Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kulit
Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar
(Aiache, 1993). Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya
substansi-subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke
dalam tubuh (Chien, 1987). Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa
kimia, namun dalam keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat
atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang
bersifat setempat maupun sistemik (Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa
pergerakan air melalui lapisan kulit yang tebal tergantung pada pertahanan lapisan stratum
corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan,
1995).
Kulit mengandung sejumlah bentukan bertumpuk dan spesifik yang dapat mencegah
masuknya bahan-bahan kimia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya lapisan tipis lipida
pada permukaan lapisan tanduk dan lapisan epidermis malfigi. Sawar kulit terutama
disusun oleh lapisan tanduk (stratum corneum), namun demikian cuplikan lapisan tanduk
(stratum corneum) terpisah mempunyai permeabilitas yang sangat rendahdengan kepekaan
yang sama seperti kulit utuh. Lapisan tanduk saling berikatan dengan kohesi yang sangat
kuat merupakan pelindung kulit yang paling efisien (Aiache, 1993). Secara mikroskopik,
kulit tersusun dari berbagai lapisan yang berbeda, berturut-turut dari luar kedalam yaitu
lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas pembuluh darah dan pembuluh getah
bening dan lapisan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis (Aiache,
1993). Struktur kulit yang terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur kulit, terdiri dari epidermis, dermis dan hypodermis

2.2. Absorpsi Perkutan


Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari luar kulit ke dalam jaringan di
bawah kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif
(Chien, 1987). Mengacu pada Rothaman, penyerapan (absorpsi) perkutan merupakan
gabungan fenomena penembusan suatu senyawa dari lingkungan luar ke bagian kulit
sebelah dalam dan fenomena penyerapan dari struktur kulit ke dalam peredaran darah dan
getah bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan
epidermis dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache,
1993).
Fenomena absorpsi perkutan (atau permeasi pada kulit) dapat digambarkan dalam
tiga tahap yaitu penetrasi pada permukaan stratum corneum, difusi melalui stratum
corneum, epidermis dan dermis, masuknya molekul kedalam mikrosirkulasi yang
merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Mekanisme penghantaran obat melalui
transdermal digambarkan pada gambar 2. (Chien, 1987).

Gambar 2. Mekanisme Penghantaran Obat melalui Transdermal mulai dari pelepasan

obat menuju jaringan target (Chien, 1987)


Penetrasi melintasi stratum corneum dapat terjadi melalui penetrasi transepidermal
dan penetrasi transappendageal. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya melalui
epidermis (transepidermal), dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun
melewati kelenjar keringat (transappendageal). Jumlah obat yang terpenetrasi melalui jalur
transepidermal berdasarkan luas permukaan pengolesan dan tebal membran. Kulit
merupakan organ yang bersifat aktif secara metabolik dan kemungkinan dapat merubah
obat setelah penggunaan secara topikal. Biotransformasi yang terjadi ini dapat berperan
sebagai faktor penentu kecepatan (rate limiting step) pada proses absorpsi perkutan
(Swarbrick dan Boylan, 1995).
a. Penetrasi
Transappendageal Rute transappendageal merupakan rute yang sedikit
digunakan untuk transport molekul obat, karena hanya mempunyai daerah yang kecil
(kurang dari 0,1% dari total permukaan kulit). Akan tetapi, rute ini berperan penting
pada beberapa senyawa polar dan molekul ion hampir tidak berpenetrasi melalui
stratum corneum (Moghimi dkk, 1999).
Rute transappendageal ini dapat menghasilkan difusi yang lebih cepat, segera
setelah penggunaan obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh
obat untuk melintasi stratum corneum. Difusi melalui transappendageal ini dapat
terjadi dalam 5 menit dari pemakaian obat (Swarbrick dan Boylan, 1995).
b. Penetrasi transepidermal

Sebagian besar penetrasi zat adalah melalui kontak dengan lapisan stratum
corneum. Jalur penetrasi melalui stratum corneum ini dapat dibedakan menjadi jalur
transelular dan interseluler. Prinsip masuknya penetran kedalam stratum corneum
adalah adanya koefisien partisi dari penetran. Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan
berpenetrasi melalui jalur transeluler sedangkan obat-obat lipofilik akan masuk
kedalam stratum corneum melalui rute interseluler. Sebagian besar difusan
berpenetrasi ke dalam stratum corneum melalui kedua rute tersebut, hanya kadangkadang obat-obat yang bersifat larut lemak berpartisipasi dalam corneocyt yang
mengandung residu lemak. Jalur interseluler yang berliku dapat berperan sebagai rute
utama permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar obat-obatan
(Swarbrick dan Boylan, 1995).
2.3. Perlintasan Membran
Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat,
setengah padat atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan
dengan lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase cair.
Dalam biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model pendekatan membran
biologis. Membran padat juga digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau
interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan (Aiache,
1993).
Dalam studi pelepasan zat aktif yang berada dalam suatu bentuk sediaan digunakan
membran padat tiruan yang berfungsi sebagai sawar yang memisahkan sediaan dengan
cairan disekitarnya. Teknik pengukuran laju pelepasan yang tidak menggunakan membran
akan mengalami kesulitan karena perubahan yang cepat dari luas permukaan sediaan yang
kontak dengan larutan uji. Pengadukan pada media reseptor sangat berperan untuk
mencegah kejenuhan lapisan difusi yang kontak dengan membran (Aiache, 1993).
Perlintasan membran sintetik umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap awal
adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran. Pada tahap
ini daya difusi merupakan mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk,
dari lapisan yang kontak dengan membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini
dapat dibagi atas dua bagian. Bagian yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi
molekul yang melintas membran sehingga difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian
kedua adalah difusi dalam cara dan jumlah yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa

perbedaan konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi waktu. Dalam hal ini diasumsikan
bahwa interaksi zat aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat
aktif. Difusi dalam jumlah yang tetap dinyatakan dengan hukum Fick I.

Dimana

adalah fluks atau jumlah Q linarut yang melintasi membran setiap satuan waktu t, A adalah
luas permukaan efektif membran, Cd dan Cr adalah konsentrasi pada kompartemen awal
dan dalam kompartemen reseptor, h adalah tebal membran dan D adalah tetapan dianalisa
atau koefisien permeabilitas (Aiache, 1993).
2.4. Penghantaran Obat melalui Transdermal
Sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan
mekanisme difusi pasif (Aiache, 1993; Swarbrick dan Boylan, 1995). Difusi didefinisikan
sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan
molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran
molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer. Perjalanan suatu zat
melalui suatu batas bisa terjadi karena permeasi molekular sederhana atau gerakan melalui
pori dan lubang (saluran) (Martin dkk, 1993). Laju penyerapan melalui kulit tidak segera
mencapai keadaan tunak, tetapi selalu teramati adanya waktu laten (gambar 3). Waktu laten
ditentukan oleh tebal membran dan tetapan difusi obat dalam stratum corneum
(Aiache,1993). Obat akan mengalami difusi sesuai gradien konsentrasi dengan gerakan
yang acak (Swarbrick dan Boylan, 1995).

Gambar 3. Profil penyerapan molekul yang berdifusi melalui kulit (Aiache, 1993).

Kecepatan penetrasi obat menembus epidermis untuk mencapai lapisan papilar di


dermis dapat dinyatakan dengan hukum Ficks I dengan persamaan berikut (Aiache, 1993;
Chien, 1987):
Dimana Cd dan Cr adalah konsentrasi zat yang berpenetrasi melalui kulit dalam
kompartemen donor (konsentrasi obat pada permukaan stratum corneum) dan dalam
kompartemen reseptor (tubuh). Ps adalah koefisien permeabilitas jaringan kulit. Koefisien
permeabilitas dapat dinyatakan dengan persamaan (Chien, 1987):
Dimana K adalah koefisien partisi molekul, D adalah koefisien difusi penetran
melalui

jaringan

kulit pada

keadaan

tunak dan h adalah tebal jaringan kulit (Chien, 1987). Koefisien difusi melalui jaringan
kulit dapat dipengaruhi oleh viskositas. Semakin tinggi viskositas maka koefisien difusinya
rendah, sehingga
pelepasan
akan

obatnya
kecil,

seperti

yang dinyatakan pada persamaan Stokes-Einstein dengan persamaan berikut (Martin dkk,
1993):

Dimana Dv adalah koefisien difusi, K adalah konstanta boltzman, T adalah


temperatur, adalah viskositas, dan bernilai 3,14.
2.5. Keuntungan Penghantaran Obat Secara Transdermal

