Anda di halaman 1dari 19

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.

com

General Neurology
REVIEW
Etiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Multidisiplin Bells Palsy
Timothy J Eviston,1 Glen R Croxson,2 Peter G E Kennedy,3 Tessa Hadlock,4 Arun V Krishnan1

ABSTRAK
Bells palsy merupakan gangguan neurologi yang paling sering mengenai
nervus cranialis, gangguan ini menyebabkan paralisis fasialis lower motor neuron
yang bersifat unilateral. Sistem imun, infeksi, dan mekanisme iskemik berperan
dalam terjadinya Bells palsy, namun penyebab pasti masih belum diketahui.
Adanya kemajuan dalam memahami molekul sinyal intra-aksonal dan mekanisme
molekuler yang mendasari terjadinya degenerasi Wallerian dapat menggambarkan
kemungkinan patogenesis Bells palsy, bersamaan dengan penelitian in vitro
tentang interaksi virus-akson. Baru-baru ini, dikeluarkan pedoman yang
mendukung penggunaan monoterapi steroid sebagai pengobatan akut Bells palsy,
namun

disisi

lain

terdapat

kontroversi

apakah

penggunaan

kombinasi

kortikosteroid dengan antivirus memiliki manfaat dalam penatalaksanaan Bells


palsy berat. Bagi penderita Bells palsy dengan sekuele lama karena proses
penyembuhan yang tidak sempurna, estetika, fungsional (patensi hidung,
penutupan mata, berbicara, dan menelan) serta pertimbangan psikologis
diperlukan penatalaksanaan yang dilakukan oleh tim. Adanya kolaborasi
muldisiplin antar dokter dari berbagai subspesialisasi dalam penatalaksanaan
memberikan hasil yang lebih efektif. Seorang pasien yang ditatalaksana dengan
fisioterapi, di injeksi toksin botulinum, dan diberikan intervensi bedah selektif
dapat mengurangi cacat jangka panjang pada paralisis fasial.

PENDAHULUAN
Eviston TJ, et.al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:1356-1361. Doi: 10. 1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Bells palsy merupakan neuropati fasialis perifer dengan onset akut dan
sering menyebabkan paralisis fasialis lower motor neuron.1 Manifestasi klinis dari
gangguan ini adalah onset yang terjadi secara cepat, bersifat unilateral,
kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron disertai gejala nyeri postaurikular,
dysgeusia, perubahan subjektif sensasi wajah dan hyperacusis. Manifestasi klinis
ini dapat dijelaskan sesuai perjalanan nervus fasialis manusia, terutama nervus ini
terdiri atas serabut sensorik, motorik, dan parasimpatis. Adanya kecenderungan
nervus fasialis membentuk berbagai hubungan dengan nervus kranialis yang
berdekatan2 menjelaskan alasan terjadinya sensasi wajah yang kadang-kadang
berubah (Nervus V), adanya disfungsi vestibular (NVIII), atau gejala faringeal
(NIX dan X).3 Berkurangnya lakrimasi dan salivasi sebagai efek parasimpatis juga
dapat terjadi.3 Kelumpuhan maksimal dapat terjadi dalam 48-72 jam dan berat
kelumpuhan berhubungan dengan durasi disfungsi wajah, sejauh mana proses
pemulihan wajah, dan penurunan kualitas hidup.
Meskipun penelitian untuk Bells palsy sudah dilakukan secara luas,
patogenesis pasti dari Bells Palsy masih kontroversial. 4 Infeksi (Herpes simpleks
tipe-1)5, penekanan saraf6, dan sistem imun7 diduga memiliki peran dalam
patogenesis Bells Palsy, namun urutan yang tepat dan besarnya pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap terjadinya Bells Palsy masih belum jelas.
Anatomi
Nervus fasialis merupakan nervus cranialis ke tujuh yang terdiri atas
komponen motorik, sensorik, dan parasimpatis. Fungsi nervus ini adalah untuk
gerakan volunter dan mimik wajah, pengecapan 2/3 anterior lidah, dan kontrol
sekresi glandula salivasi dan lakrimasi.
Nervus fasialis menerima akson dari bagian superior nukleus solitarius dan
nukleus salivatorius superior yang membentuk komponen nervus intermedius
(akson parasimpatis dan sensorik) dan serabut eferen motorik dari nukleus
fasialis, yang menerima input sinaps dari bagian kontralateral korteks motorik
untuk semua pergerakan wajah kecuali dahi, karena dahi memiliki input
bikortikal.
Jalur perjalanan nervus fasialis bisa melewati intrakranial, intratemporal dan
komponen extratemporal. Jalur intrakranial berjalan dari sudut pontomedullary
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

sampai ke meatus akustikus internal, jalur ini bersamaan dengan nervus


vestibulokoklearis (CNVIII). Jalur intratemporal nervus fasialis panjang dan
berliku-liku. Pada jalur intratemporal ini, nervus VII bertemu dengan gangglion
genikulatum dan berjalan naik ke nervus petrosus superior, nervus stapedius, dan
cabang nervus korda timpani, sebelum keluar dari basis cranii melalui foramen
styloid. Jalur extratemporal nervus fasialis melalui substansi glandula parotis yang
terbagi menjadi lobus superfisial dan lobus distal. Jalur ini berakhir pada nervus
auricular posterior dan nervus posterior digastric sebelum terbagi menjadi cabang
teriminal nervus fasialis. Ada variasi yang signifikan pada pola percabangan
terminal nervus fasialis, yang dibagi menjadi bagian temporal, zygomatikus,
bukal, tepi mandibula dan servikal. Cabang terminal bagian motorik ini
bertanggung jawab untuk semua ekspresi wajah dan fungsional seperti menutup
mata dan mulut, serta patensi hidung selama inspirasi. Sepanjang perjalanannya,
nervus fasialis saling berhubungan dengan cabang-cabangnya serta nervus
cranialis yang berdekatan2.
SEJARAH
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah seseorang yang tertarik dengan sistem
saraf. Sebagai seorang ahli anatomi, artis, ahli bedah, dan guru, karyanya pada
karakterisasi sistem saraf perifer melalui studi anatomi, pembedahan makhluk
hidup dan korelasi klinis, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pengetahuan medis pada zamannya. Secara khusus, ia tertarik dengan penyebaran
sensorik (nervus trigeminal) dan fungsi motorik (nervus fasialis) pada wajah. Hal
tersebut merupakan deskripsi fasih dan logis yang meningkatkan statusnya di
zamannya sampai era post Bells. Hal ini lah yang menyebabkan peningkatan
publikasi secara cepat tentang paralisis fasial idiopatik akut Bells palsy.
Meskipun deskripsi Bells mengagumkan sehingga menginspirasi orangorang pada zamannya untuk mendokumentasikan dan mempelajari gangguan ini,
masih ada segudang deskripsi rinci lain di Yunani, Persia dan Eropa pada abad
kelima SM, dan ada seni keramik prasejarah yang menggambarkan tentang
paralisis facial pada budaya Peruvian kuno. Ada beberapa dokter lain yang lebih
dahulu menyadari paralisis fasialis idopatik akut sebelum Bell (dan mungkin
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

itulah yang mengilhami beberapa penelitian Bell). Dokter tersebut adalah


Sydenham, Stalpart van der Wiel, Douglas, Friedreich dan Thomassen
Thuessink.8
Sekitar 1000 tahun sebelum Bell, Sarjana dan dokter Persia, Razi (865-925
M), menjelaskan paralisis fasial secara panjang lebar dalam bukunya al-Hawi
pada abad kesembilan.8 Ini menjadi deskripsi luar biasa yang referensinya berasal
dari kontribusi Galen dan Celsus, dan termasuk algoritma diagnostik paralisis
fasial perifer dari penyebab yang lebih berbahaya, yang disertai dengan delirium,
koma, hemiplegia, kebutaan, atau tuli, dan cenderung memiliki prognosis yang
buruk.
EPIDEMIOLOGI
Bells palsy merupakan mononeuropati cranialis yang sering terjadi.
Gangguan ini dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan perbandingan
yang sama. Insiden sedikit lebih tinggi pada usia pertengahan kehidupan dan
kehidupan lanjut, tetapi dapat juga terjadi di semua rentang usia. Insiden terjadi
pada sekitar 11,5-40,2 /100.000 populasi10, dengan penelitian khusus yang
menyatakan insiden di UK (20,2 / 100 000), Jepang (30/100 000), dan Amerika
Serikat 25-30 / 100 000.10 Dari sebagian besar penelitian, fenomena epidemik dan
cluster belum pernah dilaporkan. Sebuah pengecualian untuk hal itu adalah
peningkatan kejadian Bells palsy terjadi selama uji coba pengiriman vaksin
intranasal. Hal ini mungkin karena efek kekebalan detoksifikasi Escherichia coli
dengan toksin panas yang labil yang digunakan dalam pengiriman vaksin.11
Insiden ini lebih tinggi pada kehamilan, infeksi virus saluran napas atas, pada
orang yang mengalami imunokompromise, pasien diabetes melitus, dan
hipertensi.1
Tidak ada variasi yang berbeda untuk setiap kejadian, serta juga tidak ada
predileksi pada ras atau etnis tertentu. Beberapa data epidemiologi menunjukkan
adanya variasi musiman, dengan kejadian yang sedikit lebih tinggi di musim
dingin dibandingkan musim panas,10 dan sedikit lebih dominan pada daerah yang
gersang daripada yang tidak gersang12.

Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

ETIOLOGI
Ada bukti yang menyatakan sistem imun, infeksi, dan mekanisme iskemik
memiliki kontribusi yang potensial terhadap perkembangan Bells palsy pada
berbagai macam tubuh manusia, namun penyebab pasti dari Bells palsy masih
belum jelas. Salah satu kemungkinan penyebab yang telah dilaporkan adalah
reaktifasi infeksi virus herpes simpleks, infeksi berpusat di sekitar ganglion
genikulatum, teori ini pertama kali diuraikan oleh McCormick.5 Hubungan dengan
HSV-1 didukung oleh adanya HSV-1 pada cairan endoneural nervus fasialis
intratemporal13 yang ditemukan selama dekompresi saraf, dan adanya kemampuan
untuk mendorong terjadinya paralisis fasial pada hewan percobaan melalui infeksi
primer dan reaktivasi yang disebabkan oleh modulasi sistem imun. 15 Meskipun
ada bukti ini, manifestasi klinis Bells palsy tidak sama jika dibandingkan dengan
penyakit lain yang lebih sering disebabkan oleh HSV, seperti herpes labialis (cold
sores) dan herpes genital.4 Selanjutnya, tidak dibenarkan untuk mengasumsikan
hubungan sebab dan akibat antara adanya HSV-1 dalam cairan endoneural pasien
dengan terjadinya Bells palsy.
HSV-1 merupakan salah satu dari beberapa virus herpes pada manusia yang
diketahui memiliki kapasitas neurotropik untuk saraf perifer, dan virus lainnya
yang termasuk kategori ini yaitu virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dan virus
varicella zoster (VZV). Virus-virus ini memasuki tubuh manusia melalui paparan
mukokutan dan berkembang pada masa laten dengan menghambat transkripsi gen
beberapa ganglia di seluruh neuroaxis untuk kehidupan host, termasuk di dalam
cranial, akar dorsal dan sistem otonom ganglia.16 17 Masa laten di ganglia dengan
tidak adanya replikasi virus secara aktif, dapat menyebabkan keadaan sakit dan
sehat pada populasi. HSV dapat terdistribusi secara global dan merupakan virus
yang tangguh. HSV dan VZV dapat teraktivasi pada host yang mengalami
imunokompeten ataupun host yang memiliki antibodi, meskipun reaktivasi lebih
sering terjadi pada host yang mengalami defisiensi imun, khususnya pada kasus
yang disebabkan oleh VZV.
Sebuah kemungkinan penyebab disfungsi saraf karena HSV-1 adalah
aktivasi degradasi intra-aksonal dan jalur apoptosis yang didorong oleh respon
lokal akson baik secara langsung dan tidak langsung terhadap fenotif virus yang
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

rentan. Meskipun tidak berhubungan dengan patogenesis Bells palsy, muncul


secara darurat literatur yang berhubungan dengan peran sinyal molekul intraaksonal (misalnya, SARM1),18 permeabilitas mitokondria19 dan mekanisme
molekuler yang mendasari degenerasi Wallerian18, yang menunjukkan bahwa
degenerasi aksonal akut pada infeksi virus dapat menjadi respon imun bawaan
untuk mencegah transportasi virus ke pusat sistem saraf.19
Baru-baru ini, penelitian in vitro menunjukkan adanya local messenger RNA
transcription pada akson saraf perifer20 yang didorong oleh kehadiran partikel
virus -herpes. Dalam penelitian ini, protein dan perubahan sinyal transduksi tidak
bergantung pada nukleus. Hal ini dikarenakan ketika virus memasuki akson,
akson akan merespon secara lokal. Penelitian sebelumnya memeriksa fisiologi
seluler pada infeksi herpes yang menunjukkan adanya penurunan akut
konduktivitas natrium pada serangan HSV-1.21 Perubahan konduktivitas natrium
dapat menyebabkan terbaliknya pertukaran natrium dan kalsium22 sehingga terjadi
akumulasi kalsium di intraseluler. Penyimpangan homeostasis kalsium ini
menyebabkan aktivasi protease dan degenerasi intra-aksonal. Proses degenerasi
aksonal ini akan mendorong timbulnya Bells palsy secara tiba-tiba dan
menunjukkan kurangnya respon imun. Hal ini

menunjukkan kompresi tidak

selalu berperan dalam patogenesis, namun dapat menjawab pertanyaan penyebab


saraf membengkak dan bertubrukan, pada tempat pertama serangan.
Hal lain yang mungkin berkontribusi dalam patogenesis Bells palsy yaitu
peran respon imun sel mielin, seperti bentuk mononeuropatik Sindrom GuillainBarre (SGB). Bukti yang mendukung hal ini berasal dari hasil laboratorium yang
ditemukan secara tidak langsung pada SGB, seperti perubahan persentase limfosit
T dan B pada darah tepi, peningkatan konsentrasi kemokin dan secara in vitro
terjadi reaktivitas protein mielin (P1L) di dalam sampling darah yang diambil dari
pasien Bells palsy.7

DIAGNOSIS
Bells palsy merupakan diagnosis klinis. Karakteristik yang ditemukan pada
Bells palsy adalah onset akut dari paralisis fasialis lower motor neuron bersifat
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

unilateral yang mempengaruhi otot wajah dan dapat mencapai puncaknya dalam
72 jam. Temuan ini sering disertai dengan gejala pada leher, nyeri pada mastoid
atau telinga, dysgeusia, hyperakusis atau adanya sensasi yang berubah pada
wajah. Gejala penyerta ini ditemukan pada 50-60%23 dan lebih memastikan
diagnosis Bells palsy.
Keterlibatan nervus auricular posterior, petrosus, chorda tympani dan
stapedius berimplikasi terhadap disfungsi yang terjadi dalam tulang temporal.
Lokalisasi nervus fasialis intratemporal lebih didukung oleh lokasi genikulatum
unilateral, labirin dan segmen meatus nervus fasialis pada MRI dengan kontras.
Temuan pada gambar MRI ini dapat dijadikan hipotesis untuk mewakili gangguan
pada sawar darah otak dan kongesti vaskular pada nervus fasialis. Upaya
pengganti untuk menentukan diagnosis yaitu melalui teknik PCR terhadap
VZVand HSV primer diterapkan pada posterior aurikularis, spesimen otot wajah
atau air mata telah gagal untuk menunjukkan korelasi yang konsisten antara virus
dan manifestasi klinis.24 Oleh karena itu, tes ini memiliki hasil yang terbatas jika
digunakan sebagai alat diagnosis.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk paralisis fasial sangat luas,

25

dan misdiagnosis

sering terjadi. Penyebab paralisis fasial dibagi menjadi kongenital dan didapat.
Penyebab kongenital seperti sindrom genetik, trauma kelahiran dan gangguan
pertumbuhan terisolasi (misalnya, hipoplasia perkembangan otot wajah).
Penyebab yang didapat misalnya infeksi (penyakit VZV, Lyme, mycobacterium
tuberkulosis, HIV), trauma (iatrogenik atau trauma kepala), inflamasi (vaskulitis,
sarkoidosis, penyakit autoimun), neoplastik (jinak atau ganas) dan penyebab
serebrovaskular, dan lainya. Berdasarkan pengalaman salah satu penulis (GC)
dalam pembuatan surat rujukan, tingkat misdiagnosis Bells palsy dilakukan oleh
10,8% dokter pertama yang menangani.26 Misdiagnosis termasuk tumor
(misalnya, skhwanoma nervus fasialis, keganasan glandula parotis, dan jarang,
neuroma akustik), herpes zoster oticus dan penyakit granulomatosa seperti
sarkoidosis dan granulomatosis dengan polyangiitis (granulomatosis Wegeners).

Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Sebuah pendekatan klinis terstruktur yang mempertimbangkan bentuk


paralisis fasial dapat dilihat pada (gambar 1) disertai dengan karakteristik pasien
dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan memberikan bukti untuk
menegakkan diagnosis alternatif, dan memberikan investigasi yang tepat. 25 Jika
terdapat bentuk khusus dari paralisis fasial membutuhkan pertimbangan yang
bijaksana seperti : 1) fluktuasi, progresif yang lambat (di luar 72 jam), fasial
palsy; 2) paralisis bilateral (GBS, karsinomatosis, limfoma); 3). Paralisis wajah
rekuren (nuroma nervus fasialis) ; 4). Paralisis komplit yang berkepanjangan (> 4
bulan) dan 5) kelumpuhan wajah yang komplit secara tiba-tiba (perdarahan karena
tumor). Jika terjadi bentuk-bentuk seperti itu, penyebab yang mendasarinya harus
segera dicari. Demikian juga, apabila ada massa di glandula parotis, riwayat
keganasan kulit atau kelemahan segmen nervus fasialis meningkatkan kecurigaan
adanya tumor. Riwayat trauma, gejala pada telinga seperti tuli ipsilateral, tinnitus,
rasa penuh atau keluar cairan, atau adanya gejala sistemik seperti demam
merupakan red flags yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dan konsultasi
kepada spesialis THT.

Pertimbangan penyakit serebrovaskular sebagai penyebab kelumpuhan


wajah merupakan hal yang penting dan harus menjadi perhatian utama bagi pasien

Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

dan dokter, karena biasanya membutuhkan konsultasi kepada ahli neurologi.


Adanya hambatan pada gerakan wajah bagian atas (kontraksi frontalis) merupakan
discriminator antara kortikal (pusat) dan kelemahan nervus fasialis perifer. Hal
yang jarang, keadaan patologi pada pontin ipsilateral menyebabkan kelemahan
nervus fasialis LMN karena penekanan langsung pada nukleus fasialis. Hal Ini
akan disertai oleh nervus kranialis lainnya, serta gejala dan tanda dari traktus
panjang nervus. Adanya disfungsi nervus abducen (CNVI) ipsilateral merupakan
tanda yang sangat berguna.
Grading
Sistem yang paling banyak digunakan untuk merekam tingkat keparahan
Bells palsy adalah skala House-Brackmann 27(HB) atau skala Facial Nerve
Grading28 (juga dikenal sebagai sistem Sunnybrook). Sifat subjektif dari skala ini
membuat skala-skala ini rentan terhadap misintrepretasi dan variabilitas
interobserver. Namun, skala-skala ini memberikan kemudahan bagi dokter untuk
mengkomunikasikan derajat disfungsi secara keseluruhan, untuk monitoring, dan
untuk penyajian data dalam penelitian atau pemeriksaan. Dalam sebuah survei
terbaru tentang nervus fasialis,29 fotografi dan videografi yang ada di mana-mana
di antara responden dan, memang, penggunaan dan pentingnya perekaman video
terhadap gerakan wajah standar (menaikan alis, penutupan mata saecara lembut,
penutupan mata secara total, membentak, membuka dan menutupnya bibir, bibir
depresi dan dikerutkan) lebih ditekankan untuk penilaian hasil intervensi yang
akurat

seperti

kemodenervasi,

fisioterapi

atau

operasi.

Hal

ini

dapat

dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami pemulihan yang tidak sempurna.

Neurofisiologi
Ada sejumlah studi yang mengeksplorasi potensi utilitas pada penilaian
neurofisiologis untuk pemilihan pengobatan dan prognosis. Di masa lalu, di
literatur bedah, ada studi tentang konduksi saraf nervus fasialis, disebut juga
sebagai electroneuronography (ENoG) telah diusulkan dalam beberapa studi
untuk digunakan dalam memilih pasien yang mungkin memerlukan pembedahan
dekompresi nervus fasialis.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Dalam praktik kontemporer, dekompresi nervus fasialis semakin jarang


digunakan karena biaya, risiko dan kurangnya keberhasilan.30 Kecenderungan ini
jauh dari operasi, waktu dan biaya penilaian neurofisiologi memberikan manfaat
untuk sebagian besar pasien. Pengecualian untuk ini adalah keadaan klinis dengan
paralisis lengkap. Di sini, neurofisiologi memberikan informasi yang berguna
dengan adanya sisa respon pada neurofisiologi yang mengarah kepada trauma
neuropraksik, dalam hal prospek pemulihan yang baik (HB I atau II) yang tinggi.
Tidak adanya respon neurofisiologis merupakan hal yang mengarah pada
degenerasi lengkap dan paralisis yang berkepanjangan dengan pemulihan yang
tidak lengkap yang mungkin berkomplikasi menjadi sinkinesis. Berdasarkan
pengetahuan, adanya pemulihan yang lama menyarankan dokter dan pasien untuk
melakukan prosedur perlindangan mata dengan bedah dan proaktif terlibat dalam
terapi wajah di awal prose pemulihan.

PENGOBATAN
Pengobatan akut
American Academy of Neurology31 (AAN) dan American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation30 (AAO-HNSF) baru-baru ini
menerbitkan pedoman untuk pengobatan Bells palsy. Meskipun struktur dan
ruang lingkup pedoman ini berbeda, pedoman mereka pada dasarnya melengkapi
dokumen yang memperkuat peran kortikosteroid dalam pengobatan Bells palsy
dan menentang penggunaan rutin terapi antivirus. Selanjutnya, pedoman AAOHNSF mencegah dilakukannya laboratorium rutin, pencitraan atau pengujian
neurofisiologis pada temuan pertama pasien Bells palsy. Dosis oral steroid harus
dimulai dalam 72 jam pertama onset dan penelitian salah satu Scottish32 atau
European33 dalam randomised controlled trials (RCTs) juga menganjurkan untuk
menggunakan steroid. Penelitian ini menganjurkan penggunaan 50 mg prednison
selama 10 hari atau 60 mg untuk 5 hari pertama, kemudian 5 hari selanjutnya
dosis dikurangi 10 mg setiap hari. Kedua cara tersebut sama-sama efektif. 34 hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa kurangnya signifikansi pemberian
gabungan kortikosteroid dengan terapi antivirus. Terlebih lagi, penggunaan
monoterapi kortikosteroid pada double-blind RCTs tidak memberikan efek pada
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

10

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

paralisis

ringan-sedang,

yang

dapat

pulih

secara

spontan,

pemberian

kortikosteroid ini bermanfaat untuk sub kelompok Bells palsy yang parah.
Alasan utama untuk memberikan antivirus pada pasien Bells palsy,
misalnya obat antiherpes seperti acyclovir, mungkin diberikan pada pasien HSV-1,
berdasarkan bukti saat ini. Alasan lain untuk menggunakan terapi antivirus dalam
klinis adalah diagnosis Bells palsy yang masih ragu serta memiliki kemungkinan
diagnosis zoster sine herpete, yang mana gejalanya merupakan gejala reaktivasi
VZV tanpa patognomonik erupsi vesikular yang khas seperti pada infeksi VZV
(Ramsay-Hunt Syndrome).
VZV merupakan diagnosis banding yang penting untuk semua paralisis
fasialis LMN akut. Sindrom Ramsay-Hunt memiliki prognosis yang lebih buruk
dari Bells palsy dan biasanya memberikan gejala yang lebih parah. Oleh karena
itu, lebih responsif jika memberikan terapi gabungan antivirus dengan terapi
steroid, lagipula tingkat komplikasi dari pemberian terapi antivirus juga rendah.
Sejak VZV diketahui menyebabkan paralisis fasialis, penggunaan antiviral pada
sindrom Ramsay-Hunt memiliki dasar bukti yang jelas, dibenarkan dan dianggap
rasional.4 Dosis yang adekuat untuk menangani VZV adalah 3000 mg / hari (1000
mg valasiklovir, tiga kali sehari) selama 7 hari. Valasiklovir memiliki
bioavailibilitas yang lebih tinggi dari asiklovir.
Pada saat ini penggunaan gabungan acyclovir dan kortikosteroid dalam
mengobati Bell palsy masih kontroversial, dengan data yang bertentangan
muncul dari percobaan yang berbeda dan dari meta-analisis yang berbeda juga. 4
Berdasarkan bukti saat ini, khususnya studi 32 Bells palsy yang ekstensif dilakukan
di Skotlandia pada 551 pasien dalam penelitian acak, double-blind, dan plasebo
terkontrol, tampaknya wajar untuk mengobati Bells palsy yang khas dengan
monoterapi kortikosteroid, tanpa asiklovir. Namun, pemberian kombinasi
kortikosteroid dengan asiklovir dapat memberikan manfaat untuk kasus Bells
palsy yang berat. Masalah ini harus diselesaikan dengan uji klinis yang memiliki
prospektif besar. Pada kasus dengan pasien yang mengalami imunokompromised
berat, pertimbangkan untuk memberikan regimen asiklovir intravena untuk
mencegah kemungkinan komplikasi ke sistem saraf pusat.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

11

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Perawatan mata
Strategi perlindungan mata untuk setiap pasien yang tidak dapat menutup
mata secara sempurna adalah sangat penting. Lakrimasi terjadi pada bagian lateral
membran konjungtiva dan mengalir dari lateral ke medial karena aksi dari
muskulus orbicularis oculi selama berkedip dan penutupan mata yang efektif.
Kehilangan mekanisme ini mengakibatkan terjadinya epifora akibat mekanisme
pompa air mata yang tidak efektif, paparan, dan iritasi pada mata. Kekeringan dan
iritasi mata berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya keratitis dan ulkus, dan
akhirnya dapat mengancam penglihatan. Pada konsultasi pertama, dokter harus
memberlakukan strategi untuk menghindari paparan okular, dan merujuk kasus ini
kepada dokter spesialis mata. Menggunakan pelindung mata yang efektif
(misalnya, kacamata hitam), lubrikasi (air mata buatan pada siang hari, dan salep
pada malam hari) dan mata ditutup dengan kasa pada malam hari. Lingkungan
tertentu seperti mandi berlebihan dan berenang, berdebu dan lingkungan berangin
sebaiknya dihindari.
Penggunaan lebih awal eyelid weight harus dipertimbangkan pada lansia,
orang-orang dengan diabetes, penyakit mata yang sudah ada sebelumnya, paralisis
fasialis lengkap yang tidak berespon dengan neurofisiologi dan adanya iritasi
terus-menerus meskipun sudah menggunakan terapi proteksi mata yang telah
dijelaskan sebelumnya.25
Perawatan mulut
Hilangnya fungsi spingter orbicularis oris meenyebabkan ketidaknyamanan
sosial berupa inkontinensia oral dan menjadi faktor predisposisi bagi bibir dan
pipi bagian dalam untuk mengalami abrasi selama pengunyahan dan selanjutnya
dapat menjadi ulkus. Adanya strategi makan dapat mengurangi dampak dari
paralisis fasialis flaksid. Pengunaan sedotan untuk minum dan cenderung makan
makanan lunak dapat membantu dalam perawatan mulut. Ketidakmampuan untuk
menurunkan dan menggerakkan bibir bawah akan menghalangi proses makan
makanan tertentu. Sementara gigi 'spacers (pengatur jarak)' terletak pada aspek
lateral gigi molar dapat digunakan untuk mencegah tergigitnya mukosa bukal.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

12

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Fisioterapi
Dari bukti perspektif, pengobatan yang beragam ini, secara luas meliputi
terapi panas, elektrostimulasi, massage, mime therapy, dan biofeedback, sulit
untik dianalisis secara keseluruhan.30 Ada sejumlah regimen pengobatan, lamanya
dan variabilitas mereka dalam pelaksanaannya membuat penilaian terhadap
pengobatan tersebut lebih luas. Meskipun semua pengobatan tersebut tidak
dianjurkan untuk semua penderita Bells palsy,30 ada subkelompok

pasien yang

memiliki dukungan bukti dalam penggunaan fisioterapi. 37 Ini termasuk pasien


dengan pemulihan yang tidak lengkap, mengalami hipertonus, hiperkinesis atau
sinkinesis, dan di kelompok ini latihan ulang neuromuscular terus diuji coba
sebelum dilakukan pertimbangan untuk dilakukan kemodenervasi. 38 Fisioterapi
dan kemodenervasi merupakan tatalaksana yang saling melengkapi untuk
sinkinesis.

Prognosis
Sejarah telah menunjukkan bahwa 85% dari pasien mengalami beberapa
pemulihan pada 3 minggu pertama.1 Faktor risiko pemulihan yang tidak lengkap
yaitu paralisis fasialis yang berat, lamanya waktu sebelum onset pemulihan, dan
nyeri yang dirasakan terus-menerus. Pasien dengan paralisis fasialis lengkap
(House-Brackman grades 5-6) yang belum mengalami pemulihan dalam waktu 34 bulan pertama setelah onset, lebih mungkin untuk menderita proses pemulihan
fungsi wajah yang tidak lengkap, dengan atau tanpa kejang dan sinkinesis. Nyeri
berkepanjangan juga merupakan fakto risiko terjadinya prognosis yang buruk.
Sejarah Bells palsy telah dijelaskan dalam sejumlah besar studi.1,3,25
Berdasarkan kesimpulan yang diambil dari studi besar tersebut, dokter dapat
berharap bahwa tanpa intervensi, sekitar 70% pasien akan mengalami pemulihan
penuh. Dari mereka yang tidak sembuh sepenuhnya, setengahnya akan memiliki
gejala sisa ringan, dan sisanya memiliki gejala sisa sedang-berat. Dengan
penggunaan steroid tingkat pemulihan sempurna terjadi lebih dari 90%
penderita.32
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

13

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Pengelolaan pemulihan yang tidak lengkap


Paralisis fasialis kronik merupakan suatu kondisi kelumpuhan yang
memiliki dampak dramatis pada fungsi sosial, ekspresi emosional dan kualitas
hidup. Estetika, fungsional (patensi hidung, penutupan mata, berbicara dan
menelan) dan pertimbangan psikologis perlu ditatalaksana oleh tim. Selama tiga
dekade terakhir, pengobatan pemulihan paralisi fasialis yang tidak lengkap telah
berkembang dari teknik statis yang bertujuan menutup mulut dan mata menjadi
berbagai teknik,38 pendekatan yang memanfaatkan aspek pelengkap dari
fisioterapi, chemodenervation dan prosedur bedah selektif untuk memaksimalkan
hasil kosmetik dan kebutuhan fungsional masing-masing pasien. Adanya
kolaborasi muldisiplin antar dokter dari berbagai subspesialisasi dalam
penatalaksanaan memberikan hasil yang lebih efektif.
Dalam menguraikan modalitas pengobatan dan kesesuaian mereka, kita
harus mempertimbangkan pemulihan fungsi wajah yang tidak lengkap sebagai
entitas heterogen yang mencakup berbagai tingkat flaksiditas, hipertonisitas dan
sinkinesis. Setiap masalah ini tingkat keparahannya dapat berkisar dari tidak ada
sama sekali sampai parah. Umumnya, isu-isu fungsional seperti ptosis pada alis,
kolaps valvular nasal dan penutupan mata, ditangani melalui intervensi struktural
termasuk suspensivalvular nasal, koreksi ptosis alis, insersi platinum weight ke
dalam kelopak mata atas, lower lid suspensoin atau tarsorafi dapat memperbaiki
penutupan mata.
Sinkinesis
Sinkinesis mengacu pada kontraksi otot wajah yang abnormal selama
gerakan volunter wajah dan telah dikaitkan dengan penyimpangan re-inervasi otot
wajah yang disertai trauma pada nervus. Hal ini dapat dilihat adanya penutupan
mata involunter selama pergerakan wajah bagian tengah seperti makan atau
senyum (sinkinesis oro-okular); bibir yang mengalami ekskursi selama penutupan
mata (sinkinesis oculo-oral); atau adanya lesung pada dagu atau otot leher selama
gerakan wajah tengah karena aktivasi mentalis involunter dan aktivasi platisma.
Pengobatan sinkinesis berpusat pada fisioterapi, dengan fokus khusus pada latihan
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

14

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

biofeedback untuk melatih simetri wajah, dan chemodenervation selektif


menggunakan secara langsung toksin botulinum pada area yang bermasalah
(gambar 2). Kebanyakan pasien puas dengan metode tatalaksana ini.38
Pengobatan sinkinesis dengan toksin botulinum disesuaikan menurut
masing-masing pasien. Poin injeksi difokuskan pada orbicularis occuli dan
platysma untuk meringankan kejang dan sinkinesis sedangkan penggunaan secara
selektif pada daerah kontralateral seperti pada alis dan injeksi angularis oris dapat
meningkatkan kesimetrisan wajah. Injeksi pada sinkinesis otot zygomaticus
sebaiknya dihindari karena efek melemahkan dapat menghilangan fungsi senyum
dari wajah yang sudah lemah. Beberapa pasien memiliki keluhan yang berkurang
dengan suntikan berulang sementara untuk orang lain kebutuhan untuk suntikan
berulang 3-4 kali/tahun tetap tidak memberikan hasil. Dalam kasus-kasus tertentu,
solusi yang lebih permanen dapat dicapai melalui intervensi bedah seperti
myectomy selektif. Baru-baru ini, neurectomy selektif juga terbukti sangat
effective.39

Reanimasi Wajah
Dalam penatalaksanaan pemulihan yang tidak lengkap dengan senyum yang
tidak efektif, transfer saraf ke saraf, teknik transfer regional dan jaringan bebas

Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

15

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

Memberikan kesempatan untuk mengembalikan gerakan bagian tengah wajah.


Sebuah teknik pemindahan tendon regional yang berpindah dari tendon otot
temporalis ke komisura oris telah dipopulerkan oleh ahli bedah Prancis, Labbe.40
Atau, teknik pemindahan otot bebas saraf dengan memanfaatkan otot gracilis
dapat dimasukkan ke wajah dengan coaptation saraf dari kontralateral nervus
fasialis dan atau dari cabang mandibular ipsilateral nervus trigeminal. Transfer
Saraf ke saraf menjadi semakin populer bagi mereka dengan autopreservation otot
wajah, namun komisura mulut beku. Donor saraf termasuk cabang masseter
nervus trigeminal, dan menyilangi pencakokan saraf wajah. Prosedur rekonstruksi
kompleks ini memberikan kesempatan untuk reanimasi senyum, dan memberikan
manfaat dalam fungsi sosial dan kualitas hidup.
.

DAFTAR PUSTAKA
1. Peitersen E. Bells palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002;122:430.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

16

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

2. Diamond M, Wartmann CT, Tubbs RS, et al. Peripheral facial nerve


communications and their clinical implications. Clin Anat 2011;24:1018.
3. Adour KK, Byl FM, Hilsinger RL Jr, et al. The true nature of Bells palsy:
analysis of 1,000 consecutive patients. Laryngoscope 1978;88:787801.
4. Kennedy PG. Herpes simplex virus type 1 and Bells palsya current
assessment of the controversy. J Neurovirol 2010;16:15.
5. McCormick DP. Herpes-simplex virus as cause of Bells palsy. Lancet
1972;299:9379.
6. Gantz BJ, Rubinstein JT, Gidley P, et al. Surgical management of Bells palsy.
Laryngoscope 1999;109:117788.
7. Greco A, Gallo A, Fusconi M, et al. Bells palsy and autoimmunity.
Autoimmun Rev 2012;12:3238.
8. Sajadi MM, Sajadi M-RM, Tabatabaie SM. The history of facial palsy and
spasm:hippocrates to Razi. Neurology 2011;77:1748.
9. Canalis RF, Cino L. Ceramic representations of facial paralysis in ancient Peru.
Otol Neurotol 2003;24:82831.
10. De Diego JI, Prim MP, Madero R, et al. Seasonal patterns of idiopathic facial
paralysis: a 16-year study. Otolaryngol Head Neck Surg 1999;120:26971.
11. Lewis DJM, Huo Z, Barnett S, et al. Transient facial nerve paralysis (Bells
palsy) following intranasal delivery of a genetically detoxified mutant of
Escherichia coli heat labile toxin. PLoS ONE 2009;4:e6999.
12. Campbell KE, Brundage JF. Effects of climate, latitude, and season on the
incidence of Bells palsy in the US Armed Forces, October 1997 to
September 1999. Am J Epidemiol 2002;156:329.
13. Murakami S, Mizobuchi M, Nakashiro Y. Bell palsy and herpes simplex
virus: identification of viral DNA in endoneurial fluid and muscle. Ann Inter
Med 1996;124:2730.
14. Sugita T, Murakami S, Yanagihara N. Facial nerve paralysis induced by
herpes simplex virus in mice: an animal model of acute and transient facial
paralysis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1995;104:57481.
15. Esaki S, Yamano K, Katsumi S, et al. Facial nerve palsy after reactivation of
herpes simplex virus type 1 in diabetic mice. Laryngoscope 2014;125:E1438. doi: 10.1002/lary.24994. Epub 2014 Oct 31.
16. Steiner I, Kennedy PG. Molecular biology of herpes simplex virus type 1
latency in the nervous system. Mol Neurobiol 1993;7:13759.
17. Mitchell BM, Bloom DC, Cohrs RJ, et al. Herpes simplex virus-1 and
varicella-zoster virus latency in ganglia. J Neurovirol 2003;9:194204.
18. Conforti L, Gilley J, Coleman MP. Wallerian degeneration: an emerging axon
death pathway linking injury and disease. Nat Rev Neurosci 2014;15:394
409.
19. Galluzzi L, Blomgren K, Kroemer G. Mitochondrial membrane
permeabilization in neuronal injury. Nat Rev Neurosci 2009;10:48194.
20. Koyuncu OO, Perlman DH, Enquist LW. Efficient retrograde transport of
pseudorabies virus within neurons requires local protein synthesis in axons.
Cell Host Microbe 2013;13:5466.
21. Storey N. Selective internalization of sodium channels in rat dorsal root
ganglion neurons infected with herpes simplex virus-1. J Cell Biol
2002;158:125162.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

17

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

22. Persson AK, Kim I, Zhao P, et al. Sodium channels contribute to degeneration
of dorsal root ganglion neurites induced by mitochondrial dysfunction in an
in vitro model of axonal injury. J Neurosci 2013;33:1925061.
23. Croxson GR. The assessment of facial nerve dysfunction. J Otolaryng Soc
Austral 1990;4:25263.
24. Stjernquist-Desatnik A, Skoog E, Aurelius E. Detection of herpes simplex and
varicella-zoster viruses in patients with Bells palsy by the polymerase chain
reaction technique. Ann Otol Rhinol Laryngol 2006;115:30611.
25. Hohman MH, Hadlock TA. Etiology, diagnosis, and management of facial
palsy: 2000 patients at a facial nerve center. Laryngoscope 2014;124:E283
93.
26. Croxson G, Coulson SE, Mukherjee P. Mistaken diagnoses in facial nerve
disorders [conference presentation]. 12th International Facial Nerve
Symposium. Boston:7 June 2013.
27. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head
Neck Surg 1985;2:1467.
28. Ross B, Fradet G, Nedzelski J. Development of a sensitive clinical facial
grading system. Otolaryngol Head Neck Surg 1996;114:3806.
29. Fattah AY, Gavilan J, Hadlock TA, et al. Survey of methods of facial palsy
documentation in use by members of the Sir Charles Bell Society.
Laryngoscope 2014;124:224751.
30. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, et al. Clinical practice guideline Bells palsy.
Otolaryngol Head Neck Surg 2013;149(3 Suppl):S127.
31. Gronseth GS, Paduga R, American Academy of Neurology. Evidence-based
guideline update: steroids and antivirals for Bell palsy: report of the Guideline
Development Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology 2012;79:220913.
32. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, et al. Early treatment with prednisolone
or acyclovir in Bells palsy. N Engl J Med 2007;357:1598607.
33. Engstrm M, Berg T, Stjernquist-Desatnik A, et al. Prednisolone and
valacyclovir in Bells palsy: a randomised, double-blind, placebo-controlled,
multicentre trial. Lancet Neurol 2008;7:9931000.
34. Salinas RA, Alvarez G, Daly F, et al. Corticosteroids for Bells palsy
(idiopathic facial paralysis). Cochrane Database Syst Rev 2010;3:CD001942.
35. Minnerop M, Herbst M, Fimmers R, et al. Bells palsy: combined treatment
of famciclovir and prednisone is superior to prednisone alone. J Neurol
2008;255:172630.
36. Hato N, Yamada H, Kohno H, et al. Valacyclovir and prednisolone treatment
for Bells palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol
Neurotol 2007;28:40813.
37. Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves
function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the
Massachusetts Eye and Ear Infirmary. Phys Ther 2010;90:3917.
38. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, et al. Multimodality
approach to management of the paralyzed face. Laryngoscope
2006;116:13859.
39. Hohman MH, Lee LN, Hadlock TA. Two-step highly selective neurectomy
for refractory periocular synkinesis. Laryngoscope 2013;123:13858.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

18

Di unduh dari http://jnnp.bmj.com/ pada 6 Desember 2015 dipublikasikan oleh group.bmj.com

40. Labb D, Bnateau H, Bardot J. Surgical procedures for labial reanimation in

facial paralysis. Ann Chir Plast Esthet 2002;47:58091.

Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014

19

Anda mungkin juga menyukai