Anda di halaman 1dari 11

RESUME KEPERAWATAN KRITIS

(ALI, ARDS, Dan TRAUMA TORAKS)

FISKA OKTORI
220110120116

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
2016

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Dan Acute Lung Injury (ALI)
Defenisi ARDS & ALI
Perburukan keadaan paru yang akut bias karena infeksi, infiltrasi seluruh lapang paru, dan
hipoksemia.
Merupakan syndrome yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler
terhadap air, larutan, dan protein plasma,disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan
yang mengandung protein dalam parenkim paru.
ALI ( Acute Lung Injury) digunakan dalam mendefenisikan ARDS namun dalam bentuk hal
yang lebih ringan.
ARDS didefensikan oleh komite konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 1994:
Gagal nafas (respiratory failure/distress) dengan onset akut
Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang di inspirasi
(PaO2/FIO2)< 200mmHg Hipoksemia berat
Radiografi torak: infiltrasi alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru
Tekanan baji kapiler pulmuner (pulmonary capillary wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa
tanda klinis (Ro dll) adanya hipertensi atrial kiri (tanpa adanya tanda gagal jantung kiri)
Bila PaO2/FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut sebagai Acute Lung Infury (ALI).
Acute Lung Infury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi klinis sebagai
kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler
paru.
Dapat dikatakan ARDS ada kriteria yang harus di penuhi:

Kerusakan primer pada paru itu sendiri


Kerusakan terjadi selama 24-48 jam pertama
Kelainan paru ini bersifat ekstensif, progresif, dan bilateral
Terjadi kegagalan pertukaran udara di paru harus berlangsung secara akut dan
bermanifestasi sebagai hiposekmia.

Tanda dan Gejala ARDS: dipsnea, takipnea, takikardi, kegelisahan, dan ansietas. Gagal nafas
meningkat dan pasien menunjukkan disfungsi multiorgan.
Tanda dab Gejala ALI: peningkatan frekuensi pernafasan, pernafasan dangkal, penggunaan
otot bantu nafas, dan perubahan tingkat kesadaran.
Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vital
TD

meningkat atau menurun sebagai respons terhadap hipoksemia atau gangguan

hemodinamik
FJ
meningkat atau menurun sebagai respons terhadap hipoksemia
P
>30x/menit
Neurologis
kegelisahan, agitasi, penurunan sensorium
Pulmoner
batuk, krekels inspirasi halus, penggunaan otot bantu nafas

Pemeriksaan Diagnostik

Gas Darah Arteri (GDA)


PaO2 < 60mmHg, tidak berespon terhadap terapi oksigen
Radiografi Dada
Normal selama 12 sampai 24 jam pertama setelah distress pernafasan terjadi.
Abnormalitas yang paling awal terlihat adalah infiltrate sebagian, bilateral, intertistial,
dan alveolar. Jika pasien membaik, tampilan radiogarfi mungkin kembali normal. Ketika

penyakit bertambah parah, infiltrate alveolar akan membentuk konsilidasi difus.


Fungsi Paru
Komplians <50 ml/cm H2O
Penurunan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity FRC)
Fraksi pirau (Qs/Qt) >5%
Ventilasi ruang hampa (Vd/Vt) >0,45
Gradien alveolar-arteral(P[A-a]O2) >15 mmHg pada suhu kamar atau >50mmHg pada
oksigen 100%
PaO2/FIO2 200 mmHg
PAWP 18mmHg

Patofisiologi ARDS
Perubahan yang dialami paru, baik klinis, radiologi, maupun patologi dapat digambarkan sebagai
berikut:

Rusaknya endotel

Peningkatan permeabilitas membrane

Alveoli penuh cairan

Makrofag

Sitokinase

Berkumpulnya leukosit

Neutrophil

Dikeluarkanya protease + membebaskan zat oksigen reaktif

Mikroemboli di seluruh lapang paru terganggunya pertukaran gas

Infiltrate yang luas

Kerusakan yang luas

Sel-sel epitel multiplikasi

Proliferasi fibroblast

Pembentukan jaringan ikat


Stiff lung (paru menjadi keras seperti batu karang)

