Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

CAMPAK (MORBILI)

Pembimbing:
dr. M. Mukhson, Sp.A

Disusun oleh:
Mutia Milidiah G4A014137

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui referat dengan judul :
Campak (Morbili)

Diajukan untuk memenuhi syarat ujian


Kepaniteraan Klinik Dokter Muda SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh:
Mutia Milidiah

G4A014137

Purwokerto, Agustus 2016


Pembimbing

dr. M. Mukhson, Sp.A


19631128 199102 1 001
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J

Definisi......................................................................................................3
Etiologi......................................................................................................3
Epidemiologi.............................................................................................4
Faktor Risiko.............................................................................................6
Penularan...................................................................................................6
Patogenesis................................................................................................6
Penegakan Diagnosis.................................................................................9
Penatalaksanaan.........................................................................................12
Komplikasi.................................................................................................15
Pencegahan................................................................................................16

K Prognosis...................................................................................................18
III. KESIMPULAN.............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan pada bayi dan anak di Indonesia dan merupakan
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit ini tetap
menjadi salah satu penyebab utama kematian di kalangan anak-anak di dunia,
meskipun tersedia vaksin yang aman dan efektif. Penyakit ini umumnya
menyerang anak umur di bawah 5 tahun (balita) akan tetapi campak bisa
menyerang semua umur. Pada tahun 2013, sekitar 145.700 orang meninggal
akibat campak, sekitar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam
dan sebagian besar terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Selama tahun
2000 sampai 2013, imunisasi campak berhasil menurunkan 15,6 juta (75%)
kematian akibat campak di seluruh dunia (WHO, 2015).
Menurut WHO (2014), cakupan imunisasi campak di bawah satu tahun
meningkat 83% pada tahun 2009 dan pada tahun 2013 masih tetap 83-84%.
Lebih dari 60% dari 21,5 juta anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi
campak pada usia 9 bulan berasal dari 6 negara yaitu India (6,4 juta), Nigeria
(2,7 juta), Pakistan (1,7 juta), Ethiopia (1,1 juta), Indonesia (0,7 juta) dan
Republik Kongo (0,7 juta). Sebagian besar kematian akibat campak terjadi di
negara berkembang pada tahun 2013 sebesar 70% di 6 negara tersebut. Pada
tahun 2012 KLB campak terbesar terjadi di Republik Kongo, India, Indonesia,

Ukraina dan Somalia, sedangkan pada tahun 2013 KLB campak terjadi di Cina,
Republik Kongo dan Nigeria.
Pada tahun 2014, dilaporkan terdapat 12.943 kasus campak di Indonesia,
lebih tinggi dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 11.521 kasus. Jumlah kasus
meninggal sebanyak 8 kasus, yang dilaporkan dari 5 provinsi yaitu Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Incidence
rate (IR) campak pada tahun 2014 sebesar 5,13 per 100.000 penduduk,
meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,64 per 100.000 penduduk.
Sedangkan jumlah KLB campak yang terjadi sebanyak 173 KLB dengan
jumlah kasus sebanyak 2.104 kasus. Jumlah kasus yang meninggal pada KLB
campak tersebut sebanyak 21 kasus yang dilaporkan dari Jawa Timur dan
Sumatera Selatan, jauh meningkat dibandingkan tahun 2013 dengan kematian
hanya 1 kasus (Depkes RI, 2015).
Dari data di atas dapat diketahui bahwa penyakit campak masih menjadi
masalah di Indonesia. Oleh karena itu, penulisan referat mengenai Campak
(campak) perlu dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai penyakit
Campak dan cara pencegahannya agar angka insidensi dan mortalitas dapat
diturunkan.
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi penyakit Campak
2. Mengetahui etiologi dan faktor risiko penyakit Campak
3. Mengetahui patogenesis penyakit Campak
4. Mengetahui Penegakan diagnosis penyakit Campak
5. Mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan penyakit Campak

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Definisi
Campak, Morbili, Rubeola atau Measles merupakan infeksi virus akut
yang menular, disebabkan oleh virus Campak dengan karakteristik awal
demam 38oC atau lebih disertai gejala malaise, batuk, pilek atau mata merah
yang kemudian muncul tanda patognomonis bercak koplik yang diikuti bercak
kemerahan berbentuk makulopopular dengan penyebaran dari belakang telinga
ke ekstremitas bawah, serta adanya demam tinggi mencapai 104-105 oF (4040,5oC) (Kutty et al., 2013; Batirel et al., 2013).
B. Etiologi
Penyakit Campak disebabkan oleh virus Campak yang termasuk dalam
family paramyxoviridae, genus morbilivirus. Virus ini berbentuk bulat dengan
tepi yang kasar dan berdiameter140 mm, dibungkus oleh selubung luar yang
terdiri dari lemak dan protein, didalamnya terdapat nukleokapsid yang bulat
lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA),
merupakan sruktur heliks nukleoprotein yang berada dari myxovirus (Mason,
2007). Selubung luar sering menunjukkan tonjolan pendek, satu protein yang
berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin (Daikoku et al., 2007).

Gambar 1.
(Daikoku et
Virus Campak

Virus Campak
al., 2007).
adalah

organisme yang

tidak memiliki

daya

yang

kuat

apabila berada

diluar

tubuh

manusia virus.

Pada

temperatur

kamar,

Campak

kehilangan

60%
selama

tahan

sifat
3-5

virus

infektisitasnya
hari.

Virus

tetap aktif maksimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam


pengawetan beku, 4 minggu dalam temperatur 35oC, beberapa hari pada suhu
0oC, dan tidak aktif pada pH rendah (Daikoku et al., 2007).
C. Epidemiologi
Menurut kelompok umur, proporsi kasus campak terbesar terdapat pada
kelompok umur 5-9 tahun dan kelompok umur 1-4 tahun dengan proporsi
masing-masing sebesar 32,2% dan 25,4%. Namun jika dihitung rata-rata umur
tunggal, kasus campak pada bayi <1 tahun merupakan kasus yang tertinggi,
yaitu sebanyak 778 kasus (9.5%). Dari 8185 kasus campak pada tahun 2015,
sebanyak 54% diantaranya tidak mendapatkan vaksinasi campak. Berdasarkan
kelompok umur, proporsi tertinggi yang tidak/ belum mendapatkan vaksinasi
campak terjadi pada kelompok umur <1 tahun yaitu sebanyak 77% kasus
belum divaksinasi (Depkes RI, 2016).

Gambar 2. Jumlah Kasus Campak berdasarkan Status Imunisasi Campak Tahun


2015 (Depkes,RI, 2016).
Tren kasus campak memperlihatkan kecenderungan peningkatan cakupan
imunisasi campak tahun 2007-2012, namun menunjukkan penurunan pada
periode

2013-2015.

Sebaliknya

tren

kasus

campak

memperlihatkan

kecenderungan penurunan kasus selama periode sama. Hal tersebut


memperlihatkan adanya hubungan negatif antara cakupan imunisasi engan
jumlah kasus campak. Semakin tinggi cakupan imunisasi semakin rendah
kejadian campak (Depkes RI, 2016).
Indonesia berkomitmen pada lingkup ASEAN dan SEARO bahwa dalam
rangka mencapai target eliminasi campak 2020, diperlukan imunisasi campak
minimal 95% secara merata di seluruh kabupaten/kota. Hal itu terkait dengan
realita bahwa campak merupakan penyebab utama kematian pada balita. Di
Indonesia, campak merupakan 10 penyakit terbesar penyebab kematian pada
anak usia 29 hari-4 tahun (Depkes RI, 2016).

Gambar 3. Data cakupan imunisasi campak, Jumlah Kasus dan KLB Campak
Tahun 2007-2015 (Depkes RI, 2016).

D. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk infeksi virus Campak adalah sebagai berikut (WHO, 2015):
1. Anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi Campak, atau anak-anak
yang mendapatkan imunisasi tetapi tidak memiliki kekebalan yang baik.
2. Anak-anak dengan immunodefisiensi karena HIV atau AIDS, leukemia,
terapi kortikosteroid, tanpa memandang status imunisasi
3. Perjalanan ke daerah-daerah endemik Campak atau kontak dengan
wisatawan ke daerah endemis
4. Defisiensi vitamin A
E. Penularan
Virus Campak ditularkan dari orang ke orang, manusia merupakan satusatunya host penyakit Campak . Virus Campak berada disekret nasofaring dan
di konjuntiva. Penularan terjadi melalui udara, kontak langsung dengan sekret
hidung atau tenggorokan dan jarang terjadi oleh kontak dengan benda-benda
yang terkontaminasi dengan sekresi hidung dan tenggorokan (Mason, 2015).

Penularan dapat terjadi antara 3 hari sebelum muncul ruam sampai 4-6
hari setelah muncul ruam. Penularan virus Campak sangat infektif sehingga
dengan virus yang sedikit sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang
(Mason, 2015).
F. Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit
virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang.
Penyakit Campak terdiri dari 4 fase, yaitu periode inkubasi, prodormal, erupsi
dan penyembuhan. Selama fase inkubasi, virus Campak yang masuk melalui
droplet atau kontak langsung akan berikatan dengan reseptor PVRL4 (Nectin4) yang diekspresikan oleh epitel pada trakea, mukosa mulut, nasofaring dan
paru. Selanjutnya virus akan bermigrasi ke limfe nodi regional yang
menyebabkan viremia primer. Dari viremia primer, virus menyebar ke sistem
retikuloendothelial yang akan meluas ke seluruh tubuh. Keadaan ini disebut
viremia sekunder (Takeda, 2008).
Fase prodormal dimulai setelah

terjadi

viremia

sekunder

dan

berhubungan dengan nekrosis epitel dan formasi giant cell pada jaringan tubuh.
Sel akan mati karena adanya fusi membran plasma yang disebabkan replikasi
virus yang banyak di jaringan tubuh, termasuk sistem saraf pusat. Mekanisme
perlawanan tubuh terhadap virus dimulai pada fase ini. Selama onset
munculnya ruam, tubuh mulai memproduksi antibodi sehingga menurunkan
replikasi virus dan gejala (Takeda, 2008).
Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena
infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14
infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai
puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2
hingga 3 hari. Selama infeksi, virus Campak akan bereplikasi di dalam sel
endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag. Daerah epitel yang nekrotik di
nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi
bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam
keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada
kasus Campak (Takeda, 2008).
Tabel 1. Patogenesis Campak (Mason, 2015).

G. Gejala Klinis
1. Demam
Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima
atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang temperatur
dapat bifasik dengan peningkatan awal yang cepat dalam 24-48 jam pertama
diikuti dengan periode normal selama 1 hari dan selanjutnya terjadi
peningkatan yang cepat mencapai 40oC pada waktu ruam sudah timbul di
seluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami
lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh yang normal. Bila demam
menetap, kemungkinan penderita mengalami komplikasi (Rampengan,
2007).
2. Coryza (pilek)
Pilek pada campak tidak dapat dibedakan dengan pilek pada keadaan
influenza (common cold) pada umumnya. Tanda pertamanya bersin-bersin
yang diikuti dengan gejala hidung buntu (nasal congestion) dan sekret
mukopurulen yang menjadi lebih berat pada puncak erupsi. Pilek ini cepat
menghilang setelah suhu tubuh penderita menjadi normal (Rampengan,
2007) (Rampengan, 2007).
3. Konjungtivitis
Pada periode prodromal dapat ditemukan transverse marginal line
injection pada palpebra inferior. Gambaran ini sering dikaburkan dengan

adanya inflamasi konjungtiva yang luas dengan adanya edema palpebra.


Keadaan ini dapat disertai dengan adanya peningkatan lakrimasi dan
fotofobia. Konjungtivitis akan hilang setelah demam turun (Rampengan,
2007).
4. Batuk
Batuk disebabkan oleh reaksi inflamasi mukosa saluran pernapasan.
Intensitas batuk meningkat dan mencapai puncaknya pada saat erupsi.
Namun, batuk dapat bertahan lebih lama dan menghilang secara bertahap
dalam waktu 5-10 hari (Rampengan, 2007).
5. Kopliks spot
Merupakan bercak-bercak kecil yang irregular sebesar ujung
jarum/pasir yang berwarna merah terang dan pada bagian tengahnya
berwarna putih kelabu. Gambaran ini merupakan salah satu tanda
patognomonik Campak. Beberapa jam setelah timbulnya ruam sudah dapat
ditemukan adanya Kopliks spot dan menghilang dalam 24 jam sampai hari
kedua timbulnya ruam (Rampengan, 2007).
6. Ruam/Rash
Timbul setelah 3-4 hari demam. Ruam mulai sebagai eritema
makulopapular, mulai timbul dari belakang telinga pada batas rambut,
kemudian menyebar ke daerah pipi, leher, seluruh wajah dan dada serta
biasanya dalam 24 jam sudah menyebar sampai ke lengan atas dan
selanjutnya ke seluruh tubuh mencapai kaki pada hari ketiga. Pada saat
ruam sampai kaki, ruam yang timbul duluan mulai berangsur-angsur
menghilang (Rampengan, 2007).
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Adanya demam terus-menerus 38oC atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri
telan, mata merah dan silau terkena cahaya (fotofobia) dan seringkali
diikuti diare
b. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang
meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami
kejang demam

c. Saat ruam timbul, batuk dan diare dapat bertambah parah sehingga anak
dapat mengalami sesak nafas atau dehidrasi. Adanya kulit kehitaman dan
bersisik (hiperpigmentasi) dapat merupakan tanda penyembuhan (IDAI,
2009 ; Mason, 2015).
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa inkubasi 8-12 hari, terdiri dari 3 stadium :
a. Stadium kataral (prodormal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 2-4 hari dengan gejala demam
ringan, malaise, batuk, pilek, faring hiperemis, nyeri telan, stomatitis dan
konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral 1-3 hari sebelum timbul
eksantema, timbul bercak Koplik yang merupakan tanda patognomonis.
Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul
pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan
menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas
sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit pada
stadium ini menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai
influenza (Mason, 2015).

Gambar 4. Bercak Koplik (Batirel et al., 2013).

Gambar 5. Konjunctivitis pada Campak (Sabella, 2010).


b. Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 5-7 hari. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya
ruam atau eritema yang berbentuk makulopapular disertai naiknya suhu
badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas
tengkuk, dahi mengikuti sepanjang garis rambut. Kadang-kadang
terdapat perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal, muka bengkak. Ruam
kemudian akan menyebar ke leher, dada, abdomen dan akhirnya
mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang
dengan urutan seperti terjadinya.

Gambar 6. Bercak Makulopapular Campak (Mason, 2015).


c. Stadium konvalesensi (penyembuhan)
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang lama -kelamaan akan menghilang sendiri setelah

1-2 minggu. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali


bila ada komplikasi (Mason, 2015).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya, penegakan diagnosis Campak cukup dengan pemeriksaan
klinis, tidak membutuhkan peeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
dilakukan jika ada kemungkinan komplikasi (IDAI, 2009).
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi
bakteri
b. Serologi
Pemeriksaan antibodi IgM merupakan cara tercepat untuk memastikan
adanya infeksi campak akut. Karena IgM mungkin belum dapat dideteksi
pada 2 hari pertama munculnya rash, maka untuk mengambil darah
pemeriksaan IgM dilakukan pada hari ketiga untuk menghindari adanya
false negative. Titer IgM mulai sulit diukur pada 4 minggu setelah
muncul rash. Sedangkan IgG antibodi dapat dideteksi 4 hari setelah rash
muncul, terbanyak IgG dapat dideteksi 1 minggu setelah onset sampai 3
minggu setelah onset. IgG masih dapat ditemukan sampai beberapa tahun
kemudian. Virus measles dapat diisolasi dari urin, darah yang diberi
heparin, dan swab tenggorok selama masa prodromal sampai 24 jam
setelah timbul bercak-bercak.
c. Pemeriksaan Komplikasi
1) Ensefalopati dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal, kadar
elektrolit darah dan analisis gas darah
2) Diare : Pemeriksaan feses lengkap
3) Bronkopneumonia : Dilakukan pemeriksaan foto thorax dan analisis
gas darah
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan Campak bersifat suportif, terdiri dari pemberian cairan
yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi
sekunder, antikonvulsi apabila terjadi kejang, dan pemberian vitamin A.
Pengobatan Campak tanpa komplikasi (Mason, 2015) :

a. Diberikan vitamin A 1 kali sehari selama 2 hari dengan dosis untuk bayi
usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU, 6 bulan sampai 11 bulan 100.000 IU,
dan 12 bulan atau lebih diberikan dosis 200.000 IU. Apabila pasien
disertai dengan malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari.
b. Jika demam, berikan paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali maksimal 4 kali
sehari.
Pengobatan dengan komplikasi (IDAI, 2009) :
a. Ensefalopati
1) Kloramfenikol dosis 75 mg/kbgg/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari
selama 7-10 hari
2) Kortikosteroid, menggunakan dexamethason 1 mg/kgbb/hari sebagai
dosis awal dilanjutkan 0,5 g/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai
kesadaran membaik (bila pemberian lebih dari 4 hari dilakukan
tappering off)
3) Kebutuhan jumlah cairan dikurangi kebutuhan serta koreksi
terhadap gangguan elektrolit
b. Bronkopneumonia
1) Kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari
selama 7-10 hari
2) Oksigen 2 liter/menit
c. Diare
Obati diare menggunakan 5 pilar tatalaksana diare pada anak.
d. Konjunctivitis
Konjungtivitis ringan tanpa adanya pus, tidak perlu diobati. Jika ada pus,
bersihkan mata dengan kain bersih yang dibasahi dengan air bersih.
Setelah itu beri salep mata kloramfenikol atau tetrasiklin 3 kali sehari
selama 7 hari. Jangan gunakan salep yang mengandung steroid. Jika tidak
ada perbaikan, sebaiknya dirujuk.
e. Otitis Media
1) Amoksisilin (15 mg/kgBB/kali 3 kali sehari) atau Kotrimoksazol oral
(24 mg/kgBB/kali dua kali sehari) selama 710 hari.
2) Antihistamin tidak diperlukan untuk pengobatan OMA, kecuali jika
terdapat juga rinosinusitis alergi.

f. Luka pada mulut

Jika ada luka di mulut, mintalah ibu untuk membersihkan mulut anak
dengan air bersih yang diberi sedikit garam, minimal 4 kali sehari.
Berikan gentian violet 0.25% pada luka di mulut setelah dibersihkan.
2. Non medikamentosa
a. Tirah baring di tempat tidur, dan jika ada indikasi dirawat inap di ruang
isolasi. Indikasi rawat (ruang isolasi) antara lain :
1) Hiperpireksia (suhu >39oC)
2) Dehidrasi
3) Kejang
4) Asupan oral sulit
5) Adanya komplikasi
b. Berikan dukungan nutrisi dan cairan sesuai dengan kebutuhan. Jenis
makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya
komplikasi.
c. Pemantauan suhu badan anak dua kali sehari dan periksa apakah timbul
komplikasi
d. Perawatan mata
Untuk konjungtivitis ringan dengan cairan mata yang jernih, tidak
diperlukan pengobatan. Jika mata bernanah, bersihkan mata dengan kain
katun yang telah direbus dalam air mendidih, atau lap bersih yang
direndam dalam air bersih.
e. Perawatan mulut
Jaga kebersihan mulut, beri obat kumur antiseptik bila pasien dapat
berkumur.
f. Perawatan telinga
Pada otitis media akut, Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga,
tunjukkan pada ibu cara mengeringkannya dengan wicking (membuat
sumbu dari kain atau tisu kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu
untuk membersihkan telinga 3 kali sehari hingga tidak ada lagi nanah
yang keluar. Nasihati ibu untuk tidak memasukkan apa pun ke dalam
telinga anak, kecuali jika terjadi penggumpalan cairan di liang telinga,
yang dapat dilunakkan dengan meneteskan larutan garam normal. Larang
anak untuk berenang atau memasukkan air ke dalam telinga.
J. Komplikasi
Sebagian besar penderita akan sembuh, komplikasi sering terjadi pada anak
usia < 5 tahun dan penderita dewasa > 20 tahun. Hal ini disebabkan oleh
adanya penurunan daya tahan tubuh secara umum sehingga mudah terjadi

infeksi

sekunder.

Komplikasi

yang

sering

terjadi

adalah

diare,

bronkopneumonia, malnutrisi, otitis media, kebutaan, encephalitis, ulkus


mukosa mulut (Depkes RI, 2008).
1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat terjadi apabila virus Campak menyerang epitel
saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan disebut radang paru-paru
atau Pneumonia. Bronkopneumonia dapat disebabkan virus Campak sendiri
atau oleh Pneumococcus, Streptococcus, dan Staphylococcus yang
menyerang epitel pada saluran pernafasan maka Bronkopneumonia ini dapat
menyebabkan kematian bayi yang masih muda, anak dengan kurang kalori
protein (Rampengan, 2007).
2. Otitis Media Akut
Otitis media akut dapat disebabkan invasi virus Campak ke dalam telinga
tengah. Gendang telinga biasanya hyperemia pada fase prodormal dan
stadium erupsi. Jika terjadi invasi bakteri pada lapisan sel mukosa yang
rusak karena invasi virus terjadi otitis media purulenta (Rampengan, 2007).
3. Ensefalitis
Ensefalitis adalah komplikasi neurologi yang paling jarang terjadi, biasanya
terjadi pada hari ke 4 7 setelah terjadinya ruam. Kejadian ensefalitis
sekitar 1 dalam 1.000 kasus Campak, dengan CFR berkisar antara 30 40%.
Terjadinya Ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun
melalui invasi langsung virus Campak ke dalam otak (Rampengan, 2007).

4. Diare
Diare terdapat pada beberapa anak yang menderita Campak, penderita
mengalami muntah mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi
virus ke dalam sel mukosa usus (Rampengan, 2007).
5. Kebutaan
Terjadi karena virus Campak mempercepat episode defisiensi vitamin A
yang

akhirnya

dapat

menyebabkan

xeropthalmia

atau

kebutaan

(Rampengan, 2007).
6. Laringotrakeoronkitis (Croup)
Laringotrakeobronkitis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
Campak.

Pada

anak-anak,

gambaran

klinik

dari

sindrom

laringotrakeobronkitis tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak

napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan


sistemik lain. Gejala awal sering ringan yaitu berupa demam, batuk, suara
serak kemudian cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat
dengan penarikan-penarikan sela antar iga toraks bagian bawah serta
penggunaan otot-otot napas bantu secara menonjol (Rampengan, 2007).
7. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE)
Suatu proses degeneratif susunan saraf pusat dengan gejala karakteristik
terjadi deteriorasi tingkah laku dan intelektual yang diikuti dengan kejang.
Disebabkan oleh infeksi virus yang menetap, timbul beberapa tahun setelah
infeksi dan merupakan satu komplikasi campak awitan lambat. Terjadi pada
1/25000 kasus, menyebabkan kerusakan otak progresif dan fatal (IDAI,
2009).
K. Pencegahan
Sasaran dari pencegahan adalah orang-orang yang termasuk kelompok
berisiko, yakni anak yang belum terkena Campak, tetapi berpotensi untuk
terkena penyakit Campak.
1. Penyuluhan
Edukasi Campak

adalah

pendidikan

dan

latihan

mengenai

pengetahuan mengenai Campak. Disamping kepada penderita Campak,


edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok masyarakat
beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan. Berbagai
materi yang perlu diberikan kepada pasien Campak adalah definisi penyakit
Campak, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya Campak dan
upaya-upaya menekan Campak, pengelolaan Campak secara umum,
pencegahan dan pengenalan komplikasi Campak.
2. Imunisasi
Di Indonesia sampai saat ini pencegahan penyakit Campak dilakukan
dengan vaksinasi Campak secara rutin yaitu diberikan pada bayi berumur 915 bulan. Vaksin yang digunakan adalah Schwarz vaccine yaitu vaksin
hidup yang diolah menjadi lemah. Vaksin ini diberikan secara subkutan
sebanyak 0,5 ml. vaksin Campak tidak boleh diberikan pada wanita hamil,
anak dengan TBC yang tidak diobati, penderita leukemia. Vaksin Campak
dapat diberikan sebagai vaksin monovalen atau polivalen yaitu vaksin
measles-mumps-rubella (MMR). vaksin monovalen diberikan pada bayi

usia 9 bulan, sedangkan vaksin polivalen diberikan pada anak usia 15 bulan.
Penting diperhatikan penyimpanan dan transportasi vaksin harus pada
temperature antara 2C - 8C atau 4C, vaksin tersebut harus dihindarkan
dari sinar matahari. Mudah rusak oleh zat pengawet atau bahan kimia dan
setelah dibuka hanya tahan 4 jam (Depkes RI, 2013). Jadwal imunisasi
Campak (campak) yaitu sebagai berikut :
a. Imunisasi dasar campak pada usia 9 bulan
Tabel 2. Jadwal Imunisasi Wajib Dasar (Depkes RI, 2013).

b. Imunisasi lanjutan campak pada usia 24 bulan


Tabel 3. Jadwal Imunisasi Lanjutan (Depkes RI, 2013).

c. Imunisasi lanjutan campak pada kelas 1 SD


Tabel 4. Jadwal Imunisasi Lanjutan Anak Usia Sekolah Dasar (Depkes
RI, 2013).

d. Imunisasi pilihan MMR (Measles, Mumps, Rubella)


Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan dalam.
Jadwal pemberian :
1) Diberikan pada usia 1218 bulan.
2) Pada populasi dengan insidens penyakit campak dini yang tinggi,
imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 (sembilan) bulan.

Departemen Kesehatan (2013) merekomendasikan vaksin MMR


harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan
rubella atau sudah mendapatkan imunisasi campak, pada anak dengan
penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan
ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down, anak berusia 1 tahun
yang berada di day care centre, family day care dan playgroups, serta
anak yang tinggal di lembaga cacat mental (Depkes RI, 2013).
L. Prognosis
Prognosis untuk Campak umumnya baik, dengan infeksi hanya kadangkadang menjadi fatal. CDC melaporkan angka kematian anak dari infeksi
Campak di Amerika Serikat menjadi 0,1-0,2%. Namun, banyak komplikasi dan
gejala sisa yang dapat terjadi, dan Campak merupakan penyebab utama
kebutaan pada anak di negara berkembang (Susana, 2008).
Secara global, Campak tetap menjadi salah satu penyebab utama
kematian pada anak-anak. Menurut CDC, Campak menyebabkan sekitar
197.000 kematian di seluruh dunia pada tahun 2007. Diperkirakan 85% dari
kematian ini terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Dari 2000-2007, kematian di
seluruh dunia turun 74% (untuk 197.000 dari estimasi 750.000) (CDC, 2009).
Tingkat kematian tertinggi di antara bayi usia 4-12 bulan dan pada anakanak yang immunocompromised karena infeksi human immunodeficiency
virus (HIV) atau penyebab lainnya. Komplikasi Campak lebih sering terjadi
pada usia kurang dari 5 tahun atau lebih tua dari 20 tahun, dan morbiditas dan
mortalitas meningkat pada orang dengan gangguan defisiensi imun, malnutrisi,
kekurangan vitamin A, dan vaksinasi tidak memadai (Susana, 2008).
Croup, ensefalitis, dan pneumonia merupakan penyebab paling umum
kematian yang berhubungan dengan Campak. ensefalitis Campak, komplikasi
yang jarang namun serius, memiliki angka kematian 10% (CDC, 2009).

III. KESIMPULAN
1. Campak merupakan infeksi virus akut yang menular, disebabkan oleh virus
Campak (Morbili virus)
2. Faktor risiko penyakit Campak antara lain tidak mendapatkan imunisasi
Campak, immunodefisiensi, pergi ke daerah endemik Campak dan defisiensi
vitamin A.
3. Patogenesis Campak terdiri dari 4 fase (stadium), yaitu inkubasi, prodormal,
erupsi dan konvalesensi.
4. Penegakan diagnosis Campak merupakan diagnosis klinis, cukup dengan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
5. Penatalaksaan Campak merupakan terapi yang bersifat suportif
6. Pencegahan Campak dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi Campak

DAFTAR PUSTAKA
Batirel A, Mehmet D. 2013. Clinical Approach to Skin Eruption and Measles: A
Mini Review. J General Practice. Vol 1 (3) : 1-4.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2009. Program in brief:
Measles Mortality Reduction and Regional Global Measles Elimination.
Available at : http://www.cdc.gov/ncird/progbriefs/downloads/globalmeasles-elim.pdf. Diakses pada 19 Agustus 2016.
Daikoku E, Chizuko M, Takehiro K, Kouichi S. 2007. Analysis of Morphology
and Infectivity of Measles Virus Particles. Bulletin of The Osaka Medical
College. Vol. 53 (2) : 107-114.
Depkes RI. 2008. Petunjuk Teknis Surveilans Campak. Direktorat Surveilans
Epidemiologi Imunisasi & Kesehatan Matra. Jakarta : Direktorat Jenderal
PP & PL.
Depkes RI. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Available at :
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/92_PMK%20No.%2042%20ttg
%20Penyelenggaraan%20Imunisasi.pdf. Diakses pada 20 Agustus 2016.
Depkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
Depkes RI. 2016. Situasi Imunisasi di Indonesia Tahun 2007-2015. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI. Hal. 33-35.

Kutty P, Jennifer R, William B, Susan B, Albert B, Gregory W. 2013. Measles.


dalam VPD Surveillance Manual 6th Edition. Available at :
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt07-measles.pdf.
Diakses pada 16 Agustus 2016.
Mason WH. 2007. Measles. Dalam : Kliegman RM, Richard EB, Hal BJ, Bonita
FS. Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. Philadephia : Saunders
Elseviers. Hal.1331-1336.
Mason WH. 2015. Measles. Dalam : Kliegman RM, Richard EB, Nina FS, Bonita
FS. Nelson Textbook of Pediatrics 20th Edition Volume 1. Philadephia :
Saunders Elseviers. Hal. 1541-1547.
Rampengan TH. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi Kedua. Jakarta:
EGC.
Sabella. 2010. Measles: Not Just a Childhood Rash. Cleve Clin J Med. Vol. 77(3) :
207-213.
Susana Scott. 2008. Predicted Impact of The HIV-1 Epidemic on Measles in
Developing Countries: Results From A Dynamic Age-Structured Model.
International Journal of Epidemiology. Vol.37(1) : 356367.
Takeda M. 2008. Measles Virus Breaks Through Epithelial Cell Barriers To
Achieve Transmission. The Journal of Clinical Investigation. Vol.118 (7): 15.
WHO. 2014. Warns That Progress Towards Eliminating Measles Has Stalled.
Available
at
:
http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2014/
eliminating-measles/ en/. Diakses pada 19 Agustus 2016.
WHO. 2015. Measles. Available at : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/
fs286/en/. Diakses pada 20 Agustus 2016.

Anda mungkin juga menyukai