Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan


masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi meluas sampai masalah social, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional.1
Ditinjau situasi global, Indonesia merupakan Negara penyumbang jumlah
penderita kusta ketiga terbanyak setelah India dan Brazil. Masalaah ini diperberat
dengan masih tingginya stigma masyarakat dan sebagian petugas medis. Akibat
dari kondisi ini sebagian besar penderita dan mantan penderita Kusta dikucilkan
sehingga tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan serta pekerjaan yang
berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan.1
Saat ini Indonesia masih merupakan salah satu Negara penyumbang
penyakit kusta terbesar di dunia. Pada tahun 2006, WHO mencatat penderita baru
di Indonesia menduduki rangking ketiga terbanyak setelah India, dan Brazil yaitu
sebanyak 19.695 orang. Pada tahun 2006, jumlah penderita penyakit kusta yang
tercatat sebanyak 22.384 kasus dengan 19.457 kasus (86,92%) diantaranya
merupakan penderita tipe Multibasiler (MB) yang diketahui merupakan tipe yang
menular dan 2.927 kasus (13.08%) merupakan penderita pausi basiler (PB),
dengan angka prevalensi 1,02/10.000 penduduk.1
Penyakit kusta merupakan suatu infeksi granulomatosa kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf perifer
dan kulit. Selanjutnya infeksi ini juga menyerang mukosa traktus respiratorius

bagian atas, mata, testis dan organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada kasus
yang tidak segera mendapat terapi yang adekut, maka infeksi ini dapat
menimbulkan kecacatan dari yang ringan hingga berat seperti anestesi , claw hand
kulit kering , ulkus dan bahkan kontraktur.2,3.
Tingginya angka kejadian kasus kusta dan kompleksnya masalah yang
diakibatkan, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan terkait Penyakit
kusta berdasarkan hasil observasi dalam kunjungan di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta
2.1.1 Definisi
Penyakit kusta merupakan suatu infeksi granulomatosa kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf
perifer dan kulit. Selanjutnya infeksi ini juga menyerang mukosa traktus
respiratorius bagian atas, mata, testis dan organ lain kecuali susunan saraf
pusat.2,4
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit kusta merupakan salah satu masalah kesehatan dalam
masyarakat. Penyakit ini memiliki insidensi sekitar 250.000 kasus baru setiap
tahun, dengan angka kejadian yang tinggi pada kasus anak-anak.5.
Menurut data WHO dan kasus yang dilaporkan oleh 130 negara, angka
kejadian kusta dari tahun 2004 sampai 2010 telah menurun yakni dari
407.791 kasus baru menjadi 228.474 kasus baru. Dari kasus baru yang
dilaporkan, 95% kasus yang terdeteksi diseluruh dunia selama tahun 2010
terjadi di negara-negara berikut: Angola, Bangladesh, Brazil, China, Republik
Kongo, India, Ethiopia, Indonesia, Madagaskar, Mozambik, Myanmar,
Nepal, Nigeria, Filipina, Sri Lanka, Sudan, dan Tanzania. Negara-negara
tersebut hingga kini masih tetap menjadi kantong penyakit kusta dengan
endemisitas yang tinggi dan 76% kasus diseluruh dunia berada di Brazil,
India, dan Indonesia.6.
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075
dan paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara.
Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012

Regional WHO
Afrika
Amerika
Asia Tenggara
Mediterania timur
Pasifik barat

Jumlah kasus baru yang


ditemukan (Case Detection Rate)

Jumlah kasus kusta terdaftar


(prevalensi) awal tahun 2012

12.673 (3,14)
36.832 (4,18)

15.006 (0,37)
34.801 (0,40)

160.132 (8,75)

117.147 (0,64)

4.346 (0,71)

7.638 (0,12)

5.092(0,3)

7.619 (0,05)

Total

181.941 (0,34)
219.075 (4,06)

a. Prevalence rate terlihat dalam tanda kurung per 10.000 penduduk


b. Case detection rate dalam tanda kurung per 100.000 penduduk

Penemuan penderita Kusta di Indonesia merupakan urutan ketiga di bawah


India dan Brazil. Dan secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan
penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata
penemuan penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000
orang. Pada tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853
orang, sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak
4.807 orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Penyebaran
penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur meliputi pantai utara Jawa dan Madura.
Di tahun 2012, terdapat 16 kabupaten/kota yang memiliki angka prevalensi di atas
1/10.000 penduduk terutama di kedua daerah tersebut.7.

