Anda di halaman 1dari 9

Agonis -2

1.

Salbutamol
a.

Sifat fisiko kimia dan rumus kimia


Salbutamol berupa serbuk berbentuk kristal, warnanya putih atau hampir
putih. Salbutamol larut dalam alkohol, sedikit larut dalam air, serta terlimdung
dari cahaya.
Salbutamol memiliki rumus kimia: 2 Hydroxy 4-1 cl Hydroxy 2 tertButylamino-1-(4-hydroxy-3-hydroxymethylphenyl).

b.

Farmakologi umum
Salbutamol termasuk dalam golongan agonis -2. Obat golongan
ini digunakan untuk mengobati dan mencegah bronkospasme pada asma, dengan
cara merelelaksasi otot, mendilatasi dan membuka jalan napas.. Selain bekerja
sebagai bronkodilatasi, agonis -2 meningkatkan fungsi clearance silia dan
mengurangi edema dengan menghambat kebocoran kapiler (Dunn dkk, 2000).
Agonis -2 bekerja dengan mengaktifkan kompleks reseptor -adenil
siklase yang mengkatalisasi produksi adenosine monofosfat (AMP) dari
adenosine trifosfat (ATP), hingga mengakibatkan peningkatan kadar cAMP.
cAMP menurukan konsentrasi kalsium dan mengaktivasi protein kinase A di
dalam paru-paru. Penurunan konsentrasi kalsium dan aktivasi protein kinase A
menyebabkan aktivasi dari rantai ringan miosin fosfatase dan menginaktivasi
rantai ringkan miosin kinase. Agonis -2 juga menkonduksi membran potassium

melalui konduksi kalsium. Kombinasi peningkatan cAMP, penurunan kalsium


intraselular, peningkatan

konduksi membran potasium dan penurunan rantai

ringan miosin kinase dalam sel menyebabkan relaksasi otot polos bronkus. Efek
ini menyebabkan stabilisasi sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan
mediator kimia.
c.

Farmakodinamik
Salbutamol biasanya digunakan untuk mencegah dan mengobati
bronkospasme pada asma akibat alergi atau asma akibat aktivitas tubuh
berlebihan, bronkitis kronis, emfisema, serta pada penyakit obstruksi kronik paruparu lainnya.
Penyakit asma disebabkan kepekaan saluran pernafasan yang berlebih
(hipersensitif) sehingga mudah bereaksi pada zat yang masuk ke saluran napas.
Reaksi terhadap benda asing berupa penyempitan atau pemblokan saluran napas,
ditandai dengan nafas berbunyi, batuk, tersengal, dan penyempitan rongga dada.
Kondisi yang memicu asma adalah, inflamasi (iritasi atau peradangan) atau
bronkokonstriksi (kontraksi otot di saluran pernafasan) (Anonim, 2006)
Salbutamol merupakan obat yang sering digunakan untuk gangguan
pernapasan. Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman
dan paling efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan
asma. Selain untuk membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga
efektif untuk mencegah timbulnya exercise-induced bronkospasme (penyempitan
saluran pernafasan akibat olahraga).
Salbutamol juga digunakan di obstetri, salbutamol IV dapat digunakan
sebagai tokolitik untuk relaksasi otot polos uterin, untuk menunda kelahiran
prematur.
Salbutamol digunakan untuk pengobatan hiperkalemia karena salbutamol
dapat meningkatkan potassium dalam sel dan menurunkannya dalam aliran darah
(Ahee, 2000)

Salbutamol juga sedang dicoba sebagai penggobatan spinal muscular


atrophy, dengan meningkatkan protein SMN yang berkurang pada penyakit ini
(Lewelt, 2011)
Kontra indikasi Salbutamol pada pasien yang hipersensitif terhadap
salbutamol, juga pada penderita hipertiroid (meningkatkan metabolisme),
insufisiensi miokardial, aritmia, rentan terhadap perpanjangan interval QT
(perubahan ECG), hipertensi, kehamilan (dosis tinggi sebaiknya diberikan melalui
inhalasi karena pemberian melalui pembuluh darah dapat mempengaruhi
miometrium dan dapat mengakibatkan gangguan jantung), ibu menyusui, dan
diabetes melitus yang pemberiannya melalui pembuluh darah (meningkatkan
kadar gula darah dan tidak dapat menkompensasi ketoasidosis) (Galbraith, 1994).
Dalam kehamilan dengan asma, jika diperlukan Salbutamol sebaiknya
diberikan melalui inhalasi karena pemberian intravena dapat mempengaruhi
miometrium. Pada ibu menyusui sebaiknya dihindari kecuali jika sangat
dibutuhkan, karena resiko Salbutamol muncul dalam ASI dan membahayakan
bayi.
d.

Farmakokinetik
Salbutamol diserap tubuh melalui berbagai cara, antara lain: inhalasi
(inhalasi aerosol, inhalasi serbuk, dan nebuliser), oral (tablet dan cair), dan injeksi
(IM, IV, dan subkutan). Melalui inhalasi, salbutamol langsung diserap ke dalam
paru-paru, sedangkan jika dikonsumsi secara oral, Salbutamol diserap melalui
sistem pencernaan. Injeksi intravena diserap dalam vena, injeksi intramuskular
diserap oleh otot, injeksi subkutan diserap dalam subkutan, dan semua injeksi
berakhir dengan Salbutamol beredar dalam pembuluh darah.
Distribusi salbutamol melalui ikatan dan persebaran dari plasma protein
(Katzung, 1998).
Salbutamol yang melalui inhalasi, langsung bekerja pada otot polos dan
nantinya akan dimetabolisme di liver, sedangkan salbutamol diserap yang melalui

sistem pencernaan akan melalui first pass effect dan dimetabolisme menjadi
phenolic sulfat.
Ekskresi Salbutamol maupun phenolic sulfat dapat melalui urin, feces,
keringa, udara yang dihembuskan dan ASI. Utamanya diekskresi melalui urin
(Rang dkk, 1999).
Salbutamol memiliki waktu paruh eliminasi yang relatif pendek yaitu 4-6
jam, sehingga frekuensi minum obat menjadi cukup sering.
Salbutamol inhalasi 30% persen dosisnya langsung bekerja di paru-paru
dan sisanya 70% melewati sistem pencernaan dan first pas effect sehingga
bioavaibilitasnya menurun, begitu juga salbutamol oral harus melewati first pass
effect di sistem pencernaan. Salbutamol injeksi memliki bioavaibilitas yang tinggi
karena langsung masuk ke peredaran darah.
e.

Toksisitas
Secara keseluruhan, efek samping jarang didapat dan timbul sebagai hasil
dari terapi yang tidak berlanjut. Efek samping yang mungkin terjadi antara lain:
(Rowley, 1996)
1) Sistem saraf: Sakit kepala, tremor, gelisah, dan hiperaktif pada anakanak.
2) Sistem muskular: Tremor, kram otot, iritabilitas
3) Sistem kardiovaskular: Vasodilatasi pembuluh darah dengan reflek
takikardi, aritmia, pusing, palpitasi
4) Sistem imun: Reaksi anafilaksis, bronkome paradoksim, pendarahan
orofaring, angioedema, urtikaria, hipotensi, ruam
5) Sistem pencernaan: Penurunan produksi empedu, mual, muntah,
hipokalemia, peningkatan glikogenolisis, tenggorokan kering.
Jika ada dosis salbutamol yang terlewat, lanjutkan dosis berikutnya,
jangan meminum dua dosis dalam 1hari, tremor dan takikardi merupakan gejala
overdosis salbutamol. Berkumur setiap kali habis menkonsumsi salbutamol dapat
menghindarkan dari mulut dan tengorrokan kering.

Toksisitas Salbutamol yaitu peningkatan durasi bronkodilatasi didapat


apabila salbutamol digunakan bersama Ipratropium inhalasi. Penggunaan
salbutamol juga harus memperhatikan toksisitas salbutamol pada ginjal, karena
50%

hasil

metabolisme

salbutamol

dieksresi

melalui

ginjal.

