Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN EVALUASI PROGRAM POKOK PUSKESMAS

PENEMUAN DAN PENCEGAHAN


BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI PUSKESMAS KEBASEN

Disusun oleh:
Miranti Probosini
G4A015150

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
APRIL 2016

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN EVALUASI PROGRAM POKOK PUSKESMAS
PENEMUAN DAN PENCEGAHAN
BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI PUSKESMAS KEBASEN

Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dari


Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:
Miranti Probosini
G4A015150

Telah dipresentasikan dan disetujui


Pada tanggal 29 April 2016

Mengetahui,
Perseptor Lapangan
Kepala Puskesmas Kebasen

dr. Tri Lestari K


NIP. 19700909 200212 2 004

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN........................................................................................... 4
A.Latar Belakang.............................................................................................. 4
B.Tujuan Penulisan........................................................................................... 6
C.Manfaat Penulisan......................................................................................... 6
II. ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS.............. 7
A.Gambaran Umum Puskesmas Kebasen....................................................... 7
B.Pencapaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat............................ 9
C. Pelayanan Kesehatan Dasar........................................................................11
D.Analisis SWOT............................................................................................16
III. PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH.......21
A.Pembahasan Isu Strategis............................................................................21
B.Alternatif Pemecahan Masalah...................................................................23
IV. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................25
A.Kesimpulan.................................................................................................25
B.Saran............................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................27

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu prioritas Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan
status kesehatan anak khususnya bayi dan balita. Masih tingginya kesakitan
dan kematian yang terjadi pada usia ini memerlukan perhatian dan dukungan
dari semua pihak. Salah satu kendala adalah masih rendahnya pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan dan deteksi dini penyakit yang dapat terjadi
pada ibu dan anak saat kehamilan (Kemenkes, 2011). Apabila upaya
pencegahan saat ibu hamil terhadap kejadian berat bayi lahir rendah kurang
maka dapat berkontribusi pada kematian perinatal sebesar 27% (Pramono &
Putro, 2009).
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram tanpa meliat usia gestasi (Kemenkes, 2011).
BBLR pada dasarnya berhubungan dengan banyak faktor, diantaranya faktor
ibu (riwayat kelahiran prematur, perdarahan antepartum, kurangnya nutrisi
pada masa kehamilan ibu, anemia sedang-berat saat kehamilan, ukuran
antropometri ibu hamil, hidramnion, penyakit kronik, hipertensi, umur ibu
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jarak dua kehamilan terlalu
dekat, infeksi, trauma dan paritas); faktor janin (cacat bawaan, kehamilan
ganda, hidramnion, KPD). Selain itu, keadaan sosial ekonomi yang rendah
dan kebiasaan (pekerjaan yang melelahkan dan merokok) juga merupakan
faktor yang menyebabkan BBLR (Mahayana et al., 2015).
Secara statistik 90% kasus BBLR didapatkan di negara berkembang
atau sosio-ekonomi rendah dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi
dibandingkan bayi non BBLR (Zahtamal et al., 2011). Kasus BBLR termasuk
faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabiliitas
neonatus serta dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak serta berpengaruh pada penurunan
kecerdasan. Bayi yang mengalami BBLR perlu penanganan serius karena
pada

kondisi

ini

bayi

rentan

sekali

mengalami

asfiksi,

infeksi,

hiperbilirubinemia, hipotermia, dan gagal organ jika pembentukan organ-

organ tubuhnya belum sempurna. Hal tersebut merupakan komplikasi BBLR


dan dapat menjadi penyebab utama kematian bayi (Mahayana et al., 2015).
Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten
atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas berperan menyelenggarakan
sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota
dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak
pembangunan kesehatan di Indonesia termasuk memberikan pelayanan
kesehatan terhadap pasien (Kemenkes, 2013).
Puskesmas menyediakan upaya kesehatan wajib, pengembangan, dan
penunjang pada masyarakat. Upaya kesehatan wajib dalam pelaksanaan
kegiatannya dijalankan dalam bentuk 6 program pokok Puskesmas. Namun
pada umumnya program pokok Puskesmas ini belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Adanya keterbatasan dan hambatan baik di Puskesmas
maupun masyarakat dalam pelaksanaan program pokok Puskesmas dapat
diselesaikan berdasarkan skala prioritas sesuai permasalahan yang ada dengan
memanfaatkan potensi dimasyarakat dengan melakukan pemberdayaan
masyarakat (Kemenkes, 2013).
Salah satu hal yang menjadi masalah di puskesmas Kebasen adalah
pada program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Program KIA memiliki tujuan
memelihara kesehatan ibu dan anak secara berkesinambungan. Salah satu
permasalahan yang muncul pada program KIA adalah peningkatan kasus
BBLR. Pada tahun 2014, jumlah kasus BBLR yaitu sebanyak 19 kasus,
sedangkan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat hampir tiga kali lipat yaitu
sejumlah 52 kasus (5,2%). Penemuan kasus ini belum mencapai target
cakupan BBLR yang ditetapkan Puskesmas Kebasen yaitu sebesar 3%.
Jumlah bayi yang meninggal akibat BBLR yaitu sebanyak 5 bayi.
Faktor risiko BBLR paling banyak di Puskesmas Kebasen adalah ibu hamil
yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) dan prematuritas.
Berdasarkan peningkatan masalah dan belum tercapainya target cakupan
BBLR maka perlu dilakukan evaluasi program puskesmas terutama program
KIA mengenai penemuan dan pencegahan BBLR.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mampu menganalisis masalah kesehatan dan berbagai metode pemecahan
masalah di Puskesmas Kebasen.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui gambaran umum keadaan kesehatan di wilayah kerja
Puskesmas Kebasen.
b. Mengetahui secara umum program dan cakupan program KIA terutama
penemuan dan pencegahan BBLR di Puskesmas Kebasen
c. Mengetahui pelaksanaan dan keberhasilan program KIA terutama
penemuan dan pencegahan BBLR di Puskesmas Kebasen
d. Menganalisis kekurangan dan kelebihan pelaksanaan program KIA
terutama penemuan dan pencegahan BBLR di Puskesmas Kebasen
C. Manfaat Penulisan
1. Menjadi bahan pertimbangan bagi Puskesmas dalam melakukan evaluasi
kinerja KIA terutama penemuan dan pencegahan BBLR di Puskesmas
Kebasen.
2. Menjadi dasar ataupun masukan bagi Puskesmas dalam mengambil
kebijakan jangka panjang dalam upaya pencegahan BBLR.
3. Menjadi bahan pertimbangan bagi Puskesmas untuk mencari alternatif
pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kinerja 6 program
pokok Puskesmas Kebasen khusunya pada bagian KIA.
4. Menjadi salah satu wacana untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat pada umumnya dan individu pada khususnya di wilayah kerja
Puskesmas Kebasen.
5. Menjadi bahan kajian pustaka dan pertimbangan untuk melakukan
penelitian serupa.

II. ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS


A. Gambaran Umum Puskesmas Kebasen
1. Keadaan Geografis
Kecamatan Kebasen merupakan salah satu bagian wilayah
Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 53,99 km2. Kecamatan
Kebasen terdiri dari 12 desa dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara

: Kecamatan Patikraja

b. Sebelah Selatan

: Kecamatan Sampang dan Kecamatan


Kroya Kabupaten Cilacap

c. Sebelah Timur

: Kecamatan Banyumas dan Kecamatan


Kemranjen

d. Sebelah Barat

: Kecamatan Rawalo

Gambar 1. Denah Wilayah Puskesmas Kebasen

Pemanfaatan lahan di Kecamatan Kebasen dapat dirinci sebagai


berikut :
a. Tanah Sawah

: 1.049,60 Ha (19,43 %)

b. Tanah Pekarangan/ Bangunan

: 1.542,33 Ha (28,56 %)

c. Tanah Tegal/ Kebun

: 1.041,66 Ha (19,29 %)

d. Tanah Kebasen

: 10,800 Ha (0,20 %)

e. Tanah Hutan Negara

: 916,000 Ha (16,96 %)

2.

f. Tanah Perkebunan Rakyat

: 565,100 Ha (10,44 %)

g. Lain-lain

: 274,025 Ha (5,09 %)

Keadaan Demografi
a.

Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen
tahun 2015, jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 66.080 jiwa
terdiri dari 33.540 jiwa laki-laki (50,76%) dan 32.540 jiwa perempuan
(49,24%) yang tergabung dalam 16.530 rumah tangga/KK. Jika
dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah penduduk pada tahun 2015
mengalami peningkatan. Jumlah penduduk tahun 2015 yang tertinggi
di desa Cindaga sebanyak 11.221 jiwa, sedangkan terendah di desa
Tumiyang 1.607 jiwa. Kepadatan penduduk Kecamatan Kebasen
sebesar 1.224/ km2.

b.

Tingkat Pendidikan
Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen tahun 2015 mencatat
jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1. Jenis Pendidikan menurut Jenis Kelamin
No

Jenis Pendidikan
Tamat

Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
7.806
7.866

Jumlah

Tidak/Belum

15.672

2
3
4
5
6

SD/MI
Tamat SD/MI
9.960
10.197
20.157
SLTP/Sederajat
3.481
2.836
6.317
SLTA/Sederajat
1.997
1.432
3.429
Diploma III
392
311
703
Universitas
248
158
406
(Sumber: Profil Puskesmas Kebasen Tahun 2015)

c. Mata Pencaharian

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan


Kebasen tahun 2015, mata pencaharian atau jenis pekerjaan penduduk
di Kecamatan Kebasen 10 besar yaitu petani (30,68%), buruh tani
(42,67%), pengusaha (0,62%), buruh industri (4,45%), buruh
bangunan (6,08%), pedagang (4,41%), pengangkutan (1,19%), PNS
(1,80%), ABRI (0,26%), pegawai BUMN/BUMD (2,47%), pensiunan
(0,05%), penggalian (1,82%), jasa sosial (0,28%) dan lain-lain
(3,22%).
B. Pencapaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat
Untuk melihat gambaran dari derajat kesehatan masyarakat di wilayah
Puskesmas Kebasen, dapat dilihat dari angka kematian (mortalitas), angka
kesakitan (morbiditas) dan status gizi.
1. Mortalitas
a. Angka Kematian Bayi
Berdasarkan profil puskesmas tahun 2015, pada tahun 2015 di
Kecamatan Kebasen ada 955 lahir hidup, dengan 15 lahir mati dan
jumlah bayi mati sebesar 0 bayi. Angka kematian bayi (AKB) di
Kecamatan Kebasen sebesar 15,7 per 1000 lahir hidup, sehingga AKB
dilaporkan sebesar 15,7. Sedangkan AKB tahun 2014 sebesar 3,1.
Dengan demikian ada peningkatan AKB sebesar 12,6 . Hal ini
menunjukkan

adanya

peningkatan

kematian

bayi

yang

tidak

terpengaruh oleh jumlah kelahiran hidup pada tahun 2015. Jika


dibandingkan dengan IIS 2015 AKB di Kecamatan Kebasen masih
terhitung rendah (IIS 2014 = 40 per 1000 kelahiran hidup). Untuk itu
perlu

didukung

oleh

peningkatan

kualitas

pelayanan

dengan

bertambahnya kemampuan tenaga medis dan paramedis untuk


penanggulangan kegawatdaruratan lewat pelatihan atau diklat yang
diikuti.
Tingginya angka kematian bayi menunjukkan masih rendahnya
status kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dapat disebabkan oleh
masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat

khususnya pelayanan kesehatan ibu dan anak, perilaku hidup bersih dan
sehat di masyarakat khususnya ibu saat hamil serta lingkungan
masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung pentingnya kesehatan.
b. Angka kematian balita
Angka kematian balita (AKABA) merupakan jumlah kematian
anak balita (1 th 5 th) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 1
tahun. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak
balita, tingkat pelayanan KIA, tingkat keberhasilan program KIA dan
kondisi lingkungan. Berdasarkan profil puskesmas tahun 2015, angka
kematian balita ada 2, dibandingkan tahun 2014 ada 2,1 . Hal ini berarti
pada tahun 2015 menunjukan ada penurunan kasus kematian balita
dibanding tahun 2014.
Upaya yang sudah dilakukan dalam rangka menurunkan angka
kematian balita adalah pengembangan upaya kesehatan bersumber
masyarakat seperti pos pelayanan terpadu (posyandu), penerapan PHBS
dalam setiap tatanan rumah tangga, penanggulangan kurang energi
protein (KEP), pendidikan gizi, penyediaan sarana air bersih dan
sanitasi dasar serta pencegahan dan pemberantasan penyakit melalui
surveilans dan imunisasi, serta optimalisasi kegiatan kelas ibu balita
dalam rangka meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat
dalam merawat dan memelihara kesehatan dan tumbuh kembang balita.
c. Angka Kematian Ibu
Berdasarkan profil puskesmas, pada tahun 2015 di Kecamatan
Kebasen jumlah kematian ibu hamil 1, ibu bersalin 0 dan ibu nifas
sebanyak 0 orang. Angka Kematian Ibu (AKI) di Kecamatan Kebasen
pada tahun 2015 sebesar 104 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut IIS 2015 AKI sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup,
dengan demikian AKI di Kecamatan Kebasen dibawah AKI menurut
IIS 2014. Penyebab dari kematian ibu hamil di wilayah kecamatan
Kebasen karena penyakit kronis yang diderita oleh ibu hamil yaitu
penyakit jantung dan adanya keterlambatan dalam sistem rujukan. Perlu
adanya peningkatan kompetensi tenaga kesehatan dalam pendeteksian

10

risiko tinggi dari ibu hamil dan penguatan tim penanganan kesehatan
Ibu dan anak, peningkatan akses pelayanan kesehatan (rujukan),
peningkatan kerjasama lintas sektor, dan peningkatan frekuensi
pelatihan skill/ kompetensi dari tenaga kesehatan.
2. Status gizi
a. Presentase berat bayi lahir rendah
Jumlah bayi BBLR di kecamatan Kebasen tahun 2015 ada 52
kasus atau 5,2 %. Dibandingkan tahun 2014 terdapat 19 kasus, hal ini
menunjukan adanya peningkatan jumlah bayi BBLR ditahun 2015.
Angka ini belum mencapai target cakupan BBLR yaitu sebesar 3%.
Perlu adanya peningkatan promotif dan preventif pada setiap pertemuan
di posyandu ataupun di kelas ibu baik oleh bidan desa, bidan
puskesmas, petugas gizi, promkes ataupun medis.
b. Presentase balita dengan gizi buruk
Dari buku profil puskesmas, pada tahun 2015 terdapat 1057 bayi
dan 7759 anak balita dengan bayi mendapat vitamin A satu kali
sebanyak 1057 bayi (100%), anak balita mendapat vitamin A dua kali
sebanyak 7759 (100%). Ditemukan kasus balita gizi buruk 2 kategori
BB/U dan semuanya sudah mendapat PMT pemulihan dari anggaran
APBN (BOK), dengan pengawasan dan evaluasi dari petugas kesehatan
baik medis, pemegang program gizi dan dibantu oleh bidan desa
akhirnya 6 yang terkategori gizi buruk mengalami peningkatan BB
yang signifikan.
C. Pelayanan Kesehatan Dasar
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan
pemberian pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan
sebagaian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai
pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh

Puskesmas Kebasen

adalah sebagai berikut :


1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

11

Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam


pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang
dialami seorang ibu apalagi yang sedang hamil bisa berpengaruh terhadap
kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan
bayi dan anaknya.
a.

Pelayanan K4
Masa kehamilan merupakan masa yang rawan kesehatan, baik
kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang dikandungnya
sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara
teratur. Hal ini dilakukan guna mencegah gangguan sedini mungkin
dari segala sesuatu yang membahayakan kesehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Berdasarkan Tabel 28 pada tahun 2015 jumlah ibu hamil di
Kecamatan Kebasen sebanyak 1007 ibu hamil , adapun ibu hamil
yang mendapat pelayanan K-4 adalah sebesar 1001 atau 99,4 % ibu
hamil. Dibandingkan dengan tahun 2014 yang mendapatkan
pelayanan K-4 sejumlah 993 atau 97,4 % Berarti pelayanan K-4
mengalami peningkatan sebesar 2 %.
Pada prinsipnya kegiatan-kegiatan dalam rangka pelayanan K-4
sudah dilaksanakan secara maksimal , hal itu dikarenakan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan pada waktu
hamil sudah meningkat. Selain itu juga petugas kesehatan telah
berusaha maksimal dalam memotivasi kepada ibu hamil. Dan adanya
kerjasama yang baik juga antara BPM dan Puskesmas.
Standar Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil
K-4 sebesar 95%. Dengan demikian untuk Kecamatan Kebasen
memenuhi target / tercapai standar pelayanan minimal.

b.

Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)


Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir
sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).

