DOKTER PEMBIMBING :
dr. AMRAN S, Sp. THT
OLEH :
RUDY FIRMANSYAH
VITA PUSPITASARI
RELIGIA TUNGGA DEWI
YULI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan hidayahNya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan yang berjudul Otitis Media.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. AMRAN S Sp.THT, selaku
konsultan dibagian THT di RS Haji Medan dan rekan-rekan yang telah membantu penulis
dalam pembuatan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan refreshing ini masih banyak
terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga laporan refreshing ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para
pembaca.
Medan,
2013
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Penyakit pada telinga tengah dan mastoid lazim ditemukan di Amerika Serikat dan
seluruh dunia. Sebagai contohnya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa otitis media
merupakan masalah paling umum kedua pada praktek pediatrik, setelah pilek. Radang, celah
telinga tengah (tuba eustakius, telinga tengah dan mastoid) khususnya sering pada anak, dan
pada daerah-daerah dengan sarana minimal seperti ghetto, daerah reservasi Indian dan
daerah-daerah tertentu di Alaska. Agaknya faktor genetic ikut pula berperan karena seringkali
ada riwayat penyakit telinga pada orang tua ataupun saudara sekandung. Sejak penggunaan
antibiotik secara luas terhadap otitis media dan mastoiditis pada pertengahan 1930-an, angka
mortalitas dan penyulit serius dari otitis media telah sangat menurun. Namun, sekarang
penyakit telinga tengah seringkali terdapat dalam bentuk kronik atau lambat yang
menyebabkan kehilangan pendengaran dan pengeluaran sekret. Morbiditas seringkali berarti
gangguan pendengaran yang mengganggu fungsi sosial, pendidikan dan profesional. Pada
anak usia sekolah, gangguan-gangguan telinga tengah (misal, otitis media serosa) lazim
terjadi, anak mungkin memperlihatkan hasil yang buruk disekolah hingga gangguan ini dapat
dideteksi melalui pemeriksaan penyaring untuk selanjutnya didiagnosa dan diobati.
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis
media serosa, otitis media secretoria, otitis media musinosa, otitis media musinosa). Masingmasing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis
media akut = OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Begitu pula otitis media
serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut (barotrauma = aerotitis) dan otitis media
serosa kronis. Selain itu terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberculosa
atau otitis media sifiltica.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mengalirkan sedikit lendir yang dihasilkan sel-sel yang melapisi telinga tengah ke
bagian belakang hidung.
ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri. Pada 25%
pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Virus ditemukan pada 25% kasus da
da dan n kadang menginfeksi telinga tengah bersama bakteri. Bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan
Moraxella cattarhalis. Yang perlu diingat pada OMA, walaupun sebagian besar kasus
disebabkan oleh bakteri, hanya sedikit kasus yang membutuhkan antibiotik. Hal ini
dimungkinkan karena tanpa antibiotik pun saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga
bakteri akan tersingkir bersama aliran lendir.
Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena beberapa hal
a. Sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan.
b. Saluran Eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek sehingga
ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah.
c. Adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam
kekebalan tubuh) pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid
berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu
terbukanya saluran Eustachius. Selain itu adenoid sendiri dapat terinfeksi di mana infeksi
tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
PATOFISIOLOGI
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan
transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan
membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah
nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang
dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat
menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain
itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien. Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga
tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar
dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran
timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat
eksudat serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen
di kavum timpani. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan
nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
4. Stadium perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat
terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar.
Pasien yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila
terjadi perforasi maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan
virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut
(OMA) berubah menjadi otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus-menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala
sisa berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa perforasi. Pada
anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan pendengaran berupa rasa penuh atau
kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media anak adalah suhu tubuh
yang tinggi (> 39,5 derajat celsius), gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare,
kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran
tinmpani, suhu tubuh akan turun dan anak tertidur.
DIAGNOSA
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
a. menggembungnya gendang telinga
b. terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.
OMA
+/-
+/-
Berkurangnya pendengaran
PENATALAKSANAAN
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik.
Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di
telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun
atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa.
Sumber infeksi lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman
Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah
terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan pemberian antibiotik
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan
asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal
selama 7 hari
Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur
Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret
akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari
Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi
menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah
terjadi mastoiditis
PENANGANAN
ANTIBIOTIK
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya. Sekitar 80%
OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak mengurangi
komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya pendengaran. Observasi dapat
dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada
perburukan gejala, antibiotik diberikan. American Academy of Pediatrics (AAP)
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan
antibiotik sebagai berikut:
Usia
Diagnosis pasti
Diagnosis meragukan
< 6 bln
6 bln 2 th
Antibiotik
Antibiotik
Antibiotik
Antibiotik jika gejala berat; observasi jika
2 thn
gejala ringan
Antibiotik jika gejala berat;Observasi
observasi jika gejala ringan
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang berat atau
demam 39C.
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan
dua tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di
atas dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana.
Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan
observasi ini. Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa
gejala umum seperti demam dan muntah.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak
adalah amoxicillin.
1. Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan pemberian
40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg berat
badan/hari untuk anak dengan risiko tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud antara lain
adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat
pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
2. WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg.
3. AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari. Dosis ini terkait dengan
meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di
Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal
serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari.
Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil
kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
4. Buku ajar THT UI menganjurkan pemberian pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis
50-100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/BB/hari dibagi
dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari
Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam. Dalam
24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan. Jika
pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan
yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik
lini kedua. Misalnya:
1. Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah
amoxicillin-clavulanate. Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate
dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.
2. Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin
seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
3. Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau
clarithromycin.
4. Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazoletrimethoprim. Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik
dengan amoxicillin.
Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang
diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.
Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya
merupakan generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga
azythromycin atau clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat
membunuh lebih banyak jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di
tubuh akan dapat terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan
ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan indikasi jelas penggunaan antibiotik lini kedua.
Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di
bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat. Pada usia enam tahun ke atas, pemberian
antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima
hari
ANALGESIA/PEREDA NYERI
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).
Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau
ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan
bahwa anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena
ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna. Pemberian obat-obatan lain seperti
antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak memberikan manfaat bagi anak. Pemberian
kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan
yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana
terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi. Cairan yang keluar harus dikultur.
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki
bukti yang cukup.
PENCEGAHAN
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak,
2. pemberian ASI minimal selama 6 bulan,
c.
Perforasi Atik
Klasifikasi OMSK
Jenis OMSK terbagi atas 2 jenis, yaitu tipe benigna dan tipe maligna.
1. OMSK tipe Benigna
Proses peradangannya terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai
tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan
komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat kolesteatoma.
2. OMSK tipe Maligna
Merupakan OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu
kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe
yaitu kongenital dan didapat. OMSK tipe maligna dikenal juga dengan OMSK tipe berbahaya
atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya di atik, kadang-kadang
terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi yang berbahaya atau fatal timbul
pada OMSK tipe maligna.
Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar terdiri dari OMSK aktif dan OMSK tenang.
a) OMSK aktif, merupakan OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara
aktif. Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang dimana
kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai
mukopurulen
b) OMSK tenang, ialah OMSK yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.
Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga
tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang
dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi OMSK pada beberapa negara antara lain dipengaruhi, kondisi sosial,
ekonomi, suku, tempat tinggal yang padat, hygiene dan nutrisi yang jelek. Kebanyakan
melaporkan prevalensi OMSK pada anak termasuk anak yang mempunyai kolesteatom, tetapi
tidak mempunyai data yang tepat, apalagi insiden OMSK saja, tidak ada data yang tersedia.
ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis,
tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba
Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan
cleft palate dan Downs syndrom. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring
yang merupakan faktor insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat. Kelainan humoral
(seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan
leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab OMSK antara lain lingkungan, genetik, otitis media sebelumnya, infeksi
saluran nafas atas, autoimun, alergi, dan gangguan fungsi tuba eustachius.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani menetap pada
OMSK :
Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan produksi
perforasi.
Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui mekanisme
migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan yang cepat
diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah penutupan spontan
dari perforasi.
