Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

CERPEN
SEPEDA ONTHEL PEMBAWA KEBERKAHAN

Oleh :

Dwi Safriani Pangestika

(113654003)

UNIVERSITAS NEGARI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
2011

SEPEDA ONTHEL PEMBAWA


KEBERKAHAN
Pagi ini aku memulai hariku dengan mengingat Allah SWT, sang pencipta
langit, bumi beserta isinya. Ku hampiri istriku yang sudah sejak tadi bangun untuk
mempersiapkan sarapanku, Ku ajak dia untuk sholat subuh berjamaah.
Dek, sholat dulu yuk.masaknya diterusin nanti..
Iya mas, aku ambil air wudhu dulu ucapnya lirih.
Aku pun menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Cessssss air
wudhu ini menyegarkan wajahku.
Subhanallah.betapa indahnya karunia-Mu ya Allah. Pujiku dalam hati.
Aku menuju tempat sholat. Disana telah ada istriku yang mengenakan mukena
yang aku berikan padanya untuk mas kawin dulu. Wajah istriku putih bersih, bersinar
seperti tersinari cahaya surga. Subhanallahistriku yang telah 1 tahun aku nikahi,
dialah wanita kedua terhebat yang aku temui setelah ibuku. Dia mau menerima aku
apa adanya, dengan segala kekurangan yang ada pada diriku. Ku kenakan sarung
peninggalan Alm.Ayah. Sarung ini merupakan saksi bisu dari jerih payah dan keringat
ayahku semasa hidup beliau. Keringat untuk menghidupi keempat anaknya, yaitu
Kakakku Agus, kedua adikku Toni dan Yani, dan aku sendiri, Rian.
Mas, kok nglamun??lagi mikirin apa? suara istriku yang seketika memecah
lamunanku.
Astaghfirullahmaaf dek, mas inget sama Alm. Ayah
Ya udah, ayo kita sholah dulu, habis itu kita doain ayah kata istriku.
Iya dek, maaf ya. Ayo kita sholat.
Allahu Akbar.
Ku lantunkan doa-doa disepanjang sholatku. Ku kirimkan doa-doa disujud
panjangkuku nikmati saat-saat menghadap kekasih kekalku, Allah ya Rabb.. ku
adukan segala keluh kesahku kepadaNya. Ku sampaikan doa-doaku untuk orangorang yang aku sayangi di dunia ini kepadaNya.
Assalamualaikum wr.wb.
Assalamualaikum wr.wb.

Ku ulurkan tanganku dan istriku pun mencium tanganku penuh rasa patuh.
Mas, maaf aku lupa tidak mematikan kompor. Boleh aku ke dapur dulu??? ucapnya
lirih.
Iya jawabku singkat.
Assalamualaikum
Waalaikumsalam
Ku lanjutkan panjatan doaku. Untuk Ayah, Ibu, Istriku dan tak lupa semua
saudara-saudaraku.
Tes..tes.
tak terasa air mataku jatuh dan membasahi pipi. Aku teringat Ayah. Ingin rasanya aku
bertemu beliau, memeluk beliau dan berkumpul bersama beliau walau hanya dalam
mimpi.
Ayah.aku rindu padamu.. teriakku dalam hati
Testestes
Air mata ini tak mampu ku bendung lagi. Mataku basah dan sembab. Sesekali
aku sesenggukan.
AstaghfirullahAstaghfirullahaku harus ikhlas dengan kepergian Ayah. Aku
yakin Ayah telah tenang disisi Allah ucapku dengan beruraian air mata.
Aku bersujud dan kembali dalam lamunan doaku
Tiba-tiba.
DEG.
Aku teringat dengan 20 tahun yang lalu
Kala itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pagi sekali aku telah
bangun dari mampi-mimpiku. Mimpiku memiliki sepeda baru, mainan-mainan bagus,
menikmati waktu senggang dengan bermain. Dan ahh.ternyata itu hanya mimpi
belaka. Ku langkahkan kakiku menuju dapur dan mencari Ibuku.
Ibu..Rian lapar, dari kemarin belum makam. Mana sarapannya?? tanyaku
pada Ibu sambil membuka tudung saji di meja makan.
Ya Allah anakkumaafin Ibu ya nak, Ibu belum bisa beli beras kata Ibu.
Lha trus, Rian makan apa bu???
Sabar ya nak. Hari ini kita puasa dulu. Insya Allah hari ini kalau Ayah dapat
rejeki, Ibu masakin makanan kesukaan kalian rayu Ibu.
***

Tidak mudah memang, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, dengan
ayah yang hanya seorang penjaga sekolah dan ibu bekerja di kantin sekolah tersebut.
Hampir seluruh waktuku dan saudara-saudaraku tersita untuk membantu ayah dan
ibuku bekerja. Jangankan waktu untuk bermain atau sekedar beristirahat, waktu
belajarku pun tersita untuk membantu mereka, hingga aku harus bangun pukul 2 pagi
untuk mengerjakan tugas-tugas dari pak guru. Bayangkan, di pagi hari ku tunaikan
tugasku sebagai seorang pelajar sambil tak lupa aku membawa sekeranjang jajanan
pasar buatan ibuku tercinta untuk aku jual pada teman-teman atau aku titipkan di
kantin sekolah. Kalaupun tak habis, aku membawanya pulang lagi dan aku makan
bersama kedua adik dan kakakku. Kalau sudah begitu artinya makan malam
ditiadakan. Dan lagi-lagi kami sudah terbiasa dengan hal tersebut.
Pernah suatu malam adik bungsuku Yani mengeluh
Kak Rian, perut yani krucuk-krucuk kak, perih ada nasi nggak kak???
tanyanya dengan polos.
Hatiku terasa perih mendengar pengakuan polosnya.
Besok pagi ya dek, ibu pasti masak sarapan yang enaaaak banget buat kita,
tempe goreng anget sama sambel korek kesukaan adek. Adek suka kan?? Sabar dikit
ya adekku sayang, sekarang bobok aja dulu biar cepet pagi
Tes
Bulir air mataku tak bisa lagi kutahan, mengalir saat mendengar tutur polos
bocah 6 tahun itu.
Di siang hari sepulang sekolah, aku langsung menuju sekolah tempat ayah dan
ibuku mencari nafkah. Aq hanya bisa membantu semampuku. Sekedar memecah es,
mencuci piring, menyapu halaman kantin, atau apapun yang diperintahkan oleh ibu
akan aku lakukan semampuku. Sekedar baktiku pada beliau yang sudah mulai renta.
Saudara-saudaraku juga tak mau kalah, mereka saling bahu-membahu membantu
meringankan pekerjaan ayah dan ibu.
***
Suatu ketika, pernah kakakku Agus diam-diam mengajakku untuk berjualan
Koran di pinggir jalan atau lampu merah tanpa sepengetahuan orangtuaku
Rian, besok pulang sekolah mau kemana?
ya ke kantin ibu lah kak, kayak biasanya. Kenapa? Mau ngajak main to?
Nggak mau aku, kasihan ibu!

ih, enak aja nuduh sembarangan. Ryan, mau nggak kakak ajak jual Koran?
Sekedar bantu-bantu bapak Yan. Kasihan bapak, udah tua. Adik kita, si Toni dan Yani
masih kecil. Kasihan mereka, mereka nggak boleh ngasain sengsara. Biar kita aja
yang udah agak gedhe yang bantu-bantu ayah..
tapi kak, kalau ketahuan ayah pasti kita dimarahin. Nggak mungkin ayah tega
ngelihat kita panas-panasan dijalan buat cari uang..
Makanya Dek, kita harus pinter-pinter jaga rahasia. Jangan sampai ketahuan
ayah mau ngaak?? Mumpung kakak di tawari Pak Qomar yang agen Koran itu
ya udah deh, Ryan ikut
***
Esoknya, sepulang sekolah aku dan kak Agus menjalankan rencana yang telah
kami buat sebelumnya. Dengan alasan mengerjakan tugas dan pelajaran tambahan,
kamipun terpaksa harus berbohong kepada ayah dan ibu. Kami menjajakan Koran dari
satu perempatan ke perempatan lain. Dari lampu merah sampai ke rumah-rumah
warga. Panghasilan yang kami terima cukup lumayan, hasil itupun kami tabung untuk
membeli beras.
Alhamdulillah ya Kak, akhirnya kita bisa bantu ibu beli beras.. kataku puas
iya Dek Alhamdulillah
tapi Kak, kalau ibu nanya kita dapet uang buat beli beras ini darimana gimana
dong Kak??
o iya yammmmm.kita bilang aja bantuan dari sekolah
kita bohong lagi dong Kak?
ya mau gimana lagi??
ya udah dech
Dua bulan kami berhasil melakoni profesi ini. Sampai akhirnya aktivitas ini
diketahui juga oleh ayah. Ayah pun marah pada kami. Beliau tak ingin anaknya ikut
bersusah payah sepertinya. Alhasil beliau mendiamkan kami selama dua hari.
Terpaksa kami harus berhenti berjualan Koran demi menjaga hati ayah.
***
Perjalanan hidup terus kami lalui, sampai akhirnya kakakku, aku dan adik
laki-lakiku berhasil lulus SMA berkat jerih payah dari ayah. Namun, ketika adik
bungsuku, Yani masih duduk di bangku SMA kelas 1 ayahku dipanggil menghadap
sang pencipta. Sakit ringan dan mendadak itu merenggut nyawa ayahku.