Penghantaran obat secara transdermal didasarkan pada absorpsi obat ke kulit setelah
aplikasi topikal. Rute transdermal untuk penghantaran obat secara sistemik telah banyak
diakui dan dimanfaatkan. Penghantaran obat secara transdermal memberikan banyak
keuntungan dibanding dengan bentuk pemberian obat yang lain. Perbedaan dengan
pemberian secara oral, senyawa masuk ke dalam tubuh melewati kulit sehingga
menghindari terjadinya first-pass metabolism di hati dan sering kali menghasilkan
bioavailabilitas yang lebih tinggi. Penghantaran obat secara transdermal dapat digunakan
untuk pasien dengan nausea, sedikit dipengaruhi oleh pemasukan makanan dan dapat
dengan mudah dihilangkan. Perbedaan dengan penghantaranobat secara intravena,
pemberian obat secara transdermal tidak invasif dan resiko terjadinya infeksi sangat kecil.
Selain itu, penggunaan sediaan transdermal relatif memudahkan pasien untuk
menggunakan dan melepaskannya. Penghantaran obat secara transdermal memberikan
penghantaran obat secara kontinyu, frekuensi dosis obat bolus dengan t yang pendek
dihindari, sehinggasebagai hasilnya efek samping atau variabilitas efek terapetik pada
puncak dan konsentrasi obat pada plasma yang terlihat pada pemberian obat melewati
bolus dapat diminimalisasi (Phipps dkk, 2004).
Penghantaran obat secara transdermal harus mampu mengatasi hambatan pada kulit.
Kulit melindungi tubuh dari lingkungan secara efektif dan umumnya hanya permeabel
untuk obat yang kecil dan lipofilik. Sistem penghantaran transdermal tidak hanya bertujuan
untuk memberikan obat ke kulit pada kondisi yang stabil, tetapi juga harus
memberikanpeningkatan permiabilitas kulit secara lokal untuk senyawa obat yang
besar,bermuatan dan hidrofilik dengan meminimalkan terjadinya iritasi (Phipps dkk, 2004).
2.6. Gel
Gel adalah sistem padat atau setengah padat dari paling sedikit dua konstituen yang
terdiri dari massa seperti pagar yang rapat dan diselusupi oleh cairan. Jika matrik yang
saling melekat kaya akan cairan, maka produk ini seringkali disebut jelly (Martin dkk,
1993).
Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan oleh jaringan yang saling menganyam
dari fase terdispers yang mengurung dan memegang medium pendispersi. Perubahan dalam
temperatur dapat menyebabkan gel tertentu mendapatkan kembali bentuk sol atau bentuk
cairnya. Juga beberapa gel menjadi encer setelah pengocokan dan segera menjadi setengah

padat atau padat kembali setelah dibiarkan tidak terganggu untuk beberapa waktu tertentu,
peristiwa ini dikenal sebagai tiksotropi (Ansel,1989).
Penyerapan senyawa pada pemberian transdermal berkaitan dengan pemilihan bahan
pembawa sehingga bahan aktif dapat berdifusi dengan mudah ke dalam struktur kulit.
Bahan pembawa dapat mempengaruhi keadaan dengan mengubah permeabilitas kulit
dalam batas fisiologik dan bersifat reversibel terutama dengan meningkatkan kelembaban
kulit (Aiache, 1993).
Basis pada sediaan gel dapat digunakan hydroxypropyl methilcellulose (HPMC)
merupakan serbuk putih atau putih kekuningan, tidak berbau dan berasa, larut dalam air
dingin, membentuk cairan yang kental, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol (95%)
dan eter. HPMC biasanyadigunakan dalam sediaan oral dan topikal, HPMC biasanya
digunakan sebagai emulgator, suspending agent dan stabilizing agent dalam sediaan salep
dan gel topikal (Harwood, 2006).
2.7. Parasetamol
Parasetamol (Acetamenophen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari paminofenol yang merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki sifat
karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Khasiatnya analgetis dan
antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya di anggap sebagai zat anti
nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Tetapi jika
senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat
pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah. (Tan dan
Kirana, 2002; Hardman, 2001)
Namun senyawa obat parasetamol ini tidak seperti obat pereda nyeri lainnya (aspirin
dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil karena itu dianggap aman. Tapi
pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah
apabila pasien juga meminum alkohol. (Hardman, 2001; Foye, 1995)
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil
dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat disintesis dari
senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat.
Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofeno l direaksikan dengan
senyawa asetat anhidrat (Hardman, 2001).

