com
General Neurology
REVIEW
Etiologi, Manifestasi Klinis, dan Penatalaksanaan Multidisiplin Bells Palsy
Timothy J Eviston,1 Glen R Croxson,2 Peter G E Kennedy,3 Tessa Hadlock,4 Arun V Krishnan1
ABSTRAK
Bells palsy merupakan gangguan neurologi yang paling sering mengenai
nervus cranialis, gangguan ini menyebabkan paralisis fasialis lower motor neuron
yang bersifat unilateral. Sistem imun, infeksi, dan mekanisme iskemik berperan
dalam terjadinya Bells palsy, namun penyebab pasti masih belum diketahui.
Adanya kemajuan dalam memahami molekul sinyal intra-aksonal dan mekanisme
molekuler yang mendasari terjadinya degenerasi Wallerian dapat menggambarkan
kemungkinan patogenesis Bells palsy, bersamaan dengan penelitian in vitro
tentang interaksi virus-akson. Baru-baru ini, dikeluarkan pedoman yang
mendukung penggunaan monoterapi steroid sebagai pengobatan akut Bells palsy,
namun
disisi
lain
terdapat
kontroversi
apakah
penggunaan
kombinasi
PENDAHULUAN
Eviston TJ, et.al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:1356-1361. Doi: 10. 1136/jnnp-2014
Bells palsy merupakan neuropati fasialis perifer dengan onset akut dan
sering menyebabkan paralisis fasialis lower motor neuron.1 Manifestasi klinis dari
gangguan ini adalah onset yang terjadi secara cepat, bersifat unilateral,
kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron disertai gejala nyeri postaurikular,
dysgeusia, perubahan subjektif sensasi wajah dan hyperacusis. Manifestasi klinis
ini dapat dijelaskan sesuai perjalanan nervus fasialis manusia, terutama nervus ini
terdiri atas serabut sensorik, motorik, dan parasimpatis. Adanya kecenderungan
nervus fasialis membentuk berbagai hubungan dengan nervus kranialis yang
berdekatan2 menjelaskan alasan terjadinya sensasi wajah yang kadang-kadang
berubah (Nervus V), adanya disfungsi vestibular (NVIII), atau gejala faringeal
(NIX dan X).3 Berkurangnya lakrimasi dan salivasi sebagai efek parasimpatis juga
dapat terjadi.3 Kelumpuhan maksimal dapat terjadi dalam 48-72 jam dan berat
kelumpuhan berhubungan dengan durasi disfungsi wajah, sejauh mana proses
pemulihan wajah, dan penurunan kualitas hidup.
Meskipun penelitian untuk Bells palsy sudah dilakukan secara luas,
patogenesis pasti dari Bells Palsy masih kontroversial. 4 Infeksi (Herpes simpleks
tipe-1)5, penekanan saraf6, dan sistem imun7 diduga memiliki peran dalam
patogenesis Bells Palsy, namun urutan yang tepat dan besarnya pengaruh faktorfaktor tersebut terhadap terjadinya Bells Palsy masih belum jelas.
Anatomi
Nervus fasialis merupakan nervus cranialis ke tujuh yang terdiri atas
komponen motorik, sensorik, dan parasimpatis. Fungsi nervus ini adalah untuk
gerakan volunter dan mimik wajah, pengecapan 2/3 anterior lidah, dan kontrol
sekresi glandula salivasi dan lakrimasi.
Nervus fasialis menerima akson dari bagian superior nukleus solitarius dan
nukleus salivatorius superior yang membentuk komponen nervus intermedius
(akson parasimpatis dan sensorik) dan serabut eferen motorik dari nukleus
fasialis, yang menerima input sinaps dari bagian kontralateral korteks motorik
untuk semua pergerakan wajah kecuali dahi, karena dahi memiliki input
bikortikal.
Jalur perjalanan nervus fasialis bisa melewati intrakranial, intratemporal dan
komponen extratemporal. Jalur intrakranial berjalan dari sudut pontomedullary
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
ETIOLOGI
Ada bukti yang menyatakan sistem imun, infeksi, dan mekanisme iskemik
memiliki kontribusi yang potensial terhadap perkembangan Bells palsy pada
berbagai macam tubuh manusia, namun penyebab pasti dari Bells palsy masih
belum jelas. Salah satu kemungkinan penyebab yang telah dilaporkan adalah
reaktifasi infeksi virus herpes simpleks, infeksi berpusat di sekitar ganglion
genikulatum, teori ini pertama kali diuraikan oleh McCormick.5 Hubungan dengan
HSV-1 didukung oleh adanya HSV-1 pada cairan endoneural nervus fasialis
intratemporal13 yang ditemukan selama dekompresi saraf, dan adanya kemampuan
untuk mendorong terjadinya paralisis fasial pada hewan percobaan melalui infeksi
primer dan reaktivasi yang disebabkan oleh modulasi sistem imun. 15 Meskipun
ada bukti ini, manifestasi klinis Bells palsy tidak sama jika dibandingkan dengan
penyakit lain yang lebih sering disebabkan oleh HSV, seperti herpes labialis (cold
sores) dan herpes genital.4 Selanjutnya, tidak dibenarkan untuk mengasumsikan
hubungan sebab dan akibat antara adanya HSV-1 dalam cairan endoneural pasien
dengan terjadinya Bells palsy.
HSV-1 merupakan salah satu dari beberapa virus herpes pada manusia yang
diketahui memiliki kapasitas neurotropik untuk saraf perifer, dan virus lainnya
yang termasuk kategori ini yaitu virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dan virus
varicella zoster (VZV). Virus-virus ini memasuki tubuh manusia melalui paparan
mukokutan dan berkembang pada masa laten dengan menghambat transkripsi gen
beberapa ganglia di seluruh neuroaxis untuk kehidupan host, termasuk di dalam
cranial, akar dorsal dan sistem otonom ganglia.16 17 Masa laten di ganglia dengan
tidak adanya replikasi virus secara aktif, dapat menyebabkan keadaan sakit dan
sehat pada populasi. HSV dapat terdistribusi secara global dan merupakan virus
yang tangguh. HSV dan VZV dapat teraktivasi pada host yang mengalami
imunokompeten ataupun host yang memiliki antibodi, meskipun reaktivasi lebih
sering terjadi pada host yang mengalami defisiensi imun, khususnya pada kasus
yang disebabkan oleh VZV.
Sebuah kemungkinan penyebab disfungsi saraf karena HSV-1 adalah
aktivasi degradasi intra-aksonal dan jalur apoptosis yang didorong oleh respon
lokal akson baik secara langsung dan tidak langsung terhadap fenotif virus yang
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
DIAGNOSIS
Bells palsy merupakan diagnosis klinis. Karakteristik yang ditemukan pada
Bells palsy adalah onset akut dari paralisis fasialis lower motor neuron bersifat
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
unilateral yang mempengaruhi otot wajah dan dapat mencapai puncaknya dalam
72 jam. Temuan ini sering disertai dengan gejala pada leher, nyeri pada mastoid
atau telinga, dysgeusia, hyperakusis atau adanya sensasi yang berubah pada
wajah. Gejala penyerta ini ditemukan pada 50-60%23 dan lebih memastikan
diagnosis Bells palsy.
Keterlibatan nervus auricular posterior, petrosus, chorda tympani dan
stapedius berimplikasi terhadap disfungsi yang terjadi dalam tulang temporal.
Lokalisasi nervus fasialis intratemporal lebih didukung oleh lokasi genikulatum
unilateral, labirin dan segmen meatus nervus fasialis pada MRI dengan kontras.
Temuan pada gambar MRI ini dapat dijadikan hipotesis untuk mewakili gangguan
pada sawar darah otak dan kongesti vaskular pada nervus fasialis. Upaya
pengganti untuk menentukan diagnosis yaitu melalui teknik PCR terhadap
VZVand HSV primer diterapkan pada posterior aurikularis, spesimen otot wajah
atau air mata telah gagal untuk menunjukkan korelasi yang konsisten antara virus
dan manifestasi klinis.24 Oleh karena itu, tes ini memiliki hasil yang terbatas jika
digunakan sebagai alat diagnosis.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk paralisis fasial sangat luas,
25
dan misdiagnosis
sering terjadi. Penyebab paralisis fasial dibagi menjadi kongenital dan didapat.
Penyebab kongenital seperti sindrom genetik, trauma kelahiran dan gangguan
pertumbuhan terisolasi (misalnya, hipoplasia perkembangan otot wajah).
Penyebab yang didapat misalnya infeksi (penyakit VZV, Lyme, mycobacterium
tuberkulosis, HIV), trauma (iatrogenik atau trauma kepala), inflamasi (vaskulitis,
sarkoidosis, penyakit autoimun), neoplastik (jinak atau ganas) dan penyebab
serebrovaskular, dan lainya. Berdasarkan pengalaman salah satu penulis (GC)
dalam pembuatan surat rujukan, tingkat misdiagnosis Bells palsy dilakukan oleh
10,8% dokter pertama yang menangani.26 Misdiagnosis termasuk tumor
(misalnya, skhwanoma nervus fasialis, keganasan glandula parotis, dan jarang,
neuroma akustik), herpes zoster oticus dan penyakit granulomatosa seperti
sarkoidosis dan granulomatosis dengan polyangiitis (granulomatosis Wegeners).
seperti
kemodenervasi,
fisioterapi
atau
operasi.
Hal
ini
dapat
Neurofisiologi
Ada sejumlah studi yang mengeksplorasi potensi utilitas pada penilaian
neurofisiologis untuk pemilihan pengobatan dan prognosis. Di masa lalu, di
literatur bedah, ada studi tentang konduksi saraf nervus fasialis, disebut juga
sebagai electroneuronography (ENoG) telah diusulkan dalam beberapa studi
untuk digunakan dalam memilih pasien yang mungkin memerlukan pembedahan
dekompresi nervus fasialis.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
PENGOBATAN
Pengobatan akut
American Academy of Neurology31 (AAN) dan American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation30 (AAO-HNSF) baru-baru ini
menerbitkan pedoman untuk pengobatan Bells palsy. Meskipun struktur dan
ruang lingkup pedoman ini berbeda, pedoman mereka pada dasarnya melengkapi
dokumen yang memperkuat peran kortikosteroid dalam pengobatan Bells palsy
dan menentang penggunaan rutin terapi antivirus. Selanjutnya, pedoman AAOHNSF mencegah dilakukannya laboratorium rutin, pencitraan atau pengujian
neurofisiologis pada temuan pertama pasien Bells palsy. Dosis oral steroid harus
dimulai dalam 72 jam pertama onset dan penelitian salah satu Scottish32 atau
European33 dalam randomised controlled trials (RCTs) juga menganjurkan untuk
menggunakan steroid. Penelitian ini menganjurkan penggunaan 50 mg prednison
selama 10 hari atau 60 mg untuk 5 hari pertama, kemudian 5 hari selanjutnya
dosis dikurangi 10 mg setiap hari. Kedua cara tersebut sama-sama efektif. 34 hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa kurangnya signifikansi pemberian
gabungan kortikosteroid dengan terapi antivirus. Terlebih lagi, penggunaan
monoterapi kortikosteroid pada double-blind RCTs tidak memberikan efek pada
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
10
paralisis
ringan-sedang,
yang
dapat
pulih
secara
spontan,
pemberian
kortikosteroid ini bermanfaat untuk sub kelompok Bells palsy yang parah.
Alasan utama untuk memberikan antivirus pada pasien Bells palsy,
misalnya obat antiherpes seperti acyclovir, mungkin diberikan pada pasien HSV-1,
berdasarkan bukti saat ini. Alasan lain untuk menggunakan terapi antivirus dalam
klinis adalah diagnosis Bells palsy yang masih ragu serta memiliki kemungkinan
diagnosis zoster sine herpete, yang mana gejalanya merupakan gejala reaktivasi
VZV tanpa patognomonik erupsi vesikular yang khas seperti pada infeksi VZV
(Ramsay-Hunt Syndrome).
VZV merupakan diagnosis banding yang penting untuk semua paralisis
fasialis LMN akut. Sindrom Ramsay-Hunt memiliki prognosis yang lebih buruk
dari Bells palsy dan biasanya memberikan gejala yang lebih parah. Oleh karena
itu, lebih responsif jika memberikan terapi gabungan antivirus dengan terapi
steroid, lagipula tingkat komplikasi dari pemberian terapi antivirus juga rendah.
Sejak VZV diketahui menyebabkan paralisis fasialis, penggunaan antiviral pada
sindrom Ramsay-Hunt memiliki dasar bukti yang jelas, dibenarkan dan dianggap
rasional.4 Dosis yang adekuat untuk menangani VZV adalah 3000 mg / hari (1000
mg valasiklovir, tiga kali sehari) selama 7 hari. Valasiklovir memiliki
bioavailibilitas yang lebih tinggi dari asiklovir.
Pada saat ini penggunaan gabungan acyclovir dan kortikosteroid dalam
mengobati Bell palsy masih kontroversial, dengan data yang bertentangan
muncul dari percobaan yang berbeda dan dari meta-analisis yang berbeda juga. 4
Berdasarkan bukti saat ini, khususnya studi 32 Bells palsy yang ekstensif dilakukan
di Skotlandia pada 551 pasien dalam penelitian acak, double-blind, dan plasebo
terkontrol, tampaknya wajar untuk mengobati Bells palsy yang khas dengan
monoterapi kortikosteroid, tanpa asiklovir. Namun, pemberian kombinasi
kortikosteroid dengan asiklovir dapat memberikan manfaat untuk kasus Bells
palsy yang berat. Masalah ini harus diselesaikan dengan uji klinis yang memiliki
prospektif besar. Pada kasus dengan pasien yang mengalami imunokompromised
berat, pertimbangkan untuk memberikan regimen asiklovir intravena untuk
mencegah kemungkinan komplikasi ke sistem saraf pusat.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
11
Perawatan mata
Strategi perlindungan mata untuk setiap pasien yang tidak dapat menutup
mata secara sempurna adalah sangat penting. Lakrimasi terjadi pada bagian lateral
membran konjungtiva dan mengalir dari lateral ke medial karena aksi dari
muskulus orbicularis oculi selama berkedip dan penutupan mata yang efektif.
Kehilangan mekanisme ini mengakibatkan terjadinya epifora akibat mekanisme
pompa air mata yang tidak efektif, paparan, dan iritasi pada mata. Kekeringan dan
iritasi mata berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya keratitis dan ulkus, dan
akhirnya dapat mengancam penglihatan. Pada konsultasi pertama, dokter harus
memberlakukan strategi untuk menghindari paparan okular, dan merujuk kasus ini
kepada dokter spesialis mata. Menggunakan pelindung mata yang efektif
(misalnya, kacamata hitam), lubrikasi (air mata buatan pada siang hari, dan salep
pada malam hari) dan mata ditutup dengan kasa pada malam hari. Lingkungan
tertentu seperti mandi berlebihan dan berenang, berdebu dan lingkungan berangin
sebaiknya dihindari.
Penggunaan lebih awal eyelid weight harus dipertimbangkan pada lansia,
orang-orang dengan diabetes, penyakit mata yang sudah ada sebelumnya, paralisis
fasialis lengkap yang tidak berespon dengan neurofisiologi dan adanya iritasi
terus-menerus meskipun sudah menggunakan terapi proteksi mata yang telah
dijelaskan sebelumnya.25
Perawatan mulut
Hilangnya fungsi spingter orbicularis oris meenyebabkan ketidaknyamanan
sosial berupa inkontinensia oral dan menjadi faktor predisposisi bagi bibir dan
pipi bagian dalam untuk mengalami abrasi selama pengunyahan dan selanjutnya
dapat menjadi ulkus. Adanya strategi makan dapat mengurangi dampak dari
paralisis fasialis flaksid. Pengunaan sedotan untuk minum dan cenderung makan
makanan lunak dapat membantu dalam perawatan mulut. Ketidakmampuan untuk
menurunkan dan menggerakkan bibir bawah akan menghalangi proses makan
makanan tertentu. Sementara gigi 'spacers (pengatur jarak)' terletak pada aspek
lateral gigi molar dapat digunakan untuk mencegah tergigitnya mukosa bukal.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
12
Fisioterapi
Dari bukti perspektif, pengobatan yang beragam ini, secara luas meliputi
terapi panas, elektrostimulasi, massage, mime therapy, dan biofeedback, sulit
untik dianalisis secara keseluruhan.30 Ada sejumlah regimen pengobatan, lamanya
dan variabilitas mereka dalam pelaksanaannya membuat penilaian terhadap
pengobatan tersebut lebih luas. Meskipun semua pengobatan tersebut tidak
dianjurkan untuk semua penderita Bells palsy,30 ada subkelompok
pasien yang
Prognosis
Sejarah telah menunjukkan bahwa 85% dari pasien mengalami beberapa
pemulihan pada 3 minggu pertama.1 Faktor risiko pemulihan yang tidak lengkap
yaitu paralisis fasialis yang berat, lamanya waktu sebelum onset pemulihan, dan
nyeri yang dirasakan terus-menerus. Pasien dengan paralisis fasialis lengkap
(House-Brackman grades 5-6) yang belum mengalami pemulihan dalam waktu 34 bulan pertama setelah onset, lebih mungkin untuk menderita proses pemulihan
fungsi wajah yang tidak lengkap, dengan atau tanpa kejang dan sinkinesis. Nyeri
berkepanjangan juga merupakan fakto risiko terjadinya prognosis yang buruk.
Sejarah Bells palsy telah dijelaskan dalam sejumlah besar studi.1,3,25
Berdasarkan kesimpulan yang diambil dari studi besar tersebut, dokter dapat
berharap bahwa tanpa intervensi, sekitar 70% pasien akan mengalami pemulihan
penuh. Dari mereka yang tidak sembuh sepenuhnya, setengahnya akan memiliki
gejala sisa ringan, dan sisanya memiliki gejala sisa sedang-berat. Dengan
penggunaan steroid tingkat pemulihan sempurna terjadi lebih dari 90%
penderita.32
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
13
14
Reanimasi Wajah
Dalam penatalaksanaan pemulihan yang tidak lengkap dengan senyum yang
tidak efektif, transfer saraf ke saraf, teknik transfer regional dan jaringan bebas
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Peitersen E. Bells palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002;122:430.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
16
17
22. Persson AK, Kim I, Zhao P, et al. Sodium channels contribute to degeneration
of dorsal root ganglion neurites induced by mitochondrial dysfunction in an
in vitro model of axonal injury. J Neurosci 2013;33:1925061.
23. Croxson GR. The assessment of facial nerve dysfunction. J Otolaryng Soc
Austral 1990;4:25263.
24. Stjernquist-Desatnik A, Skoog E, Aurelius E. Detection of herpes simplex and
varicella-zoster viruses in patients with Bells palsy by the polymerase chain
reaction technique. Ann Otol Rhinol Laryngol 2006;115:30611.
25. Hohman MH, Hadlock TA. Etiology, diagnosis, and management of facial
palsy: 2000 patients at a facial nerve center. Laryngoscope 2014;124:E283
93.
26. Croxson G, Coulson SE, Mukherjee P. Mistaken diagnoses in facial nerve
disorders [conference presentation]. 12th International Facial Nerve
Symposium. Boston:7 June 2013.
27. House JW, Brackmann DE. Facial nerve grading system. Otolaryngol Head
Neck Surg 1985;2:1467.
28. Ross B, Fradet G, Nedzelski J. Development of a sensitive clinical facial
grading system. Otolaryngol Head Neck Surg 1996;114:3806.
29. Fattah AY, Gavilan J, Hadlock TA, et al. Survey of methods of facial palsy
documentation in use by members of the Sir Charles Bell Society.
Laryngoscope 2014;124:224751.
30. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, et al. Clinical practice guideline Bells palsy.
Otolaryngol Head Neck Surg 2013;149(3 Suppl):S127.
31. Gronseth GS, Paduga R, American Academy of Neurology. Evidence-based
guideline update: steroids and antivirals for Bell palsy: report of the Guideline
Development Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology 2012;79:220913.
32. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, et al. Early treatment with prednisolone
or acyclovir in Bells palsy. N Engl J Med 2007;357:1598607.
33. Engstrm M, Berg T, Stjernquist-Desatnik A, et al. Prednisolone and
valacyclovir in Bells palsy: a randomised, double-blind, placebo-controlled,
multicentre trial. Lancet Neurol 2008;7:9931000.
34. Salinas RA, Alvarez G, Daly F, et al. Corticosteroids for Bells palsy
(idiopathic facial paralysis). Cochrane Database Syst Rev 2010;3:CD001942.
35. Minnerop M, Herbst M, Fimmers R, et al. Bells palsy: combined treatment
of famciclovir and prednisone is superior to prednisone alone. J Neurol
2008;255:172630.
36. Hato N, Yamada H, Kohno H, et al. Valacyclovir and prednisolone treatment
for Bells palsy: a multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol
Neurotol 2007;28:40813.
37. Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves
function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the
Massachusetts Eye and Ear Infirmary. Phys Ther 2010;90:3917.
38. Hadlock TA, Greenfield LJ, Wernick-Robinson M, et al. Multimodality
approach to management of the paralyzed face. Laryngoscope
2006;116:13859.
39. Hohman MH, Lee LN, Hadlock TA. Two-step highly selective neurectomy
for refractory periocular synkinesis. Laryngoscope 2013;123:13858.
Eviston TJ, et al. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2015;86:13561361. doi:10.1136/jnnp-2014
18
19