Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang
sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai
perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah
untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore,
2005). Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu
perusahaan, karena dengan

memaksimalkan

nilai

perusahaan

berarti juga

memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama


perusahaan. Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia
dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan menurut
Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan
ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai perusahaan merupakan persepsi investor
terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham.
Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai
perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya pada kinerja
perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa depan.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar, seperti
halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahuddin (2008), karena

Universitas Sumatera Utara

nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum


apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka
makin tinggi kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan
umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para
profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.
Nurlela dan Islahuddin (2008) menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau
dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi
investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara
keseluruhan. Sedangkan Wahyudi (2006) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008)
menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh
calon pembeli andai perusahaan tersebut dijual. Dalam penilaian perusahaan
terkandung unsur proyeksi, asuransi, perkiraan, dan judgment. Ada beberapa konsep
dasar penilaian yaitu : nilai ditentukan untuk suatu waktu atau periode tertentu; nilai
harus ditentukan pada harga yang wajar; penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok
pembeli tertentu.
Secara umum banyak metode dan teknik yang telah dikembangkan dalam
penilaian perusahaan, di antaranya adalah : a) pendekatan laba antara lain metode
rasio tingkat laba atau price earning ratio, metode kapitalisasi proyeksi laba; b)
pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas; c) pendekatan dividen
antara lain metode pertumbuhan dividen; d) pendekatan aktiva antara lain metode
penilaian aktiva; e) pendekatan harga saham; f) pendekatan economic value added
(Suharli, 2002). Pada dasarnya tujuan manajemen keuangan adalah memaksimumkan

Universitas Sumatera Utara

nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik antara
pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika perusahaan berjalan
lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat, sedangkan nilai hutang
perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama sekali. Jadi dapat
disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan index yang tepat
untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan.
Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan
dalam

bentuk

maksimalisasi

nilai

saham

kepemilikan

perusahaan,

atau

memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak


berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham dengan
mengorbankan para pemegang obligasi. Nilai perusahaan dapat juga dilihat melalui
nilai pasar atau nilai buku perusahaan dari ekuitasnya.
Menurut Fama (1978) nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya.
Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan penjual disaat
terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar saham dianggap
cerminan dari nilai aset perusahaan sesungguhnya. Nilai perusahaan yang dibentuk
melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi oleh peluang-peluang
investasi. Adanya peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang
pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga dapat meningkatkan
nilai perusahaan.
Sebelum krisis nilai perusahaan dan nominalnya cukup tinggi. Tapi setelah
krisis kondisi perusahaan merosot sementara nilai nominalnya tetap (Kompas, 25

Universitas Sumatera Utara

November 2008). Suatu perusahaan dikatakan mempunyai nilai yang baik jika kinerja
perusahaan juga baik. Nilai perusahaan dapat tercermin dari harga sahamnya. Jika
nilai sahamnya tinggi bisa dikatakan nilai perusahaannya juga baik. Karena tujuan
utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan
kemakmuran pemilik atau para pemegang saham.
Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar
perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai
penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya
dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk mengukur nilai pasar perusahaan, salah
satunya Tobins Q. Rasio ini dinilai bisa memberikan informasi paling baik, karena
dalam Tobins Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham perusahaan,
tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan
namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan seluruh asset perusahaan
berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor
dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan
operasional perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman
yang diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).
Jadi semakin besar nilai Tobins Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki
prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai
pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka
semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk
memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Corporate Social Responsibility (CSR)


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)
sebenarnya telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan
dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi
bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
kematian bagi pelanggannya, disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada
orang-orang yang menyalahgunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk
dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan
kematian orang lain.
Perhatian para pembuat kebijakan tentang CSR menunjukkan telah adanya
kesadaran sejak lama bahwa terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan
usaha. Dampak buruk tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga
tidak membahayakan kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim
usaha.
Di Indonesia Corporate Social Responsibility telah berkembang sejak
dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini
memberikan gambaran bahwa pemerintah juga sangat peka terhadap masalahmasalah yang mungkin akan ditimbulkan oleh kegiatan operasional perusahaan baik
bagi masyarakat umum, karyawan maupun lingkungan.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(CSR) merupakan mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela
mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan

Universitas Sumatera Utara

interaksinya dengan stakeholders. The World Business Council for Sustainable


Development (WBCSD) menjelaskan, Corporate Social Responsibility atau tanggung
jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan
kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan
para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat
maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang
bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Corporate

Social

Responsibility

menjadi

salah

satu

faktor

yang

mempengaruhi nilai perusahaan karena salah satu dasar pemikiran yang melandasi
Corporate Social Responsibility yang pada saat ini dianggap sebagai inti etika bisnis
adalah kesadaran bahwa perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan
legal terhadap pemegang saham (shareholder) saja, tetapi juga memiliki kewajiban
sosial terhadap stakeholder (pemangku kepentingan) seperti pemerintah, customers,
investors, masyarakat, pegawai dan bahkan kompetitor. Stakeholder theory
berpandangan bahwa perusahaan harus melakukan pengungkapan sosial sebagai salah
satu tanggung jawab kepada para stakeholder.
Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan semakin menyadari pentingnya
menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari
strategi bisnisnya, ini berkaitan dengan tuduhan bahwa industri adalah penyumbang
terbesar dari terjadinya pemanasan global jelas tidak terbantahkan lagi. Penggunaan
energi yang boros hingga buangan limbah gas karbon akibat proses produksi
merupakan dampak negatif operasi perusahaan yang terjadi setiap harinya.

Universitas Sumatera Utara

Pemanasan global selalu menjadi isu yang didengungkan perusahaan besar di dunia.
Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Menurut data yang
dihimpun melalui (www.csrindonesia.com) mengatakan bahwa dalam CSR Indonesia
2007 yang menampilkan beragam perusahaan yang telah mengimplementasikan
program CSR baru-baru ini, nampak jelas terlihat bahwa isu yang dibangun belum
menyentuh masalah pemanasan global sama sekali. Banyak perusahaan menyatakan
dengan gagah bahwa dengan programnya secara nyata akan mengurangi
permasalahan bangsa dan masyarakat Indonesia terutama kemiskinan, pengembangan
masyarakat, hingga pendidikan dan kesehatan.
Bila demikian halnya, pemanasan global nampaknya belum dianggap masuk
dalam masalah bangsa karena berdasarkan tulisan Kanis Dursin di harian The Jakarta
Post (1 Mei 2007) yang berjudul Most Indonesian Not Aware of Global Warming
mengungkapkan fakta minimnya pemahaman masyarakat Indonesia akan pemanasan
global. Hal ini dibuktikan dengan adanya survey AC Nilsen di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya dan Medan dengan 1700 responden. Di Jakarta, hanya 24%
orang yang paham akan pemanasanan global, demikian juga di Semarang.
Dalam Isu pemanasan global, tampaknya belum ada perusahaan di Indonesia
yang menempatkannya sebagai bagian dari strategi CSR. Padahal, harusnya
perusahaan-perusahaan segera sadar bahwa Indonesia juga merupakan salah satu
negara penyumbang karbon besar karena deforestasi dan borosnya penggunaan bahan
bakar fosil. Hal ini ironis karena seharusnya badan usaha yang melaksanakan CSR
lebih perduli terhadap lingkungan karena berkaitan dengan kelangsungan hidup orang

Universitas Sumatera Utara

banyak dan membantu mempercepatnya MDGs (Millennium Development Goals)


yang merupakan janji negara kepada rakyatnya didalam pembangunan, kemudian hal
ini akan membawa dampak yang positif pula bagi pencitraan perusahaan dimata calon
investor, yang akhirnya akan mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari
harga sahamnya.
Hal inilah yang mungkin saja menciptakan hasil yang tidak konsisten didalam
penelitian, misalnya saja penelitian Basamalah dan Jermias (2005) menunjukkan
bahwa salah satu alasan manajemen melakukan pelaporan sosial adalah untuk alasan
strategis, namun meskipun belum bersifat mandatory, tetapi dapat dikatakan bahwa
hampir semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sudah
mengungkapkan informasi mengenai CSR dalam laporan tahunannya. Dari perspektif
ekonomi, perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut
dapat meningkatkan nilai perusahaan (Verecchia, 1983 dalam Basamalah dan
Jermias, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusumadilaga (2010)
menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara pengungkapan Corporate
Social Responsibility terhadap nilai perusahaan. Sebaliknya pada penelitian yang
dilakukan oleh Nurlela dan Islahudin (2008) menunjukkan hasil yang bertentangan
yakni tidak adanya pengaruh antara pengungkapan Corporate Social Responsibility
terhadap nilai perusahaan.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang
disebut Sustainability Reporting. Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai
kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan

Universitas Sumatera Utara

produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


(ACCA, 2004 dalam Anggraini, 2006). Sustainability report harus menjadi dokumen
strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang
Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan
sektor industrinya.
Berkaitan dengan pelaksanaan CSR, perusahaan bisa dikelompokkan ke
dalam beberapa kategori. Meskipun cenderung menyederhanakan realitas, tipologi ini
menggambarkan kemampuan dan komitmen perusahaan dalam menjalankan CSR.
Pengkategorian dapat memotivasi perusahaan dalam mengembangkan program CSR,
dan dapat pula dijadikan cermin dan guideline untuk menentukan model CSR yang
tepat.
Menurut Suharto (2007) dengan menggunakan dua pendekatan, sedikitnya
ada delapan kategori perusahaan. Perusahaan ideal memiliki kategori reformis dan
progresif. Tentu saja dalam kenyataannya, kategori ini bisa saja saling bertautan.
1. Berdasarkan proporsi keuntungan perusahaan dan besarnya anggaran CSR:
a. Perusahaan Minimalis. Perusahaan yang memiliki profit dan anggaran CSR
yang rendah. Perusahaan kecil dan lemah biasanya termasuk kategori ini.
b. Perusahaan Ekonomis. Perusahaan yang memiliki keuntungan tinggi, namun
anggaran CSR-nya rendah. Perusahaan yang termasuk kategori ini adalah
perusahaan besar, namun pelit.
c. Perusahaan Humanis. Meskipun profit perusahaan rendah, proporsi anggaran
CSR nya relatif tinggi. Perusahaan pada kategori ini disebut perusahaan
dermawan atau baik hati.
d. Perusahaan Reformis. Perusahaan ini memiliki profit dan anggaran CSR yang
tinggi. Perusahaan seperti ini memandang CSR bukan sebagai beban,
melainkan sebagai peluang untuk lebih maju.
2. Berdasarkan tujuan CSR: apakah untuk promosi atau pemberdayaan masyarakat:
a. Perusahaan Pasif. Perusahaan yang menerapkan CSR tanpa tujuan jelas,
bukan untuk promosi, bukan pula untuk pemberdayaan, sekedar melakukan

Universitas Sumatera Utara

kegiatan karitatif. Perusahaan seperti ini melihat promosi dan CSR sebagai hal
yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
b. Perusahaan Impresif. CSR lebih diutamakan untuk promosi daripada untuk
pemberdayaan. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan tebar pesona
daripada tebar karya.
c. Perusahaan Agresif. CSR lebih ditujukan untuk pemberdayaan daripada
promosi. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan karya nyata daripada
tebar pesona.
d. Perusahaan Progresif. Perusahaan menerapkan CSR untuk tujuan promosi dan
sekaligus pemberdayaan. Promosi dan CSR dipandang sebagai kegiatan yang
bermanfaat dan menunjang satu-sama lain bagi kemajuan perusahaan.
Kategori yang menjadi acuan penulis merupakan kategori yang dikeluarkan
oleh Global Reporting Initiative (GRI) yang meliputi 6 (enam) kategori yaitu
ekonomi, lingkungan, praktek tenaga kerja, hak azasi manusia, sosial dan tanggung
jawab produk sebagai dasar sustainability reporting (laporan berkelanjutan).

2.1.3 Leverage
Menurut Brigham dan Houston (2001) stuktur modal merupakan kombinasi
hutang dan ekuitas dalam struktur keuangan jangka panjang perusahaan. Dalam studistudi empiris, leverage didefinisikan sebagai sebuah ukuran yang menunjukkan
seberapa besar tingkat penggunaan hutang dalam membiayai aktiva perusahaan. Ada
tiga ukuran leverage yang sering digunakan sebagai proxy dari struktur modal yaitu
rasio total debt to total asset, rasio long-term debt to total asset dan short-term debt
to total asset. Pengukuran ini sesuai dengan penelitian Chen (2008).
Penggunaan modal pinjamam yang biasa disebut Leverage dimaksudkan
untuk meningkatkan kekayaan pemilik. Menurut Brigham dan Houston (2001), Hal

Universitas Sumatera Utara

ini dikarenakan penggunaan Leverage mempunyai implikasi penting dan memberikan


manfaat yaitu ;
1.
2.
3.
4.

Pembayaran bunga adalah tax deductible, yang menurunkan biaya efektif hutang.
Debtholder memperoleh return yang pasti.
Melalui financial leverage dimungkinkan laba per lembar saham akan meningkat.
Kendali terhadap operasi perusahaan oleh pemegang saham yang ada tidak
berubah.
Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan leverage, yaitu :
1. Semakin tinggi debt ratio, semakin beresiko perusahaan. Karena semakin tinggi
biaya tetapnya yaitu berupa pembayaran bunga.
2. Jika sewaktu-waktu perusahaan kesulitan keuangan dan operating income tidak
cukup untuk menutup beban bunga, maka akan menyebabkan kebangkrutan.
Dari pendapat Brigham dan Houston tersebut dapat dijelaskan bahwa hutang
bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap nilai perusahaan. Pada titik tertentu
peningkatan hutang akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang
diperoleh dari penggunaan hutang lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya.
Para pemilik perusahaan biasanya menciptakan hutang pada tingkat tertentu untuk
menaikkan nilai perusahaan.
Bagi perusahaan, hutang mempunyai dua keuntungan. Pemegang hutang
(debtholder) mendapat pengembalian yang tetap yang pertama. Kedua, bunga yang
dibayarkan dapat mengurangi beban pajak sehingga menurunkan efektif dari hutang.
Kelemahan hutang yaitu bila semakin tinggi rasio hutang (debt ratio), semakin tinggi
pula resiko perusahaan sehingga suku bunga makin tinggi. Apabila perusahaan
mengalami kesulitan keuangan dan laba operasi tidak mencukupi untuk menutupi
beban bunga maka pemegang saham harus dapat menutup kekurangan tersebut, dan
jika perusahaan tidak sanggup maka perusahaan akan bangkrut. Hutang dapat

Universitas Sumatera Utara

menghambat perkembangan perusahaan yang pada gilirannya dapat membuat


pemegang saham berpikir dua kali untuk tetap menanamkan modalnya. Modigliani
dan Miller mengatakan bahwa teori struktur modal yang optimal didasarkan atas
keseimbangan antara manfaat dan biaya dari pembiayaan dengan hutang. Manfaat
terbesar dari suatu pembiayaan dengan hutang adalah bunga atas hutang dapat
mengurangi pendapatan kena pajak.
Mengingat hutang adalah instrumen yang sensitif terhadap perubahan nilai
perusahaan. Semakin tinggi proporsi hutang maka semakin tinggi harga saham karena
penggunaan hutang diharapkan mampu menambah tingkat pengembalian perusahaan
sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan harga perusahaan tersebut melalui
pemenuhan modal yang dibutuhkan perusahaan dalam rangka melancarkan kegiatan
operasional. Ketersediaan modal akan membuat perusahaan mampu bertahan bahkan
mampu berkembang menjadi lebih besar.
Ada beberapa pandangan yang dikemukakan berkaitan dengan struktur modal,
diantaranya :
1. Pecking Order Theory
Teori ini dikenalkan pertama kali oleh Donaldson sejak tahun 1961,
sedangkan penamaan packing order theory dilakukan oleh Myers pada tahun 1984.
Secara singkat teori ini menyatakan bahwa: (a) Perusahaan menyukai internal
financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan), (b)
Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan

Universitas Sumatera Utara

penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi


(seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, maka
saham baru diterbitkan. Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity
ratio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan external. Modal sendiri
yang berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang berasal
dari luar perusahaan.
Menurut Myers (1984) perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan
dari modal internal, yakni dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan
depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada packing
order theory adalah: internal fund (dana internal), debt (hutang), dan equity (modal
sendiri). Dana internal lebih disukai dari dana eksternal karena dana internal
memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu "membuka diri lagi" dari sorotan
pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa
memperoleh "sorotan dan publisitas publik" sebagai akibat penerbitan saham baru.
Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua
alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi lebih murah
dari biaya emisi saham baru.
Husnan (1996) menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena penerbitan
saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau
penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh para pemodal, dan
membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan
adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal.

Universitas Sumatera Utara

2. Signaling Theory
Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2001) adalah suatu
tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor
tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Dalam Brigham dan
Houston (2001), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba
menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan
dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur
modal yang normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan
cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu
perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen
memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan
menawarkan penjualan saham baru, lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya
akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif
yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.
Kasus yang dialami Enron pada bulan Desember 2001 salah satu bukti yang
bisa dijadikan bahan pertimbangan didalam pengambilan kebijakan hutang. Diawali
ketika Kenneth Lay, seorang pengamat ekonomi dan mantan wakil menteri pada
Departemen Interior Amerika Serikat, membangun Enron di tahun 1985 dengan
melakukan penggabungan dua perusahaan gas alam yang memiliki sistem pipanisasi
terpadu, ketika bergabung bersama, membentuk untuk pertama kalinya sistem
nasional yang dapat mendistribusikan gas alam ke pabrik-pabrik seluruh negeri. Lay
mengembangkan perusahaannya dengan mendapatkan pinjaman untuk membeli

Universitas Sumatera Utara

perusahaan lain, dan di tahun 1987 hutang yang dimiliki Enron sudah sebesar 75%
dari nilai pasar sahamnya, yang berakibat menciptakan masalah yang berlarut-larut
dalam perusahaan.
Untuk memasuki beberapa pasar yang ia perdagangkan, ia harus meminjam
lagi sejumlah uang yang sangat besar untuk membeli infrastruktur yang dibutuhkan
untuk mengangkut, menyimpan, dan mengirimkan komoditas yang diperdagangkan.
Tingkat hutang yang tinggi menyebabkan terbuka lebarnya jalan kebangkrutan dan
juga akan menurunkan peringkat investasi serta juga akan membuat bank menarik
pinjamannya kembali. Ditambah lagi dengan kecurangan yang dilakukan oleh
Anderson sebagai akuntan dalam menutupi keadaan ini. Tingkat hutang yang dimiliki
Enron membuat nilai perusahaannya jatuh sampai menjadi nol dan kehilangan 70
milyar dolar AS atas kerugian tersebut.
Hasil penelitian yang dilakukan Sujoko dan Soebiantoro (2007), dan Susanti
(2010) menamukan hasil bahwa leverage mempunyai hubungan negatif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan. Artinya semakin tinggi leverage suatu
perusahaan, maka nilai perusahaannya akan turun.

2.1.4

Investment Opportunity Set


Investment opportunity Set (IOS) diperkenalkan pertama kali oleh Myers pada

tahun 1977. Investment opportunity Set (IOS) menurut Myers (1977) adalah
kombinasi antara aktiva yang dimiliki perusahaan (assets in place) dan pemilihan
investasi pada masa yang akan datang dengan net present value (NPV) positif.

Universitas Sumatera Utara

Sementara Gaver dan Gaver (1993) mengemukakan definisi Investment Opportunity


Set (IOS) sebagai nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran yang
ditetapkan oleh manajemen untuk masa mendatang dalam ukuran uang, yang pada
saat ini sebagai alternatif investasi yang expected returnnya lebih besar. Perbedaan
nilai buku saham dan nilai pasar tidak lain adalah Investment opportunity Set (IOS).
Kenaikan nilai perusahaan yang dihasilkan dari berbagai alternatif pilihan
kesempatan investasi perusahaan dimasa yang akan datang adalah IOS.
Nilai perusahaan dipengaruhi oleh dua hal yaitu asset yang saat ini telah
ditempatkan dan opsi untuk investasi di masa depan. Investment Opportunity Set
(IOS) lebih ditekankan pada opsi investasi di masa depan. Opsi investasi di masa
depan dapat diperoleh jika perusahaan memiliki proyek dengan net present value
positif. Investment opportunity Set (IOS) bukan merupakan pertumbuhan riil yang
dicapai perusahaan saat ini namun kesempatan perusahaan untuk bertumbuh di masa
mendatang. Sehingga ukuran Investment opportunity Set (IOS) secara esensi selain
dikaitkan dengan diperolehnya proyek yang menguntungkan adalah investasi
perusahaan di research and development serta aktiva tetap. Dengan melakukan
investasi untuk R&D dan aktiva tetap, perusahaan akan menikmati pertumbuhan riil
dimasa mendatang.
Investment opportunity Set (IOS) meliputi pengeluaran modal untuk
pengenalan produk baru, atau memperluas jangkauan pasar produk yang ada,
alternatif pengeluaran untuk menekan biaya restrukturisasi perusahaan, pilihan

Universitas Sumatera Utara

kebijakan akuntansi yang menguntungkan. Lebih lanjut Myers (1977), menyatakan


bahwa semua biaya variable adalah bagian dari Investment opportunity Set (IOS).
Pengukuran Investment opportunity Set (IOS) beragam, baik yang
menggunakan faktor tunggal maupun dengan menggunakan kombinasi beberapa
faktor. Sebagian besar menggunakan ukuran data-data pasar modal dalam
menghitung Investment opportunity Set (IOS) karena lebih banyak menggunakan
ukuran harga saham dan market value of equity sebagai proksi dari Investment
opportunity Set (IOS). Investment opportunity Set (IOS) dapat diamati dari
pertumbuhan nilai buku perusahaan di masa mendatang. Nilai perusahaan di masa
mendatang akan tercermin dari harga saham, karena harga saham mencerminkan
present value dari arus kas di masa mendatang yang akan diterima investor.
Untuk mencapai tujuan perusahaan, manajer membuat keputusan investasi
yang menghasilkan net present value positif. Fama (1978). mengatakan bahwa nilai
perusahaan semata-mata ditentukan oleh keputusan investasi. Pendapat tersebut dapat
diartikan bahwa keputusan investasi itu penting, karena untuk mencapai tujuan
perusahaan hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan. Keputusan
investasi tidak dapat diamati secara langsung.
Jenis pengeluaran modal tampaknya besar pengaruhnya terhadap nilai
perusahaan, karena jenis informasi tersebut akan membawa informasi tentang
pertumbuhan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang. Mc Connel dan
Muscarella (1984) menguji gagasan dalam kaitannya dengan tingkat pengeluaran
research dan development perusahaan. Ternyata kenaikan dalam pengeluaran modal,

Universitas Sumatera Utara

relatif terhadap harapan-harapan sebelumnya, mengakibatkan kenaikan return atas


saham sekitar waktu pengumuman, dan sebaliknya return negatif atas perusahaan
melakukan penurunan pengeluaran modal. Temuan tersebut telah membawa kepada
suatu hasil yang menyatakan bahwa keputusan investasi yang dilakukan mengandung
informasi yang berisi sinyal-sinyal akan prospek perusahaan di masa yang akan
datang.

2.1.5 Ukuran Perusahaan


Besar (ukuran) perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan
kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, maka semakin banyak modal yang
ditanam. semakin banyak penjualan, maka semakin banyak perputaran uang. Semakin
besar kapitalisasi pasar, maka semakin dikenal dalam masyarakat. Perusahaan yang
memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai
tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan
dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain
itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu
menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aset yang kecil.
Menurut Sujoko dan Soebiantoro (2007) ukuran perusahaan yang besar
menunjukkan perusahaan mengalami perkembangan sehingga investor akan
merespon positif dan nilai perusahaan akan meningkat. Hal tersebut dikarenakan
perusahaan-perusahaan yang memilki size yang cukup besar, umumnya sudah berada
pada tahap maturity dan akan memiliki prospek pembagian dividen yang baik dimasa

Universitas Sumatera Utara

yang akan datang serta pangsa pasar relatif menunjukkan daya saing perusahaan lebih
tinggi dibanding pesaing utamanya. Investor akan merespon positif sehingga nilai
perusahaan akan meningkat. Kemudian pada umumnya perusahaan dengan ukuran
yang besar memilki total aktiva yang besar pula sehingga dapat menarik investor
untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dan akhirnya saham tersebut
mampu bertahan pada harga yang tinggi. Pada umumnya perusahaan dengan size
kecil sangat riskan terhadap perubahan kondisi ekonomi dan cenderung kurang
menguntungkan dibandingkan dengan saham dengan size besar.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terkait dengan pengaruh ukuran
perusahaan terhadap nilai perusahaan, menunjukkan hasil yang konsisten yaitu
berpengaruh positif signifikan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Sujoko
dan Soebinatoro (2007) serta Herawaty (2008) yang konsisten menemukan hasil
bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan, hal ini menunjukkan semakin besar perusahaan maka semakin baik nilai
perusahaannya.
Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk
investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham
perusahaan tersebut semakin banyak. Ukuran perusahaan dapat diproksikan ke dalam
logaritma natural dari total aktiva (Brigham and Houston, 2001).
Ukuran perusahaan merupakan salah satu hal yang dipertimbangkan
perusahaan dalam menentukan kebijakan hutangnya. Perusahaan besar diantaranya
memiliki keuntungan aktivitas serta lebih dikenal oleh publik dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara

perusahaan kecil sehingga kebutuhan hutang perusahaan yang besar akan lebih tinggi
dari perusahaan kecil. Selain itu, semakin besar ukuran perusahaan maka perusahaan
semakin transparan dalam mengungkapkan kinerja perusahaan kepada pihak luar,
dengan demikian perusahaan semakin mudah mendapatkan pinjaman karena semakin
dipercaya oleh kreditur.

2.1.6 Kepemilikan Manajerial


Pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat menyebar.
Kegiatan operasi perusahaan sehari-hari dijalankan oleh manajer yang biasanya tidak
mempunyai saham kepemilikan yang besar. Secara teori, manajer merupakan agen
atau wakil pemilik. Namun pada kenyataannnya mereka mengendalikan perusahaan.
Dengan demikian, konflik kepentingan antar pemilik dapat terjadi. Hal ini disebut
masalah keagenan, yaitu devergensi kepentingan yang timbul antara pemilik dan
agennya. Struktur kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai perusahaan.
Dua aspek yang perlu dipertimbangkan ialah (1) konsentrasi kepemilikan perusahaan
oleh pihak luar (outsider ownership concentration) dan (2) kepemilikan perusahaan
oleh manajer (manager ownership). Pemilik perusahaan dari pihak luar berbeda
dengan manajer karena kecil kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam
urusan bisnis perusahaan sehari-hari (Widyastuti, 2004).
Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan
pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency
conflict. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya

Universitas Sumatera Utara

suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham.


Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut menimbulkan suatu biaya
yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu cara untuk mengurangi agency cost
adalah dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen (Haruman, 2008).
Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur
dan komisaris) (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajemen
dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai
perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat.
Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas
perusahaan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh
manajemen rendah maka ada kecenderungan akan terjadinya perilaku opportunistic
manajer yang meningkat juga. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap
saham perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan
kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya sehingga permasalahan
antara agent dan principal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga
sekaligus sebagai pemegang saham. Morck, Shleifer dan Vishny (1988) menemukan
bahwa pada level 0-5% terdapat hubungan non linier antara kepemilikan manajerial
dengan kinerja perusahaan, berhubungan negatif pada level 5-25%, berhubungan
positif antara kepemilikan manajerial dengan nilai perusahaan pada level 25-50% dan
berhubungan negatif pada level > 50%.

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Midiastuty dan Machfoedz (2003)


menyatakan bahwa nilai perusahaan akan lebih tinggi ketika direktur memiliki bagian
saham yang lebih besar. Penelitian ini sepaham dengan Susanti (2010) menemukan
hasil kepemilikan manajerial memiliki hubungan positif signifikan terhadap nilai
perusahaan. Hasil penelitian ini tidak sepaham dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ishaaq (2009) yang menunjukkan adanya hubugan negatif antara ownership structure
dengan nilai perusahaan, penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
Haruman (2008) yang menyebutkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara
kepemilikan manjerial dengan nilai perusahaan.