2.1.3 Etiologi

Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan


oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial. M. leprae berbentuk basil
dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, yang merupakan gram positif dan bersifat
tahan asam.8.
M. leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem retikuloendothelial. Waktu
pembelahan bakteri ini 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam keadaan
tropis) M.leprae dari sekret nasal dapat bertahan 9 hari. Masa tunas M.
Leprae berlangsung lama yaitu 2-5 tahun.
Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti, namun
penularan secara droplet antar manusia diyakini sebagai cara penularan yang
paling sering terjadi dalam banyak kasus. Kusta tidak menular melalui
sentuhan, karena mycobacteria tidak mampu menembus kulit yang utuh.
Hidup bersama dengan penderita kusta berpengaruh pada tingkat penularan.
Kontak yang terjadi antar anggota keluarga yang tinggal serumah, memiliki
resiko 8 sampai 10 kali lipat untuk terjadinya kusta tipe multibasiler, dan 2
sampai 4 kali lipat pada penularan kusta tipe pausibasiler. Manusia adalah
reservoir pertama dari M. leprae, sedangkan binatang yang dapat menjadi
reservoir lepra ditemukan pada 3 spesies yaitu armadillo, simpanse dan
mangabey monkey.6.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit kusta, antara
lain:
1. Penyebab
Penyebab penyakit kusta yaitu M. leprae yang mempunyai afinitas yang
besar pada sel Schwann dan sel sistem retikuloendotelial. Pada kondisi

tropis kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai sembilan hari
di luar tubuh manusia.
2. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athymic nude
mouse).
3. Cara Keluar dari Penjamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak mendapat
regimen WHO menunjukkan jumlah kuman yang besar.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi apabila basil M. leprae yang utuh keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan
terjadi melalui kontak yang lama dengan penderita kusta, akan tetapi
penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain.
5. Cara Masuk ke dalam Penjamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penjamu belum diketahui
secara pasti sampai saat ini. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
6. Penjamu (Tuan Rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang terinfeksi kuman kusta setelah kontak dengan
penderita karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi dapat meningkat perubahan klinis penyakit kusta.3.
2.1.4 Patogenesis

Mycobacterium leprae merupakan obligat intraseluler pada sel makrofag


di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan
saraf. Bila basil M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag untuk memfagositosis kuman.
Sel Schwan merupakan target utama infeksi M. leprae yang pada akhirnya
akan mengakibatkan kerusakan saraf, demielinasi. Pengikatan antara M. leprae
akan menginduksi demielinasi dan hilangnya konduktasnsi aksonal. M. leprae
dapat menyerang sel schwan melalui ikatan antara trisakarida spesifik pada
fenolik glikolipid I dengan laminin-2 dalam lamina basalis pada akson sel
Schwann. 2,9.
Pada tipe LL (MB) terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler. Makrofag
tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan
bebas yang kemudian merusak jaringan dan menganggu regenerasi sel saraf.
Pada tipe TT (PB) kemampuan fungsi imunitas seluler masih tinggi.
Makrofag sanggup menghancurkan basil, tetapi setelah basil di fagositosis
makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel
datia Langhans. Bila infeksi ini tidak diatasi akan terjadi reaksi berlebihan
dan terbentuk massa epiteloid yang akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitarnya.
2.1.5 Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya
harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya.
1. Dasar Klasifikasi
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal berikut:

a. Manifestasi klinis, yaitu jumlah lesi kulit, jumlah saraf yang


terganggu.
b. Hasil pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA) positif atau negatif.
2. Tujuan
Klasifikasi penyakit kusta penting untuk menentukan :
a. Jenis pengobatan
b. Lama pengobatan
c. Perencanaan logistik
3. Jenis Klasifikasi
Ada beberapa jenis klasifikasi penyakit kusta yaitu klasifikasi
Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, dan klasifikasi WHO.
Menurut klasifikasi Madrid tahun 1953, digolongkan sebagai berikut:
I : Indeterminate
T : Tuberculoid
L : Lepromatous
B : Borderline
Sedangkan menurut Ridley dan Jopling tahun 1966, klasifikasi penyakit
kusta berdasarkan status imunologisnya sebagai berikut:
I

: Indeterminate

TT

: Tuberculoid Leprosy

BT

: Borderline Tuberculoid

BB

: Borderline Leprosy

BL

: Borderline Lepromatous Leprosy

LL

: Lepromatous Leprosy

Klasifikasi menurut WHO adalah sebagai berikut:


PB : Pausibasiler
MB : Multibasiler

Tabel 1. Klasifikasi kusta menurut WHO.10


Klinis

SLPB

PB

MB

(single lesion

(Paucibacillary)

( Multibacillary)

Jumlah lesi kulit


Pengecatan kerokan lesi
Distribusi
Penebalan Saraf yang

paucibacillary)
Hanya 1 lesi
BTA negatif
-

2-5 lesi
BTA negatif
Asimetris
Hanya 1 saraf

6 lesi atau lebih


BTA positif
Simetris
Lebih dari 1 saraf

disertai gangguan fungsi


Korelasi Ridley - Jopling

I, TT, dan

TT, dan sebagian

Sebagian BT, BB, BL dan

sebagian BT

besar BT

LL

Tabel 2 . Klasifikasi Kusta menurut Ridley-Jopling.9


Tipe

Variabel
Jumlah Lesi

TT

BT (Borderline

BB

BL

LL

(Tuberculoid)

Tuberculoid)

(Borderline)

(Borderline

(Lepromatous)

1-3

Sedikit

Sedikit

Lepromatous)
Banyak

Banyak

atau

beberapa,
Pewarnaan basil

1+

Tes Lepromin
Histologi

3+
2+
Penurunan jumlah sel epitel

asimetris
2+
+

Kerusakan saraf, sarcoid-like granuloma

dan

simetris
3+

4+

+
0
Peningkatan Histiosit, Foam sel,
granuloma, xanthoma-like

2.1.6 Gambaran Klinis


Seseorang dengan penyakit kusta, pada umumnya akan ditemukan
gambaran klinis berupa kelainan syaraf tepi, kelainan kulit dan organ lainnya.
Kelainan syaraf tepi dapat berupa kerusakan yang bersifat sensorik, motorik
dan autonomik. Sensorik biasanya berupa hipoestesi atau anastesi pada kulit
yang terserang. Motorik berupa kelemahan otot, biasanya didaerah
ekstremitas atas, bawah, muka dan otot mata. Autonomik menyerang
persyarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang tampak lebih kering.
Gejala lain adalah adanya pembesaran syaraf tepi terutama yang dekat
permukaan kulit antara lain: n ulnaris, n. aurikularis magnus, n. peroneus
komunis, n. tibialis posterior dan beberapa syaraf tepi lain. Kelainan kulit
bisa berupa hipopigmentasi ataupun eritematous dengan adanya gangguan
estesi yang jelas. Bila gejala berlanjut dapat timbul gejala-gejala akibat
banyaknya kuman yaitu facies leonine ( gejala infiltrasi yang difus di muka),
penebalan cuping telinga, madarosis (penipisan alis mata bagian lateral),
anastesi simetris kedua tangan-kaki (gloves & stocking anastesia).`11,
Berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis

, histopatologis dan

imunologis, menurut Ridley-Jopling penyakit kusta dibagi dalam lima tipe


yaitu tipe tuberkuloid (TT), tipe Borderline tuberkuloid (BT), tipe mid
borderline ( BB), tipe borderline lepromatous ( BL ), dan tipe lepromatous
(LL).9.

Lesi tuberkuloid pada umumnya soliter atau sedikit jumlahnya ( kurang


dari lima lesi) dan distribusinya asimetris. Lesi bisa berupa hipopigmentasi
atau eritematous, biasanya kering, bersisik, dan rambut rontok. Lesi yang
khas pada tipe tuberkuloid permukaan lesi luas, plak eritematous dengan
batas yang tegas, dan tepi yang meninggi dengan bagian tengah lesi yang
atropik atau regresi ( central healing). Lesi sering ditemukan didaerah wajah,
tungkai, atau badan. Pada tipe tuberkuloid dapat ditemukan tanda anestesi
atau hipoestesi dan anhidrosis. Saraf perifer superfisial mengalami penebalan
yang biasanya dapat teraba. Kerusakan saraf pada tipe tuberkuloid akan
menyebabkan perubahan pada otot-otot, diantaranya atrofi otot-otot lengan,
kontraktur jari, paralisis orbital dan otot wajah, dan drop foot. Kerusakan
nervus fasialis akibat kusta ini juga akan meningkatkan resiko terjadinya
gangguan penglihatan.9

Gambar1. Lesi Kusta Tipe Tuberkuloid.9

Lesi kusta tipe borderline tuberkuloid bentuknya menyerupai tipe


tuberkuloid, hanya lebih kecil dan jumlahnya lebih banyak.. Bentuk khas
yang dapat ditemukan adalah adanya lesi satelit di sekitar makula atau plak
yang besar.

Gambar 2. Lesi Kusta tipe borderline tuberkuloid.9

Pada tipe

borderline, lesi kulit berjumlah banyak namun masih dapat

terhitung berupa plak yang eritematous. Lesi satellite dapat ditemukan disekitar
plak yang lebih besar. Lesinya tergeneralisasi tapi asimetris. Saraf mengalami
penebalan dan teraba, sedangkan lesi mengalami anestesi yang sedang.9
Pada tipe borderline lepromatous, lesinya simetris, banyak ( bahkan tak
terhitung) dan dapat berupa makula, papula, plakat dan nodul. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopimentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi. Pasien biasanya tidak
menunjukkan gejala dan tanda klinis seperti pada tipe LL, seperti madarosis,
keratitis, ulkus nasal dan facies leonine.9

Tipe lepromatous leprosy lesi dapat berupa makula yang pucat atau
infiltrasi yang difus pada kulit. Pada tipe ini memiliki kecenderungan menjadi
lebih buruk tanpa pengobatan. Lepromatous leprosy dibagi menjadi bentuk polar
(LLp) dan bentuk subpolar (LLs).
Lesi makula pada lepromatous leprosy berbentuk difus dan terdistribusi
simetris pada tubuh. Makula tuberkuloid memiliki permukaan yang luas dan
sedikit jumlahnya sedangkan makula lepromatous permukaannya lebih kecil dan
banyak. Makula lepromatous sedikit tidak jelas karena makula pucat, maka
tekstur lesi mirip dengan kulit sekitarnya. Pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga, sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin,
lengan , punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Infiltrasi lepromatous dapat dibagi menjadi difus, plak, dan nodular. Tipe
difus memiliki ciri khas berupa infiltrasi difus pada wajah terutama dahi,
madarosis, kulit menjadi tampak berlilin dan mengkilap. Infiltrasi lepromatous
dapat berkembang menjadi bentuk nodul yang disebut lepromas. Nodul sering
muncul pada bagian akral, seperti telinga, hidung, dagu, siku, lengan, bokong atau
kaki. Kerusakan saraf pada lepromatous leprosy selalu terjadi namun berkembang
sangat lambat. Kerusakan saraf ini biasanya simetris bilateral, yang menyebabkan
anestesi dengan pola stocking-gloves anesthesia.9.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasardan cekung membentuk facies leonine yang
dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi

deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.

Gambar 3. Manifestasi Klinis Kulit pada Tipe Lepromatous Leprosy

2.1.7 Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap sangat penting dalam
menegakkan diagnosis kusta.
Pemeriksaan tersebut meliputi :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya.
a.
b.
c.
d.
e.

Sejak kapan keluhan muncul.


Adakah ada riwayat kontak
Adakah anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat sosial
Riwayat pengobatan sebelumnya.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan dermatologis
Pemeriksaan dimulai dari kepala sampai telapak kaki secara
sistematis dengan memperhatikan setiap kelainan kulit yang ada, dan

kecacatan yang terdapat pada tangan dan kaki. Pada pemeriksaan,


inspeksi menggunakan penerangan yang baik. Palpasi jua dilakukan
guna mencari kelainan kulit seperti nodusm infiltrate, jaringan parut
ataupun ulkus. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan rasa raba
pada kelainan kulit.
b. Pemeriksaan saraf tepi
Pemeriksaan dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling sering
terlibat dalam penyakit kusta, dan dapat diraba, seperti n. fascialis, n.
ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus communis, n. tibialis
posterior, dan n. aurikularis magnus. Pemeriksaan meliputi,perabaan
penebalan saraf, fungsi motorik dan fungsi sensorik. Perabaan
dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti pasien.
Pada saat meraba saraf, perhatikan:
- Apakah ada penebalan/pembesaran.
- Apakah saraf kanan dan kiri sama besar atau berbeda.
-Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.
Dari beberapa saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba
yaitu saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialis posterior.
Pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik meliputi fungsi n.
facialis, n. ulnaris dan n. medianus, n. radialis, n. peroneus communis,
dan n. tibialis posterior.
3. Pemeriksaan Bakteriologis
Slit skin smear atau skin smear adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi
pewarnaan Zielhl Nielsen untuk melihat Mycobacterium leprae. Kerokan
dilakukan pada kedua cuping telinga dan lesi kulit yang aktif. Jika tidak
ada lesi kulit yang sesuai, kerokan dapat dilakukan dari lokasi yang

sebelumnya diketahui aktif atau lokasi dimana kerokan sebelumnya


positif. Kerokan pada kulit muka sebaiknya dihindarkan karena alas an
kosmetik, kecuali tidak ditemukan kelainan kulit ditempat lain.
Bentuk bentuk kuman yang dapat ditemukan dalam lapangan
mikroskop diantara adalah:
a. Bentuk utuh (solid)
1. Dinding sel tidak putus
2. Menyerap zat warna secara merata
3. Panjang kuman 4 kali lebarnya
b. Bentuk fragmented
1. Dinding sel terputus sebagian atau seluruhnya
2. Penyerapan zat warna tidak merata
c. Bentuk granular (granulated)
Terlihat seperti titik-titik tersusun garis lurus atau berkelompok.
d. Bentuk Globus
Beberapa BTA utuh atau fragmented/granulated membentuk
suatu ikatan atau berkelompok. Kelompok kecil berisi 40-60
BTA. Kelompok besar 200-300 BTA.
e. Bentuk clumps
Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri
(lebih dari 500 BTA)
Kepadatn kuman pada pemeriksaan dinyatakan dalam indeks bakteri
dan

juga

indeks

morfologi.

Indeks

bakteri

merupakan

ukuran

semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus. Indeks bakteri


berguna untuk menentukan tipe kusta dan menilai hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan berdasarkan skala logaritma Ridley.

Indeks morfologi merupakan presentase basil kusta, bentuk utuh (solid)


terhadap seluruh BTA. Sebaiknya dicari lapang pandang yang paling baik,
artinya tidak ada globus/clumps. Jika tidak ada, ambil lapangan pandang
yang paling sedikit mengandung globus/clumps.

Indeks morfologi

berguna untuk mengetahui daya penularan kuman juga untuk menilai hasil
pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.3
IM = Jumlah BTA yang utuh X 100 %
Jumlah seluruh BTA
4. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis kusta antara lain adalah pemeriksaan histopatologi
dan pemeriksaan serologis.
Pada

pemeriksaan

Histopatologi,

kusta

tipe

tuberkuloid

akan

memberikan gambaran histopatologik berupa tuberkel dan kerusakan saraf


yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe
lepromatous terdapat gambaran subepidermal clear zone,

yaitu suatu

daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.


Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibody anti
phenolic glycoipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibody yang tidak spesifik antara lain antibody antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
tuberculosis.

kuman M.

Kegunaan pemeriksaan serologic ini ialah dapat membantu diagnosis


kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit. Macam-macam tes serologic diantaranya adalah
lepromin test, MLPA (mycobacterium leprae particle agglutination), PCR
(polymerase chain reaction).8

2.1.8 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala
utama), yaitu:
a.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian terhadap rasa
sentuh, suhu, dan nyeri.
b.

Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu:
-

Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbukan


rambut terganggu.

c.Ditemukan basil tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Terkadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan sebagai suspek dan penderita perlu
diamati ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta ditegakkan atau
disingkirkan.12.

Gambar 4. Alur diagnosis dan klasifikasi Kusta.3


2.1.9 Diagnosis Banding
Secara klinis, banyak penyakit kulit yang menyerupai kelainan kulit pada
kusta. Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan penyakit kusta antara lain
adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Psoriasis
Tinea circinata
Dermatitis Seboroik
Vitiligo
Pitiriasis Versikolor

6.
7.
8.
9.

Pitiriasi Alba
Neurofibromatosis
Sarkoma Kaposi
Veruka vulgaris.2,3

2.1.10. Penatalaksanaan
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan kusta memiliki 5 tujuan utama, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Memutuskan mata rantai penularan


Mencegah resistensi obat
Memperpendek masa pengobatan
Meningkatkan keteraturan berobat
Mencegah terjadinya kecacatan atau mencegah bertambahnya cacat
yang sudah ada sebelum pengobatan.

Dengan tercapainya tujuan pengobatan tersebut maka sumber penularan


dari pasien, terutaman MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi
sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.
Bila pasien tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat
menjadi resisten/kebal terhdap MDT, sehingga gejala penyakit menetap
bahkan memburuk dan gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf.
b. Regimen Pengobatan MDT
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai antikusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta yang lain bersifat
bekteriostatik.
Regimen pengobatan MDT ini diberikan kepada pasien dengan
pengelompokan sebagai berikut:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:

a.
b.
c.
d.

Relaps
Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
Pindahan
Ganti klasifikasi/tipe kusta.

Regimen pengobatan MDT sesuai dengan rekomendasi dari WHO.


Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pasien Pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
Rifampisin 600 mg
DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
DDS 100mg
2. Pasien Multibasiler
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
Rifampisin 600 mg
Lampren 300 mg
DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 22-28
Lampren 50 mg
DDS 100 mg
3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
DDS 50 MG
4. Dosis MDT MB untuk anak umur (10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
3 tablet lampren @50 mg (150 mg)
1 tablet DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet lamprene 50 mg selang satu hari


1 tablet DDS 50 mg.

Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:

Rifampisin : 10-15 mg/KgBB


Dapson
: 1-2 mg/KgBB
Lamprene : 1 mg/kgBB

Pada pasien yang mengalami intoleransi terhadap pengobatan yang


diberikan, terdapat beberapa obat alternative yang dapat digunakan
sebagai pengganti, diantaranya:

Minocycline, 100 mg/hari, yang dapat digunakan oleh pasien yang

tidak toleran terhadap penggunaan dapsone.


Clarithromycin, 500 mg/hari, juga efektif terhadap M. leprae dan

dapat digunakan sebagai pengganti beberapa obat pada MDT.


Ofloxacin, 400 mg/hari, juga dapat digunakan sebagai obat
pengganti sebagaimana Clofazimine, untuk dewasa. Obat ini tidak
dianjurkan untuk anak-anak.3,13

Tabel 3. Tatalaksana Kusta Tipe PB pada anak.3

Tabel 4. Tatalaksana Kusta Tipe MB pada anak.3

Terapi pasien dengan keadaan khusus, seperti pada ibu hamil dan menyusui,
MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya. Sedangkan terapi pada pasien dengan
tuberculosis, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan
bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberculosis.
a. Untuk Pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan depson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
b. Untuk Pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Untuk kusta cukup dengan dapson dan lamprene karena rifampisin sudah
diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka

waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka pengobatan


kusta kembali sesuai blister MDT.

2.2. Reaksi Kusta


2.2.1 Terminologi
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta merupakan reaksi
hipersensitivitas, yaiu hipersensitivitas seluler (reaksi tipe 1/ reversal), saat
terjadinya peningkatan cellular mediated immunity (CMI) atau hipersensitivitas
humoral (reaksi tipe 2/eritema nodosum leprosum). Bila reaksi tidak didiagnosis
dan diobati secara cepat dan tepat maka dapat berakibat merugikan pasien. Jika
reaksi mengenai saraf tepi akan menyebabkan gangguan fungsi saraf yang
akhirnya dapat menyebabkan kecacatan.
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi
selama atau setelah pengobatan. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum
jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.
Tabel 5. Faktor pencetus reaksi tipe 1 dan tipe 2.3

Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. Reaksi
tipe 1 disebabkan oleh cell-mediated immune inflammation pada lesi kulit. Pada
umumnya terjadi pada pasien kusta tipe borderline leprosy ( BT, BB, BL). Reaksi
tipe 2 dimediasi oleh kompleks imun dan terjadi pada pasien lepromatous
(BL,LL).9
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 terjadi karena respon cell-mediated immune terhadap M. leprae,
dan umumnya terjadi selama pengobatan diberikan. Semua pasien kusta
dengan tipe borderline dapat dipengaruhi oleh reaksi tipe 1, tetapi yang
paling parah adalah pada pasien borderline lepromatous karena memiliki
antigen M. leprae dalam jumlah yang banyak sehingga terjadi reaksi yang
lama dan berulang.
Sebagai akibat reaksi cell-mediated inflammation menyerang antigen M.
leprae, kompartemen jaringan yang terinfeksi akan mengalami kerusakan.
Reaksi reversal yang terjadi dalam saraf dapat menyebabkan kehilangan
fungsi saraf secara tiba-tiba, dan menyebabkan kerusakan yang permanen
pada saraf tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kegawatdaruratan reaksi tipe
1. Pada keadaan ini saraf akan mengalami penebalan. Pada beberapa pasien
mungkin bisa ditemukan neuritis yang bersifat akut, subakut, atau kronis,
tetapi tetap dapat mengakibatkan kerusakan saraf yang berat. Secara
histologist, lesi kulit menunjukkan adanya perivaskuler dan edem perineural
serta peningkatan jumlah limfosit. Reaksi ini juga bisa menunjukkan
terjadinya nekrosis jaringan.9.
Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf
dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya perubahan berupa sebagian
atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru

dalam waktu yang relative singkat; artinya lesi hipopigmentasi menjadi


eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematous, lesi makula/bercak menjadi
infiltrate/plakat, lesi plakat makin infiltrative dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Pada saraf terjadi neuritis akut, berupa nyeri saraf dan atau
gangguan fungsi saraf.

Gambar4. Reaksi Tipe 1.2

2. Reaksi Tipe 2
Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan borderline
lepromatous). Merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen (M.leprae)
dan antibody pasien yang akan mengaktifkan system komplemen sehingga
terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan
respon inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar
dalam sirkulasi darah, kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai
organ, terutama pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi
tinggi, seperti pada kulit (ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis),
tulang (arthritis), ginjal (nefritis) dan testis (orkitis).
Erythema nodosum leprosum (ENL) terjadi pada hamper separuh pasien dengan
borderline lepromatous atau lepromatous leprosy, terapi antibiotic , dan selama

kehamilan. Lesi kulit berupa eritematous, nodul yang terdistribusi secara luas.
Lesi kulit yang parah dapat terjadi ulkus.
ENL adalah penyakit multisystem dan dapat mengakibatkan konjungtivitis,
neuritis, keratitis, iritis, sinovitis, nefritis, hepatosplenomegali, orchitis, dan
limfodenopati. Intensitas reaksi dapat bervariasi dari ringan sampai berat dan
dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bulan atau bahkan
bertahun-tahun.

Secara

histologist,

ENL

menunjukkan

vasakulitis

leukositoklastik. Dan secara laboratorium menunjukkan tingkat sedimentasi yang


tinggi, penigkatan C-reactive protein dan neutrofilia.9

Gambar 5. Reaksi tipe 2 berupa ENL.


Bentuk reaksi yang berat, nodul mengalami kerusakan, mengeluarkan pus.5

Tabel 6. Perbedaan Reaksi Ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2.3

Tabel 7. Perbedaan ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan tipe 2.3

2.2.2 Tatalaksana Reaksi


Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu dilakukan
identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai
dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan
kecacatan (POD), seperti:

Adanya lagoptalmus baru yang terjadi 6 bulan terakhir


Adanya nyeri raba saraf tepi
Adanya kekuatan otot yang berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
Adanya bercak pecah atau nodul pecah
Adanya bercak akatif (meradang) diatas lokasi sarafa tepi

Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi.
Obat anti reaksi terdiri atas:

Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)


Cara pemberiannya adalah sesuai skema sebagai berikut:

Lampren (untuk reaksi tipe 2)


Obat ini digunakan untuk penanganan /pengobatan reaksi ENL yang
berulang ( steroid dependent). Cara pemberiannya sesuai dengan skema
berikut:

Thalidomid (untuk reaksi tipe 2). Obat ini tidak dipergunakan dalam

program.
a. Tatalaksana reaksi ringan
Prinsip pengobatan pada reaksi ringa adalah sebagai berikut:
1. Berobat jalan, istirahat dirumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik,
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
b. Tatalaksana reaksi berat
Prinsip pengobatan pada reaksi berat adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi local/istirahat dirumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik
3. MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah
4. Menghindari faktor pencetus
5. Memberikan obat antireaksi
6. Bila ada indikasi rawat inap maka pasien dikirim ke rumah sakit
7. Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan lampren.3

Pengobatan reaksi berat dapat dilihat pada table berikut:


Tabel 8. Pengobatan Pada Reaksi Berat.3

Pada kondisi reaksi tertentu diperlukan untuk dilakukan rujukan ke rumah sakit.
Berikut adalah kondisi reaksi yang sebaiknya dilakukan di unit rujukan:
a. ENL melepuh, pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis
b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
c. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat,misalnya hepatitis,
DM, hipertensi, dan tukak lambung yang berat.

2.3 Kecacatan Kusta


2.3.1 Definisi Istilah
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat kusta adalah:
a. Impairment: Segala kehilangan atau abnormalitas struktur dan fungsi yang
bersifat fisiologis maupun anatomis.
b. Disability:Segala

keterbatasan

(akibat

impairment)

untuk

melakukankegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi


manusia.
c. Deformity: Terjadinya kelainan struktur anatomis.
d. Handicap: Ketidakmampuan melakukan fungsi sosial yang normal.
Handicap ini merupakan efekpenyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
e. Dehabilitation: Merupakan proses penderita kusta kehilangan statussosial,
sehingga terisolasi dari masyarakat dan teman-temannya.
f. Destitution: Dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh
dari seluruh masyarakat.14

2.3.2 Jenis Cacat


Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok, yaitu:

a. Cacat primer
Pada kelompok cacat ini disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadapM. Leprae, seperti
anestesi , claw hand dan kulit kering
b. Cacat Sekunder
Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom, seperti ulkus dan kontraktur. 3

2.3.3 Proses terjadinya kecacatan


Terjadinya kecacatan tergantung dari fungsi serta saraf mana yang
rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi melalui 2
proses:
a. Infiltrasi langsung M.leprae ke susunan saraf tepi dan organ (missal:
mata)
b. Melalui reaksi kusta
Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang
terkena , dapat sensoris, motoris, otonom maupun kombinasi antara
ketiganya.
Proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf,
dapat digambarkan melalui skema berikut:

2.3.4 Tingkat
menurut

cacat
WHO

Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap


kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap pasien baru yang
ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya, Tiap organ (mata, tangan dan kaki)
diberi tingkat cacat sendiri. Tingkat cacat kusta menurut WHO akan disajikan
dalam tabel berikut:

Tabel 9 . Tingkat cacat kusta menurut WHO.3

2.3.5 Upaya Pencegahan Kecacatan


Upaya pencegahan cacat bertujuan untuk mencegah timbulnya cacat
setelah diagnosis ditegakkan, mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak
menjadi lebih berat, dan mencegah agar kecacatan yang membaik tidak
memburuk. Pencegahan ini harus dilakukan oleh petugas kesehatan, penderita
sendiri dan keluarganya. Selain itu perlu mengubah pandangan masyarakat
bahwa kusta identik dengan deformitas atau disability. Upaya pencegahan ada
dua macam, yaitu:
a. Upaya pencegahan primer kecacatan :
- Diagnosis dini.
- Pengobatan secara teratur dan adekuat.
- Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis.
- Diagnosis dan penatalaksanaan reaksi kusta.
b. Upaya pencegahan sekunder kecacatan:
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
-

mencegah kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapatkan tekanan berlebihan.

Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi sehingga saat proses

penyembuhan tidak banyak jaringan yang hilang.


Perawatan mata, tangan, dan kaki yang anastesi atau mengalami
kelumpuhan otot.
Upaya pencegahan cacat dapat dilakukan di rumah, puskesmas maupun

unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan.
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman
kusta tetapi pada keadaan yang sudah terlanjur cacat, pengobatan tidak bisa
mengembalikan kondisi fisik seperti semula. Oleh karena itu, penderita harus
bisa melakukan perawatan diri dengan rajin supaya kecacatan tidak
bertambah berat.
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada sadarnya
adalah 3M, yaitu:
1. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
3. Merawat diri
Pencatatan dan pelaporan kerusakan saraf merupakan bagian yang sangat
penting dalam mencegahan timbulnya cacat kusta. Pencatatan dilakukan
oleh petugas kesehatan sebaiknya rutin tiap bulan dan penderita melaporkan
perubahan-perubahan yang terjadi terutama pada mata, tangan dan kaki.3.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Ahmad, S., Hartono, B., Kusumobroto, B.S., et al. 2008.Profil Kesehatan


Indonesia 2006. Jakarta : Departemen Kesehatan RI

2.

Wolff, Klaus et all; Katz, Stephen I; Gilchrest, Barbara A.; Paller Leffel,
Davis J,: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 8th Edition Volume
Two, New York, Mc Graw Hill Medical, 2012, p : 2253-2262

3.

Tim Editor. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta.Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit

4.

Wolff, K. and Johnson, R.A: Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of


Clinical Dermatology 6th Edition, New York, Mc Graw Hill Medical, 2009,
page: 665-670

5.

Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths. 2010. Leprossy. Rooks
Textbook of Dermatology 8th Edition, page: 1469-1488

6.

Smith, D.S., Katta, S.R., and Lopez, F,A. 2014. Leprosy. Publication:
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview.

7.

Tim Editor. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012.
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur.

8.

Kosasih, A., Wisnu, I,M., Daili, E.M., dan Menaldi, S.L. 2010. Kusta. Dalam:
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, (hal.73-88)

9.

James, W.D., Berger, T.G., and Elston, D.M. 2011. Andrew Diseases of The
Skin Clinical Dermatology 11th edition, China:Saunders Elsevier, page: 343353.

10. Hargrave, J., Wallace, T., and Lush, Doug. 2010. Guidelines for the Control
of Leprosy in the Northern Territory 2010. Department of Health and
Families, 3rd Edition, page: 1-65.
11. Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., dan Suyoso, S. 2013. Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 2. Surabaya.Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).Hal: 41-54.
12. Amirudin, MD, Hakim, Z & Darwis, E 2003, Diagnosis Penyakit Kusta,
dalam Sjamsoe-Daili, ES, et al. (eds.), Kusta, Edisi Kedua, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta; hh. 12-32.

13. Hansens Disease (Leprosy). Infectius Disease Epidemiology Section Office


of Public Health, Louisiana Department of Health and Hospital. Revised
08/22/2010.
14. Wisnu, IM & Hadilukito, G 2003, Pencegahan Cacat Kusta, dalam
Sjamsoe-Daili, ES., et al. (eds.), Kusta, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta; hh. 83-93.

Anda mungkin juga menyukai