Sebagai

penanggulangan sebaiknya diperhatikan interaksi obat salbutamol dengan obat


lain, misalnya penggunaan salbutamol dengan obat golongan simpatometik,
anastesi inhalasi, dan obat golongan beta blocker, serta dosis salbutamol
disesuaikan dengan keadaan tubuh pasien.
2.

Terbutalin
a.

Sifat fisiko kimia dan rumus kimia


Terbutalin berupa serbuk kristal berwarna putih atau keabu-abuan, tidak
berbau atau sedikit berbau asam asetat, dan rasanya sedikit pahit. Terbutalin tidak
stabil jika terpapar cahaya dan melebur pada suhu 247oC. Tiga nilai pKa : 8,8;
10,1; 11,2. Satu gram Terbutalin larut dalam 1,5 ml air atau 250 ml alcohol.
Terbutalin juga larut dalam asam hidroklorida 0,1 N, sedikit larut dalam methanol,
dan tidak larut dalam kloroform (Karabey, 2003).
Dalam kondisi penyimpanan normal, Terbutalin stabil pada kondisi padat.
Tidak ada perubahan kemurnian setelah penyimpanan selama tiga tahun pada
temperatur ruangan. Jika ada penghilangan warna larutan, hal itu karena oksidasi
Terbutalin pada pH rendah.
Terbutalin memiliki rumus kimia: 2- tert- Butylamino- 1- (3.5dihydrophenyl) ethanol sulfate.

b.

Farmakologi umum
Agonis -2 bekerja melalui aktivasi reseptor -2 adrenergik yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP.
Terbutalin sendiri bekerja dengan menstimulasi reseptor beta adrenergik di sistem
saraf simpatetik sehingga menyebabkan relaksasi otot polos di bronchial tree dan
peripheral vasculature. Terbutalin juga memiliki sedikit atau tidak ada efek pada reseptor
alfa adrenergik.

c.

Farmakodinamik
Terbutalin digunakan sebagai bronkodilator dengan kerja cepat. Terbutalin sering
digunakan sebagai terapi simptomatik untuk mencegah dan mengobati mengi, sesak
napas, dan gangguan nafas pada asma, bronkitis kronis, emfisema, dan penyakit paruparu obstruktif lainnya. Obat ini berkerja dengan meredakan sesak nafas dan membuka
saluran udara di paru-paru agae bernafas menjadi lebih mudah.
Terbutalin juga dapat digunakan sebagai tokolitik. Dalam bidang obstetri,
tokolitik digunakan untuk menunda persalinan prematur, bekerja dengan menghentikan
kontraksi rahim dan merelaksasi uterus. Namun Terbutalin belum disetujui dan belum
boleh digunakan karena terdapat efek samping serius pada ibu dan janin bila tetap
diberikan (Goldenberg,2002).
Kontraindikasi terbutalin antara lain pada pasien hipertiroidisme, insufisiensi
miokard, aritmia (berhubungan dengan takikardi), kalium dalam darah rendah, kejang
dan hipertensi, Jangan diberikan kepada pasien yang hipersensitif terhadap terbutalin.
Pada kehamilan tidak disarankan menkonsumsi terbutalin karena dapat
menyebabkan hipoglikemi pada ibu dan takikardi pada janin, sedangkan pada ibu
menyusui juga tidak disarankan penggunaannya, meskipun jumlah yang muncul di ASI
sedikit. Anak dibwah umur 12 tahun juga tidak disarankan menkonsumsi terbutalin.

d.

Farmakokinetik
Terbutalin diserap oleh tubuh melalui beberapa cara, antara lain: secara oral
berupa cair, tablet atau kaplet, secara injeksi (subkutan dan IV), dan secara inhalasi
(aerosol). Pemberian secara oral diserap melalui sistem pencernaan dan melalui first pass

