Anda di halaman 1dari 13

Golput Menang di Pilkada Serentak

Partisipasi pemilih di Pilkada Gubernur Sumbar, pada Rabu 9 Desember 2015 sangatlah rendah
antar 51-54 persen. Tentu saja keberhasilan atau kesuksesan penyelenggaraan pilkada patut
dipertanyakan ketika partisipasi pemilih sangat rendah demikian.
Catatan Haluan, trend pemilih pada Pemilu sejak tahun 2004, termasuk Pilgub menunjukkan
angka penurunan. Selain tugas KPU sebagai pihak berwenang, juga menjadi tantangan dari
calon mengajak swing voters untuk menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember 2015.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Gubernur (Pilgub) Sumbar 2015 sangat
mengkhawatirkan. Tingginya angka golput sehingga menjadi pemenang dipicu oleh beberapa
faktor sehingga pemilih enggan menggunakan haknya menentukan pemimpin di negeri ini. Pembatasan sosialisasi/kampanye sebagaimana yang diatur Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 telah menyebabkan sosialisasi tentang keberadaan Pilkada beserta
calon kepala daerah jauh melorot.
Akibatnya bisa ditebak, pencapaian target partisipasi pemilih 77,5 persen sebagaimana yang
dipatok oleh KPU sangat berat, jika terlalu berlebihan bila dikatakan mimpi atau mengada-ada.
Hal ini juga didukung trend penurunan partisipasi pemilih pada setiap Pilgub, jika dibandingkan
dengan Pemilu Legislatif dan Presiden sejak tahun 2004.
Saat Pilgub langsung perdana digelar di Sumbar tahun 2005, partisipasi pemilih 63,72 persen.
Saat itu, Padang menjadi wilayah dengan partisipasi pemilih paling rendah, yakni hanya 52,62
dan Kabupaten Limapuluh Kota dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi, yakni 74,44
persen. Padahal, pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres yang digelar tahun 2004, partisipasi
pemilih mencapai 75,56 persen untuk Pileg dan 71,23 65,54 persen untuk Pilpres putaran I dan
II.
Pada Pilgub Sumbar 2010, partisipasi pemilih melorot sedikit dibanding 2005. Ketika Pilgub di
mana pasangan Irwan Prayitno-Muslim Kasim mengalahkan petahana Marlis Rahman-Aristo
Munandar itu, pemilih hanya mencapai 63,62 persen saja. Jumlah ini, juga menurun jika
dibandingkan dengan Pileg dan Pilpres 2009. Pada ajang ini, pemilih di Sumbar mencapai 70,46
persen dan 71,10 persen.
Jumlah pemilih yang menggunakan haknya ternyata turun amat drastis pada Pilgub 2015. Tiga
kali Pilgub dan Pemilu di tingkat nasional, angka partisipasi pemilih untuk Pilgub cendrung lebih
kecil jika dibandingkan dengan dua iven nasional itu. Pada Pileg dan Pilpres 2014, partisipasi
pemilih di Sumbar jauh lebih kecil dibandingkan dua iven serupa sebelumnya. Tahun 2014 Pileg
hanya diikuti 68,43 persen pemilih dan Pilpres turun menjadi 63,7 persen saja. Ternyata trend
terus menurun itu makin menghujam menjadi kira-kira hanya sekitar 51-54 persen saja.
Ada dua faktor menjadi penyebab turunnya partisipasi pemilih. Pertama, jumlah calon gubernur
yang sedikit. Semakin banyak calon, maka partisipasi akan meningkat dan sebaliknya. Kedua,
faktor yang sangat menentukan adalah PKPU Nomor 7 Tahun 2015 yang sangat membatasi
kegiatan kampanye pasangan calon, baik secara langsung, menggunakan media luar ruangan
(spanduk, baliho, umbul-umbul) dan juga sosialisasi melalui media massa. Hak dan fungsi
media untuk mengoptimalkan sosialisasi Pilkada dirampas oleh KPU.
Meningkatnya jumlah golput, karena berbagi sebab, sebaiknya menjadi perhatian serius bagi
KPU dan jajarannya, termasuk oleh DPR dan pemerintah pusat. Perlu revisi UU Pilkada dan
PKPU No 7 Tahun 2015. Persoalan kelemahan regulasi Pilkada yang berimpilikasi kepada
rendahnya partisipasi pemilih ternyata tidak mampu digenjot oleh berbagai upaya oleh KPPS,
seperti lucky draw, undian berhadiah dan lain sebagainya.

Angka Golput Masih Tinggi


Tingkat partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya di pilkada serentak 2015 tergolong
rendah.
Berdasarkan hasil quick count (hitung cepat) di sejumlah daerah, ditemukan angka golput yang
masih tinggi. Di Malang, Jawa Timur (Jatim), hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) Denny JAmencatat partisipasi pemilih hanya 57,6% atau golput mencapai 42,4%. Angka
yang kurang lebih sama juga terjadi di Pilkada Kediri, Jatim, dengan partisipasi pemilih hanya
56,3%.
Di Kota Batam, Kepulauan Riau, tim riset LSI bekerja sama dengan Jaringan Info Publik
mencatat partisipasi pemilih yang lebih rendah, yakni 50,24%. Golput di daerah ini mencapai
49,7% atau hampir setara dengan jumlah pemilih yang menggunakan suaranya. Di Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, LSI juga mencatat tingkat partisipasi pemilih yang tergolong rendah,
yakni 59,81%. Bahkan, pada beberapa daerah ditemukan partisipasi pemilih yang di bawah 50%
dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Salah satunya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), partisipasi pemilih hanya 47%
berdasarkan hitung cepat Lembaga Survei Kebijakan Publik (LSKP). Jumlah golput di
Samarinda lebih besar daripada yangdatangmemilihdiTPS, yakni 53%. Terjadi kenaikan golput
di Samarinda karena pada Pilkada 2010 jumlahnya hanya 40%. Partisipasi pemilih yang paling
rendah diperkirakan terjadi di Kota Medan, Sumatera Utara. KPU setempat memperkirakan
jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya kemarin hanya di kisaran 30% dari hampir 2
juta pemilih yang ada di DPT.
Namun angka golput ini baru didasarkan hasil survei sejumlah lembaga. Untuk membuktikannya
masih harus menunggu rekapitulasi resmi dari KPU. Jumlah daerah yang jadi sampel juga belum
mewakili pilkada secara keseluruhan yang jumlahnya 264 daerah. KPU pusat sebelumnya
memasang target partisipasi pemilih sebesar 77,5%. Salah satu faktor yang dianggap menjadi
penyebab rendahnya partisipasi pemilih adalah kurangnya sosialisasi dan tidak efektifnya model
kampanye yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izzul Fattah, mengatakan fakta di
lapangan memang menunjukkan antusiasme warga yang rendah bila dibandingkan dengan
pilkada-pilkada sebelumnya. Dia mencontohkan, sebelumnya banyak warga yang terlibat
kegiatan pilkada, misalnya dalam pembuatan baliho, stiker, dan alat peraga lainnya. Sementara
pada pilkada kali ini alat peraga kampanye dikelola KPU dan jumlah yang terpasang sangat
dibatasi.
Ketika yang terlibat secara langsung menurun, wajar ketika partisipasi pemilih juga menurun.
Rasa memiliki warga juga menjadi kurang. Ibaratnya rakyat merasa itu bukan hajatannya, ujar
dia kemarin. Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari juga mengakui rendahnya partisipasi
pemilih di pilkada ini. Dia menduga penyebabnya adalah sosialisasi dan kampanye yang kurang
bisa menyentuh langsung rakyat. Dengan sosialisasi yang minim ditambah pola kampanye yang
terbatas, maka sangat wajar bila gairah rakyat sebagai pemilih juga rendah, katanya kemarin.
Menurut Qodari, minimnya sosialisasi dan tidak efektifnya pola kampanye dalam pilkada kali ini
tak lepas dari kesalahan desain oleh KPU. Dia mengatakan, desain yang disiapkan KPU lebih
tepat untuk pilkada melalui sistem perwakilan atau pemilihan melalui DPRD sebagaimana diatur
dalam UU Pilkada yang sempat disahkan sebelumnya. Hanya, dalam perkembangannya di ujung
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dikeluarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) yang substansinya mengembalikan pilkada secara langsung
dengan sejumlah perbaikan.
Dengan perppu yang kemudian disahkan menjadi UU, semua kegiatan akhirnya dibiayai negara.
Ada larangan dan pengetatan kampanye bagi calon kepala daerah. Ini kan berbeda dengan

