Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS STASE 6 PROGRAM POKOK PUSKESMAS

PENINGKATAN PROGRAM P2M TUBERKULOSIS PARU


DI PUSKESMAS 2 TAMBAK

Disusun Oleh
Zhita Wahyu Agrinartanti

G4A014051

Rizka Amalia Fulinda

G4A014052

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITASILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
OKTOBER 2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS STASE 6 PROGRAM POKOK PUSKESMAS
PERMASALAHAN TUBERKULOSIS PARU PADA PROGRAM P2M
DI PUSKESMAS 2 TAMBAK

Disusun untuk memenuhi syarat dari


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas /
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh
Zhita Wahyu Agrinartanti

G4A014051

Rizka Amalia Fulinda

G4A014052

Telah dipresentasikan dan disetujui


Tanggal

Oktober 2015

Pembimbing Lapangan

dr. Harry Widyatomo


NIP. 19821220.201001.1.016

DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan

Daftar Isi..

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Tujuan Penulisan.

C. Manfaat Penulisan...

II. ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS

III.

A. Gambaran Umum Puskesmas ....................

11

B. Input.......

13

C. Analisis SWOT . ........................................................

18

PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN ALTERNATIF PEMECAHAN


MASALAH
A. Pembahasan Isu dan Alternatif Pemecahan Masalah ..................

23

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

38

IV.

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun
1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di
seluruh dunia (Depkes RI, 2006).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara yang sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemi infeksi HIV (Depkes, 2006).
Ada sekitar delapan juta penderita baru tuberkulosis di seluruh
dunia dalam setahunnya, dan hampir tiga juta orang yang meninggal setiap
tahunnya akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi
Tuberkulosis setiap detik, dan setiap sepuluh detik ada satu orang yang mati
akibat Tuberkulosis. Banyak orang mempertanyakan gambaran tuberkulosis
di masa mendatang. Dye menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan
tuberkulosis tetap bertahan seperti sekarang, maka jumlah kasus

tuberkulosis pada 2020 akan meningkat menjadi 11 juta orang. Peneliti lain,
Pil Heu (1998) menyatakan bahwa insidens tuberkulosis akan terus
meningkat dari 8,8 juta kasus pada 1995 menjadi 10,2 juta kasus pada tahun
2000 dan 11,9 juta kasus tuberkulosis baru pada tahun 2005 (Eddy W,
2004).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB
meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada
negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar
(high burden countries). Menyikapi hal tersebut pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

Gambar 1.1. Insidens TB di dunia (WHO, 2004)


Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari jumlah total pasien
TB di dunia (Depkes, 2006). Pada tahun 2010, penemuan kasus TB Paru di
Indonesia mengalami peningkatan, tercatat sejak tahun 2006 hingga 2010
angka penemuan TB Paru di Indonesia mencapai dan mampu
mempertahankan target capaian tahun 2010 sebesar 78.3% (Kemenkes,
2010).
Pada tingkat Provinsi, penemuan kasus TB Paru tertinggi terdapat
di Provinsi Sulawesi Utara (85.2%) diikuti DKI Jakarta (81%) dan Banten
sebesar 77.7% (Kemenkes, 2009). Untuk Provinsi Jawa Tengah sendiri,
menurut data Kemenkes tahun 2010, menempati urutan ke-19 dari 33
5

provinsi. Angka kejadian TB Paru di Jawa Tengah pada tahun yang sama
sebesar 107/100.000 penduduk.
Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Jawa Tengah tahun 2014,
Tuberkulosis Paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA Positif) di antara
seluruh kasus Tuberkulosis Paru yang tercatat di Jawa Tengah, sebesar
61,09%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penemuan kasus baru
Tuberkulosis Paru di kab/kota adalah kasus baru Tuberkulosis Paru BTA
positif daripada kasus baru TB BTA Negatif dengan Rontgen Positif. Data
ini juga menunjukkan prioritas penemuan kasus tuberkulosis yang menular
di antara pasien Tuberkulosis yang diobati sudah baik (Profil Kesehatan
Jawa Tengah, 2014).
Berdasarkan

data

tersebut,

angka

penemuan

kasus

baru

Tuberkulosis Paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA Positif) yang tercatat


(Case Notification Rate/CNR BTA Positif) tahun 2014 di Jawa Tengah
sebesar 55,99 per 100.000 penduduk. Kemudian, diketahui juga bahwa
proporsi kasus baru TB Paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA Positif) di
antara seluruh kasus terduga (suspek) TB yang diperiksa dahaknya di Jawa
Tengah, sebesar 12,71%. Hal ini menunjukkan bahwa penjaringan kasus
terduga (suspek) TB di Jawa Tengah sudah baik, karena proporsi kasus
baru TB Paru BTA Positif antara 10 15% (Profil Kesehatan Jawa Tengah,
2014).
Secara garis besar, CNR untuk semua kasus TB Paru di Jawa
Tengah sebesar 89,01 per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa
penemuan kasus Tuberkulosis di Jawa Tengah mengalami penurunan
dibanding dengan tahun 2013 sebesar 114 per 100.000 penduduk (Profil
Kesehatan Jawa Tengah, 2014).
Angka kesembuhan tuberkulosis (cure rate) di Jawa Tengah hanya
sebesar 81,84%. Hal ini menunjukkan angka kesembuhan Tuberkulosis
Jawa Tengah belum memenuhi target minimal sebesar 85%. Sedangkan
angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis (Succes Rate) Jawa Tengah
sebesar 89,89%. Ini menunjukkan bahwa angka keberhasilan pengobatan
tuberkulosis sudah baik, karena mendekati target rencana strategis Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, yaitu 90% (Profil Kesehatan Jawa


Tengah, 2014).
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization
(WHO) tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and
Lung Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed
Treatment Short-course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (costefective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru
menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan
paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan
jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obatobat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu:
Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul antara lain tidak ada
nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa
terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan
fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa nekrosis
jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH,
Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan
kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan,
akibat pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996;
Sudoyo, 2007).
Dalam usaha pemberantasan penyakit TB paru, pencarian kasus
merupakan unsur yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan program
pengobatan. Hal ini ditunjang oleh sarana diagnostik yang tepat. Diagnosis
terhadap TB paru umumnya dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan klinis (dari anamnesis terhadap keluhan penderita dan hasil
pemeriksaan fisik penderita), hasil pemeriksaan foto toraks, hasil
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Mual B,
2009).
Pelayanan kesehatan saat ini lebih diarahkan secara terpadu pada
proses promotif dan preventif, tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif.
Salah satu langkah untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan

dikembangkannya sarana dan prasarana kesehatan oleh pemerintah,


diantaranya

adalah

Poliklinik

Desa

(Polindes),

Pusat

Kesehatan

Masyarakat (Puskesmas) dan Rumah Sakit (Notoatmodjo, 2003).


