Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

KEJANG DEMAM KOMPLEKS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT DR. SOESELO SLAWI
PERIODE 16 MEI 2016 -30 JULI 2016

STATUS PASIEN PRESENTASI KASUS


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT DR. SOESELO SLAWI
PERIODE 16 MEI 2016 -30 JULI 2016
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama penderita

: An. MH

Usia/tanggal lahir

: 1 Tahun / 27-02-2015

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

:Kalisapu, RT 03/04

No. RM/CM

: 429703

Tanggal MRS

: 16 Mei 2016

Tanggal Pemeriksaan : 19 mei 2016


Nama Ibu

: Ny. Lili Suryani

Usia

: 31 tahun

Pendidikan/Pekerjaan : SMA / Tidak bekerja


II.

ANAMNESIS
Alloanamnesis oleh : Ibu dan ayah penderita serta Catatan Medis
Anak ke : 1

Dari : -

Jumlah anak meninggal: -

Keguguran : -

Ibu Kawin ke : 1

Ayah kawin ke : 1

Lahir mati : -

A. KELUHAN UTAMA
Kejang
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
- Demam sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit, mendadak, naik
turun. Kejang terjadi hari ke 2 demam, di rumah pasien kejang 2 kali.
Ibu pasien sempat mengukur suhu sebesar 39C. Kejang pertama dan
kedua terjadi selama 10 menit, sebelum kejang pasien sadar, selama
kejang tidak sadar, setelah kejang anak sadar. Setelah pasien sampai di
UGD RSUD Soeselo Slawi OS sudah tidak kejang, hanya demam.

- Selama sakit, nafsu makan pasien dirasakan berkurang. Tidak ada diare
sebelumnya. Adanya nyeri perut tidak dirasakan oleh ibu pasien. BAB
pasien teratur, satu kali sehari, konsistensi lunak, berwarna kuning.
Menurut ibu pasien, BAK tidak ada perbedaan dari sebelum sakit.
Pasien tidak pernah mimisan ataupun gusi berdarah. Pasien tidak
pernah jajan di luar rumah. Pasien tidak ada berpergian keluar kota
sebelumnya. Pasien tidak ada mengeluh sakit telinga dan sakit kepala.
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami trauma di kepala. Adanya
tetangga atau keluarga sakit yang sama disangkal oleh ibu pasien.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Baru pertama kali sakit seperti ini
- Riwayat kejang dengan disertai demam atau tanpa demam sebelumnya
disangkal
D. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Ayah pasien memiliki Riwayat penyakit kejang demam saat masih
kecil
- Riwayat kelainan pada otak dalam keluarga disangkal.
E. RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
- Anak lahir dari ibu G1P1A0, 27 tahun, hamil 9 bulan, dilakukan
perawatan kehamilan di Puskesmas oleh bidan, tidak ada riwayat
perdarahan, tidak ada riwayat trauma, tidak ada penyakit kehamilan,
tidak ada riwayat minum jamu/obat di luar resep dokter selama hamil
- Kulit ketuban pecah saat melahirkan, warna, jumlah dan bau tidak
tahu.
- Lahir bayi laki-laki, secara spontan, ditolong bidan, langsung
menangis, tidak biru-biru, berat badan lahir 2700 gram, panjang badan
lahir lupa.
- Setelah lahir anak diperiksakan ke Puskesmas (bidan), keadaan anak
baik, tidak ada riwayat penyakit kejang, demam, sesak, pucat.

F. RIWAYAT MAKAN DAN MINUM


- Sejak lahir sampai sekarang, anak mendapatkan ASI serta makanan
pendamping.
- Anak mau konsumsi susu formula, bubur susu, nasi tim saat sehat.
- Kesan : ASI eksklusif, kualitas dan kuantitascukup
G. RIWAYAT IMUNISASI
- Hepatitis B, DPT, Polio, dan Campak : lupa waktunya, tetapi dikatakan
lengkap karena anak selalu teratur dibawa ke Puskesmas/Posyandu.
- Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia.

H. RIWAYAT TUMBUH KEMBANG ANAK


Pertumbuhan:
- Berat badan lahir 2700 gram, panjang badan lahir lupa.
- Berat badan sekarang 8 kg, berat badan sebelumnya tidak ditimbang.
Tinggi badan sekarang 60cm, tinggi badan sebelumnya tidak diukur.
- Kesan : gizi baik, perawakan pendek
Perkembangan :
- Saatini anak sudah dapat makan sendiri menggunakan sendok, berdiri
dengan menggunakan bantuan, melambaikan tangan dengan perintah,
serta sudah dapat mengucapkan beberapa kata
- Kesan : perkembangan sesuai usia.