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang sering ditemukan pada otitis media supuratif kronis diantaranya
1. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe
jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga.
Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena
rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang
mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan
tuberkulosis.
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan
mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya
didapat tuli konduktif berat.
3. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat
berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri
merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau
trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitive, keluhan vertigo dapat terjadi hanya
karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah
terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan
keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum.
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna yang perlu diperhatikan mengingat OMSK
tipe ini seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan
diagnosis dini yang menjadi pedoman yaitu adanya perforasi pada marginal atau pada atik.
Sedangkan pada kasus yang lanjut dapat terlihat adanya Abses atau fistel retroaurikular,
jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani, pus yang selalu
aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom) dan foto rontgen mastoid adanya gambaran
kolesteatom.
DIAGNOSIS OMSK
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:
1. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali
datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering
dijumpai adalah telinga berair, adanya secret di liang telinga yang pada tipe tubotimpanal
sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang (mukous), tidak berbau busuk dan intermiten,
sedangkan pada tipe atikoantral, sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai
pembentukan jaringan granulasi atau polip, maka sekret yang keluar dapat bercampur darah.
Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi
dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang
dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk
menentukan gap udara dan tulang.
Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold pada kasus dengan
tujuan untuk memperbaiki pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schller berguna untuk menilai
kasus kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif menunjukkan
anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.
PEMERIKSAAN KLINIK
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan klinik sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas.
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran
diberikan terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Bila
sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah observasi selama 2 bulan, maka
idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi,
mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran.
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya
infeksi berulang, maka sumber infeksi harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga perlu
melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.
Pemberian Antibiotik Topikal
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan
obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Mengingat pemberian obat topikal
dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang
ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan
antibiotik yang paling baik dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni.
Bubuk telinga yang digunakan seperti :
a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
b. Terramycin.
c. Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif yang
dikombinasi dengan pembersihan telinga.
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli
Klebeilla, Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik
terhadap ginjal dan susunan saraf.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus,
Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan
telinga.
3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid
rekonstruksi membran timpani sering kali harus dilakukan juga rekonstruksi tulang
pendengaran. Berdasarkan bentuk rekonstruksi tulang pendengaran yang dilakukan maka
dikenal istilah timpanoplasti tipe II, III, IV, V.
Sebelum rekonstruksi dikerjakan, lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani
dengan atau tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis. Tidak jarang
pula operasi ini terpaksa dilakukan dua tahap dengan jarak waktu 6 sampai dengan 12
bulan.
f. Pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty)
Merupakan teknik operasi yang dilakukan pada kasus Maligna dan Benigna dengan
jaringan granulasi yang luas. Tujuan operasi untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran tanpa melakukan teknik mastoidektomi radikal (tanpa
meruntuhkan dinding posterior liang telinga).
Membersihkan kolesteatoma dan jaringan granulasi di kavum timpani, dikerjakan
melalui dua jalan (cobined approach), yaitu melalui liang telinga dan rongga mastoid
dengan melakukan timpanotomi posterior. Teknik operasi ini dilakukan pada OMSK
maligna belum disepakati oleh para ahli, karena sering terjadi kekambuhan kolesteatom.
Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada luasnya infeksi atau
kolesteatom, sarana yag tersedia dan pengalaman operator. Sesuai dengan luasnya infeksi
atau luasnya kerusakan yang sudah terjadi, kadang-kadang dilakukan kombinasi dari jenis
operasi tersebut atau modifikasinya.
KOMPLIKASI
Otitis media supuratif mempunyai potensi untuk menjadi serius karena komplikasinya
yang dapat mengancam kesehatan dan menyebabkan kematian. Tendensi otitis media
mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore.
Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan
menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna,
tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada
OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari
OMSK berhubungan dengan kolesteatom.
A. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Labirinitis supuratif
C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty, Arsyad. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan
Tenggorokan. Edisi Kelima. FKUI. Jakarta: 2002.
2. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Edisi III. RSU Dokter Soetomo. Surabaya: 2005.
3. Boies, Adam. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC. Jakarta: 2000.