2.7.1. Struktur Parasetamol

Nama Kimia

: N-acetyl-p-aminophenol atau p-asetamedofenol atau 4hidroksiasetanilida

Rumus Empiris

: C8H9NO2

Berat Molekul

: 151,16

Pemerian

: Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa


pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169-172C

Kelarutan

: 1 g dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 25C, 1


g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol,
dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml
gliserin, dalam 9 ml propilenglikol, dan larut dalam arutan
alkali hidroksida. Tidak larut dalam benzen dan eter.
Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6. pKa= 9

(Connors, 1992; Ditjen POM, 1995)


2.7.2. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan
perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab
inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah
dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim
siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa
penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini
berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu
molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-

inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol


menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi
pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada
kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti
inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada
tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan
temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif. (Hardman, 2001; Munaf, 1994;
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2007)
2.7.3. Metabolisme
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi senyawa
sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal.
Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik
(racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon imina).
Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI
ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan
melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi,
konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan
hati (Hardman, 2001).
2.7.4. Efek Samping
Efek samping

adalah

hal

yang

bukan

tidak

jarang

terjadi

pada

penggunaan/konsumsi senyawa obat, begitu pula dengan parasetamol. Parasetamol


menimbulkan efek sampin seperti; reaksi hipersensitivitas dan kelainan pada darah
(anemia hemolitik). Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan
hati, reaksi alergi: jarang terjadi, berupa eritem, urtikaria, atau bila lebih berat dapat
timbul demam dan lesi mukosa (Tan dan Kirana, 2002).
2.8. Uji Penetrasi Secara In vitro Menggunakan Sel Difusi Franz
Studi penetrasi kulit secara in vitro berhubungan dengan mengukur kecepatan dan
jumlah komponen yang menembus kulit dan jumlah komponen yang tertahan pada kulit.
Salah satu cara untuk mengukur jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit yaitu
menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz terbagi atas dua komponen yaitu
kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Membran yang digunakan dapat berupa

kulit manusia atau kulit hewan. Membran diletakkan di antara kedua kompartemen,
dilengkapi dengan o-ring untuk menjaga letak membran. Gambar alat sel difusi franz dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kompartemen sel difusi

franz

(Particle Science Drug


2009)

Development Service Vol. 10,

Kompartemen

diisi

reseptor

dengan

larutan

penerima. Suhu pada sel

dijaga dengan sirkulasi air

menggunakan water jacket

disekeliling

kompartemen

reseptor.

akan

diaplikasikan

Sediaan

yang

pada membran kulit. Pada

diuji

interval

waktu

tertentu

diambil beberapa ml cairan dari kompartemen reseptor dan jumlah obat yang terpenetrasi
melalui kulit dapat dianalisis dengan metode analisis yang sesuai. Setiap diambil sampel
cairan dari kompartemen reseptor harus selalu digantikan dengan cairan yang sama
sejumlah volume yang terambil (Anggraeni, 2008).
2.9. Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri serap

merupakan

pengukuran

interaksi

antara

radiasi

elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik,


dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
molekul selalu mengabsorbsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama
dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terkait dan elektron yang
tidak terkait akan tereksitasi pada suatu daerah frekuensi, yang sesuai dengan cahaya
ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Henry, Suryadi, Yanuar 2002).
Spektrum absorbsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 800 nm dan dinyatakan
sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet

(190-380 nm), spektrum Vis (Visibel) bagian sinar tampak (380-780 nm) (Henry, dkk.,
2002).
Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Suatu sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum
yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.
b. Suatu monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempitpanjang
gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
c. Suatu wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet)
d. Suatu detektor yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu
isyarat listrik.
e. Suatu amplifier (pengganda) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat
listrik itu memadai untuk dibaca.
f. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya isyarat listrik yang ditangkap.
(Henry, dkk., 2002)
Spektrofotometri UV-Vis digunakan terutama untuk analisa kuantitatif, tetapi dapat
juga untuk analisa kualitatif. Penggunaan untuk analisa kuantitatif didasarkan pada hukum
Lambert-Beers yang menyatakan hubungan empirik antara intensitas cahaya yang
ditransmisikan dengan tebalnya larutan (Hukum Lambert/Bouger), dan hubungan antara
intensitas tadi dengan konsentrasi zat (Hukum Beers) (Henry, dkk., 2002).

Hukum Lambert-Beer dapat dijelaskan dengan persamaan berikut :


A = Log Io/It = . b. c = a. b. c
Di mana :
A = serapan;
Io = intensitas sinar yang datang;
It = intensitas sinar yang diteruskan (ditransmisikan);
= absorbtivitas molekuler / konstanta ekstingsi (L.mol-1. Cm-1);
a = daya serap (L.g-1.cm-1);

b = tebal larutan / kuvet (cm);


c = konsentrasi (g.L-1 , mg. mL-1)
( Henry, Suryadi, Yanuar 2002)
Panjang gelombang yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif suatu zat
biasanya merupakan panjang gelombang di mana zat yang bersangkutan memberikan
serapan pada umumnya landai sehigga perubahan yang tidak terlalu besar pula (dapat
diabaikan) (Henry, dkk., 2002).
Serapan yang optimum untuk pengukuran dengan spektrofotometri Uv-Vis ini
berkisar antara 0,2-0,8. Namun menurut literature lain, serapan sebesar 2-3 relatif masih
memberikan hasil perhitungan yang cukup baik untuk campuran, walaupun disarankan
agar serapan berada dibawah 2 untuk hasil yang lebih baik, dengan cara mengencerkan
larutan zat yang akan di ukur (Henry, dkk., 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Aiache, 1993, Farmasetika 2: Biofarmasi, terjemahan Widji Soeratri, Airlangga University
Press, Surabaya, 156-177, 213-224, 450-470.
Anggraeni, Citra Ayu. 2008. Pengaruh Bentuk Sediaan Krim, Gel dan Salep Terhadap Penetrasi
Aminofilin Sebagai Antiselulit Secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi
Sarjana Farmasi : FMIPA UI.
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim, F., UI
Press, Jakarta,392.
Chien, Y.W., 1987, Novel Drug Delivery, Marcel Dekker Inc., New York, 301-375.
Connors, K.A. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Semarang : IKIP. Semarang Press.
Hal. 197.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran UI. Hal. 235-239
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : DEPKES RI. Hal. 649.
Foye, William O. 1995. Principle Medical Chemistry Fourth Edition. New York : Williams and
Wilkins Publisher. Page. 544-545.
Hardman, J.G. 2001. The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th Edition. New York :
McGraw Hill Publisher. Page. 687-731.
Harwood, R.J., 2006, Hydroxypropyl Methylcellulose in Handbook of Pharmaceutical
Excipients, Fifth Edition, Rowe, R.C., P. J., Sheskey, P. J., Owen, S.C, Pharmacutical Press,
London, 252-255.
Henry, Arthur dkk. 2002. Analisis Spektrofotometri UV-Vis Pada Obat Influenza Dengan
Menggunakan Aplikasi Sistem Persamaan Linier. Jakarta : KOMMIT UGM
Martin, A., Bustamante, P., dan Chun, A.H.C., 1993, Physical Pharmacy, 5th Edition, Lea and
Febiger, Washington, Philadelpia, 1083-1096, 324.
Moghimi, H.R., Barry, B.W., dan Williams, A.C., 1999, Stratum Corneum and Barrier
Performance (A Model Lamellar Approach) dalam Percutaneous Absorption Drug
Cosmetics Mechanism Methodology, Bronaugh, R.L., dan Maibach, H.I, Marcell Dekker
Inc, New York, 515-545.
Munaf, Sjamsuir. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi Bagian II. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal. 183-184.
Phipps, B., Cormier, M., Gale, B., Osdol, B., Audett, J., Padmanabhan, R and Daddona, P., 2004,
Encyclopedia of Biomaterial and Biomedical Engineering,1677-1689.
Swarbrick, J. dan Boylan, J., 1995, Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., NewYork, 413-445.
Tan, T. H. dan Kirana. (2002). Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya Edisi V. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo. Hal. 295-297.

Anda mungkin juga menyukai