Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pyogenes,
namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh virus.1 Pengobatan tonsillitis
kronis adalah dengan terapi bedah. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil
dianjurkan terapi radikal dengan tonsilektomi.
Proses Tonsilektomi erat kaitannya dengan anestesi. Anestesi berasal dari
bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthtos "persepsi, kemampuan untuk merasa",
secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Tonsilektomi dilakukan dengan anestesi umum (general anesthesia). Anestesi
umum (general anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum (NU). 5
Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan risiko yang tidak
diinginkan dari pasien. Oleh karena itu, anestesi umum bertujuan menjamin hidup
pasien, yang memungkinkan operator melakukan tindakan bedah dengan leluasa dan
menghilakan rasa nyeri.7
Dalam laporan kasus ini, akan dibahas sebuah kasus Nn. M dengan diagnosis
tonsilitis kronis yang dilakukan tonsilektomi dengan anestesi umum.
BAB II
LAPORAN KASUS
1
: 19 September 2016
: Nn. M
: Perempuan
: 20 tahun
: 56 kg
No. RM
Ruangan
Diagnosis
Tindakan
: 838186
: THT Kelas III
: Tonsilitis Kronis
: Tonsilektomi
2 bulan SMRS, Os pernah mengalami keluhan nyeri menelan, namun keluhan hanya
dirasakan sebentar dan hilang sendiri. Os mengaku bahwa sebelum sakit ia sering makan makanan
ringan ciki ciki. Selanjutnya, 1 minggu SMRS, OS mengeluh batuk dan pilek.
3 SMRS, Os mengeluh nyeri menelan. Nyeri menelan yang dirasakan sangat sakit dan
terasa mengganjal ditenggorokan., nyeri dirasakan terus menerus, namun sesekali berkurang. Nyeri
akan bertambah jika pasien makan, sehingga pasien mengalami kesulitan dalam makan. Selain itu,
Os juga merasakan badannya sedikit hangat, kepalanya sakit dan terkadang telinga nya sedikit nyeri.
Lalu, Os juga mengatakan bahwa menurut kakaknya, ia sekarang sering bau mulut. Kemudian, Os
mengatakan bahwa tidak ada lagi keluhan lainnya. Os tidak mengalami perubahan suara selama
sakit, mendengkur (-), sesak napas (-). Meskipun tidak ada keluhan lainnya tersebut, Os merasa nyeri
tenggorokkannya semakin berat meskipun ia sudah minum obat dari dokter, bahkan os merasa
sedikit sulit tidur karena nyeri sehingga ia dibawa ke Rumah Sakit Mataher untuk berobat lanjut.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
-
: Baik
Kesadaran
Tanda Vital
TD
: 110/70 mmhg
Respirasi
Nadi
: 98 x/ menit
Suhu
: 36,8 C
Kepala
-
Mata
Thorax
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
batas normal
: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Pekusi
Genitalia
Tidak Diperiksa
Ekstremitas
Superior
Inferior
: Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-), CRT < 2 detik,
kekuatan motorik 5/5.
: Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-),CRT < 2 detik,
kekuatan motorik 5/5.
Hasil
8,2
4,89
13,4
37,7
292
2 menit
4,5 menit
Normal
(3,5-10,0 103/mm3)
(3,80-5,80 106/mm3)
(11,0-16,5 g/dl)
(35,0-50,0 %)
(150-390 103/mm3)
4
Hasil
Harga Normal
16
19
(<1,0 mg/dl)
(<0,2 mg/dl)
(6,4-8,4 g/dl)
(3,5-5,0 g/dl)
(3,0-3,6 g/dl)
(<40 U/L)
(<41 U/L)
21,9
0,8
(15-39 mg/dl)
(L 0,9-1.3; P 0,6-1,1
mg/dl)
(<126 mg/dl)
(<200 mg/dl)
(<200 mg/dl)
: CTR < 50 %
: ASA I
: Tonsilitis Kronis
Tindakan Bedah
: Tonsilektomi
Status ASA
: ASA I
Jenis/tindakan anestesi
: General Anestesi
Premedikasi
: Ranitidin 50 mg
Ondancentron 4 mg
Induksi
Intubasi
Rumatan
Pengakhiran anestesi
Ekstubasi
BAB III
LAPORAN ANESTESI
Tanggal
: 19 September 2016
Nama
: Nn. M
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 20 tahun
BB
: 56 kg
Ruang
: Kelas III
No. MR
: 838186
Diagnosis
: Tonsilitis Kronis
Tindakan
: Tonsilektomi
Operator
Ahli Anastesi
Kesadaran
: Compos Mentis
TD
: 110/70 mmHg
Respirasi
: 24 x/ menit
Nadi
: 98 x/ menit
Suhu
: 36,7 C
2. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Foto Thorak
Laboratorium
DARAH RUTIN
WBC
RBC
- HGB
- HCT
PLT
- Clotting Time
- Bleeding Time
-
: 8,2 103/mm3
: 4,89 103/mm3
: 13,4 g/dl
: 37,7 %
: 292 103/mm3
: 2 menit
: 4,5 menit
KIMIA DARAH
Faal Hati
SGOT
: 16 U/L
SGPT
: 19 U/L
Faal Ginjal
Ureum
: 21,9 mg/dl
Kreatinin
: 0,8 mg/dl
3. Penyakit penyerta
: Tidak Ada
8
4. Status Fisik
: ASA I
: 01.00 WIB
Intubasi
Maintenance
Lama Anestesi
Jumlah Cairan
Input
Output
: ETT No. 7
: Sevoflurans 2 vol% + N2O : O2 (3 : 1)
: 1 jam 15 menit.
: RL 3 kolf (1500 ml)
: Perdarahan : Suction 50 cc + kassa 50 cc
Urin 200 cc
= 2 ml x kgBB/jam
= 2 ml x 56 kg
= 112 cc/jam
= Maintenance x lama puasa
= 112 x 7
= 784 cc/jam
= Operasi Sedang (BB x 6)
= 56 x 6
= 336 cc/jam
: (P) + M + O
(784) + 112+ 336 840 cc
9
10
Jam II
: (P) + M + O
(784) + 112 + 336 644 cc
: Terlentang
2. Intubasi
3. Penyulit Intubasi
:-
:-
5. Jumlah Perdarahan
: 100cc
Jam
Tekanan Darah
Nadi
RR
08.15
100/70 mmhg
98
24
08.30
110/70 mmhg
100
22
08.45
110/67mmhg
100
20
09.00
110/65 mmhg
90
18
09.15
90/60 mmHg
90
22
09.30
100/60 mmHg
98
20
: 10.00 WIB
2. Keadaan Umum
Kesadaran
TD
: 110/70 mmHg
Nadi
: 100 x/ menit
Pernafasan
: 22/menit
Suhu
: 36,7C
3. Skor Alderate
10
11
1. Aktifitas
2. Pernapasan
3. Warna Kulit
4. Kesadaran
5. Sirkulasi
Jumlah
Pindah Ruangan
:1
:2
:2
:2
:2
:9
INSTRUKSI ANASTESI
1. Awasi keadaan umum, tanda-tanda vital dan perdarahan setiap 15 menit selama
1x24 jam.
2. Tirah baring tanpa bantal selama 1 x 24 jam.
3. IVFD analgetic ketorolac 30 mg + tramadol 100 mg dalam RL 500 cc 30 gtt/i.
4. Lanjutkan terapi sesuai instruksi dr.Lusiana HY, Sp.THT-KL
11
12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Tonsilitis
4.1.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes,
namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh virus.1
4.1.2 Manifestasi Klinik
Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita
menelan) nyeri seringkali dirasakan di telinga (karena tenggorokan dan telinga
memiliki persyarafan yang sama). Gejala lain demam, tidak enak badan, sakit kepala,
muntah.2
4.1.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dengan bantuan spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu
warnanya, besarnya, muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan, arkus
anterior hiperemis atau tidak. 3
Besar tonsil diperiksa sebagai berikut:1,3
T0
T1
T2
T3
T4
12
13
bulan
hingga
viridian,
streptokokus piogenes.
Tonsil hiperemis dan edema
Kripte tidak melebar
Detritus + / -
4.1.4 Penatalaksanaan1
a. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
b. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal dengan
tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi
13
14
Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak
Mutlak (Absolut)
Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang
dicurigai limfoma (keganasan)
Hipertropi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnoe waktu tidur.
