Anda di halaman 1dari 11

PERENIALISME

Sejarah Aliran Perenialisme


Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.
Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum berdasarkan penelitian terhadap Great Books
(Buku Besar Bersejarah) dan pembahasan buku-buku klasik. Perenialis menggunakan prinsipprinsip yang dikemukakan Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Pandangan-pandangan Plato
dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas Aquino dari abad
pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis. Pendiri
utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh
St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan
abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman
sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata)
tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad
sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di
mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan
keyakinan

bahwa

kepercayaan

itu

berguna

bagi

abad

sekarang

ini.

Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat, kebudayaan yang mempunyai dua
sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada dalam pengayoman supermasi gereja
Katholik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular
yakni yang berpegang kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya
filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh
mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah
mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu
datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme
masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan,
maka

ia

terkenal

dengan

nama

perenialisme.

Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja


Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh

Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan
perenialisme.
Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas
Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik
dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika
mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat
pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada
peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memaham'i kebenaran-kebenaran
yang fenomenal maupun yang bersendikan religi (Bamadib, 1990: 64-65).
Filsafat perenialisme Menurut Tokoh
Pandangan para tokoh mengenai perenialisme yaitu :
1. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian,
yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral merupakan sofisme adalah manusia
secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian
dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas
yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada pada diri
manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, dunia ideal,
bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum
manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan
dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia
menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan
kembali oleh manusia.
2. Aritoteles
Aritoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi
terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism
klasik). Cara berfikir Arithoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berfikir
rasional spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia mengajarkan
cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan alam kehidupan manusia sehari-hari.

Arithoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun ia dinyatakan sebagai
pemikir abad pertengahan. Karya-karya Arithoteles merupakan dasar berfikir abad pertengahan
yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiry menyebabkan ia mendapat
sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kabahagiaan dan kebajikan,
bukanlah pernyataan pemikiran atau perenuangan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan
yang baik dari manusia.
Menurut Arithoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai
materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan
sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang
menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki
kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada
derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
3. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang muncul pada waktu
itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aritoteles, sebab pada
waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang
dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat
(khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam
lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu
mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya
itu karena diciptekan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan,
bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir
dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka
tentang teori emanasi. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
realitannya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak
terbatas pada satu saat saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukaan bahwa pengetahuan itu
diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain
pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan
dengan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilai ia mempertemukan pandangan filsafat

idealism, realism, dan ajaran gerejanya). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadangkadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotonisme. Perenialisme adalah
sama dengan neotonisme dalam pendidikan.
Relevansi Pandangan Perenialisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan
Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan
ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Jadi dengan
berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan melalui akal pikiran. Menurut epistemologi
Thomisme sebagian besarnya berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia.
Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk
menampilkan tenaganya secara penuh. Jadi epistemologi dari perenialisme, harus memiliki
pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang
dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada
logika melalui hukum berpikir metode dedduksi, yang merupakan metode filsafat yang
menghasilkan kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistemologi perenialisme dalam premis mayor
dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang realita khusus.
Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah
modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama
mampu mempunyai peran sedemikian, karena telah memiliki evidensi diri sendiri.
Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktorfaktor dengan pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan
berusaha untuk men gadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian ia telah mampu
mengembangkan suatu paham.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal dan
mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karyakarya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran
mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-bidang seperti bahasa dan sastra,
sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah
banyak yang mampu memberikan ilmunisasi zaman yang sudah lampau
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal tersebut, yang
sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua keuntungan yakni:

1.

Anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lamp au yang telah dipikirkan oleh
orang-orang besar.

2.

Mereka memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karyakarya tokoh terse but untuk diri
sendiri dan sebagai bahan pertimbangan (reverensi) zaman sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah
pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana
pemikiran para ahli tersebut dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana
peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan
sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai
dengan aliran filsafat perenialisme tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak
dalam arti hidup akalnya. ladi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan
tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh
dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah
kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama
dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas pendidikanlah yang memberikan pendidikan
dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat
tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Adapun mengenai hakikat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih
lanjut, bahwa kalau pada abad pertengahan filsafat teologis, sekarang seharusnya bersendikan
filsafat metafisika. Filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu,
dikatakan pula bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting maka perguruan tinggi
tidak seyogyanya bersifat utilistis.
Dari ungkapan yang diutarakan oleh Robert Hutchkins di atas mengenai hakikat pendidikan
tinggi itu, jelaslah bahwa pendidikan tinggi sekarang ini hendaklah berdasarkan pada filsafat
metafisika yaitu filsafat yang berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Kemudian Robert
Hutchkins mengatakan bahwa oleh karena manusia itu pada hakikatnya sama, maka perlulah
dikembangkan pendidikan yang sama bagi semua orang, ini disebut pendidikan umum (general
education). Melalui kurikulum yang satu serta proses belajar yang mungkin perlu disesuaikan

dengan sifat tiap individu, diharapkan tiap individu itl! terbentuk atas dasar landasan kejiwaan
yang sama.
Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran
ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang
muatan.
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa
manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan mengancam adanya manusia itu sendiri
( Barnadib, 1994:28 ). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen
progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan
dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat,
antropologi, psikologi, dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai pada yang paling
eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya
pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam
kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks.
Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu
dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih
besar pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar dunia nyata, dan juga
pengalaman teman sebaya.

A. Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme

1. William James ( 1842-1910 )


James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus
mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak
atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam.
Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya
da atas dasar ilmu prilaku.
2. John Dewey ( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan kepada anak
didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah Cild Centered
Curiculum, dan Cild Centered School. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini
dibanding masa depan yang belum jelas.
3. Hans Vaihinger ( 1852-1933 )
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan
objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.

B. Pandangan Progresivisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan

Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan
bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat progresivisme tidak menyetujui pendidikan
yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup
sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya
kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sifat

kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang
bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum. Kurikulum
Dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam
hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan
harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit,
diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun psikis dan dapat menjangkau aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau lairan filsafat yang
berdiri sendiri, melainkanmerupakan suatu gerakan dan perkumpulan
yang didirikan pada tahun 1918.
Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalism dan sekolah
tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar pasif, dan
banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih jauh gerakan ini
dikenal karena dengan himbauannya kepada guru-guru: kami mengharapkan
perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia pertama. Banyak guru
yang mendukungnya, sebab gerakan pendidikan progresivisme merupakan semacam
kendaraan mutakhir untuk digelarkan.
Kritik terhadap Progresivisme:
1) Siswa tidak mempelajari warisan sosial, mereka tidak mengetahui apa yang seharusnya
diketahui oleh orang terdidik.
2) Mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan, yang menjadi tradisi sekolah
3) Mengurangi bimbingan dan pebgaruh guru. Siswa memilih aktivitas sendiri
4) Siswa menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak
memiliki self discipline, dan tidak mau berkorban demi kepentingan umum.
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran
ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang
muatan. Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi maslah- masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
[2]

Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka
beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian
utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling
ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya
pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam
kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat
kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang
setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan
lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar naturalistik, hasil belajar dunia nyata dan juga
pengalaman teman sebaya Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di
dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain.[3] Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter.
Kita telah ketahui bahwa menurut aliran ini kehidupan manusia berkembang terus
menurus dalam suatu arah yang positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu benar
pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, peserta didik bukanlah dipersiapkan untuk
menghidupi masa kini, melainkan mereka harus dipersiapkan menghadapi kehidupan masa yang
akan datang. Permasalahan hidup masa kini tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa
yang akan datang. Untuk itu, peserta didik harus diperlengkapi dengan strategi-strategi untuk
menghidupi masa yang akan datang dan pemecahan masalah yang memungkinkan mereka akan
mengatasi permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan.[4]
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri
sendiri, malainkan merupakan aliran suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan tahun 1918.
Selama 20 tahun menjadi gerakan yang sangat kuat di Amerika Serikat banyak guru yang raguragu terhadap gerakan ini. Gerakan progeresik terkenal luas karena reaksinya terhadap
formalisme dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras belajar

pisik dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan.[5] Pengaruh
progresivisme terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di
dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini.[6]
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi Maksudnya
sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman
lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Dengan demikian, sekolah yang
ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena
sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah
itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan
yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau
kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sistem pendidikan
dengan bentuk belajar sekolah sambil berbuat atau learning by doing.[7]
Progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan
pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar
peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian dan
penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.[8] Biasanya aliran progresivisme
ini di hubungkan dengan pandangan hidup liberal (the liberal road to), dan culture. Maksudnya
adalah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut; fleksibel (tidak kaku, tidak
menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin tertentu), curios (ingin mengetahui, ingin
menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka).[9]
Sejarah mengatakan perkembangan aliran Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran
yang baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis
perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya
Hiraclitus (544 ), Socrates (469), Protagoras (480) dan Aristoteles. Mereka pernah
mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan
sikap jiwa yang disebut pragmatisme-Progresivisme.[10]
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan. Tidak ada
sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa perubahan itu sendiri.
Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi. Ia mengajarkan bahwa

pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek,
dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia
percaya bahwa manusia sanggup melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan
norma atau nilai tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan
tempat. Sedangkan Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan
ekstrim) dalam kehidupan.
Kemudian sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel
dapat disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme. Francis
Bacon memberikna sumbangan dengaan usahanya memperbaiki dan memperhalus metode
ilmiah dalam pengetahuan alam. Locke dengan ajarannya tentang kebebasan politik. Rousseau
dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia karena kodrat yang baik dari
para manusia. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia,
memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan bahwa alam dan
masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan
dan penyesuaian yang tak ada hentinya.[11]
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika
Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme
karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis,
terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir
“pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan
pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat.
Perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.

Anda mungkin juga menyukai