Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
memaksimalkan
nilai
perusahaan
berarti juga
nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik antara
pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan
lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang
perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Jadi dapat
disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan index yang tepat
untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan.
Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan
dalam
bentuk
maksimalisasi
nilai
saham
kepemilikan
perusahaan,
atau
November 2008). Suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja
perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga sahamnya. Jika
nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan
utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan
kemakmuran pemilik atau para pemegang saham.
Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar
perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai
penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya
dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah
satunya Tobins Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena
dalam Tobins Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan,
tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan
namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan
berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor
dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan
operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman
yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).
Jadi semakin besar nilai Tobins Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai
pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka
semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk
memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).
Social
Responsibility
menjadi
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi nilai perusahaan karena salah satu dasar pemikiran yang melandasi
Corporate Social Responsibility yang pada saat ini dianggap sebagai inti etika bisnis
adalah kesadaran bahwa perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan
legal terhadap pemegang saham (shareholder) saja, tetapi juga memiliki kewajiban
sosial terhadap stakeholder (pemangku kepentingan) seperti pemerintah, customers,
investors, masyarakat, pegawai dan bahkan kompetitor. Stakeholder theory
berpandangan bahwa perusahaan harus melakukan pengungkapan sosial sebagai salah
satu tanggung jawab kepada para stakeholder.
Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan semakin menyadari pentingnya
menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari
strategi bisnisnya, ini berkaitan dengan tuduhan bahwa industri adalah penyumbang
terbesar dari terjadinya pemanasan global jelas tidak terbantahkan lagi. Penggunaan
energi yang boros hingga buangan limbah gas karbon akibat proses produksi
merupakan dampak negatif operasi perusahaan yang terjadi setiap harinya.
Pemanasan global selalu menjadi isu yang didengungkan perusahaan besar di dunia.
Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Menurut data yang
dihimpun melalui (www.csrindonesia.com) mengatakan bahwa dalam CSR Indonesia
2007 yang menampilkan beragam perusahaan yang telah mengimplementasikan
program CSR baru-baru ini, nampak jelas terlihat bahwa isu yang dibangun belum
menyentuh masalah pemanasan global sama sekali. Banyak perusahaan menyatakan
dengan gagah bahwa dengan programnya secara nyata akan mengurangi
permasalahan bangsa dan masyarakat Indonesia terutama kemiskinan, pengembangan
masyarakat, hingga pendidikan dan kesehatan.
Bila demikian halnya, pemanasan global nampaknya belum dianggap masuk
dalam masalah bangsa karena berdasarkan tulisan Kanis Dursin di harian The Jakarta
Post (1 Mei 2007) yang berjudul Most Indonesian Not Aware of Global Warming
mengungkapkan fakta minimnya pemahaman masyarakat Indonesia akan pemanasan
global. Hal ini dibuktikan dengan adanya survey AC Nilsen di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya dan Medan dengan 1700 responden. Di Jakarta, hanya 24%
orang yang paham akan pemanasanan global, demikian juga di Semarang.
Dalam Isu pemanasan global, tampaknya belum ada perusahaan di Indonesia
yang menempatkannya sebagai bagian dari strategi CSR. Padahal, harusnya
perusahaan-perusahaan segera sadar bahwa Indonesia juga merupakan salah satu
negara penyumbang karbon besar karena deforestasi dan borosnya penggunaan bahan
bakar fosil. Hal ini ironis karena seharusnya badan usaha yang melaksanakan CSR
lebih perduli terhadap lingkungan karena berkaitan dengan kelangsungan hidup orang
kegiatan karitatif. Perusahaan seperti ini melihat promosi dan CSR sebagai hal
yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
b. Perusahaan Impresif. CSR lebih diutamakan untuk promosi daripada untuk
pemberdayaan. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan tebar pesona
daripada tebar karya.
c. Perusahaan Agresif. CSR lebih ditujukan untuk pemberdayaan daripada
promosi. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan karya nyata daripada
tebar pesona.
d. Perusahaan Progresif. Perusahaan menerapkan CSR untuk tujuan promosi dan
sekaligus pemberdayaan. Promosi dan CSR dipandang sebagai kegiatan yang
bermanfaat dan menunjang satu-sama lain bagi kemajuan perusahaan.
Kategori yang menjadi acuan penulis merupakan kategori yang dikeluarkan
oleh Global Reporting Initiative (GRI) yang meliputi 6 (enam) kategori yaitu
ekonomi, lingkungan, praktek tenaga kerja, hak azasi manusia, sosial dan tanggung
jawab produk sebagai dasar sustainability reporting (laporan berkelanjutan).
2.1.3 Leverage
Menurut Brigham dan Houston (2001) stuktur modal merupakan kombinasi
hutang dan ekuitas dalam struktur keuangan jangka panjang perusahaan. Dalam studistudi empiris, leverage didefinisikan sebagai sebuah ukuran yang menunjukkan
seberapa besar tingkat penggunaan hutang dalam membiayai aktiva perusahaan. Ada
tiga ukuran leverage yang sering digunakan sebagai proxy dari struktur modal yaitu
rasio total debt to total asset, rasio long-term debt to total asset dan short-term debt
to total asset. Pengukuran ini sesuai dengan penelitian Chen (2008).
Penggunaan modal pinjamam yang biasa disebut Leverage dimaksudkan
untuk meningkatkan kekayaan pemilik. Menurut Brigham dan Houston (2001), Hal
Pembayaran bunga adalah tax deductible, yang menurunkan biaya efektif hutang.
Debtholder memperoleh return yang pasti.
Melalui financial leverage dimungkinkan laba per lembar saham akan meningkat.
Kendali terhadap operasi perusahaan oleh pemegang saham yang ada tidak
berubah.
Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan leverage, yaitu :
1. Semakin tinggi debt ratio, semakin beresiko perusahaan. Karena semakin tinggi
biaya tetapnya yaitu berupa pembayaran bunga.
2. Jika sewaktu-waktu perusahaan kesulitan keuangan dan operating income tidak
cukup untuk menutup beban bunga, maka akan menyebabkan kebangkrutan.
Dari pendapat Brigham dan Houston tersebut dapat dijelaskan bahwa hutang
bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap nilai perusahaan. Pada titik tertentu
peningkatan hutang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang
diperoleh dari penggunaan hutang lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya.
Para pemilik perusahaan biasanya menciptakan hutang pada tingkat tertentu untuk
menaikkan nilai perusahaan.
Bagi perusahaan, hutang mempunyai dua keuntungan. Pemegang hutang
(debtholder) mendapat pengembalian yang tetap yang pertama. Kedua, bunga yang
dibayarkan dapat mengurangi beban pajak sehingga menurunkan efektif dari hutang.
Kelemahan hutang yaitu bila semakin tinggi rasio hutang (debt ratio), semakin tinggi
pula resiko perusahaan sehingga suku bunga makin tinggi. Apabila perusahaan
mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutupi
beban bunga maka pemegang saham harus dapat menutup kekurangan tersebut, dan
jika perusahaan tidak sanggup maka perusahaan akan bangkrut. Hutang dapat
2. Signaling Theory
Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2001) adalah suatu
tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor
tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Dalam Brigham dan
Houston (2001), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba
menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan
dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur
modal yang normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan
cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu
perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen
memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan
menawarkan penjualan saham baru, lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya
akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif
yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.
Kasus yang dialami Enron pada bulan Desember 2001 salah satu bukti yang
bisa dijadikan bahan pertimbangan didalam pengambilan kebijakan hutang. Diawali
ketika Kenneth Lay, seorang pengamat ekonomi dan mantan wakil menteri pada
Departemen Interior Amerika Serikat, membangun Enron di tahun 1985 dengan
melakukan penggabungan dua perusahaan gas alam yang memiliki sistem pipanisasi
terpadu, ketika bergabung bersama, membentuk untuk pertama kalinya sistem
nasional yang dapat mendistribusikan gas alam ke pabrik-pabrik seluruh negeri. Lay
mengembangkan perusahaannya dengan mendapatkan pinjaman untuk membeli
perusahaan lain, dan di tahun 1987 hutang yang dimiliki Enron sudah sebesar 75%
dari nilai pasar sahamnya, yang berakibat menciptakan masalah yang berlarut-larut
dalam perusahaan.
Untuk memasuki beberapa pasar yang ia perdagangkan, ia harus meminjam
lagi sejumlah uang yang sangat besar untuk membeli infrastruktur yang dibutuhkan
untuk mengangkut, menyimpan, dan mengirimkan komoditas yang diperdagangkan.
Tingkat hutang yang tinggi menyebabkan terbuka lebarnya jalan kebangkrutan dan
juga akan menurunkan peringkat investasi serta juga akan membuat bank menarik
pinjamannya kembali. Ditambah lagi dengan kecurangan yang dilakukan oleh
Anderson sebagai akuntan dalam menutupi keadaan ini. Tingkat hutang yang dimiliki
Enron membuat nilai perusahaannya jatuh sampai menjadi nol dan kehilangan 70
milyar dolar AS atas kerugian tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan Sujoko dan Soebiantoro (2007), dan Susanti
(2010) menamukan hasil bahwa leverage mempunyai hubungan negatif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan. Artinya semakin tinggi leverage suatu
perusahaan, maka nilai perusahaannya akan turun.
2.1.4
tahun 1977. Investment opportunity Set (IOS) menurut Myers (1977) adalah
kombinasi antara aktiva yang dimiliki perusahaan (assets in place) dan pemilihan
investasi pada masa yang akan datang dengan net present value (NPV) positif.
yang akan datang serta pangsa pasar relatif menunjukkan daya saing perusahaan lebih
tinggi dibanding pesaing utamanya. Investor akan merespon positif sehingga nilai
perusahaan akan meningkat. Kemudian pada umumnya perusahaan dengan ukuran
yang besar memilki total aktiva yang besar pula sehingga dapat menarik investor
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dan akhirnya saham tersebut
mampu bertahan pada harga yang tinggi. Pada umumnya perusahaan dengan size
kecil sangat riskan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan cenderung kurang
menguntungkan dibandingkan dengan saham dengan size besar.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terkait dengan pengaruh ukuran
perusahaan terhadap nilai perusahaan, menunjukkan hasil yang konsisten yaitu
berpengaruh positif signifikan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sujoko
dan Soebinatoro (2007) serta Herawaty (2008) yang konsisten menemukan hasil
bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan, hal ini menunjukkan semakin besar perusahaan maka semakin baik nilai
perusahaannya.
Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk
investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham
perusahaan tersebut semakin banyak. Ukuran perusahaan dapat diproksikan ke dalam
logaritma natural dari total aktiva (Brigham and Houston, 2001).
Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan
perusahaan dalam menentukan kebijakan hutangnya. Perusahaan besar diantaranya
memiliki keuntungan aktivitas serta lebih dikenal oleh publik dibandingkan dengan
perusahaan kecil sehingga kebutuhan hutang perusahaan yang besar akan lebih tinggi
dari perusahaan kecil. Selain itu, semakin besar ukuran perusahaan maka perusahaan
semakin transparan dalam mengungkapkan kinerja perusahaan kepada pihak luar,
dengan demikian perusahaan semakin mudah mendapatkan pinjaman karena semakin
dipercaya oleh kreditur.
2.1.7 Profitabilitas
Dewasa ini banyak pimpinan mendasarkan kinerja perusahaan yang
dipimpinnya pada financial performance. Paradigma yang dianut oleh banyak
perusahaan tersebut adalah profit oriented. Perusahaan yang dapat meperoleh laba
besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja financial yang baik.
Sebaliknya apabila laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil, maka dapat
dikatakan perusahaan kurang berhasil atau kinerja yang kurang baik, hal tersebut
dikarenakan profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan
manajemen perusahaan.
Menurut Brigham and Houston (2001) Profitabilitas adalah serangkaian
kebijakan dan keputusan. Profitabilitas dapat dikatakan sebagai kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari aktivitas yang dilakukan pada
periode akuntansi. Menurut Saidi (2004) Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor menanamkan saham pada
perusahaan adalah untuk mendapatkan return, yang terdiri dari yield dan capital
gain. Semakin tinggi kemampuan memperoleh laba, maka semakin besar return
yang diharapkan investor, sehingga menjadikan nilai perusahaan menjadi lebih baik.
Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat
pengembalian yang tinggi atas investasi perusahaan yang memperoleh laba yang
besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja yang baik, sebaliknya
kalau laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil atau menurun dari periode
sebelumnya, maka dapat dikatakan perusahaan kurang berhasil atau memiliki kinerja
yang kurang baik. Laba yang menjadi ukuran kinerja perusahaan harus dievaluasi dari
suatu periode ke periode berikutnya dan bagaimana laba aktual dibandingkan dengan
laba yang direncanakan.
Apabila seorang manajer telah bekerja keras dan berhasil meningkatkan
penjualan sementara biaya tidak berubah, maka laba harus meningkat melebihi
periode sebelumnya, yang mengisyaratkan keberhasilan. Profitabilitas yang tinggi
menunjukan prospek perusahaan yang baik, sehingga investor akan merespon positif
sinyal tersebut dan nilai perusahaan akan meningkat (Sujoko dan Soebintoro, 2007).
Profitabilitas dapat diproksi melalui Return on Equity (ROE) sebagai ukuran
profitabilitas perusahaan. Menurut Brigham and Houston (2001) Return on Equity
adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri. Maksud dari definisi
ROE yang dikemukakan oleh Brigham and Houston tersebut adalah bahwa rasio ini
mengukur tingkat pengembalian atas investasi bagi para pemegang saham. Dari
definisi ROE di atas dapat disimpulkan bahwa, tingkat pengembalian modal atau
ROE adalah rasio yang mengukur berapa besar pengembalian yang diperoleh pemilik
perusahaan (pemegang saham) atas modal yang disetorkannya untuk perusahaan
tersebut. Secara umum, semakin tinggi ROE, semakin baik kedudukan pemilik
perusahaan sehingga akan meyebabkan baiknya penilaian investor terhadap
perusahan yang menyebabkan meningkatnya harga saham dan nilai perusahaan.
Penelitian Susanti (2010) menyimpulkan bahwa faktor profitabilitas
berpengaruh signifikan dalam meningkatkan nilai perusahaan, dalam penelitiannya
menunjukkan profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang
baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham.
Selanjutnya permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan
yang meningkat.
dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu. Negara-negara
yang menggunakan sistem satu tungkat misalnya adalah Amerika Serikat dan
Inggris.
2. Sistem dua tingkat atau Two Tiers System
Sistem dua tingkat berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Dalam sistem ini
perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan
komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas
mengelola dan mewakili perusahaan dibawah pengarahan dan pengawasan dewan
komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan
komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh dewan komisaris. Sehingga
dewan komisaris terutama bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas
manajemen. Negara-negara yang menggunakan sistem dua tingkat adalah
Denmark, Belanda, Jepang dan juga Indonesia.
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab
secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi
serta memastikan bahwa perusahaan melaksanaan tata kelola sesuai dengan aturan.
Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil
keputusan operasional.
Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris non
independen. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari
pihak terafiliasi, sedangkan komisaris non-independen merupakan komisaris yang
terafiliasi. Terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan
kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan
komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri.
Keberadaan Komisaris independen telah diatur oleh Bursa Efek Indonesia
melalui peraturan BEJ tanggal 1 juli 2000 dikutip dari (FCGI, 2011). Dikemukakan
bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai komisaris independen yang
secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemagang saham
minoritas. Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen
adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
Dikarenakan Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab dan kewenangan
untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan direksi dan manajemen atas
pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efektif, efisien,
dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan organisasi, serta memberikan nasihat
bilamana diperlukan, dan karena posisinya yang sangat penting dalam perusahaan,
kemampuan dan pemahaman komisaris terhadap bidang usaha dan emiten akan
sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sehingga komisaris
harus memiliki dan menguasai latar belakang pendidikan di bidang ekonomi.
Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan pengawasan jalan
kegiatan usaha dari praktik-praktik kecurangan sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan, dengan pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat, serta dapat bertindak secara independen. Sesuai dengan teori sinyal (signal
model), bahwa tingginya Dividen yang dibagikan menunjukkan tingginya
performance perusahaan. Pada kondisi informasi tidak seimbang (disparity) tinggi
antara manajer dan investor, perusahaan akan memberikan sinyal dengan membayar
Dividen yang tinggi.
Penelitian
tentang
"Peran
Praktek
Corporate
Governance
Sebagai
saham. Sementara itu, ditemukan hubungan negatif tidak signifikan antara proporsi
dewan komisaris independen, struktur kepemilikan saham, dan cash holding terhadap
nilai perusahaan.
2.1.10 Dividend Payout Ratio
Kebijakan dividen adalah kebijakan yang menyangkut tentang penggunaan
laba yang menjadi hak para pemegang saham. Pada dasarnya laba tersebut bisa dibagi
sebagai Dividen atau ditahan untuk diinvestasikan kembali. Perusahaan bisa membagi
Dividen dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk saham (stock Dividen).
Kebijakan dividen masih merupakan masalah yang mengundang perdebatan karena
ada beberapa pendapat mengenai Dividen. Pertama, pendapat yang mengatakan
dividen dibagi sebesar-besarnya (dividend relevant); Kedua, kebijakan dividen tidak
relevan; dan ketiga perusahaan membagi dividen sekecil mungkin.
Jika
perusahaan
mampu
meningkatkan
pembayaran
dividen
karena
peningkatan laba, maka harga saham akan naik. Jadi, kenaikan harga saham tersebut
pada dasarnya adalah sebagai akibat dari kenaikan dari laba. Pemberian dividen
dimungkinkan hanya apabila perusahaan memperoleh keuntungan, namun tidak
menutup kemungkinan perusahaan tetap membagi dividen meskipun perusahaan
menderita kerugian.
Bird in the hand Theory menjelaskan bahwa investor menyukai dividen yang
tinggi karena dividen yang diterima seperti burung di tangan yang risikonya lebih
kecil atau mengurangi ketidakpastian dibandingkan dengan dividen yang tidak
kalau
perusahaan harus membagikan semua laba sebagai dividen, hanya karena perusahaan
harus membagikan dividen sebesar-besarnya. Laba dibenarkan untuk ditahan jika
dana tersebut bisa diinvestasikan dan menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih
besar dari biaya modalnya (memberi net present value positif), dengan harapan
dividen di masa yang akan datang akan naik sebagai hasil dari investasi yang
dilakukan. Harapan investor untuk memperoleh dividen secepatnya dapat
direalisasikan dengan kesediaannya untuk membayar harga atas saham perusahaan
dengan lebih tinggi. Pada pasar modal sempurna dan efisien, investor dapat setiap
saat menjual atau menginvestasikan kembali dividen yang diterima, sehingga untuk
jangka panjang dividen tetap memberikan suatu pendapatan yang tidak berbeda
dengan dividen yang tidak dibagikan tapi diinvestasikan oleh perusahaan.
Kelompok kedua menganggap Dividen tidak relevan (the irrelevant of
Dividend). Modigliani dan Miller (1958) mengatakan bahwa kebijakan Dividen tidak
mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan. Nilai perusahaan hanya
ditentukan oleh kemampuan menghasilkan laba, bukan pada pembagian laba
perusahaan untuk dividen atau sebagai laba ditahan. Selanjutnya dikatakan bahwa
perusahaan bisa saja membagikan dividen yang besar ataupun kecil, asalkan
dimungkinkan menutup kekurangan dana dari sumber eksternal. Jadi yang penting
adalah apakah investasi yang tersedia diharapkan akan memberikan net present value
yang positif, tidak perduli apakah dana yang digunakan diperoleh dengan menahan
laba ataukah dari luar perusahaan dengan menerbitkan saham baru. Dampak dari
pilihan keputusan tersebut sama saja terhadap nilai perusahaan. Jadi keputusan
Dividen adalah tidak relevan (the irrelevant of dividen).
Kelompok ketiga berpendapat agar dividen dibagi sekecil-kecilnya.
Pendapat sebelumnya mengatakan bahwa dividen tidak relevan mendasarkan diri atas
pemikiran bahwa membagikan dividen dan menggantikan dengan menerbitkan saham
baru mempunyai dampak yang sama terhadap harga saham. Sayangnya analisis
tersebut mengabaikan adanya biaya penerbitan saham baru/biaya emisi (flotation
cost). Biaya yang ditimbulkan akibat menerbitkan saham baru adalah fee untuk
underwriter, biaya notaris, akuntan, konsultan hukum pendaftaran saham dan lain
sebagainya yang berkisar antara 2% sampai 4%. Dengan adanya biaya-biaya tersebut,
berarti sebagian kekayaan pemegang saham diberikan kepada berbagai pihak sebagai
flotation cost. Jadi bila perusahaan memiliki dana untuk investasi mengapa dana
tersebut dibagikan sebagai dividen?, sehingga menimbulkan biaya flotation. Oleh
sebab itu, mereka beranggapan dividen sebaiknya dibagi sekecil-kecilnya, sejauh
dana tersebut dapat digunakan untuk investasi yang menguntungkan atau memberi
NPV positif.
Easterbrook (1984) dalam Susanti (2010) menyatakan ada keyakinan bahwa
semakin banyak Dividen yang ingin dibayarkan oleh perusahaan, semakin besar
di
negara
berkembang
umumnya
melakukan
kebijakan
pembayaran dividen dengan payout ratio sebesar dua pertiga dari perusahaanperusahaan di negara maju. Perusahaan di negara berkembang lebih mementingkan
kebijakan dividen berdasarkan payout ratio dibandingkan dengan besaran-besaran
moneternya. Investor individual dengan
tergantung dari dividen mungkin lebih menyukai dividen payout yang tinggi. Akan
tetapi investor dengan penghasilan tinggi akan lebih menyukai dividen payout rendah.
Dalam teori kebijakan dividen yang penting diperhatikan adalah apakah
perubahan rasio pembayaran dividen akan mempengaruhi nilai perusahaan? Dalam
dunia tanpa pajak atau biaya transaksi tidak ada, Modigliani dan Miller (1958)
mengatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam
dunia tanpa pajak pemegang saham bersikap sama saja apakah mereka menerima arus
kas sebagai dividen, atau sebagai keuntungan modal, jika kas disimpan sebagai laba
ditahan. Sedangkan perusahaan dapat memilih untuk membayar dividen dari
kelebihan arus kas dari operasi dan tetap menjalankan investasi yang direncanakan.
Karena dana ekstra yang diperlukan dapat diperoleh dengan menerbitkan saham baru
tanpa biaya penerbitan. Nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan dividen,
karena
semua
investasi
yang
menguntungkan
dapat
dilaksanakan
tanpa
dividen memiliki tarif pajak yang tinggi bagi investor dibandingkan dengan capital
gain, maka tingginya dividen menjadikan tingginya expected personal tax liabilities,
sehingga investor mensyaratkan tingginya expected return sebelum pajak. Jadi
menurut mereka apapun kebijakan dividen yang dipilih tidak ada pengaruhnya
terhadap harga saham.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa alasan
mengapa dividen tetap dibagikan meskipun pada saat yang sama perusahaan memiliki
kesempatan investasi yang menarik, dan perusahaan mendanai perusahaan dari
sumber eksternal.
1. Pembayaran dividen kas merupakan suatu yang lazim. Artinya kegagalan
melakukan pembayaran dividen dapat dianggap suatu aib yang memalukan.
Selain itu pembayaran dividen dapat memberikan sinyal tentang masa depan
perusahaan.
2. Dividen menyajikan sales point bagi investment banking, karena beberapa
investor institusional hanya akan membeli saham perusahaan yang membayar
dividen.
3. Shareholders
sering
meminta
dividen,
walaupun
perusahaan
memiliki
kesempatan untuk melakukan investasi kembali dari seluruh dana yang mungkin
cukup besar.
4. Ada suatu keyakinan yang tersebar luas, bahwa pembayaran Dividen akan
mengakibatkan harga saham yang lebih tinggi.
Manajer dapat menggunakan kebijakan Dividend Payout Ratio untuk
menangkal isu-isu negatif berkaitan dengan kinerja perusahaan dimasa yang akan
datang untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menemukan hasil yang positif
dan tidak signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan nilai perusahaan
dan penelitian yang dilakukan oleh Isshaq (2009), menemukan hasil yang positif dan
signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan nilai perusahaan.
masuk JII berjumlah 30 (tiga puluh) saham yang memenuhi kriteria syariah yang
dilakukan per semester yaitu pada bulan Juni dan Desember.
Tujuan pembentukan JII adalah untuk meningkatkan kepercayaan investor
untuk melakukan investasi pada saham berbasis syariah dan memberikan manfaat
bagi pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk melakukan investasi di bursa
efek. JII juga diharapkan dapat mendukung proses transparansi dan akuntabilitas
saham berbasis syariah di Indonesia. JII menjadi jawaban atas keinginan investor
yang ingin berinvestasi sesuai syariah. Dengan kata lain, JII menjadi pemandu bagi
investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah tanpa takut tercampur
dengan dana ribawi. Selain itu, JII menjadi tolak ukur kinerja (benchmark) dalam
memilih portofolio saham yang halal.
Penentuan kriteria indeks itu sendiri melibatkan Dewan Pengawas Syariah PT.
Danareksa Invesment Management, menurut Prakarsa (2006) saham-saham
didalamnya harus memiliki sifat:
1. Emiten tidak menjalankan usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi
atau perdagangan yang dilarang.
2. Bukan lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba, termasuk
perbankan dan asuransi konvensional.
3. Usaha yang dilakukan bukan memproduksi, mendistribusikan dan
memperdagangkan makanan/minuman yang haram.
4. Tidak menjalankan usaha memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan
barang/jasa yang merusak amoral.
Dengan penyaringan berdasarkan penilaian syariah, dipilihlah 30 emiten yang
mampu masuk kedalam indeks JII. Setelah melewati beberapa tahap seleksi seperti
memilih emiten dengan prinsip syariah, memilih saham dengan rasio Kewajiban
Tahun
2010
Judul
Analisis faktorfaktor
yang
berpengaruh
terhadap
nilai
perusahaan
c.
d.
e.
f.
g.
Vinola
Herawaty
Zangina
Isshaq
2008
2009
Peran
Praktek
Corporate
Governance
sebagai
Moderating
Variabel
dari
pengaruh
Earning
Manajemen
Terhadap Nilai
Perusahaan.
pada
sektor
perbankan yang
Go Public di BEJ
Corporate
Governance,
Ownership
Structure, Cash
Holdings,
and
Firm Value on
the Ghana Stock
Exchange
h.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
a.
b.
c.
Ni
Wayan
Yuniasih dan
Made Gede
wirakusuma
2007
Pengaruh Kinerja
Keuangan
Terhadap Nilai
Perusahaan
dengan
Pengungkapan
CSR dan GCG
sebagai Variabel
Pemoderasi
a.
b.
c.
Independen: corporate
governance
(ukuran
dewan direksi, dewan
komisaris independen,
dan pertemuan dewan)
struktur
kepemilikan,
dan cash holding
Dependen:
nilai
perusahaan
Kontrol: risiko financial
(leverage),
Dividend
payout
ratio,
dan
investment opportunity
a.
Variabel dependen :
Nilai Perusahaan
Variabel Independen :
Kinerja Keuangan
Variabel Moderating :
Pengungkapan
corporate
social
responsibility, dan Good
corporate governance
variabel
yang
berpengaruh
signifikan
terhadap
nilai
perusahaan adalah
variabel
corporate governance, ukuran
perusahaan
dan
earnings
manajemen. Komite independen,
kualitas
audit,
kepemilikan
institusioal merupakan variabel
permoderasi antara earnings
manajemen dan
nilai perusahaan.
terhadap
Nilai
Perusahaan.
Dalam
penelitiannya
Susanti