Anda di halaman 1dari 34

Tinjauan Pustaka

Cerebral Palsy

Oleh :

Nindya Aliza
NIM. I4A012008

Pembimbing :
dr. Nurul Hidayah, M.Sc, Sp. A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Oktober, 2016

BAB I
PENDAHULUAN

Pertama kali banyak perbedaan pendapat diantara peneliti mengenai


Cerebral Palsy, beberapa menyatakan CP sebagai gangguan yang murni mengenai
sistem motorik seorang anak saja, sementara yang lain menyebutkan bahwa selain
masalah motorik, penderita CP juga mengalami gangguan fungsi kognitif.
Awalnya CP dikaitkan dengan kejadian prematuritas dan komplikasi persalinan.
Pendapat lain juga menyatakan bahwa proses CP sendir terjadi dari awal proses
perkembangan otak janin.1
Seiring berkembangnya penelitinan, faktor resiko yang sebelumnya tidak
diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya paparan intrauterine terhadap
infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Kondisi tertentu yang sudah diketahui
menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus, pada saat ini sudah dapat diterapi
dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal dengan metode
khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional
sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan
pemasangan braces banyak membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan
otot, sebagai terapi penyakit yang berhubungan dengan CP, disamping mencegah
atau mengoreksi deformitas.1,2

CP merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan


postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam

kandungan atau di masa kanak-kanak. Gejala CP mulai dapat diamati pada anakanak di bawah umur tiga tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada
enam bulan pertama hingga satu tahun dan umumnya diikuti spastisitas.
Prevalensi CP secara global berkisar antara 1 - 1,5 per 1.000 kelahiran hidup
dengan insidens meningkat pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi
CP dilaporkan sebesar 2 - 2,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di
negara berkembang berkisar antara 1,5 - 5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup.
Hingga saat ini, belum tersedia data akurat tentang jumlah penderita CP di
Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 1 - 5 kasus per 1.000 kelahiran hidup.2
Pengobatan CP memerlukan pendekatan multidisiplin. Secara garis
besar tatalaksana dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu: latihan fisik, obatobatan dan / atau pembedahan, terapi perilaku.3 Terapi fisik memegang
peranan penting dalam meningkatkan fungsi motorik anak palsi serebral.4
Perbaikan kemampuan motorik dapat meningkatkan kualitas hidup anak.5
Kualitas hidup anak palsi serebral dipengaruhi oleh kondisi kesehatan
fisik, personal dan lingkungan.6 Penilaian kualitas hidup merupakan hal yang
sangat penting untuk menilai kondisi kesehatan dan mengevaluasi terapi yang
telah diberikan terhadap anak palsi serebral.7 Kualitas hidup anak CP dapat
dinilai dengan menggunakan berbagai instrumen. Salah satu insrumen yang dapat
digunakan adalah Cerebral Palsy Quality Of Life questionnaire for children (CP
QOL-child). Kuisioner ini spesifik untuk anak CP, memiliki validitas dan
reliabilitas yang tinggi dan telah diterjemahkan dalam beberapa versi bahasa.8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

CEREBRAL PALSY
1. DEFINISI
Cerebral palsy adalah gangguan fungsi dari otak terutama gangguan

gerakan dan postur. Hal ini didefinisikan sebagai istilah umum yang mencakup
kelompok non-progresif, tetapi sering berubah, sindrom gangguan motorik
sekunder kepada lesi atau kelainan dari otak yang timbul pada tahap awal
pembangunan. Ini dapat dinyatakan sebagai ensefalopati statis, meskipun lesi
primer, anomali atau cedera yang statis pola klinis presentasi mungkin berubah
dengan waktu karena pertumbuhan dan perkembangan plastisitas dan
pematangan sistem saraf pusat.1
2. EPIDEMOLOGI
CP merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan
postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam
kandungan atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut kerap dibarengi dengan
gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan
masalah muskuloskeletal. Gejala CP mulai dapat diamati pada anak-anak di
bawah umur 3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal pada 6 bulan
pertama hingga 1 tahun dan umumnya diikuti spastisitas. Prevalensi CP secara
global berkisar antara 1-1,5 per 1.000 kelahiran hidup dengan insidens meningkat
pada kelahiran prematur. Di negara maju, prevalensi CP dilaporkan sebesar 2-2,5

kasus per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang berkisar antara
1,5-5,6 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Hingga saat ini, belum tersedia data
akurat perihal jumlah penderita CP di Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 1-5
kasus per 1.000 kelahiran hidup.2
3. ETIOLOGI, KLASIFIKASI DAN FAKTOR RISIKO
Cerebral palsy adalah kondisi neurologis yang disebabkan oleh cedera
pada otak yang terjadi sebelum perkembangan otak sempurna. Karena
perkembangan otak berlangsung selama dua tahun pertama, cerebral palsy dapat
disebabkan oleh cedera otak yang terjadi selama periode prenatal, perinatal, dan
postnatal. 70-80%

