baginya suatu pernyataan tidak hanya bisa
dibuktikan secara langsung, akan tetapi ada cara pula secara tidak langsung untuk
memverifikasi pernyataan, yakni kami contohkan dengan fakta sejarah, bahwa fakta
sejarah tidak bisa kita verifikasi secara langsung, akan tetapi kita bisa mengetahui fakta
sejarah melalui orang yang bersaksi dan jujur atas apa yang disaksikannya8
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati
sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipothetik diperbolehkan oleh
Comte. Itu merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan
5Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, hal. 78.
lingkaran yang tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut
Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang
lain. Komparasi dipakai untuk hal hal yang lebih kompleks seperti biologi dan
sosiologi. Bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesishipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji
secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat9
d. Aksiologi
Dalam dunia Kepustakaan, Filsafat Positivisme dikenal malalui karya filsuf Prancis
yang bernama Auguste Comte. Secara garis besar filsafat Positivisme Comte berisi
pandangan filsafatnya tentang teori mengenal perkembangan ilmu pengetahuan,
perkembangan sejarah masyarakat barat dan dasar dasar untuk memperbaiki keadaan
masyarakat
pada
bentuk pola pikir yang mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang tidak mengikuti metode
ilmiah (scientifc method) yang telah diformat/diatur dengan aturan tertentu adalah ilmuilmu yang tidak ilmiah dengan kata lain yaitu ilmu yang tidak sahih dan tidak layak
untuk hidup, dikembangkan apalagi dipraktekan. Capra (197) menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang bebas nilai adalah tidak mungkin, karena kenyatanya bahwa penelit
sendiri tidak akan bisa bebas nilai sebab nilai selalu melekat pada dirinya secara inhren
dan realitas yang ditelit tidak bebas dengan nilai pula12.
manusia. Aliran ini beranggapan bahwa tindakan tidak mempunyai sasaran kualitas.
Bagi tindakan, bentuk bentuk terpisah di dunia tidak ditanggapi sebagai bentuk bentuk
yang terpisah, menyatu dan lebih tepat juga dikatakan direduksi menjadi satu kesatuan
eksistensi. Kenaifan dari paham ini ialah ia membedakan mana saya dan mana yang
lain. dan bentuk dari kesatuan yang saya maksudkan diatas inilah yang lain. dan
yang menentukan realitas dari yang lain itu adalah diri saya.
Berbagai pendapat muncul yang menentang Paham realisme naif yang jelas tidak
memadai, sebab mengabaikan perbedaan antara apa yang tampak pada si pengamat dan
apa yang ada dalam kenyataan sesungguhnya. Paham ini mengabaikan kenyataan bahwa
bisa terjadi ketidakcocokan antara keduanya, dan bahwa dalam banyak hal ciri-ciri yang
kita tangkap dengan indra kita tidak melekat pada benda itu sendiri, tetapi tergantung
keadaan kita dan lingkungan di sekitar kita. Misalnya bagi orang yang sedang sakit
demam dan badannya panas, air yang sebenarnya biasa saja akan menjadi dingin. Daun
yang kelihatan hijau di siang hari, akan kelihatan hitam di malam hari. Untuk mengatasi
kelemahan realisme naif, beberapa filsuf menganut paham yang disebut realisme kritis.
Paham yang berpendapat bahwa kualitas indrawi, baik yang primer maupun yang
sekunder, secara formal (sebagaimana dipersepsikan) ada dalam objek fisik yang
dicirikan oleh kualitas tersebut. Sedangkan realisme kritis yang bersifat virtual
berpendapat bahwa sekurang-kurangnya kualitas sekunder (seperti warna, bau, bunyi,
halus-kasar dan panas-dinginnya ssuatu tidak secara formal dalam objek fisik yang
dcirikan olehnya, tetapi hanya secara virtual. Maksudnya, objek fisik itu mempunyai
daya dalam dirinya untuk menyebabkan dalam diri kita (tentu saja dibawah persyaratan
yang sesuai) pengalaman akan objek fisik sebagai yang memiliki kualitas sekunder
tersebut.
b. Epistimologi
Epistemologis merupakan sifat hubungan atau relasi antar individu atau kelompok
masyarakat dengan lingkungan atau segala yang ada di luar dirinya, termasuk apa yang
dapat diketahui tentang hal ini.
dalam Ilmu hukum bersifat dualis / objektivis. Penganut atau pemegang Paradigma
positivisme mendalami objek observasi atau investigasi adalah dua entity independen;
bebas nilai dan bebas bias; prosedur ketat; temuan berulang berarti benar.
Berdasarkan epistemologi nya tersebut kami membaginya menjadi 5 asumsi dasar
positivisme yaitu sebagai berikut:
bahwa
terdapat
prinsip-prinsip
moral,
ideal,
dan
universalyang
terlepas/independen dari human mind dan inheren dalam sistem hukum alam, maka
untuk menemukannya diperlukan suatu hubungan yang dualis atau objektivis. Manusia
tidak bisa diperkenankan mempengaruhi prinsip-prinsip hukum alam tersebut.
c. Metodologi
Metodologi ini memiliki makna agar masyarakat melakukan penelitian guna
menemukan jawaban di balik penelitian tersebut. Metodologi ini melakukan uji empiris,
verifikasi research question serta manipulasi dan kontrol terhadap kondisi yang
berlawanan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif. Metodologi ini biasanya
digunakan oleh aliran Natural Law dan Legal Positivism. Aliran Legal Positivism
merupakan aliran yang dibangun dari bukti empirik atau penelitian sebelumnya sehingga
metode kuantitatif sangat cocok dalam aliran ini. Acuan filosofik dasar metodologi
penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1) Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran
empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah bukti empirik hasil-hasil
penelitian terdahulu.
2) Analisis, sintesis dan refleksi
dan
antar
sejumlah
variabel.
Uji
korespondensi
hanya
melihat pada rumusan teks pasal-pasal peraturan yang dipandang netral, objektif dan
imparsial, bebas konteks dan menekankan pada realitas empiric yang berupa perilaku
yang bisa ditangkap panca indra dan dipandang bebas nilai. Dalam sejarah Hukum
Indonesia melalui asas konkordasi, sistem kontinental oleh Kolonial Belanda kemudian
ditanamkan ke dalam hukum di Hindia Belanda (Indonesia) mengantikan sistem hukum
terdahulu yang berdasarkan tradisi-tradisi lokal . corak tradisi hukum kontinental ini lalu
berkembang dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat bangsa Indonesia terbiasa
dengan sistem hukum tertulis dan terpengaruh oleh ajaran positivisme hukum sehingga
ajaran positivisme hukum menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang . Ajaran
Positivisme ini memberi pemahaman kepada Hakim bahwa Hukum semata-mata hanya
berurusan dengan norma-norma dengan tidak memperhatikan apakah substansinya adil
atau tidak dan implikasi sosioyuridisnya. Ajaran positivisme menelaah permasalahan
hukum secara hitam putih sebagaimana dalam teks Undang-undang padahal
perkembangan masyarakat terlalu besar untuk dimasukkan dan dimuat kedalam Pasalpasal peraturan Perundang-undangan.
Sebagai contoh bahwa Negara kita dalam aliran hukum positivisme adalah kasus
hukum yang sempat menarik perhatian masyarakat yaitu kasus tindak pidana pencurian 3
buah kakao milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan yang dilakukan oleh seorang
nenek bernama Minah . Dalam kasus tindak pidana pencurian tersebut Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menjatuhkan putusan pidana penjara 1(Satu) satu
bulan dan 15 (lima belas) hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan
menyatakan Minah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP
tentang pencurian. P erbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana
termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran
Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya
serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena
tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum. Padahal jika dilihat kasus tersebut dan
memaknai hukum sebagai konteks untuk mencari keadilan maka akan melukai rasa
keadilan dalam masyarakat dengan diberlakukan Hukum positive. Hal itu juga
dikarenakan Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini
secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana
seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas
legalitas.
14Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hal. 11
15Sidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum, Tarumanegara Jurnal : Era
Hukum Vol 2, No 11 (2004) hal. 29
16Op.cit.
17Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.
Sehingga, Hans Kelsen relatif berhasil menjelaskan Positivisme Hukum melaui sistem
hirarkis dari norma-norma positif yang disebut nama Grundnorm (norma dasar). Norma
dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen.
Daftar Pustaka
Buku
FX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.
Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Protasius hardono hadi, kenneth T gallagher, 1994, epistemologi, filsafat pengetahuan,
Yogyakarta,penerbit kanisisus.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum. Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Sulistiyowati Irianto, Shidarta, 2013, Metode Penelitian Hukum Konstelas dan Refleksi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal
Sidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum, Tarumanegara
Jurnal : Era Hukum Vol 2, No 11 (2004).
Wahidahwati, Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis Isn 1829 9857 Dan Sektor Publik
(Jambsp), Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Artikel Online
Aman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara Diklat
Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan oleh HIMA
Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1, diunduh pada
staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf.
18Ibid. Hal. 124
Blog Fisip UNS, Hubungan Positivisme Dengan Penelitian Kuantitatif diakses melalui
http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/03/hubungan-positivisme-denganpenelitian-kuantitatif/ Diakses pada tanggal 16 Desember 2014
Bona
Pablo,
Positivisme
Logis
ALFRED
JULES AYER,
diakses
melalui
https://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/
diakses
Aziz,
Positivis
dan
Non
Positivis,
diakses
http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis
pada
melalui
tanggal
16
Desember 2014.
http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html, di akses tgl
17 Desember 2014
PARADIGMA POSITIVISME
Tugas Mata Kuliah Teori Hukum
KELAS HET-HKI
Prof. Dr. Esmi Warrasih Puji Rahayu, S.H.,M.S.
Rara Amalia Cendhayanie 11010114410030
Nenny Dwi Ariani
11010114410048
Navira Araya Tueka
11010114410063
Zulkifli Mukhtar
11010114410065
Yosa Jeremia Lumbantoruan
11010114410097
Toebagus Galang WP
11010114410077
Franz Andi Purba
11010114410102
Charlyna S. Purba
11010114410104
Farrach Erningrum
11010114410105
Maranata Nansy Nadeak
11010114410107
Putri Purbasari
11010114410108