Infeksi
o Infeksi telinga tengah berulang
o Rinitis dan sinusitis yang kronis
o Peritonsiler abses
15
c.
d.
e.
f.
g.
h.
15
16
bedah otak.7,8 Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.7
i. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi nafas
lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan
halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan. 7
j. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan
aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan
teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk
anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.7
e. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum
ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 7
2. Anestetik Intravena (Anestetik Parenteral)
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan
klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang
16
17
lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen
intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.9
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-kadang
sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan
pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-stabilan
hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi
inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot
untuk mendapatkan operasi yang optimum. 9
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan
medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
propofol.6,7
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol. 7 Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat
yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja
pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat
antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada
disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang
cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa
obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi
atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.6
a. Barbiturate
Contoh disini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi
intravena yang bekerja cepat (short acting).6 Bekerja menghilangkan kesadaran
dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate
menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
17
18
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate
tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. 6
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). 7 Onset cepat, lama kerja pendek. Efek
kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit.
Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.10
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.7 Efek hipnotik 1,8 kali
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.10
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan
darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negative inotropik
disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat
menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah
induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP
dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan
intrakranial.10
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. 7
18
19
c. Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus
lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan
analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari
baseline,
denyut
aritmia,
serta
menimbulkan hipersekresi.7
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh
7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit. 6 Dosis bolus
untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek
analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml
= 100 mg). 7
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 7
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam,
dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh
anestetik lokal dalam anestetik regional.5 Digunakan untuk induksi anesthesia,
kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan
amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek
analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.6
1.) Midazolam
19
20
induksi
anestesia
terutama
pada
penderita
dengan
penyakit
20
21
22
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:5
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih
larut dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang
tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2
mg/kg BB.
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
22
23
f. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol
dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.5
III. Efek Relaksasi Otot
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum
inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot.
Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf
terbatas penggunaannya. Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak
23
24
sadar, analgesinya dapat diberikan opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi
akibat pemberian pelumpuh otot. 7
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot. Pelumpuh
otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular. Akibat rangsang terjadi
depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion kalsium memicu keluarnya asetil-kolin
sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada
reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan
terjadi depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion
kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolinesterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong
tertutup kembali terjadilah repolarisasi. 7
a) Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti
asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup
lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi
yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah
suksinil-kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.7
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudokolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 7
Dampak samping suksini ialah: 7
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
24
25
2. Steroid
mivakurium.
: Pankuronium, vekuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik
: Gallamin.
4. Nortoksiferin
: Alkuronium.
: Atrakurium, vekuronium
: Atrakurium
25
26
3. Miasternia gravis
4. Bedah singkat
5. Kasus obstetri
27
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek. Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas
indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.5,7
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).5,7
-
dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis
perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam
kehidupannya.
Contohnya
Pasien
dengan
syok
atau
dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
pada
pembedahan
darurat
dengan
28
Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang
kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau
keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).5,7
II. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia diantaranya:7
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuscular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi.7
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg
(zofran,narfoz).7
28
29
29
30
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini
pasien batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
30
31
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
32
Indikasi :
Prosedur :
Operasi lama
Sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
33
34
I. Mempertahankan Anestesi11
dan propofol.
Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik
non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama
Hepar
34
35
Jantung
Ginjal
Paru
Endokrin
koroner.
: obat yang diekskresi di ginjal.
: obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
: hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan
peninggian gula darah.
sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
35
36
b.
Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh.
= 2 ml x kgBB/jam
= Maintenance x lama puasa
= Jenis Operasi* x (BB)
:4
:6
:8
36
37
Operasi kecil adalah prosedur bedah yang tidak membutuhkan pembiusan dan
bantuan pernafasan selama operasi. biasanya cukup dengan bius lokal saja. Misalnya,
incisi abses, angkat tahi lalat, angkat kutil, sirkumsisi. Operasi besar adalah prosedur
bedah yang membutuhkan pembiusan total dan bantuan pernafasan selama operasi.
Contohnya adalah laparoskopi, bedah saraf, bedah digestif, bedah jantung. Operasi
sedang sama dengan operasi besar, hanya saja durasi waktu lebih singkat dan tekhnik
lebih sederhana dibanding operasi besar. Contohnya, tonsilektomi, appendektomi.
Hal yang perlu diketahui adalah jenis operasi dapat berubah sesuai dengan
situasi dan kondisi pasien selama operasi. Misalnya, bila ada komplikasi atau
penyakit lebih berkembang dari yang telah diperkirakan, maka tingkat operasi
meningkat jadi operasi besar atau khusus.
BAB V
PEMBAHASAN
Kasus ini membahas tentang Nn. M, , berusia 20 th, berat badan 56 kg,
dengan diagnosis tonsilitis kronis, dan dilakukan tosilektomi dengan anastesi umum
(general anastesi). Anestesi umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri / sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi yang ideal terdiri : hipnotik, analgesia, relaksasi otot.
37
38
ASA II
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin
terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktifitas rutin penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
ASA V
39
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas karena reflek laring mengalami
penurunan selama anestesi. Pasien ini puasa dari pukul 01.00 WIB dan dimulainya
operasi pukul 08.15 WIB, total lama puasa pasien adalah 7 jam. Seharusnya lama
puasa pada pasien dewasa adalah sekitar 6-8 jam.
Selanjutnya, tahapan anestesi dimulai dengan pemberian cairan IV line pada
tangan kiri sebanyak 1 kolf untuk menghindari terjadinya shock hipovolemik, karena
pada pasien ini telah berpuasa selama + 8 jam dan pada tindakan bedah akan
menyebabkan perdarahan meskipun jumlah perdarahan pada pasien ini tidak terlalu
banyak. Selain itu, pemasangan cairan IV line ini berfungsi untuk pemberian obat
premedikasi.
Tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi bertujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi
sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi
mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi refleks yang membahayakan
Adapaun obat premedikasi yang diberikan yaitu Ranitidin 50 mg (golongan
antagonis reseptor H2 Histamin) tujuannya sebagai antiemetik dan untuk mencegah
pneumonitis asam karena cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5. Ondansetron
4 mg (golongan antiemetik) untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan.
Premedikasi sendiri seharusnya diberikan 1-2 jam sebelum dimulainya operasi namun
pada pasien ini diberikan ketika pasien sudah berada di dalam ruang tindakan operasi,
yaitu 10-15 menit sebelum operasi dimulai.
2. Durasi Operatif
Pasien mulai diinduksi pukul 08.15 wib, dengan diposisikan terlentang.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general anestesi
Awalnya pasien diberikan O2 8 liter melalui face mask. Serta diberikan juga
Fentanyl golongan opioid (analgesik narkotika) sebanyak 50 mcg yang bertujuan
39
40
untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien dan mengurangi rasa nyeri saat
pembedahan dengan dosis 1-2 mcg/kgBB. Onset fentanyl ini sangat cepat yaitu 3
detik dengan lama aksi 30 menit.
Selanjutnya, os diinduksi dengan propofol 120 mg. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Selama
induksi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi
oksigen. Propofol merupakan derivat fenol dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat
protein plasma, eliminasi terjadi di hepar menjadi suatu metabolik tidak aktif. Dosis
induksi cepat menyebabkan sedasi (30-45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga
relatif singkat. Setelah propofol dimasukkan dilihat refleks bulu mata, jika refleks
bulu mata sudah tidak ada maka face mask ditempelkan (triple manuver) sambil
disuntikkan Atracurium 25 mg yang berfungsi untuk mempermudah insersi ETT serta
memberikan relaksasi otot selama pembedahan.
Setelah diberikan relaksan, dilakukan bagging selama + 3 menit untuk melihat
pengembangan paru dan juga menunggu relaksan bekerja sehingga mempermudah
dilakukannya intubasi. Pompa 15x dalam 30 detik untuk menciptakan keadaan
hiperventilasi sehingga pasien memiliki persediaan O2 di otak. Pegang laringoskopi
dengan tangan kiri dan mulai melakukan pemasangan ETT. Masukkan ETT ukuran
7,0 dibantu dengan madrin lalu menghubungkan ke pompa, lalu dengarkan suara
abdomen dan apeks paru. Setelah itu mengembangkan cuff dengan spuit yang berisi
udara. Fiksasi ETT dengan plester di tulang pipi. Mengalirkan O2 dan N2O diberikan
dengan perbandingan 1:1 (3L/i:3L/i) dari mesin ke jalan napas pasien sebagai anestesi
rumatan. Diberi tambahan anestesi inhalasi sevoflurance 2 vol%. Kemudian mata
ditutup plester.
Setelah stadium anestesi cukup dalam, operasi pun dimulai sikitar pukul 08.30
WIB dengan TD : 100/70 mmHg , nadi : 100 x/i dan RR : 20x/i.
Selama operasi diberikan cairan RL sebanyak 3 kolf (habis terpakai). Pada
pukul 09.20 wib disuntikkan Reverse dengan SA 0,5 mg + Neostigmin 1 mg yang
merupakan obat untuk pelumpuh otot yang bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolinesterase, sehingga asetilkolin dapat bekerja.
40
41
Ekstubasi pada pasien ini dilakukan saat pasien bernapas spontan, kemudian
membersihkan ludah dan sekret dari jalan napas dengan suction. Ekstubasi umumnya
dilakukan pada keadaan anestesi sudah ringan dan pasien sudah mulai bernapas
spontan, dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring.
Operasi selesai pukul 09.45 WIB, infus lanjutan diberikan analgetik drip
tramadol 100 mg dan ketorolac 30 mg yang diberikan 30 gtt/i. Tramadol merupakan
analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu dan kelemahan
analgesiknya 10-20 % dibandingkan morfin. Tramadol dapat diberikan iv atau im
dengan dosis 50-100 mg dan diulang tiap 4-6 jam. Dengan dosis maksimal 400
mg/hari.
Ketorolac merupakan OAINS yang bekerja pada jalur oksigenasi menghambat
biosintesis prostaglandin dengan analgesik yang kuat secara perifer dan sentral. Juga
memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri
ringan sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek
analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang
dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian iv/im, lama
efek analgesik adalah 4-6 jam.
3. Pemberian Cairan Preoperatif
Pada pasien ini diberikan 3 kolf (1500cc) cairan infus RL (ringer laktat) sebagai
cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah
tidak makan dan minum + 7 jam, kebutuhan cairan pada pasien ini adalah :
BB = 56 Kg
M (Maintenance)
P (Puasa)
O (Operasi)
= 2 ml x kgBB/jam
= 2 ml x 56 kg
= 112 cc/jam
= Maintenance x lama puasa
= 112 x 7
= 784 cc/jam
= Operasi Sedang (BB x 6)
= 56 x 6
= 336 cc/jam
41
42
: (P) + M + O
(784) + 112+ 336 840 cc
Jam II
: (P) + M + O
(784) + 112 + 336 644 cc
42
43
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
43
44
Anestesi umum adalah pilihan anestesi untuk tonsilektomi. Status fisik pasien
termasuk ASA I, tidak didapatkan aspek-aspek yang dapat memperberat proses
anestesi maupun pembedahan. Tindakan premedikasi sendiri yaitu pemberian 1-2 jam
sebelum induksi anestesia bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesia. Pasien dapat keluar dari Recovery Room apabila sudah mencapai skor
Alderete lebih dari tujuh. Hal ini penting dilakukan untuk menilai kondisi paska
operasi pasien.
Dalam laporan ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesia umum pada
operasi Tonsilektomi pada pasien perempuan berusia 20 tahun, status fisik ASA I.
Dengan Diagnosis Tonsilitis Kronis dengan menggunakan metode General Anestesi.
Secara umum penatalaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan
baik tanpa ada kendala yang berarti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008.
2. Jhon Jacob Ballenger, Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Jakarta,
Edisi 13, Jilid I, Cetakan I, 1994
44
45
3. Adam GL, Boeis Jr. LC, Higler PA, Boeis Fundamentals of Otolaryngology, Edisi
6, WB Saunders, Philadelphia, 1989
4. Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
5. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).
Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
7. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
8. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange.Stamford, 1996
9. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC, Jakarta, 1995
10. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari
hari. Bandung, 2010
11. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
45