pilkada-pilkada sebelumnya di mana tiap calon masif dalam sosialisasi dan kampanye, ujarnya.
Menurut Qodari, efek dari penerapan pola seperti sekarang ini harus jadi pelajaran agar ke depan
tidak terulang.
Qodari yang lembaganya juga melakukan hitung cepat di beberapa daerah mengungkapkan,
banyak TPS yang golputnya lebih tinggi dari jumlah pemilih di DPT yang terdaftar. Dia
mencontohkan TPS 17 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Dari total 380 DPT, hanya 170
yang menggunakan suaranya. Artinya, yang tidak menggunakan hak pilihnya lebih banyak, yakni
210 pemilih. Dan kasus seperti itu juga terjadi di banyak daerah, termasuk di Surabaya,
ucapnya.
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan belum bisa diketahui jumlah golput di pilkada ini.
Hingga tadi malam, kata dia, total daerah yang sudah melaporkan hasil pilkadanya ke sistem
hitung KPU berjumlah 58 wilayah. Dia menyebut rata-rata partisipasi pemilih mencapai 73,22%.
Memang ini (tingkat partisipasi) masih di bawah target kita, kata Arief.

Pilkada 2015, Golput di Medan Lampaui 70 persen


Penghitungan hasil Pilkada Medan terus dilakukan. Pasangan nomor urut 1
Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution terus unggul jauh dari pasangan nomor urut 2
Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma.
Hingga pukul 11.10 WIB rekapitulasi suara yang berdasarkan formulir C1
yang ditampilkan di Pilkada 2015.kpu.go.id menunjukkan pasangan EldinAkhyar unggul sementara dengan perolehan 156.604 suara atau 71,52
persen dari 217.594 suara sah.
Sementara pasangan nomor urut 2 Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma baru
mendapat 62.152 suara atau 28.48 persen.
Perolehan itu baru dari 42.33 persen suara pada formulir C1 yang telah
diupload KPU Medan. C1 yang diunggah masih dari 1.280 di antara 3.024
TPS yang ada di Medan.
Selain perolehan kedua pasangan calon, data KPU juga memaparkan
tingginya tingkat golput di Medan.
Untuk sementara, jumlah calon pemilih yang menggunakan haknya sudah
mencapai 235.447 atau 27,76 persen dari 848.047 warga yang dapat
memilih di 1.280 TPS yang telah terekapitulasi. Jumlah itu bakal bertambah
mengikuti upload data terbaru.
Tingginya angka golput juga menjadi hasil quick count Indo Barometer.
Dalam pres rilisnya, lembaga ini menyebut angka golput mencapai 73,33
persen. Suara sah 19.04 persen, sedangkan suara tidak sah 7,63 persen.
Indo Barometer juga menyatakan, pasangan Eldin-Akhyar memenangkan
Pilkada Medan dengan pencapaian 72,32 persen. Sementara pasangan
Ramadhan Eddie hanya memperoleh 27,68 persen.
Pilkada Kota Medan hanya diikuti dua pasang calon, yaitu pasangan nomor
urut 1, T Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution, dan pasangan nomor urut 2,
Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma. Mereka akan memperebutkan 1.985.096
suara pemilih yang terdata dalam DPT.
T Dzulmi Eldin-Akhyar Nasution diusung PDIP, Golkar, Nasdem, PKS, PKPI,
PAN dan PBB. Sementara itu, Ramadhan Pohan-Eddie Kusuma didukung
Partai Demokrat, Gerindra dan Hanura.
Dzulmi Eldin merupakan calon petahana karena sebelumnya dia menjabat
Wali Kota Medan.
Sementara Ramadhan Pohan adalah mantan anggota DPR yang juga elite
Partai Demokrat. (Dr)

Ini Alasannya Sehingga Warga Apatis di Pilkada Bulukumba


Sejumlah warga yang ditemui Tribun di Kabupaten Bulukumba mengungkapkan alasan tidak
menggunakan hak pilihnya karena mereka tak meyakini hasil Pilkada akan merubah
kesejahteraan mereka.
Dari sekian Pilkada dan Pilcaleg di Bulukumba yang lalu juga hasilnya tak mampu memberi
kami kesejahteraan dan tak mampu merubah kampung kami secara umum. Janji memang bagus
saat kampanye. Tetapi setelah terpilih untuk ditemui pun susah .
Dia mencontohkan bahwa di desanya jalanan poros desa tidak ada yang berubah lima tahun
yang lalu. Padahal janji calon bupati dan calon anggota DPRD Bulukumba ramai-ramai masuk
kampanye sebelum terpilih.
Itu hanya di kampung sstu.. Belum di desa lainnya. Di jalan poros nasional saja yang mulus di
Bulukumba karena gunakan APBN dan bantuan Australia. Jadi kalau mau lihat betapa
hancurnya infrastruktur jalan di Bulukumba maka jalan-jalanlah ke desa.
Peningkatan kesejahteraan juga begitu tak merata sebab minimnya pemberdayaan masyarakat
desa. .
Temuan Panwaslu di Bulukumba bahwa ada 81.925 undangan yang tidak terdistribusi ke warga.
Sedang yang menggunakan hak pilihnya sebanyak

Politisi Banyak terjerat Korupsi, Warga Apatis Ikuti Pilkada

Kegaduhan politik dan banyaknya politisi yang terjerat korupsi tampaknya berdampak pada
sikap apatis warga untuk mengikuti Pilkada serentak yang digelar Rabu (9/12/2015). Di Depok,
pasca ditutup beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya didatangi kurang dari 50 persen
warga yang memiliki hak pilih.
Di TPS 64 Kp Sidamukti RT 0W/011, Kec. Cilodong, Depok, dari 392 pemilih yang tercatat,
hanya 118 pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara, menyampaikan hak pilihnya.
Ya Memang banyak warga yang tidak menyampaikan hak pilihnya, kata Ketua KPPS TPS,
Yanto, Rabu (9/12/2015).
Menurutnyaa warga tidak peduli terhadap pelaksanaan Pilkada Calon Walikota Depok. Mereka
banyak yang tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sehingga warga yang menyampaikan hak pilih tidak antre. Tempat duduk yang disiapkan selalu
kosong. Yanto mengaku banyaknya warga tidak datang ke TPS, selain tidak peduli dengan
kegiatan pilkada.
Warga hanya ingin harga barang murah. Mereka tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin.
Apalagi melihat dagelan yang dipertontonkan para elite di DPR. Ditambah lagi, para elit pada
tutup mata atas kenaikan tarif listrik. Belum lagi banyak yang korupsi. Ini yang membuat
warga makin muak dan enggan untuk menyampaikan hak pilihnya, jelasnya. (setiawan/ruh)

Warga Apatis, Terorisme Akan Semakin Kuat

Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat intelijen Susaningtyas Nefo


Handayani Kertopati menilai ancaman aksi teror diprediksi akan menguat

jika tak ada peran aktif masyarakat dalam pengamanan wilayah akhir tahun
ini.
Dia menilai, jika informasi soal ancaman dibiarkan, maka teror dapat terjadi
dengan mudah.
"Yang penting semua negara harus meningkatkan kewaspadaan karena
biasanya suasana suka cita tahun baru membuat lalai untuk menjaga
keamanan, bukan saja diantara anggota masyarakat tapi aparatnya juga,"
kata Nuning, sapaan Susaningtyas, kepada CNNIndonesia.com, Selasa
(22/12).
Gerakan terorisme selama ini dipandang berhasil menjalankan misinya
karena tingkat apatis masyarakat dalam hal keamanan semakin tinggi.
Padahal, kata Nuning, penanganan teror tidak dapat dilakukan oleh aparat
kepolisian atau intelijen semata.
"Diperlukan kekebalan sosial agar tidak mudah terpengaruh propaganda
terorisme. Keberhasilan gerakan terorisme melakukan transformasi dan
regenerasi sejatinya bermuara pada ketidakpedulian kita, termasuk dengan
membiarkan polisi berada sendirian di garis depan pertempuran," ujarnya.
Menanggapi tingginya ancaman teror jelang akhir tahun, Indonesia diketahui
telah menyepakati pertukaran intelijen dengan Australia kemarin, Senin
kemarin. Kesepakatan tersebut dibuat setelah Jaksa Agung Australia George
Brandis berkunjung ke Indonesia kemarin.
Selain melakukan pertukaran intelijen, Indonesia juga telah menetapkan
status Siaga I untuk pengamanan jelang Natal dan tahun baru 2016.
Ketetapan tersebut telah diumumkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara
Sutiyoso dan Kapolri Jenderal Badrodin Hadiri. (meg)

APATISME YANG BERKEMBANG DI MASYARAKAT


Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari
Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS
Hornby dalam Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English: apathy is an absence
of simpathy or interest. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah
definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.
Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi, motivasi, atau
entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana
seseorang tidak tanggap atau cuek terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik.
Kemudian kita dapat artikan bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap
lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan yang saling
berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu
yang berada dalam kelompok tersebut.
Sebelumnya ada istilah pembagian kelompok di masyarakat dari tingkat kepedulianya(respect).
Diantaranya ada tingkat apatis, menengah dan maju/bergerak. Apatis diisi oleh kelompok
masyarakat yang tidak ambil peduli atau acuh dengan apa dan bagaimana situasi, kondisi serta
kejadian yang ada lingkungannya. Di menengah diisi oleh kelompok masyarakat yang peduli
dengan situasi, kondisi dan kejadian yang terjadi di Indonesia namun tidak mengambil langkah
atau tindakan apapun. Sedangkan di level maju diisi oleh masyarakat yang peduli dengan situasi,
kondisi serta kejadian yang terjadi di Indonesia dan menindaklanjutinya dalam beragam bentuk.
Bagi kelompok masyarakat yang masuk ke tingkat apatis, ada kemungkinan mereka adalah
kelompok borjuis, kelompok mapan dan pemilik modal (walaupun tidak dipungkiri juga
didominasi masyarakat kelas bawah dalam bidang tertentu). Masyarakat pada kelompok ini
memiliki dana yang banyak jumlahnya, sehingga mampu membiayai segalanya dan membayar
biaya apapun terhadap perubahan yang terjadi. Sehingga masyarakat pada kelompok ini tidak
merasakan perubahan situasi, kondisi dan dampak yang timbul dari kejadian yang terjadi di
masyarakat luas. Karena tidak adanya penderitaan yang seolah dialami, sehingga kepekaan tidak
muncul dalam hati mereka yang kemudian memunculkan sikap tidak peduli.

Apatisme Dalam bermasyarakat

Orang di kota besar pada umumnya dapat mandiri tanpa harus bergantung pada orang alian. Hal
yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih
mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidupan keluraga sering sukar dipersatukan
karena perbedaan kepentingan, paham politik, agama, dan seterusnya. Masyarakat kota besar
khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk dari kehidupan modern
yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan privat mereka
terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
Hal ini memang tidak bisa disalahkan. Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan
diri dan keluarga dekat memang dianggap sebagai prioritas utama.
Akan tetapi, apa akibat dari mentalitas dan cara berpikir privat semacam itu. Jawabannya
sederhana saja hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas dan
keadilan pun juga terabaikan. Solidaritas sosial dan keadilan tidak menjadi prioritas, dan bahkan
mungkin tidak lagi terpikirkan sama sekali. Inilah apatisme yang perlahan-lahan akan
menghancurkan kehidupan publik di Indonesia.
Ketidakpedulian ketika terjadi ketidakadilan di depan mata kita. Ketidakpedulian ketika orang
lain menderita bukan karena kesalahannya, tetapi hanya karena dia lahir di kelas sosial yang
tidak tepat. Yang terakhir ini disebut sebagai ketidakadilan struktural / lapisan sosial. Ini seperti
yang sering kita dengar, kemakmuran tidak selamanya baik. Kemakmuran tanpa Keadilan
adalah sesuatu yang membahayakan kelak. Jadi sebaiknya Adil dulu baru Makmur.

Apatisme dalam berpolitik atau kehidupan Bernegara


Tingginya angka golput pada pemilu legislatif merupakan cerminan apatisme rakyat terhadap
pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri)
Palembang, Alfitri Msi, mengatakan Golput juga merupakan bentuk perlawanan rakyat
terhadap pelaksanaan pemilu yang dinilai tidak akan mampu merubah negara ini menjadi lebih
baik,. (Sriwijaya Post Sabtu, 11 April 2009). Masalah apatisme publik yang mulai akut
menyangkut partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai pemilihan kepala
daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi suara di
tiap daerah pemilihan.

Penyebab mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari pengalaman di masa
lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang dianggap
tidak menyentuh di hati rakyat sehingga menjadi pelajaran bagi rakyat. Keadaan saling
menguntungkan yang terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah secara nyata ditemui
masyarakat. Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa jera,
hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk menyalurkan
aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena tindak-tanduk
sebagian besar abdinya.
Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena suasana
yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini
semua pihak merasa dan mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat
terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.
Berkembangnya peradaban kearah modernisasi dan rasionalisasi. Membuat masyarakat seakan
larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri (mengejar kemakmuran) tanpa melihat
bagaimana fenomena yang terjadi di negaranya saat ini, pengaruh kemiskinan yang sekaligus
berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua maupun
para elite-elite politik bangsa ini. Pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang
mulai merebak di negara kita juga menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi generasi
muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaannya yang menbjadi jati dirinya dan itu
diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak asing.
Generasi muda seakan telah meninggalkan jati diri bangsanya dan mulai terpengaruh dengan
budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh
aspek kehidupan di negara kita.
Semangat nasionalisme kaum muda dan masyarakat yang terus luntur dipengaruhi oleh budaya
kaum muda yang lebih memandang kesenangan sebagai suatu hal yang terpenting dan harus
dijadikan sebagai tujuan (hedonisme) menyebabkan terjadinya pergeseran budaya dan prilaku
kaum muda yang kritis, agresif dalam memberikan kontribusi positif dan sebagai jambatan
perubahan sosial. Padahal bangsa itu adalah satu jiwa. Sudah selayaknya apatis tersebut
dianggap sebagai sesuatu yang jelas merusak, terutama dalam kehidupan bermasyarakat.

Apatisme sebagai Musuh Kehidupan Publik


Apathisme di masyarakat membuat masyarakat menutup mata atas apa yang yang terjadi di
sekitarnya. Kemudian berimbas menjadi tidak mengenalnya individu terhadap lingkungannya
sehingga masyarakat tidak lagi mengenal nilai yang telah beredar di masyarakat sebelumnya.
Matinya nilai-nilain yang da di masyarakat, sama dengan mengarahkan manusia kepada
peradaban yang biadab dan tidak bermoral. Matinya rasa kepedulian, respect, nilai/nurani, dan
pandangan tentang keadilan membutakan masyarakat akan hukum dan keadilan.
Kejahatan dan penderitaan sudah menjadi hal-hal biasa. Hal-hal negatif itu sudah menjadi
makanan sehari-hari kita, sehingga tidak lagi mengenalinya sebagai sesuatu yang kejahatan dan
nista. Dalam bahasa filsuf perempuan Jerman, Hannah Arendt, kejahatan telah menjadi banal.
Kejahatan tidak lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi hanya sebagai rutinitas kehidupan seharihari. Banalitas ( atau kata lain pemwajaran) kejahatan itulah yang membuat kita menjadi apatis
dan tidak peduli. Banalitas kejahatan itulah yang membunuh kepekaan hati nurani terhadap
ketidakadilan dan kejahatan, yang terjadi setiap detiknya di depan mata kita. Tidak berhenti
disitu, kejahatan dan ketidakadilan bukan hanya menjadi hal yang biasa, tetapi justru menjadi
hal yang normatif, yang seharusnya. Melanggar lalu lintas bukan lagi hal biasa, tetapi menjadi
sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Jika kita tidak melanggar lalu lintas, kita akan
menjadi korban dari struktur. Sekali lagi yang sering kita dengar peraturan ada untuk
dilanggar.
Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang ini, yakni banalitas kejahatan serta ketidakadilan yang
tidak lagi bisa dikenali akibat apatisme publik. Dan matinya nilai-nilai sosial yang ada di
masyarakat.
Kita semua tahu, demokrasi tidak akan berjalan tanpa partisipasi warga yang kritis. Apatisme
publik adalah gejala, di mana warga negara menjadi tidak peduli pada hal-hal yang terkait
dengan kehidupan bersama. Artinya, warga negara tidak lagi kritis dan partisipatif di dalam
kehidupan bersama. Demokrasi pun tinggal slogan yang mengambang tanpa realitas. Jika
demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia tidak lagi berjalan, maka kita
harus mempersiapkan diri kita untuk hidup di dalam rimba-rimba yang berselubung gedung di
Indonesia. Dan apakah kita mau seperti itu. Tentunya semua masyarakat ingin menjadi
masyarakat yang terbaik.

Anda mungkin juga menyukai