Anda di halaman 1dari 131

www.ac-zzz.

tk

Tesa
Penulis: Marga T.
Pdf: www.ac-zzz.tk
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, '2002
TESA
oleh Marga T. GM 401 91.343 C Penerbit PT Gramedia Pustaka U tarn a Jl.
Pal mo rah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan penama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Ulama. anggota
IKAPI, Jakarta. Desember 1991
Cetakan kedua: November 1993
Cetakan ketiga: Oktober 1995 Cetakan keempat: Februari 2000
Cetakan kelima: Manet 2002
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT MARGA X
Tesa/MargaT. Jakarta: Gramedia Pustaka Ulama, J 304 him; 18 cm ISBN
979 - 511 -343 - 7 1 Fiksi Indonesia .Judul
ini adalah kisah fiktif persamaan nama tokoh, tempat, dan ide hanyalah
kebetulan saja

Asrama mahasiswa itu sangat luas, ter-diri lebih dari tiga puluh blok.
Masing-masing blok bertingkat lima dan setiap tingkat mempunyai tiga puluh
delapan kamar. Tidak mengherankan bila banyak di antara penghuni yang tidak
saling ken a I, apalagi orang-orang Ba-rat memang tidak beg itu usil terhadap
urusan orang lain.
Tesa sudah hampir setahun di Perth, namun kenalannya boleh dibilang cuma
terbatas pada kawan-kawan setingkat yang kerap dijumpainya di da pur. Atina
dan Sabita merupakan kawan eratnya, sama-sama dari Jakarta. Pika, toman
Sabita, Juga menempati tingkat yang sama, tapi dia sudah hampir tiga tahun di
situ, Jadi sudah lebih biasa dengan kehidupan asingnya.
Tesa kerap kali merasa rindu pada rumah, terlebih kalau dia teringat apa
yang menyebab-kan dia pergi merantau sejauh itu. Memang/ terhadap
orangtuanya dia berdalih tidak lulus Sipenmaru, ya sobaiknya belajar saja ke
luar
negeri, toh biayanya tak bed a banyak dengan perguruan tinggi swasta.

www.ac-zzz.tk
Namun kini dia agak menyesal dan kerepot-an sendiri memikirkan biaya.
Kidman dari ru-mah terlalu pas-pasan, kalau tak mau dibilang kurang. Dia tak
berani menuntut lebih banyak, sebab tahu keadaan orangtuanya yang terus jatuh sejak merosotnya harga minyak dan deva-luasi rupiah yang berturutan
sedari tahun tujuh puluh delapan. Sebelum mengizinkannya pergi, ibunya sudah
bertanya belasan kali apakah dia akan sanggup hidup dengan ongkos sebegitu,
dan dia sudah menyanggupi. Pokoknya waktu itu dia sudah bertekad: lebih baik
mati kelapar-an di Iuar negeri daripada hidup kenyang di depan hi dung seorang
pengkhianat! Dan nama yang punya hidung itu adalah Goffar! Hidung-nya
mancung, wajahnya ganteng, namun hati-nya culas.
Pada sebuah pesta, Tesa memperkenalkannya pada Shakira, teman
sekelasnya. Tak dinyana, tak disangka, Goffar sampai hati mengecohnya.
Shakira terpaksa mesti dinikahinya. Yah! Belum jodoh, bisik hatinya kalau
sedang melamun. Tapi kalau sedang nasping, ingin rasanya me-racuni hati yang
culas itu. Namun dia selalu merasa ngeri membayangkan sel penjara dan segala
momok yang berkeliaran di sana dalam seragam. Akhirnya, seperti biasa cuma
air mata yang meleleh turun. Setelah berpikir ribuan kali, dia nekat mau
pergi meninggalkan semua kenangan pahit di belakang. Dia bertekad mau
melembari sejarah hidupnya dari mula lagi. Namun kini...!
Kalau dia tidak segera mendapat tambahan uang, dia harus angkat kaki dari
sini, mcnyetop kuliah, balik ke rumah Mama, nangis tiap ma-lam memikirkan
nasib!
Tesa menghela napas sambil mengaduk sop bening, makan siangnya hari itu.
Dia begitu asyik dengan lamunannya, sehingga kedatangan Pika
mengejutkannya.
"Hei, aku dengar orang menghela napas. Ka-mukah itu? Wajahmu keruh
sekali, ada apa, sih? Urusan si dia?"
"Boro-boro memikirkan orang lain, memikirkan hidup sendiri saja sudah
kalang kabut Aku sih enggak mau deh pacaran sebelum sekolah beres. Enggak
ada duit, Pik! Apa kata orangtua-ku kalau aku sampai gagal, padahal mereka
sudah keluar uang begitu banyak?! Pacaran! Huh!" Sekejap pikirannya yang
sedang pusing teringat pada Goffar, dan jengkelnya meletup.
"Heh, kau ini seperti yang pernah patah hati saja! Kelihatannya kamu anti
cowok, ya! Kan enggak semuanya jelek, Tes. Coba, misalnya pacarku...!"
Tesa menghela napas. Sungguh Pika ini tak pernah peduli perasaan orang
lain. Kalau sudah menduga orang pernah patah hati, ya tak usah dong pamer
pacarnya yang nomor wahid itul Kan cuma bikin hati yang patah itu ma kin merana, bukan?! Tapi Tesa sudah tahu sifat Pika. Di mana saja, pada siapa
saja, dia selalu ber-usaha membanggakan pacarnya yang tak pernah
diperkenalkannya pada siapa pun. Alasan-nya, takut dirampok! Kalau soal
begitu sih, kau tak perlu takut padaku, pikir Tesa sinis. Aku ini paling pantang
merampok pacar orang, sebab sudah aku rasakan sendiri betapa pahitnya bila
pacar kita dirampas teman! Dan, yah! Itulah sebenamya alasan utama yang
membuatnya pergi merantau ke selatan. Sebab Goffar telah dirampas oleh
Shakira, teman karibnya di SMA yang kini telah berubah jadi musuhnya.

www.ac-zzz.tk
Tapi bukan itu yang memberati pikiran Tesa sekarang. Dia hampir kehabisan
uang! Dan tak fahu mesti minta tolong pada siapa. Tentu saja bukan pada Pika,
pikirnya kembali dengan sinis, ketika gadis berambut kribo yang lincah itu terus
nyerocos menyebutkan semua atribut yang menjadi kebolehan sang pacar.
Sekadar basa-basi, Tesa menanggapi setengah hati. Pikirannya sendiri
bagaikan pusaran air yang berputar-putar pada masalah yang itu-itu juga. Dia
kehabisan duit. Kalau tidak bisa men-dapat kerjaanapa sajadia terpaksa
bilang bye-bye dan mudik!
"...dan hari Minggu nanti dia akan menerima piala juara ten is di kampus!
Setelah itu makan siang beramai-ramai, sudah tentu aku diundang juga. Wah,
dia dipuji Setinggi langit, Iho, oleh profesornya. Liburan musim panas nanti dia
mau diajak tim uni-nya untuk pertandingan ke Darwin. Hebat, deh! Eh,
ngomong-ngomong, masa kau cuma makan sop air doang? Mana kenyang, tun?
Mari sini, aku barusan membell
ikan dan chips, enak, deh."
"Enggak ah, terima kasih. Aku punya telur dadar kok di kamar, sisa
kemarin," sahut Tesa yang enggan menerima budi, lalu cepat-cepat berlalu ke
kamarnya, sehingga Pika melongo, sebab biasanya mereka selalu makan di
dapur sambil ngobrol. Tapi Tesa tidak mau dikasihani orang kalau ketahuan
bahwa telurnya sebenar-nya sudah habis tiga hari yang lalu.
Dua minggu kemudian sisa uangnya tinggal dua puluh dolar. Kalau dia hemat
sekali itu bisa untuk makan dua minggu. Tapi dia terpaksa jalan kaki ke kuliah.
Apa boleh buat. Mungkin sekali-sekali bisa nebeng teman-teman yang punya
mobil. Tapi tentunya tak bisa setiap hari.
Dering bel pintu kamar membuatnya gugup. Cepat-cepat dibenahinya
dompetnya yang lusuh dan kempes itu, lalu dibukanya pintu.
"Halo, boleh aku masuk?" seru Pika seraya menerobos sebelum diberi izin.
Tesa mcnutup pintu lalu menemani Pika yang sudah duduk di dipan. Sebelum
dia sempat bertanya apa keper-luannya, gadis itu sudah nyerocos seperti petasan disundut.
"Bukankah kau tempo hari ingin mencari uang, Tes? Maukah kau merawat
orang sakit?"
Tentu saja dia mau. Tapi sakit apa? Kalau perawatannya sulit, pasti dia tak
mampu.
"Sakit apa, Pik? Kalau tidak terlalu sulit, boleh saja. Kalau perlu perawatan
khusus, mung-kin aku enggak becus."
"Oh, soal itu sih enggak usah khawatir, deh. Be res. Orangnya sebenarnya
tidak sakit, a r tiny a enggak diam terus di ranjang. Tapi dia butuh
pertolongan, sebab... matanya buta! Kecelakaan dua minggu yang lalu. Dokter
bilang, ada ha-rapan dengan operasi dia bisa disembuhkan. Tapi harus
menunggu enam bulan lagi. Itu pun cuma sebelah. Yang lain, beberapa bulan
kemudian. Jadi kira-kira baru setelah delapan-sembilan bulan dia akan bisa
melihat lagi. Dan selama itu, dia perlu pertolongan."
"Pasiennya laki-laki?"
"Ya." om

www.ac-zzz.tk
Tesa men jadi ragu. Sanggupkah dia? Meno-long orang itu ke kamar mandi,
masuk ke tem-pat tidur...
"Orangnya masih mud a?"
"Dua tahun lebih tua dari aku." Berarti empat tahun selisihnya dengan
dirinya sendiri. Se-muda itu?! Ah, dia tak bisa! Dia bukan perawat, tidak biasa
melayani kebutuhan pribadi orang lain, apalagi laki-laki yang hampir sebaya dengannya.
"Aku tak bisa. Maaf, deh."
Pika menyebutkan jumlah honor yang lebih dari lumayan untuknya. Tesa
berpikir lagi. Pera saannya ehggan, sebab dia pasti akan kikuk dan malu
menghadapi pasien seperti itu. Belum lagi kalau orangnya kuat! Bukankah dia
sebenarnya tidak sakit?! Berarti jasmaninya sehat! Berarti...! Ah, kau sombong,
tuduh pikirannya yang cuma memikirkan soal uang. Kau lebih suka mati kelaparan daripada merendahkan diri sedikit men-jadi pelayan orang lain.
"Aku sungguh tak mampu, Pik."
"Memangnya kenapa?"
"Ya, pikir saja olehmu. Kalau dia mau ke kamar mandi atau ke WC! Gimana
aku harus menolongnya? Apakah aku harus memandikannya? Gimana kalau dia mencoba memperkosa
aku?"
Pika meledak ketawanya. "Mengenai. itu se* mua kau tak perlu khawatir,
Tes. Waktu di rumah sakit dia sudah melatih dirinya ke kamar mandi dan WC
sendiri. Dia mempunyai kursi roda yang bisa dijalankannya dengan mudah. Tapi
dia perlu bantuan kalau mau pergi keluar, misalnya ke kuliah. Harus ada orang
yang akan memperingatkannya bila ada bahaya di jalan. Dia juga perlu bantuan
di dapur atau dalam mencari bab-bab di textbook. Tugas-tugas seperti itulah!
Enggak susah, kan? Tapi ada syaratnya."
<"Apa?"
"Pertama, kau tak boleh memakai namamu kalau bekerja di sana. Kau harus
mengaku bersbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
nama... Ina misalnya, atau Selina. Kedua, kau tak boleh mengatakan peri ha
1 dirimu pada pasien itu, seperti alamatmu di sini maupun di Jakarta, apa kuliahmu, dan
lain-lain. Pendeknya kau tak boleh menjadi intim dengannya. Dan begitu dia
berhasil dengan operasinya, kau harus berhenti, tak boleh sekali-kali
memperkenal-kan did padanya! Setuju?"
Tesa bukan menjawab, tapi malahan bertanya lagi, "Siapakah pasien itu
sebenarnya?" Dia me-rasa agak mendongkol diberi syarat-syarat seru-mit itu.
Aneh sekali, pikirnya.
"Namanya Pasha. Calon tunanganku!" Hm. Kini Tesa mengerti dan malahan
bisa merasa simpati terhadap kecemasan serta ke-khawatiran temannya. Dia
juga takkan mau calon tunangannya direbut orang... seandainya dia punya
calon!

www.ac-zzz.tk
"Tapi, kalau kau begitu cemas dia nanti direbut olehku, kenapa enggak
kaurawat dia sendiri saja? Dengan begitu, kau juga bisa meng-hemat, bukan?"
Pika menghela napas. "Seharusnya memang begitu. Tapi masalahnya, aku ini
enggak sabar-an. Dalam seminggu saja aku sudah naik darah entah berapa kali
melihat dia berbuat kesalahan. Atau kalau dia kehilangan semangat dan tak
mau lagi mencoba. Dia sangat tertekan karena musibah itu dan gampang
marah-marah karena alasan sekecil apa pun. Selain itu, aku enggak unya
waktu. Aku harus mengikuti kuliah fulltime Aku juga harus pergi berenang, labhan senam, dan lain-lain.
Pendeknya, aku tidak sem-at mendampinginya terus-menerus Nah, aku beri
kau waktu sampai besok untuk memper-timbangkannya^Aku jamin, deh, dia
takkan memperkosamu!"
Bab 2
Tentu saja tidak, pikir Tesa ketika melihat pa-siennya. Pasha cuma punya
waktu untuk memikirkan dirinya sendiri serta menangisi nasibnya. Mana dia
sadar ada perempuan di dekatnya yang dengan mudah bisa dibekuknya. Dia
cuma duduk saja di depan jendela dalam kamarnya di tingkat dua, dan sama
sekali tidak mempeduli-kan kehadiran Tesa.
Pasha Solem bertubuh tinggi dan tegap. Wa-jahnya yang tampan dihiasi
batang hidung yang kuat, rahang yang tegar, dan bibir yang selalu terkatup
rapat. Alisnya yang tebal berwarna hi-tam menaungi matanya yang tak
kelihatan, sebab ditutupi kacamata hitam. Lucu juga melihat orang memakai
gelas berwarna pekat itu dalam ruangan yang tidak kemasukan cahaya matahari. Tapi barangkali itu perintah dokter? Tesa berniat menanyakannya suatu
ketika.
Sifat Pasha yang cepat marah segera ketahuan waktu siangnya Tesa
menyuruhnya minum obat.
"Pak Solem, Anda harus minum..."
Tapi gelegar suaranya memotong perintah Tesa. "Berapa kali harus
kukatakan bahwa aku tak mau dipanggil Pak? Panggil aku Pasha saja, atau
menggelindinglah kau dari sini! Enyah Sana!"
Tesa menggigil. "Ma... af... Ppp... eh, Pa... sha. Anda sekarang harus..."
"Jangan pakai Anda! Kau! Kau, kau, kau! Mengerti?"
Tesa terdiam kaget, tak mampu bersuara.
"Mengertiii?!" gelegar Pasha Solem membuat perabot dan dinding nyaris
bergetar bagaikan dilanda gempa.
"Mengerti, Pa... sha."
"Nah, aku harus minum apa?" Suaranya lebih kalem.
"Kau harus minum obatmu. Mari aku bantu."
"Tak usah!" Pasha mengibaskan lengan meng-halaunya pergi. "Apakah obat
itu bisa menyem-buhkan mataku?"
"Aku... tak tahu."
"Nah, kalau tak bisa, percuma aku telan. Bu-ang saja!" Lalu dia menghela
napas dan kembali menatap ke luar jendela.
Tesa mendekati kemudian menyentuh lengan-nya dengan hati-hati,
khawatir kena pukul lagi. "Obat ini pasti ada gunanya, sebab diberikan oleh

www.ac-zzz.tk
dokter yang merawatmu. Ayo, mari di-telan." Huh! Seperti membujuk anak
kecil saja, keluhnya.
"Ada gunanya? Hm! Aku sudah menelannya
puluhan butir, tapi kok mataku masih begini-begini juga? Tidak! Buang
saja ke tong sampah. Jangan suruh aku menelannya!"
"Pasha, kau harus sabar. Matamu pasti akan pulih kembali," bujuk Tesa
sambil menyentuh lengannya sekali lagi.
"Huh! Sabar! Sabar! Gampang saja kaubilang begitu, sebab kau sendiri bisa
melihat dengan kedua matamu! Coba seandainya kau yang di tempatku, belum
tentu kau tidak akan melolong-lolong, bukan?"
Tesa terdiam, tak bisa membantah.
"Ya, bukan?" desak Pasha dengan nada meng-ejek. "Kok tidak berani
menjawab? Ayo katakan, ya tidak?"
"Mungkin... ya," sahut Tesa pelan.
"Hm. Kau tak tahu betapa sengsaranya mesti tergantung pada orang lain
seperti ini! Kau tak tahu betapa tidak sabarnya aku harus terikat di kursi
begini! Aku tak pernah menghargai kedua mataku selama ini. Aku menerima
mereka begitu saja. Telingaku, hidungku, mulutku, tangan-ku, kakiku,
jantungku, hatiku, seluruh tubuhku! Aku menerimanya begitu saja, tanpa
syukur se-dikit pun pada Tuhan Yang Mahakuasa. Kini setelah aku kehilangan
penglihatanku, barulah aku sadari betapa bahagianya aku sebelum ini! Tapi
sekarang segalanya sudah terlambat, Selina! Terlambat!"
Dan Tesa memperhatikan dengan rasa haru serta kaget ketika laki-laki
gagah itu menunduk
menangis, menutupi wajah dengan kedua ngan. Tesa tertegun tak bisa
berbuat apa pun. Akhirnya dikumpulkannya keberaniannya dan
ditariknya kedua tangan Pasha dari wajahnya. Lalu dibukanya kacamata
yang basah itu dan dibersihkannya dengan saputangan Pasha yang tergeletak di
atas meja.
"Ini saputanganmu, sekalah mukamu. Kemu-dian kita akan minum obat itu."
Mendadak Pasha ketawa, sehingga Tesa mun-dur ketakutan. Barusan
menangis, air mata pun belum lagi kering di muka, kok sekarang malah
ketawa?! Sudah gilakah pasiennya ini?!
Tapi dia segera mengerti dan bahkan ikut ketawa ketika Pasha berkata,
"Betulkah kau akan ikut aku menelan obat itu? Kaubilang tadi 'kita'..."
"Oh, maksudku..." Tesa tersipu ditatap oleh pasiennya, seketika itu terlupa
bahwa dia tak bisa melihat.
"Ha... ha... ha..."sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Ah, kau jahat! Maksudku, kau yang minum, aku cuma membantu
memberikan pil serta air..." Tiba-tiba Tesa tertegun, sehingga gelas di
tangannya tidak jadi diulurkannya kepada Pasha.
"Eh, kenapa kau jadi diam? Ada apa?"
"Oh, eh... tak ada apa-apa. Mari, aku bersih-kan dulu wajahmu."

www.ac-zzz.tk
Diambilnya saputangan yang dipegang oleh Pasha, lalu dikeringkannya mata
serta pipinya.
Dia melap dengan amat hati-hati seakan khawatir mata itu akan remuk kena
sentuhan. Pasha .1 diam saja membiarkannya. Sebenarnya dia sudah setengah
mabuk menghirup bau harum tubuh Tesa. Entah apa parfum dan sabunnya,
pikirnya sesaat.
Ketika Pasha meminta kacamatanya kembali, Tesa menoiak dengan halus.
"Apakah gelas-gelas ini disuruh pakai oleh dokter?"
"Ya, kalau ada sinar matahari. Mataku belum boleh dirangsang terlalu kuat".
"Tapi di sini cukup gelap. Sama sekali tak ada cahaya. Lampu juga
dipadamkan. Lebih baik tak usah kaupakai ini. Tahukah kau, matamu indah
sekali!"
"Jangan mengejek! Mataku buta! Mana mung-kin bisa bagus!"
"Aku enggak bohong, lho. Matamu sama sekali tidak kelihatan berbeda
dengan mata biasa. Tetap bercahaya dan bagus sekali. Aku rasa kerusakannya
pasti terletak di bagian dalam, sehingga tidak tampak dari luar. Betulkah?"
"Ya. Dokter bilang, saraf dan retina, dan entah apa lagi, pokoknya, memang
di sebelah dalam."
"Nah, ngomong-ngomong, kau tak boleh lupa obatmu, dong!"
"Hm. Kau menghibur aku supaya hatiku se-nang, ya, dan gampang dibujuk
makan obat!" t sembur Pasha dengan nada kurang senang.
"Oh, sama sekali bukan begitu!" bantah Tesa.
"Obat ini kan demi kepentinganmu sendiri untuk..."
"Ah! Jangan sok mengajari! Aku kan mahasiswa FK! Pasti lebih tahu dari kau!"sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Tiba-tiba hatinya merasa jengkel. Buat apa sih meladeni pasien kayak gini,
lebih baik dia ber-henti saja!
"Baiklah kalau kau tak mau menelan obat ini, bagiku tak ada persoalan. Tapi
aku tak mau ditegur oleh Pika. Karena itu, aku rasa sebaik-nya aku berlalu
saja! Selamat siang, Pasha!"
"Eh, eh, eh, kau mau ke mana?" seru Pasha dengan nada sedikit panik ketika
mendengar langkah Tesa menjauhinya.
"Aku mau pulang dan tidak kembali lagi!" cetusnya kesal.
"Ah, ah, ah, rupanya kau juga suka ngambek seperti aku, ya! Ha, ha, ha!
Sama-sama, nih! Ayo, jangan marah, dong, Selina. Coba bujuk aku sekali lagi,
pasti aku akan menurut. Meski-pun racun, asal kaubilang harus kutelan, akan
kutelan! Ayo, mana obatnya?! Entah apa kha-siatnya, sih, sampai mesti
dimakan terus tiap hari?"
Tesa tersenyum sendiri, lalu berjalan balik ke jendela. Diraihnya pil serta
gelas dari meja dan disorongkannya.
"Kalau kau mau, aku bisa menelepon dokter-mu untuk menanyakan. Tapi
menurut dugaan-ku, mungkin obat itu untuk melancarkan. per-edaran darah di
tempat yang luka supaya cepat
21

www.ac-zzz.tk

sembuh. Dan kapsul ini untuk menghaiau infek-L*


"Ya, ya, ya, aku rasa juga begitu." Dan seperti anak kecil yang patuh. Pasha
meneian semua obat
"Nah, aku sudah jadi anak baik. Kau takkan meninggalkan aku lagi, kan?"
Pasha ketawa petal. Rupanya hatinya sedang riang. Tapi bebe-rapa waktu
kemudian ketika Tesa mengusulkan untuk membacakannya sesuatu, dia
kembali meradang.
"Aku bukan anak kecil!" teriaknya. "Enyah kau dari hadapanku!"
Tesa beriaiu ke dapur dan duduk di sana sambil memperhatikan lalu lintas
di bawah. Kemudian didengarnya lonceng berdentang tiga kali. Dia bangkit
untuk membuat kopi dan me-nyiapkan makanan kecil.
Dari ruang depan tidak kedengaran bunyi apa pun. Berjingkat-jingkat dia
mengintip. Ter-nyata Pasha tengah tidur di kursi rodanya. Ke-palanya terkulai
ke dada. Tesa mengambilkan-nya selimut dan menutupi sebagian tubuhnya
tanpa membangunkannya. Lalu dia kembali ke dapur.
Wangi kue dadar rupanya membangunkan-Pasha. Pika telah memberikan
resep kue itu padanya. "ini makanan kebesaran Pasha. Biar tiap hari kau bikin
pun dia takkan bosan. Jadi gam pang, seandainya kau tidak mau keluar
membeli kue!" kata Pika.
Pasha mendengus-dengus sebelum dia yakin
bahwa itu bukan da tang dari a parti" men di atas-nya.
"Selina!" teriaknya memanggil. "Kau sedang bikin apa?" Lalu tiba-tiba teraba
olehnya selimut yang menutupi kakinya. Hm. Dia ingal, tadi dia tidak pakai
selimut. Jadi Selina...
"Oh, kau sudah bangun?" sapa Tesa yang muncul tergopoh-gopoh. "Aku
sedang membuat kue dadar. Tapi enggak tahu nih jadi atau enggak, sebab aku
belum pernah membuatnya."
"Tentu saja! Gadis ma cam kau mana suka ke dapur, bukan? Ha, ha, ha!"
"Ah, kau membuat aku jadi malu!" kata Tesa merajuk, lalu cepat
memperingatkan dirinya siapa dia. Kau tak boleh bermanja-manja padanya,
katanya dalam hati. Dia kan cuma pasienmu dan pacar orang lain!'
"Sabar, deh. Semenit lagi pasti sudah ma-tang!" Lalu dia bergegas kembali
ke dapur, sebelum Pasha mendengar degup jantungnya.
Sore pertama itu mereka makan kue dadar berdua. Enak juga, walaupun
sebagian keburu hangus sebelum diangkat Yang hang us tentu saja di makan
semua oleh Tesa, sehingga Pasha tidak tahu akan kcgagalannya.
Tak lama setelah itu Pika datang untuk melihat bagaimana keadaan Tesa.
Untung masih tersisa kue dua buah.
"Tumben kau sore-sore begini kemari!" tukas Pasha bukan dengan nada
kurang scnang. "Mau
ngontrol, ya? Takut Selina sudah di makan ma-can, bukan?!"
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku kebetulan ka-ngen sama kamu, disangka yang
enggak-enggak!" sahut Pika cemberut. Aneh bin aiaib, Pasha bisa jinak betul
pada betinanya. Berbagai kata manis diobralnya supaya gadisnya jangan sampai
ngambek.

www.ac-zzz.tk
Pika akhirnya berkenan ketawa lagi, lalu me-lejit ke dapur di mana Putri
Sapu Abu sedang sibuk mencuci perabot bekas bikin kue.
"Bagaimana? Bisa betah?" bisik Pika sambil membantu mengeringkan piring
dan gelas.
"Ya, dibetah-betahkan, deh!" bisik Tesa.
"Tadi enggak meledak?"
"Oh, aku sudah hampir lari pulang! Tapi ke-mudian teringat olehku uang
yang kuperlukan." Tesa menghela napas. Pika membujuknya.
"Sabar, Sebenarnya dia baik, kok. Cuma ma-sih belum bisa menerima
keadaannya ini. Kalau sudah di sini seminggu, kau pasti akan merasa terbiasa."
"Apakah... apakah... matanya takkan... pulih lagi?"
"Ah, entahlah!" Pika menarik napas. "Dokter sih.Wang, ada harapan. Tapi
kita baru bisa bergembira setelah semuanya menjadi kenyata-an, bukan?
Karena itu dia murung terus. Menurut anggapannya, dokter cuma ingin
menghibur dirinya."
Tadi Pasha mengira, dia takkan pernah SOU buhtmbali?" bisik Tesa
menggigil dalam ha* Pika mengangguk. "Begitulah.
Bab 3 sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Demdoanlah hari demi hari Tesa mengunjungi apartemen Pasha dan lamakelamaan dia ter-biasa mendengar segala macam rajukan serta gelegar
suaranya.
Ketika dia sudah hampir sebulan di sana, datang beberapa kawan kuliah
Pasha, membu-juknya agar mau mengikuti pelajaran lagi.
"Kami sudah mengatur semuanya, Pas. Bahan-bahan kuliah akan kita rekam
dan bisa kauulang-ulang sendiri di rumah."
Sudah berulang kali Pika membujuk Pasha agar mau kuliah lagi. Tapi lakilaki itu menolak dengan alasan percuma, toh dia takkan bisa mengikuti
praktikum. "Itu kan bisa disusul bela-kangan," saran Pika. Sebenarnya dia
khawatir melihat Pasha termenung terus sepanjang hari.
Bujukan Pika ternyata tidak mempan. Kini/ mendengar usul kawankawannya, sejenak dia kelihatan tertarik.
"Tapi dengan apa aku harus ke sana? Aku kan tak bisa membawa mobil lagi!"
Pada saat itu muncul Tesa dari dalam/
sehingga tak ada yang menjawabnya. Mereka serentak keheranan
melihatnya, sebab setahu
mereka, gadis Pasha adalah Pika yang dinamis, bukannya gadis molek
semampai yang begini lembut.
"Siapa bidadari ini. Pas? Jangan bilang bahwa kau sudah mendapat Pika yang
baru!"
"Ini Selina, kawan Pika. Dia membantu aku mengurus makanan dan... oh,
dia pintar sekali memaksa aku agar minum obat! Tapi dia juga pandai
membujuk dan menghibur kesusahan hatiku."
"Ha, kalau begitu pantas sekali dia disebut bidadarimu!" seru seseorang yang
kacamatanya
tebal sekali.sbook by otoy

www.ac-zzz.tk
http://ebukita.wordpress.com
"Ya," sambut yang lain. "Bidadari Tuan Solem! Bagus kan nama itu, eh,
Manis?"
"Ayo, mari sini, Selina, aku ingin menatapmu dari dekat!"
Namun Tesa malah makin tersipu dijadikan pusat perhatian seperti itu.
Akhirnya Pasha me-nyuruhnya bikin kopi agar dia bisa berlalu ke dapur.
"Wah! Kau curang!" tuduh yang lain. "Rupanya kau mau mencabut hak-hak
asasi kami untuk berkenalan dengannyal Selina, setelah bikin kopi nanti, kau
harus menemani kami! Awas kau berani sembunyi di WC!"
Sejak itu Tesa dijuluki Bidadari Tuan Solem oleh kawan-kawan Pasha setiap
kali mereka bertandang. Tesa tidak memprotes. Dia juga tak
27
pernah menyanggah setiap perintah Pasha yang dianggapnya sebagai
majikannya. Dia merasa lumrah saja sebagai pelayan dia harus menger-jakan
semua perintah walau yang secerewet apa pun.
Dan Pasha gemar memerintah, terkadang ma-lah keterlaiuan cerevvetnya.
Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati terhadap gadis malang yang
terpaksa bekerja melayaninya de-mi menyambung kuliahnya. Tapi bagi Tesa hal
itu rupanya tidak jadi soal. Dia memang tidak mengharapkan perhatian dari
majikannya. Jus-tru dialah yang dianggapnya perlu melimpah-kan perhatian
agar sang majikan lekas pulih tubuh dan jiwanya.
Tesa membujuk Pasha agar mau menuruti saran kawan-kawannya untuk
kembali kuliah.' Penyewa apartemen di lantai satu secara ke-betulan
mendengar usul itu ketika dia mengun-jungi Pasha pada saat teman-temannya
datang. Bob segera mengajukan tawaran untuk mengan-tar Pasha tiap pagi
dengan mobilnya sampai kampus. Dari situ dia dapat berkursi roda sampai
ruang kuliah, ditemani oleh Tesa.
"Aku harus memikirkannya dengan cermat," sahut Pasha mengelak.
Sebenarnya, dia merasa a mat enggan pergi ke kampus dalam keadaan
begini. Biasanya dia kan gagah, senang jadi pusat perhatian gadis-gadis, yakin
akan penampilannya sebagai bin-tang lapangan tenis yang selalu berjaya.
sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Masakan kini mesti merangkak di atas kursi roda dipandu oleh bocah
ingusan, seperti kakek hampir jompo?! Enggak, ah! Lebih baik diam di rumah
dulu sampai operasinya nanti berhasil.
"Tapi seandainya operas! itu tidak berhasil, bagaimana?" tanya Tesa saking
jengkelnya melihat kesombongan pria itu. Dan dia segera me-nyesali
kelancangannya begitu melihat air muka Pasha yang merah padam.
"Apa kaubilang?!" raungnya. "Kau berani ber-harap bahwa operasiku tidak
akan berhasil nanti? Kau mau sok lebih pintar dari dokter atau kau sedang
menyumpahi diriku? Siapa sih kau ini?! Kau di sini dibayar untuk melayani aku,
bukannya untuk membuka mulutmu yang lan-cang itu! Kalau aku butuh nasihat,
aku akan menanyakan pada Pika, enggak perlu kamu! Mengerti?! Pergi! Jangan
dekat-dekat aku!"

www.ac-zzz.tk
Tesa menelan air matanya. Tanpa bunyi dia. melangkah ke dapur.
Ditutupnya pintu dapur, lalu duduk di meja dan menangis tersedu-sedu. Saat
itu terbayang olehnya rumahnya yang sen-tosa, ayah-ibunya yang ramah serta
adik-adik-nya yang selalu riang gembira, terlebih Markus, abangnya. Mau lah
dia seketika itu juga terbang pulang. Oh, seandainya dia punya sayap! Apa yang
dilakukannya di rantau orang begini? Di-maki-maki kayak budak yang hina dina!
Oh, apa sebenarnya yang diharapkannya di sini?! Hanya karena menuruti
emosi maka dia. sudah datang kemari! Hanya karena patah hati!
Dan kini...'! Inilah upahnya, kena maki orang! Bahkan ayah serta ibu yang
merawatnya sejak bayi tak pernah menghardiknya seperti itu! Apa sih hak si
Pasha Solem itu sampai dia berbuat begitu padanya?!
Oh, kalau saja uang itu tidak sangat aku butuhkan, sekarang juga aku akan
angkat kaki dari sini! Ya Tuhan, tabahkanlah hatiku!
Tesa begitu asyik terbenam dalam keluh ke-sahnya, sehingga tidak
didengarnya pintu dapur terkuak pelan. Roda-roda kursi menggelinding tanpa
bunyi di atas lantai linoleum. Ketika le-ngannya disentuh, Tesa mencelat kaget,
nyaris berteriak. Selina..."
Tergopoh-gopoh diusapnya wajahnya dari air mata, Iupa sesaat bahwa Pasha
tak bisa melihat-nya. Ditelannya ingusnya, sebab dia tak berani menimbulkan
bunyi.
"Kau menangis?"'
Dia menggeleng. Tapi kemudian segera ter-ingat bahwa Pasha tidak bisa
melihat gerakan-nya. Sebelum dia sempat membantah, jari-jari Pasha sudah
meluncur ke pipinya. Pasha seakan mengerti bahwa dia tadi telah menggeleng.
"Ah, benar. Kau telah menangis. Aku telah menyakiti hatimu, Selina.
Maafkan aku, ya."
"Ah, kau tak perlu minta maaf," sahutnya tawar. "Memang seharusnya aku
tidak boleh banyak omong. Bukankah aku di sini ini cuma untuk melayanimu?"
art
"Dulu aku enggak sekasar ini. Heran, sekarang aku jadi gampang marah.
Mungkin dalam keadaan darurat barulah seseorang itu ketahuan sifat aslinya!"
Pasha tersenyum sinis. Dia mena-rik napas. "Barangkali kau takkan tahan terusmenerus menghadapiku begini, seperti Pika. Dia juga sudah tobat. Selina,
apakah kau mau ber-henti?"
Ya, aku ingin sekali berhenti! teriaknya dalam hati. Tapi dia tak punya
keberanian untuk me-nyuarakan isi hatinya. Jadi Tesa membisu.
"Aku tahu, kau ingin berhenti. Tapi jangan katakan itu sekarang, Sel.
Pikirkan dulu baik-baik sehari-dua hari. Aku sudah mulai terbiasa dengan
kehadiranmu. Aku akan merasa amat kesepian kalau kau tidak datang lagi ke
sini. Tinggal di rantau begini sungguh membuat hatiku merana. Kalau di rumah,
pasti ada orang yang akan memanjakan diriku. Ah!"
"Kenapa kau tidak pulang saja kalau begitu?" tanya Tesa sedikit sinis. Dia
mulai kurang me-nyukai pemuda ini yang ternyata cuma memikirkan dirinya
melulu. Meminta dia jangan berhenti pun, semata-mata demi kebaikan dirinya.
Sama sekali tidak dipikirkannya kepentingan Tesa.

www.ac-zzz.tk
"Aku malu, Selina. Apa kata orang melihat aku tak berdaya seperti ini? Ke
mana-mana mesti ditolong orang lain. Bahkan ke WC, mi-salnya. Di sini
keadaannya lebih gampang. Tapi di rumahku, WC-nya bersatu dengan kamar
mandi, licin setengah mati lantainya, dan mereka tidak memakai kertas.
Bagaimana aku harus beranjak dari kursi roda ke atas WC, lalu mem-bersihkan
diri? Selain itu, semua gadis cantik pasti akan mengejek diriku! Apalagi yang
pernah aku sakiti hatinya, walaupun... tanpa sengaja...."
Hm. Tanpa sengaja?! Pasti pemuda ini tukang ganti-ganti pacar! Banyak
sudah hati yang koyak-koyak karena ulahnya. Tesa merasa makin sebal
terhadapnya. Yang diingat Pasha cuma tiga hal. Pertama, keagungan dirinya.
Kedua, kekerenan dirinya. Ketiga, kegagahan dirinya! Malu, malu, malu!
"Selain itu, Selina, aku masih mengharapkan mukjizat dari operasi yang akan
datang...."
Mukjizat?! Huh! Kau sendiri yang menyebut-nya mukjizat! Dan kau pasti
tahu, zaman sekarang sudah tak ada mukjizat!
"Selina, kenapa kau diam saja? Seandainya kau bersedia datang terus
kemari, aku berjanji akan berusaha lebih mengekang diriku, teruta-ma
mulutku. Aku takkan menghardikmu lagi. Bagaimana? Aku juga akan menaikkan
gajimu. Dan kelak akan memberimu bonus. Setuju bukan, Sel? Kau takkan
meninggalkan aku, kan?"
Tesa merasa muak sekali. Tapi tidak diper-lihatkannya itu dalam suaranya.
"Kau tak perlu menaikkan gajiku, Pasha. Juga tak usah khawatir akan
kutinggalkan. Aku takkan berhenti, sebab aku amat membutuhkan honor ini.
Nah,
sekarang, biarkanlah aku berdiri untuk membuatkan engkau kopi."sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Ya, ya, ya, aku tahu kau sangat memerlukan uangku. Karena itu kau
bersedia menemani aku
terus tiap hari. Kau datang bukan karena me-nyukai diriku! Yah!" Suaranya
seakan kedengar-an getir, tapi Tesa mana peduli? Menyukai diri-mu?! Bah! Aku
lebih suka mencium tikus got daripada menjabat tanganmu!
Hari-hari berlalu dengan kerutinan yang amat menjemukan Tesa. Pasha
terus-menerus duduk termangu di depan jendela, berkacamata hitam. Dia tak
mau mendengarkan musik, dia tak mau dibacakan buku. Tapi dia tak berarti
menolak lagi kalau disuruh makan obat, sebab Tesa pernah mengancam akan
berhenti saja dan-mencari kerja yang lain.
Untuk membunuh kesepian serta waktunya sendiri, Tesa membawa bahan
bacaan atau jahit-an. Salah satu hobi dan bakatnya adalah membuat pakaian.
Teman-teman di asrama segera sibuk memanfaatkan kepandaiannya ini. Upahnya pun lumayan walau tak ada sepersepuluh honor tukang jahit biasa.
Selama menemani Pasha, tentu saja dia tidak sempat mengikuti kuliah.
Terpaksa disalinnya buku teman-temannya yang sama-sama mengikuti
pendidikan sekretaris di Prince Edward
College. Pernah dia minta permisi untuk pergi
ke kampus, tapi Pasha tidak mengizinkan.

www.ac-zzz.tk
"Aku membayarmu untuk menemani aku di sini, bukannya untuk kautinggaltinggal kapan saja kau mau!"
Aduh, pongahnya.' gerutu Tesa, tapi dia tak berani membantah. Ah,
seandainya aku bisa
mendapat kerjaan lain, pikirnya berulang-ulang. Kalau sedang di dapur,
makan pagi atau malam bersama yang lain-lain, Tesa acap kali menguta-rakan
harapannya untuk mencari kerja. Tentu saja bila Pika tidak hadir, supaya
jangan disam-paikannya pada pacarnya. Tesa merasa jemu dan bosan mengurus
pasien yang satu itu, wa-lau bayarannya masih lumayan.
"Heran! Kau sekarang tak pernah lagi makan siang di dapur. Ke mana saja
sih selama ini?" tegur Nopi, mahasiswa serba bisa yang sudah jadi inventaris
asrama saking kelewat lama ber-mukim di situ.
"Ah, mau tau aja nih ye!" sambut Atina sam-bil mencolek sambal.
"Memangnya namamu Tesa?" tanya Nopi mangkel.
"Aku barusan enggak dengar kausebut-sebut nama!" balas Atina.
"Lantas, kaupikir jadinya aku sudah gan-drung mau tanya-tanya soal tetek
bengekmu?" ejek Nopi mendengus.
"Brengsek kau! Apaku yang bengek, katamu?
Sejak kapan aku punya penyakit itu?" tanya Atina garang. Nopi menggeleng
kewalahan. "Syusyah berurusan sama orang yang pernah setrip!"
"Eh, aku dengar apa ya tadi?" tantang Atina
mendekat pada Nopi.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Yang ditantang terpaksa mengelak sebab ta-ngan Atina bau terasi dan Nopi
paling anti sambal terasi.
"Kaubilang aku pernah gila?"
"Enggak! Kuping apa jamur sih itu?! Aku bilang, susah ngomong sama anak
manja, seperti kucingnya Mister Neumann yang jatuh cinta sama tikus.
Tikusnya ketakutan, enggak mau. Kucing betina itu jadi patah hati, lalu gila.
Terpaksa oleh pemiliknya diinternir di rumah sakit jiwa!"
"Kau nyindir siapa?" tegur Atina berang. "Siapa yang jatuh cinta? Siapa yang
enggak mau? Mana ada sih rumah sakit jiwa untuk kucing?!!"
"Enggak percaya? Kapan-kapan aku ajak kau ke sana!"
Atina sudah merasa senang kembali, ketika tahu-tahu Nopi menambah,
"Kalau langit sudah mau kiamat!"
"Kau! Kau!"
Melihat Atina betul-betul mau memukul Nopi dengan tutup panci, Tesa
cepat-cepat mene-ngahi. Dia akan merasa tidak enak sekali kalau sampai ada
perang gara-gara dirinya. Apalagi Nopi juga sudah meraba garpu!
"Hei, kalau mau saling bunuh, biar aku pang-gil ambulans dan polisi dulu!"
pekiknya dan itu menyadarkan kedua manusia edan itu untuk berhenti
berkelahi.
Tesa menjatuhkan diri ke kursi di antara kedua temannya. "Aku sibuk
mencari kerjaan!" Dia berdusta, sebab ingat janjinya pada Pika. Tak boleh ada

www.ac-zzz.tk
yang tahu bahwa dia bekerja untuk Pasha. Bahkan Sabita, teman karib Pika, tak
boleh tahu juga.
"Sudah ketemu?" tanya Nopi.
"Apanya?" Atina masih mau nimbrung, rupanya belum kapok. "Memangnya
nyariin pun-tung rokok, pake ketemu segala?!"
"Maksudku, sudah dapat kerjaannya?"
Tesa menggeleng.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Nopi menatapnya lebih saksama, seakan te-ngah menaksir barang.
"Kasih les bahasa Indonesia mau enggak?"
"Mau!" jawab Tesa segera.
"Aku juga mau!" Atina membeo. ,"Bih, siapa yang nanya kamu! Enggak suka
ngaca, nih ye!" ejek Nopi.
"Memangnya aku ken a pa?"
"Laa, tampangmu mau ngajar bahasa? Belon apa-apa juga semuanya sudah
pada ngacir keta-kutan! Guru bahasa kan mesti lemah lembut, dan sabar. Dia
harus banyak bicara, murid-murid selalu memandangi wajahnya, jadi... mukanya enggak boleh mirip tikus kecemplung dalam tepung, dong!"
"Iiih!" seru Atina dengan kesal sambil me-noleh kiri-kanan mencari
penggebuk yang lebih ampuh daripada tutup panci. Sayang tak ada. Sementara
itu Nopi sudah meneruskan bicara pada Tesa.
"Karena kau sudah setuju, nanti aku antarkan kau padanya. Dia seorang
profesor tua, duda, mungkin nyentrik, tapi hatinya baik. Bagaimana kalau
besok sore? Ada waktu?"
Sebenarnya Pasha keberatan memberinya izin, sebab tak mau ditinggalkan
sendirian. Heran sekali, laki-laki itu tampaknya jadi makin manja dari hari ke
hari. Seakan di dunia ini cuma dia seorang yang ditimpa kemalangan. Tak ada
sedikit pun usahanya untuk membuat dirinya lebih gembira. Kebalikannya, dia
kelihatan tam-bah murung saja.
Tesa dengan tak berdaya sudah berniat me-raih telepon untuk mengabari
Nopi bahwa ren-cana mereka terpaksa dibatalkan. Namun un-tung sekali Pika
datang berkunjung. Dengan mencolok dikecupnya Pasha di hadapan Tesa,
sehingga gadis itu melengos tersipu-sipu.
"Halo, Selina," sapa temannya dengan senyum dibuat-buat. "Kebetulan sore
ini aku punya waktu. Kalau kau berniat pergi ke suatu tempat, misalnya
belanja, kau boleh pergi."
Pasha kelihatan sudah mau mencegah lagi,
tapi Tesa dengan cepat mengucapkan terima
kasih. "Kebetulan, aku memang ingin mengun-jungi teman. Karena kau akan
menemani Pasha, tentunya kini dia tak punya alasan lagi untuk melarangku
pergi"
"Kenapa kau melarangnya pergi?" seru Pika seakan memarahi, namun
sebenarnya dia cem-buru, menduga bahwa pacarnya sudah tak bisa lepas dari
Tesa. "Kau ingin terus-terusan dite-mani Selina, ya!" tuduh Pika membahana.

www.ac-zzz.tk
"Tentu saja tidak!" bantah Pasha bersungut. "Anak itu terlalu banyak mulut.
Kapan aku telah melarangnya? Aku tidak terkesan sedikit pun dengannya.
Sekarang juga dia minta berhenti, aku luluskan!"
"Pasha! Kau enggak boleh ngomong begitu. Selina bisa tersinggung!"
Tesa mengambil tas dan mantelnya, lalu me-nyelinap keluar tanpa permisi.
Hatinya sakit. Ma tanya panas. Setiap saat air matanya meng-ancam akan
turun. Dia. tak mengerti kenapa Pasha begitu ketus sifatnya. Bahkan di depan
Pika pun dia tak bisa bersikap lebih manis.
Tesa sudah hampir tiba di tempat tunggu bis. Dilihatnya ada tiga nenek
sedang duduk di sana. Cepat-cepat disekanya matanya yang sete-ngah basah.
sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Dua hari kemudian Tesa berdiri lagi di depan
Pasha, menyodorkan obat yang mesti ditelan-nya. Setelah meletakkan gelas
kembali di meja, Tesa duduk di depan pemuda itu. Sejenak di-awasinya
wajahnya. Pasha sebenarnya amat me-narik. Tapi agaknya justru karena
ketampanan-nya itu dia menjadi pongah dan membuat banyak orang tidak
menyukainya. Namun terka-dang keadaannya menimbulkan iba. Kalau otak-nya
sedang di tengah, kelihatan bahwa hatinya sebenarnya cukup baik.
Waktu itu pertengahan Juni. Udara sudah di-ngin, tapi di Australia sebelah
barat memang tak pernah turun salju. Angin dingin tiba-tiba berembus keras
dari jendela, membuat Tesa menggigil lalu bersin-bersin. Pasha menjalankan
kursinya ke pinggir jendela, rupanya hendak menutupnya.
"Ah, biarkan saja terbuka," kata Tesa. "Kau butuh udara segar, sebab
seharian berkurung terus di kamar."
"Tapi kau nanti masuk angin. Biarlah tutup saja."
"Jangan. Lebih baik aku pakai jaket dan duduk di dalam. Kalau kurang udara
segar, nanti kau gampang sakit."
Pasha menurut. Mereka beralih duduk di meja dapur. Tesa menyetel radio
supaya bisa mendengarkan lagu-lagu sambil menyetrika cu-cian, dan Pasha
tidak keberatan. Paling sedikit dia tidak melarang.
Mereka saling berhadapan, sebab Tesa menyetrika di meja dapur. Tapi tentu saja Pasha tak dapat melihatnya.
Mereka berdiam diri beberapa saat. Pasha rupanya mulai tertarik pada lagulagu yang dide-ngarnya, sebab sesekali dia bersenandung atau ikut mengetukngetukkan jari ke atas meja. Se-mentara itu Tesa teringat surat yang kemarin
diterimanya dari rumah. Adiknya, Daniel, ma-suk rumah sakit untuk operasi
usus buntu. Syu-kur, berhasil dengan baik. Mungkin sekarang sudah balik ke
rumah. Ibunya tidak bilang apa-apa soal biaya, tapi pasti ratusan ribu. Alangkah
baiknya kalau dia di sini bisa berhemat! Atau bahkan mencari biaya sendiri. Ibu
memang ti-. dak pernah mengatakan bahwa mereka keku-rangan uang, tapi
Tesa mengerti, membiayainya ke luar negeri cukup berat bagi orangtuanya.
Karena itu tekadnya makin kuat untuk mencari uang. Ah, seandainya pekerjaan
yang sekarang bisa ditambah dengan pemberian les pada Pro-fesor Meyer! Tapi
dia tahu, dia harus memilih salah satu saja. Pasha pasti takkan mau di-tinggaltinggal, sehingga dia akhirnya akan terpaksa melepas pekerjaannya. Memberi

www.ac-zzz.tk
les memang hasilnya tidak sebesar honor yang diterimanya dari Pasha, tapi dia
cuma datang ke tempat murid dua kali dua jam seminggu. Sele-bihnya waktu
nya bebas. Dia masih bisa ikut kuliah atau mencari murid lebih banyak! Cuma,
dia harus meninggalkan Pasha!
Entah kenapa, dia merasa sedih atau barangkali terharu ketika sampai pada keputusan harus pergi dari Pasha. Dia
takkan pernah melihatnya lagi. Takkan pernah mendengar rengek-annya minta
kue dadar atau makiannya bila sesuatu hal bertentangan dengan kehendaknya.
Sop yang sudah dingin, atau kopi yang kelewat cair, atau telur yang terlalu
keras.... Terkadang lagaknya itu seakan Tesa adalah istrinya yang wajib
merawatnya sebaik mungkin, bukan cuma sekadar pelayan yang setiap saat bisa
minta berhenti.
Lagu di radio sudah berhenti. Di-je belum memutar lagu berikutnya.
"Senangkah kau bila operasiku nanti berhasil?"
Suaranya mengoyak tirai lamunan Tesa, sehingga membuatnya terkejut.
Untung lagu baru segera berkumandang, dan suaranya yang mirip orang
tercekik itu tidak sampai kedengaran oleh Pasha.
"Ya... dan tidak," dia nyeletuk tanpa dipikir lagi"Eh, kenapa begitu?"
"Tentu saja aku senang kalau kau sudah sehat kembali. Bahagiakah engkau
kalau bisa melihat lagi?"
"Sudah tentu! Aku kan ingin melihat bagaimana rupa bidadariku ini!"
D.]. = Disc Jockey = pemutar lagu-lagu
"Nah, karena kau senang, aku pun akan ikut senang. Tapi jangan terlalu
membayangkan yang tidak-tidak, nanti kau kecewa. Sebab aku ini sebenarnya
pernah kena cacar..."
"Kau... kau... bopeng? Ah, aku tak percaya! Tidak! Aku tak bisa percaya!
Mana mungkin si Thomas akan bilang bidadari kalau mukamu... tidak, ah! Kau
bohong!"
"Mungkin saja cita rasa kawanmu lain de-nganmu! Bagimu bopeng itu pasti
jelek, tapi siapa tahu si Thomas menganggapnya cantik seperti*
Tesa ingin ketawa namun ditahannya. Walau-pun sedang bergurau, dia tak
pernah bisa men-duga kapan ketel uap di kepala Pasha akan meledak.
Sebaiknya dia berhati-hati selalu.
"Kaubilang, kau senang, tapi barusan kaubilang juga tidak. Kenapa begitu?"
Tesa menghela napas. "Yah! Kalau kau sudah bisa melihat kembali, berarti
kau tidak perlu bantuanku lagi. Dan aku... yah! Takkan dapat melihatmu lagi!"
Tapi pada detik terakhir dira-latnya jadi: "Dan aku.. yah! Akan kehilangan
tambahan uang saku yang kubutuhkan. Begitu-lah manusia, Pas, selalu ingat
kepentingan sendiri dulu!" Tesa ketawa.
Pasha kelihatan melongo. Wajahnya seperti anak kecil yang baru saja
menyusahkan ibu, dan merasa menyesal telah melakukannya. Tesa jadi tidak
enak hati melihatnya. Saat itu Pasha
sungguh menimbulkan keharuan, polos, dan tak berdaya.
"Tak terpikir olehku bahwa kesembuhanku akan merupakan kabar jelek bagi
orang lain!" gumamnya seakan pada diri sendiri. Lalu me-nambah dengan suara

www.ac-zzz.tk
yang lebih keras, "Kalau begitu, aku tidak mau dioperasi! Biar begini terus. Aku
sudah terbiasa dengan keadaan ini, tidak apa-apa aku buta selamanya!"
"Tapi kau takkan bisa melihat diriku!" Tesa ketawa pelan.
Pasha mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Tidak melihat pun, aku tetap
percaya bahwa kau cantik. Seandainya tidak pun, tak jadi soal. Kalau bopeng,
malah kebetulan!"
"Lho!"sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Berarti kemungkinan tak ada Orang mau pacaran denganmu! Jadi kau bisa
datang terus ke-mari! Biarlah. Biar aku tetap buta. Asal kau tidak kehilangan
penghasilan dan bisa datang ke sini tiap hari."
"Ah, kau ini egois!" Tesa nyeletuk tanpa sengaja.
Wajah Pasha jadi berkerut dan mendung. "Lho! Aku mau menolongmu kok
malah ditu-duh egois?"
"Habis apa kalau enggak?! Kalau kau terus begini, kapan kuliahmu akan
selesai? Apa orangtuamu takkan sedih melihat kau jadi tuna-netra karena
enggak mau dioperasi?"
"Biarlah. Kalau sudah nasib! Aku rela!"
"Kasihan Pika, dong!"
"Kalau dia keberatan, aku relakan dia mencari pacar lain. Asal kau bisa
terus berada di sam-pingku."
"Nah, bukankah itu egois juga namanya? Kalau aku harus terus-menerus
menemani kau begini, mana aku bisa kuliah?"
Pasha terdiam seakan baru menyadari keke-liruannya.
"Dan aku juga tak bisa selamanya merawatmu di sini. Suatu saat, aku akan
kembali ke tanah *-"
Pasha tercenung, menopang dagu di atas ta-ngan kursinya. Akhirnya dia
mengangguk. "Ya, ya, ya, benar juga. Tapi kalau aku sembuh, berarti kau akan
kehilangan kerja...."
Tesa memarahi diri sendiri sebab sudah bicara sembarangan. "Tidak apaapa. Aku pasti bisa mencari kerja lain-"
"Misalnya?"
"Misalnya, mengajar bahasa Indonesia."
"Kenapa sih kau enggak balik saja ke Jakarta!"
"Aku malu dong balik sebelum berhasil. Orangtua sudah bersusah payah
mengongkosi agar aku bisa sampai ke sini! Mereka begitu baik, tak pernah
memaksakan kehendak mereka pada anak-anak. Untuk mereka tentunya lebih
mudah bila aku kuliah di Jakarta saja, biaya hidupnya lebih ringan. Tapi
mereka menghargai niatku untuk hijrah kemari, mencari pengalam-an. Justru
karena kepercayaan mereka itu, aku
ingin menyenangkan hati mereka. Aku ingin mereka bisa bangga melihat
keberhasilanku nanti."
"Aku puji tekadmu yang kuat itu, Sel!"
Tesa menatap pemuda itu, lalu diam-diam menghela napas. Tidak. Dia tak
mungkin mem-beritahu Pasha keputusannya saat ini. Biarlah besok saja.