effect, sedangkan pemberian secara injeksi diserap baik oleh tubuh melalui peredaran
darah. Terbutalin inhalasi langsung diserap dan bekerja ke saluran pernapasan.
Terbutalin terdistribusi ke seluruh tubuh melalui ikatan dan persebaran plasma
protein, sedangkan konsentrasi yang ada di dalam ASI kurang lebih sama dengan
konsentrasi dalam plasma.
Terbutalin sebagian di metabolisme di hati, dan dimetabolisme dalam bentuk
konjugat sulfat.
Ekskresi terbutaline utamanya melalui urin. Sekitar 90% Terbutalin yang di
ekskresi setelah 96 jam sejak pemberian, 60% berupa terbutalin dan sisanya berupa hasil
metabolisme terbutalin yaitu konjugat sulfat (Hochhaus,1992).
Waktu paruh terbutalin berkisar antara 5,5 jam 5,9 jam.
Pemberian terbutalin secara oral diperkirakan bioavaibilitasnya berkisar 30%50% karena obat melalui first pass effect di sistem pencernaan, sedangkan pemberian
secara subkutan dapat diabsorbsi seluruhnya dengan baik.
e.

Toksisitas
Efek samping dari penggunaan terbutalin, antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Pusing
Kaku otot
Sakit kepala
Sakit perut
Berkeringat
Kering mulut
Tenggorokan iritasi
Paradoxical bronkospasme
Urtikaria
Angioderma
Hipokalemia
Efek sampingnya yang juga sering terjadi berupa mual dan muntah, baik pada

penggunaan oral maupun rektal atau parenteral.

Toksisitas terbutalin dapat berupa gangguan pada pernapasan dan gangguan pada
kardiovaskular antara lain, aritmia, hipotensi dan yang tersering adalah takikardi.
Toksisitas menjadi lebih besar pada anak-anak. Segera ke dokter jika menemukan gejala
seperti gelisah, susah tidur, tremor terutama di tangan dan konvulsi setelah menkonsumsi
terbutalin.
Untuk menghindari toksisitas karena pemakaian terbutalin, sebaiknya penderita
memperhatikan dosis terbutalin. Dosis yang sudah terlewatkan, sebaiknya tidak diminum
lagi tetapi dilanjutkan ke dosis berikutnya, agar tidak meminum dua dosis dalam satu
hari. Inhalasi terbutalin dapat menyebabkan mulut kering, karena itu sebaiknya berkumur
setelah malakukan inhalasi terbutalin.
Dosis pemberian terbutalin terhadap anak-anak dibawah 12 tahun dan orang tua
diatas 65 tahun sebaiknya diperhatikan, karena terdapat perbedaan keadaan liver, ginja,
dan jantung, serta mungkin ada penyakit penyerta lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahee, P. 2000. "The management of hyperkalaemia in the emergency department". Emergency


Medicine Journal 17 halaman: 188191.
Anonim. 2006. Mengefektifkan Salbutamol Inhalasi. Tersedia di http//www.farmacia.com
diakses tanggal 30 Juni 2014.
Goldenberg, RL. 2002. "High-Risk Pregnancy Series: An Expert's View". Obstetrics &
Gynecology 100 halaman: 10201037.
Hochhaus, G.: Mollmann, H. 1992. Pharmacokinetic/pharmacodynamic characteristics of the
beta-2-agonists terbutaline, salbutamol and fenoterol. Int J Clin Pharmacol Ther
Toxicol halaman: 342-62.
Lewelt, A.; Newcomb, T. M.; Swoboda, K. J. 2011. "New Therapeutic Approaches to Spinal
Muscular Atrophy". Current Neurology and Neuroscience Reports 12 halaman: 4253.
Karabey.: Yasemin.: Selma, Sahin, 2003. Bioavailability File: Terbutaline, Fabad Journal
Pharmacy Sciences Vol. 28. Tersedia di
http://fabad.org/fabad.org/pdf/volum28/issue3/FABAD2003j.Pharm.Sci.,28,149160,2003.pdf, diakses pada tanggal 30 Juni 2014.
Katzung, B. G. 1998. Basic and Clinical Pharmacology. Appleton and lange, Stanford, 7th
edition.
Rang, H. P., Dale, M. M., Ritter, J. M., and Gardner, P. 1999. Pharmacology. Churchhill
Livingstone, London, 4th edition.
Rowley. S.: Asher. I.: Cooper. D. 1996. Salbutamol. Tersedia di http://
www.adhb.govt.nz/newborn/DrugProtocols/SalbutamolPharmacology.htm diakses
tanggal 30 Juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai