Anda di halaman 1dari 7

2.

2 Pola Perjalanan Abses


Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang
terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan
periapikal secara progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur
patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host,
dan anatomi jaringan yang terlibat.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri
campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif
yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus
mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu
streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat
merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya parang
yang digunakan petani untuk merambah hutan.
Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis, meskipun
sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak membahas
mengenai perjalanan abses secara kronis.
Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat
S.mutans) memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim
hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan
ladang persawahannya, ya.. enzim ini merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat
(hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi
antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan.
Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup
jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi,
akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum
akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi
pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat
terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup
tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai
pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan
untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu
baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah
menciptakan kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan
yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu
mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran
yang terbuat dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu,
jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat
adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen foto). Ini adalah
peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan
dan terapi antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi pada
peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus
(pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua
kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari
leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri
dalam jumlah besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha
mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau
tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi
atau keluar secara alami.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene
adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan
keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat
sederhana memang, tapi perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan
jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri
bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan
jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak
pus.
Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian
tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang
dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan
baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi
yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai mencapai korteks, dan
melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga
subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang
kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan,
peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah serous disebabkan
karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih

70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga
tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat
aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal.
Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus
sudah berhasil menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses
yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena
lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah
tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa
periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan
bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai
area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi
fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh
lapisan jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :
Fascial spaces primer
1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces
2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces
- Fascial spaces sekunder
Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan
pasokan darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan
struktur vital. Yang termasuk fascial spaces sekunder yaitu masticatory space, cervical space,
retropharyngeal space, lateral pharyngeal space, prevertebral space, dan body of mandible space.

Infeksi yang terjadi pada fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang
parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena
penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus
yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus
tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang
terkena periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fascial spaces yang
terkena infeksi.
Canine spaces
Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan
periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian
depan dan hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat
menyerang daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
Buccal spaces
Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi
berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator
pada maksila atau berada di bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi
yaitu edema pipi dan trismus ringan.
Infratemporal spaces
Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari dasar tengkorak,
dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi
molar III maksila. Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat
trismus bila infeksi telah menyebar.
Submental space
Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline
yang jelas di bawah dagu.
Sublingual space
Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula. Infeksi
berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi
berupa pembengkakan dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.
Submandibular space
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi
molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala

infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut
mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya trismus ringan.
Masticator space
Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis. Infeksi berasal
dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan jika abses besar maka infeksi
dapat menyebar ke lateral pharyngeal space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal
untuk alat bantu bernapas.
Lateral pharyngeal space (parapharyngeal space)
Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada daerah ini dapat
dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil, nyeri dysphagia, trismus.
Retropharyngeal space (posterior visceral space)
Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas, dari tonsil,
parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher, sakit tenggorokan,
dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena infeksi
dapat menyebar ke mediastinum dan daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n.
vagus dan n cranial bawah, Horner syndrome)
2.3 PRINSIP TERAPI
Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus),
dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu
bagaimana dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal
memiliki kondisi khas berupa gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila
digunakan mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang tersebut.
Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan insisi, oleh
karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan prosedur open
bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan
pemberian terapi farmakologi.
2.4 Pengertian Mortal Pulpotomi
Pulpotomi mortal adalah teknik perawatan endodontik dengan cara mengamputasi pulpa nekrotik
di kamar pulpa kemudian dilakukan sterilisasi dan penutupan saluran akar. Pulpa bagian koronal
yang nekrotik, mula-mula dibuang dan pulpa bagian akar yang telah terinfeksi dirawat dengan
larutan antiseptik yang kuat, yang diberikan kapas dan ditutup pada kamar pulpa selama 1-2
minggu.
Pada kunjungan kedua, larutan antiseptik ditempatkan diatas sisa-sisa pulpa di bagian akar
sebelum melakukan restorasi gigi. Adanya fistula yang dihubungkan dengan abses kronik, atau
derajat mobilitas gigi, tidaklah perlu merupakan kontra indikasi metode ini. Fistula diharapkan

menghilang setelah infeksi dikendalikan, dan gigi yang goyang menjadi kokoh sewaktu tulang
periapikal terbentuk kembali.

2.4.1 Langkah-langkah Mortal Pulpotomi


Langkah-langkah pulpotomi mortal adalah:
Kunjungan pertama:
1. Siapkan instrumen dan bahan.
2. Isolasi gigi dengan rubber dam.
3. Preparasi kavitas.
4. Eksavasi karies yang dalam.
1. Buang atap kamar pulpa dengan bor fisur steril dengan handpiece kecepatan
rendah.
2. Buang pulpa di bagian korona dengan ekskavator besar atau dengan bor bundar.
3. Cuci dan keringkan pulpa dengan air.
4. Letakkan arsen atau euparal pada bagian terdalam dari kavitas.
5. Tutup kavitas dengan tambalan sementara.
1. Bila memakai arsen, instruksikan pasien untuk kembali 1 sampai 3 hari.
Sedangkan jika memakai euparal instruksikan pasien untuk kembali
setelah 1 minggu.

Kunjungan kedua:
1. Isolasi gigi dengan rubber dam.
2. Buang tambalan sementara.
Lihat apakah pulpa masih vital atau sudah non vital. Bila masih vital, lakukan lagi perawatan
seperti pada kunjungan pertama, bila pulpa sudah non vital lakukan perawatan selanjutnya.
1. Berikan bahan antiseptik.

Tekan pasta antiseptik dengan kuat ke dalam saluran akar dengan cotton pellet.
1. Aplikasi semen zinc oxide eugenol.
2. Restorasi gigi dengan tambalan sementara.

Anda mungkin juga menyukai