kasus cerebral palsy diperoleh selama masa prenatal dan

sebagian besar penyebab tidak diketahui.1,3


Lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak diketahui. Etiologi dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu dari gangguan selama masa prenatal,
perinatal, dan postnatal. Sistem klasifikasi etiologi yang lain berdasarkan
penyebab sebenarnya seperti kongenital (sindroma, malformasi, developmental)
atau acquired (trauma, infeksi, hipoksia, iskemik, infeksi TORCH, dll). Perinatal
asfiksia hanya sekitar 8-15% dari seluruh kasus cerebral palsy dan sekitar 12-21%
pada masa post-natal.4,6

1. Prenatal:
a. Keturunan : Jika di duga lebih dari satu kasus cerebral palsy
ditemukan pada saudara kandung. Terjadinya lebih dari satu
kasus cerebral palsy pada satu keluarga tidak membuktikan
adanya kondisi genetik. Penyebabnya mungkin lesi otak
perinatal sebagai komplikasi persalinan (persalinan prematur)
yang dapat terjadi lebih dari satu kali pada ibu yang sama.
b. Infeksi : Jika ibu mengalami infeksi organisme yang dapat
menembus

plasenta

dan

menginfeksi

janin,

proses

ini

meyebabkan kerusakan otak prenatal. Infeksi janin tersering


adalah sifilis, toxoplasmosis, dan rubella. Semua dapat
menyebabkan gejala dan tanda akut pada neonatus di ikuti
dengan kerusakan otak permanen saat masa kanak-kanak.
Didominasi temuan retardasi mental tapi gangguan gerak juga
dapat muncul.
c. Komplikasi lain selama kehamilan : Komplikasi selama
kehamilan seperti episode anoksia, radiasi x-ray, intoksikasi
maternal dapat mempengaruhi fetus. Jika terjadi kondisi yang
menyebabkan gangguan pada otak fetus , biasanya akan terjadi
retardasi yang biasanya dikombinasi dengan cerebral palsy.
1

Perinatal:

a. Anoksia : Penyebab tersering cerebral palsy adalah masih


trauma otak yang terjadi selama periode perinatal meskipun
insiden menurun terus menerus dengan peningkatan pelayanan
obsetrik dan perawatan neonatus. Anoksia dapat terjadi seketika
sebelum atau setelah kelahiran. Resiko meningkat jika proses
persalinan mengalami komplikasi seperti posisi abnormal janin
atau disproporsional antara pelvis ibu dan kepala janin
menyebabkan partus lama.
b. Perdarahan Intrakranial : Kondisi yang sama yang dapat
menyebabkan anoksia juga dapat menyebabkan perdarahan
intrakranial. Ini dapat terdiri dari perdarahan berat dari sinus
venosus,

biasanya

akibat

sobekan

tentorium

cerebelli.

Perdarahan dapat berlokasi di dalam otak dan menyebabkan


cerebral palsy.
c. Prematur : Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan
menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi
cukup bulan. Karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan
darah dan lain-lain masih belum sempurna.
d. Jaundice

Jaundice

selama

periode

neonatal

dapat

menyebabkan kerusakan otak permanen dengan cerebral palsy


akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal.

e. Meningitis purulen : Meningitis purulen di mana pada periode


perinatal biasanya akibat bakteri gram negatif yang dapat
menyebabkan cedera otak dengan komplikasi cerebral palsy.
1

Postnatal :
Beberapa cedera otak yang terjadi selama periode postnatal dari
perkembangan otak dapat menyebabkan cerebral palsy. Contohnya
trauma yang menyebabkan kecelakaan fisik trauma kepala,
meningitis, dan ensefalitis.5,6,7

Secara garis besar, klasifikasi palsi serebral dapat dibagi menjadi:


a. Klasifikasi fisiologi dan topografi
Palsi serebral dapat dibagi dalam 2 kelompok fisiologi
yaitu

piramidal

piramidal,

gejala

dan
yang

ekstrapiramidal.Pada
menonjol

adalah

ditemukan pada 70% - 85% dari seluruh kasus


palsi serebral.

kelompok
spastisitas,

Sedangkan kelompok ekstrapiramidal antara lain diskinesia,


korea,

atetosis,

distonia,

dan ataksia. Klasifikasi palsi

serebral tipe spastik dapat dibagi berdasarkan lokalisasi


atau topografi disfungsi motorik, antara lain: diplegi,
hemiplegi, triplegi, kuadriplegi / tetraplegi.
a. Klasifikasi fungsional
Klasifikasi fungsional berdasarkan tingkat keparahan gangguan
motorik

Gross

Motor

Function

Classification

System

(GMFCS).GMFCS dibedakan berdasarkan kelompok umur dan terbagi


menjadi 5 tingkatan, yaitu:
Tingkat I

: Berjalan tanpa hambatan

Tingkaat II

: Berjalan dengan hambatan

Tingkat III
tangan

: Berjalan dengan menggunakan pegangan

Tingkat IV
:Bergerak sendiri dengan hambatan, kadang
menggunakan alat bantu mobilitas
Tingkat V

: berpindah tempat menggunakan kursi roda

GMFCS dapat digunakan untuk menentukan pemilihan terapi yang tepat


sesuai dengan usia pasien dan tingkatan fungsi motorik, sera memprediksi
prognosis fungsi motorik kasar anak palsi serebral.

Gambar 3. Faktor Risiko Cerebral Palsy

PATOFISIOLOGI
Seperti diketahui sebelumnya bahwa cerebral palsy merupakan kondisi

neurologis yang disebabkan oleh cedera pada otak yang terjadi sebelum
perkembangan otak sempurna. 1,2
Trauma serebral yang menyangkut trauma dari arteri serebral media
adalah rangkaian patologis yang paling sering ditemukan dan dikonfirmasi dari
pasien dengan cerebral palsy spastic hemiplegia dengan menggunakan evaluasi
dari computed tomography (CT) dan magneticresonance imaging (MRI).
Penilaian tersebut telah menunjukkan kehilangan jaringan (nekrosis dan atrofi)
dengan atau tanpa gliosis. Beberapa anak dengan cerebral palsy hemiplegia
mengalami atrofi periventrikular, menunjukkan adanya abnormalitas pada white
matter. Pada pasien dengan cerebral palsy bergejala quadriplegia, gangguan

motorik yang terjadi pada kaki bisa sama sampai lebih berat daripada tangan.
Yang terkait dengan cerebral palsy bentuk ini adalah adanya rongga yang
terhubung dengan ventrikel lateral, multiple cystic lesion pada white matter,
diffuse

cortical

atrophy,

dan

hydrocephalus.

Cerebral

palsy

bentuk

choreoathetoid yang kadang mengalami spastisitas cenderung terjadi bayi pada


cukup bulan, distonia dari ekskremitas juga sering terjadi bersama spastisitas tapi
cenderung tidak dikenali. 1,2
Selama 30 tahun terakhir , neuropatologis telah memaparkan bahwa
periventricular white matter merupakan lokasi terpenting dari kelainan yang
menyebabkan disfungsi motorik kongenital. Periventricular leukomalacia adalah
istilah untuk karakteristik lesi nekrosis koagulatif pada white matter yang dekat
dari ventrikel lateral, dengan menggunakan pemeriksaan ultrasound mencari
tanda adanya trauma pada white matter secara virtual seperti kedua area
hiperechoic (echodense) dan hipoechoic (echolusent). Bayi yang lahir pada umur
kehamilan kurang dari 32 minggu beresiko tinggi terhadap kedua lesi hiperechoic
dan hipoechoic. Umumnya lesi hiperechoic menandakan kongesti vaskuler atau
hemorrhage dan penampakan dini dari kerusakan jaringan. Sedangkan lesi
hipoechoic tampak pencerminan dari pelepasan/kehilangan jaringan nekrotik dan
perkembangan struktur seperti kista. 1,2

1. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis CP tergantung pada bagian dan luasnya jaringan otak
yang mengalami kerusakan.

Berdasarkan gejala klinisnya


CP dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yakni spastik,
ataksid, atetoid atau diskinetik, dan campuran.6,9,10,11
o Spastik
Sebagian besar (kurang lebih 80%) kasus CP adalah jenis spastik.
CP spastik ditandai dengan kaku otot terutama tungkai dan jika
dibiarkan dalam waktu lama dapat menimbulkan kontraktur.
Berdasarkan lokasi yang mengalami kaku otot, CP spastik
dikelompokkan lebih lanjut menjadii :
-

Spastik Monoplegi: Kaku pada satu anggota gerak,


umumnya lengan

Spastik Diplegi : Kaku pada keempat anggota gerak,


umumnya tungkai bawah lebih parah

Spastik Triplegi: Kaku pada tiga anggota gerak, kombinasi


dua lengan dan satu tungkai paling sering ditemukan

Spastik Kuadriplegi : Kaku pada keempat anggota gerak,


yakni kedua lengan dan tungkai dengan tingkat keparahan
yang sama

Spastik Hemiplegi : Kaku pada satu sisi tubuh, bagian


terparah ada di lengan.

o Ataksid
CP ataksid terjadi pada 5-10% penderita. CP ataksid mengganggu
keseimbangan dan persepsi, umumnya ditandai dengan gangguan
koordinasi saat berjalan, saat melakukan gerakan yang cepat dan
tepat, seperti menulis dan mengancingkan baju. Penderita juga
sering mengalami tremor dan menggigil saat hendak meraih benda.
o Atetoid/diskinetik
CP jenis atetoid/diskinetik terjadi pada 10-20% penderita.
Penderita CP atetoid mengalami fluktuasi tonus otot yang
menyebabkan gerakan lambat dan tidak terkontrol. Jika mengenai
otot-otot wajah, penderita akan terlihat selalu menyeringai dan
mengeluarkan air liur. Intensitas gerakan yang tidak terkontrol akan
meningkat pada kondisi stres emosional, menghilang saat tidur.

o Campuran
Sekitar 10% penderita CP mengalami jenis campuran. CP
campuran yang paling sering ditemui adalah kombinasi spastik dan
atetoid. Gejala spastik biasanya muncul pada umur yang lebih
muda, dilanjutkan dengan gejala atetoid pada umur 9 bulan - 3
tahun.6

Berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan kemampuan penderita


untuk melakukan aktivitas normal.(1)

Klasifikasi
Minimal

Perkembangan

Gejala

Motorik
Normal, hanya

* Kelainan tonus

terganggu secara

sementara

kualitatif

* Refleks primitif
menetap terlalu lama
* Kelainan postur
ringan
* Gangguan gerak
motorik kasar dan
halus, misalnya
clumpsy

Penyakit penyerta
* Gangguan
komunikasi
* Gangguan
belajar spesifik

Ringan

Berjalan umur 24
bulan

* Beberapa kelainan
pada pemeriksaan
neurologis
* Perkembangan
refleks primitif
abnormal
* respon postular
terganggu
* Gangguan
motorik< misalnya
tremor
* Gangguan
koordinasi

Sedang

Berjalan umur 3
tahun, kadang
memerlukan
bracing

Berat

* Berbagai kelainan
neurologis
* Refleks primitif
menetap dan kuat

Tidak perlu alat

* Respon postural

khusus

terlambat

* Retardasi
mental
* Gangguan
belajar dan
kominikasi
* Kejang

Tidak bisa berjalan, * Gejala neurologis


atau berjalan

dominan

dengan alat bantu

* Refleks primitif

Kadang perlu

menetap

operasi

* Respon postural
tidak muncul

Tabel 1. Klasifikasi Cerebral Palsy Berdasarkan Derajat Penyakit (1)

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis adalah hal yang sangat penting dalam mengenali


cerebral palsy, sebagai retardasi mental. tonggak penetapan adalah saat mencapai
akhir dari kedua kondisi tersebut dan mempelajari secara pelan-pelan akan
membantu membedakan anak-anak dengan keterlambatan pencapaian motorik
akibat keterbelakangan mental dengan lainnya yang cerebral palsy. Perbandingan
dibuat tidak hanya melihat perkembangan pasien dari anak normal yang lain tapi
juga dari fungsi anggota badan kanan dan kiri dan dari tangan dan kaki. Dengan
cara ini CP hemiplegia dan diplegia dapat dicurigai. Pada fase awal dari banyak
bentuk CP, hipotonia adalah hal yang paling menonjol, sedangkan hipertonia dan
pergerakan involunter muncul belakangan. Respon primitif automatis yang
persisten seperti refleks moro, refleks menggenggam,dan tonic neck reflex
asimetris menghilang melebihi dari usia normal seharusnya, dimana hal ini dapat
memberikan petunjuk penting pada fase awal. (12)
Observasi dari keterlambatan perkembangan motorik, kelainan tonus otot,
dan postur tubuh yang tidak biasa adalah penanda penting dalam mendiagnosis
cerebral palsy. Pada bayi yang tidak mengalami CP, refleks moro jarang terlihat
setelah umurnya lewat 6 bulan, hand preference jarang berkembang sebelum
umur 12 bulan. Hand preference dapat terjadi sebelum umur 12 bulan apabila
hemiplegia spastik terjadi. Tes laboratorium dan cerebral imaging menggunakan
computed tomography, magnetic resonance imaging, dan ultrasound sangat
berguna dalam menunjang diagnosis. Pengawasan terhadap disabilitas seperti
gangguan pendengaran dan penglihatan kejang, dan disfungsi kognitif dapat
membantu melengkapi penilaian klinis dalam menentukan diagnosis. (13)

Gambar 4. Perbedaan perkembangan anak yang normal dengan Cerebral Palsy

Pemeriksaan khusus diperlukan pada anak yang dicurigai atau terbukti


cerebral palsy. Pemeriksaan tersebut adalah :
1. Semua anak dengan CP harus melakukan pemeriksaan penglihatan dan
pendengaran yang segera dilakukan setelah diagnosis cerebral palsy
ditegakkan. Kerusakan dari indera tersebut sangat mempengaruhi
pendidikan dan pelatihan anak.
2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menilai cairan serebrospinal ,
dilakukan paling tidak satu kali pada anak yang dicurigai CP untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit degeneratif, tumor intrakranial,
subdural hygroma. Pada pasien CP cairan serebrospinal normal.

3. Pemeriksaan EEG dilakukan terutama pada pasien dengan hemiparesis


atau tetraparesis karena beresiko tinggi kejang.
4. Indikasi ultrasound dan computerized tomographykepala sangat membantu
dalam penegakan diagnosis dan mengeliminasi kemungkinan diagnosis
lainnya. CT dan MR akan menunjukkan perkembangan kerusakan dan
lokasi dari infark, kontusio, atau hemorrhage.
5. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari retardasi
mental. Anak yang di curigai harus di skrining untuk melihat kelainan
metabolik seperti hipoglikemi, hipotiroidisme.(9), (11), (12)
1

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis
Sindroma Rett

Gejala Klinis
Terutama pada anak perempuan, fitur
autis, koreoatetosis, spastisitas
progresif, hilangnya karakteristik
tujuan fungsi tangan sehingga
meremas-remas tangan terus
menerus, perkembangan yang lambat

Pelizaeus-Merzbacher Disease

Klasifikasi Leukodystrophy,
campuran piramida dan gejala
ekstrapiramidal, X-linked, Tingkat
lambat perkembangan, nistagmus
pendular, mikrosefal, quadriparesis
spastik

Sindroma Lesch-Nyhan

Terkait gangguan metabolisme purin,


koreoatetosis, melukai diri
sendiri,terdapat asam atau oranye
kristal urat dalam urin,
keterbelakangan mental (IQ lebih
rendah dari 60)

Mitochondrial Disorders

Ataksia, neuropati, retinitis


pigmentosa

Defisiensi Arginase

Tidak ada onset neonatal, diplegia


spastik progresif; demensia

Tabel 2. Diagnosis banding serebral palsy. (13)

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap CP. Terapi bersifat simtomatik, yang

diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat
mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis
terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan ke- berhasilannya maka
perlu diperhatikan penggolongan CPberdasarkan derajat kemampuan fungsionil
yaitu derajat ringan, sedang dan berat. Tujuan terapi pasien CP adalah membantu
pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas
serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga pendenta sedikit mungkin
memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. (1)
Penderita CP memerlukan tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat
masalah yang dihadapi sangat kompleks, yaitu :

a.

Gangguan motorik

b.

Retardasi mental

c.

Kejang

d.

Gangguan pendengaran

e.

Gangguan rasa raba

f.

Gangguan bahasa dan bicara

g.

Makan/gizi

h.

Gangguan mengontrol miksi (ngompol)

i.

Gangguan konsentrasi

j.

Gangguan emosi

k.

Gangguan belajar

Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu team
antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi,
psikologi, fisioterapi, occupational therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar
biasa dan orang tua penderita. Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini
meliputi:
1. Tim Inti :
a. Neuropediatri
b. Dokter Gigi
c. Psikologi
d. Perawat
e. Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
f.Pekerja Sosial (pengunjung rumah)

1.

Tim Konsultasi :
a. Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
b. Dokter Bedah (Ortopedi)
c. Dokter Mata
d. Dokter THT
e. Psikiater Anak
f. Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)

Secara medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas :


1.

Benzodiazepin :
Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak
lebih 10 mg/dosis)

1.

Baclofen (Lioresal) : 3 x 10 mg PO (dapat dinaikkan sampai 4080mg/hari)

2.

Dantrolene

(Dantrium):

dimulai

dari

25

mg/hari,

dapat

dinaikkansampai 40 mg/hari
3.

Haloperidol : 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk


mengurangi gerakan involusi)

4.

Botulinum toksin A :
Usia < 12 tahun belum direkomendasikan
Usia > 12 tahun : 1,25-2,5 ml (0,05-0,1 ml tiap 3-4 bulan)
Apabila belum berhasil dosis berikutnya dinaikkan 2x/tidak lebih
25 ml perkali atau 200 ml perbulan. (1)

Secara non medikamentosa;


a. Terapi Perkembangan Fisik (Rehabilitasi Medik)
b. Tindakan invasif
Terapi fisik juga sering dikombinasikan dengan intervensi yang
lebih invasif, yakni bedah ortopedi ataupun bedah saraf. Intervensi
bedah

ortopedi

bertujuan

untuk

memperbaiki

deformitas

muskuloskeletal penderita CP, sehingga didapatkan postur tubuh


yang lebih baik serta kemudahan pergerakan. Tiga bagian tubuh
yang umumnya dikoreksi melalui bedah ortopedi antara lain
tungkai bawah, tulang pinggul, dan tulang belakang. Intervensi
bedah saraf umumnya dilakukan melalui Selective Dorsal
Rhizotomy (SDR). Prosedur SDR adalah memotong saraf sensorik
di ruas tulang belakang bagian bawah yang bertanggung jawab
terhadap rigiditas otot tungkai, sehingga didapatkan penurunan
spastisitas.
c. Lain-lain, seperti pendidikan khusus, penyuluhan psikologis, dan
rekreasi. (2)
1

PROGNOSIS

Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis CP, derajat
kelambatan yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan, adanya refleks
patologis, dan yang sangat penting adalah derajat defisit intelegensi, sensoris,
dan emosional. Tingkat kognisi sulit ditentukan pada anak kecil dengan
gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur (McCarthy et al, 1986).

Tingkat kognisi sangat berhubungan dengan tingkat fungsi mental yang akan
.sangat menentukan kualitas hidup seseorang
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah utama
lainnya selalu dapat berjalan pada usia 2 tahun; kegunaan short brace hanya
dibutuhkan sementara saja. Adanya tangan yang kecil pada sisi yang
hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang lebih runcing dibanding dengan kuku
lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi sensoris parietalis dan defek
sensori tersebut akan membatasi kemampuan fungsi motorik halus pada tangan
tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami hemianopsia, karena
hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk memaksimalkan
fungsi visus. Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi pada anak yang
hemiplegik. 10
Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik diplegia dapat belajar berjalan
tesering pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukkan gait abnormal, dan
beberapa kasus membutuhkan alat bantu, misalnya kruk. Aktivitas tangan
secara umum akan terkena dengan derajat yang berbeda, walaupun kerusakan
.yang terjadi minimal. Abnormal gerakan ekstraokuler relatif sering dijumpai
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total;
paling banyak hanya 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun.
Fungsi intelektual sering seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot bulbar
.akan menambah kesulitan yang sudah ada

Hipotonia trunkus, dengan refleks patologis atau kekakuan yang persisten


merupakan gambaran yang menunjukkan buruknya keadaan. Mayoritas anak.anak tersebut memiliki limitasi intelektual
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang
berhubungan dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan.
Keseimbangan dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit.
Sebagian besar anak-anak yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar
berjalan. Sebaliknya, anak-anak yang masih menunjukkan moro refleks, tonik
neck refleks asimetrik, kecenderungan ekstensi, dan tidak menunjukkan refleks
parasut tidak mungkin dapat belajar berjalan; sebagian dari mereka yang tidak
.dapat duduk pada usia 4 tahun dapat belajar berjalan

4. PENCEGAHAN
Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP
pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara
lain: 3
a) Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan,
pengamatan optimal selama mandi dan bermain.

a) Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir
dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi
tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan
pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara
umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasus-kasus,
serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi
antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil
antibodi tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi
antibodi

tidak dicegah,

maka

perlu

pengamatan

secara cermat

perkembangan bayi dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama


dalam kandungan atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.
a) Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan
imunisasi sebelum hamil.
1

KUALITAS HIDUP PASIEN CP


Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi subjektif individu
terhadap kedudukannya dalam kehidupan, meliputi berbagai komponen
kehidupan seperti sistem nilai dan budaya di tempat tinggalnya dalam
hubungannya dengan tujuan, harapan, dan norma.Kualitas hidup anak palsi
serebral merupakan penilaian terhadap seluruh aspek kehidupan, meliputi
aspek kesehatan (fisik, mental, dan sosial) dan aspek non kesehatan

(ekonomi, sekolah, dan agama).Secara umum, kualitas hidup anak palsi


serebral lebih rendah dibandingkan anak normal kelompok usia yang sama.
Gangguan motorik memegang peranan penting dalam hal ini.Di Asia seperti
Malaysia, kualitas hidup anak palsi serebral masih rendah, hal ini
disebabkan karena kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan untuk anak-anak
cacat, kurangnya kesadaran dan keahlian dari sumber daya manusia, dan
tingkat ekonomi yang rendah.Namun beberapa bayi dengan gangguan
motorik ringan menunjukkan perbaikan dan mencapai fungsi motorik
normal

pada

masa

anak-anak.Pemilihan

instrumen

kualitas

hidup

bergantung kepada validitas, keandalan, mudah dalam penggunaan, biaya


lebih murah, sesuai dengan sosial kultural / budaya setempat.Beberapa
instrumen yang dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup anak palsi
serebral, diantaranya:

1. Cerebral Palsy Quality Of Life questionnaire for children (CP


child).

QOL-

CP QOL-child adalah kuisioner yang digunakan untuk menilai


kualitas hidup anak palsi serebral usia 4-12 tahun. Ada 7 aspek yang dinilai,
yaitu:
(1) Fungsi sosial dan penerimaan
(2) Partisipasi dan kesehatan fisik
(3) Status fungsional
(4) Mental
(5) Nyeri dan dampak kecacatan
(6) Akses ke tempat pelayanan kesehatan
(7) Kesehatan keluarga
CP QOL dapat digunakan untuk: menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup anak palsi serebral, mengetahui apakah
intervensi yang diberikan telah meningkatkan kualitas hidup dan
mendapatkan informasi tentang beberapa aspek dalam kehidupananak.
1. Caregiver Priorities and Child Health Index of Life with
disabilities (CPCHILD)

Merupakan alat yang

digunakan untuk menilai status

fungsional dan kesehatan, hubungan kesehatan dan kualitas hidup anak


palsi serebral yang sangat berat umur 5-18 tahun. CPCHILD menilai 6
aspek yaitu:
(1)

Perawatan diri sendiri (2) Posisi, pindah tempat, dan mobilitas (3)

Komunikasi dan interaksi sosial (4) Kenyamanan, emosi, dan


perilaku (5) Kesehatan (6) Kualitas hidup.
CPCHILD dapat digunakan untuk: membantu klinisi menilai
faktor yang mengganggu kualitas hidup anak, memonitor perkembangan
anak, membantu dalam perencanaan dan evaluasi program rehabilitasi
bagi anak.14,15
1. Pediatric Quality of Life inventory (PedsQL) 3.0 Cerebral palsy module
Merupakan alat untuk menilai hubungan kesehatan dengan kualitas hidup
khusus pada palsi serebral. PedsQL 3.0 ini dirancang untuk anak sehat dan
anak palsi serebral yang berumur 5-18 tahun. Ada 7 aspek yang dinilai : (1)
Aktivitas

sehari-hari

(2)

Aktivitas

sekolah

(3)

Pergerakan

dan

keseimbangan (4) Nyeri dan sakit (5) Kelelahan (6) Aktivitas untuk makan
(7) Berbicara dan komunikasi.PedsQL 3.0 ini dapat digunakan untuk:
menentukan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak, membantu
mengoptimalkan terapi yang diberikan pada anak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak dengan CP


a. Kondisi kesehatan atau penyakit anak
Hal ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas
hidup anak. Kondisi kesehatan fisik terutama ditentukan oleh struktur
dan fungsi tubuh anak. Anak palsi serebral mempunyai gangguan
beberapa

sistem

tubuh

seperti

sistem

saraf

pusat,

respirasi,

kardiovaskular, dan muskuloskeletal.


Gangguan anatomi tubuh disebabkan karena perubahan struktur dan
morfologi otot. Penelitian secara immunohistochemical pada anak
palsi serebral, menunjukkan adanya peningkatan jaringan lemak
intramuskular, penumpukan kolagen pada otot, dan hipotrofi serat
otot.Perubahan struktur dan fungsi tubuh pada anak palsi serebral akan
mengakibatkan penurunan aktivitas dan partisipasi anak dalam
melakukan kegiatan sehari-hari, sehingga menurunkan kualitas hidup
anak.
b. Faktorpersonal
Faktor personal berkaitan dengan aspek emosional dan perilaku
(internalisasi dan eksternalisasi). Perlindungan yang berlebihan dari
orang tua dapat menimbulkan masalah psikologis pada anak palsi
serebral seperti kecemasan dan depresi. Suatu penelitian di Hongkong
tahun 2008 menunjukkan bahwa tingkatan gangguan motorik tidak
mempengaruhi psikologi anak.Anak dengan gangguan emosional dan

perilaku menunjukkan penurunan komunikasi dan fungsi sosial, yang


mengakibatkan rendahnya kualitashidup.
a.Faktor lingkungan
Keluarga, masyarakat, dan pemerintah memegang peranan
penting dalam faktor lingkungan.Kurangnya penerimaan anak palsi
serebral

dalam

masyarakat

berupa

adanya

sikap

diskriminasi,

stigmatisasi, dan kurang pengertian dari masyarakat terhadap kondisi


anak

palsi

serebral,

menyebabkan

menurunnya

kualitas

hidup

anak.Faktor keluarga dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan orang tua,


status perkawinan orang tua, serta kesehatan fisik dan mental orang tua.

BAB III
KESIMPULAN
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu
kurun waktu dalam perkembangan anak, di dalam susunan saraf pusat, bersifat
kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang
belum selesai pertumbuhannya.Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak
progresif, tetapi perkembangan tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat
maturasi serebral.Walaupun sulit, etiologi CP perlu diketahui untuk tindakan
pencegahan. Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan
perkembangan mental dapat menghalangi tercapainya tujuan pengobatan.
Pendekatan

multi-disiplin penting dalam penanganan penderita CP, seperti

disiplin anak, saraf, mata, THT, bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara,
fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa. Di samping itu juga harus
disertakan peranan orang tua dan masyarakat.
Keterbatasan yang dimiliki oleh anak dengan CP tentunya dapat
memperngaruhi kualitas hidup anak tersebut, penilaian kualitas hidup anak
dengan CP dapat dilakukan dengan beberapa kuisioner yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kualitas hidup seorang anak dengan CP juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti keadaan kesehatan anak, faktor personal dan faktor
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Arvin, Behrman Kliegman. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.


Volume 3. Jakarta: EGC. 2000 : 2085-2086
B. Soedarmo, Sumarno dkk. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi 1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 1999 : 116
C. Tsoi WS, Zhang LA, Wang WY, Tsang KL, Lo SK. Improving quality of
life of children with cerebral palsy: a systematic review of clinical trials.
Child care health dev. 2011; 38:21-31.
D. Anttila H, Autti-Ramo I, Suoranta J, Makela M, Malmivaara A.
Effectiveness of physical therapy interventions for children with cerebral
palsy: a systematic review. BMC Pediatrics. 2008; 8(14):1-10.
E. Sorsdahl AB, Moe-Nilssen R, Kaale HK, Rieber J, Strand LI. Change in
basic motor abilities, quality of movement and everyday activities
following intensive, goal-directed, activity-focused physiotherapy in a
group setting for children with cerebral palsy. BMC Pediatr. 2010; 10:2637.
F. Colver AF, Dickinson HO, Parkinson K, Arnaud C, Beckung E,
Fauconnier J, et al. Access of children with cerebral palsy to the physical,
social and attitudinal environment they need: a cross-sectional European
study. Disabil Rehabil. 2010; 1:1-8.
G. Wang HY, Cheng CC, Hung YH, Lin JH, Lo SK. Validating the cerebral
palsy quality of life for children (CP QOL-Child) questionnaire for use in
Chinese populations. Neuropsychol Rehabil. 2010; 20:883-98.
H. Davis E, Shelly A, Waters E, davern M. Measuring the quality of life of
children with cerebral palsy: comparing the conceptual differences and
psychometric properties of three instruments. Dev Med Child Neurol.
2010; 52:174-80.
I. Pakula AT, Braun KVN, Yeargin-Allsopp M. Cerebral palsy: classification
and epidemiology. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2009; 20:425-52.
J. Chen CL, Chen KH, Lin KC, Wu CY, Chen CY, Wong AMK, et al.
Comparison of developmental pattern change in preschool children with

spastic diplegic and quadriplegic cerebral palsy. Chang Gung Med J. 2010;
33:407-13.
K. Hiratuka E, Matsukura TS, Pfeifer LL. Cross-cultural adaptation of the
gross motor function classification system into Brazilian-Portuguese
(GMFCS). Rev Bras Fisioter. 2010; 14:537-44.
L. 20.Palisano R, Rosenbaum P, Barlett D, Livingston M. GMFCS-E&R
gross motor function classification system expanded and revised. Dev Med
Child Neurol. 2007; 39:214-23.
M. Fenichel GM, penyunting. Hemiplegi. Dalam: Clinical Pediatric
Neurology A sign and symptoms approach. Edisi ke-6. Philadelphia:
Elsevier Inc, 2009.h.249-83.
N. Carlon S, Shields N, Yong K, Gilmore R, Sakzewski L, Boyd R.
Asystematic review of the psychometric properties of quality of life
measures for school aged children with cerebral palsy. BMC Pediatr. 2010;
10:81-92.
O. Narayanan UG, Fehlings D, Weir S, Knights S, Kiran S, Campbell K.
Initial development and validation of the caregiver priorities and child
health index of life with disabilities (CPCHILD). Dev Med Child Neurol.
2006; 48:804-12
P. Yang X, Xiao N, Yan J. The PedsQL in pediatric cerebral palsy: reliability
and validity of the Chinese version pediatric quality of life inventory 4.0
generic core scale and 3.0 cerebral palsy module. Qual Life Res. 2011;
20:243-252.
Q. Varni JW, Burwinkle TM, Berrin SJ, Sherman SA, Artavia K, Malcarne
VL, et al.The PedsQL in pediatric cerebral palsy: reliability, validity, and
sensitivity of generic core scale and cerebral palsy module. Dev Med
Child Neurol. 2006; 48:442-9.
R. Doscantos AN, Pavao SL, Decampos AC, Rocha NAC. International
classification of functioning, disability and health in children with cerebral
palsy. Disabil Rehabil. 2011; 1:1-6.
S. Voorman JM, Dallmeijer AJ, Eck MV, Schuengel C, Becher JG. Social
functioning and communication in children with cerebral palsy:
association with disease characteristics and personal and environmental
factors. Dev Med Child Neurol. 2010; 52:441-7.

T. Murphy N, Caplin DA, Christian BJ, Luther BL, Holobkov R, Young PC.
The function of parents and their children with cerebral palsy. PM R. 2011;
3:98-104.

Anda mungkin juga menyukai