I. KEADAAN KESEHATAN DAN LINGKUNGAN


Ayah sehat dan ibu sehat. Anggota keluarga lain sehat
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
(-),

kejang (-). BB 8 Kg

: sadar, napas spontan adekuat, tachypne(-), tanda perdarahan

Tanda Vital

:
- Tekanan darah
- Nadi
cukup
- Frekuensi nafas
- Suhu

: tidak diukur
: 110x/menit, reguler,isi dan tegangan
: 22 x/menit
: 36,5 o C

Keadaan Tubuh
Kulit

: sawo matang,

Kepala
Bentuk

: normal, wajah dismorfik (-)

Rambut

: tidak kemerahan, tidak mudah dicabut

Mata

: anemis (-), ikterik (-)

Pupil

: isokor 2 mm, refleks cahaya/bulu mata,kornea (+) normal

Telinga: sekret (-), discharge (-)


Hidung: napas cuping (-)
Mulut
Bibir

: pucat (-), stomatitis (-), sianosis (-)

Mukosa

: kering (-), stomatitis (-), sianosis (-)

Lidah

: atrofi papil (-)

Palatum

: palatoscizis (-)

Tenggorok

: Tonsil: T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), kripte melebar (-)

Faring

: mukosa hiperemis (-)

Gusi

: berdarah (-)

Leher

: simetris, kaku kuduk (-),pembesaran kelenjar limfe (-).

Dada

: bentuk dada normal, simetris statis dinamis, pernapasan


thorakoabdominal, retraksi (-)

Paru
Inspeksi

: simetris statis dinamis, retraksi (-), iga ambang (-)

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi

: suara dasar : vesikuler (+); suara tambahan: hantaran (-), ronkhi (-).

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tak terlihat

Palpasi

: IC tidak teraba. thrill (-)

Perkusi

: konfigurasi jantung dalam batas normal

Auskultasi

: suara jantung I dan II normal, bising (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: datar, venektasi (-), hernia umbilicalis (-)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Hati

: 2 cm b.a.c, tepi tajam, kenyal, permukaan rata

Limpa

: S0

Inguinal

: pembesaran kelenjar limfe (-)

Genital

: laki-laki, fimosis (-), dalam batas normal

Anus

: (+), dalam batas normal

Anggota gerak

superior

inferior

Edema

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

Refleks fisiologis

+/+ normal

+/+ normal

Refleks Patologis

:-/-

Gerakan

Klonus

-/-

Kekuatan otot

kesan >3kesan >3

Pucat

-/-

-/simetris

Rangsang meningeal :
Kaku kuduk

(-)

Brudzinky I

(-)

Brudzinky II

(-)

Kernig Sign

(-)

-/-/-

IV.

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
DIFF COUNT

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN

6,7
4,5
12,2
35
77
27
35
321

103/uL
106/Ul
g/Dl
%
Fl
pg
g/Dl
103/uL

6-17
3,6-5,2
10,7-13,1
35-42
74-102
28-31
28-32
150-400

Eosinofil

2-4

Basofil

0,1

0-1

Netrofil

67,20

50-70

Limfosit0,

23,50

25-40

Monosit

9,10

2-8

DAFTAR MASALAH
Kejang Demam kompleks

VI.

DIAGNOSIS
Kejang Demam Kompleks

VII.

TERAPI
- Infus RL 15 tpm
- Inj. Ranitidin 2 x 1/3 ampul
- Inj. Cefotaxim 3 x 1/3 ampul
- Inj. Parasetamol 4 x 150 mg
- Inj. Diazepam 3 mg i.v pelan jika kejang

VIII.

RENCANA PEMERIKSAAN
- Darah Rutin
- EEG
- Pungsi Lumbal

IX.

RENCANA PERAWATAN
- Memberikan perasaan nyaman kepada penderita di ruangan
- Membantu tersedianya edukasi bagi penderita

X.

RENCANA PEMANTAUAN
- Pemantauan keadaan umum, tanda vital, distres respirasi
- Pemantauan diuresis dan balans cairan
- Pemantauan akseptabilitas diet
- Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan.
- Pemantauan komplikasi lain yang mungkin timbul

XI.

RENCANA EDUKASI
- Menjelaskan tentang tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan
- Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi.
- Menjelaskan tentang diet dan cara pemberian makanan yang akan diberikan.
- Menberikan support mental kepada anak dan keluarga.

XII.

PROGNOSIS
Ad Vitam

: Dubia Ad bonam

Ad Functionam

: Dubia Ad Bonam

Ad Sanationam

: Dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
2.1.1

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh

(suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada
golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun.1
Menurut ILAE, anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam yang terjadi
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun megalami kejang didahului demam,
kemungkinan lain yaitu infeksi SSP, atau epilepsi yang terjadi bersama demam. 2 Dari
beberapa penelitian dijumpai 2-5% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kejang, baik
kejang pertama maupun ulangan yang didahului kenaikan suhu tubuh.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.4
2.1.2

Epidemiologi
Berkisar 2% - 5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam.

Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22
bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.4
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka
kejadian kejang demam adalah 9- 10%.5

2.1.3

Etiologi
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demam sering disebabkan

infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia, bronkopneumonia,


bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih.
Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan
lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi lanjut
dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab yang lebih
jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia,
perdarahan intrakranial spontan serta trauma postnatal.1
Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut semakin jarang
menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali muncul sebagai penyebab
penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor paling umum. Penyebab lain setelah
masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa kerusakan otak akibat trauma, infeksi, dan
tumor otak. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang
demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP (pertusis) dan
morbili (campak).1
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66 (22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.6 Penyebab
utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita yang mengalami
kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otitis media
akut (lihat tabel).

Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam daripada
infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella mempunyai
resiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding penderita gastroenteritis oleh
kuman penyebab lainnya.Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian
kejang demam pada Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik
akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
2.1.4

Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang

berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi,

biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya,

mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat
potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama
selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu :
-

Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.

Perubahan permeabilitas sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.

Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan


neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.7
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada

keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi
oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan
hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K
ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau
kepekaan sel saraf meningkat.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na +
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis

dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na K ATPase yang terdapat pada permukaan sel.1,7

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme


basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi
otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15
%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+
melalui membran tadi, sehingga mengakibatkannya lepas muatan listrik.1,7

Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan
cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar SSP, misalnya infeksi pada telinga, dan infeks
saluran pernafasan lainnya.6
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut :
-

Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.

Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan

permeabilitas membran sel.


-

Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang
akan merusak neuron.

Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF), meningkatkan kebutuhan oksigen


dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion keluar masuk sel.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan

terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama,
sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan
sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan
hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan
metabolisme di otot.
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15
menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen otak.6
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, dan suhu tubuh yang
makin meningkat disebabkan karena meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron otak. Kejang demam yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi.8
2.1.5

Klasifikasi

Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi
triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi
membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam
tidak sebanyak yang diperkirakan.9

Di Sub Bagian Saraf Anak Bagian IKA FK UI-RSCM Jakarta, kriteria Livingston
tersebut setelah dimodifikasi dipakai sebagai pedoman untuk membuat diagnosis kejang
demam sederhana ialah : 1
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul setelah 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
Kejang kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya
kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan,yaitu :
a. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) yaitu kejang menyeluruh yang
berlangsung kurang dari 15, menit dan tidak berulang dalam 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (Complex Febrile Seizure) yaitu kejang fokal (hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh), berlangsung lebih dari 15 menit dan atau
berulang dalam waktu singkat ( selama demam berlangsung).2
Disini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurologi atau riwayat kejang demam
atau kejang tanpa demam dalam keluarga.2

2.1.6

Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain. Serangan
kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului kekakuan atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal.10
Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis
sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung
kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.10
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya
terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan
intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah
ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi.
Resiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya
kejang tanpa demam.1, 10
Secara umum, gejala klinis kejang demam adalah sebagai berikut:
-

Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tibatiba)

Kejang tonik-klonik atau grand mal

Penurunan kesadaran yang berlangsung selama 30 detik - 5 menit (hampir selalu


terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam)

Postur tonik

Gerakan klonik

Lidah atau pipi tergigit

Gigi atau rahang terkatup rapat

Inkontinensia

Gangguan pernafasan

Apneu

Cyanosis.

Setelah mengalami kejang biasanya :


-

Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam atau
lebih.

Terjadi amnesia dan sakit kepala.

Mengantuk

Linglung

Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan terjadinya
cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat

disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan


elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut,
meningitis merupakan penyebab kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian
meningitis pada kejang yang disertai demam yaitu 2-5%.
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada
sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50%
kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus
herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7). 11
Hal hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu :
-

Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang

Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang

Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas
akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/OMA, dll)

Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga

Singkirkan

penyebab

kejang yang

lain

(misalnya diare/muntah

yang

mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan


kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain :


-

Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran

Suhu tubuh : apakah terdapat demam

Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque dan
pemeriksaan nervus cranial

Tanda peningkatan tekanan intracranial : ubun-ubun besar (UUB) membonjol, papil


edema

Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab
demam

Pemeriksaan neurologi : tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

Pemeriksaan Penunjang1,2
Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk
dilakukan pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau
penyakit lain

yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan

dengan dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya


dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur urin untuk
melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan fokus infeksi dari
pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium, fosfor, magnesium dan
glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam juga kurang memberikan
arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam sederhana.
Beberapa

pemeriksaan

penunjang

yang

dapat

dilakukan

ialah

EEG

(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang


yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan ditemukan pada 88%
pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada 33% pasien bila EEG
dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang. Namun, perlambatan EEG ini kurang
mempunyai nilai prognostik dan kejadian kejang berulang dikemudian hari atau
perkembangan

ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil pemeriksaan yang
kurang bermakna.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali

sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas, oleh
karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12 bulan,
sangat dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada bayi
berumur >18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke
meningitis.
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasikejang
demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan padakejangdemam kompleks
sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnyaMagnetic resonance imaging (MRI) dapat
dilakukan untuk mengevaluasi adatidaknya kerusakan di otak misalnya di daerah hipokampus
jika penyebabkejang masih belum diketahui.12
Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa
pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis.
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia yaitu
jika memenuhi kriteria sebagai berikut :
-

Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun

Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit

Kejang umumnya berhenti sendiri

Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal

Kejang tidak berulang dalam 24 jam1,12

2.1.7

Diagnosis Banding

Menghadapi seorang anak yang menderita kejang dengan demam, harus dipikirkan
apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak). Kelainan di
dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, dan abses otak. Oleh
karena itu perlu waspada untuk menyingkirkan apakah ada kelainan organis di otak. Baru
sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana
atau kejang demam kompleks. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal.
Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis sehingga
sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi
oleh demam dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis, sehingga menyerupai kejang demam.
Diagnosis Banding Kejang Demam:
1. Kelainan Intrakranium
-

Meningitis

Encephalitis

Abses otak

2. Gangguan metabolik
-

Hipoglikemi

Gangguan elektrolit

Sinkop

3. Epilepsi
-

Epilepsi Triggered by Fever (ETOF)


Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk

menentukan penyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang tersebut.

2.1.8 Penatalaksanaan1,13
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu: pengobatan
fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis terhadap berulangnya
kejang demam.
Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan adalah
mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat obatan antipiretik

sangat diperlukan. Obat obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah
asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam, diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen 5
10 mg/kgBB/hari setiap 4 6 jam, diberikan 3-4 kali sehari.
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai dalam
waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5 menit
apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, diberikan
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis
maksimal 20 mg.
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif daripada
diazepam per rektal pada anak.
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam

Tatalaksana penghentian kejang akut dapat dilaksanakan sebagai berikut :


1. Di Rumah (pre hospital):
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan pemberian diazepam per
rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana bila berat badan kurang dari 10 kg
diberikan 5 mg, sedangkan jika berat badan lebih dari 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian di
rumah diberikan maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung,
bawa pasien ke klinik atau rumah sakit terdekat.
2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena, dapat diberikan
diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan
intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit,
dan gula darah sesuai indikasi. Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin i.v dengan
dosis 20 mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0,9%, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan fenitoin i.v 10
mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin setelah 12 jam, kemudian dengan
rumatan 5-7 mg/kg.

Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital i.v dengan dosis maksimum 15-20 mg/kg
dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi kelainan metabolik yang ada.
Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital i.v rumatan 4-5 mg/kg setelah
12 jam kemudian.
3. Perawatan Intensif di Rumah Sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang intensif. Dapat
diberikan salah satu dari obat berikut:
-

Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus midazolam 0,010,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.

Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5 mg/kg/jam dan diturunkan
setelah 12-24 jam.

Pentobarbital 5-15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5 mg/kg/jam.

Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan berikut in

Mencari dan Mengobati Penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan lumbal pungsi hanya pada kasus yang dicurigai mengalami
meningitis, atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil manifestasi klinis
meningitis sering tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan.
Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan bila
sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
Profilaksis intermiten pada waktu demam untuk kejang demam sederhana
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua
pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang
diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya
sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan fenobarbital
intermiten. Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya cepat.
Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap
pasien menunjukkan suhu 38,5 C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan
dosis 0,3 mg/kg BB/hari setiap 8 jam pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam
adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif
karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat diberikan. Efek
sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang lebih berbahaya, seperti
infeksi sistem saraf pusat.
Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan) untuk kejang
demam kompleks.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di
kemudian hari.

Profilaksis setiap hari terus menerus hanya diberikan jika kejang demam mempunyai ciri
sebagai berikut (salah satu / lebih) :
1. Kejang lama lebih dari 15 menit, fokal
2. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang, seperti hemiparesis,
paresis Todd, serebal palsi, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam
4. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
Antikonvulsan yang dapat diberikan antara lain fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam
1-2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari
dibagi 2-3 dosis.
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan jika :
1. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
3. Kejang demam lebih dari 4 kali dalam 1 tahun.
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang terakhir dan
dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat ini efektif dalam menurunkan risiko
berulangnya kejang.
Indikasi Rawat Inap:
Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut :
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia
c. Usia di bawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis
Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya bisa meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya benigna

b. Memberikan cara penanganan kejang


c.

Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali

d. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi mempunyai efek samping.


e. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi angka kejadian epilepsi.
Beberapa Hal yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik
b. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk kejang
e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Berikan diazepam rectal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
g. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
2.1.9

Prognosis14

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak
menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar
antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat dari usia,
jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchtal (1973) mendapatkan:
-

Pada anak yang berusia kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada anak
perempuan sebesar 50% dan anak laki-laki sebesar 33%.

Pada anak yang berusia 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang,
terulangnya kejang adalah 50%, sedangkan pada anak tanpa riwayat kejang sebesar
25%.

Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung
dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangsung lama, atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari ketiga faktor di atas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibandingkan jika hanya terdapat atau

tidak sama sekali dari faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2%-3%
saja. Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaborative Perinatal Project 1 di
Amerika Serikat, dari 1706 anak pasca kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia
7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat kejang demam. Kemudian anak dengan
kejang demam ini dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal dengan tes IQ.
Angka rata-rata pada anak yang pernah mengalami kejang demam adalah 93%. Skor ini tidak
berbeda bermakna dari saudara kandungnya. Sedangkan pada anak yang sebelum mengalami
kejang demam sudah abnormal, atau dicurigai menunjukkan gejala yang abnormal,
mempunyai total IQ yang lebih rendah daripada saudara kandungnya.
Hasil yang diperoleh The National Collaborative Perinatal Project ini hampir serupa
dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child Development Study, yaitu
didapatkan bahwa anak yang pernah kejang demam kinerjanya tidak berbeda dengan populasi
umum saat dilakukan tes pada usia 7 dan 11 tahun.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ellenberg dan Nelson, tidak didapatkan adanya
perbedaan IQ saat diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan kejang demam dan
kembarannya yang tidak mengalami kejang demam. Dengan penanggulangan yang tepat dan
cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Hasil dari 2 penelitian,
didapatkan angka kematian akibat kejang demam ini sebesar 0,46% dan 0,74%. Dari
penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50% yang umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama.
Faktor resiko terjadinya epilepsi
Faktor resiko menjadi epilepsi di kemudian hari:
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% 6%, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%
- 49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat
pada kejang demam.

2.1.10

Komplikasi1,14

Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan mengambil perhatian yang
besar dari orang tua, sebagian besar kejang demam tidak menimbulkan efek yang menetap.
Kejang demam jika diterapi dengan tepat, tidak menyebabkan kerusakan otak, retardasi
mental, gangguan belajar, atau epilepsi dikemudian hari
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi dimana resiko terjadinya epilepsi rendah
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar
5. Kemungkinan mengalami kematian sebesar 0,46% dan 0,74%.
Komplikasi paling sering dari kejang demam adalah kemungkinan terjadinya kejang
demam lagi. Kira-kira sepertiga anak yang pernah kejang demam akan mengalami kejang
lagi pada demam berikutnya. Risiko kambuh lebih tinggi jika anak mengalami demam yang
tidak terlalu tinggi pada saat pertama kali mengalami kejang demam. Jika waktu antara
permulaan demam dan kejang pendek, atau jika ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
kejang demam. Tetapi factor yang paling berpengaruh adalah usia. Anak yang lebih muda
saat kejang demam pertama kali, kemungkinan besar akan mengalami kejang demam lagi.

BAB III
PEMBAHASAN
Kasus adalah seorang anak Berusia 18 bulan yang dirawat di RSUD Soeselo Slawi dengan
diagnosis kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks ialah kejang demam dengan
salah satu ciri berikut; kejang fokal (hanya melibatkan salah satu bagian tubuh) atau kejang
umum didahului kejang parsial, berlangsung lebih dari 15 menit dan atau berulang atau lebih
dari 1 kali dalam 24 jam.Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia,
bronkopneumonia, bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih.Prognosis pasien dengan
kejang demam yaitu baik karena terjadinya Kematian akibat kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Namun pada beberapa kasus,Kejang demam akan berulang kembali . Faktor
risiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang

4. Cepatnya kejang setelah demam


Pada pasien ini ditegakkan diagnosiskejang demam kompleks berdasarkan kejang yang
didahului dengan episode demam, terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam.Penyebab demam
pasien ini adalah infeksi, yaitu ISPA yang ditegakkan berdasarkan riwayat batuk pilek yang
dialami oleh pasien.
Edukasi yang dapat dilakukan pada orang tua adalah penjelasan bahwa kejang demam
adalah benigna, meskipun dapat terjadi kejang berulang, berulangnya kejang dapat dicegah
dengan langkah-langkah :
-

Bila anak mengalami demam dengan suhu >38C, berikan anak pakaian yang longgar
dan minim, memberikan suhu kamar atau suhu lingkungan yang sejuk (tidak panas).

Bila anak mengalami demam dengan suhu >38C, berikan antipiretik parasetamol 1015 mg/kgBB/kali, evaluasi suhu tubuh 1-2 jam setelah pemberian antipiretik, jika suhu
masih > 38C antipiretik dapat diulang dalam 4-6 jam.

Berikan profilaksis untuk kejang dengan diazepam 0,5 mg/kgBB sehari dibagi 3 dosis
selama anak masih panas.

Jika telah terjadi kejang pada anak, orang tua diminta tetap tenang dan tidak panik.
Segera longgarkan pakaian dan mencegah lidah agar tidak tergigit dengan penahan lidah,

jangan memasukkan makanan atau apapun ke dalam mulut karena dapat menyebabkan
anak tersedak.
-

Berikan diazepam intra rectal bila terjadi kejang dirumah dengan dosis 10 mg jika BB
> 10 kg dan dosis 5 mg jika BB < 5 mg. Orang tua tetap mendampingi anak saat kejang
dan memantau kejang dan suhu tubuh. Jika kejang berlangsung > 5 menit segera dibawa
ke pusat pelayanan kesehatan.

Menjelaskan pada orang tua pada anak dapat terjadi kejang berulang. Jika tipe kejang
demam adalah kompleks, faktor resiko kejang berulang dan menjadi epilepsi dikemudian
hari lebih tinggi, namun kejang tidak menyebabkan gangguan intelektual pada anak
dikemudian hari.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Kejang Demam. Buku Kuliah 2 Ilmu
Kesehatan. Info Medika. Jakarta: 2007. 847-62.
2. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 14.
3. Soegijanto S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. Lab. Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Available at:
library.itd.unair.ac.id/download.php?id=5. Accessed on April 19th 2016.
4. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK
Universitas Indonesia, Jakarta. 434 437.
5. Kusuma, D., Yuana I., (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan
Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis,Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro,
Semarang, Jawa Tengah.
6. Lumbantobing, S.M. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007
7. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC, Jakarta, 2006.
8. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang
Pada Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
9. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. Jakarta : EGC. 2007.
10. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-term Treatment of the
Child with Simple Febrile Seizure. 1999; 6: 1307-1309. Sumber Tulisan:
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics
11. Pusponegoro, H.D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 210-211.
12. Waruiru & Appleton. Febrile Seizure An Update. Arch Dis. 2008. Diakses 29
Januari
2014.
Available
from
URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?
tool=pmcentrez
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia Jilid 1.
14. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 2060.

Anda mungkin juga menyukai