www.ac-zzz.tk
Tapi besok pun keberaniannya tidak terkum-pul juga. Nopi menanyakan
ketika mereka ber-dua makan di dapur asramaapakah dia jadi mulai pada
Profesor Meyer tanggal satu Juli?! Tesa mengiakan, tapi dalam hati dia kurang
yakin. Dia belum berhasil menemukan kesem-patan untuk memberitahu Pasha.
Barangkali lebih baik mengatakan pada Pika saja dan mem-biarkan gadis itu
menyampaikannya pada Pasha?!
Ternyata hal itu tidak mudah juga. Pika kelihatan begitu sibuk dan pikuk
ketika mereka ketemu di dapur. Dia muncul dengan seorang pemuda Australia.
"Pik, aku mau ngomong sebentar," kata Tesa, tapi gadis itu melambaikan
tangan sementara mulutnya menggigit roti berlapis sardencis yang barusan
dibuatnya.
"Nanti saja, Tes. O ya, kenalkan nih, kawan kuliahku, Michael. Dan Michael,
ini Tesa, dari Jakarta juga."
Michael menjabat tangannya begitu keras, sehingga Tesa nyaris meringis.
Pemuda itu ber45 sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
tubuh kekar, tingginya sedang, matanya kelihatan ramah, wajahnya penuh
bintik-bintik coklat. Sebelum Tesa sempat mengulangi permintaan-nya, Pika
sudah melambai lagi, lalu bersama temannya menghilang ke arah kamarnya.
Pemandangan dari jendela dapur tidak banyak menghibur hati. Udara di luar
dingin, la-ngit kelabu, dan puncak-puncak pencakar langit tampak menambah
keasingan di hati yang ra-wan. Hari itu matahari cuma muncul sebentar,
kehangatannya pun tak bersisa lama. Dedaunan meliuk menuruti kehendak sang
angin yang berembus lalu tak mau singgah, namun cukup membuat repot
mereka yang di jalan. Masing-masing berusaha merapatkan mantel serta menyembunyikan tangan dalam saku.
Tesa duduk termangu. Dilihatnya kalender yang tergantung di depan meja
makan. Minggu depan sudah tanggal satu. Dia harus segera menyampaikan
keputusannya pada Pasha! Be-sokkk!
Bab 4
"Tidak bisa! Kau tidak bisa berhenti dari sini!" protes Pasha setengah kalap.
Tesa melambaikan tangan memintanya supaya lebih tenang, walaupun tentu
saja pemuda itu tidak bisa melihatnya (dan dia baru teringat kemudian).
"Dengarlah baik-baik, Pasha. Jangan protes dulu. Coba kaupikirkari dengan
tenang, apa tugasku sebenarnya di sini: membereskan kamar dan membereskan
ranjang; memasak sekadar-nya atau memesankan makanan melalui telepon
ataupun membelinya ke toko; membuat kopi, menyediakan -biskuit dan
nyamikan, mengatur suhu ruangan; mencuci baju serta menyetrika;
membersihkan dapur dan perabot sehabis ma-sak. Nah, apa lagi? Rasanya cuma
itu doang. Membersihkan kamar mandi serta ngepel lantai, itu tugas Nyonya
Allison yang datang seming-gu dua kali. O ya, menyirami tanaman di pot-pot
dekat jendela. Cuma itu."
"Belanja bahan makanan tiap minggu?" s bung Pasha dengan nada
penasaran.
"Ya, itu juga."

www.ac-zzz.tk
"Memasukkan surat-surat ke pos?" "Ya, betul."
"Membayar rekening-rekening?''
Tesa mengangguk, lalu ingat Pasha tak bisa melihatnya. "Ya."
"Membacakan surat-suratku, terutama dari rumah?"
"Ya," sahutnya meringis. Sebenarnya tugas terakhir ini lebih pantas
diserahkan pada Pika, yang rasanya lebih berhak untuk itu. Susahnya,
temannya itu tidak bisa diharapkan akan datang pada waktu-waktu tertentu.
Pika tampaknya terlalu sibuk di kampus, dan muncul ke sini sembarang waktu,
bisa setiap saat, tapi lebih sering lagi, berhari-hari tidak datang, paling cuma
menelepon tanya keadaan. Sedangkan Pasha seorang yang tidak sabaran.
Begitu surat datang, saat itu juga dia harus tahu isinya. Tesa bisa mengerti,
sebab dia sendiri pun selalu me-rindukan surat dari rumah.
"Nah, begitu banyak tugasmu, kaubilang kau di sini tidak aku perlukan?"
"Tapi semua tugas itu tidak mutlak harus aku yang melakukan. Sebagian
besar bisa kaukerja-kan sendiri, Pasha,"
"Misalnya?" tantang Pasha setengah mengejek.
"Membereskan seprai, memasukkan cucian ke dalam mesin, pesan makanan
lewat telepon, mengatur suhu... itu semua bisa kaukerjakan sendiri dengan
latihan."
"Membuat kopi? Memasak air?"
"Pika bisa memasak air kalau dia datang, lalu
menyimpannya dalam termos. Nah, tiap kali kau ingin membuat kopi,
tinggal menuang air panas ke dalam cangkir, apa susahnya?"
"Dengan latihan, tentu!" angguk Pasha sedikit
sinis.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Pasha, kau kan tidak mau menggantungkan hidupmu selamanya pada orang
lain?"
"Padamu, maksudmu?! Tidak! Tentu saja tidak! Mana aku berani! Pasti sebal
sekali rasanya bagimu mengurus aku tiap hari seperti sekarang ini! Menemani
diriku sehari suntuk! Tak bisa kuliah, tak bisa... ehem! pacaran, tak bisa segala
macam! Tentu saja kau ingin secepatnya bebas dari aku!"
Tesa menggigit bibir, sementara matanya ber-linang-linang. Hatinya pedih
bagai ditusuk-tusuk sembilu. .
"Pasha, kau salah paham! Bukan itu alasanku untuk berhenti dari sini dan
mengajar..."
"Apa profesor itu membayarmu jauh lebih tinggi dari aku?" tanya Pasha
tanpa kenal kasih-an. "Kau kan merawatku semata-mata karena uang, bukan?
Nah, pasti orang itu telah mena-warkan honor yang lebih tinggi! Iya, kan?"
"Pasha...," tukas Tesa dengan suara tercekik air mata. Sakit hatinya dituduh
mata duitan seperti itu. Tapi Pasha rupanya sudah kalap.
"Bagaimana kalau aku naikkan honormu?
Tapi kau enggak boleh kasih les segala macam! Kau cuma boleh mengurus
diriku tok!" "Sampai kapan?"
Pasha tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mulai menyebutkan semua
tugas yang takkan mungkin dilakukannya sendirian.

www.ac-zzz.tk
"Gimana aku harus belanja makanan setiap minggu? Memasukkan surat-surat
ke pos? Siapa yang akan membacakan aku surat-surat dan mengurus tagihan
rekening? Siapa..."
"Pasha," kata Tesa sesabar mungkin, "untuk beli bahan makanan seperti
telur, susu, dan barang kaleng, kau bisa minta tolong Nyonya Allison. Pasti dia
mau, dengan imbalan sedikit. Begitu Juga pergi ke pos serta mengurus
rekening. Membacakan surat dari rumahmu, seperti dulu pernah aku bilang,
memang lebih cocok dilakukan oleh Pika daripada aku. Bukankah dia itu calon
istrimu? Dia lebih berhak..."
"Ah," tinggalkan Pika!" potong Pasha menge-luh. "Dia tak pernah punya
waktu lebih untuk-ku."
"Aku rasa, dia akan bersedia seandainya ke-adaan memaksa."
Pasha menghela napas, lalu menjulurkan ba-dan ke depan. "Selina,
sebenarnya apa sih alas-anmu sampai kau begitu nekat mau berhenti dari sini?
Sudah kukatakan, aku bersedia menaikkan honormu!"
Tesa kembali menggigit bibir. Rupanya orang ini cuma berhitung lewat uang
semata. Dia
tidak memikirkan bahwa seorang manusia juga bisa disetir oleh perasaan.
Dan perasaan yang
bagaimana!
Tidak. Dia harus lekas berlalu dari sini, pikir-nya. Makin lama akan makin
sulit baginya me-lepaskan diri!
"Bagaimana, Selina? Kau setuju bukan dengan kenaikan honor? Tapi
kaubatalkan rencana untuk kasi les! Kau cuma boleh mengurus aku
saja!"sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Sampai kapan?" jerit Tesa putus asa.
"Sampai... ya, paling tidak, sampai operasiku berhasil. Itu kan cuma tinggal
lima bulan lagi. Mau dong, Sel? Setelah itu kau bisa kuliah kembali. Sekarang
pun kau sedang libur, bukan? Setelah operasiku sukses, aku berjanji takkan
menyusahkan engkau lagi! Oke?"
Tapi, kau justru akan menyusahkan hatiku, jeritnya dalam hati.
"Dan kalau aku memaksa berhenti juga, gimana? Apa kau bisa menahanku?"
Pasha terkulai lemas. Wajahnya memucat. Dia menggeleng. "Tidak, Sel,"
bisiknya parau. "Aku takkan bisa menahanmu!"
***sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Akhirnya Pika yang menengahi. Dia mema-rahi Tesa yang dianggapnya
terlalu ingat kepen-tingan sendiri.
"Tapi itu justru demi kepentingannya, Pik!"
bantah Tesa. "Aku tidak mau dia menjadi ter-gantung seratus persen
padaku.' Sekarang pun sudah sulit aku minta izin untuk ke mana-mana. Maunya
ditemani terus olehku. Itu kan sebenarnya tugasmu?"
"Ah, kau tahu sendiri betapa sibuknya aku! Sekolah kedokteran kan enggak
seenak sekolah sekretaris, Tes!"

www.ac-zzz.tk
"Maksudmu, enggak segampang sekolahku!" tukas Tesa sinis. Memang
diakuinya Pika itu orangnya dinamis, hebat, lincah, dan otaknya encer, enggak
seperti dirinya yang pas-pasan. Tapi betapapun hebatnya Pika, seharusnya dia
lebih banyak menyisakan waktu untuk pacar-nya, bukan? Apalagi dalam
keadaannya yang sekarang ini!
"Apa lantaran kau sibuk, aku jadi harus me-ngorbankan semua
kepentinganku?"
"Lho! Apakah kita salah paham? Bukankah kau butuh uang, lalu aku tawari
kerjaan! Ya, kan?"
"Ya. Tapi aku tidak bermaksud menyerahkan seluruh waktuku untuk
mengurus Pasha! Sekarang aku telah menemukan kerjaan baru. Mem-beri les
bahasa seminggu dua kali. Memang honornya jauh lebih kecil, tapi aku tidak
begitu terikat Waktuku selebihnya bebas kupakai untuk keperluan lain."
Pika kelihatan bingung juga mendengar Tesa sudah mendapat sumber
penghasilan baru. Dia insaf kalau gadis itu memaksa mau berhenti,
dia takkan bisa menahan. Karena itu digantiny'a
suaranya yang marah-marah tadi dengan bujuk-an halus.
"Tes, apa kau tega meninggalkan Pasha sekarang ini? Aku justru lagi sibuksibuknya me-nyiapkan diri untuk ujian. Selain itu, aku juga sudah mulai tugas di
rumah sakit. Temanilah Pasha beberapa bulan lagi. Sampai dia dioperasi.
Setelah itu kau boleh bebas, deh. Dan kami tidak akan melupakan
pengorbananmu, Tes!"
Enak saja, pikir Tesa dengan pahit. Mentang-mentang punya duit! Setelah
operasi berhasil, aku dibebaskan, tapi sementara itu hatiku sudah... barangkali
sudah luka parah! Adakah yang akan peduli?!
"Aku bersedia mengurus Pasha sampai ope-rasinya sukses, tapi kukatakan
padanya, aku minta izin untuk memberi les seminggu dua kali. Dan dia
keberatan. Jadi, yah! Kalau dia begitu egois...!" Tesa mengangkat bahu.
"Aku berjanji akan membujuknya. Dia pasti setuju. Kau boleh memberi les
seminggu dua kali. Tapi Pasha jangan kautinggalkan. Setuju?"
Entah bagaimana caranya Pika membujuk Pasha, tapi nyatanya pemuda itu
setuju dengan kehendak Tesa. Demikianlah minggu demi minggu berlalu. Udara
masih cukup dingin wa-laupun tidak sedingin di daerah bagian timur.
Tesa masih menjalankan tugasnya membeli barang-barang makanan
seminggu sekali. Terka-dang belanjaannya cukup banyak, termuat dalam dua kantong, dan dia tak dapat mengha-ngatkan tangannya bergantian
ke dalam saku jaket. Biasanya Pika suka menemuinya di dapur asrama pada
malam hari kalau dia mempunyai titipan khusus untuk akhir pekan. Seperti
minggu lalu.
"Tes, belikan dada ayam ya barang tiga po-tong. Lalu atinya satu kotak yang
setengah kilo. Juga jamur sekotak. Pasha kepingin makan sate hari Minggu
besok. Jamur itu mau aku semur boat makan dengan supermi."
Khusus hari Minggu, dia memang libur, sebab itu hari untuk Pika dan Pasha
berduaan. Pika sering masak-masak dan terkadang meng-undang teman-teman,
tapi Tesa sendiri belum pernah dipersilakan datang. Dia maklum. Pika tidak

www.ac-zzz.tk
mau Pasha memperlakukannya sebagai teman. Ah, dia juga lebih senang
dibiarkan sendiri, bisa menikmati tidur sampai puas.
Setelah pesta sate ayam itu, Senin berikutnya seperti biasa Tesa muncul di
tempat Pasha. Udara pagi itu hangat sekali terutama embusan anginnya.
Matahari bersinar cerah.
Pasha tengah duduk di depan jendela, tidak berbuat apa-apa. Wajahnya
menatap ke bawah, seakan tengah memperhatikan orang-orang yang hilir
mudik dengan berbagai urusan masing-masing.
"Kau mau sarapan apa pagi ini, Pasha? Sudah bosan dengan roti dan ham?
Aku bisa mem-buatkan engkau nasi goreng yang enak. Mau?"
"Asal kau juga ikut makan," sahut Pasha te
senyum samar.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Oh, enggak keberatan. Sebenarnya sih, aku sudah melahap roti kacang
setangkup. Tapi dalam udara seperti ini, perut memang cepat la-par, ya." Tesa
beranjak mau ke dapur, ketika suara Pasha menghentikan langkahnya.
"Sakitmu sudah sembuh?"
Tesa keheranan. Sakit? Dia sakit? Sebelum hilang bingungnya, Pasha sudah
meneruskan, "Kemarin kau enggak datang! Kan sudah aku bilang, kau harus
datang! Kita mau memang-gang sate. Kata Pika kau sakit kepala!"
Hm. Jadi aku kemarin sakit kepala?! Apa boleh buat, kalau Pika sudah bilang
begitu. Pasha memang menyuruhnya datang, tapi dianggapnya itu basa-basi
belaka. Mungkin dia kasihan mendengar napasnya ngos-ngosan setelah me-naiki
tangga dengan belasan kilo bahan makanan. Dia sama sekali tidak menganggap
undang-an itu sungguh-sungguh. Terlebih karena Pika tidak ikut mengundang.
Tahunya, dia dibilang sakit! Ya, deh, enggak apa.
"Memang, aku pening kemarin. Terlalu sering masuk angin, mungkin."
"Sekarang sudah baik?"
"Mendingan. Tapi kalau pulang terlalu malam, suka kambuh lagi!" Dia
berdusta deh se-kalian, biar diizinkan pulang sorean.
"Sebenarnya sudah kusisakan sepuluh tusuk
55
untukmu, tapi menurut Pika, sate enggak bisa disimpan dalam kulkas.
Bumbunya pasti basi."
Tesa ketawa sambil meringis dalam hati. "Tentu saja. Aku juga enggak mau
makan sate sisa! Kering, enggak enak! Oke deh, sekarang aku mau bikin nasi
goreng. Kau tunggu di sini anteng-anteng, ya. Jangan melompat dari jendela!"
Tesa ketawa, lalu menyingkir dari bantal kecil yang dilemparkan oleh Pasha ke
arahnya.
Rupanya otak Pasha hari itu sedang di tengah. Sikapnya ramah, mudah
diatur, dan tidak cerewet Tesa segera sibuk di dapur mengiris bawang, cabe,
dan lain lain. Dalam beberapa menit saja wangi nasi goreng sudah memenuhi
seluruh apartemen. Pasha rupanya menjadi tidak sabar menahan lapar, lalu
muncul dalam kursinya di ambang pintu dapur.
"Nah, bolehkah aku masuk?"

www.ac-zzz.tk
"Tentu. Aku baru saja mau memanggilmu. Rringmu sudah aku letakkan, juga
gelasmu. Dan ini... nasi gorengnya!"
Mereka makan berdua dengan lahap sekali. Pasha tidak henti-hentinya
berdecah memuji masakan Tesa. Lalu tiba-tiba saja dia berhenti menyuap dan
memandang ke arah Tesa dari balik kacamata hitamnya.
"Minggu depan aku akan dioperasi," katanya tanpa emosi. "Maukah kau
mengantarkan aku ke rumah sakit?"
Tesa mencioba ketawa ringan, tapi bunyinya malah kedengaran gugup serta
penuh khawatir.
56 sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Mau sih mau," katanya kemudian. "Tapi, aku paling takut pergi ke sana. Kan
ada Pika, apa enggak mendingan dia saja yang mengantarmu? Biarlah aku
menunggu beritanya saja."
Pasha - menghela napas. Dia menunduk dan mengacau nasi goreng di
piringnya. Karena ke-biasaan, Tesa memberitahukan, "Tomatmu ada di pukul
dua. Mentimun di pukul sepuluh."
Tapi Pasha tidak mengacuhkan petunjuknya. Dia terus mengaduk-aduk
nasinya tanpa menyendoknya ke mulut. Tesa jadi khawatir jangan-jangan
bocah gede itu ngambek lagi. Betapa mudahnya Pasha tersinggung, pikirnya
nasping.
"Pika ada praktikurrt hari itu, Selina. Dia enggak bisa bolos," katanya dengan
suara kecil seakan kecewa sekali.
Tesa tidak berani menyanggah lagi, takut nanti "momongannya" itu benarbenar ngambek. "Nah, tentu saja kalau Pika berhalangan, aku yang akan
mengantarmu. Pokoknya, jangan sampai Pika merasa haknya dirampas olehku!"
"Hak apa?" Pasha mengangkat muka dan memandang ke depan dengan rupa
bingung.
Tesa mengangkat bahu. "Ya, hak seorang pacar, dong! Hak apa lagi?!"
Pasha melongo sejenak, kemudian ketawa ter-bahak. "Selina! Kau ini
pikirannya macam-macam saja. Kita kan hidup di zaman modern, masa sih
masih penuh prasangka begitu?"
Panas terasa wajah Tesa ditertawakan begitu.
57
Lebih merah lagi ketika Pasha menyambung, "Seandainya dia mencurigai
engkau, tentunya dia takkan membiarkan engkau datang ke sini tiap hari,
bukan?"
"Baiklah! Minggu depan aku akan mengantarmu/ kata Tesa cepat untuk
mengakhiri perbin-cangan yang sensitif itu.
Bab 5 sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Tesa mengantar Pasha sampai ke dalam kamar. Lalu dipegangnya lengannya
ketika pemuda itu beralih dari kursi roda ke atas ranjang rumah sakit yang
putih bersih. Dia tidak segera berba-ring, sebab masih memakai baju jalanan,
belum berganti dengan daster rumah sakit yang ter-lipat rapi di ujung tempat
tidur.

www.ac-zzz.tk
Tesa berpendapat sebaiknya dia berlalu sekarang, dan berniat mendorong
kursi keluar. Tapi tahu-tahu Pasha menangkap tangannya serta
menggenggamnya erat-erat.
"Berjanjilah bahwa kau akan berada di sini ketika aku sadar kembali, Sel!"
Tesa tergugu. Seketika dia panik. Apa yang akan dijawabnya? Dia tidak tahu
apakah Pika takkan keberatan dia menunggui Pasha dioperasi? Rasanya kok
agak berbau intim dan membuat hatinya resah. Bagaimana kalau Pika nanti
marah? Disangkanya, dia bisa-bisaan sendiri! Menunggui Pasha kan haknya.
Masa sih begitu arna dia praktikum? Kalau operasi selesai, pasti Praktikumnya
juga sudah lama bubar, bukan?!
Apa Pika enggak keberatan? Aku takut dia nanti kurang senang!"
"Ah, Sel! Kau ini kok kuno sekali, sih? Kau kan temanku juga. Apa salahnya
teman menunggui teman dioperasi? Hitung-hitung memberi semangat dan ikut
mendoakan supaya berhasil?"
Pikiran Pasha benar juga. Dia tidak menemu-kan alasan untuk mengelak.
"Baiklah. Aku akan diam di sini sampai operasimu beres!" janjinya, lalu dengan
lembut ditariknya kembali tangan-nya yang sejak tadi digenggam oleh Pasha.
Dan itu dilakukannya tepat pada waktunya. Sebab sedetik kemudian terdengar
pintu dibuka, lalu suara Pika yang nyaring penuh ketegangan me-nerobos
masuk.
"Ah, untunglah kau belum apa-apa!" serunya menghampiri Pasha.
Tesa minggir sambil menoleh ke pintu. Pika muncul dengan lab-jas putih
berkibaran tanpa dikancing. Di belakangnya berdiri mematung si Michael
dengan kedua tangan masuk kantong. Dia kelihatan ragu, akan masuk atau
tetap di ambang pintu.
Pika langsung memeluk Pasha dan mengecup pipinya dua kali kanan dan
kiri. Tesa menun-duk agar tak usah menyaksikan terlalu lama. Kemudian
didengarnya suara Pika memperke-nalkan temannya,
"Aku membawa Michael, Sha. Michael, ke-mari, beri selamat OP sama
Pasha! Dan ini,
ngng... Ttt... Selina! Kau sudah kenal, bukan?
Tempo hari di dapur?"
Michael menjabat tangan Pasha, lalu menoleh pada Tesa dan tersenyum
sambil mengangguk. Tesa jadi kegerahan. Dia teringat, tempo hari Pika
menyebutnya sebagai Tesa, lalu kini ber-ubah jadi Selina. Dia khawatir sekali
jangan-jangan Michael nanti keheranan dan bertanya. Tapi untunglah pemuda
itu diam saja. Mungkin sudah lupa namanya, mungkin juga tidak mau usil.
Tesa sudah tidak betah di situ, macam cacing terkubur abu. Dia gelisah,
namun tidak me-nemukan alasan untuk melangkah keluar. Pika kelihatannya
anteng saja duduk di samping Pasha di ranjang, sementara Michael berdiri di
kaki ranjang dengan siku bertumpu ke besi. Cuma Tesa sendiri yang merasa
kelebihan, berdiri dekat wastafel, ganti berganti kaki, seolah kecapekan.
Untung sekali masuk suster membawa nam-pan berisi suntikan dan beberapa
ampul. Mereka dihalau semua. Tesa diam-diam menarik napas lega, dan cepatcepat menghampiri pintu.
"Ingat janjimu barusan, Sel!" seru Pasha mengingatkan.

www.ac-zzz.tk
"Janji apa, sih?" tanya Pika dengan kening berkerut, setibanya mereka di
luar kamar. Dengan lagak interogator Pika menghadapinya sambil berkacak
pinggang.
Tesa menatapnya dan tiba-tibaentah kenapa.
dia merasa iri pada temannya. Pika begitu cantik, lincah, anggun, dan
penuh gaya dalam jas putihnya. Dia ad a lah segala-galanya yang pernah
didambakan oleh Tesa namun takkan didapatnya: gadis dengan orangtua yang
kaya, otak yang encer, dan kepandaian bergaul yang mengagumkan. Wajahnya
yang cantik begitu mempesona. Wajahnya sendiri terasa buram dan lecek. Be
be ra pa orang memang pernah meyakin-kan hatinya yang rapuh, bahwa
mukanya manis serta menarik, bahkan cantik. Namun Tesa tak pernah yakin.
Bagaimana dia akan yakin. Satu-satunya orang yang diharapkan mampu meyakinkan harga dirinya yang penuh ragu itu, ter-nyata malah kepincuk oleh
Shakira, sahabatnya! Oh, dia tak sudi lagi mengingat-ingat tentang Goffar! Buat
apa menyusahkan hati sendiri untuk seorang pengkhianat?!
"O, itu! Pasha minta supaya aku menunggui-nya di sini sampai dia siuman
lagi."
Diam-diam Tesa menghela napas. O, betapa didambakannya selingkar
lengan perkasa yang akan memeluk bahunya saat-saat begini, seperti yang
tengah dilakukan Michael terhadap Pika. Betapa sentosa dan aman rasanya
hati....
"Oooh!" Pika kelihatan lega kembali. Dia malah ketawa manis. "Kalau begitu,
kebetulan sekali. Aku bisa ikut grup belajarku. Semula aku pikir, sudah tak
mungkin. Tapi sekarang, lan-taran sudah ada engkau yang akan menjaganya
nanti, aku jadi lega dan enggak usah bolos.
Kalau ada sesuatu yang penting, tolong aku dihubungi di nomor ini ya, Tes."
Pika menyo-dorkan secarik kertas yang ditulisinya cepat-cepat dengan
beberapa angka.
"Ini tempat Michael. Kalau enggak ada apa-apa sih, enggak usah deh
mengganggu. Nanti aku datang selesai study-group."
Tesa menyambut nomor telepon itu dengan mendongkol. Jangan
mengganggu katanya! pi-kirnya. Demi untuk kepentingannya, dikatakan-nya
mengganggu. Apakah grup belajarnya itu lebih penting dari nasib pacarnya?!
"Sudah, ya. Bye-bye."sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Dan menghilanglah Pika bersama Michael dengan langkah-langkah
meyakinkan yang membuat iri serta kagum orang yang melihat. Maka tinggallah
Tesa di ruang tunggu, seperti Sapu Abu duduk menantikan utusan Pangeran
yang akan membawa sepatu gelasnya yang tertinggal semalam di istana.
Di ruangan itu kebetulan tak ada orang lain, jadi dia tidak bisa ngobrolngobrol. Diraihnya sebuah majalah wanita. Dibuka-bukanya dari depan sampai
ke belakang, namun minatnya tak ada untuk membaca. Hatinya terasa resah,
entah kenapa. Diambilnya majalah yang lain. Dilembarinya seperti yang
pertama. Demikian-lah dia melewatkan waktu. Setelah kesal me-lihat-lihat
gambar iklan, ditumpuknya kembali majalah-majalah itu ke tempat asal
mereka, lain dia berdiri meluruskan pinggang.

www.ac-zzz.tk
Mulailah dia berjaian mondar-mandir sepan-jang lorong, seperti calon ayah
tengah menung-gu kelahiran bayinya yang pertama.
Akhirnya dia kesal diam di situ terus. Dicari-nya seorang perawat dan
ditanyakannya di mana kantin.
"Di lantai bavvah, lorong sebelah kanan."
"Terima kasih," dia mengangguk, lalu mencari lift dan turun. Kantin itu tidak
sulit dicari. Dari jauh pun wangi masakan sudah menerpa pen-ciuman. Dituntun
oleh hidungnya, Tesa tiba pada sebuah pintu kaca yang penuh ditempeli kertaskertas penawaran barang-barang bekas serta operan kamar sewa bagi
mahasiswa.
Tesa mendorong pintu dengan kedua tangan. Udara sejuk langsung
menyelubungi tubuhnya. Di tembok sudah ditempelkan hiasan-hiasan Natal,
sebab sekarang sudah bulan Desember. Kantin itu cukup luas. Paling sedikit ada
tiga puluh meja. Musik lembut mengalun menyen-tuh kalbu. Cuma ada
beberapa orang kelihatan tengah minum kopi atau makan nyamikan. Rupanya
memang belum waktu makan. Yang minum kopi itu mungkin para dokter.
Mereka agaknya baru selesai jaga malam, sebab tarn-pang mereka lusuh seperti
orang kurang tidur.
Tesa pergi ke counter mengambil secangkir kopi pahit dan sepotong kue tar
aprikot. Lalu dipilihnya meja yang sepi dekat pot tanaman. Dia duduk
menghadap ke pintu, asyik meng-awasi orang-orang yang hilir mudik di lorong
depan kantin. Beberapa pendatang baru mema-suki ruangan dengan sikap
tergesa-gesa, ada yang cuma meneguk secangkir kopi lalu pergi lagi. Rupanya
tempo kerja para dokter serta perawat amat tinggi. Tesa bersyukur dia tidak
jadi memilih kedokteran. Bisa kedodoran pakai-annya kalau dia mesti
melangkah setengah ber-. lari seperti mereka! Dia lebih suka hidup yang rileks
dan santai. Karena itu dia merasa cukup masuk college saja.
Tapi Pasha dan Pika adalah manusia-manusia jempolan, pikirnya setengah
kagum dan iri. Ka-gum untuk Pasha. Iri pada Pika. Keduanya adalah calon
dokter yang heiiibat!
Sambil makan kue dan menghirup kopi, Tesa membiarkan dirinya melamUn
kian kemari, hingga pada Goffar sekalipun. Namun peng-khianat itu tidak
dibiarkannya berlama-lama menyita pikirannya. Dia segan kembali ke masa
lalu, mengasihani diri bertalu-talu. Tapi kalau dia teringat nasibnya kini serta
kesulitan yang tengah melibat dirinya, mau tak mau hatinya terasa pedih. Dia
berusaha memikirkan jalan ke-luar namun tidak diperolehnya. Hatinya tidak
tega meninggalkan Pasha begitu saja, walaupun dia hanya pelayannya belaka,
yang dibayar untuk merawat serta menemaninya selama dia tak berdaya....
Seandainya saat ini dia berlalu dari rumah sakit, pulang ke asrama dan tidak
mengunjungi Pasha lagisebab sudah tak diperlukan; dia
yaicin operasi ini akan berhasil mengembalikah penglihatan Pashasiapakah
yang akan marah padanya?. Siapakah yang akan mencegahnya? Siapakah yang
akan merasa kehilangan? Jawab-nya tidak ada, tidak ada, tidak ada!
Tapi hatinya tidak tega. Selain itu, dia sudah berjanji. Baginya, janji adalah
sepotong ucapan yang teramat berat tanggung jawabnya. Bagai-manapun,
mesti dipenuhi! Sebab kalau tidak, mungkin bisa membawa akibat buruk,

www.ac-zzz.tk
bahkan bisa menghancurkan sepotong hati seperti yang pernah dialaminya
sendiri!
Janji seorang lelaki! Seorang Goffar yang tak punya kepribadian, persis
"terang bulan terang di kalibuaya timbul disangka matijangan percaya mulut
lelakiberani sumpah takut mati!!!"
"Ampunilah aku, Tes. Aku mata gelap, aku lupa da rata n, aku bod oh, aku
egois. Shakira itu mana nempil dibandingkan sama dirimu. Sifat-nya juga
enggak lembut, serakah, dan tak pernah peduli perasaan orang lain. Aku
enggak yakin perkawinan kami bisa bertahan lama, tapi saat ini kami harus
menikah! Kalau enggak, aku bisa dicincang sama bapaknya! Sebab Shakira
sudah telanjur hamil____"
"Oh, Goffar! Mana janjimu mau setia, mana sifat jantanmu menolak godaan,
mana kekuatan imanmu, mana... mana...? Kau mau saja dicocok hidung,
disuruh masuk ke mobil, diangkut ke Puncak! Katamu, kau mata gelap? Lupa
daratan? Katamu, kau terdorong rasa ingin tahu? Katamu, kau diberi obat?
Katamu, kau akan cerai begitu anakmu lahir? Katamu, kau pasti
akan balik padaku?sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Kaupikir, aku mau menampung sampah? Kaukira, dunia cuma selebar
telapak tangan?
Kaupikir, kau ini enggak bisa digantikan- oleh orang lain? Kaukira, aku sudi
cinta murahan seperti cintamu? Kauduga aku takkan bisa hidup tanpa dirimu?
"Bah! Aku lebih suka patah hati berkeping-keping daripada kehilangan harga
diri! Aku lebih suka mandi air mata setiap malam daripada merampas ayah
seorang anak kecil. Kalau kelak kau cerai juga, itu urusanmu, asal jangan kawin
lagi dengan aku!"
Goffar memberikannya sehelai kartu undang-an yang segera dilemparnya ke
keranjang sampah tanpa dibaca lagi. Dia menolak pergi ke pesta kawin mereka.
Minggu sore itu dia me-ngunci diri dalam kamar memutar lagu-lagu sendu dan
yakin matahari takkan terbit lagi esoknya.
Tapi ternyata matahari tetap bersinar cerah, burung-burung masih meriah
dan setelah pen-deritaan batinnya mengendap di dasar hati, timbul hasratnya
hendak merantau ke selatan.
Goffar hampir kalap ketika tahu berita itu dari Daniel, adiknya. Seharian dia
duduk dalam mobilhadiah mertuadi depan rumah, me-nunggu Tesa keluaf.
Tapi yang ditunggu
muncuJ. Cottar pulang. Besoknya pagi-pagi jam enam sudah parkir lagi,
begitu juga besoknya dan besoknya, sehingga akhirnya les a terganggu dan
hilang kesaharan. Dia ti- I bisa kriuar rumah, padahal banyak yang haras diurus
dan dibelinya.
Terpaksa abangnya Mark us, membawa ka-wannya yang punya scragam
hijau. dan pemuda bvrkarakter tempe itu pun takut dengan ancaman entah apa
yang dilontarkan abangnya. Pendeknya, petuah teman abangnya agar dia
segera sirna dari situ dan jangan muncul lagi, ditumtmya hingga tuntas. Namun
dengan surat kilat khusus masih dicobanya menyentuh hatinya. Dberahkannya

www.ac-zzz.tk
sural itu ke tangan abangnya, utuh, dengan permintaan supaya dikem-bafikan.
Sejak itu Goffar bagaikan sudah ditelan burnt tak ada kabar ceritanva lagi. Dan
kisah mereka pun tamatiah sudah.
Setelah kopi serta kue masuk ke dalam perut, Tesa merasa lebih nyaman
dan keresahan yang tadi melanda, kini lenyap sebagian.
Dilihatnya arfoji. Dia sudah setengah jam di situ. Diambiinya tasnya dari
atas meja, lalu di-gesernya kakinya mau berdiri, ketika pintu kantin didorong
dari luar dan... dilihatnya Pika j serta Michael masuk sambil ketawa, ketawa
MB*
Tesa membatalkan niatnya dan berusaha mendutkan diri supaya tidak
kelihatan. Kedua orang itu la ng sung ke counter memilih makan- ,
an. Tengah keduanya membelakanginya, Tesa cepat-cepat bangkit, lalu
seakan dike jar setan, melangkah setengah berlari ke pintu, mendo-rongnya
dengan kedua tangan dan keluar. Tanpa menoieh lagi dia langsung pergi ke lift
untuk kembali ke ruang tunggu di lantai tiga.
Dua jam kemudian seorang perawat meng-hampirinya dan dengan manis
memberi tahu kan bahwa pasien sudah sadar.
"Tuan Solem sudah berada di kamarnya lagi.
Dia menanyakan Anda." "Oh. I e rim a kasih."
Tergesa-gesa diletakkannya majalah yang tengah dinikmati iklan-iklannya,
lalu menyandang tasnya dan melangkah ke kamar Pasha.
Dihampirinya ranjang pelan-pelan seakan takut membangunkan yang tidur.
Tapi Pasha tcr-nyata sedang menunggunya.
"Pasha," bisiknya sambil menyentuh tangan di atas selimut "Bagaimana
perasaanmu?"
"Air," erangnya hampir tak kedengaran.
Tesa mengambil gelas yang sudah tersedia di atas meja dengan sendok teh
kecil. Disuapkan-nya air bening itu sesendok ke dalam mulut Pasha. Perawat
tadi sudah berpesan bahwa pasien belum boleh minum banyak-banyak.
Diletakkannya sendok dan gelas kembali ke atas meja.
"Lagi," tun tut Pasha dengan suara lemah. Tesa memberinya sesendok lagi.
"Cukup dulu, Pasha. Enggak boleh sekaligus banyak."
Setelah itu dia duduk di atas kursi di sam-ping ranjang, memperhatikan
Pasha dengan rasa kasihan. Kedua matanya dibalut. Dia kelihatan begitu tak
berdaya. Ah, Tesa sungguh berha-rap operasi itu akan berhasil walaupun
akibat-nya dia akan kehilangan gajinya yang besar.
Tesa teringat pada Pika di kantin.
"Pasha, apakah kau mau aku panggilkan Pika? Tadi aku diberinya nomor
telepon..." Men-dadak dia teringat pes an Pika agar jangan mengganggu kalau
tak ada apa-apa yang luar biasa. Misalnya?!
Pasha menggoyang tangan. "Tak... u... sah. Dia... si... buk. Cukup... kau
sa... ja... di... si... ni___"
Beberapa menit kemudian Pasha minta minum lagi. Rupanya obat yang
disuntikkan padanya membuat mulut dan tenggorokannya ke-ring.
Tesa kembali menyuapinya seperti bayi. De-mikianlah dia duduk di situ,
merawat serta me-layani "majikannya" sampai hari petang.

www.ac-zzz.tk
Pika akhirnya muncul. Sendirian. Langsung mengecup dahi Pasha sambil
melontarkan beberapa kata sera yang dramatis. Rambutnya dielus penuh
sayang. Sendok dan gelas direbutnya dari tangan Tesa, lalu dianjurkannya agar
temannya itu pulang saja.
"Kau boleh istirahat, Ttt... Sel. Kan sudah ada
aku di sini."sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Tanpa pamit pada Pasha, gadis itu melangkah pergi. Sambil berjalan
disesalinya hatinya yang merasa terusir oleh ucapan Pika. Mengerti dong,
katanya sendirian, sudah ada dia, kau jadi kelebihan!! Tadi waktu betul-betul
diperlu-kan, dia tidak ada, gerutunya dalam hati. Sekarang, setelah rasa haus
Pasha hilang, dia baru datang dengan jas berkibaran! Ah, mengerti dong, kau
kan cuma pelayan belaka, orang yang digaji. Dia kan pacar, calon tunangan dan
istri! Walaupun Pasha kelihatannya ingin di-temani olehnya, itu kan tidak lebih
dari rasa ketergantungan belaka pada perawat seperti kanak-kanak pada inang
pengasuhnya! Bagai-manapun, dia harus tahu diri, jangan sampai hati yang
sudah pecah gara-gara Goffar jadi makin hancur...!
***
Hari demi hari Tesa datang ke rumah sakit menjenguk Pasha. Sekarang dia
tak boleh menemani terlalu lama, sebab sang pasien sudah segar dan bisa
minum-makan sendiri. Kalau perlu bantuan dia cukup menekan bel. Selalu ada
perawat yang siap datang menolong.
Pada suatu hari Pasha memberitahukannya sebuah berita gembira.
"Kemarin perbanku diganti. Dan Selina, mataku bisa melihat kembali! Bukankah itu sebuah mukjizat? Aku bisa normal
lagi! Memang saat ini penglihatanku masih agak buram, tapi itu pun normal.
Kalau perlu, mereka akan melaku-kan operasi kedua dalam enam bulan. Tapi
sekarang pun aku sudah boleh kuliah lagi. Dan yang lebih penting, aku akan
segera bisa meli-hatmu!"
Pasha ketawa gelak-gelak sementara tangan Tesa makin lama makin d ingin.
Dia mencoba ikut ketawa agar tidak mencurigakan. Rupanya Pasha belum tahu
rencana Pika. Dia takkan di-perbolehkannya melihat wajah "Selina".
Siang itu datang tiga orang teman kuliah Pasha yang dulu pernah
membujuknya agar mau kuliah lagi. Semuanya mahasiswa Australia. Mereka
ketawa riang melihat Tesa.
"Aha, halo!" seru mereka padanya. Lalu me-nyambung, "Rupanya Bidadari
Tuan Solem setia banget menjaga asuhannya!"
Seorang di antara mereka yang bernama Thomas dan berambut kuning
jagung segera menepuk bahu Pasha. "Eh, kau kan bakal segera sembuh lagi.
Sudah saatnya nih, bidadarimu kauoper padaku! Aku rasanya mau segera sakit!
Beeerat!"
"Melalui mayatku!" Pasha menggerung membuat teman-temannya tertawa
riuh dan Tesa menjadi merah wajahnya.
Malam harinya Pika sengaja menemui Tesa di dapur asrama. Kebetulan saat
itu cuma ada

www.ac-zzz.tk
mereka berdua. Tanpa sungkan Pika langsung saja mengatakan apa yang ada
dalam hatinya. "Tes, lantaran Pasha sudah sukses operasinya,
kau tak usah deh datang lagi menemuinya!"
Tesa sudah tahu, larangan ini akan diucap-kan, tapi toh dia terkejut juga.
Tidak disangka-nya akan begitu cepat! Untung dia bisa lekas menutupi rasa
kecewanya dengan senyum bia-sa, sehingga Pika tidak menyadari bahwa
temannya kaget.
"Tentu saja kami berdua sangat bertefima ka-sih sekali atas segala
pengorbananmu selama ini."
"Ah, tak perlu, Pik. Bukankah aku sudah di-bayar dengan cukup? Kapan...
Pasha akan di-perbolehkan pulang?" Dia berusaha bicara sete-nang mungkin,
namun tidak urung suaranya bergetar juga.
"Besok, Tes. Setelah perbannya boleh dibuka. Karena itu... aku terpaksa
minta agar kau jangan muncul lagi. Kau mengerti, bukan?"
Tesa mengangguk lesu. "Kalau begitu, tolong ambilkan buku bacaanku yang
masih tertinggal di sana."
"Oke. Kau enggak marah, bukan, Tes?" i "Tentu saja tidak. Apa sih hakku
untuk marah?" sahutnya dengan tawar.
Pika menarik keluar sebuah amplop dari saku bajunya lalu meletakkannya di
atas meja. "O ya, ini bonus dari kami seperti yang pernah dijanji-kan."
Tesa menampik dengan gelengan kepala. "Ti* dak, ah. Aku tak bisa
menerimanya. Aku sudah dibayar dengan cukupr "Kami sudah berjanji!" "Tapi
aku tidak menanggapinya, bukan?" . "Ayo, ambil! Kalau enggak, Pasha nanti tersinggungP
"Apa kalian begitu kelebihan duit sampai mau dibuang-buang begini?"
"Ini kan bukan pemborosan, Tes. Ambillah. Nanti. aku ma rah, nih!"
Tesa merasa serba salah. Dia memang butuh uang. Tapi kalau dia terima
pemberian itu, rasanya dia jadi seperti bawahan yang diberi per-sen!
Dari luar dapur mereka melihat Atina, Sabita, dan Nopi mendatangi. Pika
makin sibuk men-desak. Diambilnya sampul itu dari meja dan dijejalkannya ke
dalam kantong sweter Tesa. "Ayo, lekas amankan, nanti mereka semua jadi
tahu!" desahnya memaksa.
Tesa tahu Pika tak bisa dibantah. Melihat suasana yang gawat, dengan
terpaksa dia menerima dan mengucap terima kasih.
Dua hari kemudian mereka ketemu lagi di ruang cucian di bawah tan ah.
Mula-mula Pika seakan tidak mengacuhkannya. Wajahnya agak keruh. Tapi
ketika Tesa menyapanya duluan ba-rulah dia mau membalas dengan "Selamat
pagi".
"Apa kabar Pasha?" tanya Tesa setenang mungkin. Dia sadar, sebaiknya dia
jangan bert^nya sama sekali. Tapi rasa ingin tahunya tida
bsa dibendung.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
V'Oh, dia sudah bisa membaca lagi."
("Sudah mulai kuliah kembali?" I^Semester depan."
Pika terdiam, menatap Tesa, lalu tiba-tiba dia mengrfeJa napas.

www.ac-zzz.tk
' "Ah, kesal, deh. Dia terus-terusan menanya-kan engkau. Akhirnya aku
terpaksa bohong. Aku bilang, kau sudah iEi^,keJakarta! Sorry, ya, aku bilang
begitu."
"Ah, enggak apa-apa," sahut Tesa mencoba ketawa wajar. "Aku rasa malah
itu yang paling baik. Pasha itu cuma ingin tahu kayak apa sih tampangku!
Hahaha! Eh, teman-temannya sudah tahu lho yang mana Selina! Jadi, sebaiknya
aku juga menghindar dari mereka!"
"Oh! Ada yang tahu siapa kau?" Pika kelihatan terkejut.
"Ya. Mereka pernah datang ke tempat Pasha membujuknya supaya kuliah
lagi. Tapi Pasha ngotot mau tunggu operasi dulu. Waktu itu aku ada di sana.
Dan beberapa hari yang lalu, pas sebelum dia diizinkan pulang, mereka datang
menjenguknya!"
"Dan kau kebetulan ada di sana juga!" sam-bung Pika dengan nada kesal.
Tesa mengangguk tak berdaya. "Bukan salah-ku, kan? Mana aku tahu mereka
bakal datang."
Pika tidak menanggapi, rupanya asyik dengan pikiran sendiri. Kemudian dia
menghela sekali lagi. Setelah mengeluarkan semu^ cuciannya dari mesin, dia
menoleh pada Tesa. | "Tesa, minggu depan Pasha ulang tahun. S'!e. benarnya
aku ingin mengundangmu dan mer^. perkenalkan kau pada Pasha sebagai Tesa.
Kan anak-anak Melayu enggak ada yang tahu, kau pernah kerja di tempat
Pasha. Jadi sip. Maksud-ku, agar kau punya kesempatan sekali lagi un--tuk
melihat Pasha dan mungkijn- kau akan ikut gembira melihat dia^sudah pulih
kembali seperti dulu. Tapiii; "Tasha juga sudah mengundang kawan-kawan
kuliahnya yang karib. Dan aku baru tahu bahwa mereka pernah melihatmu
dua .-kali. Sekarang, yah! Rencanaku terpaksa batal. Tes, maafkan aku. Aku
tidak berani mengundangmu. Sebab pasti ketahuan bahwa aku sudah bohong.
Pasha paling benci orang yang suka bohong. JadL.." Pika menatap Tesa dengan
wajah lugu, mohon pengertian.
Tesa mengangguk tanpa diminta. Dia men-coba ketawa walaupun rasanya
kedengaran sumbang. "Ah, pesta dokter-dokter, mana se-dap! Jangan-jangan
yang mereka bicarakan cu-ma penyakit-penyakit fatal melulu. Kan bosan tuh
dengarnya kalau yang enggak ngerti macam aku!" Lalu dia melambai dan
melenggang pergi sebelum Pika sempat bilang terima kasih (atau sebelum air
matanya keluar?).
Bab 6
Musim dingin telah berlalu. Kuliah sudah di-mulai kembali. Bagi Tesa, hidup
menjadi rutin lagi seperti dulu. Pergi kuliah, kasih les bahasa, belajar, ngobrolngobrol di dapur dengan teman-teman setanah air, makan bersama, me-nunggu
surat dari rumah, belanja bahan makan-an, pergi kuliah lagi, kasih les...
Memang menyenangkan bisa selalu bicara dengan teman-teman se-Jakarta,
namun akibatnya, bahasa Inggrisnya kurang dipakai, karena itu dia senang
sekali bisa mempraktekkannya dengan muridnya.
Profesor Meyer orangnya sudah tua, kurus kering, wajahnya tirus, hidungnya
runcing. Dia hidup sendirian, katanya sudah cerai dua belas tahun yang lalu
ketika anaknya masih berumur dua tahun.

www.ac-zzz.tk
Tesa kurang jelas apa keahlian si Prof. Kalau tidak salah, Nopi pernah
bilang, ahli ilmu poli-tik. Yang pasti, bukan profesor kedokteran.
Profesor Meyer memperlakukannya seperti anak sendiri, bukan sebagai
orane asine. Setia
kali selesai les, pasti ada acara minum-minum kopi atau teh. Karena ingin
mempraktekkan bahasa Inggrisnya, Tesa tidak keberatan memper-panjang
setiap kunjungan. Lambat laun, les itu seakan terbagi dua. Pertama, yang
sesungguh-nya: Tesa mengajar. Tapi setelah itu, sambil milium dan makan kue,
Profesor Meyer-lah yang mengajarnya bahasa Inggris. Mula-mula cuma
percakapan biasa, lisan. Kemudian Prof, meng-usulkan agar dia membawa
buku-buku. Dise-butkannya judulnya. Setelah itu, Tesa dianjur-kannya untuk
membeli buku tulis. Dan dia pun mendapat PR. i
Ketika Tesa menyatakan ingin memberi honor, Prof, menolak "Kalau begitu,
kita sama-sama deh tidak menerima honor," usulnya.
Prof, berkeras menolak. "Kau harus tetap mendapat honor!" katanya
setengah marah. "Kalau tidak, kau tak usah da tang lagi ke sini!"
Terpaksalah Tesa menerima saja keadaan yang "berat sebelah" itu. Dirinya
memang tidak dirugikan, tapi hatinya merasa malu. Untuk membalas jasa diamdiam, Tesa sering kali membawa kue atau masakan yang dibuatnya sendiri.
Laki-laki tua itu kelihatan terharu atas perhatiannya, dan tak pernah menampik
setiap oleh-olehnya.
Demikianlah les itu berlangsung tan pa absen dari bulan ke bulan. Tak
terasa, setengah tahun telah berlalu sejak Pasha dioperasi. Mungkin dia sudah
dioperasi untuk kedua kali dan penglihatannya sudah sempurna betul. Tesa ingin sekali tahu, namun dia sungkan
menanyakan-nya pada Pika. Sementara itu hubungan guru dan murid ini pun
bertambah erat juga. : Sampai pada suatu hari....
Sore itu Pasha berjalan kaki menuju perhen-tian bis dengan menenteng dua
kantong berisi sayur-mayur. Mobilnya rusak, harus masuk bengkel, sedangkan
makanannya sudah habis. Jadi terpaksa dia naik bis.
Lonceng gereja sudah menunjukkan jam enam kurang. Penumpang sudah
sepi. Dari jauh dilihatnya cuma ada seorang gadis, tengah du-duk termenung.
Ketika sudah dekat, didapati-nya bahwa itu orang setanah air. Betapa gem-bira
hatinya. Setiap kali melihat teman setanah air yang belum dikenalnya, hatinya
selalu dipe-nuhi harapan kalau-kalau saja dia tahu....
Gadis itu berbuntut kuda, mengenakan jeans dan blus longgar berwarna
biru. Bibirnya tidak dipoles dan pipinya juga tidak kena pupur. Namun
demikian, wajahnya yang bulat telur kelihatan menarik sekali. Dan matanya
yang bulat... oh! Matanya tampak terkejut dan bibirnya yang mungil kelihatan
bergerak-gerak seolah mau menyapa, namun entah kenapa, batal.
Pasha tidak merasa heran melihat gadis itu kaget atau malah sedikit
ketakutan. Memang terkadang begitu sikap gadis-gadis manis yang baru saja
tiba dari Jakarta atau kota lainnya.
Mereka masih canggung merighadapi laki-laki yang tidak dikenalnya,
walaupun orang setanah air. Terlebih kalau gadis itu sendirian!

www.ac-zzz.tk
Dengan hasrat hendak menghalau ketakutan pada wajah gadis itu, serta
membuktikan bahwa dirinya bukan serigala, Pasha sengaja duduk dekat di
sampingnya, lalu menyapa duluan.
"Dari Jakarta?"
"Ya," Tesa mengangguk.
"Boleh tahu namanya? Saya sendiri dipanggil Pasha."
Sejenak Tesa terlupa. Hampir saja dia salah sebut, sebab sudah kebiasaan
dinamakan Selina di depan Pasha.
"Nama saya Sss... Tesa!"
Alangkah manisnya dia kalau gugup begitu, pikir Pasha tersenyum dalam
hati. Tapi kasihan ah, kalau dibikin gugup terus. Dan suaranya kecil banget,
seakan takut kedengaran! Ah, lucu sekali sifatnya! Penggugup dan segan bicara!
Sebenarnya Tesa memang takut jangan-jangan suaranya dikenali. Tapi
untunglah suaranya itu biasa-biasa saja, tidak mencolok dan sepintas lalu sukar
dibedakan dari orang lain. Namun kalau diperhatikan, bagaimana? Mungkin bisa
ke tahu an juga, kan?!
"SMA-nya dulu di mana?"
Aduh! Apakah Selina pernah ditanyai begitu juga? Kalau pernah, apa ya
jawabnya dulu? Tentu saja dia tak boleh sampai ketahuan satu
on
sekolah dengan Selina! Kenal pun enggak boleh. Namanya pun sebisanya
belum pernah dengar!
"Di Budi Utomo," sahutnya akhirnya, sebab Pasha sudah mulai menatapnya
penuh heran. Kan aneh kalau orang tidak bisa ingat nama sekolah sendiri?!
Sebenarnya dia ingin memilih nama yang lain, tapi karena mendadak begitu,
dia tidak siap untuk berbohong. Untunglah rupanya Selina belum pernah
ditanya sekolah di mana. Dulu Pasha itu kan sibuk dengan diri sendiri, siang dan
malam kerjanya cuma duduk di depan jendela, mengasihani nasibnya yang
malang. Mana dia peduli mau tanya-tanya ten-tang orang lain!
"Wa'h! Kenal enggak sama Sosro, Sanu, dan Sambit? Di kelas kami ada jagoan
PS3. Mereka itu tiga S-nya." Pasha nyengir.
Dan kaulah P-nya, kata Tesa dalam hati.
"Cuma dengar nama-namanya," sahut Tesa netral agar tidak mencurigakan.
Kalau bilang kenal, tentunya mesti kenal juga dengan jagoan yang keempat,
bukan? Sebenarnya Tesa memang tidak kenal, sebab mereka empat tahun di
atasnya, jadi sudah keluar waktu dia masuk SMA.
"Kami dulu badung sekali," kata Pasha, secara tidak langsung mengatakan
bahwa dia termasuk gang PS3 itu. "Cewek-cewek sekelas, kami beri nama
bagus. Namarnama Jepang. Michiko-san, Mariko-san, Yuriko-san, Ingusan...!
Ha, ha, ha! Tentu saja cewek yang disebut Ingusan itu enggak mau terima nama bagusnya. Tapi apa boleh buat, kami enggak mau
mengubahnya dan ka-milah yang berkuasa. Akhirnya dia nekat berji-baku.
Sambit dibuatnya jatuh cinta, lalu dia di-pakenya meralat nama bagusnya.
Jagoan-jagoan lain keberatan. Gang terpaksa bubar...." Pasha menggeleng,
tersenyum sendirian, rupanya ter-kenang masa lalu yang manis.

www.ac-zzz.tk
"Dan sekarang mereka sudah punya gadis manis yang mungil. Sanu dan Sosro
juga sudah punya tambatan hati. Tinggal aku...!" Pasha menghela napas.
"Eh, kan kau juga sudah ada Pika!" cetus Tesa tanpa dipikir lagi, dan ketika
dilihatnya keheranan pada wajah Pasha, barulah disadari-nya kesalahannya.
. "Oh, jangan heran!" tukasnya seakan menje-laskan. "Begitu dengar
namamu, aku langsung tahu, kau pacarnya Pika! Semua orang sudah tahu
kisahmu yang mirip Romeo dan Juliet!"
"Yah!" Pasha mengangguk seraya mengeluh. Tapi sebenarnya bukan itu yang'
menyebabkan dia heran. Di antara sesama mahasiswa mana ada rahasia
mengenai soal pacaran. Sebelum orangtua tahu, teman-teman sudah lebih dulu
paham. Yang membuatnya heran adalah...
"Pika itu kawanku seasrama," Tesa sudah me-nyambung, memutus pikiran
Pasha. "Dia sering mengeluh mengenai keadaan keluarga kalian. Mengenaskan,
memang."
"Ayah kami tak mau saling mengalah. Padahal masalahnya cuma soal gengsi dan persaing-an dagang."
"Kalau disatukan malah menguntungkan, bukan?"sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Begitu pikiran kita yang muda dan waras. Tapi orang yang sudah tua sulit
sekali mengalah atau mau mengerti. Kami sebenarnya sudah pacaran dari SMA,
tapi selalu sembunyi-sembunyi, sebab dilarang. Barulah setelah di sini, eh...
kenapa aku jadi cerita soal riwayat hidup! Kau tentu sebal mendengarnya!"
"Sama sekali, tidak!" Tesa tersenyum. "Mena-rik sekali. Aku harap mogamoga kalian bisa... bahagia...." Suaranya mendadak jadi kecil, se-hingga dia
cepat-cepat menunduk takut ketahu-an matanya berlinang.
"Sejak aku kecelakaan, memang mereka lebih lunak. Aku terus-menerus
menulis surat me-nyatakan bahwa Pika-lah yang banyak mengu-rus diriku
selama aku tak berdaya. Tapi sebenarnya sih, bukan..."
Tesa sudah ingin mencegah Pasha bicara te-rus, tapi kemudian dia teringat,
Pasha tentu saja tidak diberitahu oleh Pika bahwa kehadiran Selina harus
dirahasiakan.
"Yang berjasa besar adalah seorang gadis manis bernama Selina. Dia..."
"Dari mana kau tahu Selina itu manis?" Tesa tak dapat menahan diri untuk
tidak bertanya.
"0, aku tahu begitu saja. Dari suaranya. Dari
sentuhannya. Eh, kau pasti kenal dengasnya, bukan? Bagaimana sih
wajahnya sebenarnya?"
"Wah, cewek pan tang dong menilai sesama-nya!" sahut Tesa ketawa geli.
"Nanti kan bisa berat sebelah!"
"Ya, betul juga. Sayang ya, dia sudah balik ke Jakarta." Suara Pasha begitu
menyedihkan sehingga hampir saja tercetus dari bibir Tesa sepotong
kebenaran, tapi kemudian dia teringat janjinya pada Pika dan bibirnya pun
terkatup kembali.
"Barangkali kau tahu alamatnya di sana?"
Tesa menggeleng. "Sayang, tidak."sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com

www.ac-zzz.tk
Pasha menghela napas. "Heran. Rupanya tak ada seorang pun yang tahu
mengenai dia! Ma-lah semuanya belum pernah mendengar namanya kecuali
engkau."
Tesa menunduk untuk menyembunyikan ga-lau di hatinya. Tentu saja cuma
dia yang tahu! Habis, Pika tak pernah cerita pada siapa pun mengenai
kehadiran Selina!
Pasha mengawasi Tesa yang sedang menunduk. Perasaan aneh kembali
melanda dirinya. Ada sesuatu pada gadis itu yang rasanya tidak asing lagi
baginya. Seakan mereka pernah ke-temu... apakah ini suatu de ja vu, pikirnya.
Merasa sedang ditatap, Tesa menoleh. Mereka
perasaan sudah pernah mengalami
beradu pandang. Pasha heran melihat wajah gadis itu muram terus sejak
tadi.
"Ngomong-ngomong, kenapa sih kau kelihat-annya begitu sedih? Barangkali
aku bisa mem-bantu?"
Berada di rantau orang sendirian, mendengar suara yang begitu simpatik
yang sudah lama dikenalnya, membuat Tesa pecah tanggul per-tahanannya.
Diceritakannya mengenai Profesor Meyer yang belajar bahasa padanya. Dalam
hati dia bersyukur, dulu tidak sampai membocorkan pada Pasha maupun Pika,
siapa nama calon muridnya.
"Hubungan kami sudah akrab. Aku sudah menaruh kepercayaan padanya. Dia
begitu baik, sehingga aku pun tidak segan-segan membuat-kannya berbagai
penganan setiap kali les, mula-mula seminggu dua kali. Kemudian dia minta
ditambah jadi tiga kali. Katanya, biar lekas pin-tar, sebab dia punya rencana
mau ke Indonesia. Katanya, temannya ada yang jadi penasihat di Departemen
Keuangan. Mungkin dia juga ingin jadi penasihat politik, kali! Tapi aku tak
pernah bertanya. Eh, tahunya dia salah menafsirkan perhatianku. Mungkin
sangkanya aku jatuh hati padanya. Dan tadi... dia... memeluk aku begitu erat
sambil membelai-belai serta membisikkan segala omong kosong. Aku begitu
kaget dan takut, sampai aku berontak dan lari ke jalan. Padahal had ini
mestinya aku gajian! Sekarar
aku enggak berani da tang lagi untuk mints uangku...."
"Pantas kau begitu sedih! Bagaimana kalau aku antarkan kau ke sana? Apa
yang menjadi hakmu, lebih baik kau tun tut!"
"Ah, jangan. Enggak usah. Aku lebih suka kelaparan daripada melihatnya
sekali lagi."
Mereka berdiam diri sejenak. Bis berhenti di depan mereka. Tesa
memperhatikan nomornya. Sayang, bukan untuknya.
"Itu bismu sudah datang," katanya pada Pasha.
"Biarlah. Aku masih ingin ngobrol dengan-mu," sahut pemuda itu
menggeleng. Kemudian dia terkejut sendiri. Bagaimana gadis ini bisa tahu
bahwa itu bis yang jalan ke jurusan tempat tinggalnya?! Apakah namanya sudah
begitu te-nar di samping nama Pika?! Tapi kemudian dijelaskannya sendiri,
pasti Tesa mengetahuinya dari Pika. Mereka kan satu asrama. Kalau ma-lam,
tidak ada kerjaan, ngobrol di dapur, apa lagi yang jadi topik selain pacar

www.ac-zzz.tk
masing-masing?! Pasha tersenyum dalam hati. Tapi, ke-lihatannya gadis ini kok
seperti belum punya gandengan?!
Di tengah lamunannya, tiba-tiba Pasha teringat sesuatu dan menepuk
dahinya. "Eh, gima-na kalau kau kasih les pada teman-temanku di kos? Suamiistri setengah umur. Mereka baik sekali dan pasti takkan coba-coba melalapmu
seperti Prof. tadi. Sudah lama mereka merengek
minta les padaku, tapi aku mana ada waktu
luang? Kalau aku enggak bisa lulus dalam dua tahun mendatang, bisa-bisa
ayahku akan me-nyatroni kemari, membawa pistol! Aku sudah memboroskan
banyak uang katanya!" Pasha ke-tawa kecil, lalu serius lagi.
"GimaUa? Mau, ya? Nanti aku hubungi mereka dulu. Pasti mereka akan
kegirangan mendapat guru secantik ini! Eh, kok merah muka-mu?!" goda Pasha
ketawa.
"Kalau aku adukan pada Pika, tahu rasa kau!" ancam Tesa geli bercampur
sengit. Dia seenak-nya saja menggoda, tidak tahu di dalam, hatiku sudah
jungkir balik! pikirnya.
"Wah, jangan dong, aku minta maaf, deh, enggak berani lagi menggodamu.
Tapi kalau kau memang mau kasih les, nanti aku minta mereka meneleponmu.
Beritahukan saja nomor kamarmu. Teleponmu sama kan sama Pika?"
Tesa terpaksa menerima tawaran itu, sebab dia memang butuh murid.
"Kamarku di tingkat dua, nomor tiga."
"Dan suami-istri itu tinggal di tingkat ketiga, di atas kamarku. Keduanya
ramah sekali, kau pasti segera betah bersama mereka."
Sebuah bis kembali berhenti. Sekali ini, untuk Tesa. Dia pun bangkit sambil
mengulurkan ta-ngan. Terima kasih banyak, Pasha," katanya setengah berbisik.
Pasha menjabatnya erat sekali, seakan segan melepas. "Sampai jumpa lagi,"
katanya. Tapi
Tesa tidak menjawab. Dia tahu, mereka takkan berjumpa lagi. Tanpa
menoleh dia melangkah naik ke dalam
bis
*** sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Ketika Pasha tiba di rumah, ternyata Pika sudah menunggu. Dari arah dapur
tercium wa-ngi masakan. Em. Udang rendang kesukaannya.
Pika mengecupnya dengan mesra sambil me-meluk lengannya dengan
manja. "Ke mana saja sih, kok sampai telat begini? Apa kau-lupa? Ini kan Jumat
sore, dan aku selalu kabur dari kuliah supaya bisa cepat-cepat ke sini!"
"Sorry, Pik, aku kelupaan. Soalnya, aku ke-temu kawanmu yang sedang
kesusahan. Jadi aku bicara dulu sama dia untuk menolongnya."
"Kawanku? Siapa, sih?" tanya Pika dengan kening berkerut.
"Namanya Tesa. Dia hampir saja diperkosa oleh muridnya, sampai dia
melarikan diri dan enggak bisa gajian. Aku kasihan melihatnya, jadi aku
tawarkan murid-murid." Pasha menun-juk ke loteng. "Tuan dan Nyonya Graham
kan sudah lama ingin belajar bahasa Indonesia? Jadi aku usulkan supaya dia
saja yang mengajar. Nanti akan kutelepon mereka untuk memberi-tahu."

www.ac-zzz.tk
Pika mendengarkan dengan bibir terkatup. Tapi di dalam, makin lama dia
makin bertambah kaget serta cemas. Jadi Tesa akhirnya ber-hasil juga kenalan dengan
Pasha-nya?! Tahukah Pasha siapa Tesa sebenarnya? Itu harus diselidikinya! Segera! Begitu selesai makan, Pika menyuruh Pasha
menelepon Tuan Graham.
"Jadi malam ini juga aku bisa memberi kabar pada Tesa," dalihnya.
Sebenarnya, dia tidak ingin Pasha sampai harus menelepon Tesa pri-badi.
Pasha menurut. Ternyata Tuan Graham me-nyambut dengan baik. Bahkan
minta les dimulai besok atau sesegera mungkin.
Pika pulang ke asrama membawa berita gem-bira itu, dan langsung
mengetuk pintu kamar Tesa. Dia dipersilakan masuk baik-baik. Tapi begitu
pintu sudah ditutup, meledak marahnya sampai Tesa mundur ketakutan.
"Jadi di belakangku kau masih coba-coba mendekati Pasha, ya? Kau ingkar
janji kalau begitu! Bukankah dulu kau sudah setuju untuk menjauhi Pasha
begitu tugasmu beres? Apa kau sekarang berniat merebutnya, setelah kaulihat
betapa gantengnya dia? Setelah matanya sem-buh kembali?"
Tesa memegang lehernya seakan mau mene-nangkan jantungnya yang
terasa meloncat sampai ke situ. Matanya berlinang dituduh yang bukan-bukan
begitu. Terlebih karena dia di-ingatkan pada nasibnya sendiri. Dengan kekerasan hati dicobanya menahan air mata dan menjawab dengan tenang.
"Pik, aku tidak berniat melakukan hal seperti itu. Dulu aku juga pernah
punya pacar segan-teng pacarmu. Tapi teman baikku merebutnya. Aku tahu
bukan main sakitnya hati kehilangan pacar. Karena itu kau tak usah cemas. Aku
takkan me rebut Pasha-mu!"
"Tahukah dia siapa kau sebenarnya?" Tesa menggeleng. "Dia memang
menanyakan tentang Selina. Aku bilang anak itu sudah balik ke Jakarta. Dia
tanya alamatnya di sana. Aku bilang, enggak tahu."
"Hm. Nih! Ada kabar buatmu! Besok atau lusa kau sudah boleh mulai kasih
les pada suami-istri Graham. Tapi awas, jangan main mata sama Pasha!"
Bab 7 sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Tuan dan Nyonya Graham adalah sepasang merpati di ambang lima puluhan.
Mereka me-nikah empat tahun yang lalu, masing-masing untuk kedua kali.
Suami Maureen Graham me-ninggal hampir sepuluh tahun berselang karena
komplikasi kencing manis. Sedangkan istri Roger ketabrak lori enam tahun yang
lalu. Dari perkawinan terdahulu masing-masing mempu-nyai dua orang anak
yang sudah dewasa dan berkeluarga.
Kakek dan nenek berambut kelabu itu sangat ramah, sehingga sebentar saja
Tesa sudah merasa betah mengajar mereka. Selain suka melucu dan penuh
humor, Nenek Graham juga senang memasak Setiap kali les, pasti ada suguhan.
Berlainan dengan di tempat Profesor Meyer, di W Tesa bisa melahap semuanya
dengan santai. ~k tahu, suguhan itu tidak mengandung udang di balik batu.
I Nenek Maureen kelihatan lebih cepat me-8asai bahasa. asing daripada
Kakek Roger.
Atas permintaan mereka, pelajaran itu disertai peragaan benda-benda.

www.ac-zzz.tk
Pada suatu kali Tesa menunjuk korek api, lalu mempersilakan si kakek untuk
memintanya, Dengan serius dia bilang, "Berilah saya kereta api, saya mau
merokok."
Ketawalah Tesa bersama Nenek Maureen, sehingga Kakek Roger tersipusipu. Pada les yang berikut, Tesa menunjukkan peta Pulau Jawa.
"Saya mau pergi dari Jakarta ke Surabaya naik..." Dan dia menunggu Kakek
menjawab.
Dengan lantang dan gagah dia berseru, "...naik kereta man!"
Grrr. Yang lain ketawa. Kakek kebingungan, menoleh kiri-kanan seolah mau
tanya di mana salahnya, kan jawaban itu sudah betul!
Begitulah setiap kali les ada saja kalimat yang aneh dan lucu. Seperti,
"Maureen, bunuh lampu di da pur," atau "Bunuh lemari pendingin!"
Tesa jadi teringat pada Ria, teman asrama yang berasal dari Sulawesi
Selatan. Bicaranya per sis begitu.
Kebalikannya, waktu harus pakai "bunuh", si kakek linglung dengan yakin
memakai kata lain. "Orang itu dipadamkan oleh penjahat dengan pistol." Atau,
"Orang itu padam ditabrak. mobil."
"Huss!" sera Nenek Maureen cepat-cepat. "Orang itu tewastewas,
mengerti?! Bukannya padam!ditabrak mobil!"
Walaupun sering salah, sebenarnya Kakek
pun cukup serius belajar, seperti istrinya. PR-nya tak pernah kelupaan
dibikin. Tapi yang paling menggelikan Tesa terjadi pada suatu siang. Setelah
makan kue dan membenahi
catatan-catatannya ke dalam tas, Tesa pamit. Kedua muridnya mengantar
sampai ke pintu.
"Bye-bye, dear," kata Nenek dengan mesra, tapi Kakek ingin menunjukkan
kepandaiannya. Sam-bil melambai dengan antusias dia berseru, "Bye-bye\
Sampai mati!"
"Eh!" tegur istrinya. "Bukan begitu! Sampai nanti! Bukan mati!"
Sambil menahan geli Tesa menuruni anak tangga ke bawah. Setibanya di
tingkat dua, alangkah kagetnya dia ketika ditegur, "Apaan, tuh! Kok mesemmesem sendirian?!"
Diangkatnya wajahnya. Kiranya Pasha tengah berdiri di anak tangga paling
bawah. Sebelah tangannya bertumpu pada pinggir tangga. Ta-ngan yang lain di
dalam saku. Dan ketika Tesa berusaha mau jalan terus, tangannya melejit keluar untuk menahannya.
"Eeiiit, disapa kok enggak nyahut? Budek, ya?"
Tesa jadi ketawa walaupun tak ingin. Dia sungguh belum lupa teguran Pika
yang begitu pedas di kamarnya ketika tahu bahwa dia telah berkenalan dengan
Pasha. Tesa tidak mau hal itu terulang lagi.
"Kau sendiri apa-apaan menahan orang le-wat?" 'jM
"Lantaran aku mau ngomong denganmu." "Lain kali aja, deh. Aku masih
harus member! les di tempat lain, nih!"
"Batalkan saja!" - "Enaknya. Mana bisa main batal-batal begitu! Memangnya
ini di Melayu?!"

www.ac-zzz.tk
Pasha tetap tidak mau melepaskan ceng-keramannya dan Tesa tidak sudi
berontak-berontak kayak adegan film kampungan. Di-pelototinya Pasha sambil
berusaha mengirim su-gesti agar laki-laki itu mau melepasnya. Tapi rupanya
ilmu penyaluran pikirannya masih per-lu banyak latihan. Dia tak berhasil. Pasha
ma-lahan menyeretnya ke arah pintu apartemennya. "Eh, eh, apa-apaan ini?"
serunya agak panik. "Telepon saja muridmu dari sini. Katakan, kau migrain! Dia
pasti takkan marah." "Apa itu migrain?" "Sakit kepala sebelah." "Sebelah mana?"
"Sebelah mana saja maumu. Boleh kiri, boleh kanan asal jangan duaduanya. Nanti namanya sudah lain."
Tesa mencoba memperkuat kuda-kudanya di lantai. Bagaimanapun, saudara
tetangganya di Jakarta pernah berguru pada ahli silat di Kam-pung Melayu,
kalau tidak salah, golongan Ga-gak Hi tarn. Dan dia sampai bosan menyaksikannya berlatih. Kalau kuda-kudanya sudah di tan-cap di tanah, dua orang laki-laki
tegap pun tak
bisa mendorongnya apalagi menggeser dari
tempatnya.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
Kelihatannya sih seperti begini caranya, pikir-nya sambil mengatupkan
geraham dan mene-kankan kedua kakinya kuat-kuat ke lantai. Pe-luhnya
sampai merembes keluar di dahi. Namun kok rasanya Pasha tetap berhasil
menarik-nya?!
"Eh," seru Pasha ketika menoleh padanya. "Kenapa kau ngejan-ngejan begitu
sampai man-di keringat? Apa belum tahu, itu bisa menye-babkan timbulnya
wasir?"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kok dia bisa tahu sih salah satu
ketakutannya yang ter-besar?! Wasir! Kata orang, penyakit itu ketu-runan. Dan
ayah, ibu, kakek, serta abangnya semua sudah dapat. Tinggal dia yang belum
dikunjungi jurik wasir! Sudah beberapa tahun ini dia waswas terus, takut
kebagian! Iiih, amit-amit!
Terpaksa dihentikannya percobaan latihan ju-rus Kuda Besi Menghantam
Pintu Neraka.
Mereka sudah tiba kini di depan pintu. Pasha mendorongnya dengan sebelah
kaki sampai tep> jeblak lebar. Seperti kerbau dungu, Tesa mem-biarkan dirinya
diajak masuk. Setelah di dalam barulah timbul paniknya. Dia mencoba
melepaskan diri dan meraih daun pintu, tapi Pasha malah mendorongnya lebih
jauh ke dalam sambil ketawa geli. Lalu ditutupnya pintu.
"Nah," katanya berdiri dengan tangan terlipat
i dada. "Silakan menelepon muridmu. Itu tele-ponnya."
"Tidak. Aku harus pergi 1" sahut Tesa meng-geleng. Dia mau menelepon
siapa? Hari ini tak ada les lain! Besok baru ada.
"Kenapa sih kau kelihatannya macam orang ketakutan begitu? Aku ini bukan
pemakan orang. Duduklah. Aku cuma ingin membangga-kan hasil karyaku. Kue
dadar! Tak ada orang lain yang bisa kupanggil untuk memujiku. Jadi kau saja
yang aku sandera. Masa sih kau enggak mau memberikan sedikit kegembiraan
pada orang lain? Jam berapa kau harus memberi les? Kau boleh segera pergi
setelah mencicipi kueku. Tapi jangan harap, sebelumnya!"

www.ac-zzz.tk
Tesa jadi merasa geli dalam hati namun tidak diperlihatkannya. Tapi dia
sekarang tidak mela-wan lagi disuruh ikut ke dapur, setelah tahu maksud Pasha
yang sebenarnya. Di samping itu, dia kepingin sekali melihat kembali daerah
kekuasaannya beberapa bulan yang lalu.
Masih seperti dulu. Cuma agak berantakan. Di sana-sini ada perabot yang
terlupa dibenahi. Misalnya timbangan kue yang seharusnya ada di lemari bawah
sebelah kiri. Kocokan telur yang baru saja dipakai bikin kue dadar, masih
tergeletak di meja, belum turun ke tempat cuci piring. Panggangan roti yang
penuh remah-remah belum dibersihkan. Bagaimana keadaan kulkas?! Ketika dia
datang untuk pertama kali, lemari es itu kotor banget Rupanya baik Pika
maupun Pasha sama-sama kelewat sibuk, tak pernah punya waktu untuk
mengurus dapur.
Di atas meja dilihatnya setumpuk kue dadar berwarna kuning yang
kelihatannya amat meng-goda perut. Harumnya, oooi! Tesa melangkah seakan
mau menghampiri meja, namun ketika lewat di depan kulkas, tanpa disadari
tangannya sudah menjangkau pintu dan... membuka-nya.
Amboi! Sudah kembali kotor seperti sedia-kala! Mentega terbuka begitu
saja, menyemiri pinggir-pinggir pintu. Sayuran setengah busuk masih dibiarkan
di situ. Ham sebesar paha bayi menggeletak di tengah rak, menyita tempat dan
menumpahkan saus dalam mangkuk.
Dia tahu, makanan Pasha memang cuma ham dan selada. Dia malas masak.
Andaikan rajin pun, dia tidak becus, menurut Pika.
Hm. Rupanya karena itu dia perlu betul mendengar pujian orang lain untuk
kue dadar yang barangkali baru pertama kali dibuatnya dalam hidupnya.
"Kau mencari makanan? Lapar?"
Dia terkejut ketika tahu-tahu disadarinya tuan rumah sudah berdiri di
belakangnya. Habis! Biasanya kan dia cuma jadi patung, tak berge-ming dari
jendela! Jadi dia terlupa!
"Aku tidak punya apa-apa. Cuma ham dan selada setengah busuk!"
Tesa segera menutup pintu dengan sikap ber-salah, lalu menoleh. Dilihatnya
Pasha sedang
menyeringai malu, enggak bisa menawarkan
yang lebih baik pada tamu istimewanya.sbook by otoy
http://ebukita.wordpress.com
"Kita makan kue saja deh, ya?" katanya setengah membujuk.
Tesa tiba-tiba tersenyum. "Aku enggak lapar, kok. Barusan di atas, perutku
sudah pol dijejali kue apel."
"Tapi kau harus mencicipi kue dadarku!" kata Pasha dengan cepat, khawatir
barangkali perut Tesa yang sudah pol akan menolak.
"Oke, deh/ tukas gadis itu mengangguk se-raya menarik kursi untuk duduk.
"Ada rezeki, masa sih mau ditampik?"
"Nah, gitu dong!" sambut Pasha kegirangan. Setelah menyodorkan piring kue
yang se-tinggi gunung itu ke hadapan Tesa, dia pergi ke pojok dapur untuk
membuat kopi. Maka di siang cerah itu mereka pun mengunyah kue dan
menghirup kopi.

www.ac-zzz.tk
"Enak?" tanya Pasha dengan nada khawatir. Tesa mengangguk, lalu nyeletuk,
"Punya ba-kat terpendam juga nih rupanya!"
Pasha menunduk dan menghela napas diam-diam, tapi terlihat juga oleh
Tesa. "Dulu," katanya tanpa mengangkat muka, "ada orang yang sering
membuatkan aku kue ini. Setiap kali dia bikin, aku selalu berada di sampingnya
men-dengarkan dia menyebutkan bahan-bahan yang diperlukan, terigu berapa,
men teg a berapa, te-lur, gula berapa, susu berapa. Saking kesering-an, lamalama aku jadi hafal."
Pasha mengangkat kepala dan memandang-nya dengan senyum sendu
menghias wajah. Tesa kontan berdebar-debar ditatap begitu. Lekas-lekas dia
menunduk, menyembunyikan salah tingkahnya dalam cangkir kopi. Namun rasa
ingin tahunya terlalu besar. Diletakkannya cangkir itu, lalu tanpa berpikir lagi
sudah nyeletuk, "Siapa sih orang itu? Ibumu?"
"Bukan." Pasha menggeleng. "Itu terjadi di sini. Namanya, Selina. Yang
tempo hari sudah aku sebutkan. Seorang gadis yang amat manis!"
"Ah! Selina lagi!" seru Tesa dengan lagak jemu. "Dari mana kau tahu dia itu
manis sekali? Rupanya kau belum pernah melihatnya, ya. Selina itu bopengan,
tahu!"
Seketika suasana jadi hening. Cangkir di ta-ngan Pasha nyaris terbanting ke
meja. Suap di mulutnya nyaris mencekik tenggorokan. Matanya melotot seakan
melihat-setan gentayangan. Tesa hampir menyesal telah membunuh ilusi yang
selama itu disayang-sayang dan dipuja oleh Pasha.
Tapi Pasha ternyata tidak marah atau kecewa. Dia hanya menghela napas.
"Pantas," gumam-nya. "Pantas dia tak mau menemui aku! Begitu aku bisa
melihat lagi, dia langsung kabur ke Jakarta. Kabarnya dia minder!"
Hampir tercetus pertanyaan dari bibirnya, "Siapa bilang?" Tentu saja dia
marah disebut minder, tapi sesaat kemudian dia tenang kembali. Biar saja mau
dibilang apa kek, yang penting dia tahu itu tidak benar. Siapa lagi yang tega bikin isu begitu?! Pasti...
"Ya, ya, ya, kalau begitu perkataan Pika benar," sambung Pasha pelan
seakan pada diri sendiri. "Selina itu minder. Cuma waktu itu aku belum tahu
kenapa. Kiranya dia bopeng!"
Hm. Jadi benar dugaannya. Ular juga si Pika itu! Sudah aku tolong menjagai
buah hatinya, eh, di belakangku dia jelek-jelekkan aku! Minder, katanya! Hm.
Lantaran enggak punya pacar seganteng pacarnya?!
"Ah, orang sebaik itu! Kau tahu, Tesa, dulu itu aku sering kali memarahinya.
Ini enggak benar, itu salah. Tapi dia selalu sabar dan tetap ramah. Ah, rasanya
seratus tahun pun aku be-tah hidup bersamanya. Seandainya saja aku bisa
ketemu dia lagi. Ah! Aku akan rela sekali men-dampinginya, walaupun orang
lain tak ada yang sudi padanya!"
Tesa jadi bengong menatapnya. Dilihatnya mata Pasha yang hitam dan indah
itu berlinang. Hei! Tidak disangkanya leluconnya bisa jadi serins kayak gini!
Mau ketawa pun sekarang sudah susah! Telanjur! Apa yang harus diperbuat-nya
kini?!
Tiba-tiba dia teringat kawan-kawan kuliah Pasha yang pernah melihatnya.
Keringat dingin mendadak mengucur di balik bajunya. Oh, ya! Untung sekali

www.ac-zzz.tk
Pasha rupanya tidak sampai tanya-tanya pada Thomas seperti apa tampang
"bidadarinya" dulu itu!
"Lantas, Pika mau dikemanakan?" tanyam tidak tanggung-tanggung,
kepalang bohong, baiknya diteruskan saja memuaskan rasa ingin tahunya. Yang
namanya Pasha ini kan tempo
hari, aduh cerewetnya, mentang-mentang maji-kan yang bayar gaji! Biar
sekarang dikilik-kilik-nya sedikit rasa ibanya. Kalau bisa sampai me-wek, lebih
bagus!
Tapi Pasha mungkin tidak mendengar. Dia tidak menjawab. Sebaliknya,
seakan. tersadar ada tamu, didorongnya kembali piring kue dan memaksa Tesa
mengambil lagi. Ditungguinya sampai gadis itu menggigit dan mengunyah, lalu
dilontarkannya pertanyaan sekali lagi, "Enak?"
Tesa mengangguk, tersenyum. Tak ada lagi yang ingat soal memberi les.
Nyaman juga ber-handai-handai begini. Tapi ah, mendadak dia teringat
kemungkinan Pika muncul di situ. Dia mesti hengkang cepat-cepat kalau tidak
mau dimaki orang!
Dia berlagak melihat arloji, mengerutkan ke-ning, lalu berdiri.
"Ayo, ah. Aku betul-betul harus pergi sekarang. Tapi sebelum itu, biarlah
aku cuci dulu gelas-gelas ini. Kuemu sungguh enak. Kapan-kapan aku minta
resepnya, ya!"
"Oh, enggak boleh! Kalau kau mau makan kue dadar, kau mesti datang ke
sini!^
"Huh!. Pelit!" Tesa mencibir*heran, gampang betui orang jadi manja di
depan cowok simpatik
seperti ini!sambil mengangkut gelas-gelas ke bak cuci piling.
"Bukan pelit, Tes. Ilmu rahasia itu cuma ditu-runkan padaku seorang dengan
pesan, katanya enggak boleh dikasih tahu ke siapa-siapa!" ujar Pasha dengan
serius seakan itu ilmu' hitam yang berbahaya.
"Ah, ngibuU" sambut Tesa setengah geli. Se-ingatnya, dia tak pernah
berpesan begitu pada Pasha Solem.
"Betui, kok. Tapi Selina juga berpesan lagi, kalau ada gadis manis yang mau
jadi pacarku yang setia dia boleh dikasih tahu...!"
"Wah, rupanya kau ini mata keranjang, ya! Sudah ada Pika, dan tadi masih
merindukan cewek bopeng yang kauanggap sama cantik dengan dewi kayangan.
Eh, masih kepingin pacar lain lagi yang mau kaupincuk dengan sepotong resep
rahasia...."
"Habis! Aku kesepian!" keluhnya seakan ke-sakitan. "Pika terlalu sibuk
dengan kuliah dan praktikum. Sekarang saja sudah begini, apalagi nanti kalau
sudah lulus?! Pagi praktek, siang praktek, malam pun praktek. Kapan dia mau
membagi waktu untuk keluarga? Barangkali aku salah, sudah menganjurkan
supaya dia ikut aku masuk kedokteran!" Pasha menarik napas pan-jang pendek
seperti orang dililit utang yang. ditunggui juru sita di depan rumah.
Kelihatannya dia masih mau bikin pengakuan sejam-dua jam lagi, tapi Tesa
merasa tidak sanggup jadi
hakim yang tidak berat sebelah. Lebih baik dia pergi saja sekarang juga.

www.ac-zzz.tk
"Maksudku dulu, supaya kami bisa belajar sama-sama. Lalu nanti,
prakteknya juga sama-sama...."
Tesa mengeringkan gelas yang terakhir. Dilihatnya sekali lagi arlojinya yang
sebenarnya sudah mati sejak tadi (mungkin baterenya sudah habis, terpaksa dia
langsung ke toko dari sini), lalu mengambil tas berisi dompet dan catatan
mengajarnya. Dipandangnya Pasha (mungkin untuk terakhir kali, pikirnya)
lekat-lekat seakan mau mematri wajahnya dalam hati.
"Sorry banget deh, Pas. Aku betul-betul mesti pergi. Sudah cukup lama aku
di sini. Kalau ketahuan Pika, bisa perang nuklir, nih!"
"Dia takkan tahu!" suara Pasha begitu keras seperti geledek, sampai Tesa
terperanjat. "Kalau tahu pun, enggak apa-apa. Seandainya dia berani marah,
aku bisa lebih marah lagi. Aku punya banyak alasan...."
Walah, walah! Tesa enggak mau jadi saksi-dengar kericuhan dalam negeri
orang. Cepat-cepat diputarnya gerehdel pintu, lalu melambai.
"Bye!"
."Nanti datang lagi!" seru Pasha.
Maksudnya sih terang mengundang, tapi na-danya kok setengah
mengancam, pikir Tesa geli. Dia berlagak tidak mendengar dan tidak menanggapi.
Tapi dari sekali jadi dua kali. Dua kali jadi empat kali, lima kali, enam
kali... Akhirnya, hampir setiap kali selesai memberi les di tingkat tiga, Tesa
sudah ditunggu oleh Pasha di tingkat dua. Dan dia mau masuk memenuhi
undangan-nya. Ketika dipikir-pikimya di kemudian hari, dia sungguh tidak tahu
apa sebabnya dia mau saja diajak mampir. Padahal dia sadar bahwa Pasha itu
milik orang lain dan dia sendiri tidak sudi dijadikan ban serep. Mungkin dia juga
sama-sama kesepian seperti Pasha? Di rantau orang tanpa sanak keluarga?
Bagaimanapun, dia jadi senang bertandang. Malah rasanya makin giat
mengajar suami-istri Graham, walaupun hal ini dibantahnya mati-matian
(dalam hati).
Tentu saja Pasha jarang sekali bikin kue dadar. "Seenak-enaknya pun pasti
bosan juga akhirnya," dalihnya, lalu memancing Tesa agar suka menunjukkan
kemahirannya.
Herannya, gadis itu tidak menolak. Kalau si-angnya habis bertandang ke
tempat Pasha, lalu malamnya ketemu Pika di dapur, dia merasa sedikit
bersalah, kikuk, dan tidak banyak bicara. Tapi esoknya dia sudah lupa. Dan
ketika datang lagi ke tempat Kakek-Nenek Graham, Pika sudah jauh di awangawang, tak teringat lagi olehnya.
Begitulah dia jadi sering main ke tempat Pasha. Acaranya tak banyak
variasi. Biasanya Pasha duduk membaca buku atau membuat
laporan, sementara Tesa sibuk di dapur bikin kue. Kalau kue yang
dipanggang atau-digoreng sudah berbau harum, Pasha akan terbirit-birit
datang, menawarkan 'bantuan'. Tesa akan ketawa terpingkal-pingkal melihat
tingkah Pasha yang berlagak mau menolong sungguhan. Kalau Tesa bilang
semua sudah beres, tinggal tunggu matang, dia akan balik menengok kue setiap
lima menit. Setelah kue siap, Pasha akan berhenti sebentar dari belajarnya,

www.ac-zzz.tk
lalu mereka duduk di meja atau di lantai, melahap kue buatan Tesa sambil
mendengarkan musik.
Pasha kelihatan ramah, berlainan sekali dengan masa ketika dia masih
cacat. Dia juga selalu menanyakan kemajuan kuliah Tesa serta kepandaian
murid-murid di lotengPasha me-nunjuk ke atas tempat tetangganyadan Tesa
selalu melaporkan kalimat-kalimat lucu yang di-katakan oleh Kakek Graham.
Walaupun Pasha penuh perhatian, namun Tesa tidak menjadi lengah. Dia
tahu, pemuda itu masih mencintai Pika. Dia cuma kesepian belaka. Atau
barangkali sengaja mengundang-nya ke situ untuk memancing rasa cemburu
Pika?! Memang dia sering heran kenapa Pasha selalu mau menahannya lebih
lama dan lebih lama lagi di tempatnya seakan berat berpisah. Apa dia mau
tunggu sampai Pika muncul?! Awas saja kalau dia sampai memperalatnya!
Tidak. Dia tak boleh terjerumus ke dalam perangkap apa pun yang dipasang
oleh Pas
ki-Iaki tak boleh terlalu dipercaya, pikirnya teringat pengalaman getir.
Bahkan Selina pun sekarang sudah tidak dtingatnya lagi, padahal baru beberapa
bulan berselang masih dirindu-kannya siang malam! Pasha milik Pika, titik. Dia
main ke tempat laki-laki itu sekadar meng-isi kejenuhan hati (atau
kekosongan?!).
Yang membuat Tesa terkadang gemetar (dalam hati) adalah stkap Pasha.
Tanpa hujan tanpa angin dia suka berhenti mengunyah, mena-tapnya dengan
aneh lalu bergumam hampir tak nyata, "Aku teringat pada seseorang...." atau,
"Kau mengingatkan aku pada seseorang!"
Tentu saja Tesa tidak berani bertanya siapa orangnya, walaupun rasa ingin
tahu membakar dadanya. Alih-alih, dia malah jadi ketakutan, jangan-jangan...
ah! Jangan coba-coba main api, kalau tidak mau terbakar, katanya memperingatkan diri.
"Siang ini aku mau bikin kue serabi!" katanya seakan memproklamasikan
sebuah produk baru di bidang persabunan.
"Dengan santan manis yang gurih?"
Mata Pasha langsung berbinar. Tesa jadi ka-sihan melihat laki-laki ganteng
setegap itu masih berlagak seperti anak kecil saking kesepian-nya. Betapa
telantarnya dia! Sampai ngidam santan gurih yang manis!!
Dalam hati dia menyesali Pika yang tidak tahu diuntung. Berapa banyak
cewek yang iri padanya. Coba hitung yang gampang: di dapur asrama saja
sudah didengarnya Atina dan Sabita, sahabat Pika, yang hampir menceburkan
diri ke Sungai Swan gara-gara cinta. tak sampai (pada Pasha Solem). Belum lagi
gadis-gadis lain yang tidak didengar atau dikenalnya. Tapi pe-milik asli justru
tak peduli atau tidak berusaha menyenangkan hati kekasih. Pika tidak kelihatan
ada kemauan untuk mempertahankan cinta-nya. Mungkin sangkanya Pasha
sudah jadi mi-liknya sejak penitisan yang lalu!
"Ya, ya, dengan santan gurih yang manis. Pakai gula merah! Tapi kau diamdiam saja di sini, jangan ikut-ikutan ke dapur. Nanti bisa batal."
"Batal kenapa?" usik Pasha ketawa. "Masa sih bikin serabi aja bisa batal?
Memangnya harus bugil?"

www.ac-zzz.tk
"Kalau misalnya ya, kan berarti kau tak boleh hadir, bukan?" "Bukan!"
sahutnya serius. "Apa?"
"Berarti boleh!"
"Apa? Udah deh, aku enggak jadi bikin. Men-dingan pulang, tidur!" Tesa
beranjak ke pintu. Pasha lebih cepat lagi bergeser ke sana.
"Eh, sudah masuk enggak boleh keluar lagi sebelum bikin kue! Itu
pantangan, tahu! Pamalil Ayo, ke dapur sana! Kalau tidak selesai kueny
aku sekap kau sampai beres!" Pasha berlagak mengancam dengan nada
bengis, tapi matanya berbinar mau ketawa.
Tesa pun berlagak ngeri dan menggelinding ke dapur tanpa membantah.
Kalau dipikir-pikir-nya kemudian sikapnya persis remaja bego.
Ketika Tesa sudah di dapur kira-kira seper-empat jam, tiba-tiba Pasha
berhenti menulis dan mengerutkan kening. Dari arah belakang dide-ngarnya
bunyi kelontang-kelonteng panci dan sendok. Keningnya makin penuh kerut.
Heran. Kok gadis itu sama sekali tidak mengalami ke-sulitan untuk menemukan
alat-alat atau bahan-bahan yang diperlukannya?! Kalau Pika yang di sana,
setiap satu menit pasti dia akan berkaok, "Pas, di mana gula jawa?"; "Pas, di
mana pengo-cok telur?"; "Pas, di mana botol minyak?"
Heran. Anak ini rupanya memang sudah bia-sa main di dapur, sampai dia
tahu di mana letak barang-barang...! Eh, tapi bagaimana dia bisa tahu di mana
kocokan telur?! Alat itu ja-rang sekali dipakainya dan karena itu disimpan-nya
dalam lemari yang paling atas. Untuk mengambilnya, orang setinggi Tesa perlu
kursi. Jadi dia takkan mencari langsung ke sana ke-cuali dia sudah tahu
tempatnya. Dari mana dia bisa tahu?!
Tesa rupanya sedang riang hatinya. Terde-ngar dia bersenandung pelan. Ah,
sejuk perasaan pendengarnya. Suaranya merdu. Lagu itu seakan sudah sering
didengarnya, tapi entah
kenapa pikirannya mendadak jadi buntu. Dia tidak bisa ingat di mana
pernah didengarnya
irama merdu itu.
Sia-sia dia mencoba mengingat-ingat. Sampai akhirnya Tesa muncul
membawa sepiring serabi
hangat yang harum serta santan bergula jawa yang kelihatan gurih sekali.
Pasha lupa seketika akan segala tanda tanya barusan. Buru-buru disingkirkannya semua buku dari atas meja, lalu mereka duduk berhadapan
menikmati hidangan istimewa itu.
"Ini memang kedoyananku!" tukasnya setelah menelan lima butir.
"Santannya dari kaleng sih, mungkin sudah agak tengik?" tanya Tesa seakan
mau meren-dahkan mutu masakannya.
"Ah, enggak kok. Rasanya tetap enak, enggak bau apa-apa."
Pasha menatap Tesa. Tiba-tiba muncul kembali keheranan-keheranan tadi
dalam otaknya. Baru saja dia mau bertanya, telepon berdering.
"Halo?"
Pasha mendengarkan sebentar, lalu mengia-kan dan telepon diletakkannya
kembali. Dia me-noleh pada Tesa. "Pika mau datang membawa pizza."

www.ac-zzz.tk
Senyum cerah memoles wajah tampannya. Rupanya itu salah satu
kedoyanannya pula, pikir Tesa.
"Aku lebih baik segera angkat kaki," tula
gadis itu seraya bangkit. Lalu tiba-tiba terpan-dang olehnya kue serabi yang
masih banyak.
"Mau diapakan kue begini banyak? Pika pasti curiga/
Pasha menghela napas. "Yah! Sebaiknya kau-bawa saja, Tes. Aku bakal
kewalahan kalau Pika sampai ngamuk"
Tesa mengangkat piring itu mau dibawa ke dapur.
"Eh, tunggu dulu! Aku masih kepingin lagi!" Diraihnya piring itu dan
dicomotnya empat serabi. Kemudian dituangnya santan gurih ke atas mereka.
Tesa menunggu lalu mengambil mang-kuk santan untuk dituang ke dalam
kantong plastik
Ketika dia tengah membungkus kue-kue itu, Pasha tahu-tahu sudah berdiri
di sampingnya sambil memegang piring dan menyantap serabi yang sebentarsebentar dicelupnya ke dalam santan.
"Tes," katanya setengah berbisik, "maaf, ya.-Kau terpaksa pergi begitu
saja."
Tesa ketawa sumbang walau hati merintih. "Oh, enggak apa-apa. Aku
maklum." Dalam hati ditambahnya, "Aku maklum, aku kan cuma pe-rintang
waktu. Tentu saja kau enggak mau sampai ribut dengan kekasih, bukan?! Aku
harus tahu diri, dong. Siapa aku, siapa Pika!"
"Kau enggak marah? Sungguh?"
"Lho, memangnya kenapa aku mesti marah? Aku juga enggak mau dong
dimaki orang!
Selain itu, aku memang tidak punya niat untuk merampas kekasih orang!"
Dia melrrik Pasha dengan sen yum netral padahal dalam hati cuma
Tuhan yang tahu.
"Ayo, ah! Jangan ngomong begitu. Pika juga pasti tahu, kau bukannya cewek
sembarangan
yang gampang-gampang direbut hatinya. Tapi tempo-tempo pikiran seorang
gadis suka sempit dan kuno kalau itu menyangkut pacaran. Jadi, yah! Meskipun
kita tahu kita tak punya niat apa-apa, kita cuma"""berteman doang, tapi kalau
Pika melihatmu di sini, aku khawatir namamu akan dirusaknya ke seluruh benua
Australia!"
Tesa ketawa gelak sambil mengikat bungkus-an kuenya dan santan kinca.
Lumayan untuk Nopi serta kawan-kawan lain yang selalu kela-paran.
Diambilnya tasnya. "Sudah, ya. Bye."
Pasha meraih tangannya seakan masih mau bikin upacara perpisahan yang
lebih mesra, namun Tesa dengan gesit mengelak dan cepat-cepat menuju ke
pintu.
Setibanya di jalan barulah disadarinya betapa sakit hatinya. Yah! Dia telah
diusir seperti anjing! Dia takkan pernah mau ke sana lagi!! Biarlah Pasha mati
kesepian tanpa teman! Dia tak sudi dijadikan kain sampiran sementara yang
bagus sedang dijemur!

www.ac-zzz.tk
Tapi setelah duduk dalam bis menyaksikan pemandangan Sungai Swan yang
indah, hatinya terbuka lagi. Salah sendiri, pikirnya, kenap
main-main dengan pacar orang! Akibatnya setiap saat bisa diusir pulang
kalau majikan asli mau datang!
Bab 8
Tekadnya dilaksanakannya dengan gigih. Selama tiga minggu, dia
menghindari pintu Pasha. Itu berarti enam kali, sebab dia memberi les di
tingkat ketiga dua kali seminggu. Tapi kalau kemudian dikajinya, sebenarnya
tekadnya toh tidak mendapat tantangan apa-apa. Sebab pintu itu selalu
tertutup dan Pasha sendiri tidak kelihatan batang hidungnya.
Tesa tidak mau memikirkan apakah Pasha kini sudah menjauhinya atau tidak
lagi kesepian atau bagaimana. Dia tak peduli apa alasan Pasha. Pokoknya dia
cukup merasa lega tidak lagi mendapat gangguan. Namun begitu, tiap kali
lewat di depan pintu hati kecilnya ter-kadang masih berharap pintu akan
mendadak terbuka agar dapat ditunjukkannya tekadnya untuk tidak menjadi
kain sampiran. Kakinya tanpa terasa sudah berhenti sejenak di anak tangga
paling bawah. Tapi wajah yang penuh senyum itu tidak menyambutnya lagi.
Maka hatinya pun melenguh, lalu dia menunduk dan 'nelangkah cepat-cepat
turun ke tingkat satu.
Setelah hal itu terjadi enam kali, Tesa sudah membiasakan diri dengan
keadaan baru itu. Dia tak pernah lagi berharap akan melihat Pasha atau
menerima undangannya untuk mampir. Setelah dirinya menjadi biasa dengan
perubahan ini, pikirarmya pun menjadi tenang. Dia malah bisa berangkat
mengajar dengan perasaan lebih cerah sebab kekhawatiranakan kepergok
Pikayang dulu-dulu tak pernah menyergap hatinya lagi. Semangat
mengajarnya lebih meng-gebu-gebu, sebab konsentrasi pikirannya kini tidak
lagi bercabang ke kamar lain.
Dia sudah merasa cukup puas bisa bersantai sejenak dengan kedua Kakek
dan Nenek Graham seusai les, lalu buru-buru pulang untuk tidur siang atau
membuat pekerjaan rumah kalau ada.
Di dapur, dia bisa menentang mata Pika dengan lebih jujur dan ikut seloroh
teman-teman tanpa ada apa-apa yang perlu disembunyikan. Anak-anak asrama
biasa masak-masak bersama. Setiap orang menyumbang satu macam sayur, lalu
mereka duduk semeja dan makan besar. Biasanya Tesa jarang mau ikut, tapi
kini dia lebih banyak meluangkan waktu untuk menunjukkan kebolehannya di
depan teman-temannya. Yang paling terkesan tentu saja Nopi. Matanya yang
jeli segera tahu bahwa gadis-gadis lain kebanyakan tidak pintar masak.
Maklum, sela-a jadi anak sekolahan rupanya tak pernah
meninjau dapur dan ibu mereka pun terlalu memanjakan mereka.
Pernah sekali Nopi menyindir Atina yang menggoreng dendeng kiriman dari
rumah.
"Waduh, enggak kalah alotnya sama kulit se-patu, nih," ledek Nopi yang
baru berhasil meng-gigitnya setelah giginya terancam copot.
"Aku kelamaan menggorengnya dan kelupaan merendam dulu," sahut Atina
mengaku salah. 1

www.ac-zzz.tk
Nopi menghela napas sabar. "Yah, aku maklum. Zaman sekarang, para ibu
lebih suka anak gadis mereka jadi dokter atau insinyur daripada jadi ratu
dapur. Kebanyakan nyonya rumah abad ruang angkasa ini sudah menyerahkan
gelar itu pada si Mbok yang masih tahu mana terasi, mana lengkuas!"
"Ah, aku masih bersedia kursus kok, Nop, asal lihat-lihat dulu cowok mana
yang mesti aku sediakan makan tiap hari!" sahut Atina jadi gemas.
"Oho, dengan perkataan lain, aku ini belum cukup pantas kausediakan
makanan? Jadi kau enggak suka sama aku?!" seru Nopi melotot, seakan tidak
percaya di dunia masih ada makh-luk yang begitu bod oh.
Tentu saja Atina kelabakan mendengar sin-diran yang mengandung
peringatan itu, sebab terus terang, hatinya sudah kecantol cowok sipil itu.
"Lho, lho, lho, kok jadi salah paham, sih? Aku kan enggak bilang kau ini kurang
pantas aku suguhi, cuma..."
"...kau ogah!" sambung Nopi membuang hj-dung ke atas, berlagak sombong.
"Ya, deh, aku maafkan sekali ini. Tapi lain kali mesti bikin soto untukku, ya!
Soto sulung! Yang enak!"
"Mampus aku!" bisik Atina ke telinga Sabita yang duduk di sebelahnya. "Apa
sih itu soto sulung? Dengar pun baru kali ini!"
"Kalau soto bungsu aku bisa," goda Sabita, tidak menyangka bahwa Atina
begitu bloon. Dengan girang anak itu menoleh pada Nopi yang duduk di kepala
meja bagaikan raja dike-lilingi beberapa selir.
"Nop, soto sulung itu kurang enak. Mending-an soto bungsu saja, gimana? Itu
aku bisa!" kata Atina penuh keyakinan (akan bantuan Sabita).
Sebelum raja bersabda, selir yang bernama Nurul sudah berseru heran,
"Belum pernah se-umur hidup aku mendengar nama itu. Ada juga soto Kudus,
soto Bandung, soto Madura, atau soto Banjar, tapi soto sulung? Soto bungsu?!"
"Wah, kalau begitu kau goblok! Enggak pernah ke dapur, ya? Mentangmentang sekolahnya tinggi..."
Panas juga Nurul disebut goblok. Langsung saja mulutnya yang terkenal suka
ceplas-ceplos menyahut lantang, "Memang enggak, kok! Aku kan mau jadi
nyonya rumah, bukannya jadi ratu dapur alias si Mbok! Di rumahku juga cuma
pembantu yang tahu gimana bikin tempe bacem, pepes oncom, ayam goreng
Mbok Berek, ayam goreng Jawa, ayam goreng Kalasan, ayam
goreng segala macam! Kalau kau kepingin punya istri ahli masak, kawin saja
dengan mbok-ku!"
Merah padam muka Nopi. Tapi dia tidak marah. Malah ketawa terbahakbahak. "Itu namanya kita berdua tidak berjodoh," katanya mengejek, lalu
melirik Tesa yang tengah sibuk memindahkan gulungan ayam cincang dari kukusan ke atas piring. Tentu saja gerakan ini tidak luput dari monitor radar si
Atina. Hatinya segera berdegup kencang. Dia tahu, Tesa memang hobi masak.
Dan bila cowok yang satu ini betul-betul rakus, wah, wah, wah, bisa-bisa Tesa
yang mendapatnya! Ini tentu saja mesti dicegah.
Tapi gimana caranya?! Mungkin dia perlu baikbaik dengan Tesa, lalu pelan-pelan minta diajari
masak!

www.ac-zzz.tk
Gulungan kertas sudah dibuka dan ayam cincang itu dipotong-potongnya,
lalu piring diba-wanya ke meja. Semua gerakan Tesa diperhati-kan oleh Nopi
dengan penuh kekaguman, se-mentara Atina sendiri sibuk merekam tingkah
laku Nopi.
Ketika piring diletakkan di atas meja, semua mata mendadak jadi
membesar mengawasi ayam dengan pandangan kelaparan. Tesa yang tidak
menyadari sikap teman-temannya, dengan anteng mengambil tempat duduk di
sebelah Ria. Melihat semuanya cuma bengong memandang ke tengah meja, dia
segera berseru, "T^ ay
dong. Jangan diliatin melulu! Nop, kau yang bagiinf
"Yuhuuii! Makasih atas kepercayaanmu, Tes!" katanya sambil menggosokgosok tangan.
"Jangan dia, ah!" sergah Nurul yang masih dongkol dibilang goblok, "Cowok
kan rakus, nanti kita semua kagak kebagian apa-apa! Tesa saja yang bagi!"
"Eh, memang begitu dong aturannya! Cowok yang memberi, cewek-cewek
tinggal menerima doang!"
"Iiih, porn...!" nyeletuk Atina yang mendadak jadi sebal melihat Nopi
mengelus Tesa dengan pandang memuja, padahal gadis itu sendiri tengah
menunduk sibuk mengiris timun. Tesa sama sekali tidak peduli pada cowok,
pikir Atina. Ada yang bilang, dia pernah patah hati, lalu jadi kapok. Kalau
enggak salah, Pika yang bilang. Dasar Nopi itu memang kerbau, enggak tahu
hatinya ada di mana!
Nopi tidak peduli semua protes. Yang punya sendiri sudah menyerahkan
mandat, jadi per-setan dengan segala mosi tidak percaya! Dengan tenang dia
mengangkat sepotong gulungan ayam yang kelihatan lezat nian, lalu garpunya
dibiarkannya berhenti di tengah udara sambil matanya menyapu setiap wajah.
"Ayo, ada yang mau dapat bagian, enggak?"
Sabita cepat-cepat mengulurkan piringnya. Kalau soal makanan, dia tidak
mau pusing
siapa yang bikin atau siapa yang bagi, pendeknya asal cepat dapat jatah!
"Iiih, kok rakus?!" tegur Atina pada sahabatnya.
"Habis! Aku kan sakit maag, Tin!" dia mem-bela diri. "Aku sudah kelaparan!"
Dengan sikap seakan amat terpaksa, akhirnya Nurul dan Atina pun mau
menerima pembagi-an dari Nopi. Tesa menyorongkan piringnya paling akhir.
Dan mungkin itu cuma perasaan Atina belaka, tapi dia seakan melihat bahwa
Nopi sengaja memilihkan potongan yang paling gemuk untuk gadis itu. Yah,
enggak apa, deh, pikirnya menghibur diri. Kan Tesa yang masak dan keluar
duit!
Tengah mereka asyik berpesta, tahu-tahu pintu dapur asrama terbuka lebar.
Siapa yang ma-suk?! Tesa mengangkat wajah dan seketika itu juga menunduk
lagi. Pika muncul menggandeng Pasha! Ya, Allah, pikirnya. Jangan biarkan dia
melihat aku! Jangan biarkan mereka duduk di sini.
Tapi Pasha sudah melihat masakan enak-enak di atas meja dan segera
menjawil Nopi yang memang dikenalnya. "Boleh numpang sepiring enggak, nih?"

www.ac-zzz.tk
Walaupun sebenarnya enggak relasebab dia masih ingin nambah dua piring
lagiNopi tidak berani menolak. Terpaksa disilakannya ke-dua tamu tak
diundang itu untuk ikut menyikat bersih piring-mangkuk di atas meja.
"Hm. Ayam Ini enak sekali. Apa sih namanya? Chicken pie? Atau bakso? Siapa
sih yang bikin?" tanya Pasha sambil memandang berkeliling, lalu tiba-tiba mulutnya setengah melongo seakan keheranan.
Agak di ujung meja duduk Tesa yang kelihatan acuh saja sendirian. Semula,
sepintas lalu dikiranya itu gadis baru yang tidak dikenalnya, sehingga tidak
diperhatikannya. Tapi kini wa-jahnya menunjukkan rasa gembira sekaligus...
kangen?! Tidak! Dia mesti hati-hati kalau tidak mau babak belur dipukuli oleh
Pika yang nang-kring di sebelahnya, memonitor setiap gerakan-nya seperti
kamera televisi yang paling canggih. Dia bukan takut, tapi ingin damai, pikirnya
membela sikapnya.
"Jangan usil, ah, .tanya-tanya siapa yang masak!" ben tak Pika setengah
cemburu. Dan Pasha langsung menu tup mulut. Tapi Atina yang se-nang
keributan sebagai atraksi, segera menyebut nama Tesa.
Kini Pasha tidak bisa lagi masa bodoh. Dia sudah diberitahu siapa yang telah
membuat ma-sakan yang dipujinya tadi. Terpaksa dia mesti juga memberi
pujian.
*Oh, kiranya Tesa! Enak, lho. Boleh sering-sering, nih!" Maksudnya cuma
ingin berkelakar. Siapa tahu, Pika jadi sewot.
"Maumu! Memangnya orang kebanyakan waktu diam di dapur terus! Apa
masakanku
masih kurang sedap sih sampai kau kepingin
dimasakin orang lain?!"
Wah, celaka! pikir Tesa dari ujung meja. Ru-nyam kalau mereka bertengkar
gara-gara diri-nya. Bisa-bisa Pika akan menuduhnya yang bukan-bukan. Apalagi
kalau dia sudah menaruh curiga bahwa Tesa pernah atau sering datang ke
tempat Pasha! Wah, Pika pasti takkan segan-segan menjelek-jelekkannya di
depan anak-anak semua!
Dengan hati kebat-kebit Tesa berlagak tidak menyadari situasi yang sudah
genting. Sambil ketawa dia menegur Pasha, "Iya, nih! Heran, sifat cowok kok
semuanya begitu? Selalu pura-pura memuji cewek lain, padahal maksudnya
sebenarnya cuma ingin lebih dimanja oleh patse!"
Pasha menatapnya seakan mau protes, tapi Tesa mengedip satu kali dan dia
mengerti. Pika menjadi tenang lagi setelah paham bahwa itu hanya taktik
belaka dari kaum laki-laki agar lebih diperhatikan oleh "orang rumah"! Dalam
hati dia mengaku bersalah, kurang memanjakan Pasha. Habis, dia kelewat sibuk
dengan kuliah.
Setelah makannya selesai, Tesa mengangkut piringnya sendiri ke ruang
sebelah untuk dicuci. Dita mengikuti, juga dengan piring sendiri. Tak lama
kemudian muncul Nopi, berlagak mau menunggu sampai gadis-gadis itu beres
dengan piring mereka. Tapi Tesa mengerti bahwa dia
kepingin ditawari bantuan. Karena selama ini Nopi selalu baik padanya,
Tesa jadi malu hati.
"Man, Nop, aku cuci piringmu."

www.ac-zzz.tk
"Aiiii, betui, nih? Trimse, nih ye!" katanya tanpa sungkan, lalu menghilang
lagi dengan wajah berseri-seri.
"Kerajinan betui sih, kau!" tukas Dita. "Nanti jadi kebiasaan! Kalau patse sih
lain perkara! Nopi kan enggak pernah mau naksir kita-kita ini, Tes. Matanya
juling ke yang pirang-pirang melulu, tahu!" .
Tesa ketawa. Karena piring yang dicucinya cuma satu, sebentar saja Dita
sudah selesai, lalu balik ke ruang makan. Sedang Tesa masih sibuk membilas
piring-piring dan sendok, muncul Pika dengan setumpuk perabot.
"Tes, aku minta tolong dong sekalian, nih. Piringku dan piring Pasha. Nanti
kapan-kapan aku yang gantian men cuci piringmu. Mau, kan?"
Sebenarnya Tesa sebal, tapi melawan mulut yang begitu manis, dia tak
sanggup. Pika memang bisa amat sangat manis melebihi madu asli, kalau ada
maunya.
"Taruh saja di situ," sahutnya tanpa menoleh.
"Trims, ya. Lain kali aku yang gantian. Benar, deh!"
Tentu saja Tesa tidak menaruh banyak keper-cayaan pada janji Pika, walau
misalnya disertai sumpah sekalipun. Paling-paling setelah dua puluh empat jam
dia akan melupakan janji itu.
Tapi setelah diliriknya tumpukan piring gelas itu, mangkelnya berkurang.
Bagaimanapun, itu kan bekas makan Pasha juga. Piring bekas Pika cuma satu
dan gelasnya tak ada, barangkali
masih dipakai.
Tengah Tesa menjadi babu dapur begitu, tiba-tiba datang Pasha mau
membuang kulit jeruk ke dalam tong sampah. Langkahnya setengah terhenti
melihat siapa yang ada di sana. Tapi kemudian diteruskannya seakan tak
terjadi apa-apa.
"Sibuk, nih?" tegurnya basa-basi.
"Seperti kaulihat," sahut gadis itu singkat tanpa menghentikan gerakan sikat
menyabuni piring.
Ketika Pasha melihat bahwa dia sedang men-cuci piring bekasnya sendiri,
dia segera tahu bahwa Pika malas.
"Pika yang menyuruhmu mengerjakan semua itu?" tanyanya menegaskan.
Tentu saja Tesa tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi kalau dia
cuma ketawa saja, tentu Pasha akan curiga juga. Terpaksalah dia berdusta
untuk kebaikan Pika.
"Ah, enggak, kok. Aku yang mau sendiri. Kan sekalian, cuma sedikit ini."
Pasha belum puas dengan jawaban yang dira-gukannya itu, namun dia tidak
mendesak. "Marl aku bantu," katanya kemudian.- i
Sebelum Tesa sempat menolak, Pasha sudah meraih serbet dari gantungan
dan mulai
mengeringkan piring-piring yang sudah bersih.
Mereka bekerja tanpa bicara. Pasha bahkan sama sekali tidak menunjukkan
tanda bahwa dia sudah lama mengenai Tesa, dan bukan sekadar
ketemu di ruang makan tadi. Tesa maklum, ini tentunya gara-gara Pika
hadir di kamar sebelah.

www.ac-zzz.tk
Setiap saat monyet kecil itu bisa inspeksi dan menimbulkan onar kalau
dilihatnya ada sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya. Sebagai anak orang
kaya, Pika tentu saja sudah biasa dimanja dan adatnya pun jadi disesuaikan
dengan kebiasaan itu. Tesa tidak mau ada ribut-ribut. Apalagi karena di antara
Pasha dan diri-nya memang tak ada apa-apa, jadi rugi betui kalau sampai
disangka yang tidak-tidak, pikirnya.
Setelah semua piring dan sendok garpu beres dikeringkan, Pasha
menggantungkan kembali lap di tempatnya. Lalu dikeluarkannya saputa-ngan
untuk mengeringkan jari-jarinya. Tesa me-lihat lipatan saputangan biru yang
tidak dise-trika itu. Rupanya sejak dia berhenti, tak ada orang yang sempat
menyetrika. Pasha pasti repot Pika mana mau...
"Ah, kok saputangan robek itu masih kau-pakai terus!" Tesa nyeletuk tanpa
dipikir lagi. Pasha yang tengah melap tangan segera
membuka lipatan-lipatan saputangannya. Benar
saja. Ada sudut yang robek.
"O, iya! Aku tidak tahu!" katanya tersipu.
Saking malunya, saat itu dia tidak teringat
untuk bertanya dari mana Tesa bisa tahu! Tapi setelah kembali ke
tempatnya, Pasha mendadak
teringat insiden itu dan jadi keheranan.
"Eh, dari mana si Tesa itu bisa tahu saputa-nganku robek?" gumamnya
setengah bertanya pada Pika, lalu diceritakannya apa yang tadi
terjadi. Hati gadis itu tercekat. Diam-diam dia menyesali kecerobohan
temannya yang asal ngomong itu. Tentu saja Pasha jadi curiga!
"Ah, barangkali dulu kau pernah juga mema-kai saputangan itu, dan dia
pernah melihat, itu sudah robek!" sahut Pika berusaha^ meyakinkan bahwa
Tesa tentunya bukan pandai sihir yang bisa melihat sesuatu dalam saku orang
lain.
Pasha terdiam menerima penjelasan seakan sudah puas, tapi sebenarnya
jauh dari itu. Pikir-annya terus-menerus berputar mencari jawaban yang lebih
masuk akal. Makin dikaji, lerasa makin banyak keanehan muncul sekitar gadis
lem-but yang pendiam itu, pikirnya. Senyum serta tatapannya terkadang sangat
misterius. Adakah rahasia yang terpaksa disimpannya dalam kal-bu?! Adakah
duka yang pernah melanda hatinya, sehingga pantulan matanya senantiasa ragu
dan samar seakan terselubung sehelai tirai pak-saan?!
Terlalu banyak tanda tanya yang meletup sekitar dirinya, seperti buih-buih
kecil yang thn-bul setelah ombak berlalu. Misalnya, Tesa kelihatan begitu
terbiasa di apartemennya, sehingga tidak perlu bantuan di dapur. Dia juga tahu
warna gelas yang harus dipakai untuk makan nyamikan atau makan nasi.
Pasha mempunyai hobi yang aneh. Dia suka sekali mengumpulkan gelasgelas keramik ber-tangkai dari segala tempat. Ada yang biru, kenang-kenangan
dari pernikahan Pangeran Charles dan Lady Di; ada yang coklat keemasan
memperingati hari ulang tahun Ratu; ada yang putih sebagai peringatan akan
anu; ada yang hijau; masih ada lagi yang merah, yang kuning, yang jingga, dan
lain lain. Yang terakhir ini dibelinya di tempat pelelangan teh, bukan untuk
peringatan hari besar apa pun. Warnanya jingga terang dengan hiasan hijau

www.ac-zzz.tk
berbentuk hati. Ini khusus untuk sarapan, disertai tatakan piring yang serasi
warna serta bentuknya.
Nah, untuk makan kue-kue di sore hari, dia selalu senang memakai gelas
putih yang penuh gambar kucing-kucing kecil dalam segala pose. Tentu saja dia
tak pernah menggembar-gemborkan kebiasaan itu melalui iklan radio ataupun
gosip percakapan biasa. Jadi, apakah cuma kebetulan Tesa mengambil gelasgelas itu untuk minum kopi?! Benarkah dia bukan pan-dai sihir yang bisa
menembus pikiran orang?!
Cuma ada dua jawaban. Ya dan tidak. Dan masing-masing mengandung arti
yang dalam. Hm. Dia harus tahu sampai tuntas!
Ketika Tesa turun dari loteng rumah keluarga
Graham pada hari Selasa berikutnya, dia terke-jut mendapati Pasha sudah
menunggu di lantai bawahnya. Sudah lama dia melupakan kebiasaan laki-laki
ini, sehingga tak pernah lagi ber-harap akan melihatnya duduk berjongkok di
depan pintu dekat anak tangga.
"Hei!" sapanya dengan ketawa yang misfe-rius.
"Hei!" sambutnya setengah gugup.
"Yuk, main ke tempatku," undangnya seraya loncat berdiri.
"Lain kali, deh. Aku sibuk," sahutnya mau melangkah terus. Tapi Pasha tentu
saja bukan Pasha kalau dibiarkannya seorang gadis manis menolak
undangannya. Disambarnya lengan Tesa dan tidak diizinkannya dia melangkah
turun.
"Sudah lama kita enggak makan kue dadar bersama," katanya seakan
kangen.
"Betui!" sahut Tesa agak memberungut. "Aku sangka kau sudah lupa padaku!
Tumben hari ini ingat lagi!"
"Aku barusan balik dari Sydney Jumat lalu. Minggunya kan kita ketemu di
asrama. Ayam gulungnya enak sekali!!!"
"Mmm. Enggak punya recehan," Tesa men-dengus mendengar pujian yang
sudah basi itu. "Ayo, ah. Biarkan aku pergi."
"Eh, jangan begitu, dong. Mari masuk dulu. Aku minta maaf, deh, sebab
enggak sempat
ngasih tahu aku pergi. Masa kau sampai ngambek?"
"Tentu saja tidak!" cetus Tesa melotot. "Me^ mangnya kenapa mesti
ngambek? Kau kan bukan pacarku!"
Pasha meringis mendengar ucapan yang tan-das itu, tapi dia tetap
tersenyum. Tesa- mengi-baskan lengan ingin lepas, namun Pasha malah
mempererat cekalannya. Dipertontonkannya senyum simpanannya yang paling
manis. Dan rayuan mautnya tentu saja sudah lulus testing sekian belas gadis di
Jakarta. Tesa yang relatif masih lugu, dengan cuma seorang Goffar se-bagai
sertifikat pengalamannya, tentu saja susah melawan.
"Ayo, dong, Non. Jangan gitu, ah. Kalau betui enggak ngambek, ayo dong,
mampir. Kalau enggak mau, tandanya memang betui ngam-. bek"
"Aku memang enggak ngambek, tapi aku enggak mau mampir. Lain kali
kataku. Sekarang aku lagi sibuk Lain kali, benar deh aku mam-pir."

www.ac-zzz.tk
Pasha menatapnya dengan tajam, lalu dia mendesis perlahan seraya
pameran senyum odol. "Gimana kalau aku kasih tahu Pika, kau ngambek?"
"Kau sinting!" seru Tesa terbelalak. "Dia pasti akan marah besar. Namaku
pasti akan hancur sampai ke ujung dunia! Takkan ada tempat lagi bagiku untuk
menaruh muka!"
"Nah, rupanya kau sudah paham akibatnya! Karena itu, jangan kaupaksa aku
untuk mela-porkan, kau sekarang tak mau lagi main ke *
tempatku!"
"Kau berani mengadu? Kau enggak takut Pika nanti marah padamu?"
"Biar amat! Lagian, dia enggak bakal berani marah padaku! Taruhan, deh!
Ayo, mau masuk atau mau diaduin?"
"Ini pemerasan!" seru Tesa marah. "Lepaskan aku!"
"0, bukan! Jangan bilang begitu, dong. Aku cuma ingin kautemani makan
rujak. Mau, dong?"
"Rujak?" Dari mana monster ini tahu bahwa aku paling doyan rujak, pikir
Tesa geregetan. Mungkin dia mengompes keterangan dari Pika?! Memang
mereka sering banget bikin rujak di asrama. Dan ratunya tentu saja Tesa!
"Aku baru mendapat kiriman terasi nomor satu dari rumah. Jadi aku mau
bikin rujak. Gula jawa, cabe, dan asam kan gampang dibeli. Juga buahbuahannya. Yuk, kita ngerujak berdua...." Lalu diseretnya Tesa yang sudah
lemah lutut-nya itu mendekati pintu kamar.
"Aku repot...," kilah Tesa dengan suara me-lemah. Bayangan rujak yang
pedas dan segar membuat liurnya hampir berbuih.
"Kalau kau tidak mau, aku laporkan pada Pika. Kau harus menerima
undanganku!" kata Pasha dengan tegas. Lalu tanpa menunggu bantahan lagi, dibukanya pintu dan didorongnya Tesa ke dalam.
Mata gadis itu segera jelalatan mencari piring rujak. Ternyata tidak ada!
Hidungnya yang ta-jam segera mencoba membaui terasi dan bumbu rujak.
Dalam ruangan yang selalu tertutup bia-sanya bebauan begitu jelas tertangkap.
Ternyata tak ada apa-apa yang tercium. Mengertilah dia, Pasha sudah
berdusta. Mungkin cuma akal bu-his untuk menjebaknya.
Ketika laki-laki itu meleng, Tesa secepat kilat melompat ke pintu lalu
memutar gerendel. Tapi seperti rusa betina melihat anaknya dalam ba-haya,
Pasha pun segera melompat ke samping-nya. Dia berdiri di antara pintu dan
Tesa, menghalangi jalan keluarnya.
"Jangan pergi, dong, Tes. Ada yang mau aku katakan!" Suaranya kini
setengah memohon, tidak mengandung ancaman.
"Aku tidak mau diancam-ancam!" "Maafkan aku, Tes. Aku terpaksa
melakukan-nya supaya kau mau mampir."
"Huh! Kau cuma ingat kesenangan sendiri, ya? Kau enggak tahu, bukan main
repotnya aku! Ini kan musim. ujian!" - "Sekali lagi, maaf, Tes. Aku... aku...
sebenarnya sangat menyukai engkau. Aku... aku... rasa, aku... sudah jatuh
cinta padamu!" Pasha meng-ucapkan kalimat terakhir cepat-cepat seakan
takut. tercekik sesuatu. Setelah itu dia menelan ludah dengan rupa dungu.
Plak! Tamparan itu datang tanpa alarm, sehingga wajah Pasha yang
bersemu merah di pi-pi membayangkan rasa kaget yang sangat. Tapi
mata Tesa lebih menakutkan. Mereka meman-

www.ac-zzz.tk
carkan kebencian yang menyala.
"Itu yang mau kaukatakan pada teman baik pacarmu?!" bentak Tesa dengan
marah. "Kau tidak menghargai kepercayaan yang diberikan
Pika padamu! Dan kau menyinggung perasaan-ku! Kaupikir aku semurah
itu?!" Lalu tiba-tiba, begitu saja air matanya menderas turun. Tesa mendadak
teringat pada Goffar. Mungkin begitu juga ulah Goffar terhadap Shakira. Cuma
bedanya, mungkin temannya itu segera me-nyambut baik...! Apakah dia akan
merendahkan diri seperti Shakira cuma untuk sepotong cinta, dengan melukai
hati orang lain?! Tidak!
Pasha menggosok-gosok pipinya yang pedih. Dia belum bisa memutuskan
akan marah atau ketawa terbahak ditempeleng begitu. Sebab se-umur hidup
belum pernah dia kena tampar sepotong tangan lembut. Ketika melihat air
mata bercucuran, dia sangat terkejut. Hati laki-laki-nya jadi kehilangan akal,
bingung dan panik. Tentu saja dia tidak menduga bahwa Tesa ter-kenang pada
bekas pacarnya yang tidak setia.
"Ampuni aku, Tes. Aku tidak menyangka ba-kal menyinggung perasaanmu.
Maaf, Tes. Aku sama sekali bukan menganggap kau ini mur
ah. EntahJah. Ada sesuatu yang memaksa aku mengatakannya tadi padamu."
Pasha menyentuh bahu Tesa dan ketika gadis itu tidak berontak,
dipegangnya lebih erat. Dikeluarkannya saputangan dan disusutnya air mata
sepanjang pipi.
Tesa mengeluarkan sapu tangannya sendiri, la-1 lu membersit hidung. Dia
berusaha menghenti-kan tangisnya, lata ditatapnya Pasha dengan mata yang
masih berbinar basah.
"Aku menghargai engkau, Pasha. Janganlah menjadi laki-laki yang tidak
setia!" katanya dengan suara hampir tak terdengar.
Pasha mengatupkan bibirnya erat-erat dan mengangguk berulang-ulang
dengan sungguh-sungguh.
"Sekarang aku harus pulang!" kata gadis itu dengan tegas sambil mendorong
Pasha ke sam-ping agar dia dapat membuka pintu.
"Nanti aku antarkan!" kata Pasha dengan ce-pat "Matamu lebih baik
kaubasuh dulu supaya enggak terlalu merah. Kebetulan mobilku baru kembali
dari bengkel, aku mau mentes jalan-nya."
Tesa mengangguk tanpa membantah, lalu melangkah ke kamar mandi.
Pasha menyambar lengannya sekeluarnya dari sana.
"Tes, soal rujak itu, aku enggak bohong, lho. Aku bukannya mau
memancingmu dengan akal bulus. Aku memang niat mau bikin rujak, tapi aku
tunggu kau yang bikin...."
Tesa tidak menanggapi. Pasha menyeretnya ke dapur, lalu
memperlihatkannya sebungkus terasi, gula, cabe, serta buah-buahan.
Tesa rhenggeleng. "Aku enggak ingin-hari ini," keluhnya pelan.
"Aku mengerti. Lain kali, deh. Kapan kau datang lagi ke loteng? Jumat,
bukan? Aku tunggu, ya."
"Lebih baik kaupanggil Pika saja. Buah-buahan itu mungkin takkan tahan
begitu lama."

www.ac-zzz.tk
"O, itu gampang. Aku bisa membeli yang baru," sahutnya tanpa menanggapi
usul Tesa untuk memanggil Pika.
Tesa menghela napas dan mengumpulkan ke-beraniannya yang terakhir
sebelum dia melangkah pulang.
"Pasha, kalau kau ingin aku main lagi ke sini, kau mesti berjanji takkan
pernah lagi meng-ulangi pernyataan konyol seperti tadi! Kalau kau enggak mau
janji, aku juga enggak mau mampir lagi ke sini! Ingatlah! Pacarmu adalah Pika.
Dialah calon istrimu! Aku adalah teman baiknya. Sampai kapan pun aku takkan
pernah jatuh cinta padamu!" Ditatapnya Pasha yang ter* diam seperti kerbau
dungu.
"Nah," katanya tegas, "kau mau janji apa enggak?"
"Ya, ya, ya," sahut Pasha gelagapan seakan baru dibangunkan dari mimpi,
"aku... berjanji.. Tapi Jumat kau betui datang, ya?"
Tesa menarik napas lega dan mengangguk.,M
Bab 9
Jumat berikutnya Tesa memenuhi janjinya datang main ke tempat Pasha
untuk makan rujak. Tesa memang paling ahli bikin sambal rujak, sebab itu
makanan kesukaannya.
"Sayang enggak ada kedondong, lobi-lobi, sama gandaria," katanya ngiler.
Pasha meringis mendengarnya. "Asam 1am-bungku kontan muncrat
mendengar yang asam-asam. Dasar cewek! Ngidam enggak ngidam unya yang
begituan saja! Seperti Pika juga!" Mendengar nama itu Tesa tiba-tiba teringat
apa yang mau ditanyakannya. "Sebenarnya, ke-napa sih kau enggak ngerujak
sama Pika saja?"
"Berarti aku mesti menunggu sampai dia am-bil cuti, dong! Bisa-bisa
terasiku sudah bulukan! es, Tes, apa kau belum juga paham? Cewekku -u
enggak punya waktu untuk hal-hal lain ke-uali dua. Pertama, kuliah! Kedua,
praktikum! Aku ini cuma jadi sampiran yang sepele beLantas, kau manda saja dijadikan barang pele?! Tapi pikiran itu tidak
diutarakannya,
khawatir menyentuh topik tabu. Hatinya yang
lembut jadi merasa kasihan. Dia mengerti, laki-laki ini kesepian dan butuh
teman. Itu saja. Tidak lebih. Kalau toh dia mengucapkan yang tidak-tidak
tempo hari, itu cuma keterlepasan biasa atau mungkin juga untuk menyanjung
Tesa agar mau memenuhi setiap permintaannya, misalnya sering-sering
mampir. Pasha tidak tahu Tesa paling imun terhadap rayuan. Sebab dulu dia
sudah kenyang dirayu oleh Goffar, dan ternyata semuanya hanya "terang bulan
te-rang di kali" belaka.
Seakan bisa menduga jalan pikiran Tesa, Pasha melanjutkan sendiri, "Kau
tentunya heran kenapa aku mau saja disepelekan seperti kain rombengan. Yah!
Terkadang aku pun ingin berontak. Tapi cinta kami sudah menemui terlalu
banyak rintangan. Kami sudah berjuang terlalu lama menentang kekolotan
serta kemunafikan orangtua kami. Kalau kami putus, ibaratnya menyerah pada
larangan mereka yang kami anggap sama sekali enggak masuk akal. Mereka
bersaing dalam pemasaran produk-produk mereka, lalu permusuhan itu pun
mau mereka libatkan atas diri anak-anak mereka. Dan sekarang, setelah

www.ac-zzz.tk
ketahuan Pika sebenarnya acuh saja padaku, aku tak bisa mundur lagi. Justru
kini mereka mulai mau merestui hubungan ini. Gara-garaku juga, sih. Waktu
aku kecelakaan tempo hari, aku selalu mengirim suratyang ditulis oleh Selina,
gadis yang tak bisa aku
lupakanmemuji-muji ketelatenan Pika mera-watku! Padahal yang dipuji
itu entah sedang
asyik di laboratorium mana. Atau tengah melo-tot mendengarkan kuliah.
Orangtuaku jadi ber-kesan baik pada Pika, lalu melakukan pende-katan ke
pihak sana. Orangtua Pika juga rupanya bukan bangsa pendendam. Nah,
akhirnya mereka mencapai persetujuan...."
Pasha menatap Tesa, lalu tersenyum sendu. Tesa bingung, tidak mengerti
bagaimana sebenarnya perasaan pemuda itu. Senyumnya tak bisa ditafsirkan
maknanya. Hubungan sudah direstui, kok bukannya jingkrak-jingkrak kesenangan?! Tapi malah meringis?!
"Wah, tentunya Pika senang sekali, ya!" seru Tesa dengan kegembiraan yang
dibuat-buat.
"Entahlah," sahut Pasha setengah mengeluh. "Anak itu aneh. Di depan orang
banyak, dia selalu memanjakan diriku. Mestinya itu berarti, dia bahagia
bersamaku. Tapi kalau cuma ber-duaan, dia justru jadi enggak peduli. Malah
aku yang mesti memanjakan dan melayaninya. Me-nyediakan makan, mencuci
piring, atau masak-masak, wah mana dia mau! Itu tugasku! Tapi kalau ada
orang lain, dia tampaknya manis pa-daku."
Dan Tesa tahu betapa menyenangkannya Pika kalau sedang manis! Itukah
sebabnya Pasha jadi enggan melepaskan diri? Eh, eh, kok mikir sampai ke situ?!
Enggan atau tidak, itu kan bukan
urusannya! Dia kan cuma tempoldhg tempat
orang menumpahkan unek-unek yang tak bisa
diceritakannya pada sembarang kuping.
Rupanya Pasha sedang kerasukan setan rujak yang lezat itu. Bicaranya
makin lama makin lancar dan juga makin ngawur. Kalau bisa, barangkali dia
mau menumpahkan seluruh isi hatinya pada orang yang saat itu berada di
depannya. Dan kebetulan saja manusia itu adalah dia, pikir Tesa.
"Tempo hari aku enggak kelihatan, sebab aku pergi ke Sydney. Pamanku
datang untuk urusan bisnis. Dia enggak sempat mampir kemari, jadi dimintanya
aku saja yang ke sana. Kata Paman, orangtuaku sudah menjumpai orangtua
Pika. Mereka sudah setuju dengan hubungan kami. Dan pertunangan kami
malah diminta supaya secepatnya dilangsungkan. Kalau bisa, dua bulan lagi.
Tanggal dua puluh tujuh!"
Pasha menyeringai sambil mencolek sambal. "Herannya, aku kok enggak
merasa terbang ke surga.ketujuh. Biasa-biasa saja. Padahal cinta ini sudah aku
perjuangkan mati-matian bertahun-tahun lamanya. Malah aku pernah
mengaflcam enggak bakal mau pulang lagi ke Jakarta kalau enggak direstui.
Tapi kini!" Dia mengangkat ba-hu sambil sekali lagi mencolek bumbu.
"Mungkin begitu sifat manusia," sambungnya terus. "Yang membuatnya
bersemangat adalah perjuangan untuk mencapai sesuatu. Tapi sete

www.ac-zzz.tk
lah impiannya terlaksdna, ya rasanya enggak ada yang istimewa. Biasa.
Lumrah."
Tesa membisu sejak tadi, sebab Pasha tidak menunggu jawaban apa-apa
dari dia. Yang di-perlukannya hanyalah sepasang kuping pende-ngar yang
anteng. Dan Tesa pun menjalankan peran yang diberikan itu dengan baik.
Namun dalam hati, dia toh berpikir juga. Pasha akan segera tukar dncin dengan
Pika! Senangkah dia?! Atau malah sedih?!
Entahlah. Yang jelas, hatinya mendadak terasa plong! Lega seolah sudah
terlepas dari bahaya. Ya, ya, kalau Pasha sudah resmi terikat, berarti godaan
bagi Pasha akan berakhir. Dia pasti takkan mau mengingat-ingat lagi siapa
Selina itu, atau cewek-cewek lain, misalnya... dirinya sendiri! Dan jauh di
sudut hatinya, ada suara yang menyindir godaan akan berakhir bagi Pasha, dan
bagi dirinya sendiri juga, bukan?!
Kalau dipikir-pikir, dia memang tidak bisa menemukan alasan yang tepat
kenapa dia selalu mampir ke sana. Yah, mungkin karena dia se-nang saja
berada di tempat Pasha. Mungkin juga dia haus pujian untuk kue-kuenya yang
lezaf. Mungkin pula sekadar perintang waktu (walau sebenarnya tugas di kuliah
banyak ajan!).
Entah mana yang benar. Yang jelas, katanya pada diri sendiri, Pasha itu
dianggapnya tidak lebih dari seorang abang baginya. (Benarkah? sindir pojok
gulita dalam hatinya.)
Ya, ya, dia merindukan abangnya di Jakarta. Selama ini Markus yang selalu
mengawalnya ke mana-mana. Terlebih setelah terjadinya musibah dengan
Goffar. Kini, jauh dari rumah, dia merasa sebatang kara. Dia kangen perhatian
dari seorang abang! Nah, Pasha-lah penggantinya. Tidak lebih!
Begitulah beberapa minggu berlalu. Pasha kembali seperti dulu, baik, ramah
namun acuh tak acuh seakan setengah linglung. Terkadang dia memanggil Tesa
dengan nama Pika, menyu-ruhnya membuatkan kopi, lalu minta maaf ketika dia
menyadari kekeliruannya.
"No problem," sahut Tesa ketawa. "Tapi hati-hati, lho! Jangan sampai
memanggil pacarmu si Tesa! Bisa ngamuk dia!"
"Aku akan hati-hati," janji Pasha nyengir-nyengir malu. "Barangkali aku
sudah kebanyakan belajar, otakku sering kortsleting! Apa jadi-nya kalau aku
nanti mengecupmu? Gawat, ga-wat, gawat!"
Pasha menggeleng-geleng, sementara Tesa ce-pat melarikan diri ke dapur.
Dia tidak mau wa-jahnya yang terasa panas itu terlihat oleh Pasha. Sebab
berani taruhan, pipinya pasti semerah ke-piting rebus!
Selain keliru menyebut nama, Pasha rupanya kadang melupakan juga hal-hal
lain. Misalnya, nama skuter saingan Vespa, seminggu lamanya tidak bisa
diingatnya. Dia uring-uringan dan gelisah.
"Barangkali aku sudah ken a Alzheimer," kata-* nya pada setiap teman
kuliah. "Kalau dalam sepuluh hari ingatanku enggak pulih, aku terpaksa harus
membawa otakku ke labor buat Pit!"
Untunglah sebelum jatuh tempo, mendadak muncul dalam kepalanya kata
Lambretta. Dia langsung menelepon Tesa.

www.ac-zzz.tk
"Tes, aku sudah ingat, Tes! Lambretta! Iya, kan? Saingan Vespa kan
Lambretta, bukan? Ha, ha, ha, aku masih normal! Aku masih bisa me-lamar ke
bagian bedah!"
"Syukurlah, Pasha. Aku senang sekali mende-ngarnya. Tapiii, apa kau sudah
beritahu Pika?"
Ha-ha-ha di seberang sana mendadak sirna. Suaranya kedengaran lesu
ketika dia mengaku, "Belum, Tes. Aku takut mengganggunya. Di samping itu,
aku juga sebenarnya enggak tahu dia ada di mana, sedang kuliah vak apa."
"Oh, kalau enggak salah, dia enggak kuliah kok hari ini. Tadi aku melihatnya
di ruang cuci, Anak-anak kan biasanya cuma mencuci kalau ada di rumah,
khawatir pakaian disambar ta-ngan jail kalau ditinggal. Mau aku panggilkan?"
"Ah, tak usahlah. Nanti dia terganggu, padahal ini kan enggak pen ting."
"Kalau mengganggu aku sih, boleh ya?" Tesa nyeletuk tanpa dipikir lagi.
Sebenarnya dia
penyakit pikun
cuma main-main, tapi mendengar Pasha menarik napas kaget, Tesa segera menyesal.
"O, o, o, sorry banget. Aku sama sekali enggak kepikir, kau juga mungkin
enggak mau
diganggu. Maaf, Tes, aku..."
"Hai, orang cuma main..." potong Tesa, tapi Pasha terus menyambung.
"Nanti deh, jam dua belas malam aku ganggu
kau lagi! Byel"
Tesa ingin sengit, tapi juga ingin ketawa. Mo-nyet jantan ini bukannya lapor
apa-apa pada biangnya, eh, malah selalu mengadu padanya!
Apa tampangnya sudah pantas jadi ibu asrama, nih, pikirnya masam. Tapi
tidak urung, hatinya gembira sekali mendengar Pasha sudah bisa mertembus
black-out-nya.
Ketika berjumpa dengan Pika di dapur men-jelang makan siang, Tesa
langsung melapor pe-rihal telepon tadi. Maksudnya untuk berbagi kegembiraan
bahwa Pasha tidak pikun.
"Alaa," keluh Pika setengah jengkel. "Segala urusan kecil begitu saja mau
diiklankan ke selu-ruh dunia!"
Tesa tertegun, kecewa dan tersinggung. Ti-dakkah dia tahu betapa
pentingnya hal itu bagi Pasha?! Apakah dia sama sekali tidak mau peduli?!
"Untung bukan aku yang diteleponnya!" tu-kasnya lagi seraya menggiling
wortel, minum-annya setiap hari.
"Pik, apa kau enggak mengerti betapa pe
tingnya ha 1 ini baginya? Kalau dia linglung te-- rus, kan berarti dia enggak
bakalan diizinkan masuk spesialisasi bedah, bukan?"
"Dan memang lebih baik juga jangan!" sahut Pika sambil menuang sari
wortel ke dalam gelas. "Kau tahu apa, sih? Ahli bedah itu kerjanya enggak kenal
waktu. Tengah malam pun mesti siaga untuk mengoperasi kasus gawat darurat.
Kurang tidur, harus konsentrasi terus, tenaga diperah seperti kuda...
sanggupkah dia? Dan aku? Kalau aku jadi istrinya, kan pasti ikut-ikutan
terbangun kalau dia dipanggil orang?!"

www.ac-zzz.tk
Tesa terdiam. Kalau dikaji-kaji, keberatan Pika bisa diterima juga. Siapa sih
yang mau diba-ngunkan tengah enak-enak tidur?! Siapa yang mau suaminya
gentayangan di malam buta dengan gunting dan skalpel di tangan melepaskan
usus yang terjepit atau menghentikan perdarah-an di bawah tengkorak yang
hancur?! Tapi, kalau dipikir lebih lanjut, lalu siapa yang akan menolong korbankorban gawat itu bila semua orang seperti Pika pikirannya?! Ah, entahlah!
Paling aman, setuju saja sama Pika!
"Ya, mungkin kau benar. Aku tak pernah terpikir ke situ," sahut Tesa yang
tengah me-nyiapkan makan siang.
"Tentu saja aku benar!" sembur Pika dengan garang. "Cuma Pasha doang
yang enggak punya pikiran. Orang itu enggak pernah memper-hatikan
kepentingan orang lain. Selalu dirinya sendiri yang jadi sumbu dunia. Nomor
satu,
kepentingannya. Nomor dua, kepentingannya.
Nomor tiga pun masih kepentingannya! Terkadang aku sebal jadinya."
Eh, eh, ketel uap meletup tutupnya!" Tesa ke-bingungan mendengar ocehan
temannya. Sana ngeluh, ceweknya enggak punya waktu untuk-nya. Sini ngomel,
cowoknya cuma ingat kepentingan dewek! Inikah yang disebut perang sa-bil?!
Atau perang dunia?! Iiih, jangan sampai dia harus menjadi Stalin atau Churchill!
Ketika Tesa tidak memberi komentar apa pun, Pika menoleh lalu
mengerutkan kening.
"Hei, gimana sih asal mulanya sampai Pasha-ku itu jadi suka mengadu
padamu?"
Astaganaga! Bukan main kagetnya Tesa dita-nyai begitu. Tentu. saja dia
tidak siap dengan jawaban. Sekejap itu mulutnya yang mau men-cicip sayur
lodeh jadi menganga seperti mulut ikan kakap di luar air. Pasha-ku! Aduh,
ampun! Memangnya kapan aku pernah bilang dia bukan Pasha-mu, Pik?!
pikirnya dalam hati.
Unhung Sabita muncul seakan diutus dari la-ngit, dan Pika tidak berani
meneruskan ceceran-nya. Sambil menggerendeng seperti anjing yang baru
dicekoki afrodisiak, dia berlalu dengan se-gelas air wortel yang dicampur sari
mentimun.
"Jamu apa lagi itu?" tanya Sabita yang selalu ingin tahu seperti anak balita.
pembangkit berahi
"Segar, ya?" Pika mengangguk dengan bang"Entahlah; Kok bau amoniak?!"
"Matamu! Ini kan wortel, mentimun, dan pir!"
"Oh, aku sangka urine kemarin dari kulkas!"
"Arnit, amit, mesti minum urine! Biarpun Pasha-ku yang nyuruh, kagak bakal
gue mau!" sergah Pika seraya berjalan ke kamarnya,
Sabita mengawasi sampai Pika lenyap di ti-kungan koridor, lalu dia menoleh
pada Tesa yang baru saja menggelar tatakan makannya.
"Kenapa sih kangguru kita itu? Kok seperti lokomotif yang salah pemanasan?
Disel-nya udah lama juga ya, enggak pernah nongol apel di sini."

www.ac-zzz.tk
"Pasha sedang sibuk bikin makalah. Pika sendiri, tahulah. Aku juga enggak
ngerti kenapa dia sewot di siang cerah begini!" Tesa enggan membeberkan
urusan orang lain.
"Eh, kok paham betui kau urusan dalam negeri orang lain? Barangkali kau
sendiri yang ngetik makalahnya? Apa sih judulnya?"
"Buset! Kan Nopi itu temannya si Pasha. Ke-betulan saja aku dengar Nopi
bilang begitu, apa sih yang diherankan?"
"Oh, begitu! Eh, Tes, mau enggak aku kasih nasihat? Jangan sampai terlibat
deh sama urusan pribadi Pika! Fatal nantinya! Aku kan saha-bat lamanya, jadi
aku tahu berapa voltage te-gahgan amarahnya! Huh! Bisa membakar selu-ruh
kota, tahu!"
"Siapa sih yang sudi terlibat?" katanya ringan, tapi dalam hati Tesa diamdiam gemetar juga. Sabita ini memang punya bakat jadi reserse.
Untung dia bisa cepat-cepat menemukan jawab-an yang masuk akal. Sebab
temannya yang isti-mewa ini tidak gampang-gampang dipuaskan kalau sudah
curiga. Pendeknya, dia takkan he-ran kalau kelak Sabita beralih dari akuntansi
ke akademi calon-calon CIA atau KGB. Namun yang gawat adalah kalau sahabat
karib Pika ini sampai ngaco belo di depan Pika, dengan cer-pen picisannya.
Sekali lagi untung baginya, keseratus ekor cacing dalam usus Sabita sudah
sejak setengah jam yang lalu melakukan demo minta nasi, jadi anak itu pun
terbirit-birit membuka kulkasnya mencari sisa-sisa kemarin dulu yang masih
bisa dimakan!
Ketika bahaya udara sudah lewat, Tesa diam-diam melap keringat di
kuduknya. Untuk selan-jutnya kau mesti lebih hati-hati kalau bicara, kunyuk!
katanya memperingatkan diri sendiri.
***
Pada suatu hari, seperti biasa Tesa sedang main di tempat Pasha. Dia
tengah membuat kue apple pie sambil bersenandung pelan. Hatinya sedang
riang. Kemarin dia menerima surat dari rumah memberitakan kelahiran tiga
anak si Mopi, anjing spaniel kesayangannya
cucu-cucunya itu begitu mempesona, sehingga langsung menghias meja
belajarnya.
Sambil mengadoni kue pikirannya terbang mengarungi samudera, hinggap di
jendela ru-mahnya, menengok ke dalam. Ibunya pasti tengah menggendong
salah satu anak Mopi sam-bil memegangi botol susu, sementara Aster, adiknya,
menyusui yang lain. Mopi sudah bebe-rapa kali melahirkan, dan selalu dilayani
dengan telaten oleh seluruh keluarga. Bahkan Bi Inem pun lebih suka kerja
lembur daripada enggak sempat momong bayi-bayi si Mopi.
Ah, sedapnya kalau bisa terus tinggal di rumah! pikirnya melamun. Apa yang
kucari di sini sebetulnya?! Semua yang kucintai ada di rumah! Hanya karena
patah hati...
"Selina!" tiba-tiba didengarnya panggilan dari depan.
"Ya!" sahutnya dengan segera. Pasti Pasha memerlukan sesuatu. Kasih an
memang kalau orang mesti tergantung pada manusia lain untuk hal-hal sekecil
apa pun. Beruntung dia masih memiliki penglihatan yang baik. Walaupun Pasha
itu lebih sering cerewet daripada anteng, namun Tesa toh bersyukur telah

www.ac-zzz.tk
mengenalnya. Sebab dengan begitu dia bisa lebih menghargai apa yang
dimilikinya. Seandainya dia tak pernah ketemu orang cacat, barangkali dia
akan terus mengeluh dan mengesah, dan selalu me-rasa kekurangan, serta
mengasihani diri karena dikhianati kekasih!
Tergopoh-gopoh dibukanya celemek, lalu ber-lari ke depan. Dalam
pikirannya dia sudah membayangkan Pasha terguling dari kursi roda. Suaranya
barusan begitu mendesak.
"Ada apa?" tanyanya sedikit terengah, lalu dia terpaku di tempat. Wajahnya
seketika itu juga menjadi pucat seperti kertas. Matanya nya-lang menatap ke
depan dengan penuh ketakut-an.
Pasha tengah memandangnya tanpa berkedip. Pemuda itu sedang duduk
dengan santainya di atas sepeda olahraganya. Dan matanya sama sekali tidak
buta!
Pelan-pelan laki-laki itu menapakkan tungkai kirinya di lantai, lalu
mengayunkan yang sebelah lagi, sehingga dia berdiri tegak. Kemudian
selangkah-selangkah dia maju menghampiri. Seakan melihat ET, Tesa mundurmundur keta-kutan, sampai akhirnya dia terjebak oleh tem-bok. Sementara itu
Pasha tidak juga berhenti melangkah. Ketika sudah tiba di hadapan Tesa/
dikurungnya gadis itu dengan kedua tangan menempel di dinding.
"Nah, sekarang Pak Guru mau dengar siapa namamu yang sebenarnya! Awas
jangan bohong! Siapa namamu, anak manis?"
Tesa tidak sanggup bersuara. Bibirnya terkatup macam kerang, sementara
matanya
makhluk luar angkasa
makin membelalak nyaris mau melompat ke-luar.
"Ayo, bilang!"
Tesa menggeleng dengan lemah. "Hm. Band el nih, ye?! Apa aku harus
menelepon Pika untuk minta bantuan? Barangkali Pika lebih ingat?"
"Oh ja... ngan! Jangan panggil dia! Matilah aku kalau dia sampai tahu aku
ada di sini!"
"Nah, jadi kau sudah ingat lagi siapa namamu? Sudah? Ayo, aku belum
mendengar apa-apa. Sebut yang keras!"
Tesa menggigit bibir bawahnya sebelum me-nyemburkan jawaban.
"Tesa! Semoga kau enggak bisa tidur tujuh hari tujuh malam!" kutuknya
sengit, tapi Pasha mana peduli kutukan seorang noni manis. Setan pun pasti
bersimpati pada mereka berdua dan tidak mau mengganggu! "Jadi Selina itu
nama siapa?" "Aku tidak mengerti apa yang kautanyakan!" Tesa menggeleng.
"Jangan berlagak bodoh, ah. Tadi aku memanggil Selina, kenapa kau yang
datang kalau itu bukan namamu?"
"Habis! Di sini kan cuma ada aku seorang, jadi siapa lagi yang kaupanggil
selain aku?"
"Belum tentu aku mau memanggilmu, kan?! Mungkin juga aku cuma
melamun, lalu mendadak tercetus nama itu dari bibirku. Iya, kan?! Kau
tentunya enggak tahu, aku tak pernah
melupakan Selina. Aku selalu teringat padanya,
siang dan malam."

www.ac-zzz.tk
"Nah, itu kan urusanmu!" kata Tesa dengan lagak jemu. "Ayo, sekarang
biarkan aku ke dapur lagi kalau kau memang enggak memanggil aku! Kue
apelku nanti enggak matang-matang, nih," tukas Tesa tanpa berani menatap
orang di depannya.
Pasha tidak membubarkan kurungannya, tapi sebelah tangannya
mengangkat dagu Tesa dan menatapnya dalam-dalam. "Selina," ujarnya dengan
lembut, "kenapa kau tidak berani meman-dangku?"
"Namaku bukan Selina!" bentak Tesa dengan marah.
"Ah, ah, ah, kau perlu latihan banyak sebelum pintar berdusta!" seru Pasha
ketawa, tanpa melepaskan dagu di tangannya.
"Kalau kaupikir aku akan tergoda oleh segala ocehanmu, kau keliru, Pasha!
Biarkan aku pergi ke dapur sekarang atau... aku takkan pernah datang lagi
kemari!" ancam Tesa melotot.
"Uh, uh, uh, cakepnya wajah awak kalau naik persneling begitu! Selina, kau
pasti akan datang lagi kemari! Taruhan, yuk?!"
"Hm. Besar amat egomu!"
"Tentu. Sebesar cinta di hatiku dan..."
"Hm," dengus Tesa mengejek. *^Kalau aku boleh tahu, apa sebabnya kau
begitu menang taruhan?"
"Sebab... kalau saja kau sabar aku selesai bicara tadi, pasti kau sudah
tahu... sebab, cintamu juga sebesar cintaku!"
"Apa? Iiih, sungguh menggelikan! Cintaku? Cintaku pada siapa? Padamu? Ah,
jangan coba-coba bikin kangguru ketawa, dong! Kalau kau-pikir, aku akan
tertarik pada orang yang begitu cerewet seperti engkau, wah, barangkali kau
benar-benar sudah pikun," ejek Tesa tak ke-palang tanggung.
"Oh, oh, oh, jadi kau tahu bahwa aku ini cerewet? Dari mana? Pasti bukan
dari Pika, dong? Selama kau berkali-kali main ke sini, se-ingatku aku selalu
ramah dan anteng. Seingat-ku, aku cuma pernah sering cerewet pada se-orang
saja. Bukan Pika. Bukan Tesa. Tapi, Selina! Ya, aku tahu, aku sangat cerewet
pada waktu itu. Ini salah, itu enggak beres. Ini belum dikerjakan, sudah datang
perintah lain. Waktu itu aku betul-berul seperti setan, jahat, dan cem-buru
pada setiap manusia yang sehat. Tapi Selina dengan tabah selalu melayani
perminta-anku. Keramahan serta kehangatannya begitu merasuki jiwaku. Kerap
kali aku berpikir, alang-kah nyamannya kalau ditemani perempuan seperti itu
seumur hidup! Bukan main bahagianya aku seandainya Pika bisa seperti Selina!
Karena itu aku merasa amat kecewa ketika mendengar dia sudah balik ke
Jakarta tanpa menemui aku lagi. Bahkan seorang pun tak ada yang tahu
alamatnya. Kebanyakan malah belum pernah mendengar namanya. Tapi aku
selalu terkenang
padanya. Sering kali aku duduk termenung di .jendela, memikirkannya. Di
manakah dia kini? Sedang apa? Kenapa dia balik? Seandainya cuma kekurangan
biaya, aku bersedia membantu, sebab kehadirannya yang sebentar itu dalam
hidupku sudah jauh lebih berharga daripada kehadiran sekian banyak gad is lain
di sepanjang umurku. Dan sekarang... setelah aku menemu-kannya, kaupikir
aku akan melepaskannya lagi?"

www.ac-zzz.tk
' Ditatapnya mata indah yang kelam penuh panik seperti mata anjing kecil
yang terperang-kap dalam bahaya. Tesa ingin menunduk, tapi dagunya
dipegangi terus. Dia tak berdaya mengelakkan tatapan yang begitu menyelidik
ke dalam hatinya. Dia menggigil.
"Aku... aku sama sekali tidak mengerti cerita pendek apa yang barusan
kausitir itu!" katanya memberanikan diri.
"Ah, ah, ah, jadi kau enggak ngerti? Uh, uh, uh, kasihan banget! Apa perlu
kuajarkan dulu a-b-c-nya dari mula? Selina, aku tahu, kau enggak sebodoh itu!
Ayo, mengakulah bahwa kau memang Selina!"
"Huh. Mana mungkin!" Tesa pura-pura ketawa geli padahal hatinya dag-digdug mencari jalan keluar. Seandainya macan ini nekat me-nuntut penjelasan
dari Pika, ah, habislah dia! Namanya, hari depannya! Habis, runyek, han-cur!
Bagaimana ya membuatnya percaya
dia bukan Selina?! Huh! Itu sih gara-gara mela-mun ke rumah, jadi enggak
siaga!
"Orang bukan Selina, kok mau disuruh ngaku begitu! Memangnya kau sudah
buatkan aku bu-bur merah-bubur putih, apa?.'"
Sedetik itu Pasha kelihatan ragu. Dan Tesa menggunakan kesempatan ini
untuk melepas-kan dagu agar bisa menyelinap dari bawah lingkaran lengan
Pasha.
* Tapi gerakannya justru mengembalikan ke-waspadaan laki-laki itu.
"Oh, oh, oh, kalau kau bukan Selina, coba bilang, kenapa kau begitu getol
main ke sini?"
Tesa kemekmek. Dia tak bisa menjawab. Di dalam kamarnya, sebelum tidur,
sudah sering kali dia mengajukan pertanyaan begitu pada diri sendiri. Hatinya
merasa tidak enak, dolan-dolan ke tempat pacar orang lain kok rupanya sudah
menjadi hobi baginya, apa sih sebabnya?! Perasaannya risi kalau sudah
membayangkan rudingan Pika terhadapnya di depan anak-anak sedapur. Oh, ke
mana akan disembunyikannya malunya?! Namun begitu, sia-sia dicarinya alasan bagi hobi barunya itu. Dia senang main ke tempat Pasha, itu saja. Dan
selama pemuda itu dianggapnya sama dengan Markus, abangnya, apa sih
bahayanya?!. Buktinya sampai sekarang tak terjadi apa-apa yang tak
diinginkan. Tapi saat ini...
Mendadak dia sadar bahwa Pasha masih me-nunggu jawaban dari bibirnya.
Matanya membalas tatapan Pasha tanpa kedip. Dan akhirnya
dia cuma mengangkat bahu. "Aku kan bukannya getol! Kau sendiri yang
memaksa aku main ke slru! Kalau begitu, sekarang juga aku pulang, deh.
Kau enggak usah takut, aku takkan muncul lagi!" Tesa bergerak mau molos, tapi
dicegah.
"Eh, eh, eh, enggak segampang itu. Sebelum adios, persoalan ini mesti
dibikin terang dulu. Tahukah kau kenapa aku memaksamu datang ke sini terus?
Sebab banyak hal telah membuat aku curiga, kau ini mungkin Selina! Aku tidak
tahu apa maksud Pika menyembunyikan dirimu dari aku! Tapi aku takkan
menyerah sebelum aku tahu siapa bidadariku itu sebenarnya. Selina..."

www.ac-zzz.tk
"Berapa kali mesti aku tegaskan, namaku bukan Selina?! Apa kau perlu
melihat fotokopi surat lahir dan KTP?!" seru Tesa marah. Dan bencinya, kalau
dia sudah kelewat marah, air matanya pun ikut-ikutan berlinang.
"Baiklah. Aku mengerti, namamu Tesa. Tapi aku juga tahu, Selina adalah
kau! Kenapa hal itu bisa terjadi begitu?" tanya Pasha dengan lembut sambil
menatap mata gadis itu lebih tajam lagi.
Tesa sengit betul dicecer seperti itu, sea kan dia sudah melakukan dosa
yang tak berampun.
"Tanyalah Pika!" cetusnya tanpa dipikir lagi. Ini memang kelemahan yang
selalu membuat* nya pusing kepala. Dia lebih serin
dipikir lebih dulu, sehingga terkadang mem-bawa akibat yang membuatnya
tujuh keliling.
"Aha!" Macan itu kini meraung senang. "Jadi, ada permainan ya antara kau
dan Pika? Dengan kata lain, kau sudah mengaku, kau memang Selina, walaupun
namamu sebenarnya Tesa. Iya, kan?"
Tesa tidak mampu menjawab. Dan kebisuan-nya itu memancing ketawa
yang lebih gencar
dari Pasha. Wajahnya yang semula diliputi se-dikit keraguan, kini bereahaya
dan berbinar seperti bulan lima belas hari.
"Dan sekarang, setelah aku menemukan orang yang selama ini membuatku
malarindu tropikangen, kaupikir aku akan membiarkannya pergi begitu saja?
'Kau enggak usah takut, aku takkan muncul lagi!'" Pasha ketawa menirukan
ucapan Tesa tadi.
"Jadi, apa maumu?" tanya Tesa akhirnya, ke-walahari dan ingin lekas-lekas
dibebaskan. Hatinya gerah berdekatan begitu dengan puma jan-tan ini, terlebih
jantungnya yang sudah meng-gelepar sejak tadi. Beberapa menit saja lagi, dia
khawatir debarnya sudah tak tertahankan dan jantungnya akan binasa!
Tapi seperti kucing yang baru mendapat anak tikus, dia tidak segera
menerkam atau melepas-kannya, namun mempermainkannya, mengajak-nya
kejar-kejaran.
"Hm, jadi Selina itu bopengan, ya?!" goda Pasha ketawa geli. "Mana, coba
aku lihat?!," Lalu
tanpa permisi tangan di dagu tadi sudah beralih menyingkap rambut yang
menutupi sebagian wajah dan dahinya. Jari telunjuknya mengelus pipinya
selintas.
"Hm. Halus, kok. Enggak terasa ada bopeng-nya!"
Tesa menggertakkan gigi sambil berdoa se moga datang geledek yang akan
membuatnya meloncat pergi dengan kaget. Tapi surga rupa-nya sedang
istirahat siang dan suasana tetap tenang.
"Apa maumu?" ulang Tesa mendesak. Hatinya dongkol sekali tidak bisa
melepaskan diri dan terpaksa membiarkan Pasha main kucing-tikus dengannya.
"Oh! Mauku buuaaanyak!!!" "Sebut saja! Paling-paling enggak aku ladeni!" "Masa
iya?" Puma itu nyengir seakan kurang percaya. Dia seolah mau bilang, masa sih
ada orang disodori undian yang sudah dapat hadiah kesatu, mau menolak?!
Taruhan?" tantang Tesa sengit. "Aku mau kau menggantikan Pika di hatiku!"
bisik Pasha tanpa senyum.

www.ac-zzz.tk
"Huk!" Tesa nyaris tercekik napasnya sendiri. Dia terperanjat bukan alang
kepalang. Menggantikan...! Oh, Tuhan, sudah akan kiamatkah duniaku?! Apakah
akan Kaubiarkan aku hancur binasa hanya gara-gara cinta seorang laki-laki?!
Dan... betulkah itu cinta?! Rasanya kalau cinta, takkan begitu mudah dialihkan
seoerti '
tanah di depan PPAT (Fejabat Pembuat Akte Tanah)!
"Apa kau tega membunuhku?" tanyanya pa-rau.
"Lho!" Tentu saja Pasha jadi heran. "Kenapa sampai tragis begitu? Aku kan
enggak penyakit-an, Tes. Badanku juga enggak berbau busuk, kan? Masa sih
pacaran denganku bisa mem-buatmutewas?"
Oh, laki-laki, keluhnya dalam hati. Tidak bisa mengerti hati perempuan.
Tasha, kau jangan mengada-ada, deh. Jangan melamun yang bukan-bukan.
Kau pacar Pika, temanku! Kau akan segera bertunangan dengan-nya, beberapa
minggu lagi. Jangan mengira kau akan bisa memaksakan kehendakmu padaku!
Aku takkan sudi mengenalmu lagi seandainya kau sampai memutuskan
hubungan dengan Pika! Aku takkan pernah da tang lagi ke sini!"
Eh, eh, eh, kok jadi begini?! Pasha kebingung-an. Setahunya, tidak kurang
dari dua gadis di kuliahnya yang akan bersedia terjun tanpa pa-yung ke Sungai
Swan, asal saja bisa mendapat cintanya. Apalagi ditawarkan dengan cumacuma! Apakah Tesa ini sok atau berlagak tahan harga? Sangkanya, cinta bisa
kena devaluasi, sampai ditahan-tahannya begitu?!
"Wah, wah, wah, kenapa begitu nekat, Tes? Kau enggak serius, kan?"
"Tentu saja aku serius!" bentak Tesa. Lalu ditatapnya Pasha dengan mata
berlinang. Ah,
seandainya nasib ada di tangannya sendiri! Dia menghela napas. Aku sudah
merasakan getirnya empedu yang kureguk dari tangan kawanku sendiri,
pikirnya. Mana aku tega melakukan hal yang terkutuk itu terhadap temanku
yang lain, walaupun orang itu tidak begitu akrab denganku?!
"Pasha, aku menganggapmu sebagai abangku sendiri. Karena itu aku enggak
sungkan-sungkan main ke tempatmu. Aku merasa damai berada di dekatmu,
sebab aku membayangkan kau ini seperti Markus, abang kesayanganku. Kenapa
harus kaurusak suasana yang baik inf?/ Tak dapatkah kau juga menganggap aku
seperti adikmu? Atau, barangkali kau malu punya adik seperti aku?"
"Kenapa kau bertanya sebodoh itu? Tentu saja aku mau! Mau, mau, mau!
Seperti Pika, aku juga anak tunggal. Tapi andaikan sudah punya adik pun, aku
tetap bersedia mendapat adik seperti engkau! Cumaaa..."
Hatinya yang sudah merasa lega, kembali berdebar mendengar kata
penghabisan. Panjang amat cuma-nya itu! Pasti buntutnya tidak enak!
"...aku mau yang lebih dari sekadar adik! Aku mau kau selamanya berada di
sisiku!"
"Oh, itu bisa diatur! No problem!"
"Sungguh?!" Mata Pasha yang besar penuh binar harapan.
"Sungguh!" Tesa mengangguk. "Dengan sya-rat..."
"Ah, ah, ah, gampang. Katakan saja! Semua-nya aku penuhi!"
Tesa menatapnya dengan rasa geli bercam-pur... entah bercampur apa.
Lambat-Iambat di-ucapkannya kaiimatnya. Biar jelas, satu kata per satu kata.

www.ac-zzz.tk
"...asal... kau... tetap... meneruskan... hubung-an... dengan... Pika!"
"Aaah!" Pasha menguik seperti lembu mau dibantai. Dia menggeleng,
rupanya bingung dan jengkel. "Kalau sudah ada kau, buat apa lagi dia? Apa kau
salah dengar? Aku mau kau sela-manya di sisiku! Tentu saja menggantikannya!"
"Dan aku cuma bersedia tinggal di samping-mu, datang ke sini tiap hari, bila
kau tetap dengan Pika! Aku adikmu, ingat! Atau kau juga salah dengar?"
Pasha meringis mendengar teguran itu. Tapi Tesa tidak memberinya
kesempatan untuk ber-pledoi. Dia menyerang terus tak kenal ampun.
"Begitu kau putus dengan Pika, aku pun akan segera menghilang dari
hidupmu! Jangan kau-harap, kau lantas akan bisa mendekati aku! Apalagi
menyuruh aku menggantikan tempat>nya! Cinta adalah barang langka yang tak bisa dipindah-pindah begitu saja
semaunya. Seperti tanaman bonsai, dia memerlukan perawatan ser-ta
pemupukan yang khusus supaya terus segar dan tidak mati. Kau dan Pika
sebenarnya saling mencintai, tapi kalian mungkin malas memupuk
dan merawat hubungan. Aku tahu, kau sebenarnya mendambakan Pika..."
"Omong kosong!"
"...tapi kau malas merayu serta membujuknya. Akibatnya, dia juga terasa
acuh saja padamu. Padahal sebenarnya dia sangat mencintaimu. Apa jadinya
kalau kau pergi dari dia? Dapatkah kaubayangkan betapa kecewa dan pahitnya
hati seorang wanita yang dikhianati demikian? Apalagi kalian sudah punya
rencana sejauh itu!"
Tesa masih ingin memberi kuliah lebih pan-jang, ketika Pasha
menghentikannya dengan ucapan yang telak sekali.
"Kelihatannya kau bicara dari pengalaman, nih?!" katanya sambil menatap
lekat.
Wajah Tesa terasa hangat. Dia memaki dalam hati, kenapa begitu ceroboh
sudah membuka rahasia pribadi. Apa boleh buat. Sudah telanjur. Asal saja bisa
membatalkan niat Pasha yang nekat, dia rela. Yah, asal dunia tidak jadi dilanda gempa! Biarlah! Isi perutnya pun rela di-muntahkannya asal damai terus di
bumi me-reka.
Tesa mengangkat bahu. "Terserah apa duga-anmu. Yang penting, kau harus
mengerti dengan jelas: aku cuma bersedia meneruskan per-sahabatan ini
seperti sekarang bila kau tetap. bersama Pika! Begitu kau putus dengannya,
aku pun segan menemui engkau lagi. Jadi, jangan pernah mimpi kau akan
mampu merebiifc
ku! Sekarang tidak, sampai kapan pun tidak! Apalagi dengan menyakiti hati
Pika!"
Pasha menarik napas panjang sekali lalu me-nahannya. Matanya penuh
amarah ketika dia mendesis, "Sudah cukupkah kuliahmu bagiku? Bolehkah aku
mohon diri dan mengusulkan su-paya kau balik saja ke dapur?"
Tesa merasa begitu lega, dilepaskan tanpa ba-nyak cincong, sehingga dia
Iangsung melangkah setengah berlari ke belakang. Ketika sedang mengaduk
kue, barulah dia tersadar: Pasha sa-ma sekali tidak mengatakan bahwa dia
menye-tujui syaratnya!

www.ac-zzz.tk
Sehabis makan pie, dengan tegas dia menun-tut janji. Pasha menghela
napas sambil menun-dvk. "Baiklah, 6u Dosen. Kalau itu yang kau-minta. Aku
akan tetap bersama Pika seakan Selina tak pernah ada di dalam hidupku. Tapi
ingat! Kau juga mesti datang seperti biasa ke- Tesa mengangguk/Tapi dia sudah membulat-kan tekad. Dia cuma akan
muncul sampai dengan pertunangan Pasha dan Pika. Setelah itu, keadaan
dinilainya aman, dan dia tak perlu me-musingkan diri lagi dengan Tuan Solem!
Dia takkan datang-datang lagi ke tempatnya!
Bab 10
Tanpa menyebut-nyebut nama Tesa, Pasha ber-keras menuntut agar semua
se-mu-aanak-anak Indonesia diundang ke pesta pertunangan
mereka. Pika sebenarnya sudah punya rencana
hanya mengundang orang-orang tertentu saja.
"Teman-teman yang khusus saja. Pas," kata-nya dan tentu saja Tesa tidak
termasuk di da-lamnya.
Sekarang setelah melihat daftar yang dibuat oleh Pasha, di mana seakan
wajar, tertulis pula nama Tesa, Pika jadi terpaksa mesti mengubah rencananya.
"Kalau begitu kita harus mengadakan pesta dua kali! Aku ogah kalau terlalu
banyafc orang sekaligus. Selain itu, dapur asramaku mana cu-kup untuk
menampung mereka semua. Jadi, satu untuk anak-anak Melayu. Satunya lagi
untuk teman-teman kuliah asing. Setuju, kan?"
Pasha tahu juga kapan mesti berhenti tawar-menawar dengan Pika. Dia
sudah bersyukur, gadis itu mau menerima usulnya untuk me undang semua
anak, jadi terpaksa dia juga
setuju pesta diadakan dua kali. Walaupun itu tentu saja pemborosan yang
gila-gilaan. Tapi untuk pesta kedua, dia berjanji akan menyediakan yang serba sederhana saja. Tak perlu me-nonjolkan kemewahan, sebab
atribut begitu ku-rang iaku di sini.-Lain halnya terhadap anak-anak kita yang
gemar menggunjingkan orang, pikirnya. Kalau kurang mewah, nanti diributkan
pelit!
"Bagaimana kalau pesta kedua itu dirayakan di tempatku saja, Pik? Jadi
anak-anak kita enggak pada tahu. Aku khawatir mereka nanti ikut nimbrung
lagi kalau dengar ada musik dan bir! Bisa-bisa dapurmu kepenuhan enggak bisa
nam-pung! Juga dua kali berturut-turut, nanti dipro-tes oleh penghunipenghuni lain yang kebising-an."
Pika berpikir, lalu mengangguk. Dia paham juga betapa bisingnya pestapesta semacam itu. Sampai jauh malam lagi. Suara ketawa mereka saja bisa
terdengar sampai berkilo-kilo meter jauhnya.
Jadi, untuk alasan yang berbeda, kedua orang itu sepakat membagi pesta
itu jadi dua. Pika setuju, sebab dia tidak ingin ada teman kuliah Pasha yang
mengenali Tesa sebagai Bidadari Tuan SolemHuh! Bidadari! dia mendengus
dalam hati! Enaknya! Seberapa sih cakepnya dia dibandingkan diriku? Solent's
angel?! Hm. Tapi sekarang sudah tidak lagi, bukan? Bidadari itu sudah aku
pulangkan ke Jakarta! Ha!sehingga
akan tahulah Pasha siapa Selina itu sebenarnya! Tentu saja mimpi pun Pika
tidak, bahwa Pasha sudah lama tahu!

www.ac-zzz.tk
Pasha setuju, sebab dia tidak ingin ada salah satu teman kuliahnya yang
nanti jatuh cinta pada Tesa. Dia yakin, mereka tertarik padanya. Siapa tahu,
ada yang nekat! Wah, bisa runyam!
***
Di luar, matahari bersinar cerah. Langit biru. Bunga-bunga aneka warna
mekar berseri di ke-bun asrama. Pepohonan pun sudah menghijau kembali,
meninggalkan musim dingin yang ke-labu.
Anak-anak bergembira. Ruang makan sudah dihias dengan meriah oleh
mereka. Semuanya dengan sukarela mengabulkan permintaan Pika, sebab gadis
itu sendiri mengaku tidak sempaf sama sekali untuk mengatur pesta, apalagi
menghiasnya.
Memesan makanan jatuh ke tangan Sabita. Namun setelah membandingbandingkan harga, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan me-masak sendiri.
Selain lebih murah rasanya juga pasti akan cocok dengan sclera mereka. Kalau
makanan pesanan, kan belum tentu. Pika mengangguk saja setengah acuh
mendengar putusan mereka, seolah mau menyatakan, ." kalian juga yang akan
makan. TerseraJ\j
mau kalian. Aku sih enggak begitu rakus! Apa juga jadi!"
Tesa yang sudah terkenal keahlian dapurnya, segera didaulat untuk
memasak. Karena Pika memberi mereka kelonggaran dalam biaya, ma-ka Nopi
yang diserahi uang, memutuskan untuk membelanjakan semua: Kalau perlu,
malah akan minta tambah, tentu saja dengan memper-lihatkan bon. Walaupun
Pika leluasa memberi-kan uang, namun dia termas.uk orang pedantik. Segala
apa mesti ada dan beres, semua harus diletakkan pada tempatnya, dari titik
koma sampai botol-botol kosmetik, apalagi bon-bon belanja.
Untuk menyenangkan hati Pasha, Pika me-nemui Tesa dan khusus minta
dibuatkan ayam gulung dengan saus cokelat.
"Rebes," sahut Tesa ringan, padahal dalam hati dia berdarah. Tapi itulah
nasib, pikirnya menghibur diri. Nasibnya memang tidak cerah. Kalau belum
jodoh, tak perlu disesali!
Agar tidak merusak suasana yang penuh ke-gembiraan, Tesa tentu saja tidak
mau membiar-kan dirinya hanyut diombang-ambingkan la-munan. Maka dengan
penuh semangat dia ikut bekerja.
Seluruhnya ada enam macam masakan. Setiap anak memasak semacam,
sesuai keahlian maslng-masing. Atina yang pandai menghias berjanji akan
membuat flora dan fauna dari ber-bagai sayuran. Sabita, Ria, Nurul, Pualam,
dan
Dita akan mencurahkan kepandaian masing-masing. Udara berbau
persaingan gara-gara Nopi berjanji akan menyediakan hadiah bagi juru masak
yang masakannya paling laris.
Berbeda dengan Pika, Pasha justru menyenv patkan diri untuk membantu
membereskan ser-ta mengatur ruangan pesta. Mendengar ulah Nopi, dia
ketawa.
"Jangan suka melempar petasan, Pi! Nanti bisa perang, lho!"
"Ah, biar dunia ini tambah ramai, Pas. Kalau terlalu hambar, kan gairah
hidup bisa habis!" sahutnya sambil melekatkan kertas-kertas spiral ke dinding.

www.ac-zzz.tk
"Maksudmu, hidupmu, kali? Hidupku sih enggak pernah hambar!"
"Tentu saja kau bisa bilang begitu! Sebentar lagi kau akan bertunangan!
Sedang aku? Makin lapuk juga dimakan usia!"
"Makanya rajin-rajin pamerkan tampangmu, dong! Siapa tahu ada yang
masih senang gorila...!"
"Duillah, mentang-mentang jambulmu seim-bang sama botaknya Mr. T! Ginigini, yang naksir sih ada juga, cuma D.C semua. Enggak ada yang AC. , yang
timbal balik, gitu!" kata Nopi, si ahli perkabelan.
waktor TV Amerika ,arus searah arus bolak-balik
aripada kena AIDS, lebih baik enggak usah cerewet Ambil saja yang datang.
Jelek dikit enggak jadi soal, pokoknya dia bebas virus!"
"Enak aja ngomong, lu! Main ambil-ambil begitu saja, kalau nyalanya tokcer
seumur hidup, ya enggak apa. Tapi kalau baru beberapa tahun
sudah sering short circuit, gimana? Apalagi kalau salah sambung, wah, kan
bisa kebakaran!"
"Kalau begitu, prognosa-mu agak gawat, Pi. Bisa-bisa seumur hidup takkan
ada therapi causal -nya. Paling-paling cuma therapi palliative saja. Tapi seperti
kataku tadi, yang belakangan ini bisa menyebabkan AIDS, Iho!"
"Brengsek, lu! Kaukira aku ini suka jajan? Haram, deh. Lebih baik gue beli
sabun obral-an....
"Untuk...?" tanya Pasha nyengir berlagak enggak ngerti, padahal sudah
paham seratus per-sen.
Saat itu masuk Atina dan Nurul, sehingga Nopi tidak jadi memaki Pasha dan
Pasha tak bisa memuaskan keinginannya menyindir te-mannya.
"Kerja yang benar, ya," seru Atina ke alamat Nopi, "kalau nanti mau dikasih
makan!" "Aduh, kejam!" kata Pasha menggeleng. "Nah, itu!" keluh Nopi. "Galak
beeng, deh,
mengobati*penyebabnya
mengobati keluhan, penyebab tidak. dihilangkan
cewek-cewek kalau hidungnya mancung dikit saja. Jadi, gimana D.C mau
diubah jadi AC?"
"O, ini toh salah satu kabelnya?" sindir Pasha melirik Atina membuat gadis
itu menoleh kian kemari dengan curiga. "Aku mencium sindiran di udara, nih!"
ger- taknya. "Mudah-mudahan sih cuma salah ki-rim!"
"Oh, salah kirim! Salah kirim!" sahut Nopi cepat-cepat. "Telegram yang jelek
pasti selalu salah kirim, kok." Lalu ditambahkannya lebih pelan, "Kalau
digalakin terus begini, umurku enggak bakal panjang, dong!"
"Apa kaubilang? Siapa yang galak?" tanya Atina yang rupanya tajam
kupingnya.
"Eh, Tin, mari aku beri resep manjur," panggil Pasha yang tengah mengatur
mikrofon di pojok.
"Apa?" Atina terpancing.
"Kalau mau dapat cowok secakep dia, tuh, kau mesti lembut dan nurut.
Mengalah untuk menang! Nah, kalau sudah menang, baru kau boleh unjuk
kekuatan...! Benar enggak nasihatku ini?"

www.ac-zzz.tk
"Iiih, siapa yang mau..." protes Atina, tapi terputus oleh teriakan Nopi yang
penasaran.
"Teman kayak apa kau! Ngajarin yang bukan-bukan! Coba kalau ada yang
nurut! Mampus aku! Dikira hatiku dielus domba, tahunya kena cengkeram
macan biang!"
Nurul.terkikik lari ke tempat masak diil oleh Atina. Tak lama kemudian dari
aral
muncul Tesa yang berjalan tergesa-gesa. Matanya melirik jam di tembok,
lalu memandang sekilas arlojinya.
"Mau ke mana sih buru-buru begitu, Neng?" sapa Nopi yang suaranya jadi Iain
daripada sebelumnya. Tahulah Pasha, siapa yang meng-gerakkan medan
magnet kawannya itu. Aneh-nya, Tesa kelihatan ad em saja.
"Aku hams kuliah, nih," sahut Tesa tanpa berhenfi.
"Sayumya sudah matang, belum?" teriak Nopi.
"Awas, kalau ayam gulungku mentah di te-ngah!" ancam Pasha.
Tesa menoleh dan melempar senyum pada keduanya, sehingga Nopi
serentak menekan dadanya seakan kesakitan.
"Sebentar lagi aku akan balik. Pestanya kan malam, masih banyak waktu.
Kalau enggak matang, iris deh kupingku!" Lalu dia menghilang di belokan
koridor, meninggalkan sepasang wa-jah melongo bego. Tapi Pasha segera
disadarkan oleh keluhan panjang dari Nopi.
"Uh! Heran, cewek begitu cakep kok enggak ada hatinya, ya? Dingin seperti
salju!"
"Hm. Jadi ini juga kabel yang salah arus?" sindir Pasha.
Nopi mengangkat bahu. "Tapi kabelku! Bukan dari dia! Tesa enggak punya
perasaan, lembut sih lembut, tapi satu ton dinamit pun belum
tentu akan membuatnya berlari memeluk kita,
mencari perlindungan!" "Maksudmu, memelukmu? Kalau memeluk
aku, barangkali dia masih mau!" "Uh! Mau coba?"
"Ah, jangan! Aku senang perdamaian teruta-ma di dalam negeri!" sahut
Pasha. Lalu menam-bahkan dengan lebih serius, "Yah! Itulah tragis-nya hidup
ini, Pi. Yang tidak diinginkan, kita peroleh dengan gampang. Yang kita
inginkan, justru tak pernah akan diperoleh...."
"Pengalaman pribadi, nih?" Nopi balik me-nyindir membuat Pasha mengutuk
dirinya sendiri. Kenapa ceroboh! Bisa-bisa rahasianya nanti terbongkar. Kalau
cuma namanya sendiri yang rusak, masa bodohlah! Tapi kalau Tesa sampai ikutikutan terseret, oh, dia takkan pernah me-maafkan dirinya sendiri!
"Lho!" sahutnya berlagak heran. "Kita kan se-dang membicarakan kasusmu!"
"Jadi kauanggap aku ini seumur hidup akan sial terus?"
"Tergantung arus hatimu sendiri. Kalau kau bisa membelokkannya ke saluran
yang terse-dia..."
Telepon di ruang makan yang luas itu be dering. Nopi meraihnya lalu
menyahut, "Ada|
"Binimu," kata nya pada Pasha.
Maka konsultasi mencari jodoh pun te berakhir.

www.ac-zzz.tk
Meja-meja disambung-sambung sampai me-menuhi panjang ruang makan.
Selain anak-anak Indonesia, penghurti asrama di tingkat Pika juga diundang.
Mereka senang, sebab ada suguhan anggur keluaran pabrik Seppelt yang
terkenal di situ. Pasha memang sengaja membelinya untuk tamu-tamu itu.
Meja yang paling atas ditempati oleh Pika dan Pasha serta beberapa teman
pilihan, teruta-ma dari Pika. Tesa sengaja datang agak terlam-batdengan
menyalahkan jam kuliah yang di-perpanjangnya sendiri di perpustakaan; dia
sudah menelepon Sabita, minta tolong agar a yam gulungnya dikukus lalu
dipotong-potongagar tak usah duduk semeja dengan Pasha. Tapi apa mau
dikata, kursi yang kosong tinggal di meja paling bawah, letaknya justru
berhadapan de-ngan Pasha!
Tanpa disadari oleh yang lain, berulang kali pemuda itu menatap ke meja di
ujung dekat pintu, membuat Tesa berulang kali pula harus berlagak sibuk
menyendok makanan di piring atau membuang pandang ke samping, pura-pura
asyik mendengarkan celoteh yang men-jemukannya.
Kalau Pasha sedang lengah, terlalu asyik ketawa dan bergurau dengan
orang-orang di dekatnyadan itu sering terjadimaka gantian Tesa yang
membiarkan dirinya mengawasi mereka. Alanglah meriahnya masa muda itu
kalau melihat tingkah mereka. Tapi apakah itu gambaran cermin bagi semua orang?! Misalnya..
dirinya sendiri?!
Suatu saat mata mereka bertemu! Tesa tengah asyik melamun sehingga dia
tidak menyadari-nya dengan segera. Matanya memang menatap ke depan, tapi
dia tidak melihat Pasha. Sebalik-nya, laki-laki itu memperhatikannya dengan
saksama. Dia tahu, gad is itu tengah melamun. Matanya yang kelam kelihatan
bagaikan sHb tanpa dasar, menenggelamkan apa saja yang jatuh ke
permukaannya. Wajahnya yang bujur telur kelihatan rileks, namun penuh
ramuan du-ka membayangi senyum santai yang mengulas bibirnya yang mungil.
Apakah yang sedang kaupikirkan? tanyanya dalam hati. Apakah kau menyesal?!
Apakah kau ingin aku mengubah keadaan?!
Seakan kena telepati, tiba-tiba saja Tesa me-ngetahui bahwa dirinya tengah
diperhatikan orang. Matanya mengedip. Ketika terpandang olehnya sepasang
mata di meja kepala, hatinya kontan terguncang hebat. Begitu bertatapan,
saat itu pula dia melengos. Namun berita yang dilontarkan oleh mata indah di
bawah naungan alis yang hitam lebat itu sudah menyentuh batinnya. Dan isinya
dimengertinya, sekaligus membuatnya gelisah.
Ada penyesalan di situ. Menyesali diakah laki-laki itu?! Ada penuntutan. Apa
lagi yang masih bisa dituntutnya dari dirinya?! Kenapa harus menyesal?
Bukankah sejak mula sudah itu
jalan yang dipilihnya?! Bahkan duri serta onak
jelah -disingkirkan dengan begitu gigih, demi apa .yang telah dipilihnya.
Kenapa menyesal setelah jalan menjadi licin dan banglas?!
Apa yang mau dituntut?! Dia tak punya piu-tang, juga Tesa tak punya apaapa yang bisa diberikan. Cukuplah sudah kenangan bersama yang dijalin begitu
tersembunyi. Itulah hadiah-nya baginya. Malam ini untaian penghabisan telah
selesai. Dia takkan datang lagi ke tempat Fasha!

www.ac-zzz.tk
Karena berbagai halangan, keluarga Pasha tak bisa datang dari Jakarta.
Maklum, ini kan baru tukar cincin. Tapi nanti di Jakarta, pernikahan serta ke
Catatan Sipil pasti akan dihadiri oleh selengkapnya keluarga, begitu tulis
ibunya.
Untung masih, ibu Pika bisa datang. Walau-pun beliau cuma hadir sebentar,
tapi itu cukup sebagai rem untuk mencegah Pasha melakukan hal-hal yang
mungkin kelak akan disesalinya. Kalau tak ada ibu mertua, entah apa yang akan
clilakukannya malam itu. Anggur sudah naikjce kepala, membuat hatinya jadi
ringan dan ingin mencampakkan kesetiaan ke dalam laut. Makin malam seraut
wajah bujur telur nun jauh dari mejanya, kelihatan makin menawan.
Sebaliknya, suara nyaring di sebelahnya makin kedengaran penuh tuntutan,
tandas, dan tak bisa diabaikan. Malah ketawanya pun terdengar salah tempat.
Tapi untung, di sebelah yang lainwalau sebentarduduk bertakhta ibu suri
yang membuatnya mati langkah. Pasha berusaha melupa-kan semua kekecewaan
hidup dengan menuang
anggur berbotol-botol ke dalam perutnya.
Melihat suasana sudah makin hangat, ibu Pika minta diri, beristirahat ke
kamar anaknya. Seakan yang berlalu itu mata-mata, pesta pun kini melonjak
jadi lebih meriah. Jerit dan tawa campur aduk tak bisa dibedakan lagi. Edo memetik gitar dengan jari-jari yang sudah gemetar dialiri anggur Seppelt. Dan
Thamrin mengikuti dengan suaranya yang memang tak pernah em-puk. Tapi
kini bunyinya sudah mirip knalpot bocor. Namun tak ada yang peduli.
Pasha masih terus mengobati ketawaran hatinya dengan Seppelt. Akibatnya,
menjelang pesta usai, dia pun terkapar. Pika menggerutu;
"Ah, kau ini menyusahkan orang saja kerja-mu!" tuduhnya. "Berdirilah! Kau
lebih baik pu-lang sekarang!"
Pika memegang lengannya dan memaksanya berdiri. Namun begitu
pegangan dilepas, dia ambruk lagi seperti karung pasir. Pika menge-luh kesal.
"Gimana ini," omelnya entah pada siapa. "Terang dia enggak bisa pulang. Lalu,
harus nginap di mana?"
"Di kamarku bisa," sahut Nopi segera. "Tapi harus di lantai."
"Ah, lantaimu tanpa karpet. Bisa-bisa dia ma-suk angin kedinginan," tukas
Edo.
"Siapa yang punya karung tidur?" tanya Nopi berkelilij
"Tesa punya," sahut Atina.
"Ah, enggak!" sela Pika setengah marah me-noleh pada Tesa. "Dia 'harus
tidur di atas ka-sur!"
"Nah, siapa yang mau berkorban?" Thamrin menantang. Tak ada yang mau.
"Sayang, kamar kami berdua di blok lain!" tukas Edo lagi sambil menunjuk
Thamrin sekali-an.
"Ranjangku sudah ditempati Mami," keluh Pika seakan menjelaskan atau
minta maaf sebelum dia melancarkan tuntutan. Sebab sedetik kemudian dia
menatap Tesa lalu berkata, "Tes, kau kan punya karung tidur. Gimana kalau
ran-jangmu kaupinjamkan padanya?"

www.ac-zzz.tk
Caranya mengucapkan "padanya" itu membu-at Tesa merinding. Tahukah
dia? Mengertikah dia? Curigakah dia? Tapi Tesa tak sempat ber-pikir terlalu
lama. Semua mata memandangnya. Terpaksa dia cuma bisa mengangguk, habis
mau bilang apa lagi? Jelas tak bisa menolak. Pika seolah sudah yakin bahwa dia
akan setuju. Mengenai di mana dia harus tidur, itu rupanya bukan urusan Pika.
Untung Atina masih punya peri kemanusiaan.
"Ssst, Tes. Kau ngungsi ke kamarku saja. Lan-taiku kan pakai karpet, jadi
kau takkan masuk angin!"
Esoknya Pasha terjaga dengan perasaan aneh.
Kasurnya kok lebih empuk?! Dan sarung bantalnya harum banget. Eh, eh, eh, di mana ini?! Dibukanya mata. Bukan, ini
bukan kamar
Pika. Kamar siapakah ini?! Dia meloncat turun dari ranjang lalu memandang
berkeliling. Dia segera tahu, ini kamar perempuan. Walaupun tak ada baju yang
bergelantungan, tapi di bawah ranjang ada sandal merah, di belakang pin-tu
ada tas gantung, dan di samping lemari ba-nyak sepatu.
Matanya segera tertarik untuk memeriksa meja tulis. Dia ingin tahu ini
kamar siapa. Buku yang menggeletak terbuka dibiarkannya tanpa disentuh.
Catatan kuliah. Takkan banyak mem-beri info. Tumpukan di sebelah kiri,
textbook semua. Di sebelah kanan... ha, paling atas ini kan buku harian, bukan?
Rupanya tadi malam pemiliknya tidak sempat membenahi atau... dia tidak
menyangka tamunya akan berani kurang ajar menggeratak meja pribadi orang!
Hm. Sungguh lancang! Sudah dibiarkan menumpang, tapi...!
Dia sudah menurunkan kembali buku itu dari tangannya ke atas meja, ketika
matanya ter-tusuk oleh sepotong nama. Tesa.
Hm. Hm. Hm. Jadi ini kamarnya?! Hm. Hm. Fi, fa, fo, fum! Rahasia aneh
telah tercium, pikirnya kesenangan. Ditariknya kursi lalu di-undangnya dirinya
duduk di depan meja. De-flSyik dia membaca. Sayang, cuma i ***
berita dari rumah. Di antara halaman terselip pula beberapa foto. Ada
gambar sederetan anak-anak anjing. Ada gambar rumah sedang dipugar.
Tiba-tiba hatinya tercekat. Gambar Tesa dalam pelukan seorang pemuda
gagah! Huh! Ini kiranya! cetusnya dalam hati, penuh jengkel. Tapi ketika dia
menemukan foto berikutnya, dia jadi ketawa sendiri. Pemuda itu ada lagi di
situ. Kali ini menemani ayah dan ibu. Kiranya, sang abang! Entah kenapa,
hatinya kok jadi lega kembali. Sinting, makinya pada diri sendiri.
Buku harian itu pun sudah ditutupnya. Tapi hatinya masih penasaran. Ah,
biarlah, daripada iseng, lebih baik aku baca sampai tamat. Ini kan hari Minggu,
pasti orang-orang menyangka aku masih tidur.
Maka disilangnya kakinya supaya lebih san-tai, lalu dibukanya kembali buku
itu. Tepat pada halaman yang merekah, matanya tertumbuk pada sebuah
keluhan: Ah!
Dengan hati berdebar ditelusurinya kalimat demi kalimat, lalu dia menghela
napas. Dengan lesu direbahkannya kepalanya ke atas meja, me-nindih buku itu.
Itu kiranya sebabnya, pikirnya kecewa. Jadi Tesa mencintai seseorang. Jadi
dia menolak dirinya bukan karena dia itu pacar Pika, temannya sendiri, tapi

www.ac-zzz.tk
lantaran dia telah mencintai orang lain yang rupanya tidak menyadari hal itu.
Di
manakah si pandir itu tinggal?! Di Jakarta?! Itukah sebabnya dia lari ke sini?!
Coba aku lihat apa yang ditulisnya paling penghabisan. Kepalanya
diangkatnya. Buku itu dilembarinya lagi. Hm. Dua hari yang lalu! Apa?! Cuma
sepotong kalimat saja?! "Semoga bahagia!" Hm. Mungkin abangnya atau salah
satu orangtuanya berulang tahun.
Ditutupnya buku itu dan dikembalikannya ke tempat semula. Tapi, eh,
betulkah ada keluarga-nya yang ulang tahun?! Hm. Dia harus mena-nyakannya!
Entah kenapa, dia merasa itu pen-ting sekali! Dia harus tahu jawabnya!
***
Tapi Tesa ternyata tidak dijumpainya lagi. Beberapa kali ditunggunya di
bawah tangga, namun gadis itu tak pernah muncul. Pernah dia bolos kuliah,
khusus untuk menantikannya, namun sia-sia.
Akhirnya diputuskannya untuk menelepon ke loteng. Tuan Graham sendiri
yang menyambut-nya.
"Begini, Tuan Graham. Aku ingin tanya, apa kalian sudah berhenti les sama
Tesa?" ;
"Oh, enggak. Masih, kok. Memangnya kenapa?"
"Soalnya, kok sudah lama aku tidak melihatnya datang?"
"Oooh, dia minta ganti hari. Bukan lagi Selasa-Jumat, tapi Senin-Rahu."
"Hm. Begitu. Sangkaku, kalian tidak cocok lagi dengannya, dan aku bersedia
mencarikan ganti guru yang lain," kata Pasha dengan nada tak bersalah.
"Ow! Kami cocok sekali dengan Tesa! Sudah seperti anak sendiri, deh." Tuan
Graham ketawa gembira.
"Syukurlah kalau begitu. Aku senang men-dengamya," katanya mengakhiri
telepon.
Hm. Hm. Hm. Fi, fa, fo, fum! Berganti hari rupanya si Putri Harum! Jadi,
sekarang Senin dan Rabu! Hm. Hm. Hm.
Tentu saja Pasha tidak tahu bahwa Tesa telah bertekad melaksanakan
keputusannya: setelah pemuda itu bertunangan dengan Pika (yang berarti tak
ada ancaman lagi baginya!), dia juga tak perlu main terus ke tempat Pasha.
Dulu itu kan cuma untuk memenuhi ancaman Pasha: kalau dia tidak datang,
Pika akan diputusnya. Sekarang kan Pasha sudah terikat, jadi sip. Laki-laki itu
takkan bisa mengancam-ancamnya lagi.
Terkadang Tesa suka melamun. Menyesalkan dia telah menolak Pasha?!
Seandainya mereka memang saling mencinta, siapa yang bisa me nyalahkan?!
Cinta tidak bisa dipaksakan, bukan?!
Tapiii, bukankah itu justru yang terjadi antara Goffar dan Shakira?! Mereka
saling jatuh cinta! Siapa yang salah?! Kalau tak ada, lantas kenapa
dia masih sakit hati pada keduanya?! Kenapa dia jadi memusuhi mereka dan
memutuskan persahabatan dengan Shakira?!
Tidak! Dia tidak mau jadi penghancur hati wanita lain! Dia tidak mau
dibenci perempuan lain seperti Shakira pernah dibenci olehnya.

www.ac-zzz.tk
Yah! Kalau memang belum jodoh, tak usah dipaksakan, pikirnya menghibur
diri.
***
Ternyata Senin dan Rabu pun mengecewakan Pasha. Setelah dia menelepon
ke atas, baru ke-tahuan bahwa keluarga Graham sedang pergi berlibur. Tentu
saja Tesa tidak muncul.
Dua kali dicobanya menelepon ke asrama. Tapi mungkin nasibnya sedang
apes, gadis itu selalu kebetulan sedang keluar. Dia ingin sekali bicara
dengannya sebelum matanya dioperasi sekali lagi. Mata kirinya masih perlu
diperbaiki lagi untuk ketiga kali.
Dia menunggu-nunggu, tapi sampai saat dia mesti masuk ke rumah sakit,
hubungan tetap gagal. Akhirnya dia terpaksa menulis surat. Me-nitip berita
melalui telepon, dia tak berani. Ris-kan sekali. Dia maklum, tak ada yang bisa
di-rahasiakan dalam asrama yang penuh cewek bawel seperti itu. Pasti lambat
laun Pika akan tahu. Daripada perang saudara, lebih baik ditu-Hsnya kalimat
singkat: "Aku akan dioperasi lack Maukah Selina menjengukku nanti?"
Surat itu rrfembuat Tesa serba salah. Sebagai manusia biasa, tentu saja dia
tak tega mem-biarkan orang lain dalam kesusahan dan tidak mengabulkan
permintaannya yang begitu seder-hana. Tapi sebagai perempuan, dia enggan.
Ba-nyak keberatannya. Seribu seratus "bagaimana" diandai-andaikan oleh
hatinya yang gelisah.
Bagaimana seandainya ketemu Pika?! Bagaimana seandainya ketemu anakanak lain dan dilaporkan pada yang berkepentingan?! Bagaimana seandainya...
Ah! Tapi tidak menengoknya barang sekali pun rasanya- kelewatan sekali.
Setelah kepalanya hampir pecah, tibalah dia pada jalan tengah yang
dianggapnya merupakan penyelesaian yang memadai. Dia akan pergi bersama
Nopi. Andaikan ketemu anak-anak lain, atau Pika se-kalipun, dia bisa berdalih,
diajak Nopi ke sana.
Nopi tentu saja senang sekali bisa berduaan dengan incaran kalbunya. Dia
tidak mau pusing memikirkan berapa banyak udangnya di balik batu, pokoknya
ini kesempatan langka yang sudah lama ditunggu! Dia bahkan tidak curiga
bahwa ini semacam sand i war a juga.
Begitu Pasha mendengar suara Tesa, wajah-nya serentak mekar penuh
senyum. Namun untung sekali dia belum sempat melontarkan panggilan berbau
intim seperti "Sayang" atau "Manis" atau sebangsanya. Sebab segera juga
didengarnya suara Nopi mengucapkan halo, mengikuti Tesa, sehingga diamdiam dia mengeluh kesal. Kenapa lagi bocah ini membawabawa bulldog!
Tengah mereka ngobrol seadanya, tiba-tiba Pasha bertartya, "Waktu tanggal
dua puluh lima bulan lalu siapa sih yang ulang tahun, Tes? Ibumu? Ayahmu?
Atau salah satu saudaramu?" "Enggak ada. Memangnya kenapa?" "Ah, enggak
apa-apa. Aku sedang mengingat-ingat tanggal itu. Entah siapa yang bilang, ya.
Kalau bukan kau, ya, Pika! Katanya di rumah ada yang ultah."
Setelah itu Pasha kelihatan tidak bergairah lagi ngobrol seakan kecapekan.
Kunjungan pun dipersingkat seperlunya. Keadaan Pasha juga sama sekali tidak

www.ac-zzz.tk
mengkhawatirkan, minggu de-pan sudah boleh pulang. Jadi tak ada alasan
untuk berlama-lama. Apalagi hati Tesa kebat-kebit terus. Setiap saat Pika bisa
saja muncul. Dan alasan apa yang akan dikatakannya?!
Kalau dia bilang diajak Nopi, laki-laki yang cerdik itu pasti akan segera
mencium adan'ya bangkai yang mulai busuk. Sebab jelas-jelas, Tesa-lah yang
telah mengajaknya, bukan seba-liknya. Kalau Nopi sableng atau senang memancing di air payau, mungkin hal itu akan diadukannya pada Pika! Atau,
dirinya diperas secara halus! Misalnya, dipaksa menjadi pacar-nya! Hatinya
sudah lama meraba-raba ke mana gerangan tujuan sindiran Nopi yang banyak
itu setiap kali mereka kumpul-kumpul di dapur
beramai-ramai. Cuma radar hatinya belum bisa menerima sender radio dari
Nopi.
Lega rasanya setelah berhasil minta permisi. Tapi Pasha rupanya belum mau
sudah. Pada saat terakhir dia masih menemukan akal untuk mengingatkan Tesa
pada maksudnya.
"O ya, bukumu yang dipinjam oleh Pika ada di tempatku. Kau bisa
mengambilnya kapan saja sesempatmu. Bukankah Senin-Rabu kau kasih les?"
Hm. Jadi dia sudah tahu aku ganti hari! pi-kirnya masygul. Buku apa sih
yang dimaksud-nya?! Hampir saja Tesa mengerutkan kening dan berbuat
kesalahan. Namun sesaat itu juga keheranannya dia telan kembali.
"Baiklah. Nanti aku ambil kalau sempat. Buku itu sudah aku baca, kok.
Sebenarnya enggak diambil pun, enggak apa-apa!"
Tapi Pasha kontan protes keras. "Tempatku sudah terlalu penuh! Buku itu
harus kauambil, Tes."
"Baiklah," kata nya supaya bisa segera berlalu.
e5^- ' ***
Sekali lagi Pasha menunggu dengan sia-sia. Sudah lebih dari sebulan dia
kembali dari-rumah sakit, namun Tesa belum berhasil diper-gokinya.
Tentu saja dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu sudah bertekad
untuk menghindarinya. Setelah sadar bahwa Pasha tahu dia berganti hari, maka Tesa
sekali lagi minta hari les diubah. Dengan alasan dia ada kuliah sore. Kali ini
dipilihnya Selasa dan Jumat. Mudah-mudahan Pasha tak pernah di rumah saat
itu. Dan memang untuk beberapa kali les berlang-sung dengan aman. Dia tak
pernah dicegat.
Karena itu betapa kagetnya Tesa ketika pada ' suatu hari Jumat didapatihya
Pasha sudah ber-diri di bawah tangga! Dalam hati dia mengeluh. Oh, kalau saja
dia tahu lebih dulu bahwa hari ini Pasha akan kebetulan berada di rumah...!
Dia lebih suka honornya dipotong daripada datang juga mengajar! '^H
Tentu saja Tesa tidak tahu bahwa Pasha sudah sengaja menunggunya. Lakilaki itu sudah mendapat info baru dari Nenek Graham yang rupanya tidak tahu
ke mana arah angin bertiup!
"Hai, Tes!" Sapaannya seakan wajar saja.
"Hai," balas Tesa, berharap akan bisa berlalu tanpa gangguan.
"Eh, eh, eh, mau ke mana buru-buru begitu? Sudah lama enggak kautengok
abangmu...."

www.ac-zzz.tk
"Lain kali, Pasha," dia berkilah. "Aku banyak PR, nih."
"Gimana kalau dia ngambek, lalu ngadu sama Pika?" Pasha meneruskan
tanpa mengacuhkan dalihnya.
Tesa mengeluh. Ditatapnya Pasha dengan me-maksakan diri. "Kau mau apa?"
I pi
"Nah, tanya dong begitu! Abangmu ini kan baru baik sakit. Dia kepingin
makan kue yang enak!"
Tesa terpaksa ketawa. Dasar laki-laki! Sudah sebesar gajah pun masih
berlagak seperti bocah cilik. Selalu minta dimanja. Ini sebenarnya tugas Pika,
pikirnya berontak. Tapi dia tahu, dia tak berdaya menolak. Pertama, sebab dia
belum tahu sampai di mana kenekatan Pasha untuk mengadu pada Pika.
Mungkin kalau dia sudah dibikin terpojok oleh kecewa dan putus asa, dia bisa
menciptakan gempa bumi tanpa ragu! Iiih, membayangkannya saja sudah
ngeriii!
"Kau tunggu di sini! Aku pergi sebentar membelinya."
"Enggak mau!" bantah Pasha, betul-betul seperti bocah sungguhan. "Aku
sudah menyedia-kan tepung, telur, gula, dan mentega. Aku mau kue yang
kaubuat sendiri!"
Nenek Graham mendadak muncul dengan kantong belanjaan yang
mempunyai roda. Rupanya Jumat sore dia ingin belanja makanan untuk
seminggu.
Sambil melangkah turun pelan-pelan dia ter-senyum dan menyapa mereka.
Tentu saja Tesa menjadi rikuh ketika Pasha menyuruhnya segera masuk. Kalau
tidak dituruti, bisa-bisa si nenek menduga yang macam-macam. Terlebih
setelah Pasha dengan ketawa lebar berkata, "Adikku ini bandel sekali. Selalu
ogah mcnye-nangkan hati abangnya!"
Nenek ketawa menanggapi dengan lucu. Tentu saja dia tahu bahwa Pasha
sudah bertunang-an dengan Pika, sebab tempo hari dia diundang waktu ada
pesta di tempat Pasha. Dia juga percaya bahwa Tesa adik Pasha, walaupun mukanya memang tidak mirip. Tapi dirinya sendiri juga tidak mirip dengan
abangnya, pikirnya.
Tesa mengerti bahwa nenek itu tidak curiga. Dan tentu saja dia tidak boleh
diberi alasan untuk berpikir lain.
"Huh! Adikku ini malas banget! Ayo, dong, bikinkan aku kue!" Pasha
merengek, lalu dido-rongnya Tesa masuk semen tara si nenek ketawa geli.
Tesa terpaksa masuk, meskipun hatinya membara.
r"Ini sudah mirip penculikan!" semburnya begitu pintu sudah tertutup lagi.
"0, yang lebih dari ini pun bisa terjadi, Tes. Kalau kau selalu membantah."
"Lalu, kenapa aku mesti terus-terusan menu-ruti kemauanmu?"
"Karena aku ini abangmu! Ingat itu! Ayo, sekarang mulailah ke dapur!
Buatkan aku kue dadar yang enaaak!"
Tesa berpikir-pikir beberapa saat. Jelas dia takkan diizinkan pulang sebelum
Pasha tercapai maksudnya. Karena itu cuma kue dadar, walaupun sebenarnya
termasuk kewajiban Pika, biar-lah! Akan dikerjakannya secepat mungkin, supaya lebih cepat lagi bisa pulangl

www.ac-zzz.tk
gan pikiran itu dia segera melangkah ke dapur meninggalkan Pasha menulis
laporan.
Karena pada dasarnya Tesa memang gemar main di dapur, tak lama
kemudian pun kckesal-annya sudah terlupakan sebab sibuk mengolah adonan.
Terlebih ketika kue sudah mulai dida-dar sesendok-sesendok, harumnya seperti
membuatnya lupa di mana dia tengah berada. Sesaat dia betul-betul lengah,
lalu tanpa sadar mulai bersenandung. Itu memang kebiasaannya di rumah kalau
sedang asyik memasak. Dan biasa-nya Markus, Daniel, serta Aster sudah
menung-gu hasilnya dengan sabar bersama Mopi. Kali ini bukan Markus,
melainkan Pasha yang juga mulai mendengus-dengus menciumi udara dengan
perasaan makin lama makin membubung. Telinganya menangkap bunyi
senandung pelan dari ruang belakang. Wajahnya menyungging seulas senyum.
Ah, seandainya ini bisa ber-langsung terus! pikirnya penuh rindu. Kenapa cuma
dia selalu yang menuntut ini dan itu?! Kenapa sesekali tak mau dibahagiakannya
Tesa?! Tapi, bagaimana caranya?!
Di tengah lamunannya Pasha tidak menya-dari adanya bahaya. Dia sungguh
lupa bahwa Jumat sore tunangannya sering datang, walau tidak selalu. Dan
Pika punya kunci sendiri, jadi tak pernah menekan bel. Selain itu, kalau siang
hari, pintu apartemen memang jarang dikunci-nya. Kecuali dia sedang tidur
atau keluar. Tesa begitu asyik mendadar dan berdendang.
1ka
sehingga dia sama sekali tidak mendengar pintu
dibuka orang. Pintunya memang tidak berderit, sih.
Begitu masuk, Pika segera tahu ada keaneh-an. Pertama, hidungnya
langsung menchim wa-ngi kue. Kedua, telinganya mendengar senandung pelan
yang pasti berasal dari pita suara perempuan! Ketiga, matanya melihat wajah
se-orang lelaki yang pucat pasi walau bekas-bekas senyuman masih belum sirna
dari matanya.
"Siapa?" tuntutnya.
"Tesa," sahut Pasha tanpa semangat.
Mendengar itu Pika langsung menyerbu ke dapur. Tesa sedang mengaduk
adonan untuk dituang lagi ke wajan. Tangan kanannya me-megang sendok
kayu, sementara lengan kirinya memeluk baskom plastik yang besar berwarna
jingga. Dia begitu terkejut melihat kedatangan Pika, sehingga gerakannya
serentak terhenti. Bah kan baskom itu nyaris terlepas dari pel u kan. Untung
dia lekas tersadar apa yang tengah di-kerjakannya.
Dengan mata membelalak penuh horor di-awasinya Pika yang segera
berkacak pinggang dekat pintu dapur. Di belakangnya terlihat Pasha melangkah
dengan gontai.
Geledek pun tidak tanggung-tanggung lagi menyambar dengan dahsyatnya.
"Hm. Pura-pura kasih les! Tahunya, tttjuanmu kemari, ya! Rupanya permainan
kalian sudah diatur rapi sekali, nih!"
Merah selebar wajah Tesa disindir begitu.
Tapi mulutnya yang terkatup rapat tidak berhasil menemukan sanggahan
yang tepat. Pikiran-nya buntu. Pandangannya terasa gelap. Cuma jantungnya

www.ac-zzz.tk
saja yang di rasa kan nya berpacu liar seakan pro tes mau meloncat keluar, tak
mau diajak berkelahi.
Pika mendekatinya. Telunjuknya menuding, nyaris menyentuh hidungnya.
"Tes, bukankah tempo hari kau pernah bilang betapa sakit hati-mu ketika
pacarmu direbut kawanmu! Lalu kau berjanji takkan melakukan dosa seperti itu
ter-hadap orang lain. Kenapa sekarang kaulakukan itu terhadapku? Cis! Dasar
punya bakat maling rupanya!"
Mata Tesa menjadi merah dan panas.
"Jangan kasar terhadap Selina!" hardik Pasha dari belakangnya, sehingga
Pika menoleh ter-kejut. "Kau kaget? Oh, oh, oh, aku sudah lama tahu siapa
dia!"
Pika menatap Tesa dengan penuh kebencian. Dia nyaris meludahinya.
Bibirnya yang men-cucut akhirnya cuma melontarkan serangkaian lagi tuduhan.
"Jadi kau juga sudah memberitahu siapa diri-mu? Dasar orang tak bisa
pegang janji! Pantas dulu pacarmu direbut orang! Puas! Syukur!"
Air mata Tesa mendadak mancur keluar tak terbendung lagi. Sebenarnya dia
pantang mena-ngis di depan orang lain, tapi hatinya terluka parah disembilu
habis-habisan seperti itu. Air
bening itu mengucur deras ke dalam baskom
yang masih dipeluknya. Ketika menyadari apa yang terjadi, dengan
terperanjat diletakkannya adonan itu ke atas meja. Lalu dia berlari keluar.
Disambarnya tas serta catatan untuknya menga-jar, kemudian dibukanya pintu
dan dibiarkan-nya terpen tang. Dia tidak kuat lagi berdiam di neraka itu lebih
lama, walau cuma untuk me-nutup pintu.
Pasha yang mengikutinya lekas-lekas meng-gabrukkan pintu, sebelum dia"
kembali mengha-dapi Pika. Wajahnya dingin sekali dan kedua matanya sudah
mad.
"Kau tidak berhak menuduhnya sekeji itu! Afculah yang memaksanya datang
ke sini! Sudah berbulan-bulan dia mencoba menghindarkan diri, baru hari ini
aku berhasil memergokinya. Dia tidak mau masuk, tapi aku sangat ingin
dibuatkan kue dadar, jadi aku bujuk dia, itu pun dengan setengah mati! Dia
sudah kuanggap sebagai adikku, Pik! Salahkah aku, meminta dibuatkan kue
dadar? Habis kalau menunggumu, sampai kapan sempatnya? Dia kan sudah
kuanggap adik! Maka..." Pasha mengangkat bahu.
"Kok enggak pernah kau bilang-bilang pada-ku? Mana aku tahu jadi nya?"
seru Pika seakan membela diri.
"Ya, aku salah. Habis, aku khawatir kau nanti enggak mau ngerti, lalu
marah!".
"Huh! Pendusta! Hidung belang! Adik? Adik ketemu gede?! Kaupikir aku ini
bodoh seperti
keledav apa? Gampang dibohongi?! Dasar mata keranjang! Satunya lagi
berbakat maling! Klop, deh!" ejeknya. "Maling, katamu?" Kening Pasha
mengerut
hingga alisnya bersatu dan kedua matanya me-mancarkan sinar mau
membunuh^ Dia menun-dukkan kepala dan mendekat, sehingga tanpa sadar
Pika sudah mundur selangkah saking ke-takutan.

www.ac-zzz.tk
"Maling? Tahukah kau, aku dulu sudah ham-pir membatalkan rencana
pertunangan kita?! Tapi Tesa berkeras, dia cuma mau terus berkawan denganku
kalau aku tidak meninggalkan diri-mu! Mengerti? Kita tetap bertunangan
lantaran aku ditekan olehnya! Paham?"
"Oho! Jadi kau bertunangan denganku hanya supaya kau enggak kehilangan
dia?" teriak Pika menggelegar.
Pasha terdiam.
"Jadi kau sebenarnya sudah tidak cinta pada-ku?"
Pasha masih diam.
"Dan kaukira aku ini cinta padamu? Bah! Aku cuma bangga lantaran kau
ganteng dan teman-temanku banyak yang iri melihatku! Kaukira aku ini enggak
laku kalau enggak mendapat belas kasihanmu? Hm. Ini aku kembalikan
cincinmu!" Pika meloloskan cincin belah rotan d jari manisnya dan
meletakkannya di atas meja tu lis.
"Aku tidak sudi dikasihani orang! Lihat saja!
palam waktu dekat ini aku pasti sudah bertunangan dengan Michael yang
kucintai!" Di-bukanya pintu lalu berlari keluar sebelum air matanya sempat
menyembur.
"Pika!" seru Pasha mau mencegah.
Tapi gadis itu sudah menghilang di tangga. Untuk kedua kalinya Pasha
menggabrukkan pintu lalu menguncinya. Dan malam itu Pika tidak pulang ke
asrama.
Bab 11
Beberapa hari kemudian Tesa muncul di tingkat tiga untuk memberi les.
Sebenarnya dia sudah tidak ingin datang ke tempat itu lagi tapi dia masih
memerlukan uangnya. Begitu dia bisa mendapat murid lain, Kakek dan Nenek
Graham ini akan dilepasnya. Bukan karena mereka murid-murid yang malas,
tapi lantaran Tesa sudah segan mengunjungi tempat itu. Dia khawatir janganjangan pada suatu hari akan kesamprok juga dengan...
Rupanya hari itu memang dia sedang naas. Baru saja dijejakkannya kaki di
tingkat dua, matanya sudah melihat malapetaka. Pasha tengah berdiri di depan
pintu kamarnya. Tesa mengeluh dalam hati. Yah, mudah-mudahan dia sedang
menunggu orang lain, pikirnya sambil mau berlagak formal. Dia akan
tersenyum, me-nyapa selamat siang, lalu berbelok dan naik ke tingkat tiga. |p
Tapi tidak. Agaknya Pasha memang sedang menunggunya! Oh, dasar sedang
sial! Sebelum dia sempat berbelok, bahkan sebelum dia bilang
halo, pemuda itu sudah mendekatinya. Lang-kahnya mengerikan sekali
panjangnya. Dalam sekejap dia sudah berada di sampingnya, meng-halangi
jalannya. Naik ke tingkat tiga tak bisa, mau turun ke bawah lagi pun tidak
mungkin. Di belakangnya tembok dan di depannya sepa-sang lengan yang kuat.
Pelan-pelan, tanpa disa-darinya, dia dihalau ke sudut, ke depan pintu kamar,
tepat di bawah tangga.
Tesa memutuskan untuk tidak memperlihat-kan rasa takut. Dia berusaha
tersenyum meya-kinkan. "Ah, halo, Pas, selamat siang. Rupanya kau enggak
kuliah, nih?"
"Aku sengaja menunggumu!" sahut yang di-tanya tanpa senyum.

www.ac-zzz.tk
"Oh!" Tapi jangan biarkan dia tahu bahwa kau takut! pikirnya dengan gagah.
"Ayo, deh, aku mau ke atas. Telat, nih!" ujarnya seringan mungkin, seakan
tidak mengerti maksud ucap-an Pasha.
"Mereka sedang ada urusan keluar, Tes. Ke-duanya tidak di rumah."
"Lho! Ah, masa?! Mereka tidak memberitahu!"
"Sebetulnya aku harus meneleponmu tadi pagi. Roger, si kakek, sudah
menelepon ke asra-mamu, tapi tak ada yang mengangkat."
"Aku kuliah pagi-pagi. Dan anak-anak lain rupanya pergi semua."
"Nah, lalu dia minta aku yang menghubungi kau! Tapi aku sengaja
membiarkanmu datang,
sebab ada yang mau aku bicarakan. Marilah
masuk!"
"Sorry, enggak bisa. Aku harus segera pergi
lagi," kata Tesa dengan tagak orang yang banyak urusan.
"Ke mana?'' tanya Pasha dengan kening ber-kerut. "Bukankah ini jam untuk
kasih les? Dan sekarang lesnya batal? Berarti kau bebas, dong! Benar, enggak?!"
Tesa menghela napas. Dia tahu kebandelan Pasha. 0, ya dia masih ingat
waktu dia tak mau beranjak dari jendela walaupun udara dingin! Waktu dia
ogah makan obat! Waktu dia...
"Ayolah masuk!"
Tesa menggeleng. "Pasha, janganlah menam-bah lagi kebencian Pika
padaku! Dia sekarang sudah jadi musuhku, tahu!"
"Musuhku jugaf
"Apa maksudmu?"
"Tes, aku sudah putus dengan Pika!"
"Itu urusanmu! Asal jangan gara-gara aku!" Tiba-tiba Tesa terkejut, baru
menyadari apa yang didengarnya. "Eh, apa katamu?!"
"Iya, betul! Dia sudah meninggalkan aku. Katanya, minggu depan atau bulan
depan, dia pasti akan bertunangan dengan Michael!"
"Michael?! Oh!"
Tesa mengeluh. Tentu ini gara-gara dirinya! Kenapa sih dia sok iseng mainmain ke tempat pacar orang? Akibatnya sekarang mereka beran-takan.
"Maatkan aku," bisiknya dengan mata ber-linang. "Kalau ada yang bisa
kulakukan untuk
membujuknya..."
Pasha menggeleng. "Tak perlu. Aku tidak mau memaksanya. Hubungannya
dengan
Michael bukan hal baru bagiku, Tes. Aku takkan heran bila dia menggunakan
kesempatan
itu untuk melaksanakan keinginan hatinya." S "Maksudmu... mereka sudah
lama...?" Pasha mengangguk dengan wajah sendu. "Aku yakin begitu! Ah,
sudahlah. Tak usah panjang-panjang mempercakapkan orang lain. Yang sudah
basi terpaksa dibuang saja, tak gu-na ditangisi."
Tesa terdiam. Dia teringat pernah beberapa kali melihat Pika dan Michael
berduaan. Sikap mereka memang kelihatan dekat, tapi dia tidak pernah
mengira bahwa kedua nya begitu intim!

www.ac-zzz.tk
"Eh, kok jadi melamun? Yuk, masuk sekarang? Mau, dong?!" Untuk pertama
kalinya Pasha kelihatan tersenyum menawan.
Tesa menatap matanya yang bulat kehitaman. Dia menimbang-nimbang
beberapa saat. Memang diakuinya, dia tergoda untuk masuk Les batal. PR dari
kuliah sudah dibuatnya. Di asrama sendirian pasti membosankan. Dan...
bukankah Pasha kini sudah bebas?! Tak ada orang yang akan marahl
Tapi akhirnya dia terpaksa menggeleng, membuat binar-binar di mata
hitam-bulat itu redup disergap kecewa. Tesa memutuskan tak
mau mencari keruwetan, sebab rupanya pacaran selalu mengundang
problem baginya. "Sorry, Pas, aku tak bisa!"
Dia berbalik mau menuruni tangga, tapi Pasha mencekal lenganrtya dan
mendesaknya ke tembok. Dikurungnya Tesa dan didekatkannya wajahnya. * 41
"Kau sebenarnya menyukai aku, bukan? Karena itu kau tahan merawat aku
setahun lebih, bukan?" bisik Pasha berdesah sambil menatap-nya lekat-lekat
Tesa membuang pandang ke samping dan pura-pura mendengus dengan
suara tidak sa-baran. "Oh, aku melakukannya demi uang be-laka, kau sudah
lupa? Aku butuh uang waktu itu! Sangat butuh Ayo, biarkanlah aku berlalu!"
Tapi Pasha tak mau melepas kurungannya. "Kau sungguh tidak menyukai
diriku?" desak-nya.
"Kalau seperti yang kaumaksud, jawabnya tidak!"
"Kau bohOng!" tuduh Pasha dengan mata me-lotot, tapi suaranya setengah
putus asa.
Tesa tidak sampai hati melihatnya kecewa begitu. Dia tersenyum.
"Tentu saja aku menyukaimu, Buyung!"
"Nah, kan?!"
"Seperti aku pun menyukai teman-teman Iain!"
"Ah, bohong! Dengan aku pasti tidak sama! Ya,kan5N"
"Terserah, deh, kau mau percaya atau tidak!"
"Ya, kan?!" seru Pasha penasaran.
Tesa mengibaskan lengan yang mengurung-nya. "Aku mau pulang sekarang!"
Tapi kurungannya tak berhasil didobraknya. Dilihatnya pemuda itu seakan
makin nekat mau menahan-nya.
"Siapa sih nama orang itu, eh, setan itu yang sudah menghancurkan hatimu?
Sampai kau tak sudi percaya pada laki-laki lagi?!"
Wajah Tesa menjadi merah. Dia sudah ham-pir menyemprot, "Itu bukan
urusanmu!" Tapi Pasha sudah memberondong terus, "Atau bah-kan membuatmu
takut pada mereka?! Siapakah namanya?"
Pasha menatapnya dengan mata kembali ber-binar. Tesa mengelak tanpa
disadari. Se-konyong-konyong dia merasa kikuk, padahal lebih dari setahun
laki-laki itu berada dalam belas kasihannya. Kalau lapar, dia akan merengek
minta makan! Terkadang kepingin makan kue dadar seperti orang ngidam!
Malah menangis tanpa malu-malu kalau sudah kesal memikirkan nasib! Dan
sekarang...! Dia berani banyak ting-kah?!
"Bukan Pasha, kan?" sambung pemuda itu nyengir sebelum Tesa sanggup
memutuskan bagaimana akan menghadapinya. Semua terjadi dalam sekejap

www.ac-zzz.tk
mata. Pasha menunduk dan me-ngeeupnya. "Sudah lama ingin kulakukan," bisiknya.
Tesa menunduk tanpa berkutik. Dia sungguh menyesal kenapa datang ke situ
hari itu. Coba, dia berlagak sakit dan menelepon Nenek Graham...! Huh! Dia
menghela napas, rasanya kok makin kikuk?! Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa
boleh buat.
"Tes, tubuh manusia itu mengenal reorgani-sasi. Artinya, yang rusak atau
sakit akan diganti dengan yang baru. Begitu juga perasaannya. Apa yang dulu
terasa menyakitkan, lama-lama akan hilang. Kecewa, frustrasi, penasaran,
sakit hati, semua itu tidak kekal. Pasti akan dire-organisasi menjadi rasa
senang, sentosa, baha-gia, dan puas. Asal... kita mau berusaha menyembuhkannya. Patah tumbuh hilang berganti, Tes. Buat apa yang tidak setia
dipikirkan terus? Cuma membuat uban tumbuh! Suatu waktu kau pasti akan
menyadari, kau tak mau memikirkan masa lalu terus. Juga tak ada gunanya.
Dan tak pantas memberi kehormatan seperti itu bagi pengkhianat. Buat apa
membikin dirimu merana bagi makhluk yang tak punya perasaan halus? Tes;
yuk, mari masuk. Bantu aku mengetik ma-kalah. Nanti aku buatkan kau kue
dadar yang lezaaat! Ayo, bilang, siapa sih namanya?"
"Goffar!" bisiknya tanpa disadari.
***
Pika pindah ke asrama Michael yang terletak di sebelah bar at kota, dekat
taman indah. Tak
berapa lama pun anak-anak lain sudah tahu bahwa dia telah putus dengan
Pasha dan kini
beralih pada Michael. ;
Tesa ingin menyembunyikan dulu hubungan-nya dengan Pasha, namun
pemuda itu rupanya tak bisa gampang-gampang digebah. Setiap akhir pekan dia
pasti muncul di asrama, ikut meramaikan acara makan mereka. Seperti biasa,
tiap hari Minggu mereka masak bersama, masing-masing satu macam, lalu
disantap beramai-ramai. Tentu saja teman-temannya segera mencium bau
sangit dan yang paling uring-uringan adalah Nopi.
"Habislah sekarang harapanku!" keluhnya tanpa menjelaskan harapan
macam apa.
"Kan masih ada aku!" sambut Atina yang rupanya paham.
"Nanti dulu, ah! Tunggu tahun dua ribu! Kalau aku masih belum mati dalam
perang nuklir, dan semua perempuan lain sudah cacat, nah!" katanya
mengangkat bahu seakan menyerah. Atina ingin sekali mencekokkan sesendok
sam-bal ke dalam mulutnya. Sayang waktu itu ter-lalu banyak orang, dan dia
segan menjadi sum-ber gosip.
Tesa terpaksa membiarkan Pasha datang se-maunya, sebab dianggapnya itu
lebih mending daripada berduaan saja di tempat Pasha.
"Kalau kau enggak mau aku muncul di asra-mamu, terpaksa harus kau yang
datang ke tempatku I Kalau enggak pernah ketemu, enggak
lucu, dong, kan namanya pacaran!" kata Pasha tempo hari.
Tesa masih ragu terhadap hubungan mereka. Dia bimbang. Di satu pihak,
dia enggan pacaran sekali lagisetelah riwayatnya dulu bersama Goffar

www.ac-zzz.tk
terlebih dengan bekas pacar orang. Memang betul, dia tidak merebutnya
terang-terangantapi kalau tak ada dirinya, apakah Pika dan Pasha pasti akan
bubar?!
Pertanyaan itu acap kali menghantui pikiran-nya dan tak ada jawaban yang
bisa meyakin-kannya bahwa dia sama sekali tak bersalah. Dia sadar, Pasha
menaruh hati padanya sejak tahu siapa dirinya. Selina yang dicari-cari! Bidadari
Tuan Solem! Oh, - kawan-kawan Pasha masih juga melon tar kan olok-olok itu
bila mereka me-lihatnya berjalan di samping Pasha Solem.
Walaupun Tesa selalu ingin menghindar, namun Pasha justru tampaknya
seakan ingin me-mamerkan dia terus. Setiap ada acara di fakul-tasnya, Tesa
pasti diundang. Tapi dia sering juga diajak ke sana walau tak ada acara apaapa. Tentu saja tak pernah terpikir oleh Tesa bahwa Pasha mungkin cuma ingin
memanaskan hati bekas pacarnya. Sebab mereka kerap kali ketemu di halaman
atau perpustakaan uni. Pika memang tak pernah ramah sejak dulu padanya.
Kini dia sudah mau menyapa, tapi sikapnya tidak ha-ngat. Dan Tesa sedapat
mungkin selalu men-jauhinya. Dia tak bisa terlalu menyalahkan. Seandainya
Pika masih mencintai Pasha, pasti
dia akan sakit hati benar. Untunglah, tampaknya dia sudah melekat pada
cowok pirangnya.
Yah! Tesa bimbang di satu pihak untuk me-nerima Pasha seterusnya. Namun
di lain pihak, dia tak dapat menyangkal perasaan hatinya sendiri. Pasha
memang menarik! Sekeras-kerasnya batu karang, kalau digempur badai
sepanjang tahun, lama-lama pasti berlubang juga. Begitu pula dengan
pertahanan hatinya.
Pasha seorang laki-laki yang teguh kemauan-nya, sukar dielakkan, penuh
perhatian, hangat, namun tegas. Sejak dia memutuskan untuk mendapatkan
Tesa, rasanya sulit sekali bagi gadis itu melepaskan diri. Itu pun kalau dia
sungguh-sungguh ingin lepas...!
Dalam kebimbangan begitu, hubungan mereka berjalan terus. Malahan
makin erat. Ketika sebulan kemudian Pasha tertimpuk bola tenis, Tesa tahutahu mendapati dirinya sudah ter-jerat. Aku tak bisa lagi melepaskan diri,
pikirnya. Aku sudah telanjur jatuh cinta!
Cedera itu rupanya hebat sekali, sampai reti-. na pada mata kiri itu terlepas
di tempat yang dulu dioperasi. Terpaksa Pasha harus masuk lagi ke rumah sakit.
Selama Pasha diopname, siang-malarn Tesa memikirkan keselamatannya.
Apakah operas! itu akan berhasil?! Apakah penglihatannya akan pulih seperti
semula?! Apakah akan timbul komplikasi?! Apakah dia masih perlu dioperasi
sekali lagi?! Apakah hal seperti itu akan bisa
terulang kembali?! Apakah untuk selamanya dia takkan boleh main tenis
lagi?! Apakah... oh! Rasanya dia hampir gila memikirkan pemuda
itu. Setiap kali ada waktu luang, dia pasti ber-gegas ke rumah sakh>
menjenguk Pasha. Un-tunglah waktu opname cuma seminggu. Ketika dia datang
untuk membawa Pasha pulang, pemuda itu tengah menantikannya. Dari balik
kacamata hitam diawasinya pintu masuk ke kamar. Begitu Tesa muncul, dia
segera berdiri dari kursi. Melihat wajahnya yang cerah, gadis itu segera

www.ac-zzz.tk
menduga bahwa operasinya telah berhasil dengan memuaskan. Tapi dia tidak
ber-siap-siap untuk menerima pelukan demikian eraL
"Aduh!" serunya menggoda. "Aku hampir tak bisa napas, nih!"
"Oh, sorry," seru Pasha tersipu. "Habis, aku kelewat girang, sih! Tes, mataku
sudah pulih lagi seratus persen! Dan aku juga tak perlu dioperasi lagi! Ajaib
enggak, tuh?! Semula aku sudah takut, mataku ini bakal tamat riwayatnya dan
perlu dicongkel! Hiii! Ternyata..."
"Oh! Sungguh? Wah, harus dirayakan, tuh!" cetus Tesa, namun dia segera
menyesal sudah terlepas omong.
"Ya, ya, ya, tentu saja! Kita masak-masak di tempatmu! Kita undang semua
kawanku!" seru Pasha nyaris berjingkrak kegirangan.
Tesa meringis dalam hati. Maksudnya tadi
n dan
hanyalah makan berdua saja, dengan lilin bunga. Bukannya pesta...
"Eh, Tes! Aku punya ide, nih! Kenapa kita enggak mau sekalian tukar cincin?"
Betapa terkejutnya Tesa. Sesaat dia meng-awasi Pasha tanpa mampu buka
mulut. Ketika kemudian dipaksanya menjawab, suaranya ga-gap"Ta... tapi... Pika kan be... lum ka... win, eh... tu... nang... an... de...
ngan Mi....chael!"
"Itu urusan mereka! Pokoknya kami sudah resmi putus! Ibuku sudah aku
beritahu!"
"Ta... pi... ibu... ku... be... Ium! Kita kan enggak mungkin main tukar cincin
sembarangan? Kita ha... rus memberitahu dulu, dong!"
"Ah, ini kan belum upacara nikah, Tes! Baru simbol saja untuk
menunjukkan, kau sudah jadi milikku, dan Nopi-babi itu jangan coba-coba
naksir kau lagi! Pada ibumu dan ibuku, kita akan memberitahu tentu saja.
Secepatnya! Oke, ya?"
"Pas, kalau cuma takut sama Nopi, enggak usah tukar cincin dulu, deh. Aku
jamin, dia takkan berhasil mencuri hatiku. Kalau aku mau dengannya, kenapa
enggak dari dulu saja waktu kau masih bersama Pika?! Pendeknya, kalau cuma
Nopi, beres, deh. Tak usah khawatir. Eh, kalau wajahmu cemberut, gantengmu
berkurang, Iho!" Tesa mencoba berkelakar dan mengalihkan topik.
"Siapa tahu bukan cuma Nopi, tapi masih ada yang lain?" tukas Pasha kepala
batu.
"Sudah, ah, jangan bicarakan hal itu lagi, aku enggak suka," Tesa berlagak
mengajuk dan Pasha takut jangan-jangan nanti dia marah sungguhan lalu lari!
jadi dia terpaksa menurut dan mengerem mulutnya.
"Ayo, buka dong kacamatamu, biar aku pan-dang lagi matamu yang cakep!"
"Aku belum boleh kena sinar, Tes. Tapiii, eh, sejak kapan kaulihat mataku...
ehm... cakep?!" Suara Pasha mirip betul anak kecil, sehingga Tesa hampir tak
bisa menyembunyikan geli hatinya.
"Sejak dulu, dong! Masa mendadak saja? Yuk, sudah beres tas dan barangbarangmu? Kita pu-lang sekarang saja."
Tesa cepat-cepat mengajaknya berlalu sambil pura-pura tidak melihat
betapa cerah senyum di wajah si ganteng. Dasar cowok zaman sekarang,
pikirnya geli. Perlu juga rupanya disebut cakep dan ganteng! Huh, kemayu!

www.ac-zzz.tk
pikirnya makin geli, melihat Pasha kembali menghampiri cer-min di atas
wastafel.
"Tahan, tuh! Enggak kalah dari cewek rupanya!" seru Tesa, maksudnya tentu
saja genitnya itu. Tapi sang arjuna malah jadi tersipu, rupanya salah paham.
"Ah, bisa saja kau, Tes!"
"Memangnya aku bilang apa, sih? Bahwa kau
enggak kalah cakep dengan cewek? Hiii, mau mu!" Tesa tak tahan harus
menggoda.
"Awas kau, monyet! Nanti kau! Aku sekap kau di... eh... eh... eh... jangan
rJnggalkan aku, dong! Gimana aku mesti pulang sendiri?"
"Monyet mana bisa mengantar kau pulang?"
"Lidahku keseleo. Bidadari, maksudku. Ayo, bidadariku, antar aku pulang...
nyet!" Pasha me-nambahkan yang terakhir dengan suara pelan. Geram juga
hatinya diolok-olok barusan. Kalau tidak dibalasnya nanti, hm! Pikirannya sudah
melambung dalam angan-angan bagaimana ca-ranya membuat cewek cakep
minta-minta am-pun, menyembah Duli Yang Dipertuan Agung Pasha Solem!
Pesta untuk merayakan kesembuhan Pasha berlangsung murah serta meriah.
Pika sebenarnya tidak diundang, sebab dia sudah pindah asrama, tapi entah
bagaimana rupanya dia tahu di dapur ada pesta. Tahu-tahu dia muncul bersama Michael. Seketika suasana jadi sepi. Tapi seakan tidak menyadari
keadaan, Pika terus nyelonong masuk seraya berseru, "Mau num-pang makan,
boleh enggak? Mana nih nyonya rumahnya?"
Tesa yang tengah berdiri depan oven mem-belakangi pintu, segera menoleh.
Seketika itu wajahnya kelihatan kaget dan bingung meii'
siapa yang datang. Otomatis matanya melirik ke arah Pasha yang tengah
mengeluarkan kaleng-kaleng bir dari lemari pending in. Pasha sedang sibuk dan
tak bisa ditanya i. Aku harus mena-ngani sendiri!
"Oh, tentu saja boleh, Pik! Silakan! Kebetulan kita sedang kekurangan orang
untuk nanti men-cuci piring!" seru nya, bersyukur dalam had sudah berhasil
menjawab dengan cepat, sehingga suasana tidak menjadi kikuk. Anak-anak lain
pun segera bersorak menyetujui usul Tesa.
"Buset! Kalau begitu aku ke sini cari peng-gebuk, ya!" Suasana pun menjadi
makin meriah. Bahkan Pasha jadi asyik ngobrol dengan Michael. Keduanya
memang sudah saling kenal di kuliah.
Demikianlah hubungan Tesa dan Pasha sema-kin erat serta mesra. "Setelah
pelajaranmu sele-sai nanti, sebaiknya kau jangan. langsung pulang," usul Pasha
pada suatu kali. "Teruskan saja mengambft kursus komputer sambil mene-mani
aku kuliah. Nanti kita pulang sama-sama."
Tesa sih setuju saja. Cuma persoalannya, dia tak punya biaya lagi.
"Kasihan kan morot terus dari Mami," dalih-nya. "Kalau aku pulang, bisa
langsung cari duit buat bantu Mami."
"Soal biaya, kau tak usah pusing, Tes. Kalau kita sudah resmi, pasti
orangtuaku takkan kebe-ratan membiayai kau juga!"
"Nanti deh kita bicarakan lagi kalau sudah
tiba waktunya," sahut Tesa mengelak. Bukan

www.ac-zzz.tk
pertama kali itu Pasha mengiming-iming bahwa dia ingin mereka secepatnya
menikah. Tak usah tunggu sampai pulang dulu ke rumah. Dan Tesa belum
berani mengabari ibunya mengenai pacar barunya ini. Ibu pasti enggak setuju
kalau dia mau terburu-buru. Perkawinan adalah ikat-an seumur hidup, pasti
begitu nasihat ibunya, jadi harus dipikirkan matang-matang.
Tapi di kemudian hari, Tesa tidak begitu ya-kin lagi akan kemantapan
nasihat itu. Dia ter-kadang melamun, ah, seandainya saja dia tidak terlalu lama
membuang waktu untuk berpikir sampai matang! Ah! Dan saat itu dia cuma bisa
mengeluh penuh sesal.
Hari itu mereka berdua sudah berjanji akan pergi ke kebun binatang.
Seperti anak kecil, sejak kemarinnya Tesa sudah kegirangan sampai susah tidur.
Pagi itu tingkahnya seperti cacing dimandiin abu. Sebentar-sebentar dia
berden-dang atau mondar-mandir dari kamar ke dapur tanpa tujuan tertentu.
"Waduh! Kelihatannya senang betul! Lagak-mu seperti orang kena lotre saja,
nih, Tes!" kata Sabita, kepingin ikut kebagian.
"Ada yang ditunggu? Kok belum muncul, ya," sindlr Atina.
Nopi sok tahu. ^ I
"Bukan nunggu, kok!" bantah
"Kau mau bikin janji denganku, tapi malu banyak orang! Iya, kan?! Ini sih,
cecuru t-cecurut enggak mau pada n yingkir!"
"Siapa yang kausebut begitu?" seru Atina penasaran. Tampangmu sendiri
enggak lebih mending dari nymgnying."
"Eh, kalau memang yakin kau bukannya cecu rut, kenapa mesti nasping?"
Nopi ketawa terbahak.
"Sudah, ah. Kok jadinya berantem pagi-pagi begini?" Tesa mencoba
mendamaikan, tapi Atina malah mendelik pada Nopi sambil melirik ke
cangkimya seakan kepingin membubuhi racun. Tesa berniat mengalihkan
pembicaraan, ketika Nurul dan Ria tahu-tahu mendobrak pintu dapur seakan
terjadi kebakaran, lalu menatap mereka dengan napas tersengal-sengal.
Nopi segera memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk meluaskan
pandangan. Kedua gadis itu mengenakan jeans dan T-shirt ketat, sehingga
pemandangan alam bukan main me-mukaunya. Ria segera menyadari dan
menyem-protnya, "Hei, mata keranjang! Jangan pandangi aku seperti itu!
Kualat nanti, ujianmu jeblok!"
"Eh, aku kan sedang menghitung gerak na-pasmu, kok malah disumpahi?!
Kalau kau napas terlalu cepat, kan bisa bahaya, tuh!" sergah Nopi padahal dia
memang sedang cuci mata.
anak tikus
Habis kapan lagi bisa melihat bukit-bukit naik-turun begitu indah, pikirnya.
Sangat bagus buat
kesehatan mata! Daripada mesti pakai boorwaterl
Nurul tidak ikut-ikutan nimbrung, sebab tak tahan lagi mau menyampaikan
kabar yang me-ngejutkan. "Pada belum tahu, kan? Pika di rumah sakit!"
"Haaa?!" semua tercengang. - "Kenapa dia?" tanya Sabita yang paling erat
dengan Pika, temannya sejak di SMA.

www.ac-zzz.tk
Ria menarik kursi, lalu duduk. Dengan begitu dadanya jadi tertutup meja
dan Nopi tidak bisa leluasa lagi menatapnya. Napasnya pun sudah lebih tenang.
Nurul segera mengerti dan meng-ikuti contohnya.
"Pika kecelakaan bersama Michael!" kata Ria memulai.
"Oh!"
"Mereka baru pulang libur tiga hari ke rumah orangtua Michael. Kabarnya,
Pika luka parah. Sekarang ini kami mau menengok. Ada yang mau ikut?"
Semuanya menyatakan mau.
"Aku beritahu Pasha dulu," kata Tesa tergesa-gesa menuju telepon. Tapi
sampai lama dibiar-kannya pesawat itu berdering, namun sia-sia. Tak ada yang
mengangkat.
"Barangkali dia sudah di jalan mau kemari," kata Tesa ketika kembali ke
dapur dengan lesu. Tapi aku ikut kalian saja. Biar aku tinggalkan
pesan baginya, supaya segera menyusul ke ru- i mah sakit"
Namun betapa terkejutnya Tesa ketika mereka melangkah ke dalam lorong,
lalu mengintai
dari jendela kaca. Ternyata Pasha sudah berada di dalam kamar gawat
darurat, tengah sibuk membincangkan beberapa buah gambar ront-gen! Pasti
dia bukannya sedang dinas jaga, pikir Tesa. Sebab hari ini kan mereka sudah
punya rencana mau ke kebun binatang! "Sayang kita enggak boleh masuk!"
tukas Sabita dengan kesal. "Aku ingin melihat dari dekat bagaimana
keadaannya!"
"Itu memang sudah peraturan," kata Nopi yang selalu menerima keadaan
apa adanya.
"Mungkin takut kita nanti menularkan ku-manT
"Kan bisa pakai baju sterU seperti Pasha itu!" . cetus Atina yang juga
mengkal.
"Tunggu saja apa kata Pasha kalau dia nanti keluar!" kata Nopi seakan mau
menyabarkan.
Tapi yang ditunggu justru tidak keluar-keluar. Pasha memang tidak tahu
bahwa teman-temannya sedang menantinya. Seorang perawat yang muncul dari
dalam kamar segera disan-dera oleh Nopi dengan senyumnya yang cukup
menawan para makhluk halus yang kesepian.
"Suster, kenapa kami tidak boleh masuk? Giliran satu-satu kan bisa?"
"Tidak bisa!" sahut perawat dengan bengis "Tuan Solem pun sebenarnya
tidak boleh ma
ittk. Tapi sang pasien terus-menerus meracau
memanggilnya, jadi terpaksa diizinkan!"
Ketika Pasha muncul di luar kamar, yang pertama-tama dilihatnya adalah
wajah Tesa yang pucat. Dia segera menghampiri dan me-meluknya, lalu
mengajaknya duduk. Yang lain mengikuti seperti anak ayam takut kehilangan
induk.
"Sorry, Tes, rencana kita ke kebun binatang
batal!"
Tesa menggeleng. "Bagaimana keadaannya?"
bisiknya dengan bibir gemetar.

www.ac-zzz.tk
Pasha juga menggeleng sambil mena'rik napas. "Cukup parah." Lalu dia
bungkam.
"Parah bagaimana?" Sabita menegaskan dengan rasa tidak puas.
Pasha kembali cuma menggeleng. Air muka-nya keruh sekali. Tesa
menatapnya dan tiba-tiba dilihatnya setetes air bening bergayut di sudut
matanya. Pasha menangis! Oh, kalau begitu pasti keadaan Pika sangat gawat!
"Apakah dia akan...?" Sabita tak mampu meneruskan.
Pasha lagi-lagi menggeleng. "Tak tahulah aku," keluhnya penuh kepedihan.
***
Kecelakaan itu ternyata amat hebat dan ber-buntut panjang. Michael
pincang kakinya dan narus memakai penyangga, entah untuk berapa
lama. Pika memang akhirnya bisa selamat dari maut, namun pukulan yang
fatal dialami oleh Tesa!
Pasha sengaja mengajaknya ke tempatnya agar mereka bisa bicara tanpa
gangguan teman-teman. Tesa dibuatkannya kue dadar kesukaan-nya. Tapi gadis
itu cuma berhasil menelan se-potong. Mungkin hatinya terlalu risau. Mungkin
juga hati Pasha yang risau, sehingga adonannya kurang gurih.
Dengan telaten dilayaninya kekasihnya makan-minum seakan itu .perjamuan
mereka yang penghabisan. Pasha bolak-balik ke dapur belasan kali seolah mau
memperpanjang saat di mana dia harus membuka kartu, menuang ke-benaran.
Tesa bangkit membawa gelas. "Kau mau apa?" "Mau mengambil air lagi." "Biar
aku yang ambilkan!" Dengan sigap di-rebutnya gelas itu sampai Tesa keheranan.
"Enggak sari-sarinya kau seperti orang edan kerepotan begitu!"
Tapi Pasha tidak menanggapi seakan tidak mendengar. Ketika gelas
diserahkan, Tesa me* numpahkannya sedikit ke atas pakaiannya.
"Wah, aku kelupaan bawa saputangan!" ke-luhnya. "Di mana tisumu?"
"Aku ambilkan!" Dan Pasha pun kembali ke belakang setengah berlari. Tesa
mengerutkan kening sambil menggeleng. Rupanya dia mau
menebus rasa kangennya sejak sebulan merawat Pika, pikirnya tersenyum.
Setelah akhirnya tak ada lagi yang bisa dikerjakan, dengan ngeri Pasha terpaksa menjatuhkan diri di samping Tesa. Sofa panjang itu ter-kadang digunakan sebagai
tempat tidur kalau ada temannya menginap. Biasanya mereka du-duk
berimpitan, namun kini Pasha agak menjauh beberapa be las senti.
Setelah menahan napas dan mengeluh panjang-pendek dalam hati, akhirnya
saat itu pun tiba.
Tesa termangu mendengarkannya seakan kurang percaya atau bahkan tidak
mengerti. Pasha mengulangi seolah mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak
salah bicara.
"Pika sekarang lumpuh, Tes. Dia perlu pera-watan jangka panjang. Dan...
dia memohon agar aku sudi kembali padanya. Dia ingin dirawat olehku!"
Seakan tersadar dari mimpi, Tesa menatap Pasha dengan mata berapi. "Tapi
dia sendiri tak pernah mau merawatmu waktu kau membutuhkannya!"

www.ac-zzz.tk
"Aku tahu," sahut Pasha dengan nada sabar. "Tapi aku enggak tega untuk
menolaknya."
Bukankah dia sudah mencampakkan eng-kau?l"
"Aku tahu."
"Ke mana Michael?"
Dia 8endiri Juga butuh pertolongan, jadi
na mungkin merawat Pika. Saat ini dia sedang beristirahat di rumah
orangtuanya, aku dengar."
"Apa... apakah mereka sudah putus?"
"Aku rasa, ya." Pasha menghela napas. Ah, susahnya membuat Tesa
mongerti.
"Karena itu dia minta kau kembali padanya!"
"Aku rasa... begitu."
Mereka diam. Setelah lewat lima menit, akhirnya Pasha tak sanggup lagi
disiksa seperti itu. Dia tidak bisa menyaksikan Tesa diam bengong seperti orang
hampir tersambar petir. Lebih ce-pat dia berlalu, lebih baik bagi mereka,
pikirnya. Kalau memang sudah kemauan Tuhan, tak bisa dielakkan.
Disentuhnya lengan Tesa. "Tes, sudilah me-ngerti. Aku kasihan padanya.
Kalau kau melihat dia, pasti kau pun akan jatuh kasihan juga."
Tesa menoleh serta menatapnya. "Apa kau masih mencintainya?"
Pasha menggeleng. "Aku tak mau menyakiti hatimu dengan jawaban apa
pun. Kalau aku bilang ya, kau pasti cemburu dan kesal. Kalau aku bilang tidak,
kau juga akan marah serta penasaran. Kedua keadaan itu akan membuat kau
tidak bahagia. Bila kau tahu aku tidak mencintainya lagi, mungkin kau akan
menunggu aku terus, menunggu sesuatu yang takkan pernah bisa terjadi lagi.
Kau akan menghancurkan masa depanmu. Tidak, Tes! Itu tak boleh kaulakukan!" te^ti
Tesa menggertakkan geraham. Sungguh dia
enyesal sudah melibatkan diri dengan pemuda itu. Kenapa dia pacaran lagi?!
Bukankah sudah diketahuihya bahwa hal itu selalu meruwet-kan hidupnya?!
Siapa pun "di atas sana" rupanya tidak suka melihatnya bahagia.
Ditatapnya Pasha dengan menantang. "Lantas, apa yang boleh kulakukan?"
"Bereskanlah sekolahmu secepatnya. Kalau tidak salah ingat, tinggal empat
bulan lagi, bukan? Setelah itu, pulanglah ke Jakarta! Lupakan-lah aku!" Pasha
mengepalkan tinjunya erat-erat seakan kesal sekali menghadapi keadaan
dirinya yang tak berdaya.
Lebih gampang disebut daripada dilakukan, pikir Tesa sinis. Pasha seolah
tercabik hatinya melihat gadis itu termangu seakan hilang akal. Seandainya dia
mau meraung atau ngamuk, ah, itu lebih baik, pikirnya. Tapi Tesa cuma diam
saja menatap karpet. Matanya kering. Bibirnya terkunci rapat.
Pasha tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Diraihnya gadis itu ke
dalam pelukannya. Dan Tesa tidak melawan maupun menyambut. Dia sungguh
seperti orang hilang pikiran!
"Tes, janganlah putus harapan, Sayang. Memang beginilah dunia. Hidup ini
cuma pang-gung sandiwara. Dan lakonnya kebanyakan tra-gis. Manusia yang

www.ac-zzz.tk
kurang beruntung seperti kita berdua, lebih banyak jumlahnya daripada mereka
yang bahagia. Tapi percayalah, Tuh
itu maha pengasih. Kesengsaraan kita takkan kekal..."
"Ya, betul!" Tiba-tiba terdengar suara Tesa dalam pelukannya. "Ambil saja
pisau...!"
"Tesa!" Pasha terpana mendengar pikiran gadis itu. Apa yang ditakutkannya
rupanya memang benar. Tesa berdiam diri saja dan itu lebih berbahaya
daripada bila dia ngamuk serta marah. Orang yang tidak bisa melampiaskan
kekesalan hatinya biasanya makan di dalam. Itu tak boleh terjadi pada gadis
yang dicintainya.
"Sekali pikiran itu tak boleh kaubiarkan mera-suki kepalamu! Aku
melarangnya!"
"Apa kau masih punya hak untuk melarang aku?" tanya Tesa mencibir, lalu
tiba-tiba dia melepaskan diri dan menyingkir ke pojok sofa.
"Tes, percayalah pada suatu hari kau pasti akan bahagia. Sekarang kau
memang marah, penasaran, dan patah hati. Tapi kelak bila kau telah
menemukan tambatan hati yang baru, pasti kau akan bersyukur, kita tidak jadi
melang-sungkan hubungan ini. Kau akan tahu, aku memang tidak pantas
bagimu. Aku sama sekali tidak pantas menerima cintamu yang tulus. Lupakanlah aku...."
Tesa menatapnya dengan tajam. Pelan-pelan. matanya berlinang. Bibirnya
menggeletar. "Ha-ruskah... haruskah... kau kembali padanya?" bi-siknya hampir
tak terdengar.
Pasha menguatkan hati dan mengangguk. "Ya. Aku tak bisa menelantarkan
orang yang
sudah mempercayakan hidupnya di tanganku.
Ingatlah, Tes, aku ini calon dokter. Masa depan-ku sedang mengalami ujian
yang berat saat ini. Kalau aku gagal, berarti aku takkan dapat menjadi dokter
yang baik bagi mereka yang butuh pertolongan. Dokter harus berani berkorban
paling banyak. Cobalah mengerti, Tes."
"Kenapa harus aku sendiri yang mengerti? Kenapa dia tidak?! Kenapa cuma
kau dan aku yang mesti berkorban?! Tidak adil! Sungguh tidak adil! Seharusnya
dia tidak meminta itu dari J engkau! Kan bisa saja dia mencari perawat seperti
yang dilakukannya dulu bagimu?! Dia tidak punya perasaan! Dia sungguh tidak
berpe-rasaan!" Lalu tiba-tiba Tesa terguguk menangis. Ditutupinya wajahnya
dengan tangan dan dari sela-sela jarinya air mata turun tak henti-henti.
Napasnya tersendat-sendat.
Pelan dan lembut Pasha mengurai kedua ta-ngannya, lalu disusutnya mata
serta kedua pip! dengan saputangannya. Dipeluknya kembali gadis itu sampai
tangisnya reda.
"Nah," katanya akhirnya sambil menatap Tesa dari jarak selengan. "Sekarang
perasaanmu sudah sedikit lega, bukan? Marilah aku antarkan pulang."
"Tak usah! Aku bisa pulang sendiri!" Tesa mengibaskan tangannya dan
berdiri. Tanpa membuang waktu lagi disambarnya tasnya dari meja, lalu berlari
ke pintu, membukanya, dan menghilang.
., menuUp pintu, bersandar di belakang-

www.ac-zzz.tk
nyI^m"WdUn8' ma'an5'a me"S" aHrturun.
Bab 12
"Aku sekarang berada di airport! Apa kau betul-betul tak mau mengubah
kembali pendirian-mu?"
"Kenapa membuang waktu, Far? Lebih baik kau lekas pergi ke ruang tunggu,
nanti keting-galan -planel"
"Jadi, kau... betul-betul keras kepala?!" Suara di seberang sana bukan main
kesal kedengaran-nya.
"Selamat jalan, Goffar!" Lalu Tesa meletakkan kembali pesawat telepon.
Ketika diangkatnya mukanya, tahu-tahu didapatinya Bos sedang membungkuk di
depannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sementara dasinya terjuntai di hadapannya bergoyang-goyang. Lirik-annya menyengat sekali ketika
dia bertanya, 'SiaPa sih Pak Goffar itu?"
Seorang pembohong!" cetus Tesa tanpa di-P'kir lagi.
nv^m" RuPanya kau sudah dibohongi oleh-tukas Bos dengan senyum penuh
arti.
"Kau tampak kesal sekali. Bagaimana kalau nanti malam kita makan
bersama?"
"Terima kasih. Tapi sebaiknya Bapak makan bersama istri saja di rumah!"
"Lho! Aku belum punya istri!" bantah Bos setengah membelalak.
"Apakah Bapak juga mau disebut pembo-hong?"
"Lho! Lho! Lho! Nanti aku mintakan surat keterangan masih bujangan dari
lurahku kalau kau tidak percaya!"
"Tak usahlah, Pak. Saya percaya sekarang."
"Makan malam itu jadi, ya?"
"Jangan sekarang, Pak. Kepala saya pusing, pikiran masih kalut."
"Baiklah. Tapi lain kali tak boleh ada alasan lagi!" kata Bos seraya memutar
badan kembali ke dalam ruangannya.
Tesa menarik napas lega. "Huh! Susah kalau dapat majikan yang masih
bujangan seperti itu, pikirnya. Hampir setiap minggu ada saja tawar-an yang
enggak-enggak. Makan malamlah, non-ton bioskoplah, mancing ke Pulau
Bidadari-lah, atau m enema ni dinas ke luar kota! Bah kan ke luar negeri juga!
Untung sejauh itu dia masih bisa mengelak.
"Pak, saya tidak bisa ke luar kota, Ibu sedang sakit!"
"Pak, saya tidak sabaran mancing-mancing, lebih baik beli saja di Pasar I
kan! Langsung dipanggang atau digoreng!"
Pak, saya lebih suka melihat video saja di rumah daripada mesti dandan
untuk ke bios* kop! Belum lagi bau rokoknya! Dan minta ampun WC-nya!"
Bagi Tesa itu cuma sekadar alasan. Tapi aki-bataya, Bos hampir saja
membeli pesawat TV dan video untuk dinikmati sehabis jam kantor! Untung Pak
Tambua yang ditugaskan mencari info soal tipe, keburu memberi bisikan pada
Tesa. Gadis itu kemudian mencari kesempatan untuk menyindir Bos, jangan
sampai hilang wi-bawa atau disebut sinting!

www.ac-zzz.tk
"Saya sih segan dimanja oleh Bos seperti se-orang kawan saya. Lebih baik
minta berhenti saja!" tukasnya ketika mereka sedang makan siang berdua di
kantin.
"Lho, dimanja kok enggak mau?! Kamu in! spesies dari bulan, apa?!"
"Habis! Pikir saja oleh Bapak. Pegawai yang dimanja oleh atasan itu pasti
akan dijauhi dan disindir-sindir sama rekan-rekan lain. Mana enak kerja dalam
suasana begitu?"
Rupanya Bos termakan juga oleh "perumpa-maan" yang mirip ancaman itu.
Video tidak jadi dibeli. Dia juga tidak begitu gencar lagi melan-carkan
manuver-lewat-jam-kantor-nya.
Tesa tersenyum scndirian. Sudah hampir tiga tahun dia betah jadi sekretaris
presdir. Dan sudah setahun dia axnan dari manuver. Rupanya mendengar
suaranya yang tegas di telepon ba-rusan, Bos kembali angot sintingnya. Biarlah.
Toh dia tahu, Bos takkan memaksa. Dia pasti khawatir nanti karyawati
kesavungannya itu akan kabur. Bos pernah bilang, dia bersedia menunggu
sampai kapan saja atau... sampai Tesa disambar orang lain?) Hiii! Takkan
pernah, pikirnya togas.
Sejak dia kembali dari Perth tiga tahun yang lalu, dia sudah bertekad tak
mau lagi terlibat cinta. Cuma bikin ruwet pikiran. Ujung-ujung-nya toh sama
saja: putus! Mungkin sudah nasib-nya mesti membujang seumur hidup. Dan
untuk seorang wanita zaman kini, itu sama sekali tidak tragis. Malah lebih
enak, hidup jadi tak banyak cincong.
Beragam alasannya kenapa dia menolak Goffar yang merengek minta visa
masuk lagi ke hatinya. Salah satunya adalah itu: dia tak mau lagi terlibat cinta!
Ketika dia baru saja kembali dari Australia, ibunya sudah memperingatkan,
"Awas dengan Goffar. Begitu tahu kau sudah balik, dia pasti akan terus
mengganggumu! Selama ini barang-kali sudah sepuluh kali dia minta-minta
alamat-mu di Perth. Katanya mau ketemu. Tapi tidak Ma mi berikan."
Betul saja dugaan ibunya. Telepon mulai sering berdering. Goffar rupanya
tidak takut membayar rekening. Terkadang sehari sampai lima kali. Walaupun
dibilang baru saja masuk ke kamar mandi dia ngotot mau menunggu.
Katanya, khawatir nanti ditinggat pergi oleh Tesa kalau pesawat dimattkan.
Tesa terpaksa melayani bicara. Tapi sejak se-mula dia sudah menyatakan
dengan togas bahwa jembatan mereka sudah musnah tcrbakar. Sampai kiamat
pun dia takkan mau kembali atau mengi/inkan Goffar balik padanya.
"Kewajibanmu sekarang adalah Shakira!"
"Aku harus menemui engkau," tuntut Goffar berkeras. "Kalau kita sudah
ketemu, pendirian-mu pasti akan berubah!"
Tesa minta ampun dalam hati. Betapa tak tahu ma I u nya pria ini, pikirnya.
Seberapa ganteng pun dia dulu misalnya, kini bagi nya masih lebih menarik
penghuni Ragunan di Pasar Minggu!
i Mula-mula Tesa tak mau ketemu. Tapi Goffar terus menteror dengan
telepon. Seisi rumah jadi kebisingan. Ayahnya mengomel terus setiap kali
pesawat berdering walaupun belum tahu itu dari siapa. Ibunya malah sampai
melonjak kaget sambil mengawasi pesawat tanpa berkutik. Tesa sadar, mereka
semua sudah kena perang saraf.

www.ac-zzz.tk
Demi ketenteraman rumah, dan sckalian mc-nyadarkan Goffar bahwa masa
lalu itu tak pernah kembali, maka dia setuju untuk bertcmu. Goffar berusaha
meyakinkan gadis itu, betapa kelirunya dia mengawini Shakira, betapa masih
dicintainya Tesa, betapa rindunya dia ingin me-nyambung kembali tali yang
sudah putus, betapa... masih puluhan "betapa" lagi.
Namun dengan tenang Tesa mengabaikan semua itu. "Masa lalu kita sudah
terkubur, Far!"
Pengaruh Goffar padanya sudah tak bersisa. Laki-laki itu memukul-mukul
dada, menangis, menjerit, memaksa, mengancam, namun Tesa tetap tak
bergeming. "Apa yang sudah dikubur, takkan pernah bisa kembali! Walaupun
kau me-neteskan air mata darah!"
Ketika dia pulang sendirian dengan mobilnya yang second-hand, perasaan
Tesa campur aduk. Senang sekaligus sedih. Hatinya senang, sebab ternyata dia
sudah bisa melepaskan diri dari Goffar. Hatinya yang dulu patah, kini sudah
terpaut lagi. Namun dia sedih juga bila teringat kemungkinan manis yang dulu
pernah diharap-kan. Ah, seandainya tak ada halangan, entah seperti apa hidup
mereka berdua kini!
Setelah pertemuan itu tak membawa hasil, Goffar mulai memaksa lewat
jalan lain. Karena Tesa sudah bilang, dia tak mau lagi menerima telepon, maka
laki-laki itu mulai mengirimkan surat kilat khusus. Lagaknya melebihi anak puber yang dilanda cinta monyet.
"Kalau kau tak mau kembali padaku, aku akan bunuh diri!" tulisnya suatu
kali.
Tesa mengembalikan surat itu tanpa komen-tar. Dia masih ingat untuk
mengirimkannya ke alamat kantor, agar rumah tangga Goffar jangan kalut
Entah bagaimana reaksi Shakira seandainya dia sampai tahu!
"Kalau kau tak mau kembali padaku, akan
kubunuh istri dan anak-anakku!"
Surat itu juga diriturnya. Tapi susulannya datang makin gencar. Akhirnya
Tesa tak mau lagi payah-payah mengembalikan. Robek saja, ma-sukkan tong
sampah! Beres. Buat apa buang uang untuk melayani orang gila, pikirnya.
Semua ancaman itu ternyata memang cuma gertak belaka. Tak pernah
dilaksanakan. Hanya yang terakhir ini rupanya dijalankan juga. Goffar
mengancam akan pergi meninggalkan keluarganya. Katanya, dia mau ke
Amerika dan takkan pulang kembali. Katanya, pada istri dan orangtua dia
bilang mau sekolah lagi. Tapi Tesa menduga, dia cuma ingin menghamburhambur-kan uang istri di luar negeri. Kalau sudah bang-krut, dia pasti akan
kembali sendiri mengemis lagi pada Shakira.
Ternyata sangkaannya itu betul. Lima bulan setelah kepergian Goffar,
istrinya menelepon Tesa nangis-nangis minta dia datang ke rumah-nya. Semula
Tesa tidak mau. Sejak pulang dari Perth, dia belum pernah ketemu Shakira.
Rasa-nya segan. Apalagi disuruh main ke tempatnya. Tapi Shakira mendesak.
Katanya dia butuh sekali pertolongan untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
Mendefigar itu, hati Tesa tergerak. Rasanya tidak tega membiarkan teman
dalam kesusahan.
"Baiklah nanti sore aku datang," janjinya.

www.ac-zzz.tk
"Sekarang!" Shakira seakan menuntut."Mana bisa, Shak. Sekarang kan jam
kantor. Sabarlah, tak lama lagi juga sore. Aku akan segera berangkat jam
setengah lima nanti."
Shakira memang menelepon ke kantor. Se-mula dia mengebel ke rumah.
Oleh ibu Tesa dia diberitahu bahwa Tesa ada di kantor. Shakira mendesak
minta nomor telepon kantor dengan alasan ada urusan yang mahapenting.
Sebenar-nya ibu Tesa segan memberikan, tapi Shakira pandai membujuk. Selain
itu, Tesa memang tak pernah memesan agar nomor telepon kantornya
dirahasiakan.
"Anakku sudah payah, Tes. Sudah tiga hari berak-berak. Rasanya kolera,"
kata Shakira di antara sedu sedan. "Kalau ditunggu sampai sore, pasti
terlambat. Kalau dia sampai huk... huk... huk... mati, gimana? Apa kau mau
me-nanggung dosanya?!"
Tesa berkeringat dingin. Digigitnya bibirnya. Temannya itu memang pintar
bicara. Siapa sih yang mau menanggung dosa seperti itu?! Tapi kenapa Shakira
tak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit?! "Kenapa tidak kaubawa sendiri,
Shak?" "Anakku yang besar sedang sakit, Tes. Eng-gak bisa ditinggal. Aku enggak
punya pemban-tu. Juga enggak... punya... uang..."
Aduh. Sungguh tidak sampai hati Tesa men-dengar kesulitan Shakira yang
bertubi-tubi. Dia jadi serba salah. Meninggalkan kantor berarti
226
kurang disiplin. Tapi membiarkan Shakira tanpa
pertolongan rasanya keterlaluan.
"Baiklah, Shak," katanya akhirnya setelah ber-perang batin beberapa saat.
"Aku akan meno-longmu. Barangkali abang atau adikku ada di rumah dan bisa
aku mintai bantuan. Kalau enggak, terpaksa aku sendiri nanti yang datang.
Tenanglah, ya." "Oh, terima kasih, Tes. Kau sungguh baik...." Tesa menutup
telepon pelan-pelan, segan mendengarkan ucapan terima kasih dari orang yang
pernah menghancurkan hatinya. Kemudian diteleponnya rumahnya. "Mam, apa
Markus ada di rumah?" "Abangmu kan tugas di puskesmas hari ini, Tes. Ada
apa?" "Kalau Daniel?"
"Barusan pergi dijemput teman-temannya. Katanya mau berenang. Ada apa
sih tumben-tumbenan mencari mereka saat begini?!"
"Enggak ada apa-apa. Cuma ini, Shakira perlu bantuan...."
"0, ya, tadi memang dia menelepon kemari." "Saya tahu. Sudah ya, Mam.
Saya lagi sibuk, nih."
Tesa terpaksa minta izin dari Bos untuk ke-luar sebentar. Mobilnya dikebut
agar lekas sampai. Menilik suara Shakira di telepon, pastilah anak itu sudah
hampir sekarat. Dan dugaannya ternyata benar.
Anak itu kurus, pucat, dan setengah tidak
OT7
sadar. Dia terbaring di ranjang di antara kainkain lapuk yang rupanya sudah lama tak pernah dicuci. Baunya bukan main.
Shakira sendiri
tidak lebih mending keadaannya. Tesa sampai keheranan dan hampirhampir tak bisa menge-nali lagi temannya dulu itu. Begitu cepatnya kecantikan

www.ac-zzz.tk
seseorang pudar direnggut derita, pi-kirnya penuh kasihan. Badan Shakira sudah
ku-rus, tak terawat Rambutnya kusam terburai-burai belum disisir, mukanya
penuh lemak be-lum dicuci. Dia pasti belum mandi, pikirnya. Kemudian dia
tahu sebabnya.
"Umur berapa anak ini, Shak?"
"Setahun lebih."
Tesa lupa menegaskan lebihnya berapa, tidak tahu bahwa di rumah sakit
mereka akan melit sekali mau tahu lebih berapa bulan
"Kalau betul kolera, mestinya kakaknya ja-ngan dibaringkan di ranjang yang
sama," kata Tesa menunjuk anak laki-laki yang tengah mengawasi begitu apatis
dari sudut ranjang, de-ngan matanya yang cekung.
Kalau dihitung-hitung, mestinya anak itu sudah hampir tujuh tahun atau
bahkan lebih. Ke-tika dia berangkat ke Perth, Shakira sudah ha-mil. Dia
memang sudah mengandung sebelum pernikahan. Tapi anak suluhgnya
kelihatan se-perti balita. Gizinya buruk sekali. Kenapa begitu? pikir Tesa heran.
Bukankah Shakira itu anak orang kaya?! Bukankah karena itu maka Goffar jadi
kepincuk padanya?! Tesa yang miskin mana ada harapan untuk bersaing! Kan begitu sindir Shakira dulu pada
seorang teman
|hereka yang menyampaikannya lagi padanya.
"Ranjang anak-anak sudah aku jual. Terpaksa kami tidur bertiga di
ranjangku ini."
"Tapi dia bisa ketularan."
"Dia sudah ketularan," sahut Shakira pasrah. "Cuma enggak segawat
adiknya."
Tesa tidak suka mendengar nada suara Shakira yang begitu memelas. Dia
ingin cepat-cepat berlalu dari situ.
"Sebaiknya anak ini diseka dulu dengan lap hangat sebelum aku bawa," kata
Tesa yang se-benarnya merasa jijik melihat kotornya anak itu serta mencium
baunya yang amis. Sejak tadi dia memaksakan diri jangan sampai muntah.
"Aku tak punya uang untuk beli air, Tes," keluh Shakira. "Masih ada sisa
sepanci, cuma untuk minum...."
"Kau tak punya pompa?"
"Pompa listrik sudah lama rusak. Goffar enggak mau membetulkan. Oh! Dia
tak mau meng-urus apa pun. Yang diingatnya cuma..." Shakira menghentikan
bicaranya seakan takut telanjur. Tapi tangannya yang terkepal dan matanya
yang mendelik ketika menatap Tesa membuat gadis itu paham apa kelanjutan
kata-katanya.
"Kalau aku tak salah lihat tadi, di halaman depan ada pompa tangan, bukan?
Apa itu juga sudah macet?"
"Aku tak kuat memompanya, Tes," keluh Shakira menunduk.
Oooh! Dasar anak orang kaya, pikir Tesa. geregetan. Memompa air pun tak
mau! Padahal keadaan sudah gawat. Tapi ketika diperhatikan-nya Shakira
sekali lagi diam-diam, Tesa meng-hela napas. Barangkali dia tidak berdusta.
6a-dannya yang kurang makan itu pasti sudah tak punya tenaga untuk kerja
seberat itu.

www.ac-zzz.tk
Dia menyesal tadi begitu terburu-buru se-hingga kelupaan membeli makan
an. Tapi dia sungguh tidak menyangka bahwa keadaan Shakira sudah begini
fatal.
Anak yang sakit berat itu jelas mesti dibawa ke rumah sakit dengan segera.
Tapi anehnya, Shakira tidak kelihatan terburu-buru.
"Baiklah kalau tak ada air, cukup diganti saja pakaiannya. Aku rasa yang ini
sudah penuh kotoran. Aku tunggu di luar, ya."
Tesa melangkah ke ruang depan tanpa menunggu reaksi Shakira sebab dia
sudah tak tahan dengan bau kamar tidur itu. Setiba di depan, barulah dia
berani menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi yang,
kelihatan sudah tak terawat, walaupun benda itu dulu pasti termasuk mahal.
Ketika dia menoleh mendengar langkah, be-tapa terkejutnya dia melihat
Shakira di bela-kangnya. Ternyata perempuan itu telah meng-ikutinya keluar
dan kini berdiri di depannya. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba
230
Shakira sudah menudingnya dan suaranya penuh dendam.
"Ini semua gara-garamu! Coba kau mau me-nerima kehendak Goffar, dia
pasti takkan pergi ke luar negeri! Aku rela dimadu atau diceraikan asal dia
tetap di sini. Dalam keadaan begini, aku pasti masih bisa minta bantuannya!
Tapi gara-gara kau sok jual mahal dia sekarang pergi!!! Kau kini yang harus
menanggung semua biaya perawatan anakku! Hu... huk... huk... kalau dia
sampai mati, aku bunuh kau!" Shakira menangis tersedu-sedu.
Tesa tercengang mendengar tuduhan itu, sehingga dia tidak sanggup
menanggapi. Dia duduk terpaku, diam membisu seperti boneka batu. Suara
tangis Shakira makin rawan me-nusuk telinga. Ketika perempuan itu tiba-tiba
jatuh mendeprok di lantai, barulah Tesa seakan terjaga dari mimpi yang
kelewat buruk. Dia tidak tahu apakah Shakira hampir pingsan atau-kah sengaja
menjatuhkan diri. Dalam kagetnya dia tergesa-gesa bangkit dari kursi, lalu
meng-hampiri. Palutan baju lusuh yang apak baunya itu dipeluknya sambil
bibirnya mengucapkan kata-kata hiburan tanpa disadarinya.
"Sudahlah, Shak. Kuatkan hatimu. Tenanglah. Pikirkan anak-anakmu yang
sedang sakit. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku. Lu-pakan dulu halhal lain."
"Oh, Tes, maafkan aku. Maafkan kata-kataku barusan."
Tesa mengangguk.
"Kau mau memaafkan, bukan? Kau tela me-maafkan aku, bukan? Aku benarbenar enggak sengaja menyakiti hatimu. Itu cuma luapan
perasaan_" Shakira menatapnya dari balik air
mata.
Tesa mengangguk. "Aku tahu," katanya pelan. "Oh, Tes, seandainya saja kau
sudi menerima Goffar kembali..."
"Itu tidak mungkin, Shak. Lebih baik seka-rang secepatnya aku bawa
anakmu...," kata Tesa mengalihkan percakapan. Dia sebenarnya sangat
khawatir akan keadaan anak yang sudah pucat kebiruan itu. Tapi ibunya seakan
tidak mendengar.

www.ac-zzz.tk
"Kenapa, Tes? Karena kau tak mau menyakiti hatiku? Itukah alasanmu? Tidak
mengertikah engkau, dengan penolakanmu itu kau telah lebih menyakiti aku
dan anak-anakku? Akibat buruknya akulah yang mesti menanggung! Kau sih
enak saja, bebas, gembira!"
"Shakira, kalau kau mau terus mengungkit-ungkit peristiwa itu, sebaiknya
aku pergi saja sekarang!" ancam Tesa yang akhirnya menjadi kesal dan hilang
sabar.
"Jangan, Tes! Kau rela menjadi pembunuh anakku?" Shakira menatapnya
dengan mata membara, dan Tesa melengos, tak mau mela-deni.
"Aku cuma kesal, Tes. Aku tahu kau menolak Goffar hanya lantaran kau
sombong! Ya, kau
mau menunjukkan, kau tak perlu cintanya lagi! Kau bisa hidup tanpa dia!
Maaf, Tes, aku terpaksa meluapkan semua ini supaya hatiku le"Shak, di mana ibumu?" tanya Tesa dengan sisa kesabaran yang tipis dan
tekad untuk mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba meledak lagi tangis Shakira. Lebih merawankan dari tadi. Dadanya
turun-naik, na-pasnya tertahan-tahan.
"Dia... dia... sudah lama meninggal! lima ta-hun yang lalu!"
"Oh! Dan ayahmu?"
"Dia sudah kawin lagit Oh, Tes, kalau ibuku masih ada, pasti aku takkan
sengsara kayak
beginil" keluhnya sambil menyusut mata.
"Kenapa kau tidak minta bantuan pada ayahmu?"
Tapi Shakira kembali tersedu sedan lebih he-bat lagi, sehingga Tesa
khawatir takkan berhenti sebelum kiamat.
"Man pindah ke kursi," katanya sambil meng-angkat Shakira setengah
dipaksa dan membim-bingnya ke kursi.
Tangisnya kini agak mereda. Diangkatnya se-dikit ujung roknya, lalu
dibersitnya ingusnya. Tesa menunduk sebab tidak tahan melihat pe-mandangan
itu. Rasanya daging rendang yang tadi siang dimakannya sudah bersiap di ulu
hati mau melejit keluar.
Shakira menghentikan tangisnya, lalu memandang Tesa. Matanya yang merah dan sembap tidak membuat wajahnya yang
kumuh sedikit lebih menarik. Kebalikannya malah.
"Tes, maukah kau mendengar kisah riwayat hidupku?"
"Lain kali, Shak. Sekarang yang penting, anakmu dulu!"
"Tidak!" Shakira menggeleng. "Sebaiknya sekarang saja. Aku harus
menceritakannya pada-mu! Kalau kau sudah mendengar betapa besar
kesengsaraanku, barangkali kau akan rela meng-ampuni semua dosaku
padamu!"
"Sudah kuampuni, Shak. Biarlah kubawa anakmu sekarang juga!"
Tesa sibuk setengah mati ingin segera berlalu. Tentu saja dia tak mau
menanggung dosanya seandainya kelak terjadi apa-apa dengan si sakit
Tapi Shakira tak bisa dibantah. Sejak dulu dia memang selalu mesti dituruti
kemauannya. Maklum anak tunggal dari orangtua kaya! Ka-rena tak ada jalan

www.ac-zzz.tk
lain, terpaksa Tesa duduk siap mendengarkan. Pikirnya, makin cepat di-mulai
makin baik, agar tidak terlalu banyak waktu terbuang percuma. \ "Tes, ayahku
sejak semula memang tidak me-nyetujui perkawinanku. Katanya Goffar itu pemalas dan kawin cuma karena harta ayahku. Sayang aku tidak mau percaya dan
baru me-nyadari sekarang setelah terlambat. Waktu ibu-ku masih ada, keadaan
kami lumayan, sebab
ibuku diam-diam selalu memberi sumbangan. Kami tidak sampai
kekurangan. Tapi setelah Ibu meninggal dan ayahku kawin lagi, sokongan pun
berhenti. Setiap kali aku minta bantuan, ayahku malah mengejek. Ibu tiriku
juga ikut-ikutan mencemooh. Akhirnya aku tak pernah datang lagi. Habis
percuma. Uang tak dapat, tapi aku malah dihina oleh mereka. Kerja Goffar
memang tak tentu. Dia keluar-masuk kantor te-rus. Sebentar-sebentar
berhenti, lalu pindah lagi. Alasannya selalu sama, gaji kurang. Habis, dia tak
punya kepandaian khusus, masa mau meng-harapkan gaji besar? Dia marah
kalau aku kritik begitu. Dan sejak tahu, kekayaan ayahku takkan jatuh ke
tanganku, dia mulai kasar padaku sejta anak-anak juga. Intan berlian
peninggalan ibuku satu per satu dijualnya. Uangnya cuma sebagian saja
diserahkannya padaku, sebagian besar dipergunakannya sendiri untuk foyafoya. Dia malah pernah punya pacar. Perempuan itu begitu kurang ajarnya
sampai berani datang ke sini, mencarinya!
"Setelah perhiasan tak bersisa lagi, deposito ibuku mulai digerogoti.
Terakhir, dikurasnya semua untuk dibawa ke luar negeri! Sekarang aku tak
punya duit sepeser pun! Hadiah-hadiah kawin satu per satu aku tawarkan ke
tetangga. Cangkir-cangkir, piring-piring mahal... paling laku tiga ribu, lima
ribu, padahal harga sebenar-nya tiga-empat kali lipat. Mereka tahu aku bu-tuh,
mereka sengaja menekanku. Mereka beragak tak memerlukan barang-barang itu, pada-hal aku lihat mata mereka
hijau kesenangan! Yah! Sekadar untuk menangsel perut. Kalau
hadiah-hadiah itu pun sudah habis, en tan gi-mana lagi nasib kami nanti!"
Shakira mengeluh panjang seperti lokomotif kereta api dalam per-jalanannya
yang terakhir.
Tesa melongo mendengar kisah itu, sampai dia terlupa bahwa dia tak boleh
lama-lama di situ.
"Kau mau aku carikan kerjaan?" tanyanya se-saat kemudian ketika
semangatnya sudah ter-kumpul lagi.
"Aku tak bisa meninggalkan anak-anak!" ke-luh Shakira dengan suara fatal.
"Kalau ada pembantu, tentu kau bisa meninggalkan mereka. Mau aku
carikan pembantu?"
"Tapi aku bisa kerja apa, Tes? Ijazahku cuma SMA doang. Belajar ngetik, aku
malas. Tata bu-ku dan akuntansi memang kelemahanku sejak dulu. Aku pernah
duduk di bangku sastra Ing-gris setahun, tapi aku enggak sanggup menerus-kan.
Terlalu banyak kata-kata asing yang sukar aku hafalkan!" Shakira menunduk
memperhati-kan jari-jari tangannya yang kurus dan keriput.
Tesa diam-diam mengeluh sendiri. Susah juga kalau terlahir sebagai anak
orang kaya, namun bernasib paria!

www.ac-zzz.tk
"Kalau begitu sebaiknya kau mencari pekerja-an yang bisa kauselesaikan di
rumah!"
"Ah, kerja apa?" keluhnya tanpa minat.
"Hm. Apa, ya?" Tesa berpikir1 sejenak, lalu J menepuk dahinya. "Aku tahu!
Konveksi! Kau pasti bisa menjahit, bukan? Tetangga bibiku
membuka..."
"Tapi aku tak bisa menjahit!" potong Shakira memutuskan harapan Tesa
untuk menolongnya. "Aku tak pernah menginjak mesin jahit seumur hidupku!
Semua bajuku biasa dibawa ke tukang jahit. Kalau yang robek-robek atau lepas
kan-cingnya, itu urusan ibuku. Yah! Memang aku sedikit menyesal kenapa dulu
tak mau belajar! Tapi sekarang sudah terlambat!"
"Kenapa terlambat? Kau kan bisa belajar?"
"Aku tak punya mesin! Mesin ibuku sudah diambil oleh ibu tiriku!"
Huh! Tesa mengerti tak ada gunanya mem-perpanjang masalah itu. Shakira
memang sudah tak mau bekerja. Dasar biasa dimanja, keluhnya dalam hati.
Tapi, lantas dari mana mau diper-olehnya uang untuk makanan anak-anaknya?!
"Lalu, rumah ini kausewa?"
"Oh, ini diwariskan Ibu padaku. Dulu kan orangtuaku .tinggal di sini. Waktu
ayahku ka-win lagi, dia pindah ke rumah baru. Rumah ini memang atas nama
ibuku. Kami berdua lantas pindah dari rumah kontrak ke sini setelah ibuku
tiada."
Masih untung, pikir Tesa. Jadi dia takkan sampai diusir orang ke jalanan.
Tega betul ayah-nya menyepak Shakira seperti itu! Walaupun mula-mula
perkawinannya tidak disetujui, tapi
setelah ada dua orang cucu, sepantasnya kan
mereka diampuni? pikir Tesa tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa sih ayahmu begitu and pada suamimu?" Dia sengaja
menggunakan panggilan itu, sebab rasanya tidak sreg untuk menyebut nama.
Shakira menghela napas. Matanya berkilat ta-jam. "Salah Goffar juga, sih!"
serunya keki. Ru-panya dia sudah tak mau lagi membela suami.
"Sekali dia memalsukan tanda tangan ayahku di atas cek seharga dua juta!
Sudah diampuni. Eh, dilakukannya lagi kedua kali. Lima belas juta! Naik
pitamlah ayahku. Dia tidak diakui menantu lagi. Ayahku mengirim surat pada
mertuaku, menyatakan putus hubungan. Dan aku disuruh memilih: ayahku atau
Goffar. Sial-nya, kenapa aku sampai memilih dia! Jadilah aku pun ikut tidak
diakui lagi sebagai anak!"
Tesa terdiam dengan hati kecut. Kiranya begitu sebabnya! Tidak dinyana
tidak disangka begitu rendahnya Goffar! Dan dia masih berani-berani merayu
serta memaksanya untuk kembali?! Apakah laki-laki itu betul-betul tak punya
malu?!
"Yah! Aku perlu biaya banyak, Tes. Untuk membayar utang ke sana-sini. Aku
sudah me-nunggak rekening listrik enam bulan! Rumah ini pun rasanya hams
aku jual, Tes! Begitu ada yang cocok harganya, pasti aku lepas."
"Sudah ada yang menawar?"
"Belum. Habis tak ada lagi teman atau kenalan yang datang kemari."

www.ac-zzz.tk
"Kenapa enggak pasang iklan?"
"Aku tak punya uang."
"Mau aku tolong pasangkan?"
Seketika itu Tesa melihat Shakira mau mengangguk. Namun entah kenapa,
tahu-tahu dia menggeleng.
"Tanpa iklan, takkan ada orang yang tahu. Sampai kapan rumah ini akan
terjual?"
"Ah, aku tak mau menyusahkan engkau!"
"Enggak, kok. Aku tinggal minta tolong orang kantor yang biasa mengurus
pemasangan iklan-iklan perusahaan kami."
"Ah, nanti aku jadi berutang budi padamu! Belum lagi soal pengobatan
anakku nanti...."
Tesa mengeluh dalam hati. Dalam keadaan kepepet begini masih mau
bersombong-sombong!
"Itu gampang diatur, Shak. Nanti kalau rumah ini sudah terjual, kau bisa
membayar kembali ongkos pemasangan iklan itu. Bagaimana?"
Tesa tidak tahu, justru itu yang ditakutkan oleh Shakira! Lama dia terdiam.
Tesa menegas-kan dua-tiga kali, tapi dia tetap tidak menyahut. Setelah disepak
berulang-ulang, barulah dia ber-sedia buka mulut.
"Berapa... yang akan kauminta nanti?"
Tesa tercengang tak mengerti. Jadi dia tak bisa menyahut selain, "Apa
maksudmu?"
"Kau tahu, dalam jual-beli rumah, perantara
selalu mendapat dua persen dari penjual dan
dua persen dari pembeli, tapiii... aku rasanya tak sanggup memberimu lebih
dari... ehm... setengah persen!"
"Oh, Shakira!" seru Tesa antara sebal dan ka-sihan. "Aku mau memasangkan
iklan itu se-mata-mata untuk menolongmu! Aku tidak ingin menjadi perantara
dan kau tak perlu memberi aku sesen pun!"
Barulah sekarang Shakira kelihatan lega dan mau dipasangkan iklan. Tesa
bangkit lalu me-ngeluarkan dompet dari tas gantungnya.
"Aku rasa sudah saatnya anakmu kubawa. Kau tentunya perlu uang juga
untuk nanti me-nengoknya. Ini lima ribu." Tesa menyodorkan selembar lima
ribuan, tapi Shakira menolak.
"Ah, tak usah. Jangan. Aku takkan mene-ngoknya, kok. Aku rasa tidak perlu.
Di sana dia akan dirawat dengan cukup baik, bukan? Dan kau nanti^mau
membawanya pulang kembali, kan?"
"Kalau aku sempat, boleh saja. Tapi kau sendiri pasti perlu uang juga untuk
sehari-hari. Anakmu yang sulung itu perlu banyak buah-buahan dan obat Ayo,
ambillah. Jangan sung-kan."
Tesa menjejalkan uang itu ke telapak tangan Shakira.
"Karena kau begitu memaksa, baiklah!" katanya menghela napas seakan
terpaksa. "Tapiii...
24n
kalau begitu, gimana kalau aku sekalian saja
minta pinjam... dua puluh ribu?"

www.ac-zzz.tk
Bagian gawat darurat pada jam begini biasa-nya sepi. Tapi siang itu
kebetulan ada tabrakan
berantai. Tiga mobil sekaligus saling cium. Yang jadi korban lima orang, dua
di antaranya parah sekali.
Di tengah keributan begitu muncul Tesa dengan kostumnya yang apik dan
sepatunya yang canggih, menggendong seorang balita yang de-kil banget.
"Mungut di mana, Bu?" tanya seseorang kehe-ranan.
"Huss!" sergah temannya mungkin. "Jangan-jangan itu anaknya sendiri!
Dibilang mungut!" "Habis! Seperti gembel dari emperan warung,
sih!"
"Ketabrak apa, Bu?" tanya seorang suster yang tengah sibuk pegang gunting
dan perban. Dia cuma menoleh sekilas.
"Muntaber," sahut Tesa dan beberapa orang yang sudah berkerumun,
mendadak jadi ming-gir, rupanya takut ketularan. Sebagian malah sudah
menutupi hidung dengan tangan.
"Taruh saja di situ," perintah suster itu sambil menunjuk dipan kosong
dengan dagunya. Tesa cepat-cepat menurut. Dia khawatir anak itu
nanti mencret lagi dan kena pakaiannya. Dia kan masih harus kembali ke
kantor....
Seorang perawat senior muncul dari ruang sebelah dalam. Matanya yang em
pat segera tahu bahwa Tesa tadi belum menjelma di situ. "Kenapa?" tanyanya
mendongakkan muka. "Muntaber, Suster. Tolong cepat di..." bisik Tesa yang
sudah makin khawatir melihat anak itu diam saja. Sejak di mobil tadi, dia tidak
bergerak seinci pun dari tempatnya di bangku belakang. Dia sungguh khawatir
jangan-jangan pertolongan sudah terlambat.
Perawat gemuk setengah umur itu melirik sekilas lalu dengan tenang
menyalahkan. "Kenapa baru dibawa sekarang, Bu? Anaknya sudah
soporokomateusr
Tesa makin ketakutan. Dia tak usah mengerti istilah yang dikatakan tadi,
sebab wajah suster itu sudah menjelaskannya. Dia kini mengambil sehelai kartu
merah, lalu duduk di belakang meja tanpa menyilakan Tesa ikut duduk. Di situ
memang tak ada kursi lain. Kursi kedua telah diisi oleh perawat yang tengah
sibuk main gun-ting dan perban merawat seorang pemuda yang rupanya salah
satu korban tabrakan berantai tadi.
Terpaksa Tesa berdiri di depan meja.
"Nama orangtua?" tanya perawat, siap dengan bolpen.
"Goffar!" sahutnya tak bisa berpikir lama-lama. Suster itu kelihatannya sibuk
banget.
Tubuhnya bergoyang-goyang, seakan setiap saat
mau bang kit terus dari kursi. "Nama pasien?"
Mati, nih! Aku lupa menanyakan siapa nama-nya! Shakira juga tidak
memberitahu. Gimana ini? Suster menatap dari balik belingnya dengan
sedikit he ran. Tentu saja aneh kalau dia tak tahu siapa nama anak yang
dibawanya. Salah-salah dia bisa dituduh menculik....

www.ac-zzz.tk
Dalam keadaan bingung, cuma satu nama yang muncul dalam benaknya. Itu
pun karena nama itu memang tak pernah absen dari pikir-annya, walau dalam
tidur sekalipun.
"Pasha!"
"Umur?"
"Setahun lebih."
"Berapa bulan?"
Ini sih mirip Cerdas-Cermat, pikirnya. Dia tidak dibcri kesempatan lama
untuk berpikir. Karena anak itu kelihatan kecil dan kurus, maka sekenanya saja
dia menebak.
"Empat bulan."
"Setahun empat bulan," gumam suster sambil menu lis. Lalu menyusul
ditanyakan a la mat, dan pekerjaan orangtua. Setelah itu riwayat penya-kit. Di
sini Tesa terpaksa mengarang bohong saja, habis daripada gelagapan terus
seperti orang bego.
Setelah suster merasa puas dengan wawan cara itu, barulah dihamplrinya
sang pasien.
"Anak ini mesti diopname, Bu."
anJ
Itu sudah diduganya. Tapi berapa lama?! Soalnya, dia yang haras
menanggQng, jadi mesti I disiapkannya biaya yang cukup.
"Berapa lama, Suster?"
"Oooh, sudah gawat begini, paling sedikit se- puluh hari! Itu, kalau dia
enggak jalan ma lam mi juga!"
Tesa merinding mendengar nya. Dalam hati dia berdoa semoga Tuhan
berbelas kasihan pada anak yang malang itu.
"Tolong Suster, dirawat sekarang juga."
"Ya, sana, pergi ke kasir dulu, bayar uang jaminan!" Lalu suster berjalan
pergi meninggal-kannya tanpa kesempatan membantah atau ber-tanya.
Terpaksa Tesa berlalu, setelah tanya sana-sini di mana letak kasir. Dia tidak
membawa uang banyak. Dua puluh ribu sudah diberikannya pada Shakira. Yang
tersisa mungkin cuma tiga puluhan. Mudah-mudahan boleh sebagai uang muka.
Sisanya akan disetorkannya besok. Un-tung hari ini dia membawa uang begitu
banyak. Biasanya tak pernah lebih dari dua puluhan, sebab tak ada keperluan.
Paling-paling untuk uang bensin atau jaga-jaga siapa tahu mobilnya mogok di
tengah jalan lalu perlu bantuan dido-rong. Selain itu, tak ada keperluan apaapa. Se-pulang kantor, dia hampir selalu langsung ke rumah. Pada jam istirahat
siang, rekan-rekannya senang berkeliaran di bawah, di pusat pertoko-an.
Kantor mereka terletak di tingkat kedua
puluh enam. Terkadang dia ikut juga, tapi cuma
sekadar melemaskan otot-otot kakL
Sebenarnya kasir menuntut paling, sedikit se*.--paro dari perkiraan ongkos
perawatan. Tesa memohon pertimbangan. "Ini peraturan, Bu. Uangnya bukan untuk
saya!" sahutnya ketus.

www.ac-zzz.tk
"Saya tahu," ujar Tesa sesabar mungkin. "Tapi saya telanjur cuma membawa
uang segini. Besok pagi akan saya serahkan sisanya."
Kasir yang kurus dan nyureng itu menatap Tesa dari balik kacamata yang
melorot turun. Ditaksirnya baju Tesa yang rapi serta dandanan-nya yang
anggun. Bukan orang miskin, pikir-nya. Tapi, siapa tahu?! Kaya, miskin, kalau
ada kesempatan lari tanpa bayar, semua mau! pikir-nya.
"Ada KTP?"
Tesa mengangguk, mengeluarkan benda ituI dan menyerahkannya. Kasir
mencatat KTP itu dengan teliti. Keningnya berkerut beberapa kali dan Tesa
ketawa dalam hati: rasain!sebab angka-angka dari komputer itu banyak yang
tak terbaca, buram cetakannya.
"Tapi besok pagi sisanya mesti betul-betul di-serahkan, ya?!" ancam kasir
sambil mengembali-kanKTP.
Tesa mengangguk setengah mau bersumpah. Setelah selesai membayar, dia
balik bergegas ke ruang gawat darurat. Dilihataya di kaki "Pasha"
sudah terpasang infus, sehingga dia merasa lega sedikit.
Perawat senior itu muncul kembali dari dalam. Tesa memperlihatkan tanda
bayar. Perawat membelah dua kertas itu pada bagian yang di-tandai, lalu
menahan sebelah. Belahan yang lain dikembalikannya.
"Bolehkah saya pulang sekarang?" tanya Tesa. I "Tidak man ditunggui?"
"Saya harus ke kantor."
"Baiklah kalau begitu. Alamat dan nomor telepon sudah Ibu berikan tadi,
bukan?"
Tesa mengangguk, lalu berbalik dan melang-kah pergi. Baru kira-kira
beberapa meter, dia merasa seakan namanya dipanggil. Tapi karena di situ
penuh orang, dan dia yakin tak ada yang mengenalnya, maka disangkanya orang
Iain yang dipanggil. Mungkin nama orang itu bunyinya kebetulan mirip dengan
"Tesa", pikir-nya.
Namun sebenarnya dia agak keliru. Memang namanya yang dipanggil. Dan
orang yang me-manggilnya jadi termangu ketika gadis itu tidak menoleh. Orang
itu kebetulan keluar dari ruang dalam ketika Tesa pas membalikkan badan.
Sesaat dia tertegun seakan kurang yakin akan penglihatannya. Tapi kemudian
dia berseru tertahan, "Tesa!"
Ketika gadis itu terus saja melangkah, dia menarik napas seakan mengeluh.
Perawat yang
sejak tadi memperhatikan di sebelahnya, kini. menyodorkan kartu merah ke
depan wajahnya.
"Dokter Solem, itu pasiennya."
Yang dipanggil menoleh, lalu berdehem untuk menghilangkan salah
tingkahnya barusan.
"Muntaber? Setahun empat bulan?" Tiba-tiba dia berhenti membaca.
Bibirnya setengah ter-buka, matanya nyalang menatap tulisan suster. Goffar!
Pasha! Jadi, tidak salah! Barusan dia bukan bermimpi!
Ah! Dia kembali pada Goffar!
"Ada apa, Dok?"

www.ac-zzz.tk
"Oh, eh, anu, Suster Rani, coba bawa kemari
tensimeter!"
alat pengukur tekanan darah
247
Bab 13
Karena repot sekali, Tesa tidak bisa keluar kantor. Markus dan Daniel juga
sibuk dengan urus-an mereka sendiri. Terpaksa dia minta tolong kurir di kantor
untuk menyetorkan uang ke rumah sakit.
Siangnya dalam rapat, Bos menugaskan Tesa pergi ke Bandung bersama
kepala pemasaran untuk mengecek problem-problem yang ber-sangkutan
dengan pembentukan kantor cabang.
Ketika Tesa kelihatan mengerutkan kening, Bos yang sangat sayang padanya
mengira bah-, wa gadis itu enggan berpisah darinya. Dia se-gera ketawa lebar.
"Paling lama cuma tiga hari, Tesa," katanya menenteramkan, padahal Tesa
tengah memikirkan bahwa dia takkan bisa menje-nguk "Pasha" kalau begitu.
Sorenya dia ngebel Shakira memberitahukan hal itu.
"Aku pergi kira-kira tiga hari, Shak. Uang jaminan sudah aku setorkan. Kau
masih punya uang untuk menengok anakmu?"
Shakira menggumamkan sesuatu yang tidak
jelas. Tesa beranggapan bahwa dia masih punya
uang.
"Kalau ada kebutuhan mendesak selama aku pergi, kau minta tolong
abangku,saja. Nanti aku
kasih tahu dia."
Urusan di Bandung ternyata bertele-tele. Tesa dan kepala pemasaran baru
bisa pulang setelah* hari kelima. Sementara itu perawat dan dokter sama-sama
menunggu kedatangan ibu si "Pasha", walaupun masing-masing dengan alas-an
yang berbeda.
"Belum ditengok juga, Sus?" tanya Dokter Solem pada suatu pagi.
"Belum nih, Dok. Tahu tuh, ke mana ya ibu-nya? Apa anak ini mau ditinggal
di sini? Ibunya sih kelihatan kayak orang berduit, tapi mana tahu ya, Dok, kalau
misalnya enggak halal...."
"Husss!" protes sang dokter.
"Eh, benaran deh, Dok. Tuh, di bagian ber-salin, ada pasien yahud, deh.
Penampilannya meyakinkan, alamatnya juga di daerah bebas banjir. Pokoknya,
orang kaya, deh. Eh, tahunya dia kabur, bayinya ditinggal. Waktu disamperin,
ternyata sudah pindah. Lalu tanya sana-sini, baru ketahuan, rupanya hasil
hubungan tidak sah! Sekarang bayi itu diambil sama Dokter Bujang. Nah, siapa
tahu yang ini...?!" Suster Rani meng-angkat bahu ketika mendapati dokternya
tidak meladeni, asyik membaca status.
Sebenarnya dia tengah menghafalkan nomor telepon. Sejak hari pertama
Dokter Solem sudah
lor lah
kepingin menghubungi ibu si "Pasha". Tapi selalu saja banyak paramedis di
dekatnya, sehing-ga dia tidak berani mengangkat telepon. Juga memang tak
ada alasan baginya untuk ngebel. Tapi sekarang, dirasanya alasan itu sudah ada

www.ac-zzz.tk
dan cukup mendesak! Anak itu sudah bisa di-pulangkan! Kenapa Ibu tidak juga
datang mene-ngok?!
Tapi dia tetap tidak berani menelepon dide-ngarkan oleh perawat. Kalau
yang disiarkan itu apa adanya, masih mending. Tapi kalau yang tertangkap
kuping itu cuma sepotong-sepotong
seperti teka-teki, lalu yang kosong mau diisi dengan karangan sendiri oleh
Suster Rani, wah, ampun!
Sorenya, ketika Suster Rani sudah pulang dan penggantinya yang lugu dan
kupluk sedang sibuk membaca laporan di kamarnya, Dokter Solem pun nekat.
Setelah yakin takkan ada pasien baru yang akan mengetuk pintu, dan rekanrekan semua sudah sirna dibawa lari mo-bil masing-masing, maka
dijatuhkannya tubuh-nya ke atas kursi. Setelah mengucap wan-tu-tri (kebiasaan
ngebrek di rumah!), diangkatnya telepon lalu diputarnya nomor yang sudah
diha-falkannya seratus kali.
Agak lama berdering tanpa ada yang mengangkat. Jangan-jangan dia tidak
di rumah, pikir-nya mulai berkeringat dingin. Tapi kan pasti ada orang lain!
Misalnya pembantu! Ya, pasti ada pembantu. Mungkin sedang sibuk atau
tanggung menyetrika. Oh, tidak, sedang me-masak air, tak boleh ditinggal.
Sebentar lagi dia pasti datang terbirit-birit mengangkat telepon
ini.
Namun detik demi detik berlalu. Harapannya sia-sia. Di rumah itu memang
tak ada orang
rupanya. Dilihatnya arloji. Pasti dia masih di kantor! Baru jam tiga lewat.
Tapiii, masa sih rumahnya kosong sama sekali?! Tak masuk akal Goffar akan
membiarkan istrinya bekerja di kantor tanpa pembantu di rumah!
Ketika dia sudah hampir menyerah, tanpa harapan, mendadak pesawat
diangkat, lalu ter-dengar suara setengah membentak, "Ya, halo!"
"Selamat sore..." Brengsek, aku mau bilang apa, nih! Hm. "Pak Goffar ada?"
Suara di seberang sana mendadak jadi jelaS sekali membentak. Aduh,
judesnya! Inikah Tesa sekarang?!
"Tidak ada! Ini dari mana?"
"Dari rumah sakit! Saya Dokter Solem."
"Oh."
Apakah dia mendengar nada khawatir sedikit?
"Saya istrinya. Ada apa, Dokter?"
Sungguh. Suaranya melunak sedikit. Sedi-kiiit... tapi masih lebih kasar dari
yang diingat-nya dulu. Atau barangkali dia sendiri yang sudah pikun?
Mungkinkah mengingat suara orang setelah lewat sekian tahun?
"Anu, Bu. Anak Ibu sudah bisa diambil kembali..." Niatnya untuk menegur kenapa tak pernah ditengok, batal. Dia tidak
punya keberanian untuk mengatakannya. "Kapan, Dokter?"
Tidak kedengaran dia bergembira? Enggak halal?! Ah, si Rani itu memang
paling bisa nge-cor gosip! Lidahnya kelewat panjang!

www.ac-zzz.tk
"Kapan saja. Sore ini. Atau besok. Ya, lebih balk besok saja. Temui saya
dulu. Ya, saya masih perlu memberikan resep. Ya, besok. Jangan lupa, temui
saya dulu!"
-Ketika pesawat sudah diletakkan kembali, barulah disadarinya bahwa
tubuhnya mandi keri-ngat Astaga! Apa-apaan ini?! pikirnya jengkel namun geli.
Maju ujian pun tak pernah begini senewen! Apa lagi besok?!
Apakah Tesa masih mengenalinya? Bagai-mana kalau dia menyangkal kenal?!
Aduh, be-tapa malunya dia kalau Tesa merasa keheranan, mengaku tak pernah
ketemu. Terlebih kalau dia datang dengan suami, dan Goffar melecehinya!
Bagaimana mau dipertahankannya gengsinya kalau itu terjadi?!
Tiba-tiba dia berharap matahari takkan ter-benam sore ini, sehingga hari
berikutnya bisa ditunda....
***
Sementara itu Shakira tidak meletakkan telepon, melainkan cuma menekan tombol, lalu
langsung memutar nomor kantor Tesa.
"Halo, boleh bicara dengan Nona Tesa?" ' "Oh, dia masih belum pulang dari
Bandung, Bu. Ini dari mana? Mau titip pesan?"
Dengan kesal Shakira membanting telepon tanpa meladeni.
K"^\
Esoknya, dia spesial mengambil waktu dua jam untuk bersolek dengan rapi.
Anak sulung-nya sudah sembuh dari demam dan mencret, tapi masih lemah.
Dititipnya anak itu pada te-tangga sebelah kiri yang lebih sederhana dan tidak
keberatan menolong. Tetangga sebelah kanan tak pernah dikenalnya.
Rumahnya yang mewah bertingkat tiga itu selalu kelihatan sepi seakan memang
tak pernah ada penghuninya. Rumah di sebelah kiri biasa-biasa saja, lebih kecil
dari rumahnya sendiri dan agak usang. Di halaman, mereka membuka warung
kecil tem-pat Shakira sering ngebon beras dan minyak.
Setelah menitip anaknya, Shakira pergi me-ngenakan pakaiannya yang
terbaik, yaitu sepan hitam terbuat dari sutera dengan blus putih berenda
terbuat dari polyester.
Kira-kira sejam kemudian telepon di kantor Tesa herdering. Kebetulan dia
sendiri yang mengangkat, sebab operator sedang ke WC.
Setelah mendengar bahwa itu. Tesa sendiri, langsung saja Shakira marahmarah. "Gimana sih kau ini, kenapa enggak ngasih tahu berapa biaya anakku?
Sekarang aku tak punya duit!" ,
"Apa dia sudah boleh pulang?" tanya Tesa keheranan sambil menghitunghitung. Eh, belum sepuluh hari.
"tya. Memangnya mau berapa lama, sih? Aku kan enggak sanggup kalau
terlalu lama! Sekarang gimana, nih! Anakku enggak bisa dibawa pulang kalau
biayanya belum dilunasi! Kenapa kau enggak mau ngasih tahu biar aku siapsiap!"
"Oh, aku baru semalam pulang dari Bandung, Shak. Jam sepuluh tadi
malam. Keretanya terlambat. Tapi, aku kira anakmu takkan pulang secepat
itu... hm, gimana, ya. Sekarang kau di mana?"
"Di rumah sakit"

www.ac-zzz.tk
"Hm. Gimana, ya. Gini saja, deh. Bisa enggak kau ke kantorku? Aku enggak
bisa keluar. Soal-nya kerjaan menumpuk. Nanti aku berikan uangnya. Berapa
sih kurangnya? Aku sudah ba-yarkan seratus ribu."
"Semuanya seratus sembilan puluh delapan ribu empat ratus rupiah! Kan
kelas kambing! Maklumlah, anak orang enggak punya!" Suara Shakira
kedengaran sinis, sehingga Tesa merasa tidak enak hati. Waktu itu memang dia
tidak menegaskan minta kelas satu dan ru pa nya oleh perawat otomatis
dimasukkan ke kelas tiga.
"Rupanya waktu itu aku amat terburu-buru, Shak, sampai kelupaan tanya
kelasnya. Tapi kan masih cukup bersih, bukan?" , "O ya, anakku juga harus tahu
diri, dong.
Masih untung ada orang yang mau membawanya ke rumah sakit!"
Shakira ini mau apa sih, pikir Tesa agak kesal. Sedang angot sintingnya,
kali?! Kok nyindir-nyindir terus?! i +
"Jadi kurangnya sembilan puluh delapan ribu empat ratus ya, Shak." Tesa
cepat mengalihkan perhatian Shakira yang lagi angot itu.
"Iya, betul! Eh, Tes, aku enggak mau dikasih, lho!" seru Shakira.
"Habis?"
Aneh orang ini. Kalau begitu, buat apa nelepon sambil marah-marah?! "Aku pinjam saja!"
Aduh, gagah suaranya, pikir Tesa geli. Se-ihgataya, dulu pun di SMA, Shakira
itu senang minjam padahal bapaknya kaya. Dia sering ke-kurangan uang, dan
dengan nyaman selalu me-lupakan utang-utangnya!
"Baiklah," sahutaya biar jangan bertele-tele. "Aku tunggu, deh."
Karena dia tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan, Tesa terpaksa
ngebon di kantor. Begitu diberi uang, Shakira cepateepat ber-lalu seakan sudah
tidak sabar mau menjemput anaknya. Padahal selama itu tidak sekali pun
ditengoknya!
Sebenarnya dia sudah tak tahan ingin ketemu dokter yang suaranya begitu
lembut di telepon. Ketika melihat cermin tadi pagi, dia tahu hidup-nya masih
penuh harapan. Tesa sendiri agak
pangling melihatnya, namun tidak dikatakannya. Shakira berdandan ekstra perlente, malah wajahnya agak medok
menurut selera Tesa. Bi-birnya terlalu merah menantang, rouge di pipi seperti
sepuhan merah yang pernah dilihatnya di atas kue bakpau sementara pensil
alisnya benar-benar mirip goresan arang pada vandalis-me tembok. Yang paling
gawat lagi, rupanya foundation bedaknya tidak diencerkannya, tapi langsung
dioleskan ke pipi. Akibatnya di sana-sini ada yang tebal, yaitu tempat-tempat
per-tama kali krem itu dipoleskan. Sekarang ber-campur sedikit dengan
keringat, make-up-nya mulai luntur. Mungkin mereknya tidak bona-fide.
"Ayo ah, Tes! Aku- perlu buru-buru, nih! Daaag!" serunya dengan ketawa
meriah. Tesa menggeleng-geleng melihat sikap temannya yang tidak sabaran
seakan perlu mengejar kereta penghabisan!
***

www.ac-zzz.tk
Dokter Solem juga sama-sama tidak sabar. Sejak pagi sudah dipesannya
Suster Rani, "Ka: lau ibunya si Pasha datang, beritahu saya! Jangan biarkan dia
membawa anak itu pulang sebelum ketemu dengan saya! Ingat! Jangan lu-pa!
Saya harus ketemu dulu dengannya!"
Mendapat pesan yang begitu dto, tentu saja Suster Rani bersiaga penuh.
Maka begitu ada
orang muncul dan menyatakan diri sebagai ibu dari pasien di kamar tiga,
perawat itu terbiritbirit mencari atasannya.
Setelah jogging di lorong hampir sepuluh me-nit, barulah yang dicari
ketemu. Sementara itu
napasnya sudah hampir putus, maklum tak sempat berolahraga, tubuhnya
tidak terlatih. "Dokter... Solem...," serunya terengah-engah,
"yang mau ketemu sudah datang!" "Ibunya Pasha?!"
"Dia sih menyebut nama lain, tahu apa deh, saya tidak menangkap. Tapi dia
bilang kamar tiga, jadi enggak salah, deh! Kan kamar itu saat ini cuma dihuni
pasien muntaber satu itu!"
Maka dokter pun cepat-cepat mengikuti pera-watnya. Hatinya yang sejak
tadi pagi sudah kempas-kempis, kini betul-betul dag-dag-dug-dug macam palu
tukang besi. Namun harapan-nya yang sempat mekar menjadi kuncup kembali
ketika dia melihat perempuan yang ber-solek macam pemain panggung itu
tengah duduk di depan mejanya.
"Nyonya Goffar?" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Di satu pihak dia
khawatir salah. Sebab Nyonya Goffar kan Tesa, bukan?! Dan dia tahu
perempuan yang dandanannya seperti pemain Kabuki itu bukan Tesa. Di lain
pihak, dia berharap wanita itu betul istrinya. Berarti, Tesa tidak kembali pada
yang lama. Tapi kalau begitu, lantas kenapa Tesa membawa anak itu kemari?! "He... eh...," sahut Shakira dengan kenes sambil melirik manja.
"Oh!" Dokter Solem mendadak jadi gugup sampai terbatuk-batuk. Tapi dia
tak dapat me-riyembunyikan kelegaannya.
"Ah, Dokter kelihatan begitu lega, kenapa, sih?" tanya Shakira dengan
berani.
"Oh, ah... anu... saya sangka semula Ibu Goffar adaiah seseorang yang saya
pernah ke-nal," sahutnya lalu cepat-cepat mengambil kartu status dan mulai
mernbolak-baliknya untuk me-nutupi gugupnya. Agresif betul perempuan ini,
pikirnya resah. Lebih cepat kuusir pulang, lebih aman! wti$ ~
"Oh, begitu! Jadi Dokter ini kenal sama..."
Wah, suaranya makin intim! Apa-apaan, nih?! pikir Dokter Solem.
"Anu, siapa- yang membawa anak ini kemari?" tanyanya memotong kalimat
yang berbahaya itu.
' Shakira ketawa genit dan meriah. Tangannya diletakkannya di atas meja,
makin lama makin ke dalam, mendekati tangan dokter.
"Teman saya, Dokter. Waktu itu saya di luar kota," jawabnya sambil
meremas-remas saputa-ngan di atas meja.
"Siapa namanya?" tanya Dokter Solem sambil berlagak mau menulis seakan
itu pertanyaan yang rutin saja.

www.ac-zzz.tk
"Lantaran itu saya juga enggak pernah be-zoek," Shakira melanjutkan tanpa
mendengar apa
yang ditanyakan. Kepalanya bergoyang-goyang, sebab dia tahu dari cermin
bahwa sikap begitu baginya kena betul. Hiasan rambutnya akan terombang-ambing seperti jentera kapal.
"Ini juga baru kemarin pulang. Saya bertugas mewakili Ayah untuk
meresmikan kantor ca-bang salah satu perusahaan kami. Ayah sendiri sedang
sibuk di New York membicarakan pin-jaman modal. Dokter lulusan mana?"
"Australia," sahutnya singkat sambil meman-dang Nyonya Goffar sekilas. Hm.
Kalau dilihat-lihat, beruk ini memang boleh juga.
Sementara itu Shakira sudah berpikir: Australia?!
"Di kota apa, Dokter?"
"Perth. Begini, Bu, saya akan menulis...."
Hm. Perth?! Hm. Pasti kenal! Mungkin juga lebih dari sekadar kenal!
"Ayah juga punya real estate di Australia. Kalau lulusan luar negeri seperti
Dokter ini, mestinya cari istri yang sama-sama hebat dong, Dok. Maksud saya,
yang pintar, yang terkemuka, yang mapan, yang orangtuanya kaya..."
"Ehem!" Dokter Solem berdehem sambil ter-senyum kecil. Pandai betul
nyonya muda ini bersilat lidah! Entah ke mana jatuhnya nasihat itu.
"Yah! Tapi manusia tak bisa mendapat semua yang dikehendakinya, bukan,
Dok?! Contohnya ayah saya. Sedikit banyak. Ayah termasuk salah satu jutawan
yang ngetop di republik ini. Pergaulannya dengan orang-orang atasan melulu. Bulan kemarin Ayah
mendapat piala bergilir kejUaraan golf di antara para menteri serta usa-hawan
kelas kakap. Bulan sebelumnya, dia juara
jogging dalam perlombaan antar-presdir-presdir bank nasional dan asing seJakarta. Karena itu dia selalu sibuk dan saya yang harus mewakili dalam
urusan-urusan penting. Tapi meskipun ayah saya begitu kaya, satu impiannya
enggak bisa terkabul. Dia ingin punya menantu dokter! Dan saya ini anak
tunggalnya..."
Bukan main perempuan ini! pikir Dokter Solem, geli bercampur kesal.
Waktunya yang berharga seenaknya dibuang-buangnya!
"Bu Goffar, anak Ibu akan kami pulangkan hari ini, tapi sebenarnya dia
masih harus dirawat lebih lanjut. Tubuhnya kekurangan gizi yang sudah kronis."
"Mana mungkin!" prates Nyonya Goffar dengan keras. "Anak saya tak
mungkin kekurangan gizi! Kami kan orang kaya! Kakeknya..."
"Tapi Ibu kan selalu sibuk, jadi anak itu rupa-nya cuma diserahkan ke tangan
pembantu! Betul, kan? Tentu saja pembantu tidak betul-betul melek-gizi
seperti... Ibu, misalnya," Dokter Solem menjelaskan sambil menatap tamunya.
Dan tiba-tiba dilihatnya betapa kurusnya perempuan itu. Kulimya kusam dan
wajahnya sudah disinggahi keriput, padahal usianya kelihatan masih muda.
Apakah dia sendiri juga buta-gizi?! Dokter itu menggeleng dalam hati.
"Yah! Mungkin pembantu saya sembarangan
saja memberi makan anak-anak!"
"Seharusnya memang anak ini masih dirawat

www.ac-zzz.tk
di sini, tapi kami kekurangan tempat tidur untuk pasien-pasien yang betulbetul membutuh-kan. Selain itu, perawatan di rumah pun saya rasa cukup
memadai, sebab ada ibu dan ayahnya...."
"Oh, kami sudah mau cerai kok, Dokter!" po-tong Shakira dengan lirikan
maut.
Samar-samar sang dokter mulai mencium bau yang tidak enak. Barangkali
perempuan ini masih penasaran kenapa ayahnya yang begitu kaa-yaa kok tidak
bisa punya menantu dokter!
Tapi dia berlagak tidak mendengar. Tidak bisa dong meladeni masalah
pribadi orang yang tak ada sangkut pautnya dengan dinasnya!
"Suster akan memberikan pedoman gizi untuk memperbaiki pertumbuhan
dan perkem-bangan anak itu. Dan saya akan menuliskan resep yang harus Ibu
beli di luar. Siapa nama anak itu?"
"Rino."
Em. Jadi "Pasha" itu cuma ciptaan Tesa be-laka! Kenapa justru nama itu
yang disebutkan-nya? Apa dia tidak tahu nama anak tersebut? Mungkin.
Seingatnya, Goffar itu dirampas oleh temannya sendiri. Jadi rasanya tak
mungkin dia akan bersahabat terus dengan perempuan ini! Tapi kenapa dia sudi
mengantarkan anak mereka ke sini?!
Diraihnya Wok resep dari pinggir meja. Dia
ingin sekali mendapat alamat Tesa. Ditatapnya sekilas tamunya. Kalau dia
sendiri sudah mulai naksir sang dokter, mustahil dia akan rela mem-berikan
alamat perempuan lain yang dulu pernah menjadi saingannya. Yah, apa boleh
buat, terpaksa dibohonginya perempuan ini.
Kertas resep tidak jadi ditulisi. Diambilnya kartu merah, lalu dipelajarinya.
"Hm," katanya seakan merenung, lalu mengangkat muka dan menatap Shakira.
"Man ini belum lengkap. Co-ba Ibu sebutkan nama dan alamat orang yang
mengantarkan sang pasien tempo hari!" Perintah itu dibebaninya dengan wajah
serius dan mata yang menatap tanpa kedip.
Shakira menggoyang kepalanya beberapa kali. Menurut dia, pasti dokter itu
akan lumer sema-ngatnya. Ketika ternyata tidak, dia mengeluh manja, "Ah,
perlukah?"
"Ya!" '
Melihat takkan ada kompromi, dengan tam-pang amat terpaksa perempuan
itu menyebut-kan nama dan alamat Tesa, yang dicatat oleh dokter di atas
kertas kin.
"Nomor telepon?" Perintah itu demikian te-gas, sehingga Shakira tidak
sempat berpikir untuk menanyakan apa gunanya. Tergesa-gesa di-keluarkannya
buku catatan telepon dari tasnya.
Setelah puas mendapatkan semua yang diper-lukannya, Dokter Pasha Solem
pun menuliskan resep. Lalu diberikannya pada Nyonya Goffar.
"Penuntun diet aWan a-u
Rani _ 1 akan muncul."
Lalu dia berdin dan siap meninggalkan tamunya.

www.ac-zzz.tk
"Terima kasih, Dokter," ucap Shakira terse-nyum mencoba rayuan terakhir,
lalu menam-bahkan dengan suara memelas. "Kalau saya perlu apa-apa, masih
boleh menemui Dokter lagi,
bukan?"
"Tentu saja!" sahut Dokter Solem, tiba-tiba mengedip sambil ketawa lebar,
sehingga jan-tung Shakira nyaris putus. Dia tidak tahu bahwa kegembiraan itu
bukan disebabkan olehnya, melainkan oleh catatan tertentu pada kertas yang
tadi cepat-cepat diamankannya dalam sa-ku!!
Bab 14
"Halo, selamat sore. Boleh saya bicara dengan Nona Tesa?"
"Ini dari siapa, ya?" tanya Nyonya Rodan, ibu Tesa. Br\ "Dari Solem, Bu."
"Begini Pak Solem, anak saya kebetulan sedang di kamar mandi. Berikan
saja nomor Ba-pak, nanti dia akan call balik."
Karena Pasha Solem punya rencana proyek jangka panjang, tentu saja dia
tidak berani ber-buat salah walau sekecil kutu apa pun misalnya dengan
berlaku tidak sopan mengatakan, "Tak usah, saya akan bel kembali!"
Maka seperti remaja lugu disebutkannya no-momya satu per satu dengan
jelas dan Nyonya Rodan mengulangi, juga satu per satu sambil menuliskannya
ke atas notes.
Sampai malam Pasha melek menunggu pang-gilan, tapi telepon tidak juga
berdering. Esoknya pagi-pagi dicobanya sekali lagi. Tak mungkin Tesa sudah
berangkat, pikirnya. Tapi kenyataan-nya memang demikian.
"Tesa sudah ke kantor setengah jam yang lalu. Katanya khawatir macet
kalau kesiangan.
Ini dari mana?"
"Solem yang kemarin, Bu."
"O ya, Pak Solem, sudah Ibu beritahukan
nomor telepon Bapak padanya. Heran, kenapa Tesa sampai lupa menelepon
balik? Sebenarnya ada urusan apa, ya?"
"Ah, cuma urusan bisnis sedikit, Bu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti sore akan Ibu katakan padanya."
Malamnya di meja makan, Nyonya Rodan teringat janjinya tadi pagi pada
Pak Solem.
"Tes, tadi pagi ada telepon."
"Dari siapa, Mam?"
"Itu, Pak Solem yang kemarin sore itu!" Aneh. Wajah Tesa langsung
mendung, tapi untung cuma dilihat oleh ibunya, sebab yang lain sedang asyik
makan semangka. Hm, pikir Tesa. Untung dia cukup tahu diri, tidak mau pakai
titel di luar jam dinas! Soalnya, ibunya agak gandrung terhadap jenis titel yang
satu itu. Lihat saja, setelah Markus, pasti Daniel juga akan dituntunnya masuk
FK!
"Mam, kalau orang itu telepon lagi, tolong katakan selalu, saya enggak di
rumah! Saya ogah deh berurusan dengan segala macam sales-manl Baru datang
ke kantor sekali, sudah mau maksa jual barangnya!" 'ijttalan apa, sih?" tanya
Markus. "Itu, lho! Panci ajaib! Sudah aku bilang, aku

www.ac-zzz.tk
belum kawin, enggak perlu panel!" kata Tesa dengan serius, sehingga
kesebalannya terlihat sungguhan.
"Terus dia bilang, kawin saja dengan nya, nanti dikasih panci!" sambung
Markus terkekeh, membuat adiknya mendelik keki.
"Tapi orangnya kedengaran sopan, Tes/ kata ibunya lagi.
"Ah, Mami! Di mana sih ada orang jualan yang enggak sopan, enggak manis,
enggak pin- '
tar merayu? Pendeknya, supaya barangnya laku, apa juga akan
dilakukannya! Kalau sudah dibeli, nah, lain lagi sikapnya! Coba, misalnya kita ^ mau tukar, pasti dia akan
judes sekali!"
"Tapi katanya, urusan bisnis!" ibunya ngotot. "Penting!" Ini tambahan ibunya
sendiri. Perempuan itu sudah begitu khawatir melihat putri-nya tidak juga
mendapat jodoh, sehingga setiap pria yang mendekat, rasanya mau
diundangnya ikut makan!
"Nah, kalau benar-benar bisnis, suruh saja dia menghubungi saya di kantor,
Mam. Bilang enggak usah datang, pakai telepon saja. Kalau dia belum tahu
nomornya, berikan saja, Mam."
"Apa dia bukannya calon arjunamu yang mu-takhir?" nimbrung Daniel sambil
menggigit se-mangka.
"Ala, kau! Sama saja dengan Mami! Pola sen tralmu cuma jodoh melulu!"
"Laa, habis apa, dong?" sambut ayahnya "Kau kan sudah cukup umur."
"Lewat malah!" cetus Daniel nyengir.
"Jangan kurang ajar!" tegur Ibu.
"Jangan kurang ajar!" membeo si Aster kedl
yang baru sembilan tahun.
"Ala, soal itu mah gampang, Pap!" tukas Tesa dengan anteng "Kalau sudah
waktunya pasti akan datang sendiri, enggak ke mana-mana!"
***
Pasha tidak mau menyerah. Dia menelepon
lagi.
"Pak Solem, anak saya berpesan, dia belum mau membeli panci ajaib Anda,"
kata Nyonya Rodan yang tidak tahu urusan, membuat yang mendengar jadi
tersenyum sumir, meringis tak tentu ulah. Lelucon apa yang sedang dimainkan
oleh Tesa ini?! pikirnya.
"Tapi kalau Bapak memang sangat ingin bicara dengannya, katanya disilakan
menghubungi dia di kantor saja. Ini nomornya, harap dicatat baik-baik."
"Anu, Bu, boleh saya tahu juga nama dan alamat kantornya?"
"Oh, boleh. Boleh," sahut Nyonya Rodan lalu menyebutkan yang diminta.
"Terima kasih, Bu. Selamat pagi." "Kembali... eh, eh..." Nyonya Rodan
mendadak tercekat seakan disengat lebah. "... eh, katanya pernah jualan ke
kantor! Kok sekarang na-nya di mana kantornya?!"
Tapi telepon sudah lama diletakkan oleh Pak Solem.
***
Telepon berdering di meja sekretaris. Tesa mengangkatnya lalu
menyebutkan nama kantor: nya.

www.ac-zzz.tk
"Selamat siang!" seru suara di seberang sana dengan nada riang yang rasarasanya dikenal-nya. "Boleh saya bicara dengan Tesa?"
"Tesa yang mana?" tanyanya mempermain-kan. "Di sini ada dua Tesa."
"Tesa Rodan."
"Oh, Ibu Tesa sedang keluar, Pak. Mau titip pesan?"
"Tak usahlah. Ehem, kapan dia akan kembali?"
"Wah, kurang tahu ya, Pak. Mungkin jam tigaan, gitu."
"Baiklah. Terima kasih. Nanti saya akan bel lagi."
Ketika jam setengah empat telepon berbunyi lagi, Tesa minta tolong
rekannya untuk men-jawab. "Ssst, Kleopat, tanyakan siapa. Kalau namanya
Solem, bilang Ibu Tesa belum balik. Enggak tahu kembali jam berapa. Enggak
tahu ke mana. Suruh bel lagi besok!"
"Ini dari siapa?" tanya Kleopatra. "Oh, Pak Solem?" Dia melirik Tesa sambil
tersenyum. "Ibu Tesa belum balik, Pak. Tahu ya, jam berapa. Mau titip peSan?
Enggak usah? Baiklah.
Telepon saja lagi besok. Oh, ini sekretarisnya.
Ya, ya. Kembali."
Mereka cekikikan berdua.
"Kenapa enggak diladenin saja, Tes? Kede-ngarannya seperti mau nangis,
tuh!" kata Kleopatra geli.
"Huss! Sinting kau, Kleo! Orang sudah punya
istri, kok!"
***
Esoknya, telepon kembali mengganggu. Kleopatra yang mengangkat.
"Oh, Pak Solem? Selamat pagi. Oh, Ibu Tesa? Wah, kebetulan Ibu sedang
rapat dengan Bos. Wah, enggak tahu deh berapa jam lagi. Coba saja nanti
istirahat siang. Ya, kembali."
Kleo mengerling Tesa sambil menggeleng. "Ngotot betul, sih, Tes. Sambut
saja, kenapa, sih?"
"Antepin saja. Nanti juga bosan sendiri!" sahut Tesa.
"Atau oper deh padaku!" seru Tiara yang barusan muncul.
"Iiih, orang sudah punya istri, kok!"
"Siapa yang sudah punya istri?" tanya Bos yang tahu-tahu ada di situ. "Ini jam
pelajaran mendongeng atau jam kerja?!"
"Habis itu lho, Pak," kata Kleo. "Ada orang namanya Pak Solem. Dia
mengganggu Tesa terus, deh. Hampir tiap hari dia menelepon!"
"Nagih janji, kali!" cetus Tiara. Bos menatap Tesa. "Kau janji apa sama
orang itu, Tes?"
"Iiih, enggak pernah janji apa-apa, Pak! Kenal pun tidak!"
"Hm." Bos meletakkan dikte yang mesti di-ketik, lalu berjalan balik menuju
kamarnya. Di dekat pintu dia berhenti, lalu menoleh pada Tesa. "Eh, kalau
tidak kenal, miasa sih dia begitu ngotot? Dari mana dia tahu nomormu ?"
Tesa cuma mengangkat bahu sambil meringis dengan rupa higu. Bos merasa
tidak pantas me-ngompesnya saat itu, sebab banyak orang. Tapi nanti...!

www.ac-zzz.tk
"Ah, biar saja, Pak. Nanti juga dia pasti bo-san!" kata Tesa untuk
menghilangkan kecuriga-an Bos.
***
Dugaan Tesa keliru. Pasha tidak kenal bosan. Dia malah nekat mendatangi
gedung kantor. Tapi di tingkat kedua puluh enam itu satpam-nya tidak kenal
kompromi. Di lantai dua belas mereka pernah kebobolan. Ada bahan peledak di
bak tanaman, untung ketahuan sebelum me-ledak. Sekarang semua satpam di
setiap tingkat menjadi lebih siaga.
Pasha tidak diizinkan masuk.
"Mau ketemu siapa, Pak? Sebut saja namanya, nanti kami panggilkan."
Sayang, satpam kembali dengan berita jelek. "Yang dicari enggak masuk
hari ini, Pak."
Pasha tidak percaya. Dia sangat tergoda untuk mengecek ke rumahnya, tapi
dia teringat larangan menelepon ke Sana. Dia tidak mau bikin dosa terhadap...
calon mertua!
Akhirnya tak ada jalan lain. Dia terpaksa me-nunggu di depan kantor sampai
bubar.
Esoknya, dari rumah sakit dia tidak pulang ke rumah, tapi langsung piket.
Karena dilarang parkir di pinggir jalan, terpaksa dia masuk ke garasi bawah
tanah, lalu menunggu dalam mobil. Tentu saja ongkosnya lumayan mahal,
sebab dihitung jam-jaman. Selain itu, tempat yang strategis sudah tak ada. Dia
cuma kebagian po-jok gelap yang susah dipakai sebagai pos peng-amatan. Masih
ada lagi kesulitan: dia tidak tahu pasti apakah Tesa naik kendaraan pribadi atau
umum.
Yah, jalan satu-satunya: dia mesti keluar begitu selesai jam kantor. Maka
tepat jam setengah lima, Pasha meninggalkan mobil lalu berjalan keluar,
menunggu dekat pagar seperti pengangguran. Matanya disiapkan untuk memperhatikan setiap sosok manusia dan mobil.
Tapi kantor di gedung itu ada beberapa buah dan karyawannya sudah tentu
buanyaaak sekali. Selain itu hampir tiap mobil kacanya gelap. Jadi, sulit sekali
menemukan apa yang mau dicari.
Pasha mengeluh ketika menyadari kekeliruannya. Bagaimana dia akan melihat Tesa?! Manu-sia begitu berjibun seperti
laron keluar dari sa-rang setelah hujan!
Makin banyak orang yang pulang, makin ciut semangatnya. Selain itu ha tiny
a mulai ragu. Be-tulkah dia belum mirip orang gila?! Sudah berapa kali dia
menelepon ke kantor, selalu orang menyebut "Ibu Tesa". Apa artinya itu?!
Bukankah dia masih terlalu muda untuk dipanggil begitu?! Kecuali... kalau dia
sudah...! Apakah dia mengejar-ngejar bird orang?!
Matanya sudah pedih sebab sejak tadi tidak mengedip mengawasi orang
serta barisan mobil yang antre mau keluar dari halaman gedung. Dia khawatir,
kebetulan mengedip nanti Tesa lewat dan tak terlihat!
Jalur mobil di mulut garasi cuma dua, tapi di halaman jadi bertambah dua
lagi, sebab halaman itu luas dan setiap pengemudi ingin lekas-lekas pulang.
Karena harus memperhatikan pejalan kaki dan pengemudi sekaligus, lamalama Pasha jadi kewalahan. Kepalanya sampai terpaksa ber-gerak-gerak terus,

www.ac-zzz.tk
nengok kiri nengok kanan. Tapi sampai mendekati setengah enam, belum ada
orang yang mirip Tesa.
Dia mulai putus asa. Dilihatnya arloji. Sudah hampir waktunya untuk pulang,
mandi lalu praktek. Dari arloji cepat-cepat matanya diang-kat kembali. Mobil
masih antre panjang. Seka272
rang mulai serabutan, sebab halaman mahaluas,
tapi pintu gerbangnya biasa saja.
Mendadak matanya hampir terloncat keluar.
Di seberang sana, dalam jalur keempat, dilihatnya seorang gadis di belakang
setir. Jendela mobil kebetulan terbuka, jadi pandangannya tidak terhalang.
Walaupun jarak mereka ada sepuluh meter, dia yakin itu siapa.
Cepat-cepat dia mencoba menyeberang. Tapi ternyata tidak gampang.
Mobil-mobil itu tak punya belas kasihan untuk orang yang cuma punya dua kaki,
mau mengemis jalan. Tak ada yang mau mengalah memberinya kesempatan
menyelip sana-sini. Bisa meloncat sekali ke tengah jalan, lalu mesti menunggu
lama sampai ada lagi pengemudi lain yang baik hati dan kebetulan sedang
penuh humor, tidak me-nyumpah-nyumpah diselak orang lewat.
Dia berdiri di tengah jalan, terpaku seperti patung menunggu kesempatan.
Akhirnya ada mobil yang masih dua meter dari dia.
Pasha meloncat kembali. "Mampus kau!" maki sopir yang diselip.
Sekarang Pasha sudah makin ke tengah dan lebih mendekati jalur keempat.
Tapi mobil makin semrawut. Pelan dikit saja yang di depan, sebelah
belakangnya sudah ribut dengan klak-son.
Pasha berdiri di antara seliweran mobil-mobil, siap sedia meloncat begitu
ada kesempatan. Sementara itu matanya memperhatikan jalur yang
dituju. Sejenak dia panik. Honda Civic abu-abu tadi sudah tidak kelihatan!
Matanya nyalang ke sana kemari. Kemudian dia bernapas lagi. Ah, itu dia.
Sudah lebih ke depan, mendekati pintu gerbang.
Hm. Menilik mobilnya, pasti kedudukan Tesa amat bagus. Penghasilannya
besar.
Tiba-tiba, tanpa diharapkan, ada mobil yang berhenti, lalu menyilakannya
menyeberang. Pasha mengangkat tangan sambil mengangguk.
Sayang! Begitu dia tiba di seberang sana, mobil abu-abu itu pas meluncur ke
jalan, lalu se-gera tancap gas. Pasha mengeluh kesal. Sampai lima menit
diawasinya mobil itu, hingga lenyap di kejauhan. Lalu dengan kepala tunduk
dia berdiri lagi di pinggir, siap untuk menyeberang ke tempat asal, kemudian
dari sana turun kem-baM ke garasi mengambil mobil.
***
Entah bagaimana, pada suatu hari operator teledor. Ada telepon nyasar ke
kamar Bos. Tapi sebenarnya diam-diam Bos sudah memberi memo pada
operator: "Kalau ada Pak Solem menelepon, sambungkan langsung pada saya!"
Tentu saja Bos tidak menyebut-nyebut soal gangguan terhadap Tesa.
"Halo, selamat pagi. Boleh saya bicara dengan Tesa?"

www.ac-zzz.tk
"Dari Solem! Pasha Solem!" "Hm. Begini, Pak Solem, saya tidak mau tahu apa
masalahnya, tapi saya minta agar Saudara jangan sekali-kali menelepon lagi ke
sini! Saudara mengganggu, tahu?!"
"Lho! Saya bicara dengan siapa ini?" "Dengan Presdir sendiri! Dan Nona Tesa
sudah ada yang punya!"
"Oh, bukan dia yang saya tuju. Tapi satunya lagi, Ibu Tesa!"
"Ibu Tesa? Memangnya di sini ada berapa Tesa?" tanya Bos dengan geram.
"Ya, Ibu Tesa itu! Tesa Rodan! Bukannya Nona Tesa yang sudah anu... ada
anu..."
"Pak Solem!" potong Bos dengan murka. "Di sini cuma ada satu Tesa! Nona
Tesa Rodan. Dia sekretaris saya dan juga calon istri!!!"
Brukkk! Sampai sakit telinga Pasha ketika telepon dibanting. Sekarang dia
tak tahu akal lagi. Tempo hari dia pernah bicara dengan orang yang mengaku
sekretaris. Tidak jelas sekretaris siapa. Dalam kantor besar, masing-masing
kepala bagian mempunyai sekretaris pribadi memang. Entah ada berapa di
kantor Tesa. Yang pasti, suaranya tidak mirip dengan suara Tesa. Tapi, setelah
hampir empat tahun, apakah dia masih bisa ingat betul suaranya?!
Dan sekarang, bosnya sendiri yang bilang bahwa dia calon ratunya! Berarti
dia tak usah . mimpi macam-macam lagi. Tapi apakah itu bisa dipercaya?! Di
manakah Tesa waktu bosnya
marah-marah di telepon?.1 Apakah dia tengah duduk di sampingnya,
mendengarkan sambil bermain-main dengan dasinya?!
Pasha menarik napas kesal. Ah, rasanya sebelum mendengar sendiri dari
mulut Tesa, dia belum mau percaya! Dia tidak rela menyerah begitu saja.
Kepusingannya bertambah karena ulah Shakira. Nyonya Goffar ini jadi
mendadak po-puler di klinik setelah teleponnya yang ketiga atau keempat Baik
re kan mau pun paramedis, sama-sama menggoda Pasha. Kalau dia muncul pagi
hari, terkadang Suster Rani, sudah siap menunggu.
"Dok, tadi Ibu Goffar menelepon. Katanya penting. Dokter dimintanya
supaya menghu-bungi kembali!" Tentu saja tak pernah diladenirrya. "Gimana
tadi urusannya, Pas?" tanya rekan-nya kalau ketemu. "Aku dengar nonimu tidak
sabar lagi mencari-carimu! Katanya, kau suuu-dah lamaaa minggat, sampai dia
kangen!"
"Apa dia mengaku masih noni? Buset! Anak-nya sudah dua!" pekik Pasha
tersenyum pasrah seperti napi yang tak punya jalan kabur.
Soal Shakira, walaupun cukup membuatnya tobat, namun tidak
diacuhkannya. Diinstruksi-kannya pada semua perawat yang kebetulan
menerima telepon, agar mengatakan bahwa dia tidak di tempat.
"Oh, dia tidak percaya, Dok!" seru Suster
Rani. "Katanya, 'Selalu tidak di tempat! Saya
enggak percaya!"1
"Biar deh tidak percaya! Toh saya bukan suaminya! Kenapa mesti dipercaya? Buat apa main-main dengan istri orang?
Saya masih ingin hidup lama kok, Sus!"
"Aduh, kurus banget kau sekarang!" tukas

www.ac-zzz.tk
seorang rekan yang lain. "Aku dengar kau ada affair sama... ssst... janda
kaya, nih?! Sudah pu-tus, ya? Bosan? Aku dengar, dia nguber-nguber terus, ya?
Kau takut tertangkap basah? Apa karena itu kau jadi lidi begini? Eh, kenapa
enggak kaucekoki saja koktil acetylcholine dicam-pur... anu..."
"Aku belum ingin, ah, jadi agen perjalanan ke neraka!"
Tapi kurusnya itu memang karena keruwetan pikiran. Cuma bukan Nyonya
Goffar penyebabnya.
Setelah dipikir-pikir sampai bertambah uban, dia yakin tinggal satu jalan
keluar. Mendatangi rumahnya! Walaupun kedengarannya mengeri-kan, tapi
seperti orang yang punya utang kele-wat banyak, dia tahu tak ada jalan lain.
Harus nekat! Itu atau...!
Walaupun minta bantuan komputer sekali* pun, dia percaya' cuma satu itu
penyelesaian kesulitannya. Namun, jalan keluar ini pun me-nimbulkan kesulitan
baru.
Dia tahu, Tesa tak mau menemuinya, entah kenapa. Nah, bagaimana
sikapnya nanti seaninya gadis itu mengusirnya mentah-mentah?! pa yang akan terjadi sekiranya
Tesa menyatarn.tak pernah mengenalnya, di depan sekalian .ggota keluarga,
pembantu, dan anjing-kueing-yaVA Bisakah dia hkhip terus setelah mendapat
malu sebesar itu?! Apakah tidak lebih baik mempercayai omongan presdir itu
saja, dan membiarkan masa lalu tetap berlalu?!
Bab 15
Mdstggu berganti minggu. Gangguan telepon sudah berhenti. Tesa merasa
lega walaupun dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya mesti berterima kasih pada
Bos.
Hidup berlangsung biasa lagi. Iklan penjualan rumah Shakira sudah dimuat.
Peminatnya banyak. Tapi yang berhasil membelinya adalah ayah Shakira
sendiri.
Pada suatu hari Shakira menelepon Tesa di rumahnya, lalu bercerita
panjang-lebar. Tesa, ayahku sudah membaca iklan yang kaupasang itu. Setelah
dia tahu Goffar sudah mihggat ru-panya dia jadi kasihan pada nasib anakanakku. Katanya dia bersedia membeli rumah itu dan kami kemudian
diperbolehkan tetap tinggal di sini tanpa harus membayar kontrak, tapi ada
syaratnya. Aku harus bercerai dengan Goffar!"
Tesa menahan napas. Celaka. Bisa rumit, nih.. Goffar beristri saja sudah
sulit dihalaunya, apa-lagi Goffar tanpa istri! Tentu pikirnya tak ada halangan
lagi bagiku untuk kembali...!
"Lantas, kau mau?" tanya Tesa dengan was-wns.
"Tentu saja! Dia sudah kabur meninggalkan diriku, buat apa aku
pertahankan? Memang nya dia apa, sih? Laki-laki kan masih banyak di dunia ini,
Tes! Hilang satu, ganti sepuluh! Apa-lagi dia kan enggak bertitel! Yang bertitel
pun banyak yang naksir aku, kok. Misalnya, Dokter... Solem!"
Tidak salahkah pendengaranku? pikir Tesa kaget Tapi dia tidak sempat
melamun lama-lama, sebab Shakira sudah bicara terus.

www.ac-zzz.tk
"Kau tahu sebabnya, Tes? Lantaran setiap orang kepingin punya mertua
kaya! Ha, ha! Enggak terkecuali dokter!"
Shakira sudah tidak beres! pikirnya. Ketawa-nya yang begitu nyaring tidak
enak didengar.
"Shak, barangkali kau belum tahu, nih?! Dokter Solem itu sudah punya istri,
Iho! Dokter Pika namanya!"
Di luar dugaannya, Shakira ternyata tidak menjadi risau.
"Ah, pasti sudah cerai! Kalaupun belum, sekarang dia pasti sudah mau cerai!
Setelah dia mendengar siapa ayahku, mana bisa dia tidur nyenyak lagi sebelum
jadi menantunya? Ya, aku rasa, ah, pasti deh, mereka sudah cerai! Mau
taruhan, enggak? Sebab kalau belum, pasti dia enggak begitu agresif, dong!"
Tesa makin tercengang mendengar ini. Pasha sekarang jadi agresif pada
Shakira?! Yang benar!
Dia memang tahu betapa agresifnya laki-laki itu, tapi masa sih sama
perempuan yang sudah berbuntut dua?! Seperti sudah tak ada perawan
lain di muka bumi!
Eh, tapi kalau dikaji lebih lanjut, mungkin Shakira tidak terlalu salah,
pikirnya dengan ke-cut. Bukankah beberapa waktu yang lalu Pasha gencar betul
meneleponnya?! Kalau masih ada Pika, mana dia berani! Lalu, mungkin karena
dia tidak meladeni, dia jadi beralih pada Shakira?! Dasar orang ini nasibnya
selalu baik, keluhnya penasaran.
Shakira sebenarhya tidak jujur seratus persen. Ketika dia mengatakan
Dokter Solem agresif, maksudnya caranya memaksa untuk mendapat info
mengenai Tesa tempo hari. Tapi Tesa tentu saja mana tahu. Terlebih ketika
mendengar Shakira bla-bla-bla terus mengenai hubungan-nya dengan dokter
ganteng itu yang tampaknya sudah cukup erat juga, hatinya. rasa teriris
sesayat-sesayat.
Tangannya terasa lemas sekali ketika dia me-letakkan kembali pesawat.
Aneh, dia tidak sampai pingsan, pikirnya sinis.
Shakira begitu asyik ngoceh sampai rupanya tak teringat sedikit pun olehnya
untuk meng-ucap terima kasih apalagi mengembalikan ong-kos pasang iklan
serta biaya anaknya masuk rumah sakit! Tesa sebenarnya ingin menagih, taP1'
gimana ya, lidahnya sudah keburu kelu mendengar serentetan petualangan
Pasha yang
terbaru. Kok harus dengan Shakira, keluhnya kesal. Apakah Pasha sudah
lupa bahwa Goffar dulu- juga direbut oleh perempuan binal itu?! Dalam
sengitnya, dia telah menamakan teman-nya itu binal!
Ah, kalau memang cuma sebegitu moral dan karakter Pasha, dia juga tak
usah merasa pena-saran mendengar segala sepak terjangnya. Dia tak perlu
menyesal tidak berhasil menjadi pa-sangan abadinya. Buat apa laki-laki seperti
itu dirindukan! Bah!
Tapi, uang yang dipinjamkannya pada Shakira kan bukan didapatnya dari
lotre. Itu kan hasil keringatnya sendiri! Sudah sepantas-nya kalau ditagihnya.
Tapi bagaimana ya, cara-nya?!
Jangan-jangan dikira Shakira, semua itu ter-masuk kewajibannya! Sebab dia
telah membuat Goffar lari ke luar negeri! Mungkin karena berpikir demikian

www.ac-zzz.tk
Shakira sama sekali tidak me-nyinggung masalah utangnya. Celaka dua belas
kalau begitu!
Uhtunglah sebelum dia mengambil tindakan apa-apa, pada suatu hari datang
orang suruhan ayah Shakira mengantarkan amplop berisi uang pengganti biaya
iklan serta ongkos rumah sakit. Ayahnya rupanya tahu bahwa anaknya sama
sekali tak punya uang lagi, jadi ditanyakannya dari mana semua biaya itu.
***
Tesa pun kembali tenggelam dalam dunia ke-seharian yang tak punya
ragam. Semua serba rutin, Kadang dia merasa jenuh, tapi tak tahu
mesti lari ke mana.
Shakira tidak lagi menelepon. Rupanya sedang asyik dengan pacar baru,
pikir Tesa sinis.
Supaya ibunya tidak banyak bertanya ini-itu, Tesa sengaja menyibukkan diri
dengan tugas kantor. Beberapa kali seminggu dia pulang agak malam.
Alasannya, lembur. Sebenarnya itu bukan paksaan. Bos kebetulan menawarkan
agar dia mau lebih lama mengetik surat-surat dengan mesin prosesor. Tidak
terduga-duga Tesa langsung bersedia! Maka Bos pun jadi ikut keripuh-an
mencari-cari alasan agar bisa tinggal lamaan di kantor, sebab kesempatan
berduaan begini tentunya langka sekali.
Sekarang sudah mulai musim hujan. Hampir tiap sore langit membuka diri
membasahi bumi. Ketika Tesa mulai pilek-pilek, ibunya mencoba melarangnya
lembur.
"Ah, saya cuma pilek sedikit, biasa kan, Mam. Nanti juga baik," kilah yang
dilarang.
Sebenarnya Tesa resah kalau pulang terlalu sore, di rumah tak tentu apa
yang akan dikerja-kannya. Dulu dia masih senang membaca novel, tapi sejak
Shakira "menjambret" Dokter Solem, hobi itu mendadak jadi tidak
menggairahkannya lagi.
Pada suatu kali, ketika hujan amat lebat, mobil Tesa mogok. Untung masih
dalam garasi,
sehingga dia tidak sampai kebasahan. Terpaksa
dibiarkannya Bos mengantarnya pulang. Dan se-isi rumah yang sudah
menunggu nya sejak tadi di teras depan, kini bangun semua dari kursi
mengawasi laki-laki yang begitu sopan mengangguk pada mereka.
"Pacarmu, Kak Tesa?" tanya Aster lugu ketika 60s sudah pergi.
"Huss! Anak kecil!" sergah Ibu, namun Tesa melihat perempuan itu berbinar
matanya dila-mun harapan. Ketika dirasanya tak ada yang mendengar, dia
berbisik, "Siapa tadi, Tes?"
"Bos saya, Mam. Ganteng, ya?" tukas Tesa dengan ketawa penuh arti
membuat hati ibunya mencak-mencak kegirangan.
Dan perasaan itu makin membubung ketika hujan masih sering datang. Tesa
beberapa kali lagi terpaksa diantar pulang oleh Bos. Pada kali yang terakhir,
ibu Tesa memberanikan diri dan menahan jejaka itu untuk makan malam bersama.
"Ini sebagai tanda terima kasih kami atas per-hatian Anda pada Tesa. Coba
kalau tidak diantar, mana hujan begini deras!" kilah ibunya, tapi Tesa lebih

www.ac-zzz.tk
arif. Dia tahu jebakan apa yang sedang dipasang oleh ibunya, namun dia
berlagak bodoh. Cuma dalam hati dia meringis, ngeri bercampur lucu.
Sejak makan malam itu, "resmi'Tah Bos ditah-biskan sebagai pacar Tesa oleh
saudara-saudara-nya. Yang bersangkutan merasa geli, tapi tidak
membantah. Pikirnya, biarlah kalau itu bisa me
nyenangkan Mami.
Saat itu di kantor sudah banyak karyawan yang kena flu. Rupanya udara AC
tidak membuat tubuh lebih kuat menahan invasi virus. Dan Tesa yang memang
sudah pilek. pun ikut roboh. Dua hari dia masih bertahan masuk kantor
walaupun dengan mantel dan syal. Tapi pada hari ketiga dia tidak sanggup
bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya de-mam, dan
tenggorokannya seperti terbakar, pe-dihnya bukan main.
Sorenya ada yang menjenguk. Siapa lagi, ten-tunya Bos! Dari jauh Aster
sudah mengenali mobil merahnya, lalu berlari ke kamar kakak-nya.
"Kak Tesa, pacarmu datang! Ayo, berlagak tidur, dong, nanti dikira Kakak
bukan sakit be-tulan!" katanya sok mengajari.
Tak usah disebut lagi betapa senang dan ber-syukurnya hati sang ibu.
Namun Tesa kelihatan tidak gembira. Bagaimana dia mau senang, ba-dannya
terasa sakit dan ngilu semua. Obat flu yang ditelannya ternyata cuma membuat
jan-tungnya berdebar dan ngantuk. Tapi demam dan pusingnya tidak hilang.
Esoknya malah ditambah dengan batuk kering yang membuat dadanya terasa
sakit. Bunyinya kong-kong seperti kodok bangkong. Esok sorenya Bos kembali
datang. Dengan
rasa khawatir dia menyarankan agar dipanggil-kan dokter.
"Oh, tak usah!" bantah Tesa terkejut.
Kalau anak-anak lain takut setan, maka sejak ketil cuma dua hal yang
ditakutinya. Pergi ke 'dokter umum dan dokter gigi! Dia takut sekali disuntik.
"Dua hari lagi juga baik! Pusingku sudah hi-lang, kokf sambimgnya berdusta.
"Tapi demammu masih tiga puluh delapan
lebih!" tukas ibunya menimbrung. Sebenarnya sejak kemarin-kemarin dia
sudah mau diajak ke dokter, namun tak mau. Katanya, biar tunggu Markus
pulang saja. Abangnya saat itu kebetulan sedang ke Jawa Tengah meninjau
beberapa puskesmas.
Mendapat bantuan tenaga dari ibu Tesa, Bos jadi makin berani.
"Pokoknya kau harus ke dokter, Tesa. Kalau besok aku datang kau belum
juga ke dokter, nanti aku yang akan membawamu ke sana!" ancamnya dan Tesa
tahu, ancaman itu tak bisa diremehkan.
Esok paginya ketika ibunya kembali menim-bulkan soal "pergi ke dokter",
Tesa berdalih dia takkan kuat berdiri dan berjalan ke luar rumah.
"Kalau begitu, nanti sore panggilkan saja Dokter Yusuf/ kata ayahnya.
Dokter Yusuf adalah tetangga mereka. Rumahnya nomor lima belas,
sedangkan rumah mereka nomor dua puluh enam.
Karena sakitnya tidak juga mendingan, Tesa tidak lagi membantah ketika
sorenya ibunya
mau menelepon ke seberang. Sudah tiga kali dia berganti obat, tapi tidak
juga sembuh. Sedangkan Markus belum juga balik.

www.ac-zzz.tk
"Dokter Yusuf sedang cuti, Seriin baru prak-tek lagi," kata ibunya sehabis
menelepon. "Tapi ada asistennya. Dia akan datang |ebentar lagi. Kata
susternya, sekarang masih terlalu banyak pasien."
"Kenapa enggak tunggu dia saja, Mam? Nanti asistennya enggak betus,
lagi...."
"Sekarang baru Jumat, Tes. Besok tak ada dokter yang buka. Apa kau
sanggup menunggu sampai Senin?"
Tesa terpaksa mengakui dalam hati kebenar-an pendapat ibunya. Dia
merasa tidak sanggup lagi menunggu satu jam pun. Tapi sang asisten ternyata
baru datang setelah hari gelap. Sambil tersipu-sipu dia minta maaf pada
orangtua Tesa, menyalahkan pasien yang berjubel dan tak bisa ditinggalkan
semenit pun. Kalau dia boleh terus terang, sebenarnya sang dokter mau bilang
bahwa sejak sore tadi dia sudah kepingin ke kamar kecil, namun ditahantahannya.
"Dok, enggak bisa ke seberang sekarang, Dok," kata suster tadi. "Pasien
masih terlalu banyak. Semua maunya masuk cepat-cepaf, tapi kalau sudah di
dalam tidak mau keluar-keluar, maunya sih membeber riwayat hidup sama
kter! Iya kan, Dok? Kalau nunggu kelamaan
ikit saja sudah menggerutu. Apalagi kalau kter tinggal ke seberang, wah,
bisa-bisa mere-mengadu ke LBH! Pasien-pasien zaman sekarang, waduh,
galaknya!"
Sang dokter cuma ketawa kecil mendengar kebijakan perawatnya. Kini,
setibanya di rumah seberang, dia baru teringat bahwa kebutuhan-nya ke kamar
kecil belum terpenuhi. Kira-kira sopan enggak ya, kalau permisi sekarang?!
"Syukurlah akhirnya Dokter bisa datang juga," sambut ibu Tesa dengan
manis, lalu meng-ajaknya ke kamar putrinya. Sang dokter pun terpaksa
menangguhkan niataya.
"Tesa!" serunya dari luar kamar. "Ini dokter-nya sudah datang."
Pintu dibuka. Ibunya masuk diikuti... Tesa terpana bagaikan melihat ular
kobra me-luncur masuk. Seketika itu dia langsung ingin menyuruh dokter itu
keluar lagi, tapi suaranya tidak berbunyi. Cuma bibirnya saja yang ter-buka
seperti orang kaget.
Sementara itu ibunya telah menutup pintu, lalu berdiri di kaki ranjang.
Sedangkan sang asisten sudah meletakkan tasnya di atas meja kecil dan mulai
sibuk mengeluarkan perkakas-nya.
Entah kelupaan atau sengaja, sang dokter tidak menyebutkan namanya
ketika bersalaman tadi. Demi kesopanan, Tuan dan Nyonya Rodan pun segan
menanyakan. Namun Tesa yakin matanya belum rabun. Laki-laki yang tengah
menarik keluar stetoskop dari tas hitam itu ada-lah Dokter Solem! Pasha
Solem. Dan mau apa
dia di sini?!
Kini dia sudah menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggiran tanpa permisi.
Dengan terpaksa Tesa menggeser ke dalam sedikit. Geraham-nya
dikatupkannya erat-erat saking jengkel. Huh! Kalau saja ada caranya
bagaimana dia bisa meletupkan perasaannya saat ini! Tapi tak ada! Dia bahkan
harus berlaku sopan dan menuruti setiap perintah dokter...! Huh! Dokter apa!

www.ac-zzz.tk
Kunyuk hidung belang begini, apa betul mahir mengobati?! Bikin hancur, itu dia
mahir! Huh! Berani-beranian datang ke sini!
Tanpa menunjukkan bahwa dia mengenali pasiennya, dimintanya Tesa
membuka baju.
Ini sudah betul-betul keterlaluan! Rasanya dia ingin berteriak atau
menangis! Tapi ibunya mengulangi perintah itu dengan otoritas penuh.
Sambil mengatupkan kembali bibirnya dan menggertakkan gigi, Tesa
terpaksa menurut, sebab ibunya ada di situ mengawasi. Dia tidak mau
menimbulkan kecurigaan tentu saja.
Nah! Puaskanlah mata keranjangmu! kutuk-nya dalam hati tanpa sudi
memandang ke arah sang dokter.
Selama terbaring di ranjang, tentu saja Tesa tidak mengenakan penutup
dada di balik baju tidurnya. Setelah kancingnya dibuka, dia tak punya
pertahanan apa-apa lagi. Dia merasa begitu tidak berdaya, sampai rasanya
betul-betul
ingin menangis. Dasar nasibnya selalu jelek. Dalam keadaan sengsara begini
pun, dia masih kena hinaan juga! Musuhnya yang menolong! Atau, kalaupun
bukan musuh sungguhan, paling tidak, laki-laki ini sudah kelewat sering melukai hatinya.
Dia tahu, dia tak pernah dianggap sebagai sesama manusia oleh Pasha.
Ketika Pika memer-lukannya, dengan mudah saja dia telah dicam-pakkannya,
seolah dia sama sekali tak bisa pa-tah hati. O ya, Tesa mana punya perasaan!
Dia kan cuma boneka dungu belaka! Manis untuk dipandang, sedap untuk diajak
main.
Nah, kalau dulu saja tidak dianggap, apalagi sekarang. Dia tidak lebih dari
seorang pasien! Tak perlu disapa! Apalagi diakui sebagai kenal-an lama!
Terlebih jangan mimpi, dia akan ber-teriak kegirangan, "Ai, Tes, kita ketemu
lagi!" Huh! Padahal rasanya baru kemarin dia bilang cinta! Huh! Qma?! Omong
kosong! Cinta mo-nyet barangkali, itu mungkin benar! Heran, kenapa dia bisa
kebetulan sedang menggantikan Dokter Yusuf, sih?! Ah, dasar nasibku jelek
terus!
Dengan lagak seorang dokter yang serius se-kaM, laki-laki itu menguak gaun
tidur yang sudah terlepas kancingnya, lalu seperti seorang ahli jantung
jempolan diletakkannya stetoskop pada beberapa tempat tertentu di dada.
Tesa yakin jantungnya sehat dan penyakitnya sekarang ini sama sekali tidak
menyerang ke
sana, namun entah kenapa, Dokter Solem men-dengarkan denyutaya begitu
laaama! Matanya yang menunduk tak bisa dilihatnya, sehingga
dia tidak bisa menerka apa yang tengah diper-hatikan atau dipikirkan
olehnya. Untuk menga-jukan protes, dia segan. Nanti dianggap sok
tahu. Selain itu, ibunya kan masih berdiri di ujung ranjang, jadi tak ada
alasan baginya untuk menuduh dokter itu kurang ajar atau yang bukan-bukan
lainnya.
Dengan terpaksa ditahannya siksaan itu. Lama-lama dia menjadi keki.
Pandanglah se-puasmu, pekiknya dalam hati. Sebab semua itu takkan pernah

www.ac-zzz.tk
menjadi milikmu! Nanti bisa kaubandingkan dengan Pika! Atau, kini sudah
dengan Shakira?!
Emosi seperti itu tentu saja membuat denyut jantungnya bertambah. Dokter
Solem mengerut-kan kening.
"Debar jantungmu kencang sekali," cetusnya tidak pada siapa-siapa, lalu
tiba-tiba menoleh pada si sakit. Dirabanya sejenak dahinya.
"Hm. Tidak terlalu demam!"
Karena Tesa memang tengah melotot meng-awasinya, dia tidak sempat lagi
membuang muka. Sesaat mereka bertatapan. Tapi Dokter Solem cepat
mengalihkan matanya seakan tak ada apa-apa.
"Anak Ibu memang cukup serius sakitnya!" katanya, kali ini menoleh ke kaki
ranjang. "Kenapa baru panggil dokter sekarang?"
Nyonya Rodan jadi gemetar ketakutan. Ucap-an seperti itu biasanya berarti
burtik. Dengan gagap dia menyahut, "Anaknya... ban... del, Dokter. Eng...
gak... mau... te... rus... dia... jak... bero... batT
"Hm. Kenapa? Takut dijeksi?!" Dokter menatap sekilas pasiennya. Tentu saja
Tesa mana sudi meladeni, apalagi menyahuti. Kaukira lu-cu? pikirnya. Huh! Tak
usah, ya!
"Betul, Dokter. Anak saya ini sejak kecil paling takut sama jarum suntik!"
kata Nyonya Rodan mengiakan.
"Hm. Coba tarik napas panjang, keluarkan. Sekali lagi. Terus. Sekali lagi.
Sekali lagi. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Taaarik.-" Tapi
lalu sang dokter lupa memberi perintah keluarkan.
Tesa terus menarik napas sepanjang mungkin sampai rasanya tak tertahan
lagi. Namun aba-aba keluarkan tidak juga terdengar. Dadanya sudah serasa
mau meledak. Dia malah jadi se-sak napas, akhirnya terbatuk-batuk.
Dokter Solem menatapnya, lalu. dengan te-nang berkata, "Dikeluarkan,
dong, napasnya, jangan ditahan begitu!"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kenapa enggak mau bilang dari tadi?!
Rupanya stetoskop masih belum memberi Info yang cukup, sehingga Dokter
Solem merasa perlu menggunakan jari-jarinya untuk ketuk-ketuk sana-sini.
Aduh, merinding bulu badan
Tesa bersentuhan seperti itu. Dia langsung ter-ingat keindahan musim panas
di bulan Desem-ber serta ketenteraman musim dingin, berduaan
duduk di depan jendela....
"Tesa!"
Tiba-tiba dia kaget mendengar panggilan ibunya. Oh! Rupanya dokter mau
memeriksa teng-goroknya dan sejak tadi menunggunya buka
mulut. Spatelnya siap di ujung bibir.
Tesa menganga selebar-lebarnya, berharap akan bisa batuk keras-keras agar
bisa menyem-prot Pak Dokter. Tapi Dokter Solem rupanya sudah bisa menduga
adanya iktikad jail, atau mungkin juga dia sudah kelewat berpengalam-an, tak
mungkin bisa dipermainkan.
Begitu Tesa menggerakkan lidah mau batuk, spatel sudah ditarik ka luar dan
dokternya berdiri. Setelah membuang spatel kayu itu ke tong sampah dekat
meja, dia kembali ke ranjang. Lalu dengan tenang, seakan itu termasuk tugas-

www.ac-zzz.tk
nya, dikancingkannya kembali gaun tidur pasiennya satu per satu. Mula-mula
Tesa ingin menolak, tapi entah kenapa akhirnya dibiarkan-nya.
"Nah, pemeriksaan sudah selesai! Sekarang saya mau menulis resep,"
katanya tidak pada siapa-siapa.
Seakan itu kata sandi untuk menyuruhnya keluar, ibu Tesa langsung berlalu.
Pintu kamar dibiarkannya terbuka. Begitu ibunya lenyap dari lapangan
pandang, medan pun segera berubah
suasana. Ketika Dokter Solem meraih pergelang-annya untuk menghitung
denyut nadi, dengan berang dikibaskannya tangannya. Wajahnya yang sejak
tadi tidak mencerminkan emosi apa pun, kini menatap dengan garang.
"Nah, setelah puas menghinaku, pulanglah le-kas pada istrimu! Pika pasti
sudah tidak sabar menu ngg u mu P*
Dokter Solem malah ketawa menghadapi pe-nolakan tadL Dengan tegas
ditangkapnya kembali lengan Tesa, lalu digenggamnya dan dihi-tung
denyutnya. Setelah selesai, dia memandang Tesa seraya tersenyum.
Tidakkah kau mau berterima kasih padaku, sebab tidak menyuntikmu?"
"Huh! Tunggu kiamat dulu!" dengus Tesa dengan sebal.
"Tahukah kau? Wajahmu tambah memikat kalau marah!"
Lalu wajahnya menunduk lebih dekat, sehingga Tesa terpaksa melihat
betapa bagus mata hitam Pasha. O, Tuhan, keluhnya. Laki-laki ini bisa
tersenyum dengan matanya! Wajahnya yang putih dan tampan begitu terbuka.
Ditam-bah dengan sepasang bola mata yang penuh binar, ah! Aku tak tahan
ditatap seperti itu. Aku tak bisa memakinya walaupun dalam hati ingin banget!
"Sudahlah, Pas. Jangan bersandiwara lagi! Aku tak tahu kenapa kau bisa
datang kemari
sore ini! Kok tumben menggantikan dokter te-tanggaku?"
Pasha seakan ingin ketawa geli, namun melihat wajah Tesa belum
menawarkan perdamai-an, dia tidak jadi.
"Ini namanya keberuntungan, Tes. Biasanya Dokter Harun yang
menggantikan Yusuf. Tapi mendadak dia kena apepe... anu, usus buntunya
harus dipotong. Dokter Yusuf mesti cuti mene-ngok ibunya di Jawa, kabarnya
sedang sakit, sudah tua. Nah, aku tahu kau tinggal di jalan ini. Aku pikir, kalau
aku praktek selama dua minggu, barangkali saja aku bisa melihatmu wa-lau
cuma sekali. Dari jauh! Hari ini sebenarnya dinasku berakhir. Sabtu kan tutup,
dan Senin Dokter Yusuf sudah akan praktek lagi. Tapi dasar jodoh, eh, ibumu
menelepon...."
Cis! Jodoh dari mana, pikir Tesa sengit. Dasar laki-laki! Di rumah sudah
beristri, di luaran mengaku masih cari-cari jodoh!
"Sudahlah, Pas. Cepat tuliskan aku resep. Setelah itu kau boleh pulang."
"Aku diusir, nih?" tanyanya dengan mata masih penuh senyum.
"Aku menghargai kau!" katanya pelan setengah mengeluh. "Janganlah
menjadi laki-laki yang tidak setia!" '$&k
"Kalau kau cuma menghargai aku, aku malah mencintaimu! Janganlah
menuduh sembarang! Pika sudah baikan lumpuhnya. Dia kini bisa menggunakan
kursi roda dan..."

www.ac-zzz.tk
"Syukurlah," potong Tesa tak sabar. "Tapi maaf, aku tidak berminat untuk
mendengar ten-tang istrimu!"
"Kau harus mendengarnya! Tesa, dia sudah lama menikah dengan Michael
dan menetap di Perth!"
"Oh???!" Tesa nyaris melongo saking heran.
"Begitu Michael sudah sembuh dan bisa me-nolongnya, aku disepaknya!
Rupanya aku ini tak pernah dibutuhkan olehnya!"
"Kasihan!" ejek Tesa mencibir.
Pasha lebih mendekatkan wajahnya. "Jadi siapa yang mau kau tuduh enggak
setia? Coba ulang sekali lagi! Jangan sok mengejek, ya!"
Dengan sikap mengancam diterkamnya kedua pergelangan tangan Tesa, lalu
digenggam dan diacung-acungkannya. Tanpa setahu mereka, Aster sudah
menyelinap masuk. Melihat kakak-nya terdiam saja sementara Dokter Solem
kelihatan begitu mengancam, anak itu berlari kembali mendapatkan ibunya
seraya berseru, "Mami! Mami! Kak Tesa bergulat sama Dokter!"
"Kalau dengan Shakira bagaimana?" tanya Tesa setengah berbisik.
Kedua orang itu tidak mendengar kepanikan Aster, sehingga mereka tidak
menyadari bahwa di ambang pintu sudah berdiri dua orang pe-nonton.
"Shakira yang mana, sih?!" tanya Pasha sambil meraih kertas resep dan
mencari bolpen. Dipukul-pukulnya setiap saku. "Astaga! Rupanya bolpenku masih ketinggalan di kamar Dokter Yusuf! Pinjami aku, Tes."
Ibu Tesa mengerutkan kening mendengar nama anaknya. Kayaknya kok
seakan dokter ini
sudah biasa betul memanggil nama itu?!
Tesa menunjuk ke atas meja di samping ranjang tanpa bergerak untuk
mengambilkan. Sikap ini juga membuat penonton di ambang pintu
kembali mengerutkan kening.
Di atas tumpukan buku dan majalah terdapat bolpen, pensil, serta karet
penghapus.
"Suka mengisi teka-teki silang, nih?" tanya Pasha sambil menarik bolpen.
Tesa tidak menanggapi. Ibunya makin ber-kerut keningnya.
Apa-apaan anak ini?! Enggak biasa-biasanya enggak sopan begitu!
Sebaliknya dari menjawab, didengarnya Tesa bertanya makanan apa yang
harus dipantang-nya. Dokter menyebutkan beberapa macam yang terlarang.
Aneh. Tesa kedengaran geli ber-campur jengkel.
"Itu semua kan kesukaanku, Pas! Tega kau!"
Aduh, nadanya! pikir ibu Tesa. Dia baru tahu, anaknya punya bakat manja!
"Dan aku kok masih ingat ya apa yang kau-sukai!" Mata yang hitam itu kini
menatap dengan tajam. Senyum di sana sudah lenyap walaupun kehangatannya
masih terasa.
"Kalau kue dadar bagaimana?" tanya Tesa, tahu-tahu jadi ingin manja
sungguhan.
Sudah sintingkah anak ini, pikir ibunya. Sejak kapan dia suka kue dadar?!
Bukankah di rumah tak pernah dibuat kue itu?!
"Bikin boleh, makan jangan!"
Nah, nah! Sekarang dokternya pun ikut-ikut-an sin ting!

www.ac-zzz.tk
"Ooi! Kau sentimeh!" seru Tesa sambil memu-kul Pasha, membuat ibunya
menahan napas sa-king heran. Apa-apaan ini?! Kok pasien dan dokter bercanda
seperti teman sekolah?! Namun matanya langsung ierbuka begitu dia
mendengar ocehan Pasha selanjutnya.
"Dua belas kali aku menelepon, selalu ditolak! Eh, enggak tahunya malah
bisa langsung masuk ke tempat peraduan tuan putri. Apa itu namanya bukan
bintang terang?" tukas Pasha dengan suara girang.
Tahulah dia sekarang siapa dokter ini. Dia langsung menggenggam lengan si
bungsu dan menyeretnya pergi. "Yuk, mari, Aster. Jangan kita ganggu mereka.
Kakakmu tidak apa-apa. Dia sedang diobati." Dan pintu dirapatkannya.
"Jangan senang-senang dulu!" ancam Tesa.
"Hm. Kenapa? Tak mungkin kau akan bisa menolak diriku lagi. Apa
alasanmu? Aku kan masih bujangan?! Dan belum pernah enggak se-tia!"
"Kalau dengan Shakira, gimana?" "Shakira lagi! Shakira lagi! Siapa sih monyet
itu?"
"Itu, lho! Istrinya Goffar!"
"Oh, yang anaknya tempo hari kaubawa untuk opname? Yah! Kalau dia,
gimana, ya?! Katanya dia sudah disuruh bercerai oleh ayahnya. Sang ayah ini
katanya rindu sekali ingin punya menantu dokter. Terakhir, dia menawari aku
kursi DPR. Ah, buat apa aku main-main di DPR? Kalau dia bisa menawarkan
kursi direktur rumah sakit, nah, itu baru akan kupertimbang-kan dengan serius!
Aku belum menolaknya, kok!"
"Memangnya peduli apa aku, kau menolaknya atau tidak!"
"Tentu saja kau tidak diharuskan peduli!" sa-hut Pasha kalem dengan alis
terangkat tinggi, namun matanya masih tetap tersenyum. "Perempuan itu
memang hebat sekali. Sendirian ke mana-mana mewakili ayahnya yang rupanya
kebanyakan cuma sibuk main golf dengan penggede."
"Eh?!"
"Waktu anaknya sakit tempo hari, untung sekali kebetulan ada kau! Dia
sendiri katanya sedang di luar kota meresmikan kantor cabang, sedangkan
ayahnya masih di New York untuk urusan bisnis juga. Dinamis sekali Shakira itu!
Gesit! Sebat!"
"Oh?!" Tesa begitu tercengang mendengar cerita Pasha sampai untuk
beberapa saat dia tak mampu berkata-kata. Sungguh hebat sekali lidah Shakira
memutarbalikkan fakta sampai*< sampai Pasha pun memuji dirinya! Gesit?! Hm
Kerja kantor tak mau, kerja di rumah pun ogah!
Mewakili ayah?! Hm. Hm. Siapa yang sudah-tidak diakui anak dulu itu?!
Ketika akhirnya dia bisa bersuara, Tesa me-mutuskan untuk tidak
mengatakan perihal keadaan Shakira yang sebenarnya.
"Jadi itu yang dikatakannya padamu? Dia enggak bilang kenapa aku sampai
membawa anaknya ke rumah sakit?!"
"Ya, aku juga memang sudah lama ingin tahu sebabnya! Apa kau kebetulan
sedang bertamu pada Goffar mumpung tahu istrinya di luar kota?!"
Tesa meringis mendengar tuduhan yang mirip fitnah itu. "Nanti deh, aku
ceritakan semua-nya! Sekarang aku lagi enggak ingin. Aku eng: gak bergairah

www.ac-zzz.tk
menjelek-jelekkan sesama perempuan! Salah-salah disangka orang, aku
cemburu! Atau mau membuat engkau putus dengannya!"
"Astaga! Tesa, dungu betul kau ini! Kaukira aku belum menyadari siapa
Shakira itu?! Perempuan itu mungkin agak sinting. Yang jelas, dia rupanya
tergila-gila padaku! Hampir setiap pagi dia menelepon ke klinik, sampai-sampai
aku jadi bulan-bulanan rekan-rekan dan perawat! 'Pas, apa kabar nonimu? Tadi
pagi kata Suster Rani dia sudah hampir mewek di telepon men-cari-cari kau!
Sudah lama minggat, ya! Pulang dong, kan kasihan anak orang!' Uh! Macammacam deh olok-olok mereka. Aku disangka ada main dengan janda kaya!
Padahal sebenar300
nya aku tak pernah meladeninya. Sekali pun belum pernah aku sambuti
teleponnya! "
"Apa iya?" tanya Tesa mencibir. "Menurut dia sih, kau ini sudah naksir dia
benaran, deh. Katanya, kau kepincuk oleh kekayaan ayahnya! Padahal
seingatku, ayahnya sih kaya biasa-biasa saja. Artinya, enggak ada hubungan
dengan DPR segala macam! Eh, kok aku jadi banyak mulut?! Salah-salah nanti
dikira mau menjelek-kan orang lain!"
Pasha ketawa. "Rupanya memang, ya!"
"Eh? Mau fitnah?"
"Habis! Menurut pengakuannya sendiri, ayahnya itu teman main menterimenteri, bankir-bankir, dan orang-orang gedean lainnya. Ayahnya punya usaha
juga di luar negeri. Pendek-nya, menurut dia, sang ayah itu salah satu juta-wan
paling top di republik kita ini! Ha, ha, ha! Makanya dengan gampang dia
tawarkan kursi DPR! Berapa saja mau, pasti dapat! Dan kau bilang... ha, ha,
ha! Dia biasa-biasa saja?!"
Tesa ikut ketawa setelah mengerti maksud Pasha. "Sudah, ah! Jangan
mempercakapkan orang lain! Enggak baik. Aku sudah senang bahwa semua itu
rupanya cuma khayalan Shakira belaka. Tadinya aku sangka, kau sudah..."
Suara Tesa mengandung kelegaan. "Sudah apa?" sambung Pasha menuntut. Tesa
cuma menggeleng. Pasha tidak memaksa.
"Nah, jadi persoalan Shakira sudah terang. Urusan kita pun beres, bukan?"
"Enggak segampang itu!" sahut Tesa pelan.
"Eh, kenapa lagi? Apa alasanmu masih mau menolak aku sekarang? Aku kan
masih bujang-an?r
"Itu salahmu sendiri! Jangan salahkan aku! Nah, memang kenapa sih kau
belum kawin?"
"Aku menunggumu. Sekarang setelah kita ketemu lagi, tentunya kita akan
rujuk, bukan? Kau juga menungguku, kan?" . - vi~
"Ti... dak!" bantah Tesa gugup mendadak.
"Jangan bohong! Lalu kenapa kau belum juga menikah?"
Tesa mengelakkan tatapan yang menyelidik itu. Bibirnya tiba-tiba
menggeletar seperti ngeri.
"Entahlah. Rasanya... aku... tak... berani... pa-caran lagi! Selalu jadi
malapetaka. Aku rasa, aku tak sanggup pacaran denganmu lagi!"

www.ac-zzz.tk
"Tesa!" seru Pasha dengan tegas, lalu meme-gang dagunya untuk memaksa
gadis itu menatapnya kembali. "Kita tidak akan pacaran!"
"Oh?!"
"Kita akan segera meni..."
"Kak Tesa," tiba-tiba terdengar suara Aster dari luar kamar, "pacarmu
datang!"
Bersamaan dengan itu, daun pintu terkuak dan... Tesa serta Pasha samasama menoleh. Gadis itu melongo melihat Bos menyeruduk masuk dengan
sebuah buket mawar merah dalam tangannya. Wajahnya seketika menjadi
pucat.
Dia tambah gelisan^eBKa inendapati Pasha melirik Bos dan dirinya bergantian dengan tajam.
Hm. Jadi inikah gajah dungkul yang tempo hari memaki-maki aku di
telepon?! pikir Pasha sambil mengukur orang itu dari atas sampai ke sepatu
Bally di lantai. Hm. Dasinya sih memang ' bagus, sayang tubuhnya kegendutan,
jadi ke-banting dipakai olehnya. Rambutaya yang dibe-lah di tengah masih
kelihatan rapi walaupun hari sudah malam, berkat Tancho atau pomade merek
lain. Sayang kumisnya terlalu jarang seperti tanaman yang tidak terawat, masih
lebih bagus kumis kucing!
"Halo, Tesa, sayangku! Bagaimana keadaan-mu hari ini? Aku lihat wajahmu
cerah sekali! Ini mawar merah untukmu, tanda... eh, masih ada dokter!" Bos
berseru heran seakan baru saja melihat ada orang lain di situ. Diletakkannya
buketnya di atas meja, lalu dipandangnya Dokter Solem.
"Bagaimana keadaan tun... eh, keadaannya, Dokter... ehem?"
Pasha tidak mau menyebutkan namanya. Dia langsung saja mengatakan
sepintas lalu mengenai penyakit pasiennya, seakan itu rahasia jabat-an yang
tak berhak diketahui orang yang tidak jelas kepentingannya.
"Syukurlah. Jadi tidak berbahaya, kan?" ka.ta Bos yang tidak menyadari
bahwa orang. kurang senang padanya. "Soalnya, Dok, Tesa ir^ajiu^
Lalu seakan sudah kebiasaan, dia mau duduk di pinggir ranjang, tapi dengan
sigap namun tak kentara. Pasha sudah mendahului. Dia purpura mengambil
kembali kertas resep yang ter-letak d\ samping Tesa. Di belakangnya. Bos
menunggu dokter itu bangun untuk menulis resep di tempat lain. Namun dokter
itu pun ngotot tak mau berlalu.
Ketika Bos masih juga berdiri mematung di situ, Dokter Solem akhirnya
menoleh dan ber-kata dengan sopan namun tegas, "Silakan Anda menunggu di
ruang tamu saja, Pak. Saya belum selesai memeriksa... ehem... calon... istri
Anda!"
"O ya, ya, baik, baik!" Dengan patuh ayam jago itu menyingkir. Mana dia
mimpi, bahwa untuk selamanya dia takkan punya izin lagi untuk masuk kembali
ke situ?!
Begitu pintu sudah tertutup, Pasha mendesis garang dengan mata bersinar
tajam. "Aku tidak mau tahu bagaimana caranya! Tapi kau harus bisa
melepaskan diri dari jago yang satu itu. Kalau perlu, Tes, sore ini juga kau
berhenti kerja!"
Dan komando yang begitu eksplisit mana mungkin bisa dibantah?!

www.ac-zzz.tk

Sekian

Anda mungkin juga menyukai