Difusi gas mengalami gangguan

Pasien memerlukan oksigen dalam konsentarsi tinggi dan ventilatormembaik

Tetap ekstensif

Faal paru kembali


normal

meninggal
Terapi Farmakologi
ARDS tidak ada pengobatan secara farmakologi, tujuan dilakukan pengobatan untuk
tindakan pencegahan penyakit paru primer. Salah satu cara untuk mengatasi terjadinya kegagalan
pernafasan adalah dengan menggunakan ventilator dengan siklus volume yang dapat
memberikan frekuensi yang tinggi dan dengan volume kecil, serta dapat menjaga volume tidal
tetap 7-10 cc/kg BB dengan kecepatan pernapasan antara 15-25 kali/menit.
Dx

: gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoventilasi, peningkatan

pirau pulmoner, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, atau gangguan difusi.


Kriteria hasil :

pasien sadar dan terorientasi


paru-paru bersih saat diauskultasi
PaO2 80-100 mmHg ( atau dalam batas normal pada pasien PPOK)
pH 7,35-7,45
PaCO2 35-45 mmHg
Saturasi O2 95%
SVO2 60%-80%
TDS 90-140 mmHg
MAP 70-105 mmHg
FJ 60-100 kali/mnt
P 12-20 kali/mnt, eupnea

Penatalaksanaan:
1. Berikan terapi oksigen sesuai instruksi; biasanya pasien PPOK akan membutuhkan
cabang nasal atau masker venture.
2. Bantuan pasien untuk mengatur posisi yang meningkatkan ekskursi dada. Hubungkan
efek perubahan posisi dengan saturasi oksigen untuk menentukan posisi yang
menigkatkan oksigenasi.
3. Antisipasi ventilasi tekanan positif noninvasive untuk gagal nafas hipoksemia akut,
edema paru kardiogenik akut, atau gagal nafas akut-kronis. Terapi ini dapat mencegah
intubasi. Terapi ini bermanfaat pada pasien yang mempunyai sedikit sekresi, kondisi
hemodinamik yang stabil, dan mempunyai penyebab gagal nafas yang dapat cepat
sembuh.
4. Inhalasi -agonis (albuterol) dapat diberikan melalui inhalasi untuk mengurangi
bronkokonstriksi.
5. Agen antikolinergik (ipratropium bromida) dapat diberikan melalui inhalasi untuk
menurangi bronkokonstriksi.
6. Korstikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi respons inflamasi pada pasien dengan
penyakit paru.
7. Lakukan tindakan dengan tenang dan kurangi tenangkan pasien yang cemas dan takut
karena kecemasan dan ketakutan dapat meningkatkan dyspnea.
8. Kurangi kebutuhan oksigen dengan melakukan aktivitas secara bertahap dan
menjadwalkan waktu istirahat untuk pasien. Kurangi ansietas, nyeri, dan demam serta
berikan sedatif kepada pasien jika perlu, dengan memantau fungsi pernafasan secara
ketat.
9. Lakukan hygiene paru: fisioterapi dada, drainase postural, serta nafas dalam dan batuk.
Lakukan pengisapan sekresi jika batuk pasien tidak efektif.
Trauma Toraks
Defenisi
Cedera pada struktur toraks atau dada dapat disebabkan oleh cedera tumpul atau cedera penetrasi
Etiologi
Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 , berdasarkan tingkat
energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energy rendah, berenergi sedang dengan

kecepatankurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh karena proyektil
berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik.
Akibat yang terjadi pada suatu trauma toraks didasarkan atas faktor-faktor sebagai berikut:

Jenis trauma, yakni:


Trauma tumpul
Trauma tajam
Jaringan yang terkena , yakn:
Jaringan lunak, misalnya jantung, paru, dan pembuluh darah besar
Jaringan tulang, misalnya iga, klavikula, dan sternum.

Komplikasi
a. Hemotoraks dan tamponade jantung. Perlu tindakan aspirasi segera.
b. Shock (renjatan) akibat pendarahan. Karena pada toraks terdapat pembuluh darah besar
maka prognosis dari trauma toraks ditentukan oleh tiga hal:
Tipe pembuluh darah yang rupture
Kecepatan transfuse yang diberikan
Cepatnya tindakan toraktomi yang dilakukan.
Penatalaksanaan
Dx

: gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-

perfusi, penurunan komplians, ventilasi yang tidak adekuat


Kriteria hasil:

Pasien sadar dan berorientasi


PaO2 80-100 mmHg
pH 7,35-7,45
PaCO2 35-45 mmHg
Saturasi O2 95%
P 12-20 kali/menit, eupnea
P[A-a]O2 0,75-0,90
Qs/Qt<5 %
Ventilasi permenit < 10 L/mnt

Pemantauan Pasien:
1. Pantau EKG secara kontinu karena hipoksemia merupakan faktor risiko distritmia

2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri nadi (SPO2) secara kontinu. Waspadai
intervensi dan aktivitas pasien yang dapat berpengaruh buruk pada saturasi oksigen
3. Pantau CO2 tidal-akhir kontinu dengan menggunakan kapnografi (jika dapat dilakukan)
untuk megevaluasi keadekuatan ventilasi (dapat juga digunakan untuk memilih peralatan
ventilator dan menghitung berbagai parameter oksigenasi).
4. Pantau fungsi paru dengan meninjau ventilasi permenit serial, menghitung berbagai pirau
fisiologis (Qs/Qt), atau menghitung rasio tekanan oksigen arteral-alveolar P(a/A) O2
5. Pantau SAP (jika dapat dilakukan) karena hipoksemia dapat meningkatkan tonus simpatis
dan meningkatkan vasokonstriksi paru. Pantau ITVP
6. Pantau system drainase dada, yang digunakan untuk mengalirkan udara atau cairan dari
rongga pleura. Catat drainase setiap jam; konsultasikan dengan dokter jika drainase >200
ml/jam. Jika drainase mendadak berhenti, periksa pasien dan system-tension pnemotoraks
dapat terjadi
Pengkajian Pasien
1. Kaji status pernafasan dan deservasi adanya distress gawat nafas dan peningkatan usaha
bernafas pasien: P>30 kali/menit; gerakan paradoksiakal pada lubung iga dan abdomen;
dan adanya retraksi interkosta dan supraklavikula. Auskultasi paru-paru dan catat
berbagai suara paru tambahan atau berkurangnya suara paru.
2. Kaji tanda dan gejala hipoksia: peningkatan kegelisahan, peningkatan keluhan dyspnea,
dan perubahan tingkat kesadaran. Sianosis merupakan tanda akhir.
3. Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis
Pengkajian Diagnostik
1. Tinjau GDA untuk mengetahui kecendrungan penurunan PaO2, meskipun terjadi
peningkatan FIO2. Hal ini dapat menunjukan ARDS, yang dapat berkembang saat terjadi
cedera paru. (misal: flail chest,konstusio paru)
2. Tinjau radiografi dada serial atau CT scan untuk mengevalusi kemajuan pasien atau
kondisi paru yang memburuk dan memeriksa pemasangan slang dada dan kateter
invasive yang lain
3. Tinjau kadar Hb dan Ht karena penurunan Hb dapat berpengaruh buruk pada kapasitas
pembawa oksigen.
Penatalaksanaan pasien

1. Berikan oksigen tambahan. Persentase oksigen dan system pengiriman oksigen


berdasarkan GDA, SpO2, dan status pernafasan pasien.
2. Tingkatkan hygiene paru dengan menggunakan spirometri insentif, fisioterapi dada,
terapi batuk dan nafas dalam, dan perubahan posisi dalam 2 jam. Catat warna dan
konsistensi sputum. Pasien dengan gangguan nafas pola nafas yang mengalami
imobilisasi dan tidak mampu batuk secara efektif beresiko mengalami atelectasis dan
retensi sekresi. Antisipasi terapi antibiotic untuk menangani infeksi paru.
3. Jika pasien mengalami gawat nafas, siapkan intubasi dan ventilasi mekanis. Mode
ventilasi yang tidak konvensional dapat dilakukan jika ventilasi dan pertukaran gas tidak
membaik.
4. Flail chest : ventilasi tekanan positif dengan PEEP atau ventilasi bantuan tekanan
mungkin diperlukan untuk membidai bagian dalam dinding dada.
5. Pnemotoraks terbuka: balut luka dengan balutan steril, dengan memberi plester hanya
pada tiga sisi. Jenis balutan ini memungkinkan udara keluar, terapi udara tersebut tidak
masuk kembali ke rongga pleura. Lanjutkan mengkaji pasien untuk mengetahui adanya
tension pneumotoraks.
6. Rupture diafragma dan esophagus: antisipasi pemasangan NG untuk dekompresi
lambung dan mengurangi risiko terkontaminasinya toraks. Antisipasi terapi antibiotic.
7. Siapkan pasien untuk bedah perbaikan struktur yang cedera.
Dx

: ketidakefektifan perfusi jaringan yang berhubungan dengan penurunan curah

jantung sekunder, akibat kehilangan darah, perkembangan tension pnemototaks, distitmia,


kontusio jantung
Kriteria hasil:

Pasien sadar dan berorientasi


Kulit hangat dan kering
Denyut nadi perifer kuat
FJ 60-100 kali/menit
Tidak ada disritmia yang mengancam jiwa
TDS 90-140 mmHg
MAP 70-105 mmHg
P 12-20 kali/menit, eupnea
Haluaran urine 30 ml/jam atau 0,5-1 ml/kg/jam
Saturasi oksigen 95%
Hb 13-18 g/dL (pria); 12-16 g/dL (wanita)
CVP 2-6 mmHg

IJ 2,5-4 L/mnt/m2
Do2I 500-600 ml/mnt/m2
Vo2I 115-165 ml/mnt/m2
Penatalaksaan Pasien:
1. Masukan kateter IV berdiameter besar untuk memberikan kristaloid dan produk darah
sesuai instruksi untuk mempertahankan volume intravaskuler dan menggantikan
kehilangan darah. Autotranfusi dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan toraks.
Ukur tekanan PA, CVP (jika dapat dilakukan), dan TD untuk mengevalusi keefektifan
resusitasi cairan.
2. Kontusio paru : batasi cairan IV kecuali pasien dalam kondisi syok. Pemberian cairan
secara cepat dapat meningkatkan tekanan hidrostatikdan menyebabkan edema paru.
Produk

darah

dapat

diberikan

untuk

menggantikan

kehilangan

darah

dan

mempertahankan tekanan onkotik.


3. Jika dicurigai terjadi tension pneuotoraks, penangaanan segera dengan dekopmpresi
jarum dan pemasangan slang dada diperlukan.
4. Waspadai faktor risiko disritmia: anemia, hipovolemia, hipotensi, hipotermia,
hypokalemia, hyperkalemia, hipomagnesemia, asidosis, dan penurunan tekanan perfusi
coroner. Tangani disretmia yang mengancam jiwa sesuai dengan algoritme dukungan
hidup jantung tahap lanjut (advanced cardiac life support, ACLS).
Dx

: Nyeri akut yang berhubungan dengan struktur tubuh yang cedera

Kriteria hasil : pasien menyatakan penurunan nyeri


Penatalaksanaan pasien:
1. Berikan obat sesuai instruksi, dengan mengevalusi efeknya pada control nyeri dan
pernafasan
Patofisiologi Trauma Toraks
Kecelakaan lalu lintas

Trauma (tumpul/tajam)

Fraktur igapnemotoraks

Kesulitan nafas dalam

Cemas

Pernafasan cepat dan dangkal

Pertukaran udara pada dead space

Kegagalan pernapasan

Sumber:
Rab,Tabrani.1996.Prinsip Gawat Paru,Ed.2.Jakarta:EGC
Major Trauma Emergency

Anda mungkin juga menyukai