Anda di halaman 1dari 5

Mendorong Perlindungan Anak pada Keluarga Buruh Migran

*)Bara Brelian, Peneliti Migrant Institute

Indonesia termasuk negara terbesar di asia tenggara yang mengirimkan buruh migran ke luar negeri.
Migrasi yang dilakukan oleh buruh migran Indonesia ke berbagai negara sering kali dilandasi oleh
motif ekonomi. Buruh migran tersebut sebagian besar berangkat atas desakan dan pengaruh
keluarga ataupun komunitas (household decision) yang pada akhirnya berimplikasi pada migrasi yang
turun temurun. Sejumlah daerah yang menjadi basis buruh migran terbesar di Indonesia selama ini
seperti Lombok, Indramayu, Cirebon, dan Brebes tidak banyak berubah. Besarnya arus migrasi
tersebut selama ini ternyata membawa dampak sosial yang tidak sedikit.
Data yang tercatat oleh BNP2TKI menyebutkan selama satu dekade terakhir jumlah buruh migran
terbanyak yang bekerja keluar negeri didominasi oleh pekerja domestik dan berjenis kelamin
perempuan. Sebagian besar buruh migran yakni 60,4 % juga berstatus telah menikah. Otomatis
banyak anak-anak buruh migran yang ditinggalkan orang tuanya bekerja ke luar negeri. Anak-anak
buruh migran yang ditinggalkan tersebut berpotensi besar mengalami penelantaran dan minim
pengasuhan yang layak dari orang tua maupun orang tua asuh (care giver). UNICEF mendefinisikan
anak yang terabaikan (Children Left Behind) sebagai kondisi-kondisi yang harus dihadapi anak-anak
berkaitan dengan kesenjangan kesejahteraan materi, pendidikan dan kesehatan saat mereka
ditinggalkan oleh orang tua mereka bermigrasi ke luar negeri.

Data BMI Berdasarkan Status Perkawinan


No
1
2
3

Status
Perkawinan
Menikah
Cerai
Belum Menikah
Total

2011
Jumlah
379.366
41.451
165.989
586.806

2012
%
Jumlah
%
64,6
300.030
60,7
7,1
36.228
7,3
28,3
158.351
32,0
100
494.609
100
Sumber: Puslitfo BNP2TKI

2013
Jumlah
309.427
43.883
158.858
512.168

2014
%
60,4
8,6
31,0
100

251,149
36,260
142,463
429,872

58.42
8.44
33.14
100

Isu mengenai dampak migrasi kepada keluarga yang ditinggalkan terutama anak-anak belum
menjadi perhatian para pemangku kepentingan khususnya pemerintah. Hingga saat ini bahkan
belum ada data yang memastikan berapa jumlah anak-anak buruh migran yang ditinggalkan orang
tuanya ke luar negeri. Studi dan riset yang mengetengahkan dampak migrasi kepada anak yang
ditinggalkan hingga rekomendasi kebijakan perlindungan untuk mereka pun belum banyak
dilakukan. Di negara pengirim buruh migran terbesar, seperti Filipina dan Meksiko berbagai riset
mengenai dampak migrasi kepada anak telah jamak dilakukan. Hal tersebut sebagai upaya mencari
penanganan yang tepat kepada anak-anak yang mengalami dampak dari migrasi.
Dampak Migrasi kepada Anak
Dampak langsung dari proses migrasi adalah mengalirnya kiriman uang (remittance) ke daerah.
Asumsinya, kiriman uang tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik khususnya untuk mencukupi

kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan keluarga termasuk anak. Bank Dunia bahkan
menyebutkan migrasi sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan. Namun hingga kini,
belum ada penelitian yang membuktikan bahwa remitansi pemerintah sering menggunakan
terminologi devisa berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan hingga pengentasan
kemiskinan di Indonesia.
Penggunaan remitansi oleh keluarga buruh migran di daerah sebagian besar cenderung habis untuk
konsumsi. Itu sebabnya, remitansi tidak selalu berdampak positif terhadap pengurangan angka
kemiskinan dan kesejahteraan. Studi yang dilakukan Deb dan Seck (2009) di Meksiko dan Indonesia
menunjukkan ada hubungan negatif (trade-off) antara meningkatnya pendapatan dan konsumsi
keluarga buruh migran dengan kesehatan dan kondisi emosi/ psikologis keluarga di daerah asal.
Studi lain yang dilakukan oleh Liu (2009) mengemukakan bahwa anak yang ditinggal bermigrasi
ketika berumur kurang dari tujuh tahun menunjukkan gejala depresi dan kegelisahan yang lebih
besar dimana temuan tersebut lebih banyak terjadi pada anak yang terpisah dari ibunya atau ke dua
orang tuanya yang bermigrasi.
Untuk konteks di Indonesia, riset dari tim Smeru Research Institute (2014) memetakan kondisi anak
yang ditinggal oleh orang tua bermigrasi di Lombok dan Banyumas. Salah satu temuannya adalah
kemampuan kognitif anak yang ditinggal orang tua bermigrasi rata-rata cenderung lebih rendah
daripada anak-anak yang tinggal bersama dengan orang tua mereka. Secara psikologis, anak anak
dari keluarga buruh migran juga lebih bersikap anti sosial dan pendiam. Sementara itu Paguyuban
Peduli Buruh Migran dan Perempuan Seruni Banyumas bekerja sama dengan Yayasan Tifa merilis
hasil penelitian berjudul Pembangunan Strategi Pola Pengasuhan Children Left Behind (CLB)
berbasis Komunitas Kabupaten Banyumas (22/4/2014). Penelitian tersebut dilakukan di tiga
kecamatan di Kabupaten Banyumas, yakni Pakuncen, Kedungbanteng, dan Kalibagor. Ada beberapa
fakta hasil penelitian mengenai kondisi children left behind yang menggejala di daerah tersebut.
Pertama, mayoritas Anak TKI ditinggal bekerja ke luar negeri saat usia balita dan usia sekolah dasar.
Kemudian dengan dalih asal tidak rewel, pengasuh cenderung menuruti apapun permintaan anak
TKI dengan kiriman uang dari orang tua yang bekerja di luar negeri, sehingga memunculkan pola
prilaku tidak patuh/disiplin dan malas. Keterabaian anak dari asuhan orang tua akhirnya berimplikasi
pada aktivitas pendidikan. Meskipun tercukupi secara materi, ternyata masih ditemui anak-anak
TKI/CLB yang putus sekolah dan pengasuh tidak berdaya mengatasi masalah ini.
Migrasi yang dilakukan oleh ayah atau ibu juga memiliki dampak yang berbeda. Studi yang dilakukan
oleh Cortes (2010) membandingkan dampak anak yang ditinggal oleh ibu yang bermigrasi dengan
ayah yang bermigrasi. Hasil riset tersebut menemukan bahwa migrasi oleh ibu yang meninggalkan
anaknya memiliki efek negatif dan kondisi tidak adanya ibu lebih merugikan daripada tidak adanya
ayah. Demikian pula Jampaklay (2006) menyatakan jangka panjang ketidakhadiran ibu berpengaruh
negatif terhadap pendidikan anak di Thailand daripada ketidakhadiran ayah.
Tentu migrasi juga memberikan dampak positif pada anak. Assesment Migrant Institute di Ponorogo
menunjukkan bahwa ada tidak sedikit anak-anak buruh migran yang mampu mengenyam
pendidikan hingga perguruan tinggi. Partisipasi anak hingga pendidikan tinggi tersebut tentu tidak
hanya ditunjang oleh kiriman uang untuk menunjang kebutuhan pendidikan dari segi ekonomi.
namun juga dibarengi dengan pola asuh yang intensif dari orang tua dan orang tua asuh. Sebagian
besar dari anak anak tersebut dibesarkan dengan pola yang cukup intens dari orang tua. Secara

umum anak-anak tersebut tidak hidup secara konsumtif karena orang tua buruh migran yang
bersangkutan mendidiknya dengan cukup ketat. Kesadaran akan pengasuhan terhadap anak-anak
itulah yang diperlukan dalam upaya mengontrol dampak ketidakhadiran orang tua dalam waktu
yang lama.
Keluarga dan Hak Pengasuhan Anak
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah mengatur hak yang harus
diperoleh oleh anak. Pasal 13 UU 23 tahun 2002 menyebutkan,setiap anak selama dalam
pengasuhan orangtuanya, wali atau pihak manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun sosial,
penelantraran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah
lainnya. Sementara dalam konteks anak yang terlantarkan di keluarga buruh migran, seringkali hak
anak untuk mendapat pengasuhan dari orang tuanya sering terabaikan. Banyak kasus orang tua
buruh migran khusunya perempuan meninggalkan anaknya yang masih berusia dua hingga tiga
bulan.
Ada beberapa catatan penting dalam observasi tim riset Migrant Institute. Fenomena di desa
Kenanga, Indramayu misalnya, dalam satu komunitas tidak sedikit anak buruh migran yang ternyata
terlantarkan oleh orang tua yang bekerja ke luar negeri. Nisa berumur enam tahun ditinggal oleh
ibuya bekerja ke luar negeri sejak berumur 3 bulan. Ironisnya, sekembalinya dari Saudi Arabia, ibu
kandung nya tetap tidak mau mengasuh anaknya. Penelantaran tersebut juga telah diketahui oleh
tetangga dan komunitas sekitar. Namun belum ada upaya serius untuk menindaklanjuti kasus
penelantaran tersebut dan hingga sekarang Nisa tengah diasuh oleh tetanganya secara sukarela.

Nisa, salah satu anak yang ditelantarkan orang tuanya

Dalam menterjemahkan persoalan yang dialami oleh anak buruh migran, Graham dan Jordan (2012)
menggunakan pisau analisis the care triangle yang terdiri dari anak (left behind children), orang tua
yang bermigrasi (migrant parents), dan pengasuh (non migrant parent/ other cares). Selama ini di
Indonesia secara umum anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya diasuh oleh saudara yang
biasanya adalah nenek dari sang anak atau ayah (jika yang bermigrasi adalah ibunya). Namun tidak

sedikit buruh migran yang menitipkan anaknya pada pengasuh berbayar yang biasanya juga
merupakan kerabatnya di desa/ daerah asal.
Tentu pilihan menjadi buruh migran dan meninggalkan anak dalam waktu yang lama merupakan
pilihan yang sebenarnya tidak ingin di ambil. Pilihan tersebut berangkat dari keterbatasan sumber
daya dan lapangan pekerjaan khususnya di daerah. Hanya melihat buruh migran sebagai aktor tentu
bukanlah langkah yang tepat. Konteks migrasi yang berangkat dari kondisi sosial ekonomi yang
begitu kompleks ini perlu disikapi dengan langkah yang menyeluruh dan melibatkan banyak unsur.
Keluarga hingga komunitas di sekitar dan negara perlu hadir untuk memberikan penanganan dan
perlindungan.
Secara umum untuk menyikapi dampak migrasi terhadap pengasuhan anak ditentukan oleh tiga hal,
pertama kesepahaman dan kesadaran keluarga antara ayah ibu dan keluarga terdekat akan
tanggung jawab pengasuhan yang harus diberikan kepada anak selama ditinggalkan. Kedua,
komunikasi antara orang tua buruh migran dengan anak dan kedua kemampuan dan keseriusan
pengasuhan oleh pengasuh anak yang sebagian besar merupakan ayah dan anggota keluarga besar
buruh migran. Pola pengasuhan dan pengalaman anak yang ditinggalkan apakah oleh ibunya atau
ayahnya atau bahkan kedua orang tuanya bermigrasi berimplikasi berbeda terhadap tumbuh
kembang anak. Hal terpenting pertama yang harus diupayakan dalam proses migrasi oleh buruh
migran yang telah berkeluarga dan memiliki anak adalah memastikan pengasuhan anak bisa berjalan
dengan baik saat ditinggalkan. Proses tersebut memerlukan kesepakatan dan kesepahaman dalam
anggota keluarga inti mengenai rencana pengasuhan, pendidikan, dan pendampingan anak ke depan
nya.
Kedua adalah, memastikan dan mengupayakan adanya komunikasi yang intens antara anak yang
ditinggalkan dengan orang tua di negara penempatan. Komunikasi via telpon misalnya paling tidak
bisa menjaga hubungan antara anak dengan orang tua. Sebagian besar fenomena penelantaran anak
di keluarga buruh migran semakin berdampak buruh ketika tidak ada komunikasi antara orang tua
dan anak sedikit pun. Fenomena ini banyak ditemui pada buruh migran yang bekerja di negara
negara timur tengah karena banyak buruh migran pekerja domestik yang tidak diperbolehkan
membawa alat komunikasi oleh majikannya.
Mendorong Kebijakan Perlindungan
Dalam jangka pendek, saat ini perlu ada pemetaan lebih lanjut mengenai kondisi anak pada keluarga
buruh migran. Pemetaan ini penting sebagai upaya mengetahui jumlah anak, usia, kondisi
pengasuhan dan pendidikan mereka. Negara perlu memastikan bahwa hak anak untuk memperoleh
pengasuhan yang layak dari orang tua juga bisa berjalan. Daerah kontong buruh migran yang
keberadaan komunitas nya cukup aktif dalam memberikan pendampingan terhadap keluarga buruh
migran di Indonesia hingga kini memang telah ada, namun belum merata.
Secara umum, intervensi yang perlu dilakukan untuk melindungi anak buruh migran ada tiga
langkah. Pertama, memastikan proses pengasuhan anak dalam keluarga berjalan melalui
kesepakatan, dan kesepahaman anggota keluarga. Kedua, memastikan pengasuh anak baik ayah/
ibu/ saudara memiliki integritas dan kemampuan yang memadai sebagai pengasuh yang mendidik
anak. Ketiga, memastikan bahwa komunitas dan lingkungan sekitar memiliki ruang dan kesempatan

untuk bersama sama mendidik dan mendampingi anak buruh migran, baik melalui pendidikan
formal maupun informal.
Di beberapa daerah basis buruh migran yang memiliki modal sosial komunitas yang kuat telah
melakukan berbagai pendampingan terhadap fenomena anak yang ditinggalkan orang tuanya
bermirasi. Di Banyumas, masyarakat dan NGO setempat yang digawangi oleh LPPPM mencetuskan
pengasuhan anak berbasis komunitas. Di salah satu desa Indramayu, ada juga buruh migran purna,
Winah Auliya yang memiliki inisiatif untuk mendirikan pesantren yang memang ditujukan untuk
anak-anak buruh migran di desanya sebagai wahana mengaji dan belajar. Beragam inisiatif tersebut
sebagian besar berasal dari inisiatif aktor masyarakat. Program edukatif dan pendampingan dari
aktor masyarakat tersebut perlu dikembangkan dan diinstitusionalisasikan. Ke depannya memang
perlu upaya yang serius untuk melindungi anak anak buruh migran yang ditinggalkan orang tuanya.
Mereka memiliki hak atas pengasuhan dan pendampingan dari orang orang terdekat.

Anda mungkin juga menyukai