Selama menjalankan fungsinya, khususnya Puskesmas yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, sangat diperlukan koordinasi
terhadap semua upaya dan sarana pelayanan kesehatan yang ada di
wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya serta melaksanakan
pembinaan terhadap peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan. Dengan demikian, Puskesmas dapat menjadi pusat
pengembangan, pembinaan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang
sekaligus sebagai pos terdepan dalam pembangunan kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2020.
Sebagai Primary Health Care (PHC), Puskesmas Tambak II saat ini
harus lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai lini terdepan dalam bidang
kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, Puskesmas Tambak II sebagai salah
satu PHC harus dapat mengembangkan dan membina kesehatan
masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan
terdekat dengan masyarakat Tambak dan sekitarnya dalam bentuk kegiatan
pokok yang menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya. Salah satu
program pokok puskesmas ialah Program Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M). P2M ialah upaya untuk menurunkan dan
mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit menular.
Permasalahan yang saat ini dihadapi Puskesmas Tambak II dalam
pemberantasan TB adalah penemuan deteksi kasus BTA positif masih
rendah. Artinya penemuan kasus hanya mengandalkan pasien yang
berkunjung ke BP saja dan memiliki tanda dan gejala TB. Sementara
deteksi secara aktif dengan melibatkan masyarakat, terutama kader
kesehatan belum berjalan dengan baik.
Kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Komunitas/Ilmu
Kesehatan Masyarakat dilaksanakan selama empat minggu di wilayah
kerja Puskesmas Tambak II. Selama pelaksanaan kegiatan kepaniteraan di
bagian IKK/IKM ini telah dilakukan pengamatan secara langsung maupun

pengumpulan data sekunder dari dokumen-dokumen kesehatan yang


terdapat di Puskesmas Tambak II untuk menilai pelaksanaan dan
efektivitas program-program yang ada di Puskesmas Tambak II.
Pengamatan yang dilakukan meliputi program-program kegiatan yang
sudah diagendakan, pelaksanaan program kegiatan, evaluasi program
kegiatan, hingga target-target yang ditetapkan masing-masing program
beserta angka pencapaiannya. Terdapat beberapa permasalahan pada
masing-masing

program

Puskesmas

Tambak

II,

sehingga

perlu

dilakukannya evaluasi program agar program-program puskesmas tersebut


dapat menghasilkan output yang memuaskan.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah-masalah kesehatan yang terjadi di Puskesmas
Tambak II terkait pelaksanaan 6 Program Pokok Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
penyakit TB Paru di Puskesmas Tambak II.
b. Mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan Puskesmas Tambak II
dalam melaksanakan pemberantasan penyakit TB Paru
c. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya
pemberantasan TB Paru.
C. MANFAAT
1.

Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada pembaca tentang penyakit TB Paru
baik faktor risiko, cara penularan, pengobatan dan pencegahan
b. Menjadi dasar ataupun masukan bagi Puskesmas dalam mengambil
kebijakan jangka panjang dalam upaya pemberantasan penyakit TB
Paru.
c. Sebagai bahan wacana bagi Puskesmas untuk meningkatkan upaya
kinerja dalam peningkatan 6 program pokok Puskesmas Tambak II
khusunya pada bagian P2M.

d. Sebagai bahan pertimbangan bagi Puskesmas, dalam melakukan


evaluasi dalam kinerja program pengendalian TB oleh bidang P2M
Puskesmas Tambak II.
e. Sebagai bahan untuk perbaikan program kerja P2M kearah yang lebih
baik guna mengoptimalkan mutu pelayanan kepada masyarakat pada
umumnya dan individu pada khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Tambak II.
2. Manfaat Teoritis
a. Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya bagi pihak yang
membutuhkan
b. Sebagai bahan untuk pembelajaran dalam menganalisa suatu
permasalahan kesehatan dalam 6 program pokok Puskesmas.
c. Sebagai bahan untuk pembelajaran dalam menentukan pemecahan
permalahan kesehatan dalam 6 program pokok Puskesmas.

II.

ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS

A. GAMBARAN UMUM PUSKESMAS 2 TAMBAK


1. Keadaan Geografis
10

Puskesmas II Tambak merupakan wilayah timur jauh (tenggara)


dari Kabupaten Banyumas, dengan luas wilayah 1.432 Ha atau sekitar
1,1% dari luas kabupaten Banyumas. Wilayah Puskesmas Tambak II
terdiri dari 5 desa yaitu; Pesantren, Karangpucung, Prembun,
Purwodadi dan Buniayu.Desa yang paling luas adalah Purwodadi
yaitu 374 ha, sedangkan desa yang wilayahnya paling sempit adalah
Karangpucung yaitu sekitar 218 ha.
Wilayah Puskesmas II Tambak terletak dipojok Kabupaten
Banyumas, dan berbatasan dengan :
Disebelah utara

: Desa Watuagung

Sebelah timur
Sebelah Selatan

: Kabupaten Kebumen
: Desa Gebangsari

Sebelah Barat

: Desa Kamulyan, Desa Karangpetir.

Wilayah Puskesmas II Tambak terletak pada ketinggian sekitar


15 mdpl 35 mdpl.Dengan suhu udara rata rata sekitar 27 derajat
celcius dengan kelembaban udara sekitar 80 %.Sekitar 50 % dari luas
tanah adalah daerah persawahan, 43 % pekarangan dan tegalan dan 7
% lain-lain.
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk dalam wilayah Puskesmas II Tambak tahun 2013
berdasarkan data yang dari BPS adalah 20.361jiwa. Terdiri dari
10.010 jiwa (49,16%) laki-laki dan 10.351 jiwa (50,83%)
perempuan.

Jumlah keluarga 6.096 KK.

Bila dibandingkan

dengan jumlah penduduk tahun 2012 (16.232 jiwa) mengalami


kenaikan.

b. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk tahun 2013 yang paling banyak adalah Desa
Purwodadi sebesar 6.190 jiwa, dengan kepadatan penduduk 1.655
jiwa/km2, sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah Desa
11

Pesantren sebesar 2.577jiwa dengan kepadatan penduduk 1.141


jiwa/km2. Kepadatan penduduk total wilayah Puskesmas II Tambak
adalah1.422 jiwa/km2.
Penyebaran penduduknya cukup merata, mulai dari daerah yang
dekat jalan raya sampai ke daerah.
3. Keadaan Sosial Ekonomi
Tabel 2.1 Pendidikan Masyarakat wilayah Puskesmas II Tambak
Jenis Kelamin
No Jenis Pendidikan
Jumlah
Laki-laki Perempuan
1.
Tidak/belum
2.907
sekolah
2.
Tidak Tamat SD
2.006
3.
Tamat SD
5.318
4.
SLTP Sederajat
2.956
5.
SLTA Sederajat
2.452
6.
Diploma III
403
7.
D IV/S-1
190
Dilihat dari data pendidikan, masyarakat dalam wilayah
Puskesmas II Tambak pendidikannya masih rendah. Prosentase
tertinggi adalah yang tamat SD/MI yaitu 5.318 orang ( 32,76% ).

12

GAMBAR 2.1. Grafik Penduduk Usia 10 tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan tahun 2010
6000

5000

4000

3000

2000

1000

0
TIDAK/BELUM PERNAH
TIDAK TAMAD
SEKOLAH
TAMAT
SLTP
SD SDSEDERAJAT
SLTA SEDERAJAT
DIPLOMADIVI / S-1 S-2 S-3

B. INPUT
1. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan tenaga kunci dalam mencapai
keberhasilan pembangunan bidang kesehatan.

Jumlah tenaga

kesehatan dalam wilayah Puskesmas II Tambak adalah sebagai


berikut:
a. Tenaga Medis
Tenaga Medis atau dokter yang ada di sarana kesehatan dalam
wilayah Puskesmas II Tambak ada 2 (dua) orang dokter umum,
yaitu dokter umum yang bekerja di Puskesmas II dengan rasio
10/100.000 jumlah penduduk. Menurut standar Indikator
Indonesia Sehat (IIS) tahun 2010 ratio tenaga medis per 100.000

13

penduduk adalah 40 tenaga medis, berarti tenaga medis masih


kurang.
b. Dokter Spesialis
Dokter spesialis tidak ada.

Standar IIS 2010, 6/100.000

penduduk.
c. Dokter Gigi
Dokter gigi tidak ada. Standar IIS 2010, 11/100.000 penduduk
d. Tenaga Farmasi
Tenaga farmasi tidak ada.

Standar IIS 2010, 10/100.000

penduduk
e. Tenaga Bidan
Tenaga D-III Kebidanan jumlahnya 7 orang. Berarti ratio tenaga
bidan adalah 34,38/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, jumlah
tenaga bidan 100/100.000 atau 16 bidan.

Dengan demikian

jumlah bidan di wilayah Puskesmas II tambak masih kurang 9


bidan.
f. Tenaga Perawat
Tenaga perawat kesehatan yang ada di Puskesmas II Tambak
lulusan SPK ada 2 orang dan D-III Keperawatan 3 orang, jumlah
seluruhnya ada 5 orang perawat (ratio 24,56/100.000 jumlah
penduduk).

Standar IIS tahun 2010, adalah 117,5/100.000

penduduk (sekitar 19 perawat). Berarti masih kurang 14 orang


perawat.
g. Tenaga Gizi
Tenaga Gizi di Puskesmas II Tambak jumlahnya 1 orang,
lulusan D-III Gizi, ratio 4,91/100.000 penduduk. Standar IIS
2010, 22/100.000 penduduk (3,5 ahli gizi). Berarti kurang 3
orang ahli gizi.
h. Tenaga Sanitasi
Tenaga Sanitasi ada 1 orang dengan pendidikan D-I. Ratio
6/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, 40/100.000 penduduk
(6,5 tenaga sanitasi). Kurang 5 orang tenaga sanitasi.

14

i. Tenaga Kesehatan Masyarakat


Tenaga Kesehatan Masyarakat ada 2 orang. Standar IIS tahun
2010, 40/100.000 penduduk (6,5). Masih kurang 4 orang tenaga
kesehatan masyarakat.
Tabel 2.2 Ratio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk
di Puskesmas II Tambak, tahun 2015
No

Jenis Tenaga

1.
2.

Dokter Umum
Dokter
Spesialis
Dokter Gigi
Farmasi
Bidan
Perawat
Ahli Gizi
Sanitasi
Kesh. Masy

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jumlah Tenaga
Kesehatan

Ratio /100.000
pddk

Target IIS /
100.000 pddk

2
0

10
0

40
6

0
0
7
5
1
1
2

0
0
34,38
24,56
4,91
6
24

11
10
100
117,5
22
40
40

Tabel 2.3. Nama dan Jumlah Tenaga Medis, Paramedis dan Non medis
Puskesmas II Tambak Tahun 2015
N
NAMA
NIP
PANGKAT/GOL JABATAN
O
dr. Harry
19821220 201001 1
Kepala
1
Penata/IIIC
Widyatomo
016
Puskesmas
2 dr.Agus Suyudi
19580822 198603 1 Pembina Tk.
Dokter
016
I/IVb
Puskesmas
3
Eko
19681203 198903 2 Penata Tk I/ III d Bidan
Suyatini,Amd.Ke 009
15

25

b
Lilis Lismawati, 19691103 198903
Amd. Keb
003
Marino
19630903 198503
009
Muji Rahadi
19621229 198503
011
Eko
Wardoyo, 19700726 199103
AMK
003
Sulistijo, AMK
19710820 199103
004
dr. Indra Purwa
19790602 201001
009
Maria
19650324 199103
Purwantiningsih,
002
AMG
Pujiwanto
19590807 198703
014
Sairun
19650816 198903
018
Roisah
19650203 199103
007
Zuhrotun
19850117 201101
Abadiyah, SKM
009
Dwi Indriana M, 19850712 201101
SKM
004
Sawinah
19580415 198007
001
Nursasi
Sri 19790501 200903
Harpeni, AMK
002
Tusem, Amd.Keb 19720724 200604
011
Sri
Wahyuni, 19770429 200801
Amd.Keb
008
Arif
Hidayat, 19860721 201101
AMKG
006
Rodiyah
19650203 200701
008
Uun
Kunaefi, 11.4.048.4664
Amd.Keb
Tri
Mulyani, 11.4.3402742
Amd.Keb
Erliyas Wiwit W., 11.4.3300986
Amd. Keb
Khamiyati

26

Dian

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Isnaeni,

2 Penata Tk I/ III d

Bidan

1 Penata Tk I/ III d

Sanitarian

1 Penata Tk I/ III d

Perawat

1 Penata Tk I/ III d

Perawat

1 Penata Tk I/ III d

Perawat

1 Penata / III c

Dokter

2 Penata / III c

Gizi

1 Penata Muda
I/IIIb
1 Penata Muda
I/IIIb
2 Penata Muda
I/IIIb
2 Penata Muda
I/IIIa
2 Penata Muda
I/IIIa
2 Pengatur/IId

Tk Staf
Tk Staf
Tk Ka. Subag
Tk Epidemiol
og
Tk Promkes
Staf

2 Pengatur/IId

Perawat

2 Pengatur/IIc

Bidan

2 Pengatur/IIc

Bidan

1 Pengatur/Iic
2 Pengatur
Tk I/Iib
PTT

Perawat
Gigi
Muda Staf
Bidan desa

PTT

Bidan desa

PTT

Bidan desa

Honorer

Administra
si loket
Perawat

Honorer

16

AMK
Yekti Kusumawati
Ninuk
Retno
M.H, AMK
Susi Reniati

27
28
29
30
31

Uswah
Hikmawati, AMK
Lidi
Prihasto,
AMK
Apriliana
Dewi
K., Amd.Keb
Siti
Kamilatun,
S.ST
Sarana Kesehatan

32
33
2.

Honorer
Honorer

Perawat
Perawat

Honorer

Administra
si
Perawat

Honorer
Honorer
Kontrak

Bidan

Kontrak

Akutansi

a. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Labkes


Puskesmas II Tambak satu satunya sarana Kesehatan yang
mempunyai kemampuan Labkes di wilayah Puskesmas II Tambak.
b. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Dasar
Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Dasar tidak
ada.
c. Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan Gawat Darurat di wilayah Puskesmas II Tambak hanya
ada di Puskesmas
3. Pembiayaan Kesehatan
Penyelenggaraan

pembiayaan

di

Puskesmas

terdiri

dari

operasional umum, Jamkesmas, Jampersal dan dana BOK. Semua


anggaran ini tujuannya adalah agar semua program kesehatan di
puskesmas bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan bisa mencapai
target target yang telah ditentukan. Oleh karena itu semua anggaran ini
saling melengkapi satu sama lain.
Anggaran dana operasional umum di Rencana Kerja Anggaran
tahun 2013 adalah Rp.99.313.000,00 (sembilan puluh sembilan juta
tiga ratus tiga belas ribu rupiah), dan dapat direalisasikan Rp.
95.523.671,00 (96,2%). Rencana anggaran untuk tahun 2013 sama
seperti tahun 2012 yaitu Rp.99.313.000,00.

17

Sedangkan untuk dana Jamkesmas dan Jampersal tahun 2013


direncanakan sebesar Rp. 174.875.050,00 dan dapat direalisasikan
sebesar Rp. 78.982.800,00 (45,16%). Kemudian untuk RKA tahun
2013 Jamkesmas Jampersal adalah Rp. 148.576.200,00.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun 2012 di
rencanakan Rp. 58.000,00 (lima puluh delapan juta rupiah) dan 100%
dapat direalisasikan. Tahun 2013 dana BOK dianggarkan sebesar
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

C. Analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT)


1. Strength
Aspek kekuatan dari program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
Tuberkulosis (TB) Paru terdapat pada aspek input dan aspek proses
(perencanaan).
Input
a. Man
Sumber daya masyarakat di Puskesmas II Tambak dalam
menjalankan program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
terutama kasus Tuberkulosis (TB) Paru sudah baik. Puskesmas 2
Tambak memiliki 2 dokter umum, 9 perawat umum, dan 1 pelaksana
kesling berdasarkan data profil Puskesmas 2 Tambak. Dalam
pelaksanaan sehari-hari di Puskesmas 2 Tambak, terdapat 2 tenaga
kesehatan yang menjalankan program P2M TB Paru dan sudah
mengerti secara mengenai penanganan TB Paru.
b. Money
Sumber dana dalam pelaksanaan program P2M TB Paru sudah
disiapkan dari pemerintah, yaitu sumber Dana Bantuan Operasional
Kesehatan. Dana ini dari Kementerian Kesehatan. Sumber dana ini
dapat digunakan untuk kegiatan promotif dan preventif seperti
penyuluhan, pelacakan kasus TB Paru, dan pemantauan kasus TB
Paru. Dapat juga digunakan untuk uang ganti transport setelah

18

melakukan kegiatan Pengawasan Minum Obat (PMO), kunjungan


kasus drop out, perbaikan gizi pasien TB berupa pemberian makanan
tambahan.
c. Material
Logistik seperti pengadaan obat TB Paru, reagen pemeriksaan
bakteriologis TB Paru, serta sarana seperti spuit maupun pelarut
obat, selalu ada dan selalu tersedia di Puskesmas II Tambak. Hal ini
dikarenakan tersedianya sarana dan dana dari pemerintah pusat
tersebut.
d. Metode
Metode kegiatan program P2M TB Paru di Puskesmas II
Tambak meliputi kegiatan yang dilakukan di dalam puskesmas
maupun di luar puskesmas. Kegiatan di dalam puskesmas seperti
pemeriksaan bakteriologis TB Paru melalui sputum dan konsultasi
TB Paru. Konsultasi mengenai penyakit TB Paru, tanda dan gejala,
penularan, pencegahan penularan, pengobatan, efek pengobatan,
efek samping pengobatan, serta memotivasi pasien TB Paru agar
senantiasa rutin minum obat dan mencegah penularan kepada
masyarakat sekitar. Kegiatan di luar puskesmas meliputi kegiatan
penyuluhan TB Paru ke desa-desa di wikayah kerja Puskesmas 2
Tambak dan pemantauan kasus TB Paru bila terdapat desa dengan
populasi sedikit namun kasus TB Paru yang terjadi besar.
e. Minute
Kegiatan program P2M TB Paru baik kegiatan di dalam
puskesmas maupun di luar puskesmas, sudah rutin dilakukan.
Kegiatan di dalam puskesmas rutin dilakukan setiap hari kerja
puskesmas.
f. Market
Sasaran kegiatan program P2M TB paru meliputi seluruh desa
di wilayah kerja Puskesmas II Tambak.
Proses

19

Perencanaan: program P2M TB Paru sudah memiliki perencanaan


yang baik, yaitu agar tercapainya kesembuhan pasien TB Paru
berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang sudah ada di
Puskesmas 2 Tambak, serta terputusnya rantai penularan TB Paru di
masyarakat Tambak.
2. Weakness
Aspek kelemahan dari program Pemberantasan Penyakit Menular
(P2M) Tuberkulosis (TB) Paru terdapat pada aspek input, proses
(pengorganisasian,

penggerakan

dan

pelaksanaan

program,

serta

pengawasan dan pengendalian kegiatan).


Input
Man:
a.

Tidak adanya petugas khusus di bidang TB paru karena petugas P2M


TB paru juga menjabat bidang lain sehingga kurang fokus.

b.

Tidak adanya petugas khusus untuk analisis laboratorium (sputum


SPS)

Proses
a. Pengorganisasian
Hanya terdapat 2 perawat utama di Puskesmas 2 Tambak yang
bertugas sebagai penggerak dan pelaksana program, serta pengawas
kegiatan.
b. Penggerakan dan pelaksanaan program
Kurangnya sumber daya manusia yang tanggap di tiap desa sebagai
kader kesehatan untuk menangani program P2M masalah TB Paru
c. Pengawasan dan pengendalian kegiatan
Pengawasan dan pengendalian kegiatan di tingkat puskesmas dan
dinas kesehatan Banyumas sudah baik, hanya saja kurangnya
pengawasan dari tingkat tiap desa di Kecamatan Tambak.
Dapat disimpulkan dari aspek proses, kelemahan program P2M TB
Paru dikarenakan:
1. kurangnya sumber daya manusia berupa petugas yang terlalu sedikit,

20

2. kurangnya kesadaran sumber daya manusia baik masyarakat


Puskesmas II Tambak maupun masyarakat Kecamatan Tambak
terhadap masalah TB Paru, sehingga tidak menganggap TB Paru
sebagai masalah dan tanggung jawab bersama
3. kurangnya kerjasama lintas sektoral, seperti antara petugas
puskesmas dengan bidan wilayah atau kader kesehatan di desa,
dalam menangani program P2M TB paru
Output
Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas 2 Tambak 2014, hanya
terdapat 50.5% kasus TB Paru Positif yang terdeteksi selama tahun 2014.
Hal ini masih jauh di bawah Standar Pelayanan Medis (SPM) 2014 yaitu
sebesar 100%. Angka kesembuhan pasien TB Paru yang tercatat di
Puskesmas II Tambak hanya sekitar 36.36%. Pasien yang memutuskan
untuk pindah tempat pengobatan TB Paru sebesar 45.45%. Pasien yang
meninggal dan putus obat tercatat masing-masing sebesar 9.09%.
Tidak tercapainya target penemuan kasus TB Paru menunjukkan
kelemahan program P2M TB Paru dari segi output, dikarenakan
kesadaran masyarakat Kecamatan Tambak yang masih rendah baik untuk
memeriksakan diri ke puskesmas, maupun untuk berobat, sembuh, serta
memutus

penularan

penyakit.

Rendahnya

kesadaran

masyarakat

Kecamatan Tambak dikarenakan rendahnya pengetahuan masyarakat


mengenai penyakit TB Paru, baik mengenai penyakitnya, tanda dan
gejalanya, cara pengobatannya, efek yang terjadi setelah pengobatan,
efek samping dari pengobatan, serta cara pencegahan penularan TB.
Sedangkan rendahnya angka kesembuhan pasien TB Paru Positif
disebabkan karena beberapa pasien TB Paru memilih tempat pelayanan
kesehatan lain untuk berobat. Namun sayangnya, tidak ada pelaporan
kembali ke Puskesmas II Tambak terkait kondisi pasien setelah menjalani
pengobatan di pelayanan kesehatan lain tersebut.
3. Opportunity
Kesempatan untuk mengatasi permasalahan program P2M TB Paru
agar lebih baik sudah ada berupa dana yang disiapkan dari pemerintah

21

untuk melakukan penyuluhan TB Paru, maupun untuk pelacakan dan


pemantauan kasus TB Paru di tiap desa.
Dana tersebut bahkan bisa digunakan untuk penyuluhan sesering
mungkin agar pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru semakin
meningkat, serta bisa digunakan untuk pelacakan dan pemantauan kasus
TB Paru di desa terjauh sekalipun agar pasien TB Paru yang malas
berobat bisa teratasi.
Dukungan dari pemerintah untuk kasus-kasus MDR sendiri
tergolong baik karena bila ada kasus tersebut dapat mudah dirujuk ke RS
Moewardi Solo dengan biaya yang ditanggung pemerintah dan
pengawasan oleh puskesmas satelit di Kemranjen.
4. Threat
Ancaman kasus TB Paru terjadi di Kecamatan Tambak masih
tinggi. Kesadaran untuk patuh obat yang rendah meningkatkan resiko
terjadinya MDR. Rendahnya nilai temuan kasus TB beresika seperti
fenomena gunung es karena, 1 tempat atau 1 desa terdapat 1 pasien TB,
kemungkinan ada 10 pasien TB lainnya yang belum terungkap, dan bila
1 pasien TB tersebut memiliki 10 teman, kemungkinan 100 orang
terancam terkena TB Paru.
Dalam hal pembiayaan terdapat kemungkinan hambatan karena isu
dana bantuan kesehatan yang bersifat biaya operasional perjalanan dinas
akan dihilangkan. Puskesmas II Tambak juga merupakan puskesmas
dengan kapitasi kecil sehingga dalam pengaturan anggaran berdasarkan
dana yang ada tergolong susah.

22

III.

PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN ALTERNATIF


PEMECAHAN MASALAH

Dari hasil analisis SWOT, dapat disimpulkan permasalahan yang terjadi


dalam program P2M TB berasal dari aspek input, dan proses. Kekuatan yang
dimiliki Puskesmas dalam upaya meningkatkan program P2M TB adalah
memiliki 2 tenaga kesehatan yang menjalankan program P2M TB Paru yang
kompeten dan sudah mengerti secara mendetail mengenai penanganan TB Paru,
memiliki sarana transportasi yang memadai yaitu mempunyai satu unit mobil
Puskesmas, adanya dana yang didapat dari Dana Bantuan Operasional Kesehatan
dan KNFC. Akan tetapi kondisi ini kurang mendukung karena tenaga kesehatan
yang menangani masalah P2M TB sangat terbatas, yaitu dua orang. Selain itu
tidak adan petugas khusus di bidang TB paru karena petugas P2M TB paru juga
menjabat bidang lain sehingga kurang fokus. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya
perlu penambahan tenaga kerja yang menangani P2M TB sehingga tidak kesulitan
dalam menangani P2M TB.
Dalam peningkatan program P2M TB ini harus lebih berorientasi pada
peran serta masyarakat, maka diperlukan strategi utama dan strategi alternatif
untuk mengatasi masalah ini. Strategi utama yang sangat tepat dilakukan adalah
pemberian penyuluhan secara intensif dan berkesinambungan bagi masyarakat
tentang perilaku hidup bersih sehat. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh kaderkader kesehatan yang menyempatkan hadir dan memberikan infomasi tentang

23

PHBS yang dapat dilakukan di di acara-acara tertentu ketika masyarakat


berkumpul. Penyuluhan juga terutama dilakukan kepada keluarga dan lingkungan
sekitar penderita yang telah didiagnosis TB dalam rangka mencegah penularan
dan kejadian komplikasi karena TB. Selain itu diharapkan masyarakat sekitar
berperan aktif dalam penemuan kasus TB.
Strategi alternatif yang mungkin dapat dilakukan adalah dapat dilakukan
upaya-upaya sebagai berikut:
1. Penyuluhan tentang TB dan penularannya, serta pentingnya berobat secara
teratur.
2. Kerjasama lintas sektoral dalam memberikan menyikapi penyakit TB
3. Pengangkatan dan pembinaan pengawas minum obat (PMO) untuk
mengawasi pasien selama pengobatan.
4. Motivasi masyarakat wilayah kerja Puskesmas 2 Tambak berperan aktif
dalam menemukan TB kasus baru
5. Screening rutin tiap bulan untuk mengetahui adanya kasus TB.
6. Mengontrol kebersihan dan kesehatan rumah penderita TB dan lingkungan
sekitarnya.
7. Menambah

jumlah

tenaga

kesehatan

yang

hanya

berfokus

pada

pemberantasan TB
8. Merekrut petugas puskesmas baru yang memiliki keterampilan analisis
laboratorium

24

IV.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2007). Tuberkulosis merupakan
masalah kesehatan masyarakat dunia saat ini. World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency dikarenakan 1/3
penduduk dunia terinfeksi TB dan jumlah kasus terbanyak terjadi di Asia
Tenggara. Tahun 2004, WHO melaporkan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
TB pada tahun 2002, dengan 3,9 juta kasusnya adalah kasus Basil Tahan Asam
(BTA) positif (WHO, 2012). Indonesia menempati urutan ke-3 dunia untuk
jumlah kasus TB terbanyak. Penyakit ini menjadi pembunuh nomor satu di
antara penyakit menular lainnya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
B. Patogenesis
Paru merupakan port d entree kasus infeksi, terutama TB. Ukuran bakteri
TB sangat kecil (droplet nuclei) sehingga bisa mencapai alveolus melalui
udara yang terhirup. Reaksi imunologi nonspesifik langsung terjadi ketika
bakteri TB mencapa alveolus. Makrofag langsung dapat menghancurkan
sebagian besar bakteri TB, namun sebagian kecil makrofag tidak dapat
menghancurkan bakteri TB dan bakteri tersebut justru hidup serta bereplikasi
dalam tubuh makrofag. Bakteri TB dalam tubuh makrofag tersebut akan terus

25

berkembang biak dan membentuk koloni, sehingga disebut fokus primer


GOHN (Price, 2006).
Melalui fokus primer, bakteri TB menyebar melalui pembuluh limfe
menuju kelenjar limfe regional. Terjadilah proses inflamasi di pembuluh limfe
(limfangitis) serta kelenjar limfe regional (limfadenitis) tersebut. Fokus primer
tersering adalah bagian apeks paru, dengan pembuluh limfe serta kelenjar
limfe terdekat di sekitar. Fokus primer dan pembuluh limfe yang meradang
(limfangitis) serta kelenjar limfe yang meradang (limfadenitis) akan
membentuk suatu kompleks primer (Price, 2006).
Waktu yang diperlukan bakteri TB sejak masuk hingga terbentuknya
kompleks primer disebut masa inkubasi TB. Masa ini berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu. Bakteri TB dapat berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103-104 sehingga cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Ketika kompleks primer terbentuk, saat itulah imunitas seluler terbentuk dan
proliferasi bakteri TB terhenti (Price, 2006).
Fokus primer dalam jaringan paru, seperti pada apeks paru, biasanya akan
membentuk fibrosis atau kalsifikasi, yang kemudian akan nekrosis (perkijuan)
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga mengalami fibrosis, namun
penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer, sehingga bakteri TB masih
dapat hidup dan menetap dalam kelenjar ini. Nekrosis (perkijuan) yang berat
dapat mengalami pencairan di bagian tengah lesi sehingga akan keluar dari
paru dan meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Sementara kelenjar
limfe yang mengalami nekrosis dapat membesar akibat proses inflamasi
lanjutan, terjadi obstruksi, sehingga dapat membentuk fistula (Price, 2006).
Bakteri TB dapat menyebar secara limfogen ataupun hematogen sebelum
terbentuknya kompleks primer. Bakteri TB menyebar secara sporadis dan
mencapai berbagai organ tubuh yang memiliki vaskularisasi baik, seperti otak,
ginjal, tulang, dan bagian lain dari paru. Bakteri TB kemudian akan
membentuk koloni atau kompleks primer lain yang dapat dorman dan tetap
hidup bertahun-tahun (Price, 2006).
C. Klasifikasi

26

1. Tuberkulosis Paru
a. Berdasarkan pemeriksaan sputum (BTA)
1) Tuberkulosis paru BTA (+)
Pemeriksaan BTA sewaktu-pagi-sewaktu, menunjukkan 2 hasil
positif dari 3 pemeriksaan tersebut. Bisa juga hasil pemeriksaan
BTA menunjukkan 1 positif dan terdapat kelainan pada gambaran
radiologik paru. Atau hasil pemeriksaan BTA menunjukkan 1
positif dan biakan kultur positif (Alsagaff, 2004).

Gambar 4.1. Patogenesis Tuberkulosis11


2) Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan BTA menunjukkan 3 hasil negatif, tidak ada
gambaran klinik, serta tidak ada kelainan gambaran radiologik paru
(Alsagaff, 2004).
b. Berdasarkan tipe pasien
1) Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan Obat Anti-TB
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT selama kurang dari 1
bulan.
2) Kasus kambuh (relaps)

27

Pasien TB yang pernah mendapat pengobatan lengkap atau sudah


dinyatakan sembuh, namun hasil pemeriksaan sputum BTA masih
positif atau biakan kultur positif
3) Kasus drop out
Pasien yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4) Kasus gagal
Pasien dengan hasil BTA negatif dan gambaran radiologik positif,
kemudian menjadi BTA positif pada pemeriksaan akhir bulan ke-2
pengobatan. Atau pasien BTA positif yang masih positif dan tetap
positif pada pemeriksaan di akhir bulan ke-5 pengobatan.
5) Kasus kronik (persisten)
Pasien dengan hasil BTA masih positif pada pemeriksaan akhir
pengobatan ulang kategori 2 bahkan dengan pengawasan yang
baik.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Tuberkulosis Ekstraparu
Tuberkulosis yang menyerang organ dengan vaskularisasi tinggi selain
paru, seperti pleura, kelenjar limfe, selaput otak, perikardium, tulang,
persendian, kulit, ginjal, usus, saluran kencing, serta alat kelamin.
Diagnosis ditegakkan dengan kultur positif atau hasil patologi anatomi
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditemukan gejala klinik tuberkulosis (TB).
Gejala klinik TB dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Dalam hal ini, gejala lokal TB paru berarti gejala respiratorik
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
a. Gejala respiratorik

28

Gejala respiratorik bervariasi bergantung pada luas lesi. Bila bronkus


belum terkena, maka mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk terjadi
dikarenakan iritasi bronkus dan keperluan untuk membuang dahak.
1) Batuk lebih dari 2 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak napas
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Keringat malam
3) Malaise
4) Anoreksia
5) Penurunan berat badan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan kelainan pada pemeriksaan fisik bergantung dari organ yang
terlibat. Kelainan pada TB paru bergantung luas lesi pada struktur paru.
Awal perkembangan penyakit, jarang atau sulit ditemukan kelainan.
Kelainan umumnya pada daerah lobus paru superior, terutama apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2), serta lobus paru inferior (S6). Kelainan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru serta diafragma
dan mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik sebagai indikator TB.
Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan tanda-tanda infeksi seperti
peningkatan LED. Laju Endap Darah (LED) meningkat pada proses
aktif.

Selain

itu

terdapat

peningkatan

leukosit

dan

limfosit

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).


b. Pemeriksaan bakteriologis

29

Pemeriksaan bakteriologis dapat menggunakan bahan dari dahak


(sputum), cairan pleura, LCS, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Paling
murah dan mudah adalah bahan dari sputum. Pengambilan sputum
dilakukan 3 kali, yaitu sewaktu, pagi, dan sewaktu (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011).
c. Pemeriksaan mikroskopis
Setelah pengambilan sputum, dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan mikroskopis murah dan mudah adalah pewarnaan ZiehlNielsen. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
IUARLD sesuai rekomendasi WHO (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011).
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : negatif
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah BTA
yang ditemukan
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : (+) atau (+1)
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : (++) atau (+2)
5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : (+++) atau (+3)
d. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis standar adalah foto thoraks anteroposterior
(AP). Gambaran radiologik yang ditemukan yaitu:
1) Lesi TB Aktif

bayangan berawan (nodular) di segmen apeks pada lobus superior


paru dan posterior pada lobus inferior paru.

Kavitas, terutama bila lebih dari satu, dikelilingi bayangan


opaque berawan

Bercak milier

Efusi pleura, unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)


2) Lesi TB Inaktif: fibrotik, kalsifikasi, penebalan pleura (Schwarte)
Untuk kepentingan pengobatan, dilihat juga luas lesi pada foto thoraks.
1) Lesi minimal

30

Proses patologis mengenai sebagian dari 1 lobus atau kedua lobus


dengan luas tidak melebihi spatium intercostae (SIC) 2 anterior, serta
tidak dijumpai kavitas.
2) Lesi luas: Proses patologis mengenai lebih dari lesi minimal
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
e. Pemeriksaan khusus
1) Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan DNA
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
2) Pemeriksaan serologis: Enzym Linked Immunosorbent Assay
(ELISA), Immunochromatographic (ICT)
3) Analisis cairan pleura
4) Pemeriksaan histopatologi jaringan

31

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)


Gambar 4.2. Alur Diagnosis TB Paru
E. Perjalanan Penyakit
1. Cara penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif
b. Pasien batuk bakteri TB tersebar ke udara dalam bentuk droplet
nuclei sekali batuk = 3000 droplet nuclei
c. Penularan terjadi di dalam ruangan berisi droplet nuclei dengan waktu
yang lama. Ventilasi memadai dapat mengurangi jumlah droplet
nuclei, sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri TB. Droplet

32

nuclei dapat bertahan dalam waktu beberapa jam di kondisi gelap dan
lembap.
d. Daya penularan pasien : ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan sputum = makin infeksius pasien tersebut
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan
oleh konsentrasi droplet nuclei di udara dan lamanya menghirup udara
tersebut
(Werdhani, 2002)
2. Risiko penularan
a. Pasien TB paru BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru BTA negatif
b. Risiko penularan setiap tahun ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang di
antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
c. ARTI di Indonesia : 1 3 %
(Werdhani, 2002)
3. Risiko menjadi sakit TB
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
b. ARTI 1% diperkirakan di antara 100.000 penduduk, rata-rata terjadi
1000 penduduk terinfeksi TB dan 10% di antaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun, dengan 50 di antaranya pasien TB BTA
positif.
c. Faktor risiko seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
rendah, seperti pada pasien HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk)
d. Pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun akan (Werdhani, 2002):
1) 50% pasien meninggal
2) 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3) 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

33

Gambar 4.3. Faktor Risiko Terjadinya TB


F. Penatalaksanaan
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Fase intensif, pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
fase intensif diberikan secara tepat, pasien menular akan menjadi tidak
menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif akan
menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan (fase intensif selesai). Fase
lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
lebih lama (4-7 bulan). Tahap ini penting untuk membunuh kuman persisten
dan mencegah terjadinya kekambuhan (Tuberculosis Coalition dor Technical
Assistance, 2009).
Pengobatan TB diberikan dalam kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. Pemakaian obat
yang dianjurkan adalah obat anti-TB (OAT) dengan Kombinasi Dosis Tetap
(Fixed Dose Combination-FDC). Terdapat 4 jenis obat, yaitu Rifampicin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E).

34

Berikut paduan pengobatan OAT-FDC (Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia, 2011):
1. TB paru Kasus Baru / BTA positif lesi minimal / Foto toraks lesi luas
a. 2 RHZE / 4 RH : fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (4
bulan)
b. 2 RHZE / 4 R3H3: fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (4
bulan, 3 kali seminggu)
c. 2 RHZE / 6 RH : fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (6
bulan)
2. TB paru Kasus Kambuh
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
3. TB paru Kasus Gagal
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
4. TB paru Kasus Drop Out
Sempat berobat < 4 bulan: BTA positif atau negatif, dengan klinis dan
radiologis positif pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
sama seperti kasus baru
Sempat berobat > 4 bulan: BTA positif pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
Bila yang dilakukan pengobatan kategori II, dimulai lagi dengan kategori
II.
5. TB paru Kasus Kronik
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
bila tidak ada resistensi.
Bila ada resistensi diberikan Isoniazid (INH/H) seumur hidup
Efek samping OAT dapat terjadi, baik itu ringan maupun berat. Bila efek
samping terjadi dapat diatasi dengan(Yulianah, 2009) :

35

1. Efek samping ringan seperti gangguan lambung, dapat diatasi secara


simptomatik
2. Reaksi hipersensitivitas seperti gatal (rash) pada kulit diakibatkan
isoniazid atau rifampisisn. Diatasi dengan pemberian dosis rendah dan
disensitisasi dengan peningkatan dosis secara perlahan dalam pengawasan
ketat. Disensitisasi hanya dapat dilakukan pada kedua obat tersebut
3. Kelainan seperti: trombositopenia, syok, dan gagal ginjal karena
rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIII
karena streptomisin, dan dermatitis eksfoliata serta agranulositosis akibat
thiacetazon, harus segera dihentikan pengobatannya
4. Bila suatu obat harus diganti, paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan dengan baik.
Tabel 4.1. Efek samping Minor OAT dan penatalaksanaannya
Efek samping
Minor

Kemungkinan
Penyebab

Tatalaksana
(OAT diteruskan)

Tidak nafsu makan, mual,


nyeri perut
Nyeri sendi
Kesemutan (kaki terasa
terbakar)
Air seni bewarna kemerahan

Rifampisin
Pirazinamid
Isoniazid

Obat diminum malam sebelum


tidur
Beri aspirin / allupurinol
Beri Vit. B6 1 x 100 mg tab / hari

Rifampisin

Beri penjelasan

Tabel 4.2. Efek samping Mayor OAT dan penatalaksanaannya


Efek samping
Mayor

Gatal dan kemerahan pada


kulit
Tuli
Gangguan keseimbangan
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas
Obat (penyebab lain
disingkirkan)
Muntah dan bingung
(suspect drug-induced
preicteric hepatitis)
Gangguan penglihatan
Kelainan sistemik
(Syok, purpura)

Kemungkinan
Penyebab

Semua jenis
OAT
Streptomisin

Tatalaksana
(OAT dihentikan)

Beri antihistamin, evaluasi ketat

Streptomisin
STOP,
ganti
Etambutol
Streptomisin Streptomisin
STOP,
ganti
Etambutol
Sebagian besar Hentikan SEMUA OAT sampai
OAT
ikterik menghilang
Beri hepatoprotektor
Sebagian besar Hentikan SEMUA OAT
OAT
Tes fungsi hepar (SGOT-SGPT)
Etambutol
Rifampisin

STOP Etambutol
STOP Rifampisin

36

Evaluasi pengobatan pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,


radiologik, dan efek samping.
1. Evaluasi klinik: setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan,
selanjutnya setiap bulan sekali. Evaluasi keluhan, berat badan, dan
pemeriksaan fisik untuk melihat respon pengobatan, ada tidaknya efek
samping obat, dan komplikasi penyakit.
2. Evaluasi bakteriologik
Dilakukan pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Akhir bulan ke-2 pengobatan (akhir fase intensif)
c. Akhir pengobatan (selesai pengobatan / akhir fase lanjutan)
3. Evaluasi radiologik: waktunya sama seperti evaluasi bakteriologik
4. Evaluasi efek samping
a. Periksa fungsi hepar (SGOT, SGPT, Bilirubin), fungsi ginjal (Ureum,
Kreatinin), dan darah lengkap (termasuk GDS dan asam urat) sejak
awal
b. Periksa visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
c. Periksa uji keseimbangan dan audiometri bila mendapat streptomisin
d. Evaluasi klinik kemungkinan reaksi / efek samping obat
5. Evaluasi keteraturan obat: penyuluhan dan edukasi mengenai penyakit dan
pentingnya keteraturan obat kepada pasien, keluarga, dan lingkungan.
Edukasi juga mengenai masalah resistensi obat sebagai efek dari
ketidakteraturan minum obat
6. Evaluasi pasien sembuh: dilakukan minimal dalam 2 tahun pertama setelah
sembuh, berupa pemeriksaan mikroskopis BTA sputum (3, 6, 12, dan 24
bulan sesuai indikasi/gejala) dan foto thoraks (6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh), untuk mengetahui kekambuhan (Yulianah, 2009).
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan pada:
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu, maka
paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai Pengawas Minum
Obat (PMO). Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,

37

sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO


harus dekatdengan rumah pasien TB.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO:
a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader kesehatan, tokoh masyarakat)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.
(Depkes, 2007)
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara:
1. Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan ataupun di apotik saat mengambil obat
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluargapasien, masyarakat, pengunjung Rumah Sakit, dan di balai
desa.
(Depkes, 2007)
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Terapi pencegahan
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV/AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/ kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
2. Diagnosis dan pengobatan tepat pada pasien TB Paru BTA Positif untuk
mencegah penularan (Depkes, 2007).

38

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta:


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Depertemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hal.1-131.
Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Mual Bobby E. 2009. Peranan Foto Dada dalam Mendiagnosis Tuberkulosis Paru
Tersangka dengan BTA Negatif di Puskesmas Kodya Medan. Program
Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Ilmu Penyakit Paru FK USU.
Medan: FK USU. Hal.1-77.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
Tuberkulosis. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta.
Notoatmodjo Soekidjo, prof. Dr. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat PrinsipPrinsip Dasar. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit:
Tuberkulosis Paru. Jakarta: EGC. 2006;852-823.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2009. International
Standard for Tuberculosis Care 2nd Edition
Widodo Eddy. 2004 Upaya Peningkatan Peran Masyarakat dan Tenaga Kesehatan
dalam Pemberantasan Tuberkulosis. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah
Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal.1-16.
Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi,
Dan Keluarga FKUI.
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. 2012. Programmes and Projects: Tuberculosis (TB).
Diakses dari: http://www.who.int/tb/en/ pada 12 November 2012.
Yulianah, Elin. Tuberkulosis. Dalam: Isofarmakoterapi. Jakarta: PT ISFI.
2009;918-929.

39

Anda mungkin juga menyukai