Anda di halaman 1dari 5

Ibnu Syahid Sira Haq

Chapter 12

13/352579/EK/19613
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Salah satu
arah kebijakan DAK tahun 2016 yaitu dilakukannya realokasi dana transfer lainnya ke
dalam DAK non-fisik dalam rangka dekosentrasi dan pembantuan. Mulai 2016,
pengalokasian DAK yang dulu bersifat top-down berubah menjadi bersifat bottom-up.
DAK bidang pendidikan dialokasikan secara bertahap sarana dan prasarana
pendidikan untuk semua jenjang pendidikan, yaitu pemenuhan sarana penunjang mutu
dan prasarana pendidikan sesuai SPM minimal. Lingkup kegiatan DAK bidang
pendidikan yaitu membiayai peningkatan prasarana pendidikan, membiayai peningkatan
sarana mutu pendidikan. DAK Bidang kesehatan dan keluarga berencana dialokasikan
untuk meningkatkan akses dan kualitas kegiatan bidang kesehatan pelayanan dasar,
kefarmasian, KB, dan pelayanan rujukan. DAK bidang infrastruktur dialokasikan
kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk memperkuat konektivitas nasional.
DAK bidang kedaulatan pangan terdiri dari subbidang pertanian guna
pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana fisik dasar pembangunan pertanian;
dan subbidang irigasi untuk meningkatkan pelayanan jaringan irigasi. DAK energi
perdesaan

dialokasikan

kepada

daerah

untuk

membantu

mendanai

kegiatan

pembangunan energy terbarukan. DAK bidang kelautan dan perikanan dialokasikan


untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, peningkatan mutu,
pemasaran, dan pengawasan serta penyediaan sarana dan prasarana pemberdayaan di
wilayah pesisir dan pulau kecil yang terkait dengan peningkatan hasil perikanan. DAK
bidang kehutanan dan lingkungan hidup terdiri atas dua subbidang yaitu subbidang
kehutanan guna membiayai kegiatan di bidang kehutanan dan subbidang lingkungan
hidup guna mendorong pelaksanaan SPM bidang lingkungan hidup dan penguatan
kapasitas kelembagaan di daerah, DAK bidang transportasi guna mendorong percepatan
pembangunan daerah dalam penyedian fasilitas keselamatan transportasi, DAK bidang
sarana perdagangan, industri kecil & menengah, dan pariwisata guna meningkatkan
kuantitas dan kualitas sarana perdangan dalam mencapai ketersediaan barang. DAK

bidang prasarana pemerintahan daerah guna membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pemerintahan di daerah.
Berdasarkan Pasal 41 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pmerintah Daerah dan Pasal 61 PP No. 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan, daerah penerima DAK wajib menyediakan dana
pendamping untuk mendanai kegiatan fisik sekurang-kurangnya 10 % dari nilai DAK
yang diterima. DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum
negara ke rekening kas umum daerah. Mekanisme penyaluran DAK dan/atau DAK
tambahan diatur dalam PMK 241/2014 dan PMK 147/2015 dengan penyaluran DAK
dan/atau DAK tambahan dilaksanakan secara triwulan yaitu secara berturut-turut senilai
30%, 25%, 25%, dan 20% dari pagu alokasi. Ketentuan penyaluran DAK triwulan IV
diatur dalam PMK 213/2015. Setelah tahun anggaran berakhir, diharuskan
menyampaikan laporan penyerapan penggunaan DAK. Permendagri No. 20 Tahun 2009
yang diubah Permendagri

No. 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan

Permendagri tentang Pedoman Keuangan DAK di daerah mengatur optimalisasi


pelaksanaan anggaran DAK di SKPD.
Dalam rangka pembangunan infrastruktur daerah, khususnya daerah terluar dan
tertinggal, pemerintah mengatur penggunaan DAK, yaitu dukungan percepatan
penyediaan infrastruktur publik daerah dengan alokasi DAK fisik lebih besar, ketentuan
5% dari alokasi DAK infrastruktur per daerah dapat digunakan untuk penunjang
kegiatan fisik, memperkuat kebijakan DAK afirmasi, dan meniadakan ketentuan
penyediaan dana pendamping. DAK Infrastruktur Publik Daerah adalah komponen
dalam DAK fisik selain DAK reguler dan DAK afirmasi dengan ketentuan besaran
alokasi sebesar Rp100M, untuk pembangunan infrastrukturr pelayanan publik di daerah
yang belum didanai DAK reguler, pilihan penggunaan untuk bidang infrastruktur publik
disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan daerah wajib menyampaikan usulan alokasi
kepada pemerintah.
Berbagai masalah yang timbul yaitu realisasi penyerapan DAK belum diserap
semaksimal mungkin untuk pendanaan kegiatan DAK namun masih tersisa dana di kas
daerah; masih terdapat kekurangan pelaksanaan kegiatan fisik atau ketidaksesuaian

dengan spesifikasi teknis dalam kontrak; masih terdapat hasil kegiatan DAK yang
belum dimanfaatkan.

Ibnu Syahid Sira Haq

Chapter 13

13/352579/EK/19613
Kabupaten Blitar merupakan daerah penghasil SBW yang cukup potensial
sebagai salah satu sumber PAD namun pengelolaannya masih kurang insentif dan tidak
disiplin sehingga kurang memberikan andil bagi pemasukan PAD Kabupaten Blitar.
Budi daya sarang burung wallet terdapat tiga golongan, yaitu golongan karyawan,
golongan menengah, dan golongan atas. Golongan karyawan mempunyai gedung kecil
dan menggunakan teknologi yang kurang maju dengan membangun gedungnya di
kediamannya serta juga menghasilkan burung seriti. Golongan menengah juga
membangun gedung wallet di kediamannya dengan gedung yang lebih besar dan
teknologi yang lebih maju seperti sistem tweeter serta terkadang menghasilkan burung
seriti. Golongan atas mempunyai pengetahuan dan teknologi yang sangat maju namun
bukanlah penduduk setempat yang mana membangun gedung wallet di daerah yang
paling cocok untuk budi daya. Tujuan golongan atas sendiri untuk menghasilkan sarang
burung walet sajam bukan bersamaan dengan burung seriti, namun terkadang menukar
telur burung seiriti dengan telur burung wallet sembari menunggu masa panen.
Pemda Kabupaten Blitar telah mencoba berperan aktif dalam industri budi daya
walet, namun tidak memiliki peranan penting dalam industri ini. Pemda juga kerap
dihalangi oleh para pemilk gedung walet yang berhasil (golongan atas) dengan alasan
iuran retribusi. Sebaliknya, para pemilik gedung walet yang belum berhasil
mengharapkan peranan pemda dalam berperan pada industri ini dan mendapatkan
bantuan dari pihak pemda. Golongan atas sendiri tidak ingin dibantu dan tidak bersedia
memberikan data yang diperlukan oleh pemda tentang jumlah total sarang walet di
Blitar. Ketentuan Perda No. 27 Tahun 2000 bahwa pendirian gedung sarana burung
walet di Kab. Blitar mesti membayar IMB yang dikelola Dinas Perdagangan dan mesti
membayar 3% dari panen tersebut ke kas daerah. Namun fakta menunjukkan
masyarakat masih jarang membayar IMB dan retribusi tersebut.
Di setiap kecamatan ada Petugas Kehutanan Lapangan (PKL) yang bertugas
menarik retribusi tersebut. Dengan demikian, pemilik gedung walet harus membayar
retribusi dan petugas diharapkan dapat memberikan bantuan ke pemilik gedung walet.
Pada tahun 2001, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Blitar menerbitkan buku

berjudul Pedoman Budi Daya Walet untuk pedoman kegiatan penyuluhan Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kab. Blitar dan membantu pihak yang ingin membangun
gedung burung walet. Selain mencetak buku, pada tahun 2002 Pemda Kab. Blitar juga
mengadakan seminar tentang budi daya sarang burung walet. Dinas Perdagangan sendiri
tidak mengetahui jumlah gedung burung walet yang ada di Kab Blitar, padahal ada
ketentuan sebelum membangun gedung burung walet mesti membayar IMB kepada
Dinas Perdagangan. Informasi yang ada hanyalah harga pasaran burung walet sebesar
Rp21 juta/kg dan burung seriti sebesar Rp2 juta/kg. Kemungkinannya karena pemilik
gedung burung walet tidak jujur karena khawatir membayar retribusi kepada pemda dan
tidak ada keinginan pemda untuk melaksanakan aturan yang ada. Menurut pemilik
gedung walet, Pemda Kab. Blitar tidak pernah membantunya dalam budi daya sarang
burung walet karena pihak pemda sangat malas dan kurang kooperatif. Pembayaran 2
jenis pajak, yaitu pajak membangun gedung burung walet dan pajak panen cenderung
bermasalah, khususnya pajak panen yang bersifat fix rate. Pembayaran kepada petugas
pemda juga dilakukan tanpa karcis retribusi sehingga diragukan masuk ke kas daerah.
Sebaliknya, golongan karyawan dan menengah ingin dibantu oleh pemda agar
gedung walet mereka berhasil dengan alasan investasi mereka tidak merugi. Walaupun
demikian, sebagian besar pemilik gedung burung walet tidak menginginkan peran
pemda dalam industri ini. Petugas pemda juga jarang mengunjungi gedung walet untuk
menagih pajak. Pemilik kelas atas juga sering menjual hasilnya langsung ke makelar
tanpa melibatkan pemda sehingga tidak membayar retribusi panen kepada pemda serta
tidak akan jujur atas ada tidaknya burung walet dengan alasan takut dengan pencuri.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Pemda Kab Blitar mengeluarkan Perda No. 2
Tahun 2011 sebagai tindak lanjut UU No. 28 Tahun 2009 dengan mengubah pungutan
dari retribusi menjadi pajak sarang burung walet. Pada perda tersebut dijelaskan definisi
dari objek dan subjek pajak sarang burung walet, DPP sarang burung walet, mekanisme
penyetoran dan sanksi administrasi. Mulai berlakunya perda tersebut, pemda
menargetkan PAD dari pajak daerah sebesar Rp 15,36 M sehingga adanya perubahan
keikan target pada akhir tahun ini bisa menambahkan target PAD Kab. Blitar sebesar Rp
74,290 M. Namun dari 2 target tersebut, ada 2 jenis pajak yang belum masuk, yaitu
pajak sarang burung walet dan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang
diberlakukan pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai