Anda di halaman 1dari 9

Contoh Artikel Globalisasi: DAMPAK GLOBALISASI MEDIA TERHADAP

MASYARAKAT DAN BUDAYA INDONESIA - Bagi sobat yang


mencari artikel atau makalah tentang Globalisasi berikut ini admin memposting
salah satu contoh makalah globalisasi dengan tema "Dampak Globalisasi Media
Terhadap Masyarakat Dan Budaya Indonesia". Semoga bermanfaat...

ilustrasi

DAMPAK GLOBALISASI MEDIA TERHADAP MASYARAKAT DAN BUDAYA


INDONESIA
Oleh : Drs. Hadiono Afdjani, MM

Abstract
Media globalization do not know state boundarys. Indonesia is one of induced state
emerged of American and Europe magazine Indonesian version and also inudating
program display and record product without can be barricaded. How applying of
press constitutions and broadcast constitutions referring to this problem? How
government attitude? How its impact to Indonesian culture and society? Is there any
solution can you offer?
PERAN MEDIA MASSA
Peran media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern
tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication
Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.
Pertama, melihat media massa seabagai window on event and experience. Media
dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang
terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui
berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the
world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di
masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola
media sering merasa tidak bersalah jika isi media penuh dengan kekerasan,
konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka
faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak
suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai
cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak
sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.

Ketiga, memandang media massa sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi
berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue,
informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini
khalayak dipilihkan oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan
mendapat perhatian .
Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau
interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai
ketidakpastian, atau alternative yang beragam.
Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai
informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan
dan umpan balik.
Keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat
berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan
terjadinya komunikasi interaktif.
Pendeknya, semua itu ingin menunjukkkan, peran media dalam kehidupan social
bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan
informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi
media massa merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di
media massa akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial.
Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media massa inilah yang nantinya
mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang
salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap
objek sosial itu. Karenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara
akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan
moral penyajian media massa.
GLOBALISASI MEDIA
Bertolak dari besarnya peran media massa dalam mempengaruhi pemikiran
khalayaknya, tentulah perkembangan media massa di Indonesia pada massa akan
datang harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media massa yang tak
terelakan lagi.
Globalisasi media massa merupakan proses yang secara nature terjadi, sebagaimana
jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan
profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada titik-titik
tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa
Indonesia. Jadi kekhawatiran besar terasakan benar adanya ancaman, serbuan,
penaklukan, pelunturan karena nilai-nilai luhur dalam paham kebangsaan.

Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia


seperti : Bazaar, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him Magazine), Good Housekeeping,
Trax dan sebagainya. Begitu pula membajirnya program-program tayangan dan
produk rekaman tanpa dapat dibendung.
Lantas bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena
transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya? Bukankah globalisasi
media dengan segala nilai yang dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah,
Koran, buku, film, vcd dan kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak pada
kehidupan masyarakat?
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan yang hebat dari
berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di media cetak,
televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar
negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis bukan barang
baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan
beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai surga pornografi karena
sangat mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh
sebagian masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk menerbitkan produkproduk pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin
sebagai hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran serta
pembredelan. Padahal dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 itu sendiri,
mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1).
Dalam media audio-visualpun, ada Undang-undang yang secara spesifik mengatur
pornografi, yaitu Undang-undang Perfilman dan Undang-undang Penyiaran. Dalam
UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap film dan reklame film yang
akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu.
Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa LSF (Lembaga Sensor Film) harus menolak
sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang. Dalam UU
Penyiaran pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang
menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia (ayat 6).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang
mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka
dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru
yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua
warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada.
Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang
teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah

pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend


mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian
ditiru habis-habisan. Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mal atau tempat publik
sangat mudah menemui wanita Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar
aurat. Di mana budaya itu sangat bertentangan dengan norma yang ada di
Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini.
Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orang-orang
Indonesia.
Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat
perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu
melarang berbagai sepak terjang masyarakt yang berperilaku tidak semestinya.
Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyarankan agar televisi tidak
menayangkan goyang erotis dengan puser atau perut kelihatan. Ternyata
dampaknya cukup terasa, banyak televisi yang akhirnya tidak menayangkan para
artis yang berpakaian minim.

SOLUSI
Sekarang di Indonesia bermunculan lembaga-lembaga media watch yang keras
terhadap pers sebagai jawaban terhadap kian maraknya penerbitan yang bisa
disebut pers kuning, Massen Preese dan Geschaft Presse.
Melalui media massa pun, kita dapat membangun opini publik, karena media
mempunyai kekuatan mengkonstruksi masyarakat. Misalnya melalui pemberitaan
tentang dampak negatif pornografi, komentar para ahli dan tokok-tokoh masyarakat
yang anti pornografi atau anti media pornografi serta tulisan-tulisan, gambar dan
surat pembaca yang berisikan realitas yang dihadapi masyarakat dengan maraknya
pornografi, maka media dapat dengan cepat mengkonstrusikan masyarakat secara
luas karena jangkauannya yang jauh.
Dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan, dikenal adanya opinion leader
atau pemuka pendapat. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain untuk bertindak laku dalam cara-cara tertentu. Menurut Rogers (1983), pemuka
pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi. Melalui
hubungan sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan menyampaikan
pesanpesan, ide-ide dan informasi-informasi baru kepada masyarakat. Melalui
pemuka pendapat seperti tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa, pesan-pesan
tentang bahaya media pornografi dapat disampaikan.
Tapi yang lebih penting lagi adalah ketegasan pemerintah dalam menerapkan hukum
baik Undang-Undang Pers, Undang-undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran

secara tegas dan konsiten di samping tentu saja partisipasi dari masyarakat untuk
bersam-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi media yang kalau dibiarkan
bisa menghancurkan negeri ini.

Daftar Pustaka

DeFleur, Melvin L, dan Ball-Rokeach, Sandra (1982) Theories of Mass


Communication, Fourth edition, Longman Inc, New York.
Fiske, John, (1987) Television Culture, Routledge, London- New York

McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage

Publication, London
Rogers, M. Everett, 1983, Diffusion of Innovation, The Free Pressa Division of
Macmillan Inc, New York

Minggu, 11 Maret 2012

Orang Miskin Wajib Sekolah

UNGKAPAN orang miskindilarang s e k o l a h , s e b a gaimana juga menjadi judul


buku Eko Prasetyo (2004), sedikit demi sedikit mulai pudar kebenarannya-meskipun
realitas kemiskinan tetaplah menjadi hantu menakutkan. Eko mengkritik dengan keras
kesemrawutan sistem pendidikan nasional dan kesenjangan sosial. Pendidikan, menurut
dia, hanya bisa diakses orang-orang kaya semata, sedangkan masyarakat miskin banyak
yang tersingkir karena tak mampu membayar ongkos mahal biaya pendidikan.
Dari kacamata ekonomipolitik global, pendapat Eko tersebut dapatlah dibenarkan
tentang apa yang lazim disebut dengan kapitalisasi atau ko mersialisasi pendidikan.
Dalam teori ini, praktik pendidikan layaknya sebuah pasar yang di dalamnya terdapat
jual-beli antara penyelenggara/pengelola lembaga sekolah/kampus dan orangtua
siswa/mahasiswa lewat besaran biaya pendidikan.
Praktik komersialisasi tersebut semakin mengukuhkan liberalisasi yang digagas
Alexander Rustow pada 1930-an, yang kemudian dipopulerkan dua begawan
neoliberalisme, Milton Friedman dan Fre derik van Hayek, layaknya virus yang
mematikan, menjalar dalam setiap tatanan sendi kehidupan. Maka, orientasi pendidikan
bergeser, berpegangan pada selera masyarakat industri dan selera pasar (market
society).

Artinya, liberalisasi cenderung menempatkan institusi pendidikan sebagai lembaga


penghasil mesin yang siap menyuplai pasar industri, yang efektivitas dan efisiensinya
mesti diukur secara ekonomis.
Henry A Giroux dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education
(1993) menyebutnya dengan istilah `degradasi identitas', yaitu dari institusi yang
menyelenggarakan pendidikan publik menjadi pabrik kuli (Wibowo, 2008: 115).
Itu sebabnya, ketika praktik pendidikan nasional dihujani kritik tajam oleh sejumlah
kalangan karena telah menjalankan komersialisasi pendidikan, tidak ada yang
menyangkal kebenarannya.
Pemerintah lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kini gencar
menggalakkan program pendidikan untuk masyarakat kurang mampu atau miskin.

Di level sekolah dasar dan menengah, terdapat program bantuan operasional sekolah
(BOS) yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini. Sayangnya, program BOS
masih menimbulkan persoalan pelik dan menyebalkan, seperti temuan korupsi massal
oleh para kepala sekolah, keterlambatan penyaluran dan buruknya sistem pengawasan
atas penggunaan dana BOS, dan tidak tepatnya sasaran.
Setelah itu, begitu siswasiswi lulus dari tingkat SMU/ MA atau yang sederajat, mereka
langsung disambut dengan program beasiswa Bidik Misi, yang juga secara khusus
diperuntukkan calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu yang memiliki prestasi
akademik gemilang. Program ini sepintas memang layak dan patut diapresiasi, tetapi
bila dicermati secara saksama lagil lagi terdapat beberapa persoa alan krusial, baik
menyangkut konsep maupun teknisnya.
Program beasiswa Bidik Misi hanya membidik kondisi ekonomi maha(siswa) kurang
mampu sekaligus yang mempunyai prestasi bagus, sedangkan mereka, yang walaupun
samasama berasal dari keluarga kurang mampu tapi tidak mempunyai prestasi
akademik, cenderung terabaikan.
Pada tahap itu, bantuan pendidikan untuk masyarakat miskin tidak merata.
Ada pula alternatif lain, yaitu bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu
disediakan kompetisi beasiswa on going di setiap kampus swasta maupun negeri, tetapi
itu masih spekulasi. Tidak ada jamin an mereka yang miskin mampu membayar biaya
kuliah untuk semester satu hingga semester berikutnya sebagai persyaratan memperoleh
beasiswa dan persyaratan persyaratan lain seperti standardisasi minimal IPK.
Mestinya ada domain lain yang dapat mengafirmasi beasiswa atau bantuan dana
pendidikan bagi para pelajar dari kalangan kurang mampu yang tidak memiliki prestasi
akademik, misalnya anak tersebut dikenal jujur; sopan kepada guru, orangtua, dan
masyarakat; tidak memiliki catatan buruk selama sekolah; dan lain sebagainya.
Bukankah sifat itulah yang disebut sebagai pendidikan karakter--sebagaimana
dikampanyekan dan sekaligus dicita-citakan Kemendikbud?
Lalu, mengapa itu luput dan cenderung diabaikan pemerintah?
Padahal, sesuai dengan fungsinya, lembaga pendidikan (sekolah/PT) sekurangkurangnya memiliki empat fungsi utama, yaitu 1) sebagai sarana transfer ilmu
pengetahuan, 2) konservasi dan pengem bangan ilmu pengetahuan, 3) penguasaan life
skill dan teknologi, dan 4) sarana pemba ngunan karak ter (Ismail, 2006). Fungsi
pendidikan tersebut se h a r u s ny a berjalan se suai dengan proporsi yang seim bang.
Siswa t i d a k h a ny a mampu meng andalkan kemam puan pikir dan kog nitif yang baik,
tetapi juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur.
Memanfaatkan beasiswa?
Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, tentu saja tetap ada banyak dampak positif
yang bisa diperoleh, yakni semakin terbukanya akses mengenyam pendidikan bagi
keluarga kurang mampu dengan memanfaatkan program beasiswa.
Siswa-siswi generasi bangsa kita kini dapat menjangkau cita-cita mereka yang mungkin
terancam terkubur.
Program beasiswa untuk kalangan tidak mampu, baik di level SD, SMP/SMU, maupun
PT, diharapkan dapat mengurangi angka putus sekolah lantaran mahalnya biaya pendi
dikan. Program ini, jika dimanfaatkan dengan baik, sesungguhnya menjadi sarana yang
sangat jitu untuk membuktikan kepada publik bahwa pelajar dari kalangan kurang
mampu tidak kalah bersaing secara fair (dalam hal keilmuan) dengan mereka dari
kalangan orangorang kaya. Kepintaran atau prestasi akademik tidaklah sematamata
dipengaruhi faktor tunggal kondisi ekonomi yang serbaada atau serbacukup. Hal yang

tak kalah pentingnya ialah kesungguhan belajar untuk meraih cita-cita. Fakta telah
berbicara, di negeri ini ada banyak kisah kesuksesan pelajar yang justru berasal dari
kalangan kurang mampu.
Baru-baru ini, misalnya, tersiar kabar seorang siswi bernama Siti Fatimah menjuarai
Olimpiade Sains Nasional bidang astronomi tahun 2011 di Manado, Sulawesi Utara.
Ia berasal dari kalangan tidak berkecukupan. Siswi kelas III SMA Negeri 1 Sampang,
Madura, itu harus berjalan kaki 1 kilometer dari rumahnya karena tidak bisa dilalui
sepeda motor. Setelah itu, ia baru diantar pamannya ke jalan raya untuk selanjutnya
naik angkutan ke sekolah.
Bahkan, banyak pula media yang melansir rumah Siti yang hanya berlantai tanah, di
tengah tegalan di Dusun Dualas, Pa ngongseyan, Sampang, Madura, Jawa Timur.
Ada pula nama lain yakni Gusnadi Wiyoga, yang pernah tampil di acara Kick Andy.
Dalam talk show singkat itu, terungkap bahwa Gusnadi anak seorang tukang sol sepatu.
Namun sejak duduk di bangku SD, Gusnadi memang sudah tergolong encer otaknya,
terutama di bidang sika dan matematika.
Dia bahkan sudah mewakili Indonesia dalam ajang kompetisi matematika dan sika,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Gusnadi berhasil menyabet medali emas
pada lomba Sains dan Mathematic di Jakarta pada 2007. Pada 2009, ia meraih medali
perak di Filipina.
Dengan melihat fakta prestasi yang diraih kalangan pela
jar dari masyarakat kurang mampu tersebut, memang sudah sepantasnya pemerintah
memberikan dukungan moral dan materi bagi mereka untuk mengenyam pendidikan.
Hal itu sesuai dengan mandat UUD 1945 bahwa semua anak bangsa memiliki hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang layak, tanpa memedulikan status atau kelas
sosial.
Pendidikan merupakan proses ketika seseorang memperoleh pengetahuan (knowledge
acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan (skill development) sikap atau
mengubah sikap (attitude change).
Pendidikan merupakan suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal-hal
tertentu sebagai hasil dari proses pendidikan yang diikutinya.
Karena itu, upaya pemerintah mengampanyekan wajib belajar 12 tahun, menurut saya,
kurang tepat jika dilihat dari pilihan paradigma yang sekaligus menjadi jargon imbauan
untuk mengurangi angka putus sekolah, termasuk pula batasan tingkat belajar. Imbauan
itu semestinya langsung menyebutkan sebuah ungkapan empati, orang miskin wajib
sekolah.
Mengapa demikian? Pertama, berdasarkan data yang diketahui, jumlah anak yang putus
sekolah berasal dari keluarga tidak mampu sehingga dengan demikian, imbauan orang
miskin wajib sekolah sangatlah lebih tepat dan terasa mengena. Kedua, pendidikan
formal sejatinya tidak perlu dibatasi berapa tahun (seperti pada imbauan 12 tahun). Ia
minimal sekolah, tetapi harus dipacu terus setinggi mungkin. Itulah tugas dan tanggung
jawab pemerintah yang harus diimplementasikan demi mencerdaskan generasi bangsa.
Semoga!

Anda mungkin juga menyukai