12

Jumlah ibu bersalin tahun 2015 sesuai Tabel 29 sebanyak 964


orang, jumlah yang ditolong oleh nakes sebanyak 964 orang atau 100
%. Dibandingkan tahun 2014 jumlah ibu bersalin 971 orang, jumlah
persalinan yang ditolong nakes 971 orang atau 100 % . Berarti
pelayanan persalinan sudah seluruhnya dilakukan oleh Nakes.
Target Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan persalinan
oleh nakes tahun 2015 sebesar 90 %. Dengan demikian cakupan
persalinan nakes Kecamatan Kebasen tahun 2014 sudah memenuhi
standar pelayanan minimal, berkat kerjasama pemegang program,
koordinasi antar bidan, koordinasi tim PONED puskesmas, dan
kerjasama lintas sektor.
Namun

demikian

kegiatan-kegiatan

yang

mendukung

pencapaian SPM tersebut masih tetap harus dilaksanakan untuk lebih


meningkatkan cakupan antara lain ditingkatkannya kerjasama bidan
untuk terselenggaranya PONED secara maksimal, pengembangan
kompetensi medis, bidan dan paramedis lainnya baik dengan update
kebidanan dan pelatihan, pengembangan Pondok Bersalin Desa
(Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan Desa (PKD).
c.

Komplikasi kebidanan yang ditangani


Sesuai Tabel 33 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil risiko tinggi
(risti) di Kecamatan Kebasen yaitu 268 orang. Adapun jumlah ibu
hamil

resti

yang

mendapat

penanganan

yaitu

268

orang.

Dibandingkan jumlah bumil risti tahun 2014 adalah 204 orang maka
tahun 2015 jumlah bumil risti mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan

karena

tingginya

kesadaran

ibu

hamil

untuk

memeriksakan kehamilannya serta adanya Bidan di setiap desa


sehingga setiap ada kelainan segera terdeteksi dan mendapat
penanganan, dan adanya kerjasama lintas sektor, yang ikut membantu
dalam pendataan ibu hamil risiko tinggi.
d.

Pencegahan BBLR

13

Pencegahan BBLR yang dilakukan di puskesmas kebasen


dilaksanakan saat ibu hamil melakukan kunjungan ANC. Pencegahan
BBLR yang dilakukan meliputi pemeriksaan antropometri ibu hamil,
pemeriksaan Hb, dan pemberian Makanan Tambahan bagi ibu dengan
ukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) < 23,5 cm yang dilakukan oleh
bidan di ruang KIA. Pencegahan BBLR sudah dilakukan pada seluruh
ibu hamil yang melakukan ANC. Target penemuan kasus BBLR
adalah 3% dari seluruh kelahiran bayi.
e.

Pelayanan ibu nifas


Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai 42 hari pasca
persalinan, masa nifas berpeluang untuk terjadinya kematian ibu
maternal. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan
pada ibu nifas sesuai standart, yang dilakukan sekurang-kurangnya 3
kali sesuai jadwal yang dianjurkan yaitu pada 6 jam sampai dengan 3
hari pasca persalinan, pada hari ke 4 sampai dengan hari ke 28 pasca
persalinan.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2015 adalah 964 orang
dari 964 ibu bersalin. Ini menunjukan bahwa pelayanan ibu nifas
sudah 100% dilaksanakan oleh tenaga kesehatan. Dibandingkan
dengan target SPM tahun 2015 maka sudah tercapai yaitu 90%.

f.

Ibu hamil mendapat tablet besi


Penanggulangan anemi pada ibu hamil dilaksanakan dengan
program penanggulangan anemia dengan memberikan 90 tablet Fe
kepada ibu hamil selama periode kehamilannya, selain itu juga
dilakukan dengan pemberian tablet tembah darah yaitu preparat Fe
yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, remaja
putri, dan wanita usia subur.
Berdasarkan tabel 32 data yang dipeoleh, jumlah ibu hamil di
Kecamatan Kebasen tahun 2015 sebanyak 1.007 orang., yang
mendapatkan tablet Fe ( 90 tablet ) sebanyak 1022 orang atau 101,49
%.

14

Jika dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya jumlah ibu


hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2014 sebanyak 1019 orang, yang
mendapatkan tablet Fe ( 90 tablet ) sebanyak 993 orang atau 97,45 %.
Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan di tahun 2015 dalam
pemberian tablet tambah darah (Fe) dibandingkan tahun 2014.
Kondisi di atas bila dibandingkan dengan

SPM ( 90% ) sudah

mencapai target.
g.

Neonatus dengan komplikasi yang ditangani


Neonatus dengan komplikasi yang ditangani adalah neonatus
komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan kesehatan. Perhitungan
sasaran neonatus dengan komplikasi dihitung berdasarkan 15% dari
jumlah bayi baru lahir. Indikator ini mengukur kemampuan
managemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara professional kepada neonatus dengan komplikasi.
Tahun 2015 perkiraan neonatus dengan komplikasi sebanyak
143 dari jumlah komplikasi neonatus komplikasi ditangani sebesar
218 atau 152%. Dibandingkan dengan tahun 2014 terdapat perkiraan
jumlah neonatus risti sebanyak 144 dari neonatal risti yang ditangani
sejumlah 194 atau 135%. Dibandingkan tahun 2014 mengalami
kenaikan di tahun 2015, dengan ini diharapkan karena masih
tingginya angka neonatal dengan komplikasi, seluruh paramedis baik
bidan maupun perawat, tenaga medis dan juga tim PONED puskesmas
untuk

selalu

update

kebidanan

untuk

melatih

skill

dalam

penatalaksanaan neonatal dengan komplikasi.


