Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri
sejak abad ke-16 Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini
tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur
sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti
sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana
yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Daftar isi
1 Sejarah
o 1.1 Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan sekitarnya
2 Asal-mula nama
3 Pemerintahan berdaulat
6 Peninggalan budaya
7 Lihat pula
8 Catatan kaki
9 Bacaan lanjut
10 Pranala luar
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang yang pusat wilayahnya berada di Kabupaten Sumedang,
merupakan Kerajaan yang berdiri dari sisa-sisa Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan
Pajajaran. Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Islam Kerajaan Sunda, setelah
Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Wilayah kerajaan ini meliputi Jawa Barat dan
wilayah Banyumasan yang tidak berada di bawah kekuasaan Banten dan Kesultanan Cirebon.
Kerajaan ini berakhir saat Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun, yang merupakan keturunan
Harisbaya keturunan Mataram dan Panembahan Ratu dari Cirebon) menyerahkan kerajaan
pewaris trah Siliwangi, Sumedang Larang kepada Kesultanan Mataram di tahun 1601.
Masa[2]
Kerajaan Sumedang Larang
Pemerintahan Kesultanan Mataram
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Pemerintahan Inggris
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
Pemerintahan Jepang
Pemerintahan Republik Indonesia
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
Pemerintahan Negara Pasundan
Pemerintahan Republik Indonesia
Tahun
900 - 1601
1601 - 1706
1706 - 1811
1811 - 1816
1816 - 1942
1942 - 1945
1945 - 1947
1947 - 1949
1949 - 1950
1950 - sekarang
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum
Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan
kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu
Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh
Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela,
diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah
berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata
Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun
Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata
Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu
yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No.
1
a
b
c
d
e
f
Nama[2]
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
Prabu Guru Aji Putih
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
Prabu Gajah Agung
Sunan Guling
Sunan Tuakan
Nyi Mas Ratu Patuakan
Tahun
900
950
980
1000
1200
1450
g
h
2
4
5
6
7
1530 - 1578
1578 - 1601
1601 - 1625
1625 - 1633
1633 - 1656
1656 - 1706
1706 - 1709
1709 - 1744
1744 - 1759
1759 - 1761
1761 - 1765
1765 - 1773
1773 - 1775
1775 - 1789
1789 - 1791
1791 - 1800
1800 - 1810
1805 - 1810
1810 - 1811
1811 - 1815
1815 - 1828
1828 - 1833
1833 - 1834
1834 - 1836
1836 - 1882
1882 - 1919
1919 - 1937
1937 - 1942
1942 - 1945
1945 - 1946
1946 - 1947
1947 - 1949
1949 - 1950
1950
1950 - 1951
1951 - 1958
1958 - 1960
1960 - 1966
1966 - 1970
g
h
i
j
k
l
m
n
o
p
q
1970 - 1972
1972 - 1977
1977 - 1983
1983 - 1988
1988 - 1993
1993 - 1998
1998 - 2003
2003 - 2008
2008 - 2013
2013
2013 Sekarang
Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya
yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut
berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya
agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan
Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran
sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi
Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja Kerajaan
Sumedang Larang yang terakhir
Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat
bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan
Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada
peristiwa Cadas Pangeran
mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian
itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu
Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai
dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh
Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat
Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota
dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru,
putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas
Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Pangeran Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang
dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya
sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai
upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan
Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan
Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara
diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa
surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga
Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di
Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat
tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di
Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.
Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental
prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke
Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC,
pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.
Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang
mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden
Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istriistri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram
dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka
mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak
mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para
panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan
juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan
perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot
sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya
di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan
itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung
perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam Negara Kerta Bhumi disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika
memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah
dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang
lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan
Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati
Ukur.
Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan
perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah
karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau
memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati
Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh
Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu
dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus
menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati
untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan
pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang,
Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian
laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki
Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten
mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang
sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang
dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah
pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua
tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk
diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram
dengan cara dipenggal kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di
wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih
memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini
kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan
kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada
akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu
lumbung padi di Jawa Barat.[3][4][5]
Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol
II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik
yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah
berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan
Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan
Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung
Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.