PENDAHULUAN
bagian atas, mata, testis dan organ lain kecuali susunan saraf pusat. Pada kasus
yang tidak segera mendapat terapi yang adekut, maka infeksi ini dapat
menimbulkan kecacatan dari yang ringan hingga berat seperti anestesi , claw hand
kulit kering , ulkus dan bahkan kontraktur.2,3.
Tingginya angka kejadian kasus kusta dan kompleksnya masalah yang
diakibatkan, maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan terkait Penyakit
kusta berdasarkan hasil observasi dalam kunjungan di Rumah Sakit Kusta
Sumberglagah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi
Penyakit kusta merupakan suatu infeksi granulomatosa kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf
perifer dan kulit. Selanjutnya infeksi ini juga menyerang mukosa traktus
respiratorius bagian atas, mata, testis dan organ lain kecuali susunan saraf
pusat.2,4
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit kusta merupakan salah satu masalah kesehatan dalam
masyarakat. Penyakit ini memiliki insidensi sekitar 250.000 kasus baru setiap
tahun, dengan angka kejadian yang tinggi pada kasus anak-anak.5.
Menurut data WHO dan kasus yang dilaporkan oleh 130 negara, angka
kejadian kusta dari tahun 2004 sampai 2010 telah menurun yakni dari
407.791 kasus baru menjadi 228.474 kasus baru. Dari kasus baru yang
dilaporkan, 95% kasus yang terdeteksi diseluruh dunia selama tahun 2010
terjadi di negara-negara berikut: Angola, Bangladesh, Brazil, China, Republik
Kongo, India, Ethiopia, Indonesia, Madagaskar, Mozambik, Myanmar,
Nepal, Nigeria, Filipina, Sri Lanka, Sudan, dan Tanzania. Negara-negara
tersebut hingga kini masih tetap menjadi kantong penyakit kusta dengan
endemisitas yang tinggi dan 76% kasus diseluruh dunia berada di Brazil,
India, dan Indonesia.6.
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075
dan paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara.
Tabel 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012
Regional WHO
Afrika
Amerika
Asia Tenggara
Mediterania timur
Pasifik barat
12.673 (3,14)
36.832 (4,18)
15.006 (0,37)
34.801 (0,40)
160.132 (8,75)
117.147 (0,64)
4.346 (0,71)
7.638 (0,12)
5.092(0,3)
7.619 (0,05)
Total
181.941 (0,34)
219.075 (4,06)
2.1.3 Etiologi
tropis kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai sembilan hari
di luar tubuh manusia.
2. Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thimus (Athymic nude
mouse).
3. Cara Keluar dari Penjamu (Host)
Kuman kusta banyak ditemukan di mukosa hidung manusia. Suatu
kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak mendapat
regimen WHO menunjukkan jumlah kuman yang besar.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi apabila basil M. leprae yang utuh keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis penularan
terjadi melalui kontak yang lama dengan penderita kusta, akan tetapi
penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan kepada orang lain.
5. Cara Masuk ke dalam Penjamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penjamu belum diketahui
secara pasti sampai saat ini. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.
6. Penjamu (Tuan Rumah = Host)
Hanya sedikit orang yang terinfeksi kuman kusta setelah kontak dengan
penderita karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat
intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi dapat meningkat perubahan klinis penyakit kusta.3.
2.1.4 Patogenesis
: Indeterminate
TT
: Tuberculoid Leprosy
BT
: Borderline Tuberculoid
BB
: Borderline Leprosy
BL
LL
: Lepromatous Leprosy
SLPB
PB
MB
(single lesion
(Paucibacillary)
( Multibacillary)
paucibacillary)
Hanya 1 lesi
BTA negatif
-
2-5 lesi
BTA negatif
Asimetris
Hanya 1 saraf
I, TT, dan
sebagian BT
besar BT
LL
Variabel
Jumlah Lesi
TT
BT (Borderline
BB
BL
LL
(Tuberculoid)
Tuberculoid)
(Borderline)
(Borderline
(Lepromatous)
1-3
Sedikit
Sedikit
Lepromatous)
Banyak
Banyak
atau
beberapa,
Pewarnaan basil
1+
Tes Lepromin
Histologi
3+
2+
Penurunan jumlah sel epitel
asimetris
2+
+
dan
simetris
3+
4+
+
0
Peningkatan Histiosit, Foam sel,
granuloma, xanthoma-like
, histopatologis dan
Pada tipe
terhitung berupa plak yang eritematous. Lesi satellite dapat ditemukan disekitar
plak yang lebih besar. Lesinya tergeneralisasi tapi asimetris. Saraf mengalami
penebalan dan teraba, sedangkan lesi mengalami anestesi yang sedang.9
Pada tipe borderline lepromatous, lesinya simetris, banyak ( bahkan tak
terhitung) dan dapat berupa makula, papula, plakat dan nodul. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopimentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi. Pasien biasanya tidak
menunjukkan gejala dan tanda klinis seperti pada tipe LL, seperti madarosis,
keratitis, ulkus nasal dan facies leonine.9
Tipe lepromatous leprosy lesi dapat berupa makula yang pucat atau
infiltrasi yang difus pada kulit. Pada tipe ini memiliki kecenderungan menjadi
lebih buruk tanpa pengobatan. Lepromatous leprosy dibagi menjadi bentuk polar
(LLp) dan bentuk subpolar (LLs).
Lesi makula pada lepromatous leprosy berbentuk difus dan terdistribusi
simetris pada tubuh. Makula tuberkuloid memiliki permukaan yang luas dan
sedikit jumlahnya sedangkan makula lepromatous permukaannya lebih kecil dan
banyak. Makula lepromatous sedikit tidak jelas karena makula pucat, maka
tekstur lesi mirip dengan kulit sekitarnya. Pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga, sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin,
lengan , punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Infiltrasi lepromatous dapat dibagi menjadi difus, plak, dan nodular. Tipe
difus memiliki ciri khas berupa infiltrasi difus pada wajah terutama dahi,
madarosis, kulit menjadi tampak berlilin dan mengkilap. Infiltrasi lepromatous
dapat berkembang menjadi bentuk nodul yang disebut lepromas. Nodul sering
muncul pada bagian akral, seperti telinga, hidung, dagu, siku, lengan, bokong atau
kaki. Kerusakan saraf pada lepromatous leprosy selalu terjadi namun berkembang
sangat lambat. Kerusakan saraf ini biasanya simetris bilateral, yang menyebabkan
anestesi dengan pola stocking-gloves anesthesia.9.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, garis muka menjadi kasardan cekung membentuk facies leonine yang
dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi
deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan dermatologis
Pemeriksaan dimulai dari kepala sampai telapak kaki secara
sistematis dengan memperhatikan setiap kelainan kulit yang ada, dan
juga
indeks
morfologi.
Indeks
bakteri
merupakan
ukuran
Indeks morfologi
berguna untuk mengetahui daya penularan kuman juga untuk menilai hasil
pengobatan dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.3
IM = Jumlah BTA yang utuh X 100 %
Jumlah seluruh BTA
4. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis kusta antara lain adalah pemeriksaan histopatologi
dan pemeriksaan serologis.
Pada
pemeriksaan
Histopatologi,
kusta
tipe
tuberkuloid
akan
yaitu suatu
kuman M.
2.1.8 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala
utama), yaitu:
a.Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian terhadap rasa
sentuh, suhu, dan nyeri.
b.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Terkadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan sebagai suspek dan penderita perlu
diamati ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta ditegakkan atau
disingkirkan.12.
Psoriasis
Tinea circinata
Dermatitis Seboroik
Vitiligo
Pitiriasis Versikolor
6.
7.
8.
9.