Pagi itu, ayah melaksanakan tugas seperti biasa, membersihkan kelas, kamar
mandi, menyiapkan teh untuk para guru dan tugas-tugas lainnya. Menjelang dzuhur,
ayah menyempatkan istirahat sejenak di kantin ibu. Wajah ayah terlihat pucat dan
beliau mengeluh pusing. Hal itu membuat ibu heran.
Yah, Ayah sakit to? Kok keliatan agak pucat? Tanya Ibu.
Nggak tahu nich Bu, kepala rasane kok agak pusing. Tolong buatin teh ya Bu,
kali aja bisa agak mendingan.
iya Yah
Ayah pun sempat menunaikan sholat dzuhur berjamaah di masjid. Setelah
salam beliau langsung ambruk dan tak sadarkan diri. Beliau menghembuskan napas
terakhir saat berada di perjalanan menuju Rumah Sakit.
***
Musibah lain setelah kepergian ayah pun datang, seolah Allah ingin menguji
keteguhan hati dan iman kami sekeluarga. Aku yang saat itu hanya seorang pekerja di
sebuah rental computer harus terima tatkala kantin ibu di gusur dan ibu dilarang
berjualan lagi di kantin sekolah itu. Mendengan berita tersebut aku langsung
menghadap dan bernegosiasi dengan kepala sekolah. Aku mengajukan diri untuk
menggantikan posisi ayah, dengan harapan ibuku bisa berjualan lagi di kantin sekolah
tersebut. Namun ternyata semua upayaku sia-sia. Keputusan kepala sekolah itu tidak
bias di ganggu gugat. Ibuku harus meninggalkan pekerjaan yang puluhan tahun
digelutinya.
Hingga secercah harapan itu datang. Seorang guru yang sudah agak sepuh
bernama Pak Amin, guru dari sekolah tempat ayah bekerja dulu datang ke rumah
kami. Beliau memang sangat akrab dengan Almarhum ayah. Beliau yang selalu
memberi motivasi dan dukungan bagi ayah.
Toktoktok
Assalamualaikum.
waalaikumsalammonggo Pak. Walahwalah darimana Pak, kok tumben
datang ke rumah
Tadi habis ngajar langsung mampir kesini, mau ada perlu le kata beliau.
Ada perlu apa Pak? tanyaku heran.
Gini lo le, kamu mau nggak kerja di SD. Kebetulah aku kepala sekolahnya.
Nanti kamu bantu-bantu di kantornya. Awakmu kan pinter ngetik, di SDku itu jarang

yang bisa komputer. Nanti gajinya ya lumayanlah buat bantu keperluan ibu kamu.
Piye le? Mau nggak? katanya meyakinkanku.
Kerja di SD Pak? tanyaku lagi.
Iya, bahkan nanti kamu bisa ngajar iqro buat kegiatan ekstra anak-anak
jelesnya lagi.
Sepertinya saya tertarik. Tapi alangkah baiknya saya minta pertimbangan ibu
dulu.
Iya, sebaiknya minta pertimbangan ibu kamu dulu. Ya sudah itu aja, saya mau
pamit dulu, nanti mau mampir ke SD sebentar.
Lho Pak, kok buru-buru pamit. Belum sempat dibuatin minum
Walah, nggak usah le, matur nuwun. Nggak usah repot-repot. Saya pamit
dulu, Assalamualaikum
Waalaikumsalam. Terimakasih sudah mau mampir pak, terima kasih juga
udah nawari saya kerjaan
Atas izin Ibu, akhirnya aku bekerja di SD tersebut. Dengan telaten aku
menjalani hari dengan profesi baruku ini. Gaji bulanan yang aku terima aku berikan
kepada ibu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hanya aku sisakan sebagian
untuk di tabung demi masa depan.
Masa depan?? Apa yang bisa aku harapkan? Dengan selembar ijazah SMA
pun aku belum bisa melamar kerja menjadi guru tetap, menjadi PNS. Profesi yang
kala itu sangat disanjung-sanjung semua orang karena mendapat gaji tetap dan
pensiunan di hari tua. Aku pun bertekad untuk kuliah. Ku redam keinginanku untuk
memiliki sepeda motor dengan tabungan tiap bulanku. Aku tak peduli jika setiap hari
sepeda onthel tua peninggalan Almarhum ayah berbaris rapi dengan sepeda motor
gres-gres milik guru-guru SD.
Menginjak tahun ketiga, dengan bermodal uang tabungan dan kenekatan, aku
mendaftar di sebuah universitas negari di kotaku. Yap, bermodal nekat. Aku pun tak
tahu kedepannya membayar tiap semester dengan uang darimana. Namun aku tak
patah semangat, kebetulan kuliahku hanya 2 hari dalam sepekan. Di sela waktu luang
yang aku punya, ku gunakan untuk kerja serabutan. Pernah aku menjadi karyawan di
sebuah lembaga bimbingan belajar untuk menambah penghasilan. Saat itu, hatiku
terpikat oleh gadis manis berjilbab di les di tempat itu. Usia kami terpaut 10 tahun.
Selisih usia yang tak lagi sedikit. Namun ternyata cintaku tak bertepuk sebelah
tangan. Gadis itu menerimaku dengan segala kelemahan dan kesederhanaan yang aku

miliki. Dia tak peduli dengan status dan sepeda onthelku. Kami semakin bersemangat
yang mendukung satu sama lain.
Setelah dia lulus SMA, dia melanjutkan kuliah di Ibu kota provinsi. Terpisah
dengan jarak dan waktu yang tak sedikit tak menggoyahkan cinta kami. Hingga empat
tahun kemudian aku lulus sebagai seorang sarjana pendidikan. Air mata haru ibuku
tak bisa disembunyikan lagi, ku gandeng tangan beliau menuju tempat wisuda. Rasa
bangga menggemuruh dalam dada ibu, karena akulah satu-satunya orang yang bisa
meraih gelar sarjana di keluargaku.
Ayah, andai kau masih ada.
Aku ingin sekali engkau hadir disini. Menemaniku disaat-saat terindah dalam
perjalanan hidupku.
***
Setahun kemudian, aku meminang gadisku tercinta. Aku ingin dia menemani
dan mengisi hari-hariku. Gadis yang sangat aku cintai, gadis yang bisa membuat aku
bertahan dan kuat mengahadapi semua kesulitan hidup. Meski dia belum selesai
kuliah, namun kami menikah dengan restu keluarga besar kami. Pernikahan sederhana
namun sakral telah menghalalkan cinta kami. Cinta yang bertahun-tahun kami jaga
kesuciannya. Cinta yang meski pernah layu kami pupuk lagi dan bunga-bunga kasih
itu bermekaran dan bertahan hingga kini.
***
Mas suara istriku membuyarkan lamunan masa laluku.
Astaghfirullahkenapa dek?
Lho, kok kenapa sich ini udah jam setengah enam lomandi dulu atau
sarapan? Sarapannya udah siap juga katanya sambil tersenyu manis.
Iya adek sayangpinter amat sich. Jadi makin cinta nich. Hehehehehe
Walah, mas nie sukanya gombal aja udah, ayo mandi dulu aja keburu
siang lo kayanya sambil malu-malu.
Iya dech istriku sayaaaaaannnkkkk kataku sambil mencubit pipi tembemnya
sambil berlari.
idiih.Mas apaan sich. Sakit tahu pipikuawas yaaaa.. ancamnya
sambil mengejarku.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai