Partisipasi pemilih di Pilkada Gubernur Sumbar, pada Rabu 9 Desember 2015 sangatlah rendah
antar 51-54 persen. Tentu saja keberhasilan atau kesuksesan penyelenggaraan pilkada patut
dipertanyakan ketika partisipasi pemilih sangat rendah demikian.
Catatan Haluan, trend pemilih pada Pemilu sejak tahun 2004, termasuk Pilgub menunjukkan
angka penurunan. Selain tugas KPU sebagai pihak berwenang, juga menjadi tantangan dari
calon mengajak swing voters untuk menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember 2015.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Gubernur (Pilgub) Sumbar 2015 sangat
mengkhawatirkan. Tingginya angka golput sehingga menjadi pemenang dipicu oleh beberapa
faktor sehingga pemilih enggan menggunakan haknya menentukan pemimpin di negeri ini. Pembatasan sosialisasi/kampanye sebagaimana yang diatur Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 telah menyebabkan sosialisasi tentang keberadaan Pilkada beserta
calon kepala daerah jauh melorot.
Akibatnya bisa ditebak, pencapaian target partisipasi pemilih 77,5 persen sebagaimana yang
dipatok oleh KPU sangat berat, jika terlalu berlebihan bila dikatakan mimpi atau mengada-ada.
Hal ini juga didukung trend penurunan partisipasi pemilih pada setiap Pilgub, jika dibandingkan
dengan Pemilu Legislatif dan Presiden sejak tahun 2004.
Saat Pilgub langsung perdana digelar di Sumbar tahun 2005, partisipasi pemilih 63,72 persen.
Saat itu, Padang menjadi wilayah dengan partisipasi pemilih paling rendah, yakni hanya 52,62
dan Kabupaten Limapuluh Kota dengan tingkat partisipasi pemilih paling tinggi, yakni 74,44
persen. Padahal, pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres yang digelar tahun 2004, partisipasi
pemilih mencapai 75,56 persen untuk Pileg dan 71,23 65,54 persen untuk Pilpres putaran I dan
II.
Pada Pilgub Sumbar 2010, partisipasi pemilih melorot sedikit dibanding 2005. Ketika Pilgub di
mana pasangan Irwan Prayitno-Muslim Kasim mengalahkan petahana Marlis Rahman-Aristo
Munandar itu, pemilih hanya mencapai 63,62 persen saja. Jumlah ini, juga menurun jika
dibandingkan dengan Pileg dan Pilpres 2009. Pada ajang ini, pemilih di Sumbar mencapai 70,46
persen dan 71,10 persen.
Jumlah pemilih yang menggunakan haknya ternyata turun amat drastis pada Pilgub 2015. Tiga
kali Pilgub dan Pemilu di tingkat nasional, angka partisipasi pemilih untuk Pilgub cendrung lebih
kecil jika dibandingkan dengan dua iven nasional itu. Pada Pileg dan Pilpres 2014, partisipasi
pemilih di Sumbar jauh lebih kecil dibandingkan dua iven serupa sebelumnya. Tahun 2014 Pileg
hanya diikuti 68,43 persen pemilih dan Pilpres turun menjadi 63,7 persen saja. Ternyata trend
terus menurun itu makin menghujam menjadi kira-kira hanya sekitar 51-54 persen saja.
Ada dua faktor menjadi penyebab turunnya partisipasi pemilih. Pertama, jumlah calon gubernur
yang sedikit. Semakin banyak calon, maka partisipasi akan meningkat dan sebaliknya. Kedua,
faktor yang sangat menentukan adalah PKPU Nomor 7 Tahun 2015 yang sangat membatasi
kegiatan kampanye pasangan calon, baik secara langsung, menggunakan media luar ruangan
(spanduk, baliho, umbul-umbul) dan juga sosialisasi melalui media massa. Hak dan fungsi
media untuk mengoptimalkan sosialisasi Pilkada dirampas oleh KPU.
Meningkatnya jumlah golput, karena berbagi sebab, sebaiknya menjadi perhatian serius bagi
KPU dan jajarannya, termasuk oleh DPR dan pemerintah pusat. Perlu revisi UU Pilkada dan
PKPU No 7 Tahun 2015. Persoalan kelemahan regulasi Pilkada yang berimpilikasi kepada
rendahnya partisipasi pemilih ternyata tidak mampu digenjot oleh berbagai upaya oleh KPPS,
seperti lucky draw, undian berhadiah dan lain sebagainya.
pilkada-pilkada sebelumnya di mana tiap calon masif dalam sosialisasi dan kampanye, ujarnya.
Menurut Qodari, efek dari penerapan pola seperti sekarang ini harus jadi pelajaran agar ke depan
tidak terulang.
Qodari yang lembaganya juga melakukan hitung cepat di beberapa daerah mengungkapkan,
banyak TPS yang golputnya lebih tinggi dari jumlah pemilih di DPT yang terdaftar. Dia
mencontohkan TPS 17 Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Dari total 380 DPT, hanya 170
yang menggunakan suaranya. Artinya, yang tidak menggunakan hak pilihnya lebih banyak, yakni
210 pemilih. Dan kasus seperti itu juga terjadi di banyak daerah, termasuk di Surabaya,
ucapnya.
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan belum bisa diketahui jumlah golput di pilkada ini.
Hingga tadi malam, kata dia, total daerah yang sudah melaporkan hasil pilkadanya ke sistem
hitung KPU berjumlah 58 wilayah. Dia menyebut rata-rata partisipasi pemilih mencapai 73,22%.
Memang ini (tingkat partisipasi) masih di bawah target kita, kata Arief.
Kegaduhan politik dan banyaknya politisi yang terjerat korupsi tampaknya berdampak pada
sikap apatis warga untuk mengikuti Pilkada serentak yang digelar Rabu (9/12/2015). Di Depok,
pasca ditutup beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya didatangi kurang dari 50 persen
warga yang memiliki hak pilih.
Di TPS 64 Kp Sidamukti RT 0W/011, Kec. Cilodong, Depok, dari 392 pemilih yang tercatat,
hanya 118 pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara, menyampaikan hak pilihnya.
Ya Memang banyak warga yang tidak menyampaikan hak pilihnya, kata Ketua KPPS TPS,
Yanto, Rabu (9/12/2015).
Menurutnyaa warga tidak peduli terhadap pelaksanaan Pilkada Calon Walikota Depok. Mereka
banyak yang tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sehingga warga yang menyampaikan hak pilih tidak antre. Tempat duduk yang disiapkan selalu
kosong. Yanto mengaku banyaknya warga tidak datang ke TPS, selain tidak peduli dengan
kegiatan pilkada.
Warga hanya ingin harga barang murah. Mereka tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin.
Apalagi melihat dagelan yang dipertontonkan para elite di DPR. Ditambah lagi, para elit pada
tutup mata atas kenaikan tarif listrik. Belum lagi banyak yang korupsi. Ini yang membuat
warga makin muak dan enggan untuk menyampaikan hak pilihnya, jelasnya. (setiawan/ruh)
jika tak ada peran aktif masyarakat dalam pengamanan wilayah akhir tahun
ini.
Dia menilai, jika informasi soal ancaman dibiarkan, maka teror dapat terjadi
dengan mudah.
"Yang penting semua negara harus meningkatkan kewaspadaan karena
biasanya suasana suka cita tahun baru membuat lalai untuk menjaga
keamanan, bukan saja diantara anggota masyarakat tapi aparatnya juga,"
kata Nuning, sapaan Susaningtyas, kepada CNNIndonesia.com, Selasa
(22/12).
Gerakan terorisme selama ini dipandang berhasil menjalankan misinya
karena tingkat apatis masyarakat dalam hal keamanan semakin tinggi.
Padahal, kata Nuning, penanganan teror tidak dapat dilakukan oleh aparat
kepolisian atau intelijen semata.
"Diperlukan kekebalan sosial agar tidak mudah terpengaruh propaganda
terorisme. Keberhasilan gerakan terorisme melakukan transformasi dan
regenerasi sejatinya bermuara pada ketidakpedulian kita, termasuk dengan
membiarkan polisi berada sendirian di garis depan pertempuran," ujarnya.
Menanggapi tingginya ancaman teror jelang akhir tahun, Indonesia diketahui
telah menyepakati pertukaran intelijen dengan Australia kemarin, Senin
kemarin. Kesepakatan tersebut dibuat setelah Jaksa Agung Australia George
Brandis berkunjung ke Indonesia kemarin.
Selain melakukan pertukaran intelijen, Indonesia juga telah menetapkan
status Siaga I untuk pengamanan jelang Natal dan tahun baru 2016.
Ketetapan tersebut telah diumumkan oleh Kepala Badan Intelijen Negara
Sutiyoso dan Kapolri Jenderal Badrodin Hadiri. (meg)
Orang di kota besar pada umumnya dapat mandiri tanpa harus bergantung pada orang alian. Hal
yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih
mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidupan keluraga sering sukar dipersatukan
karena perbedaan kepentingan, paham politik, agama, dan seterusnya. Masyarakat kota besar
khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk dari kehidupan modern
yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan privat mereka
terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.
Hal ini memang tidak bisa disalahkan. Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan
diri dan keluarga dekat memang dianggap sebagai prioritas utama.
Akan tetapi, apa akibat dari mentalitas dan cara berpikir privat semacam itu. Jawabannya
sederhana saja hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas dan
keadilan pun juga terabaikan. Solidaritas sosial dan keadilan tidak menjadi prioritas, dan bahkan
mungkin tidak lagi terpikirkan sama sekali. Inilah apatisme yang perlahan-lahan akan
menghancurkan kehidupan publik di Indonesia.
Ketidakpedulian ketika terjadi ketidakadilan di depan mata kita. Ketidakpedulian ketika orang
lain menderita bukan karena kesalahannya, tetapi hanya karena dia lahir di kelas sosial yang
tidak tepat. Yang terakhir ini disebut sebagai ketidakadilan struktural / lapisan sosial. Ini seperti
yang sering kita dengar, kemakmuran tidak selamanya baik. Kemakmuran tanpa Keadilan
adalah sesuatu yang membahayakan kelak. Jadi sebaiknya Adil dulu baru Makmur.
Penyebab mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari pengalaman di masa
lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para pejabat yang dianggap
tidak menyentuh di hati rakyat sehingga menjadi pelajaran bagi rakyat. Keadaan saling
menguntungkan yang terjalin antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah secara nyata ditemui
masyarakat. Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa jera,
hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk menyalurkan
aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena tindak-tanduk
sebagian besar abdinya.
Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena suasana
yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini
semua pihak merasa dan mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat
terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.
Berkembangnya peradaban kearah modernisasi dan rasionalisasi. Membuat masyarakat seakan
larut dalam euforia untuk mensejahterakan diri sendiri (mengejar kemakmuran) tanpa melihat
bagaimana fenomena yang terjadi di negaranya saat ini, pengaruh kemiskinan yang sekaligus
berimbas kepada kebodohan bangsa belum menjadi perhatian serius dari generasi tua maupun
para elite-elite politik bangsa ini. Pengaruh perkembangan informasi dan era globalisasi yang
mulai merebak di negara kita juga menjadi ancaman yang sangat menakutkan bagi generasi
muda. Mereka sudah mulai meninggalkan kebudayaannya yang menbjadi jati dirinya dan itu
diperkuat lagi dengan semangat globalisasi yang begitu kental dan digelorakan oleh pihak asing.
Generasi muda seakan telah meninggalkan jati diri bangsanya dan mulai terpengaruh dengan
budaya-budaya asing yang mulai menunjukkan taji-nya dan sekaligus telah menguasai seluruh
aspek kehidupan di negara kita.
Semangat nasionalisme kaum muda dan masyarakat yang terus luntur dipengaruhi oleh budaya
kaum muda yang lebih memandang kesenangan sebagai suatu hal yang terpenting dan harus
dijadikan sebagai tujuan (hedonisme) menyebabkan terjadinya pergeseran budaya dan prilaku
kaum muda yang kritis, agresif dalam memberikan kontribusi positif dan sebagai jambatan
perubahan sosial. Padahal bangsa itu adalah satu jiwa. Sudah selayaknya apatis tersebut
dianggap sebagai sesuatu yang jelas merusak, terutama dalam kehidupan bermasyarakat.