Anda di halaman 1dari 16

1.

Aspek Paradigma Umum


a. Ontologis
Pada dasarnya Penelitian Kuantitatif merupakan penerapan dari paham positivisme.
Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk
mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut
dapat diakui kebenarannya.Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan
secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge
base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek,
property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu
domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada.
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul
dalam duniailmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi
realisme yang menyatakanbahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws).Dengan kata lain, Positivisme merupakan
suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaandengan metafisik. Tidak
mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.Sesungguhnya aliran
ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh
pengetahuan.
Pendekatan positivismemenekankan bahwa ilmu pengetahuan lahir dan berkembang
melalui pengamatan objek yang positif, artinya objek tersebut dapat ditangkap dengan
pancaindra manusia. 1

Menurut

Comte, proses pencarian kebenaran harus dilakukan

melalui penelitian yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada Hal tersebuttidak hanya
berlaku dalam ilmu alam saja, tetapi juga pada ilmu sosial. Dalam ilmu alam,paham
positivistik tersebut tidak banyak menemui kendala karena objeknya adalah materiatau
benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu sosial, maka bukan saja sulit dilakukan,
tetapijuga banyak ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik
tersebutberpendapat bahwa segala sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta.2
b. Epistemologi
1Umar
Aziz,
Positivis
dan
Non
Positivis,
http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis
Desember 2014.

diakses
pada

melalui
tanggal

:
16

Paradigma Positivismemeyakini adanya realitas yang objektif. Hal ini terjadi karena
antara subjek (pengamat) dan objek (yang diamati) selalu ada jarak. Distansi ini
meyebabkan objek ini dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil (kesimpulan) yang sama
sepanjang metodologi yang digunakan juga sama. Realitas itu, dengan demikian, selalu
tunggal. Pada Abad Pertengahan, realitas objektif juga sangat dipentingkan. Namun,
realitas objektif itu dipahami secara spekulatif, bukan dengan logiko-empirisme. Periode
transisi dari logiko-spekulatif ke logiko-empirisme itu sempat mendekatkan kutub
subjek dengan objek. Namun, kecenderungan ilmu-ilmu alam untuk mendominasi
metodologi ilmu akhirnya melepaskan lagi subjek dari objek. F. Budi Hardiman
menyatakan, dalam kata positif bukan hanya termuat prinsip normatif bahwa
pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak
usaha penghancuran subjek yang berpikir dengan prinsip keras bahwa pengetahuan kita
dipeoleh dengan menyalin fakta objektif. Dengan demikian, menurutnya, dalam
Positivisme pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang
sekarang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek inderawi, bukan objek
spekulatif sebagaimana tampil dalam Abad Pertengahan.3
Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya,
objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Realitas selalu dinilai
sebagai apa adanya karena antara subjek (peneliti) dengan objek (yang diteliti) selalu
ada jarak atau terpisah. Adanya jarak ini menyebabkan objek dapat dikaji oleh
siapapun dengan kesimpulan yang sama. Jadi paradigma positivisme ini akan melihat
hukum sebagai realitas.4 Hal ini mengakibatkan hubungan epistemologi positivisme,
harus menempatkan peneliti dibelakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa
adanya untuk menjaga objektivitas temuan.5 Maka secara epistimologi paradigma
positivisme mengkonsepsikan peneliti mendudukan diri secara impersonal, terpisah
2Aman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara
Diklat Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan
oleh HIMA Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1,
diunduh pada staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf.
3Sidharta, 2013. Misnomer Dalam Nomenklatur dan Penalaran Positivisme Hukum
dalam, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi (Editor : Sulistyowati Irianto dan
Sidharta), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 45-46.

4FX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing, hal. 66.

dengan objek penelitian. Posisi peneliti dengan demikian netral, tidak berpihak terhadap
objek penelitian.6
c. Metodologis
Secara metodologis, seorang periset dituntut untuk menggunakan metodologi
eksperimen empirik atau metode lain yang setara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang
sebenarnya, mencari derajat pesisi yang tinggi, melakukan pengukuran yang akurat, dan
juga menguji hipotesis melalui analisa atas angka-angka yang berasal dari
pengukuran.Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap
bagian-bagian dan fenomena serta hubungan hubunganya. Tujuan penelitian
kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori
teori atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah
bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan
yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubunganhubungan kuantitatif7
Satu-satunya cara untuk mengatahui benarnya pernyataan tersebut adalah melalui
verifikasi. Ayer

juga

memberikan

batas-batas

pada

prinsip

verifikasi

yang

diberlakukannya sebagai tolak ukur. Baginya suatu pernyataan tidak hanya bisa
dibuktikan secara langsung, akan tetapi ada cara pula secara tidak langsung untuk
memverifikasi pernyataan, yakni kami contohkan dengan fakta sejarah, bahwa fakta
sejarah tidak bisa kita verifikasi secara langsung, akan tetapi kita bisa mengetahui fakta
sejarah melalui orang yang bersaksi dan jujur atas apa yang disaksikannya8
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati
sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipothetik diperbolehkan oleh
Comte. Itu merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan
5Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, hal. 78.

6FX. Adji Samekto, 2012. Op.Cit. hal. 69.


7http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/03/hubungan-positivisme-denganpenelitian-kuantitatif/ Diakses 22.30 (16/12/14)
8https://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/
diakses 23.29 (16/12/14)

lingkaran yang tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut
Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang
lain. Komparasi dipakai untuk hal hal yang lebih kompleks seperti biologi dan
sosiologi. Bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesishipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji
secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat9

d. Aksiologi
Dalam dunia Kepustakaan, Filsafat Positivisme dikenal malalui karya filsuf Prancis
yang bernama Auguste Comte. Secara garis besar filsafat Positivisme Comte berisi
pandangan filsafatnya tentang teori mengenal perkembangan ilmu pengetahuan,
perkembangan sejarah masyarakat barat dan dasar dasar untuk memperbaiki keadaan
masyarakat

pada

zamannya10.Aksiologimerupakancabang filsafatilmu yang

mempertanyakanbagaimanamanusiamenggunakanilmunya. Aksiologiadalahistilah yang


berasaldari kata Yunaniyaitu; axios yang berartisesuaiatauwajar.Sedangkan logos yang
berartiilmu.Aksiologidipahamisebagaiteorinilai.JujunS.Suriasumantrimengartikaaksiolo
gisebagaiteorinilai yang berkaitandengankegunaandaripengetahuan yang diperoleh11
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai. Pada paradigma
positvisme hal-hal yang berhubungan dengan nilai etika dan pemilhan moral harus
berada di luar proses penelitan. Dengan kata lain bahwa paradigma ini menyatakan
bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang bebas nilai, artinya bahwa nilai etika dan
pilhan moral harus berada di luar proses penelitan-penelitan. Ini merupakan
konsekwensi logis dari pemahaman manusia yang deterministik, realitas sosial yang
obyektif dan metode yang alamiah. Penelitan berperan sebagai disinterested scientist,
dan tujuan penelitan adalah aksplanasi prediksi dan kontrol. Positvism paradigm
mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus netral dan bebas dari nilai, ini merupakan
9http://yusufrina.files.wordpress.com/2013/12/makalah-postivism-danpostpositivism.pdf diakses 1.34 (17/12/14)
10Teguh Prasetyo & Abdul Halim,2012, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, hal.177
11http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologidan.html, di akses tgl 17 Desember 2014

bentuk pola pikir yang mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang tidak mengikuti metode
ilmiah (scientifc method) yang telah diformat/diatur dengan aturan tertentu adalah ilmuilmu yang tidak ilmiah dengan kata lain yaitu ilmu yang tidak sahih dan tidak layak
untuk hidup, dikembangkan apalagi dipraktekan. Capra (197) menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang bebas nilai adalah tidak mungkin, karena kenyatanya bahwa penelit
sendiri tidak akan bisa bebas nilai sebab nilai selalu melekat pada dirinya secara inhren
dan realitas yang ditelit tidak bebas dengan nilai pula12.

2. SetBasic(Empat) Paradigma Utama Beberapa Alirandan/atau ParadigmaDalam


Ilmu Hukum
a. Ontologi
Tokoh tokoh filusuf yang menganut aliran ini diantaranya john dewey dan max
scheler. Realisme naif adalah aliran pemikiran realisme yang berpegang pada realoitas
eksternal. Menurut paham ini, objek fisik bukan hanya mempunyai keberadaan sendiri
lepas dari kegiatan pengindraan kita, tetapi adanya pada dirinya sendiri adalah persis
sama dengan objek yang secara langsung saya alami, secara indrawi pada saat dan
tempat tertentu. Maksudnya : warna, bau, rasa, bentuk, ukuran, dan sebagainya, dari
benda tersebut pada dirinya memang sama persis dengan apa yang secara langsung saya
tangkap dengan indra saya.
Aliran realisme ini sering dikatakan mempertahankan pendapat bahwa kualitas
kualitas yang kita rasakan adalah secara formal lepas dari sensasi, cara subjek
menerimanya13. Suatu benda bagi bagi penganut realitas naif adalah sebuah pusat
terpadu dari tindakan yang berhadapan dengan tindakan manusia. Benda ini adalah
objek tindakan manusia, dan yang bereaksi terhadap manusia. Benda disini sekaligus
juga merupakan syarat rintangan bagi tindakan manusia. Para filusuf aliran ini
menganggap objektivitas berasal dari perasaan resistensi dunia sehingga tidak ada
kehendak bebas, inilah yang dikatakan sebagai benda sebagai rintangan bagi tindakan
12Wahidahwati, Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis Isn 1829 9857 Dan Sektor
Publik (Jambsp), Kritik Terhadap Paradigma Positivisme, hal.245
13Protasius hardono hadi, kenneth T gallagher, epistemologi, filsafat
pengetahuan, penerbit kanisisus; yogyakarta, 1994.

manusia. Aliran ini beranggapan bahwa tindakan tidak mempunyai sasaran kualitas.
Bagi tindakan, bentuk bentuk terpisah di dunia tidak ditanggapi sebagai bentuk bentuk
yang terpisah, menyatu dan lebih tepat juga dikatakan direduksi menjadi satu kesatuan
eksistensi. Kenaifan dari paham ini ialah ia membedakan mana saya dan mana yang
lain. dan bentuk dari kesatuan yang saya maksudkan diatas inilah yang lain. dan
yang menentukan realitas dari yang lain itu adalah diri saya.
Berbagai pendapat muncul yang menentang Paham realisme naif yang jelas tidak
memadai, sebab mengabaikan perbedaan antara apa yang tampak pada si pengamat dan
apa yang ada dalam kenyataan sesungguhnya. Paham ini mengabaikan kenyataan bahwa
bisa terjadi ketidakcocokan antara keduanya, dan bahwa dalam banyak hal ciri-ciri yang
kita tangkap dengan indra kita tidak melekat pada benda itu sendiri, tetapi tergantung
keadaan kita dan lingkungan di sekitar kita. Misalnya bagi orang yang sedang sakit
demam dan badannya panas, air yang sebenarnya biasa saja akan menjadi dingin. Daun
yang kelihatan hijau di siang hari, akan kelihatan hitam di malam hari. Untuk mengatasi
kelemahan realisme naif, beberapa filsuf menganut paham yang disebut realisme kritis.
Paham yang berpendapat bahwa kualitas indrawi, baik yang primer maupun yang
sekunder, secara formal (sebagaimana dipersepsikan) ada dalam objek fisik yang
dicirikan oleh kualitas tersebut. Sedangkan realisme kritis yang bersifat virtual
berpendapat bahwa sekurang-kurangnya kualitas sekunder (seperti warna, bau, bunyi,
halus-kasar dan panas-dinginnya ssuatu tidak secara formal dalam objek fisik yang
dcirikan olehnya, tetapi hanya secara virtual. Maksudnya, objek fisik itu mempunyai
daya dalam dirinya untuk menyebabkan dalam diri kita (tentu saja dibawah persyaratan
yang sesuai) pengalaman akan objek fisik sebagai yang memiliki kualitas sekunder
tersebut.
b. Epistimologi
Epistemologis merupakan sifat hubungan atau relasi antar individu atau kelompok
masyarakat dengan lingkungan atau segala yang ada di luar dirinya, termasuk apa yang
dapat diketahui tentang hal ini.

Berdasarkan epistemologisnya Paradigma Positivisme

dalam Ilmu hukum bersifat dualis / objektivis. Penganut atau pemegang Paradigma
positivisme mendalami objek observasi atau investigasi adalah dua entity independen;
bebas nilai dan bebas bias; prosedur ketat; temuan berulang berarti benar.
Berdasarkan epistemologi nya tersebut kami membaginya menjadi 5 asumsi dasar
positivisme yaitu sebagai berikut:

1) Logika empirisme, yang mempolakan logika pada kebenaran melalui pembuktian


empiris
2) Realitas objektif, yang menggambarkan bahwa terhadap suatu realitas dapat
digeneralisasi da tidak ada interpretasi subjektif
3) Reduksionisme, yang menganggap setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil,
jika itu tidak dapat dilakukan maka dapat dikatakan bukan realitas
4) Determinisme, terdapat keteraturan yang linear
5) Bebas nilai, yang berarti tidak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai
tidak relevan.

Sesuai dengan ontologinya juga paradigma positivisme mengasumsikan adanya


external world, epistemologi paradigma positivisme berasumsi bahwa penganut atau
pemegang dapat meneliti objek observasinya dengan tetap mengambil jarak dan tanpa
mempengaruhi atau dipengaruhi olehobjek observasi tersebut (bebas bias). Kondisi ini,
oleh karena itu, mengharuskan penerapan prosedur ketat. Aliran natural law sejalan
dengan epistemologi paradigma positivisme ini. Oleh karenaaliran ini secara ontologi
berasumsi

bahwa

terdapat

prinsip-prinsip

moral,

ideal,

dan

universalyang

terlepas/independen dari human mind dan inheren dalam sistem hukum alam, maka
untuk menemukannya diperlukan suatu hubungan yang dualis atau objektivis. Manusia
tidak bisa diperkenankan mempengaruhi prinsip-prinsip hukum alam tersebut.
c. Metodologi
Metodologi ini memiliki makna agar masyarakat melakukan penelitian guna
menemukan jawaban di balik penelitian tersebut. Metodologi ini melakukan uji empiris,
verifikasi research question serta manipulasi dan kontrol terhadap kondisi yang
berlawanan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif. Metodologi ini biasanya
digunakan oleh aliran Natural Law dan Legal Positivism. Aliran Legal Positivism
merupakan aliran yang dibangun dari bukti empirik atau penelitian sebelumnya sehingga
metode kuantitatif sangat cocok dalam aliran ini. Acuan filosofik dasar metodologi
penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1) Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran
empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah bukti empirik hasil-hasil
penelitian terdahulu.
2) Analisis, sintesis dan refleksi

Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Menuntut data


dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3) Fakta objektif
a) Variabel
Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan
relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.
b) Eliminasi data
Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel

dan

mengeliminasi variabel yang tidak teliti.


c) Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data obyektif. 0byektif dalam paradigma
kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji
reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut
berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang
obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji
validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji
daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4) Argumentasi
a) Fungsi parameter
Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau
korespondensi

antar

sejumlah

variabel.

Uji

korespondensi

hanya

membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab akibat).


b) Populasi
Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data
yang diteliti.
c) Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu
lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama.
5) Realitas
a) Desain standar
Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang
hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan
datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya
dan dirancang teknik analisis.
b) Uji kebenaran
Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai
signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang
digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara
lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan
bakunya dan teknik uji korelasinya. Realitas atau kebenaran yang diakui

dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi


penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan
penetapan populasi.
3. Paradigma dan Beberapa Isu Praktis
a. Nilai dan Etika
Dalam tataran positivisme, paradigma/isu praktis nilai dan etika dikaitkan dengan
kenyataan, dalam arti nilai dan etika harus dilihat dari sisi empiris yang menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Pertimbangan nilai ditentukan oleh faktorfaktor emosional, oleh sebab itu bersifat subjektif, hanya sah bagi orang yang membuat
pertimbangan dan karenanya hanya bersifat relatif. Pertimbangan nilai subjektif dan
relatif sebagai penegasan terhadap suatu nilai obyektif dan absolut, yakni suatu norma
yang pada umumnya sah.
Kekhasan pada diri manusia ialah bahwa dirinya mempunyai kebutuhan mendalam
untuk menerkam perbuatannya, ungkapan emosinya, harapan dan keinginannya, melalui
fungsi intelek, pemikiran dan pengetahuannya. Pembenaran ini dimungkinkan, paling
tidak pada prinsipnya bila hasrat dan keinginannya itu berkaitan dengan sarana untuk
mencapai tujuan yang satu atau yang lain, karena hubungan antara sarana dan tujuan
merupakan hubungan sebab dan akibat dan hubungan ini dapat ditentukan atas dasar
pengalaman, yakni secara rasional.
Pertimbangan yang menyatakan sesuatu sebagai cara yang tepat untuk mencapai
sesuatu yang dianggap sebagai tujuan bukanlah pertimbangan nilai yang sebenarnya,
melainkan merupakan pertimbangan tentang hubungan antara sebab dan akibat dan yang
demikian itu merupakan pertimbangan realitas. Pertimbangan nilai merupakan
pernyataan tentang suatu tujuan akhir yang dengan sendirinya bukan merupakan sarana
untuk mencapai tujuan selanjutnya. Pertimbangan yang demikian selalu ditentukan oleh
faktor-faktor emosional. Sementara itu, Etika dalam tataran empiris mencakup analisis
dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab. Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita. Dalam perspektif/paradigma positivisme, bahwa etika bersumber pada akal pikiran
atau filsafat. Etika dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik, yakni ethical behavior yang
dipengaruhi oleh adanya desepsi oleh faktor-faktor eksternal sehingga mempengaruhi
hasil/produk pemikiran akal. desepsi oleh faktor-faktor eksternal dapat berupa
kepentingan golongan atau segelintir kelompok tertentu. Desepsi inilah yang kemudian
menentukan eksistensi etika yang dapat dilihat dalam bentuk keputusan.

b. Peran Penganut / Pemegang dan Pelatihan


Paradigma Positivisme bertujuan untuk memberikan prediksi dan mengendalikan
fenomena, yg seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Pada posisi ini reduksi dan
determinasi yang diisyaratkan perlu dicermati karena dapat membawa peneliti terseret ke
peran sebagai ahli yang menempatkan peneliti pada posisi dengan hak yang istimewa,
namun pada kenyataannya posisi itu justru tidak layak bagi seorang peneliti. Penganut/
pemegang paradigma positivism menetapkan akal (rasio) pada tempat yang sangat
penting dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat.
Mereka mengetahui (lewat pemikiran) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk
selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan azaz positivism.
Positivisme mengatakan suara peneliti adalah suara ilmuwan yang tak memihak yang
memberi masukan bagi pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan.
Positivisme para peneliti baru dilatih tentang pengetahuan teknis pengukuran desain dan
berbagai model kuantitatif dengan penekanan penting atas teori formal tentang fenomena
dalam kekhususan substantif. Sebagi contoh di negara-negara yang melakukan kodifikasi,
sumber yang digunakan Hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili adalah
hukum positif (undang-undang). Dalam pengertian ini, tugas hakim bukanlah
menciptakan hukum (rechtsvorming) melainkan menerapkan hukum. Pasal 21 Al-gemene
Bepalingen van Wetveging, misalnya, menyatakan: Tiada seorang hakimpun atas dasar
peraturan umum atau penetapan berhak memuus dalam perkara-perkara yang tunduk pada
putusannya. Artinya, hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai pembentuk undangundang. Penganut positivisme percaya apabila system logika tertutup diikuti maka hanya
akan ditemukan satu kebenaran (objektif). Oleh karenanya hanya ada kebenaran tunggal,
maka pemaknaan undang-undang juga harus monotafsir, terutama yang paling mungkin
dilakukan adalah penafsiran gramatikal dan otentik.
c. Keterkaitan (Commersuable) Paradigma Positivisme Dalam Penegakkan Hukum
di Indonesia
Paradigma positivism dalam

ilmu hukum menekankan pada metode yang lebih

melihat pada rumusan teks pasal-pasal peraturan yang dipandang netral, objektif dan
imparsial, bebas konteks dan menekankan pada realitas empiric yang berupa perilaku

yang bisa ditangkap panca indra dan dipandang bebas nilai. Dalam sejarah Hukum
Indonesia melalui asas konkordasi, sistem kontinental oleh Kolonial Belanda kemudian
ditanamkan ke dalam hukum di Hindia Belanda (Indonesia) mengantikan sistem hukum
terdahulu yang berdasarkan tradisi-tradisi lokal . corak tradisi hukum kontinental ini lalu
berkembang dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat bangsa Indonesia terbiasa
dengan sistem hukum tertulis dan terpengaruh oleh ajaran positivisme hukum sehingga
ajaran positivisme hukum menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang . Ajaran
Positivisme ini memberi pemahaman kepada Hakim bahwa Hukum semata-mata hanya
berurusan dengan norma-norma dengan tidak memperhatikan apakah substansinya adil
atau tidak dan implikasi sosioyuridisnya. Ajaran positivisme menelaah permasalahan
hukum secara hitam putih sebagaimana dalam teks Undang-undang padahal
perkembangan masyarakat terlalu besar untuk dimasukkan dan dimuat kedalam Pasalpasal peraturan Perundang-undangan.
Sebagai contoh bahwa Negara kita dalam aliran hukum positivisme adalah kasus
hukum yang sempat menarik perhatian masyarakat yaitu kasus tindak pidana pencurian 3
buah kakao milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan yang dilakukan oleh seorang
nenek bernama Minah . Dalam kasus tindak pidana pencurian tersebut Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menjatuhkan putusan pidana penjara 1(Satu) satu
bulan dan 15 (lima belas) hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan
menyatakan Minah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP
tentang pencurian. P erbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana
termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran
Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya
serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena
tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum. Padahal jika dilihat kasus tersebut dan
memaknai hukum sebagai konteks untuk mencari keadilan maka akan melukai rasa
keadilan dalam masyarakat dengan diberlakukan Hukum positive. Hal itu juga
dikarenakan Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini
secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana
seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas
legalitas.