Pitiriasi Alba
Neurofibromatosis
Sarkoma Kaposi
Veruka vulgaris.2,3
2.1.10. Penatalaksanaan
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan kusta memiliki 5 tujuan utama, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
a.
b.
c.
d.
Relaps
Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
Pindahan
Ganti klasifikasi/tipe kusta.
Terapi pasien dengan keadaan khusus, seperti pada ibu hamil dan menyusui,
MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya. Sedangkan terapi pada pasien dengan
tuberculosis, maka pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan
bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai dosis untuk tuberculosis.
a. Untuk Pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan depson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
b. Untuk Pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Untuk kusta cukup dengan dapson dan lamprene karena rifampisin sudah
diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka
Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. Reaksi
tipe 1 disebabkan oleh cell-mediated immune inflammation pada lesi kulit. Pada
umumnya terjadi pada pasien kusta tipe borderline leprosy ( BT, BB, BL). Reaksi
tipe 2 dimediasi oleh kompleks imun dan terjadi pada pasien lepromatous
(BL,LL).9
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 terjadi karena respon cell-mediated immune terhadap M. leprae,
dan umumnya terjadi selama pengobatan diberikan. Semua pasien kusta
dengan tipe borderline dapat dipengaruhi oleh reaksi tipe 1, tetapi yang
paling parah adalah pada pasien borderline lepromatous karena memiliki
antigen M. leprae dalam jumlah yang banyak sehingga terjadi reaksi yang
lama dan berulang.
Sebagai akibat reaksi cell-mediated inflammation menyerang antigen M.
leprae, kompartemen jaringan yang terinfeksi akan mengalami kerusakan.
Reaksi reversal yang terjadi dalam saraf dapat menyebabkan kehilangan
fungsi saraf secara tiba-tiba, dan menyebabkan kerusakan yang permanen
pada saraf tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kegawatdaruratan reaksi tipe
1. Pada keadaan ini saraf akan mengalami penebalan. Pada beberapa pasien
mungkin bisa ditemukan neuritis yang bersifat akut, subakut, atau kronis,
tetapi tetap dapat mengakibatkan kerusakan saraf yang berat. Secara
histologist, lesi kulit menunjukkan adanya perivaskuler dan edem perineural
serta peningkatan jumlah limfosit. Reaksi ini juga bisa menunjukkan
terjadinya nekrosis jaringan.9.
Gejala reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf
dalam bentuk peradangan. Pada kulit umumnya perubahan berupa sebagian
atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru
2. Reaksi Tipe 2
Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien tipe MB (lepromatous leprosy dan borderline
lepromatous). Merupakan reaksi humoral berupa reaksi antigen (M.leprae)
dan antibody pasien yang akan mengaktifkan system komplemen sehingga
terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan
respon inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar
dalam sirkulasi darah, kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai
organ, terutama pada lokasi dimana M. leprae berada dalam konsentrasi
tinggi, seperti pada kulit (ENL), saraf (neuritis), limfonodus (limfadenitis),
tulang (arthritis), ginjal (nefritis) dan testis (orkitis).
Erythema nodosum leprosum (ENL) terjadi pada hamper separuh pasien dengan
borderline lepromatous atau lepromatous leprosy, terapi antibiotic , dan selama
kehamilan. Lesi kulit berupa eritematous, nodul yang terdistribusi secara luas.
Lesi kulit yang parah dapat terjadi ulkus.
ENL adalah penyakit multisystem dan dapat mengakibatkan konjungtivitis,
neuritis, keratitis, iritis, sinovitis, nefritis, hepatosplenomegali, orchitis, dan
limfodenopati. Intensitas reaksi dapat bervariasi dari ringan sampai berat dan
dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu, bulan atau bahkan
bertahun-tahun.
Secara
histologist,
ENL
menunjukkan
vasakulitis
Tabel 6. Perbedaan Reaksi Ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2.3
Tabel 7. Perbedaan ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan tipe 2.3
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi.
Obat anti reaksi terdiri atas:
Thalidomid (untuk reaksi tipe 2). Obat ini tidak dipergunakan dalam
program.
a. Tatalaksana reaksi ringan
Prinsip pengobatan pada reaksi ringa adalah sebagai berikut:
1. Berobat jalan, istirahat dirumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik,
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
b. Tatalaksana reaksi berat
Prinsip pengobatan pada reaksi berat adalah sebagai berikut:
1. Imobilisasi local/istirahat dirumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik
3. MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah
4. Menghindari faktor pencetus
5. Memberikan obat antireaksi
6. Bila ada indikasi rawat inap maka pasien dikirim ke rumah sakit
7. Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednisone dan lampren.3
Pada kondisi reaksi tertentu diperlukan untuk dilakukan rujukan ke rumah sakit.
Berikut adalah kondisi reaksi yang sebaiknya dilakukan di unit rujukan:
a. ENL melepuh, pecah (ulserasi) suhu tubuh tinggi, neuritis
b. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis
c. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat,misalnya hepatitis,
DM, hipertensi, dan tukak lambung yang berat.
keterbatasan
(akibat
impairment)
untuk
a. Cacat primer
Pada kelompok cacat ini disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadapM. Leprae, seperti
anestesi , claw hand dan kulit kering
b. Cacat Sekunder
Cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat kerusakan
saraf sensorik, motorik, dan otonom, seperti ulkus dan kontraktur. 3
2.3.4 Tingkat
menurut
cacat
WHO
mencegah kontraktur.
Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapatkan tekanan berlebihan.
unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan.
Penderita harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman
kusta tetapi pada keadaan yang sudah terlanjur cacat, pengobatan tidak bisa
mengembalikan kondisi fisik seperti semula. Oleh karena itu, penderita harus
bisa melakukan perawatan diri dengan rajin supaya kecacatan tidak
bertambah berat.
Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada sadarnya
adalah 3M, yaitu:
1. Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur
2. Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik
3. Merawat diri
Pencatatan dan pelaporan kerusakan saraf merupakan bagian yang sangat
penting dalam mencegahan timbulnya cacat kusta. Pencatatan dilakukan
oleh petugas kesehatan sebaiknya rutin tiap bulan dan penderita melaporkan
perubahan-perubahan yang terjadi terutama pada mata, tangan dan kaki.3.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Wolff, Klaus et all; Katz, Stephen I; Gilchrest, Barbara A.; Paller Leffel,
Davis J,: Fitzpatricks Dermatology in General Medicine, 8th Edition Volume
Two, New York, Mc Graw Hill Medical, 2012, p : 2253-2262
3.
4.
5.
Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths. 2010. Leprossy. Rooks
Textbook of Dermatology 8th Edition, page: 1469-1488
6.
Smith, D.S., Katta, S.R., and Lopez, F,A. 2014. Leprosy. Publication:
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview.
7.
Tim Editor. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012.
Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur.
8.
Kosasih, A., Wisnu, I,M., Daili, E.M., dan Menaldi, S.L. 2010. Kusta. Dalam:
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, (hal.73-88)
9.
James, W.D., Berger, T.G., and Elston, D.M. 2011. Andrew Diseases of The
Skin Clinical Dermatology 11th edition, China:Saunders Elsevier, page: 343353.
10. Hargrave, J., Wallace, T., and Lush, Doug. 2010. Guidelines for the Control
of Leprosy in the Northern Territory 2010. Department of Health and
Families, 3rd Edition, page: 1-65.
11. Murtiastutik, D., Ervianti, E., Agusni, I., dan Suyoso, S. 2013. Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 2. Surabaya.Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair
(AUP).Hal: 41-54.
12. Amirudin, MD, Hakim, Z & Darwis, E 2003, Diagnosis Penyakit Kusta,
dalam Sjamsoe-Daili, ES, et al. (eds.), Kusta, Edisi Kedua, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta; hh. 12-32.