Anda di halaman 1dari 11

Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri
sejak abad ke-16 Masehi di Tatar Pasundan, Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini
tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur
sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti
sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana
yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Daftar isi

1 Sejarah
o 1.1 Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan sekitarnya

2 Asal-mula nama

3 Pemerintahan berdaulat

3.1 Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

3.2 Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

3.3 Prabu Geusan Ulun

4 Pemerintahan di bawah Mataram


o

4.1 Dipati Rangga Gempol

4.2 Dipati Rangga Gede

4.3 Dipati Ukur

5 Pembagian wilayah kerajaan

6 Peninggalan budaya

7 Lihat pula

8 Catatan kaki

9 Bacaan lanjut

10 Pranala luar

11 Linimasa kerajaan di Tatar Pasundan

Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang yang pusat wilayahnya berada di Kabupaten Sumedang,
merupakan Kerajaan yang berdiri dari sisa-sisa Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan
Pajajaran. Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Islam Kerajaan Sunda, setelah
Pakuan jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Wilayah kerajaan ini meliputi Jawa Barat dan

wilayah Banyumasan yang tidak berada di bawah kekuasaan Banten dan Kesultanan Cirebon.
Kerajaan ini berakhir saat Suriadiwangsa (anak tiri Geusan Ulun, yang merupakan keturunan
Harisbaya keturunan Mataram dan Panembahan Ratu dari Cirebon) menyerahkan kerajaan
pewaris trah Siliwangi, Sumedang Larang kepada Kesultanan Mataram di tahun 1601.

Pemerintahan di Wilayah Sumedang dan sekitarnya


No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Masa[2]
Kerajaan Sumedang Larang
Pemerintahan Kesultanan Mataram
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Pemerintahan Inggris
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
Pemerintahan Jepang
Pemerintahan Republik Indonesia
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
Pemerintahan Negara Pasundan
Pemerintahan Republik Indonesia

Tahun
900 - 1601
1601 - 1706
1706 - 1811
1811 - 1816
1816 - 1942
1942 - 1945
1945 - 1947
1947 - 1949
1949 - 1950
1950 - sekarang

Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak
Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum
Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan
kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu
Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh
Prabu Guru Adji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela,
diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah
berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Kata
Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun
Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata
Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu
yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan berdaulat

No.
1
a
b
c
d
e
f

Nama[2]
Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
Prabu Guru Aji Putih
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela
Prabu Gajah Agung
Sunan Guling
Sunan Tuakan
Nyi Mas Ratu Patuakan

Tahun
900
950
980
1000
1200
1450

g
h
2

4
5
6
7

Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata


Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a Raden Suriadiwangsa, Pangeran Rangga Gempol I
b Pangeran Rangga Gede
c Pangeran Rangga Gempol II
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris,
Belanda dan Jepang
a Dalem Tumenggung Tanumaja
b Pangeran Karuhun
c Dalem Istri Rajaningrat
d Dalem Anom
e Dalem Adipati Surianagara
f Dalem Adipati Surialaga
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
i Dalem Aria Sacapati
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
k Bupati Republik Batavia Nederland
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon
Bonaparte
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris
o Bupati Kerajaan Nederland
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria
Sumantri
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah
Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer
Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah
Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia)
b Raden Abdurachman Kartadipura
c Sulaeman Suwita Kusumah
d Antan Sastradipura
e Muhammad Hafil
f Adang Kartaman

1530 - 1578
1578 - 1601
1601 - 1625
1625 - 1633
1633 - 1656
1656 - 1706
1706 - 1709
1709 - 1744
1744 - 1759
1759 - 1761
1761 - 1765
1765 - 1773
1773 - 1775
1775 - 1789
1789 - 1791
1791 - 1800
1800 - 1810
1805 - 1810
1810 - 1811
1811 - 1815
1815 - 1828
1828 - 1833
1833 - 1834
1834 - 1836
1836 - 1882
1882 - 1919
1919 - 1937
1937 - 1942
1942 - 1945
1945 - 1946
1946 - 1947
1947 - 1949
1949 - 1950
1950
1950 - 1951
1951 - 1958
1958 - 1960
1960 - 1966
1966 - 1970

g
h
i
j
k
l
m
n
o
p
q

Drs. Supian Iskandar


Drs. Supian Iskandar
Drs. Kustandi Abdurahman
Drs. Sutarja
Drs. Sutarja
Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra
Drs. H. Misbach
H. Don Murdono,SH. Msi
H. Don Murdono,SH. Msi
Drs. H. Endang Sukandar, M.Si
Drs. H. Ade Irawan, M.Si

1970 - 1972
1972 - 1977
1977 - 1983
1983 - 1988
1988 - 1993
1993 - 1998
1998 - 2003
2003 - 2008
2008 - 2013
2013
2013 Sekarang

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)


Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai
pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung
dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu
Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya
(Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi
wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu
Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua
putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan).
Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan dia membelah dan meminum air kelapa
muda tersebut sehingga dia dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang
Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap
di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji
untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang
diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu
Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan
keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia
dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama
Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke
Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan
Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra
tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas
Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra
Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan
mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah
ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran
Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit.
Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon.

Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya
yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut
berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya
agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri


Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan
Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang
kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M)
yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta
menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh
Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan atau Pangeran Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk
Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan
menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal
dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang
Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak,
yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
2. Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya
memeluk agama Islam.
3. Kiyai Demang Watang di Walakung.
4. Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan,
Subang.
5. Santowaan Cikeruh.
6. Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.

Prabu Geusan Ulun

Mahkota Binokasih, Mahkota Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan
Ulun disimpan di Museum Prabu Geusan Ulun oleh para Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran
sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi

Keris Panunggul Naga adalah Keris milik Prabu Geusan Ulun yang merupakan raja Kerajaan
Sumedang Larang yang terakhir

Keris Naga Sasra yang digunakan oleh Pangeran Kornel (Pangeran Kusumahdinata IX) saat
bersalaman menggunakan tangan kiri (pertanda adanya perlawanan terhadap kebijakan
Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos dengan Gubernur Jenderal Daendels pada
peristiwa Cadas Pangeran

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya,


Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang
letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut,
Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa
Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer
dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati
Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden
Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang
dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan
Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu
Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi
sebelum meninggalkan Keraton dia mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu
Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari
perlindungan yang disebut Kandaga Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran,
kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan
kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang).
Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah
Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa,
dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja Palangka Sriman Sriwacana direbut oleh
pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan
diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa
Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga
wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane,
batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah
utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten
yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai
pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan
Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaankerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan
politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan
Mataram dan dia pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan
diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum
pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan
Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama
keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan
Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu
Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata
tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya

mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian
itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu
Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai
dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh
Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat
Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang
Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota
dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru,
putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas
Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:
1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
2. Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
3. Kiyai Kadu Rangga Gede
4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Pangeran Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu.
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya
menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Pemerintahan di bawah Mataram


Dipati Rangga Gempol

Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang
dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya
sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai
upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan
Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan
Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara
diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dipati Rangga Gede


Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura
atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena
Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri.
Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan
pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa
surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga
Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di
Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat
tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di
Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia.
Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental
prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke
Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC,
pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana.
Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang
mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden
Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istriistri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram
dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka
mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak
mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para
panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan
juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan
perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot
sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya
di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan

itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung
perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.
Dalam Negara Kerta Bhumi disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika
memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah
dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang
lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan
Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati
Ukur.
Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan
perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah
karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau
memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati
Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh
Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu
dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus
menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati
untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan
pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang,
Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian
laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki
Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten
mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang
sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang
dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah
pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua
tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk
diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram
dengan cara dipenggal kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di
wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih
memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini
kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan
kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada
akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu
lumbung padi di Jawa Barat.[3][4][5]

Pembagian wilayah kerajaan


Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk
memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh
(Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian[6]:

Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar


Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar
Tumenggung Wirangun-angun,
Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar
Tumenggung Tanubaya.

Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol
II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.

Peninggalan budaya
Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik
yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah
berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan
Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan
Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung
Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.

Anda mungkin juga menyukai