4. Teori Hukum Murni Hans Kelsen


Pendekatan Hans kelsen dikenal dengan The PureTheory of Law.14dengan mempehatikan
meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics), dan aspek dinamis
(nomodinamic). Pendekat dimaksud menghasilkan teori dengan nama serupa yakni The pure
theory of law yang menekankan hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas superhuman, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman
manusia.Positivisme Hukum, dalam definisinya adalah hakikat hukum sebagai norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan.15 Positivisme hukum dijabarkan sebagai berikut :
(i) Ontologinya adalah Realismenaif, (ii) Epistemologi adalahDualis / objektivis; dan (iii)
MetodologiadalahEksperimental / manipulative. Penjelasanmengenai hal tersebut dapat
mengacu pada Teori Hukum Murni (The Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen.
Ontologi Positivisme Hukum adalah Realismenaif artinya Realitaseksternaldan real,
Obyek The PureTheory of Law adalah norma hukum yang didalamnya mengatur perbuatan
manusia, baik sebagai kondisiatau sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut..16Epistemologi
Positivisme Hukum adalahDualis / objektivis); bebasnilaidanbebas bias; The PureTheory of
Law menyatakan suatu sistematuran-aturantentang perilaku manusia. Hukum tidak
merupakan aturan tunggal, tetapi seperangkat aturanyang memiliki suatu kesatuansehingga
menjadi sistem nyata dan bebas nilai.17MetodologiPositivisme Hukum adalahEksperimental /
manipulative Ujiempirisdanverifikasiresearch question, Hukum mengatur kreterianya sendiri
sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma
tersebut sehingga valid tersebu ditentukan oleh norma lebih tinggi menjadi alasan utama
validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan dalam hubungan super dan subordinasi18.

14Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hal. 11

15Sidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum, Tarumanegara Jurnal : Era
Hukum Vol 2, No 11 (2004) hal. 29

16Op.cit.
17Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.

Sehingga, Hans Kelsen relatif berhasil menjelaskan Positivisme Hukum melaui sistem
hirarkis dari norma-norma positif yang disebut nama Grundnorm (norma dasar). Norma
dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen.

Daftar Pustaka
Buku
FX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju PostModernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.
Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Protasius hardono hadi, kenneth T gallagher, 1994, epistemologi, filsafat pengetahuan,
Yogyakarta,penerbit kanisisus.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum. Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Sulistiyowati Irianto, Shidarta, 2013, Metode Penelitian Hukum Konstelas dan Refleksi,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal
Sidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum, Tarumanegara
Jurnal : Era Hukum Vol 2, No 11 (2004).
Wahidahwati, Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis Isn 1829 9857 Dan Sektor Publik
(Jambsp), Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Artikel Online
Aman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara Diklat
Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan oleh HIMA
Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1, diunduh pada
staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf.
18Ibid. Hal. 124

Blog Fisip UNS, Hubungan Positivisme Dengan Penelitian Kuantitatif diakses melalui
http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/03/hubungan-positivisme-denganpenelitian-kuantitatif/ Diakses pada tanggal 16 Desember 2014

Bona

Pablo,

Positivisme

Logis

ALFRED

JULES AYER,

diakses

melalui

https://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/

diakses

pada tanggal 16 Desember 2014.


Umar

Aziz,

Positivis

dan

Non

Positivis,

diakses

http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis

pada

melalui

tanggal

16

Desember 2014.
http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html, di akses tgl
17 Desember 2014

PARADIGMA POSITIVISME
Tugas Mata Kuliah Teori Hukum
KELAS HET-HKI
Prof. Dr. Esmi Warrasih Puji Rahayu, S.H.,M.S.
Rara Amalia Cendhayanie 11010114410030
Nenny Dwi Ariani
11010114410048
Navira Araya Tueka
11010114410063
Zulkifli Mukhtar
11010114410065
Yosa Jeremia Lumbantoruan
11010114410097
Toebagus Galang WP
11010114410077
Franz Andi Purba
11010114410102
Charlyna S. Purba
11010114410104
Farrach Erningrum
11010114410105
Maranata Nansy Nadeak
11010114410107
Putri Purbasari
11010114410108

Magister Ilmu Hukum


Universitas Diponegoro
Semarang
2014

Anda mungkin juga menyukai