2. Pelayanan Keluarga Berencana
Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi terjadinya
kehamilan sehingga peluang wanita untuk melahirkan menjadi cukup
tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang wanita biasanya antara
15 49 tahun . Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau
menjarangkan kelahiran, wanita / pasangan ini lebih diprioritaskan untuk
menggunakan alat/ cara KB.

15

Berdasarkan data yang dihimpun pada tabel 35, tahun 2015 jumlah
pasangan usia subur (PUS) berdasarkan sumber dari Badan Pemberdayaan
Masyarakat Perempuan dan KB sebesar 11449 pasangan. Jumlah PUS
tahun 2014 sebesar 13859 sehingga mengalami penurunan.
Jika kita perhatikan tabel 35 bahwa jumlah PUS tertinggi terdapat di
desa Cindaga yaitu sebanyak 2.052 yang sebelumnya juga di desa
Cindaga. Peserta KB aktif pada tahun 2014 sebesar 7764 atau 67,8 % .
Sedangkan tahun 2013 sebesar 10473 atau 75,6% sehingga jumlah peserta
KB aktif mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan menurunnya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap KB yang berpengaruh besar terhadap
kualitas generasi yang dilahiran dan pengaruh terhadap kesehatan ibu
hamil, dengan semakin banyak anak semakin besar resiko yang dihadapi
pada saat kehamilan atau dikarenakan kurang aktifnya pemegang program
dalam promosi tentang kualitas KB.
3. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi
umur 0 1 tahun ( BCG, DPT, Polio, Campak, HB ) imunisasi untuk
wanita usia subur/ ibu hamil (TT) dan imunisasi untuk anak sekolah
SD( kelas 1 : DT, dan kelas 2-3 : TD ).
Jumlah desa di Kecamatan Kebasen sebanyak 12 desa. Desa
Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2015 berdasarkan tabel
41 sebanyak 12 desa atau 100%. Dibandingkan tahun 2014 desa UCI
sebanyak 12 desa atau 100% berarti sama. Terget SPM untuk desa UCI
tahun 2015 sebesar 100% . Dengan demikian Kecamatan Kebasen pada
tahun 2015 sudah memenuhi target SPM.
D. Analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT)
1. Strength
Aspek kekuatan dari program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam
penemuan dan pencegahan BBLR terdapat pada aspek input dan aspek
proses (perencanaan).

16

Input
a. Man
Puskesmas Kebasen memiliki 3 dokter umum, 12 perawat umum,
dan 24 bidan desa yang masing-masing terfokus pada satu desa
berdasarkan data profil Puskesmas Kebasen. Dalam pelaksanaan seharihari di Puskesmas Kebasen, terdapat 1 bidan desa yang berpengalaman
dalam menjalankan program KIA terutama penemuan dan pencegahan
BBLR.
b. Money
Sumber dana dalam pelaksanaan program KIA BBLR sudah
disiapkan dari pemerintah, yaitu sumber Dana Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) dan Badan Layanan Umum Daerah. Dana BOK
berasal dari Kementerian Kesehatan. Sumber dana ini dapat digunakan
untuk kegiatan promotif dan preventif seperti penyuluhan, kegiatan
posyandu dan dapat digunakan untuk menambah sarana dan prasarana
Puskesmas Kebasen untuk program KIA.
c. Material
Puskesmas Kebasen memiliki sarana dan prasarana untuk
menangani kegawatan yang dapat terjadi pada BBLR, karena
Puskesmas Kebasen merupakan puskesmas yang melayani PONED
(Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar), peralatan
laboratorium sederhana yang lengkap, 12 Poliklinik Kesehatan Desa
(PKD), serta 78 posyandu guna pencegahan BBLR.
d. Metode
Metode kegiatan program KIA BBLR di Puskesmas Kebasen
meliputi kegiatan yang dilakukan di dalam puskesmas maupun di luar
puskesmas. Kegiatan di dalam puskesmas seperti penemuan kasus
BBLR pada ibu hamil yang melahirkan di Puskesmas maupun
pelaporan ibu melahirkan BBLR di luar puskesmas tetapi ibu hamil
tersebut tinggal di wilayah kerja puskesmas. Upaya pencegahan BBLR
di puskesmas meliputi deteksi dini anemia pada ibu hamil yang menjadi
faktor risiko terjadinya BBLR, pemberian suplementasi Fe pada saat
17

kegiatan Ante Natal Care (ANC) dan Pemberian Makanan Tambahan


(PMT) bagi ibu hamil dengan ukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) <
23,5 cm. Kegiatan di luar puskesmas meliputi kegiatan posyandu rutin
yang dilaksanakan di masing-masing desa. Kegiatan luar lainnya adalah
penyuluhan kesehatan ibu hamil yang sasarannya adalah kader
posyandu di tiap desa.
e. Minute
Kegiatan program KIA dalam penemuan dan pencegahan BBLR
baik kegiatan di dalam puskesmas maupun di luar puskesmas sudah
rutin dilakukan. Kegiatan di dalam puskesmas untuk menemukan kasus
BBLR dilakukan setiap hari selama 24 jam pada saat pertolongan
persalinan. Sedangkan, untuk pencegahan BBLR dilakukan setiap hari
(jam kerja) saat pelayanan KIA di puskesmas. Kegiatan di luar
puskesmas seperti posyandu sudah rutin dilakukan setiap satu bulan
sekali di masing-masing desa.
f. Market
Sasaran kegiatan program KIA dalam pencegahan BBLR adalah
ibu hamil di setiap desa di wilayah kerja Puskesmas Kebasen sedangkan
untuk penemuan kasus BBLR yaitu ibu melahirkan yang bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kebasen.
Proses
a. Kepala puskesmas mampu melakukan kepemimpinan yang efektif dan
bertanggungjawab, cepat dan tanggap dalam pengambilan kebijakan
puskesmas.
b. Para bidan desa yang selalu melakukan update ilmu kebidanan setiap
satu bulan sekali.
c. Bidan desa secara sukarela berkonsultasi kepada dokter di Puskesmas
Kebasen dan melakukan upaya rujukan BBLR apabila diperlukan.
2. Weakness
Aspek kelemahan dari program KIA dalam penemuan dan
pencegahan BBLR terdapat pada aspek input dan proses (penggerakan dan
pelaksanaan program, serta pengawasan dan pengendalian kegiatan).

18

Input
Man: Terdapat petugas khusus di bidang KIA BBLR tetapi petugas
tersebut juga menjabat bidang lain sehingga kurang fokus.
Proses
a. Penggerakan dan pelaksanaan program
1) Belum adanya keterlibatan pemegang program promosi kesehatan
dan gizi dalam penyuluhan pencegahan BBLR. Penyuluhan hanya
dilakukan oleh program KIA.
2) Kader kesehatan di desa kurang aktif dalam menjalankan promosi
kesehatan khususnya tentang kesehatan ibu hamil sehingga informasi
kesehatan yang diperoleh dari penyuluhan kesehatan pihak
puskesmas tidak tersampaikan dengan baik kepada masyarakat
terutama ibu hamil.
3) Kurangnya kesadaran ibu hamil tentang pentingnya menjaga asupan
gizi saat kehamilan. Beberapa ibu hamil enggan mengonsumsi tablet
Fe yang sudah diberikan oleh puskesmas karena efek yang kurang
nyaman pada pencernaannya.
4) Kurangnya ketepatan waktu pelaporan kasus bagi ibu yang
melahirkan BBLR di luar puskesmas kepada pemegang program.
5) Kurangnya koordinasi yang dilakukan antara penyedia layanan
kesehatan internal maupun eksternal wilayah kerja puskesmas untuk
pelaporan dan pencatatan ibu melahirkan BBLR.
6) Konsultasi ibu hamil lintas program (BP umum, KIA, dan gizi) yang
masih belum rutin dilakukan menjadi masalah tersendiri, karena
adanya kondisi yang mengarah ke BBLR bisa tidak terdeteksi oleh
program KIA.
7) Evaluasi penyebab BBLR yang terjadi di Puskesmas Kebasen tidak
dilakukan oleh pemegang program.
b. Pengawasan dan pengendalian kegiatan
Pengawasan dan pengendalian kegiatan di tingkat puskesmas dan dinas
kesehatan Banyumas sudah baik, hanya saja kurangnya pengawasan

19

dari tingkat tiap desa di Kecamatan Kebasen. PKD yang sudah ada di
masing-masing desa juga belum berjalan secara optimal.
Output
Pada tahun 2014, jumlah kasus BBLR yaitu sebanyak 19 kasus,
sedangkan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat hampir tiga kali lipat
yaitu sejumlah 52 kasus (5,2%). Hal ini belum mencapai target penemuan
kasus yaitu 3%.
3. Opportunity
a. Adanya pedoman dari pemerintah tentang perencanaan SDM minimal
yang harus dimiliki oleh puskesmas.
b. Adanya bantuan dana operasional dari BLUD.
c. Bantuan sarana dan prasarana dari Kemenkes seperti buku KIA yang
membuat proses pemantauan KIA pada ibu hamil menjadi lebih
terstruktur dan mudah dievaluasi.
d. Adanya sistem rujukan yang relatif lebih konsisten dan terstruktur
semenjak adanya program BPJS kesehatan.
4. Threats
a. Ibu hamil yang memiliki keterbatasan dana terutama dalam pembiayaan
kesehatan (bagi yang tidak memiliki asuransi kesehatan).
b. Ibu hamil yang memiliki keterbatasan akses fasilitas kesehatan
(transportasi, lokasi).
c. Mayoritas tingkat pendidikan ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas
Kebasen berada di tingkat rendah (kurang dari 9 tahun yaitu SD dan
SMP) sehingga mempengaruhi daya tangkap informasi yang diberikan
saat penyuluhan.
d. Mayoritas akses informasi belum digunakan dengan baik, terlihat dari
rendahnya pengetahuan yang dimiliki ibu hamil tentang faktor risiko
terjadinya BBLR.
e. Kurangnya motivasi mayoritas ibu hamil untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penyuluhan di posyandu.
f. Terhambatnya pencairan dana BOK pada tahun ini sehingga sedikit
menghambat jalannya berbagai kegiatan program KIA.

20

III. PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


A. Pembahasan Isu Strategis
Adanya jumlah peningkatan kasus BBLR yang cukup signifikan
dari tahun 2014 yaitu sejumlah 19 kasus menjadi 52 kasus pada tahun 2015
menunjukkan belum maksimalnya program KIA terutama penemuan dan
pencegahan BBLR di Puskesmas Kebasen. Berdasarkan hasil analisis
SWOT, terdapat beberapa permasalahan yang berhasil diidentifikasi antara
lain : pemegang program yang juga memiliki tanggung jawab dibidang lain
sehingga kurang fokus, belum terlibatnya program promkes dan gizi dalam
memberikan penyuluhan, kader kesehatan di desa kurang aktif dalam
menjalankan promosi kesehatan khususnya tentang kesehatan ibu hamil.
Informasi kesehatan yang diperoleh kader dari penyuluhan
kesehatan pihak puskesmas tidak tersampaikan dengan baik kepada
masyarakat terutama ibu hamil. Faktor lain yang ikut berperan yaitu
kurangnya kesadaran ibu hamil tentang pentingnya menjaga asupan gizi saat
kehamilan. Beberapa ibu hamil enggan mengonsumsi tablet Fe yang sudah
diberikan oleh puskesmas karena efek yang kurang nyaman pada
pencernaan. Tablet Fe yang diberikan kepada ibu hamil bertujuan untuk
mencegah dan mengatasi anemia yang terjadi saat kehamilan serta sebagai
penambah asupan gizi asam folat karena bentuk sediaan tablet Fe juga
mengandung asam folat. Anemia yang tergolong sedang-tinggi pada saat
kehamilan merupakan faktor potensial terjadinya BBLR.
Pelaporan kasus ibu yang tinggal di wilayah kerja puskesmas tetapi
melahirkan BBLR di luar puskesmas yang kurang tepat waktu kepada
pemegang program juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan program ini.
Hal ini dimungkinkan karena kurangnya koordinasi yang dilakukan antara
penyedia layanan kesehatan internal maupun eksternal wilayah kerja
Puskesmas Kebasen. Di sisi pengawasan dan pengendalian kegiatan tingkat
puskesmas dan Dinas Kesehatan Banyumas sudah tergolong baik, hanya
saja kurangnya pengawasan dari tingkat tiap desa di Kecamatan Kebasen.

21

Evaluasi penyebab kasus BBLR yang terjadi juga tidak dilakukan oleh
pemegang program.
PKD yang sudah ada di masing-masing desa belum berjalan secara
optimal, karena seringkali tidak melakukan pelayanan. Hal tersebut dapat
terjadi ketika bidan desa sedang berada di puskesmas atau melaksanakan
program lain. Faktor ancaman (threat) dari ibu hamil berupa keterbatasan
dana terutama dalam pembiayaan kesehatan (bagi yang tidak memiliki
asuransi kesehatan), keterbatasan akses fasilitas kesehatan (transportasi,
lokasi yang jauh), tingkat pengetahuann yang rendah dan kurangnya
motivasi ibu hamil untuk berpartisipasidalam penyuluhan di tingkat
kecamatan/desa.
Adapun konsultasi ibu hamil lintas program (BP umum, KIA, dan
Gizi) yang masih belum rutin dilakukan menjadi masalah tersendiri, karena
adanya kondisi yang mengarah ke BBLR bisa tidak terdeteksi oleh program
KIA saja. Semestinya, ibu hamil tetap harus dilihat secara holistik dan
komprehensif sebagai seorang subyek yang memiliki berbagai aspek
kesehatan dan harus ditinjau secara seksama.
Dari aspek kekuatan (strength), puskesmas memiliki 3 dokter
umum, 24 bidan yang tersebar di masing-masing desa, 1 petugas gizi dan
lain-lain. Puskesmas Kebasen juga merupakan rujukan yang melayani
PONED. Ada 78 posyandu di masing-masing desa yang melakukan kegiatan
rutin setiap satu bulan sekali. Upaya pencegahan BBLR yang dilakukan saat
ANC meliputi deteksi anemia pada saat kehamilan dengan pemeriksaan Hb,
pemberian suplementasi tablet Fe, dan program PMT bagi ibu hamil dengan
ukuran LiLA < 23,5 cm. Para bidan desa juga selalu melakukan update ilmu
kebidanan dengan melakukan pertemuan rutin setiap satu bulan sekali.
Sedangkan

untuk

aspek

peluang

(opportunity),

puskesmas

mendapat bantuan dana BLUD yang dapat digunakan untuk pengadaan


sarana prasarana dan mengadakan penyuluhan. Buku pedoman KIA yang
diberikan Kementerian Kesehatan dapat digunakan untuk memonitor
kesehatan ibu hamil secara lebih terstruktur sehingga mudah dievaluasi.

22

Dengan program BPJS kesehatan yang diselenggarakan pemerintah, sistem


rujukan di puskesmas menjadi lebih terstruktur.
B. Alternatif Pemecahan Masalah
Beberapa alternatif pemecahan masalah yang kami ajukan adalah sebagai
berikut.
1. Penambahan tenaga kesehatan (bidan) untuk memegang program KIA
terutama mengenai penemuan dan pencegahan BBLR sehingga lebih
2.

fokus dan terarah.


Melibatkan program promosi kesehatan (promkes), gizi, dan KIA dalam

3.

memberikan penyuluhan pencegahan dan deteksi dini BBLR.


Menambah frekuensi penyuluhan yang melibatkan program promkes,
KIA, dan gizi tentang faktor risiko BBLR kepada kader dan ibu hamil
tentang:
a. perencanaan kehamilan (usia reproduksi sehat 20-34 tahun)
b. nutrisi saat hamil (jenis makanan yang dianjurkan, frekuensi makan

4.

c.
d.
e.

lebih banyak atau 1 kali lebih banyak dari sebelum hamil)


pentingnya memeriksakan kehamilan secara teratur.
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan.
tanda-tanda yang perlu diperhatikan saat kehamilan (kenaikan

f.

berat-badan <1 kg per bulan).


menghindari kerja berat yang melelahkan dan istirahat yang cukup

selama hamil.
Pemberian penyuluhan pencegahan BBLR dilakukan secara menarik
(pemberian doorprize) dan bahasa sesederhana mungkin supaya

5.

informasi yang diberikan lebih mudah dipahami dan diingat ibu hamil.
Pemberian reward bagi kader kesehatan yang melakukan upaya

6.

promosi kesehatan ibu dan anak kepada ibu hamil seperti penyuluhan.
Pemberian edukasi kepada ibu hamil yang enggan mengonsumsi tablet
Fe tentang waktu minum tablet tersebut yaitu setelah makan malam dan
sebelum tidur malam untuk mengurangi efek pada saluran pencernaan

7.

(mual) dari tablet Fe.


Melakukan analisis penyebab kasus BBLR yang terjadi secara

8.

berkesinambungan oleh pemegang program.


Pemegang program secara aktif melakukan follow up pelaporan kasus
BBLR pada bidan desa, dan penyedia layanan kesehatan lain di dalam
maupun luar wilayah kerja puskesmas.

23

9.

Meningkatkan koordinasi dengan melakukan rapat koordinasi dengan


kader posyandu, bidan desa, dan dinas kesehatan setiap satu bulan

sekali.
10. Menggalakan konsultasi ibu hamil lintas program (BP umum, KIA dan
Gizi) secara rutin tanpa menunggu adanya keluhan dari ibu hamil. Ibu
hamil yang berisiko harus cepat dilaporkan, dipantau, dan dirujuk ke
pelayanan kesehatan yang lebih mampu apabila diperlukan.
11. Memperluas cakupan program PMT bagi ibu hamil berisiko melahirkan
BBLR.
12. Mengoptimalkan

potensi

PKD

dalam

menjaring

ibu

berisiko

melahirkan BBLR dengan meningkatkan jam pelayanan.

24

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Program kesehatan yang masih memiliki masalah dalam pelaksanaan
dan pencapaiannya adalah program KIA terutama penemuan dan
pencegahan BBLR karena jumlah kasusnya mengalami peningkatan
signifikan dari 19 kasus pada 2014 menjadi 52 kasus pada 2015.
2. Beberapa hal yang menjadi sebab kurang tercapainya program KIA
BBLR di Puskesmas Kebasen adalah :
a. Kurangnya sumber daya manusia untuk menemukan dan mencegah
BBLR secara khusus.
b. Belum terlibatnya program promkes dan gizi dalam memberikan
penyuluhan tentang BBLR.
c. Kader kesehatan di desa kurang aktif dalam menjalankan promosi
kesehatan khususnya tentang kesehatan ibu hamil.
d. Kurangnya kesadaran ibu hamil tentang pentingnya menjaga
asupan gizi saat kehamilan.
e. Pemegang program tidak melakukan analisis mengenai penyebab
kasus BBLR yang terjadi.
f. Pelaporan kasus BBLR yang tidak tepat waktu kepada pemegang
program.
g. Koordinasi yang kurang antara penyedia layanan kesehatan internal
maupun eksternal wilayah kerja puskesmas untuk pelaporan dan
pencatatan ibu melahirkan BBLR.
h. Konsultasi ibu hamil lintas program (BP umum, KIA, dan gizi)
yang masih belum rutin dilakukan.
i. Mayoritas tingkat pengetahuan ibu hamil yang rendah tentang
kesehatan ibu dan anak.
j. Kurangnya motivasi ibu hamil untuk ikut serta dalam penyuluhan
yang dilakukan di posyandu atau desa.
k. PKD yang sudah ada di masing-masing desa juga belum berjalan
secara optimal.

25

B. Saran
1.

Penambahan tenaga kesehatan (bidan) yang secara khusus memegang

2.

program KIA terutama mengenai penemuan dan pencegahan BBLR.


Melibatkan program promosi kesehatan (promkes), gizi, dan KIA

3.

dalam memberikan penyuluhan pencegahan dan deteksi dini BBLR.


Pemberian reward bagi kader kesehatan yang melakukan upaya

4.

promosi kesehatan ibu dan anak kepada ibu hamil seperti penyuluhan.
Pemberian edukasi kepada ibu hamil yang enggan mengonsumsi tablet

5.

Fe.
Pemegang program secara aktif melakukan follow up pelaporan kasus
BBLR pada bidan desa, dan penyedia layanan kesehatan lain di dalam

6.

maupun luar wilayah kerja puskesmas.


Rapat koordinasi dengan kader posyandu, bidan desa, dan dinas

7.

kesehatan setiap satu bulan sekali.


Melakukan analisis penyebab kasus BBLR yang terjadi secara

8.

berkesinambungan oleh pemegang program.


Melakukan konsultasi ibu hamil lintas program (BP umum, KIA dan

9.

Gizi) secara rutin tanpa menunggu adanya keluhan dari ibu hamil.
Menambah frekuensi penyuluhan faktor risiko BBLR kepada kader
dan ibu hamil tentang perecananaan kehamilan, nutrisi saat hamil,
pentingnya memeriksakan kehamilan secara teratur, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan, tanda-tanda yang perlu
diperhatikan saat kehamilan (kenaikan berat-badan <1 kg per bulan),
menghindari kerja berat yang melelahkan dan istirahat yang cukup

selama hamil.
10. Pemberian penyuluhan pencegahan BBLR dilakukan secara menarik
(pemberian doorprize/arisan) dan sederhana.
11. Memperluas cakupan program PMT bagi ibu hamil berisiko
melahirkan BBLR.
12. Mengoptimalkan potensi PKD dalam menjaring ibu berisiko
melahirkan BBLR dengan meningkatkan jam pelayanan.

26

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah untuk
Bidan di Desa. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu
dan Anak.
Kementerian Kesehatan RI. 2013.Data Dasar Puskesmas. Jakarta: Kemenkes RI.
Mahayana, S.A.S., E. Chundrayetti., Yulistini. 2015. Faktor Risiko yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 4: 664-673 (diunduh
tanggal 18 April 2016).
Pramono, M.S. G. Putro. 2009. Risiko Terjadinya Berat Bayi Lahir Rendah
Menurut Determinan Sosial, Ekonomi Dan Demografi di Indonesia.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 12: 127-132 (diunduh tanggal 18
April 2016).
Zahtamal., T. Restuastuti., F. Chandra. 2011. Analisis Faktor Determinan
Permasalahan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional. 6: 9-16 (diunduh tanggal 20 April 2016).
Puskesmas Kebasen. 2015. Profil Puskesmas Kebasen. Kebasen: Puskesmas
Kebasen.

27

Anda mungkin juga menyukai