2.1.7 Profitabilitas
Dewasa ini banyak pimpinan mendasarkan kinerja perusahaan yang
dipimpinnya pada financial performance. Paradigma yang dianut oleh banyak
perusahaan tersebut adalah profit oriented. Perusahaan yang dapat meperoleh laba
besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja financial yang baik.
Sebaliknya apabila laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil, maka dapat
dikatakan perusahaan kurang berhasil atau kinerja yang kurang baik, hal tersebut
dikarenakan profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan
manajemen perusahaan.
Menurut Brigham and Houston (2001) Profitabilitas adalah serangkaian
kebijakan dan keputusan. Profitabilitas dapat dikatakan sebagai kemampuan

Universitas Sumatera Utara

perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari aktivitas yang dilakukan pada
periode akuntansi. Menurut Saidi (2004) Profitabilitas adalah kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor menanamkan saham pada
perusahaan adalah untuk mendapatkan return, yang terdiri dari yield dan capital
gain. Semakin tinggi kemampuan memperoleh laba, maka semakin besar return
yang diharapkan investor, sehingga menjadikan nilai perusahaan menjadi lebih baik.
Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat
pengembalian yang tinggi atas investasi perusahaan yang memperoleh laba yang
besar, maka dapat dikatakan berhasil atau memiliki kinerja yang baik, sebaliknya
kalau laba yang diperoleh perusahaan relatif kecil atau menurun dari periode
sebelumnya, maka dapat dikatakan perusahaan kurang berhasil atau memiliki kinerja
yang kurang baik. Laba yang menjadi ukuran kinerja perusahaan harus dievaluasi dari
suatu periode ke periode berikutnya dan bagaimana laba aktual dibandingkan dengan
laba yang direncanakan.
Apabila seorang manajer telah bekerja keras dan berhasil meningkatkan
penjualan sementara biaya tidak berubah, maka laba harus meningkat melebihi
periode sebelumnya, yang mengisyaratkan keberhasilan. Profitabilitas yang tinggi
menunjukan prospek perusahaan yang baik, sehingga investor akan merespon positif
sinyal tersebut dan nilai perusahaan akan meningkat (Sujoko dan Soebintoro, 2007).
Profitabilitas dapat diproksi melalui Return on Equity (ROE) sebagai ukuran
profitabilitas perusahaan. Menurut Brigham and Houston (2001) Return on Equity

Universitas Sumatera Utara

adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri. Maksud dari definisi
ROE yang dikemukakan oleh Brigham and Houston tersebut adalah bahwa rasio ini
mengukur tingkat pengembalian atas investasi bagi para pemegang saham. Dari
definisi ROE di atas dapat disimpulkan bahwa, tingkat pengembalian modal atau
ROE adalah rasio yang mengukur berapa besar pengembalian yang diperoleh pemilik
perusahaan (pemegang saham) atas modal yang disetorkannya untuk perusahaan
tersebut. Secara umum, semakin tinggi ROE, semakin baik kedudukan pemilik
perusahaan sehingga akan meyebabkan baiknya penilaian investor terhadap
perusahan yang menyebabkan meningkatnya harga saham dan nilai perusahaan.
Penelitian Susanti (2010) menyimpulkan bahwa faktor profitabilitas
berpengaruh signifikan dalam meningkatkan nilai perusahaan, dalam penelitiannya
menunjukkan profit yang tinggi akan memberikan indikasi prospek perusahaan yang
baik sehingga dapat memicu investor untuk ikut meningkatkan permintaan saham.
Selanjutnya permintaan saham yang meningkat akan menyebabkan nilai perusahaan
yang meningkat.

2.1.8. Komisaris Independen


Terdapat dua sistem manajemen yang berbeda yang berasal dari dua sistem
hukum yang berbeda (FCGI, 2011) yang membedakan mekanisme pengawasan yang
dilakukan oleh dewan komisaris, yaitu :
1. Sistem satu tingkat atau one tier system
Sistem satu tingkat berasal dari sistem hukum aglo saxon. Dalam sistem ini
perusahaan hanya mempunyai satu dewan direksi yang pada umumnya
merupakan kombinasi antara manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif)

Universitas Sumatera Utara

dan direktur independen yang bekerja dengan prinsip paruh waktu. Negara-negara
yang menggunakan sistem satu tungkat misalnya adalah Amerika Serikat dan
Inggris.
2. Sistem dua tingkat atau Two Tiers System
Sistem dua tingkat berasal dari sistem hukum kontinental Eropa. Dalam sistem ini
perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan
komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi bertugas
mengelola dan mewakili perusahaan dibawah pengarahan dan pengawasan dewan
komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan
komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh dewan komisaris. Sehingga
dewan komisaris terutama bertanggung jawab untuk mengawasi tugas-tugas
manajemen. Negara-negara yang menggunakan sistem dua tingkat adalah
Denmark, Belanda, Jepang dan juga Indonesia.
Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab
secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi
serta memastikan bahwa perusahaan melaksanaan tata kelola sesuai dengan aturan.
Namun demikian, Dewan Komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil
keputusan operasional.
Dewan komisaris terdiri dari komisaris independen dan komisaris non
independen. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari
pihak terafiliasi, sedangkan komisaris non-independen merupakan komisaris yang
terafiliasi. Terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan
kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan
komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri.
Keberadaan Komisaris independen telah diatur oleh Bursa Efek Indonesia
melalui peraturan BEJ tanggal 1 juli 2000 dikutip dari (FCGI, 2011). Dikemukakan
bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai komisaris independen yang

Universitas Sumatera Utara

secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemagang saham
minoritas. Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen
adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
Dikarenakan Dewan Komisaris memiliki tanggung jawab dan kewenangan
untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan direksi dan manajemen atas
pengelolaan sumber daya perusahaan agar dapat berjalan secara efektif, efisien,
dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan organisasi, serta memberikan nasihat
bilamana diperlukan, dan karena posisinya yang sangat penting dalam perusahaan,
kemampuan dan pemahaman komisaris terhadap bidang usaha dan emiten akan
sangat mempengaruhi persetujuan dan keputusan yang dibuat, sehingga komisaris
harus memiliki dan menguasai latar belakang pendidikan di bidang ekonomi.
Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan pengawasan jalan
kegiatan usaha dari praktik-praktik kecurangan sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan, dengan pengambilan keputusan yang efektif, tepat,
dan cepat, serta dapat bertindak secara independen. Sesuai dengan teori sinyal (signal
model), bahwa tingginya Dividen yang dibagikan menunjukkan tingginya
performance perusahaan. Pada kondisi informasi tidak seimbang (disparity) tinggi
antara manajer dan investor, perusahaan akan memberikan sinyal dengan membayar
Dividen yang tinggi.
Penelitian

tentang

"Peran

Praktek

Corporate

Governance

Sebagai

Moderating Variable dari Pengaruh Earning Management Terhadap Nilai

Universitas Sumatera Utara

Perusahaan" oleh Herawaty (2008) membuktikan bahwa variabel Corporate


Governance mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap nilai perusahaan
dengan variabel komisaris independen dan kepemilikan institusional. Kepemilikan
manajerial akan menurunkan nilai perusahaan sedangkan klasifikasi akuntan publik
akan meningkatkan nilai perusahaan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Susanti (2010) yang mendapatkan hasil bahwa Board Independent atau jumlah
dewan komisaris independen dalam perusahaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap nilai perusahaan.

2.1.9. Cash Holding


Kas adalah salah satu aset yang siap dikonversikan menjadi aset jenis lainnya.
Kas sangat mudah disembunyikan dan dipindahkan, dan sangat diinginkan. Oleh
karena karakteristik tersebut, maka kas merupakan aset yang paling mungkin untuk
digunakan dan dibelanjakan dengan tidak tepat. Kas juga merupakan aset yang paling
rentan terhadap perilaku ceroboh manajemen (Isshaq, 2009).
Kas (cash) terdiri atas koin, uang kertas, cek, money order (wesel atau
kiriman uang melalui pos yang lazim berbentuk draft bank atau cek bank), dan uang
tunai di tangan atau simpanan di bank atau semacam deposito. Aturan yang berlaku
umum di bank adalah jika bank menerima untuk disimpan di bank, maka itulah kas.
Benda-benda semacam benda pos, dan cek masa depan (utang cek dimasa depan)
bukanlah kas . Dari uraian di atas maka kriteria kas adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Diakui secara umum sebagai alat pembayaran yang sah.


2. Dapat dipergunakan setiap saat diperlukan.
3. Penggunaannya bersifat bebas.
4. Dikirim sesuai dengan nilai nominalnya.
Penentuan tingkat cash holding perusahaan merupakan salah satu keputusan
keuangan penting yang harus diambil oleh seorang manajer keuangan karena cash
holding dapat digunakan untuk beberapa hal, antara lain dibagikan kepada pemegang
saham berupa dividen, melakukan pembelian kembali saham, melakukan investasi
atau menyimpannya untuk kepentingan perusahaan di masa depan.
Perusahaan harus dapat menjaga kas yang dimiliki pada tingkat yang optimal
karena menahan kas terlalu besar dalam aktiva adalah hal yang tidak produktif dan
memerlukan biaya yang tinggi (Martono dan Harjito, 2001). Salah satu tujuan
perusahaan memiliki cash holding antara lain untuk membayar hutang, membiayai
kesempatan investasi yang menguntungkan serta sebagai cadangan apabila terdapat
kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa yang akan datang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menemukan pengaruh
negatif dan signifikan antara cash holding dengan nilai perusahaan. Sementara Isshaq
(2009) yang mengadakan penelitian mengenai hubungan antara corporate
governance, struktur kepemilikan, dan cash holding dengan nilai perusahaan sebagai
variabel dependen. Dalam penelitiannya menemukan bahwa variable corporate
governance yaitu ukuran dewan direksi dan pertemuan dewan berpengaruh secara
positif signifikan terhadap nilai perusahaan yang diproksikan melalui dari harga

Universitas Sumatera Utara

saham. Sementara itu, ditemukan hubungan negatif tidak signifikan antara proporsi
dewan komisaris independen, struktur kepemilikan saham, dan cash holding terhadap
nilai perusahaan.
2.1.10 Dividend Payout Ratio
Kebijakan dividen adalah kebijakan yang menyangkut tentang penggunaan
laba yang menjadi hak para pemegang saham. Pada dasarnya laba tersebut bisa dibagi
sebagai Dividen atau ditahan untuk diinvestasikan kembali. Perusahaan bisa membagi
Dividen dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk saham (stock Dividen).
Kebijakan dividen masih merupakan masalah yang mengundang perdebatan karena
ada beberapa pendapat mengenai Dividen. Pertama, pendapat yang mengatakan
dividen dibagi sebesar-besarnya (dividend relevant); Kedua, kebijakan dividen tidak
relevan; dan ketiga perusahaan membagi dividen sekecil mungkin.
Jika

perusahaan

mampu

meningkatkan

pembayaran

dividen

karena

peningkatan laba, maka harga saham akan naik. Jadi, kenaikan harga saham tersebut
pada dasarnya adalah sebagai akibat dari kenaikan dari laba. Pemberian dividen
dimungkinkan hanya apabila perusahaan memperoleh keuntungan, namun tidak
menutup kemungkinan perusahaan tetap membagi dividen meskipun perusahaan
menderita kerugian.
Bird in the hand Theory menjelaskan bahwa investor menyukai dividen yang
tinggi karena dividen yang diterima seperti burung di tangan yang risikonya lebih
kecil atau mengurangi ketidakpastian dibandingkan dengan dividen yang tidak

Universitas Sumatera Utara

dibagikan. Kelompok ini berpendapat bahwa peningkatan dividen akan meningkatkan


harga saham yang selanjutnya berdampak terhadap nilai perusahaan.
Kelompok pertama, dividen relevan dapat berarti juga, bahwa pembayaran
dividen dapat menurunkan nilai perusahaan. Pemikiran ini didasari adanya pajak
dividen yang lebih tinggi dari pada pajak capital gain. Juga tidak benar

kalau

perusahaan harus membagikan semua laba sebagai dividen, hanya karena perusahaan
harus membagikan dividen sebesar-besarnya. Laba dibenarkan untuk ditahan jika
dana tersebut bisa diinvestasikan dan menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih
besar dari biaya modalnya (memberi net present value positif), dengan harapan
dividen di masa yang akan datang akan naik sebagai hasil dari investasi yang
dilakukan. Harapan investor untuk memperoleh dividen secepatnya dapat
direalisasikan dengan kesediaannya untuk membayar harga atas saham perusahaan
dengan lebih tinggi. Pada pasar modal sempurna dan efisien, investor dapat setiap
saat menjual atau menginvestasikan kembali dividen yang diterima, sehingga untuk
jangka panjang dividen tetap memberikan suatu pendapatan yang tidak berbeda
dengan dividen yang tidak dibagikan tapi diinvestasikan oleh perusahaan.
Kelompok kedua menganggap Dividen tidak relevan (the irrelevant of
Dividend). Modigliani dan Miller (1958) mengatakan bahwa kebijakan Dividen tidak
mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan. Nilai perusahaan hanya
ditentukan oleh kemampuan menghasilkan laba, bukan pada pembagian laba
perusahaan untuk dividen atau sebagai laba ditahan. Selanjutnya dikatakan bahwa
perusahaan bisa saja membagikan dividen yang besar ataupun kecil, asalkan

Universitas Sumatera Utara

dimungkinkan menutup kekurangan dana dari sumber eksternal. Jadi yang penting
adalah apakah investasi yang tersedia diharapkan akan memberikan net present value
yang positif, tidak perduli apakah dana yang digunakan diperoleh dengan menahan
laba ataukah dari luar perusahaan dengan menerbitkan saham baru. Dampak dari
pilihan keputusan tersebut sama saja terhadap nilai perusahaan. Jadi keputusan
Dividen adalah tidak relevan (the irrelevant of dividen).
Kelompok ketiga berpendapat agar dividen dibagi sekecil-kecilnya.
Pendapat sebelumnya mengatakan bahwa dividen tidak relevan mendasarkan diri atas
pemikiran bahwa membagikan dividen dan menggantikan dengan menerbitkan saham
baru mempunyai dampak yang sama terhadap harga saham. Sayangnya analisis
tersebut mengabaikan adanya biaya penerbitan saham baru/biaya emisi (flotation
cost). Biaya yang ditimbulkan akibat menerbitkan saham baru adalah fee untuk
underwriter, biaya notaris, akuntan, konsultan hukum pendaftaran saham dan lain
sebagainya yang berkisar antara 2% sampai 4%. Dengan adanya biaya-biaya tersebut,
berarti sebagian kekayaan pemegang saham diberikan kepada berbagai pihak sebagai
flotation cost. Jadi bila perusahaan memiliki dana untuk investasi mengapa dana
tersebut dibagikan sebagai dividen?, sehingga menimbulkan biaya flotation. Oleh
sebab itu, mereka beranggapan dividen sebaiknya dibagi sekecil-kecilnya, sejauh
dana tersebut dapat digunakan untuk investasi yang menguntungkan atau memberi
NPV positif.
Easterbrook (1984) dalam Susanti (2010) menyatakan ada keyakinan bahwa
semakin banyak Dividen yang ingin dibayarkan oleh perusahaan, semakin besar

Universitas Sumatera Utara

kemungkinan berkurangnya laba ditahan. Akibatnya, perusahaan harus mencari biaya


eksternal untuk melakukan investasi baru. Namun biaya penerbitan sumber
pembiayaan ekternal menjadi mahal karena adanya flotation cost. Akibatnya
pembayaran Dividen menjadi mahal karena meningkatnya kebutuhan untuk
menambah modal eksternal yang lebih mahal.
Perusahaan

di

negara

berkembang

umumnya

melakukan

kebijakan

pembayaran dividen dengan payout ratio sebesar dua pertiga dari perusahaanperusahaan di negara maju. Perusahaan di negara berkembang lebih mementingkan
kebijakan dividen berdasarkan payout ratio dibandingkan dengan besaran-besaran
moneternya. Investor individual dengan

usia lanjut dan penghasilannya hanya

tergantung dari dividen mungkin lebih menyukai dividen payout yang tinggi. Akan
tetapi investor dengan penghasilan tinggi akan lebih menyukai dividen payout rendah.
Dalam teori kebijakan dividen yang penting diperhatikan adalah apakah
perubahan rasio pembayaran dividen akan mempengaruhi nilai perusahaan? Dalam
dunia tanpa pajak atau biaya transaksi tidak ada, Modigliani dan Miller (1958)
mengatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam
dunia tanpa pajak pemegang saham bersikap sama saja apakah mereka menerima arus
kas sebagai dividen, atau sebagai keuntungan modal, jika kas disimpan sebagai laba
ditahan. Sedangkan perusahaan dapat memilih untuk membayar dividen dari
kelebihan arus kas dari operasi dan tetap menjalankan investasi yang direncanakan.
Karena dana ekstra yang diperlukan dapat diperoleh dengan menerbitkan saham baru
tanpa biaya penerbitan. Nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan dividen,

Universitas Sumatera Utara

karena

semua

investasi

yang

menguntungkan

dapat

dilaksanakan

tanpa

memperhatikan pembayaran dividen.


Dunia tanpa pajak tidak realistis karena dalam prakteknya unsur pajak akan
selalu mengikuti setiap kebijakan yang diambil. Setiap dividen yang diterima investor
akan dikenakan pajak.

Modigliani dan Miller juga mengatakan bahwa selama

dividen memiliki tarif pajak yang tinggi bagi investor dibandingkan dengan capital
gain, maka tingginya dividen menjadikan tingginya expected personal tax liabilities,
sehingga investor mensyaratkan tingginya expected return sebelum pajak. Jadi
menurut mereka apapun kebijakan dividen yang dipilih tidak ada pengaruhnya
terhadap harga saham.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa alasan
mengapa dividen tetap dibagikan meskipun pada saat yang sama perusahaan memiliki
kesempatan investasi yang menarik, dan perusahaan mendanai perusahaan dari
sumber eksternal.
1. Pembayaran dividen kas merupakan suatu yang lazim. Artinya kegagalan
melakukan pembayaran dividen dapat dianggap suatu aib yang memalukan.
Selain itu pembayaran dividen dapat memberikan sinyal tentang masa depan
perusahaan.
2. Dividen menyajikan sales point bagi investment banking, karena beberapa
investor institusional hanya akan membeli saham perusahaan yang membayar
dividen.

Universitas Sumatera Utara

3. Shareholders

sering

meminta

dividen,

walaupun

perusahaan

memiliki

kesempatan untuk melakukan investasi kembali dari seluruh dana yang mungkin
cukup besar.
4. Ada suatu keyakinan yang tersebar luas, bahwa pembayaran Dividen akan
mengakibatkan harga saham yang lebih tinggi.
Manajer dapat menggunakan kebijakan Dividend Payout Ratio untuk
menangkal isu-isu negatif berkaitan dengan kinerja perusahaan dimasa yang akan
datang untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010) menemukan hasil yang positif
dan tidak signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan nilai perusahaan
dan penelitian yang dilakukan oleh Isshaq (2009), menemukan hasil yang positif dan
signifikan antara pengaruh dividend payout ratio dengan nilai perusahaan.

2.1.11. Jakarta Islamic Index


Jakarta Islamic Index atau biasa disebut JII adalah salah satu index saham
yang ada di Indonesia yang menghitung index harga rata-rata saham untuk jenis
saham-saham yang memenuhi kriteria syariah. Pembentukan JII tidak lepas dari kerja
sama antara Pasar Modal Indonesia (dalam hal ini PT. Bursa Efek Jakarta) dengan
PT. Danareksa Invesment Management (PT. DIM).
JII dikembangkan sejak tanggal 3 Juli 2000. Pembentukan instrumen syariah
ini dilakukan untuk mendukung pembentukan Pasar Modal Syariah yang kemudian
diluncurkan di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2003. Setiap periodenya, saham yang

Universitas Sumatera Utara

masuk JII berjumlah 30 (tiga puluh) saham yang memenuhi kriteria syariah yang
dilakukan per semester yaitu pada bulan Juni dan Desember.
Tujuan pembentukan JII adalah untuk meningkatkan kepercayaan investor
untuk melakukan investasi pada saham berbasis syariah dan memberikan manfaat
bagi pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk melakukan investasi di bursa
efek. JII juga diharapkan dapat mendukung proses transparansi dan akuntabilitas
saham berbasis syariah di Indonesia. JII menjadi jawaban atas keinginan investor
yang ingin berinvestasi sesuai syariah. Dengan kata lain, JII menjadi pemandu bagi
investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah tanpa takut tercampur
dengan dana ribawi. Selain itu, JII menjadi tolak ukur kinerja (benchmark) dalam
memilih portofolio saham yang halal.
Penentuan kriteria indeks itu sendiri melibatkan Dewan Pengawas Syariah PT.
Danareksa Invesment Management, menurut Prakarsa (2006) saham-saham
didalamnya harus memiliki sifat:
1. Emiten tidak menjalankan usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi
atau perdagangan yang dilarang.
2. Bukan lembaga keuangan konvensional yang menerapkan sistem riba, termasuk
perbankan dan asuransi konvensional.
3. Usaha yang dilakukan bukan memproduksi, mendistribusikan dan
memperdagangkan makanan/minuman yang haram.
4. Tidak menjalankan usaha memproduksi, mendistribusikan dan menyediakan
barang/jasa yang merusak amoral.
Dengan penyaringan berdasarkan penilaian syariah, dipilihlah 30 emiten yang
mampu masuk kedalam indeks JII. Setelah melewati beberapa tahap seleksi seperti
memilih emiten dengan prinsip syariah, memilih saham dengan rasio Kewajiban

Universitas Sumatera Utara

terhadap Aktiva maksimal 90%, kemudian memilih 60 saham teratas berkapitalisasi


besar selama 1 tahun terakhir dan memilih 30 saham berdasarkan liquiditas terbesar
selama satu tahun terahir maka didapatlah 30 emiten yang masuk kedalam indeks JII.

2.2 Review Penelitian Terdahulu


Beberapa peneliti mencoba untuk menjelaskan nilai perusahaan, tetapi
penelitian empiris membuktikan bahwa yang mempengaruhi nilai perusahaan
berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
data yang digunakan, perbedaan tempat penelitian, perbedaan periode pengamatan
penelitian dan lain sebagainya.
Hasil-hasil penelitian terdahulu secara singkat dapat dilihat pada Tabel 2.1
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Review Peneliti Terdahulu


Nama
Peneliti
Rika Susanti

Tahun
2010

Judul
Analisis faktorfaktor
yang
berpengaruh
terhadap
nilai
perusahaan

Variabel yang Digunakan


a.
b.

c.
d.
e.
f.
g.

Vinola
Herawaty

Zangina
Isshaq

2008

2009

Peran
Praktek
Corporate
Governance
sebagai
Moderating
Variabel
dari
pengaruh
Earning
Manajemen
Terhadap Nilai
Perusahaan.
pada
sektor
perbankan yang
Go Public di BEJ
Corporate
Governance,
Ownership
Structure, Cash
Holdings,
and
Firm Value on
the Ghana Stock
Exchange

h.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

a.

b.
c.

Ni
Wayan
Yuniasih dan
Made Gede
wirakusuma

2007

Pengaruh Kinerja
Keuangan
Terhadap Nilai
Perusahaan
dengan
Pengungkapan
CSR dan GCG
sebagai Variabel
Pemoderasi

a.
b.
c.

Hasil Yang Diperoleh

Nilai perusahaan (Y)


Corporate Governance
(Komisaris Independen)
(X 1 )
Ownership
Structure
(X 2 )
Cash Holding (X 3 )
Profitabilitas (X 4 )
Finance Risk (X 5 )
Dividen Payout Ratio
(X 6 )
IOS (X 7 )
Nilai perusahaan (Y 1 )
Earning
Manajemen
(Y 2 )
Komisaris Independen
(X 1 )
Kepemilikan Manajerial
(X 2 )
Kepemilikan
Instutisional (X 3 )
Kualitas Audit (X 4 )
Ukuran Perusahaan (X 5 )

Terdapat hubungan positif dan


signifikan
antara
corporate
governance,
profitabilitas,
Investment
Oppurtunity
Set
terhadap
nilai
perusahaan.
Sedangkan ownership structure,
DPR memiliki hubungan positif
dan tidak signifikan. Dan variabel
cash holding, finance risk
memiliki hubungan yang negatif
terhadap nilai perusahaan.

Independen: corporate
governance
(ukuran
dewan direksi, dewan
komisaris independen,
dan pertemuan dewan)
struktur
kepemilikan,
dan cash holding
Dependen:
nilai
perusahaan
Kontrol: risiko financial
(leverage),
Dividend
payout
ratio,
dan
investment opportunity

a.

Variabel dependen :
Nilai Perusahaan
Variabel Independen :
Kinerja Keuangan
Variabel Moderating :
Pengungkapan
corporate
social
responsibility, dan Good
corporate governance

variabel
yang
berpengaruh
signifikan
terhadap
nilai
perusahaan adalah
variabel
corporate governance, ukuran
perusahaan
dan
earnings
manajemen. Komite independen,
kualitas
audit,
kepemilikan
institusioal merupakan variabel
permoderasi antara earnings
manajemen dan
nilai perusahaan.

Variabel yang berpengaruh


positif signifikan: ukuran
dewan direksi, pertemuan
dewan, risiko finansial, dan
Dividend Payout Ratio
(DPR)
b. Variabel yang berpengaruh
positif tidak signifikan:
investment opportunity.
c. Variabel yang berpengaruh
negatif tidak signifikan:
proporsi dewan komisaris
independen,
struktur
kepemilikan saham, dan
cash holding.
Return
on
asset
terbukti
berpengaruh
positif
secara
statistis pada nilai Perusahaan.
Pengungkapan CSR sebagai
variabel pemoderasi terbukti
berpengaruh
positif
secara
statistis pada hubungan return on
asset dan nilai perusahaan.
Kepemilikan manajerial sebagai
variabel pemoderasi tidak terbukti

Universitas Sumatera Utara

berpengaruh terhadap hubungan


return on asset dan nilai
perusahaan

1. Susanti (2010) melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-faktor yang


Berpengaruh

terhadap

Nilai

Perusahaan.

Dalam

penelitiannya

Susanti

menemukan bahwa variabel Komisaris Independen, Profitabilitas, dan Investment


Opportunity Set berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan yang diproksikan melalui harga saham dengan rasio Tobins Q.
Sementara itu variabel kepemilikan manajerial dan Dividend Payout Ratio
ditemukan berpengaruh positif tetapi tidak signifikan. Sedangkan variabel
Leverage dan Cash Holding berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan.
2. Herawaty (2008) meneliti tentang Peran Praktek Corporate Governance sebagai
Moderating Variabel dari Pengaruh Earning Management Terhadap Nilai
Perusahaan. Alat analisis yang digunakan adalah alat statistik regresi berganda.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa variabel corporate governance
yaitu dewan komisaris independen dan struktur kepemilikan institusional, ukuran
perusahaan dan earning management memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
nilai perusahaan. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa dewan komisaris
independen, kualitas audit, dan struktur kepemilikan institusional merupakan
moderating variables dari hubungan antara earnings management dan nilai
perusahaan, dan bukan merupakan moderating variables dari struktur
kepemilikan manajerial. Selain itu dalam penelitian ini ditemukan bahwa struktur

Universitas Sumatera Utara

kepemilikan manajerial tidak bias meminimalisir earnings management yang


mempengaruhi nilai perusahaan.
3. Isshaq (2009) mengadakan penelitian mengenai hubungan antara corporate
governance, struktur kepemilikan, dan cash holding dengan nilai perusahaan
sebagai variabel dependen. Dalam penelitiannya Isshaq menemukan bahwa
variable corporate governance yaitu ukuran dewan direksi dan pertemuan dewan
berpengaruh secara positif signifikan terhadap nilai perusahaan yang diproksikan
melalui harga saham. Sementara itu, ditemukan hubungan negatif tidak signifikan
antara proporsi dewan komisaris independen, struktur kepemilikan saham, dan
cash holding terhadap nilai perusahaan. Sementara untuk variable kontrol yaitu
terdapat hubungan positif signifikan antara risiko finansial dan Dividend Payout
Ratio (DPR) terhadap nilai perusahaan, serta positif tidak signifikan antara
investment opportunity terhadap nilai perusahaan.
4. Yuniasih dan Wirakusuma (2007), melakukan penelitian tentang Pengaruh
Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan corporate
social responsibility dan good corporate governance sebagai variabel
Pemoderasi. Hasil penelitian menemukan bahwa Return on Asset terbukti
berpengaruh positif secara statistik pada nilai perusahaan. Pengungkapan
corporate social responsibility sebagai variabel Pemoderasi terbukti berpengaruh
positif secara statistik pada hubungan Return on Asset dan nilai perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai