Anda di halaman 1dari 57

Bagian Farmakologi Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Laporan Kasus

DM TIPE II + ABSES PEDIS SINISTRA


Dipresentasikan pada tanggal: 8 September 2011

Disusun Oleh:

Nur Anisah
Karina
Oleh:

Nurul Salamah
Khoirun Nisa
Siti Muawanah
Sizigia Hascharini Utami
Pembimbing:

dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SAMARINDA
2011

BAB I
LAPORAN KASUS
Presentasi Kasus
Farmakologi Klinik

Tanggal: 1 September 2011

RSUD AWS FK Unmul

I.

II.

Identitas Pasien :
Tanggal pemeriksaan: 1 September 2011
Nama
: Ny. S P/L Dokter yg memeriksa : dr. jaga IRD
Usia
: 50 tahun
Tanggal Lahir : Agama
: Islam
Status
: Menikah
Alamat
: Jl. Adam Malik No. 2
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No RM
: 11035671
Anamnesis (Subjektif)

Keluhan Utama :
Nyeri di luka kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Terdapat luka pada ibu jari kaki kiri sejak kurang lebih 1 minggu yang
lalu. Luka awalnya tampak seperti letupan dan tidak diawali oleh trauma. Luka
makin meluas kemudian pasien mengalami demam dan badan lemah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat DM (+) sejak 1 tahun yang lalu, rutin minum obat glibenklamid.
Riwayat hipertensi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak diketahui.

III.

Pemeriksaan Fisik (Objektif)


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Vital sign : TD : 140/90 mmHg
RR: 30 x/menit
N : 120 x/menit cepat lemah T: 37,8C
Kepala dan leher : Anemis (+), Ikterik (-), sianosis (-)
Thoraks : Pulmo: Bentuk dan gerak simetris, ronkhi -/-, wheezing -/-/-/-/-/Cor : S1 S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)
Abdomen
: Flat, soefl, nyeri tekan epigastrium (-), BU (+)
Ekstremitas
: Akral hangat
Lain-lain
: Regio pedis sinistra: ulkus pada digiti I, dasar jaringan
granulasi, pus (+)

IV.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
1. Laboratorium (01 - 09 -2011)
Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat
Nilai normal
dilakukan
GDS
252 mg/dl
60-150 mg/dl
Ureum
65.8 mg/dl
10-40 mg/dl
Kreatinin
1.3 mg/dl
0.5-1.5 mg/dl
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:
Pemeriksaan yang
dilakukan
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT

Hasil yang didapat


19.5 K/ul
2.96 M/ul
7.3 g/dl
22.0%
74.3 fl
24.7 pg
33.2 g/dl
417 K/ul

Nilai normal
5.0-10.00 K/ul
4.00-5.50 M/ul
12.0-16.0 g/dl
36.0-48.0%
82.0-92.0 fl
27.0-31.0 pg
32.0-36.0 g/dl
200-400 K/ul

2. Laboratorium (02 - 09 -2011)


Pemeriksaan yang
dilakukan

Hasil yang didapat

Nilai normal

HbsAg
GDS
SGOT
SGPT
Bil total
Bil direct
Bil Indirect
Protein Total
Albumin
Globulin
Kolesterol
Asam Urat
Ureum
Creatinin

Negatif
257 mg/dl
9 UI
12 UI
1.1 mg/dl
0.5 mg/dl
0.6 mg/dl
6.7 mg/dl
2.2 g/dl
4.5 g/dl
119 mg/dl
10.5 mg/dl
113.7 mg/dl
1.9 mg/dl

Negatif
60-150 mg/dl
W<31 UI
W<32 UI
0-1 mg/dl
0-0.25 mg/dl
0-0.75 mg/dl
6.6-8.7 mg/dl
3.2-4.5 g/dl
2.3-3.5 g/dl
150-220 mg/dl
2-6 mg/dl
10-40 mg/dl
0.5-1.5 mg/dl

3. Laboratorium (03 - 09 - 2011)


Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:
HCT
WBC
RBC
HGB
MCV
MCH
MCHC
PLT

Hasil yang didapat


5.3 K/ul
0.80 M/ul
1.9 g/dl
6.2%
77.2 fl
23.8 pg
30.6 g/dl
146 K/ul

Nilai normal
5.0-10.00 K/ul
4.00-5.50 M/ul
12.0-16.0 g/dl
36.0-48.0%
82.0-92.0 fl
27.0-31.0 pg
32.0-36.0 g/dl
200-400 K/ul

4. Laboratorium (05 - 09 - 2011)


Pemeriksaan yang
dilakukan
GD 2 PP
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV

Hasil yang didapat


121 mg/dl
21.5 K/ul
3.61 M/ul
9.2 g/dl
27.2%
75.3 fl

Nilai normal
70-150 mg/dl
5.0-10.00 K/ul
4.00-5.50 M/ul
12.0-16.0 g/dl
36.0-48.0%
82.0-92.0 fl

MCH
MCHC
PLT

25.5 pg
23.8 g/dl
433 K/ul

27.0-31.0 pg
32.0-36.0 g/dl
200-400 K/ul

V.

Diagnosis (Assesment)
DM tipe II + abses pedis sinistra
VI.
Terapi ( yang diberikan )
1.
IVFD RL 20 tpm
2.
Injeksi cefotaxim 3x1 gr
3.
Metronidazole 3x500 mg
4.
RI 3x4 IU
5.
Injeksi ranitidin 2x1 amp
6.
Injeksi antrain 3x1 amp
7.
Parasetamol 3x500 mg bila demam
8.
Rawat luka
9.
Konsul ke Sp. OT
VII. Pemeriksaan Lanjutan
1.
Pemeriksaan laboratorium
2.
Pemeriksaan EKG
VIII. Perawatan di ruangan (Flamboyan)
Tanggal
2
September
2011

Subjektif & Objektif


S: pusing, terasa melayang,
nyeri di luka kaki kiri
O: CM; anemis (+), TD 130/80
mmHg; N 88x/i; RR 20x/i;
T 36,5C
Ronki -/- Wheezing -/-/-/-

3
September
2011

S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri


ulu hati tidak ada, sudah
tidak pusing
O: CM; anemis (+), TD 120/80
mmHg; N 90x/i; RR 20x/i;
T 36,6C
Ronki -/- Wheezing -/-/-/-

Assesment & Planning


A: DM tipe II + abses pedis
sinistra
P: - RL 20 tpm
- inj cefotaxime 3x1 gr
- inj ranitidin 2x1 amp
- inj antrain 3x1 amp
- metronidazole 500 mg
3x1
- RI 3x4 IU
- parasetamol 500 mg 3x1
prn
A: DM tipe II + abses pedis
sinistra
P: - RL 20 tpm
- inj cefotaxime 3x1 gr
- inj ranitidin 2x1 amp
- inj antrain 3x1 amp
- metronidazole 500 mg
3x1
- RI 3x4 IU
- parasetamol 500 mg 3x1
prn

IX.

5
September
2011

S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri


ulu hati, sesak nafas
O: CM; TD 160/80 mmHg; N
88x/i; RR 28x/i; T 36,7C
Ronki -/- Wheezing -/-/-/-

6
September
2011

S: nyeri di luka kaki kiri


kronik, nyeri ulu hati
O: CM; TD 150/90 mmHg; N
89x/i; RR 25x/i; T 36,7C
Ronki -/- Wheezing -/-/-/-

7
September
2011

S: nyeri di luka kaki kiri, nyeri


ulu hati
O: CM; TD 100/90 mmHg; N
88x/i; RR 20x/i; T 36,8C
Ronki -/- Wheezing -/-/-/-

lasix ekstra sebelum


transfusi PRC 2 unit
- perlu foto rontgen ap dan
lateral pedis sinistra
A: DM tipe II + abses pedis
sinistra
P: - RL 20 tpm
- inj cefotaxime 3x1 gr
- inj ranitidin 2x1 amp
- inj antrain 3x1 amp
- metronidazole 500 mg
3x1
- RI 3x4 IU
- parasetamol 500 mg 3x1
prn
A: DM tipe II + abses pedis
sinistra
P: - RL 20 tpm
- inj cefotaxime 3x1 gr
- inj ranitidin 2x1 amp
- inj antrain 3x1 amp
- metronidazole 500 mg
3x1
- RI 3x4 IU
- parasetamol 500 mg 3x1
prn
A: DM tipe II + abses pedis
sinistra
P: - RL 20 tpm
- inj cefotaxime 3x1 gr
- inj ranitidin 2x1 amp
- inj antrain 3x1 amp
- metronidazole 500 mg
3x1
- RI 3x4 IU
- parasetamol 500 mg 3x1
prn

Masalah yang akan dibahas


1.
Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis
2.
Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini
3.
Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kerusakan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes mellitus berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi (kelainan fungsi tubuh), kegagalan
dari 14 berbagai organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah (Fauci et al, 2008). Menurut WHO (1999) Diabetes mellitus (DM)
didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan
multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ginjal
tahap akhir (PGTA), amputasi ekstremitas bawah dan kebutaan pada usia dewasa.
Selain itu juga, DM menjadi faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler. Dengan
peningkatan insidensi di seluruh dunia, DM menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas banyak penyakit-penyakit lainnya (Fauci et al, 2008).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile
diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada

usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.


Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan
rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilahistilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan
Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)
mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latnt Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes (Depkes,2005).
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian
diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan
Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru
diabetes mellitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada
tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "InsulinDependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan
"Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes
Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak
lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan
istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-InsulinDependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasipublikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul (Depkes, 2005).
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun
1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu
Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes
Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan
satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga
dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (NonInsulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi
insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih

berdasarkan etiologi penyakitnya (Depkes, 2005). Klasifikasi Diabetes Melitus


berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel 1.

2.1.3 Patofisiologi
A. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.

Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan


sel-sel pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula
yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,
Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase) (Depkes, 2005).
ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di
dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans (Depkes, 2005).
Sebagaimana diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pancreas terdapat
beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, selsel memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel memproduksi hormon
somatostatin. Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel . Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa
tingginya titer ICCA di dalam tubuh penderita DM Tipe 1 justru merupakan
respons terhadap kerusakan sel-sel yang terjadi, jadi lebih merupakan akibat,
bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel pulau Langerhans. Apakah
merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin lama makin menurun
sejalan dengan perjalanan penyakit (Depkes, 2005).
Otoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu
(Depkes, 2005).
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA. Otoantibodi
terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada hampir 80%
pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1. Sebagaimana
halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama makin menurun

sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan


prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi (Depkes,
2005).
Di samping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin (Depkes, 2005).
Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pancreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain
defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1
juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon
yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia
akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini
tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan
hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi
dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis
diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi
somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan
terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang
pada penderita DM Tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi
glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1
yang sedang mendapat terapi insulin (Depkes, 2005).
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM
Tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi
penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang
diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini,
salah satu diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam
lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di

jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme
glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka,
dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh (Depkes,
2005).
Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang
diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen
glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor
glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose (Depkes, 2005).
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai
90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45
tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anakanak populasinya meningkat (Depkes, 2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya
terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar
dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak
dan rendah serat, serta kurang gerak badan (Depkes, 2005).
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama.
Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada hubungan antara
gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen yang
merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2 (Depkes, 2005).
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di
dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal
patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin (Depkes, 2005).
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak
(sedentary), dan penuaan. Di samping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe

2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans
secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak
absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi
pemberian insulin (Depkes, 2005).
Sel-sel kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2,
sel-sel menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan
baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel pankreas yang terjadi secara progresif, yang
seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen (Depkes, 2005).
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat dibagi
menjadi 4 kelompok:
a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut juga Diabetes
Kimia (Chemical Diabetes)
c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar glukosa
plasma puasa < 140 mg/dl)
d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar glukosa
plasma puasa > 140 mg/dl).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1 dengan DM Tipe 2 adalah sebagai
berikut:
Tabel 2. Perbedaan DM Tipe 1 dan Tipe 2

2.1.4 Faktor Resiko


Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes
selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas
kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya pun sepatutnya
memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk
melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar
tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi
diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan
kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi.
Beberapa faktor risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini (Depkes, 2005).
Tabel. 3 Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2

2.1.5 Gejala Klinis

Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa


gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain
itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas
(Depkes, 2005).

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,


polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),

iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).


Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM
Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk,
dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

2.1.6 Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya dapat dipertimbangkan bila ada keluhan
khas berupa poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan oleh pasien adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus
vulva pada wanita (Fauci et al, 2008).
Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan sebagai patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis
DM. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka

abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) yang abnormal (Fauci et al, 2008).
Kriteria diagnostik DM adalah sebagai berikut (Fauci et al, 2008):
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (puasa berarti
tidak ada asupan kalori sejak 10 jam terakhir), atau
c. kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa
75 gram pada TTGO.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa hemoglobin A1C (Hb A1C)
merupakan tanda diagnostik DM. meskipun memang terdapat korelasi yang kuat
antara A1C dengan glukosa plasma, namun hubungan antar glukosa darah puasa
dan A1C pada seseorang yang mengalami toleransi glukosa normal atau
intoleransi glukosa ringan masih kurang jelas, sehingga penggunaan A1C belum
direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis diabetes.
Tes hemoglobin terglikosilasi disingkat sebagai A1C merupakan cara
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun (Fauci et al, 2008).
Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, perlu dilakukan konfirmasi
dengan hasil uji toleransi glukosa oral. Kurva toleransi glukosa penderita DM
Tipe 1 menunjukkan pola yang berbeda dengan orang normal sebagaimana yang
ditunjukkan dalam gambar 1(Depkes, 2005)

Gambar 1. Kurva Toleransi Glukosa normal dan pada pasien DM Tipe 1.


Garis titik-titik menunjukkan kisaran kadar glukosa darah normal.
2.1.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes sebagai berikut (Depkes, 2005).
Tabel 4. Target Penalataksanaan Diabetes
Parameter
Kadar Glukosa Darah Puasa
Kadar Glukosa Plasma Puasa
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur
Kadar Insulin
Kadar HbA1C
Kadar Kolesterol HDL
Kadar Trigliserida
Tekanan Darah

Kadar Ideal yang diharapkan


80-120 mg/dl
90-130 mg/dl
100-140 mg/dl
110-150 mg/dl
<7%
<7 mg/dl
>45 mg/dl (Pria)
>55 mg/dl (Wanita)
<200 mg/dl
<130/80 mg/dl

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes,yang


pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
oral, atau kombinasi keduanya.

Bersamaan dengan itu, apa pun langkah penatalaksanaan yang


diambil,satu faktor yang tak boleh ditinggalkan adalah penyuluhan atau konseling
pada penderita diabetes oleh para praktisi kesehatan, baik dokter, apoteker, ahli
gizi maupun tenaga medis lainnya (Depkes, 2005)
Terapi non Farmakologi
a. Terapi Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut (Depkes, 2005):

Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%
berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah
satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain jumlah
kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan. Masukan
kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari. Sumber
lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak
asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein
sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,
karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi
penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan
menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat
dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap
dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu

makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan
vitamin dan mineral (Depkes, 2005).
b. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita
diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olahraga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 7585% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini
paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olahraga akan
memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh
dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes, 2005).
c. Terapi Obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya
(Depkes, 2005).
Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada
DM Tipe I, sel-sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak
lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I
harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di
dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM

Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan
terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral (Depkes, 2005).
Pengendalian Sekresi Insulin

Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk


menstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah tinggi, sekresi
insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula darah rendah, maka
sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di
bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah
(Depkes, 2005).
Stimulasi sekresi insulin oleh peningkatan kadar glukosa darah
berlangsung secara bifasik. Fase 1 akan mencapai puncak setelah 2-4 menit dan
masa kerja pendek, sedangkan mula kerja (onset) fase 2 berlangsung lebih lambat,
namun dengan lama kerja (durasi) yang lebih lama pula (Depkes, 2005).
Gambar berikut ini menunjukkan pengaruh pemberian infus glukosa
terhadap kadar insulin darah. Infus glukosa diberikan untuk mempertahankan
kadar gula darah tetap tinggi (lebih kurang 2 sampai 3 kali kadar gula puasa
selama 1 jam). Segera setelah infus diberikan kadar insulin darah mulai meningkat
secara dramatis dan mencapai puncak setelah 2-4 menit. Peningkatan kadar
insulin fase 1 ini berasal dari sekresi insulin yang sudah tersedia di dalam granula
sekretori. Peningkatan kadar insulin fase 2 berlangsung lebih lambat namun
mampu bertahan lama. Peningkatan fase 2 ini merefleksikan sekresi insulin yang
baru disintesis dan segera disekresikan oleh sel-sel b kelenjar pankreas. Jadi jelas
bahwa stimulus glukosa tidak hanya menstimulasi sekresi insulin tetapi juga
menstimulasi ekspresi gen insulin (Depkes, 2005).
Disamping kadar gula darah dan hormon-hormon saluran cerna, ada
beberapa faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu sekresi insulin, antara lain
kadar asam lemak, benda keton dan asam amino di dalam darah, kadar hormonhormon kelenjar pankreas lainnya, serta neurotransmiter otonom (Depkes, 2005).
Kadar asam lemak, benda keton dan asam amino yang tinggi di dalam
darah akan meningkatkan sekresi insulin.

Gambar 2. Pengaruh pemberian infus glukosa terhadap kadar insulin darah


Dalam keadaan stres, yaitu keadaan dimana terjadi perangsangan syaraf
simpato adrenal, hormon epinefrin bukan hanya meninggikan kadar glukosa darah
dengan memacu glikogenolisis, melainkan juga menghambat penggunaan glukosa
di sel-sel otot, jaringan lemak dan sel-sel lain yang penyerapan glukosanya
dipengaruhi insulin. Dengan demikian, glukosa darah akan lebih banyak tersedia
untuk metabolisme otak, yang penyerapan glukosanya tidak bergantung pada
insulin. Dalam keadaan stres, sel-sel otot terutama menggunakan asam lemak
sebagai sumber energi, dan epinefrin memang menyebabkan mobilisasi asam
lemak dari jaringan (Depkes, 2005).
Mekanisme Kerja Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam


pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah (Depkes, 2005).
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor
glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah
tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan
meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi

sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes,


2005).
Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel,
insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik
metabolisme

karbohidrat

dan

lipid,

maupun

metabolisme

protein

dan

mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis, serta


meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai
peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya,
gangguan fungsi insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi
yang sangat luas pada berbagai organ dan jaringan tubuh (Depkes, 2005).
Prinsip Terapi Insulin

Indikasi
Semua penderita DM Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak
ada
Penderita DM Tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin
apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa
darah
Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke
DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin,
apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
Ketoasidosis diabetik
Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik
Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO

Cara Pemberian
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya
dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan
subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada
gambar 4 disamping ini. Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan,
paha bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka
penyerapan akan terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat.
Kegiatan fisik yang dilakukan segera setelah penyuntikan akan mempercepat
waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat masa kerja (Depkes, 2005).
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam
bentuk pompa (insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan
menyemprotkan larutan insulin ke dalam kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan
atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia untuk penggunaan di
klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih
mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti
dapat ditemukan sediaan insulin per oral atau per nasal (Depkes, 2005).
Penggolongan Terapi Insulin

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang
terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu
(Depkes, 2005):
1.
2.
3.
4.

Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler


Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

Tabel 5. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa kerja

Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu
jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa
frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual, bahkan seringkali
memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu. Umumnya, pada tahap awal
diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian ditambahkan insulin
dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin kerja
singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya
diberikan satu atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun,
karena tidak mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia
sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH) (Depkes, 2005).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi
memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin.
Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal
yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di dalam darah (Depkes, 2005).
Tabel 6. Sediaan insulin yang beredar di Indonesia

Terapi Obat Hipoglikemi Oral


Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada (Depkes, 2005).

Penggolongan OHO
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Depkes, 2005):
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).
b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin),

meliputi

obat-obat

hipoglikemik

golongan

biguanida

dan

tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin


secara lebih efektif.
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga starch-blocker.
Tabel 7. Penggolongan obat hipoglikemik oral

Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan OHO


1. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.

2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
3. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
5. Hipoglikemia harus dihindari terutama pada penderita lanjut usia, oleh
sebab itu sebaiknya obat hipoglikemik oral yang bekerja jangka panjang
tidak diberikan pada penderita lanjut usia.
6. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh penderita.
Terapi Kombinasi
Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO
atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah antara golongan
sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang
sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanida bekerja
efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini memiliki efek terhadap
sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling
menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini
dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat
bila dipakai sendiri-sendiri (Soegondo, 2005).
2.1.8 Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang
sering terjadi dan harus diwaspadai.
HIPOGLIKEMIA
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi
gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.

Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak
dapat berfungsi bahkan dapat rusak (Depkes, 2005).
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang
dapat dialami 1 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di
Inggris diperkirakan 2 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan
oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia
lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin (Depkes,
2005).
Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita
(Depkes, 2005):

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)


Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau

ahli gizi
Berolah raga terlalu berat
Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada

Seharusnya
Minum alcohol
Stress
Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
hipoglikemia
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila

penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:


a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobic berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap
insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis.

HIPERGLIKEMIA
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara
tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,
polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui
dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia
dapat

memperburuk

gangguan-gangguan

kesehatan

seperti

gastroparesis,

disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung
lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara
lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang
keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat
dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat (Depkes, 2005).
KOMPLIKASI MAKROVASKULAR
tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada
penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease =
CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer
(peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat
juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi
makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita
hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit
komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome
X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin
Resistance Syndrome (Depkes, 2005).
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita
diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat
penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan
lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak
lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya
hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang,

berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya
(Depkes, 2005).
KOMPLIKASI MIKROVASKULAR
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong

timbulnya

komplikasi-komplikasi

mikrovaskuler,

antara

lain

retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia,


ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh factor genetik. Oleh sebab itu dapat
terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko
komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk
perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat
keparahan diabetes (Depkes, 2005).
Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat
jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar
gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan
insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring
kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi
mikrovaskular sampai 60% (Depkes, 2005).

2.2 Abses
2.2.1 Definisi
Abses merupakan kumpulan nanah yang terakumulasi di suatu tempat di
dalam tubuh. Hal ini terjadi akibat reaksi pertahanan tubuh karena adanya benda
asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik) (Fauci et al, 2008).
Ketika benda asing masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
proses peradangan. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang
berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan
nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada akhirnya
tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses; hal ini
merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.
Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh
maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses (Meislin HW
& Guisto JA, 2006).

2.2.2 Manifestasi klinis


Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka tanda
dan gejala yang muncul adalah tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni:
kemerahan, panas, pembengkakan, rasa nyeri, dan hilangnya fungsi. Abses dapat
terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan
kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses
adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian
jaringan setempat yang ekstensif (gangren) (Askandar, 2001).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan. Suatu abses dapat
menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut

mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan
trakhea (Fauci et al, 2008).
2.2.3 Penatalaksanaan
Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga pemberian antibiotik
biasanya sia-sia. Antibiotik bisa diberikan setelah suatu abses mengering dan hal
ini dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses
menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya (Meislin HW & Guisto JA, 2006).
Suatu abses perlu diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing
tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya
hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat
analgesik dan mungkin juga antibiotik (Fauci et al, 2008).
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada areaarea yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai
tindakan terakhir yang perlu dilakukan (Belkin et al, 2008).
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering
digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten
Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut
menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,
digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline (Meislin HW & Guisto JA, 2006).

2.3 Ulkus Diabetikum


2.3.1 Definisi
Ulkus diabetikum adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan
berbau akibat adanya sumbatan yang terjadi di pembuluh sedang atau besar di
tungkai (Askandar, 2001).
2.3.2 Etiologi
Faktor-faktor yang berpengaruh atas terjadinya ulkus diabetikum dibagi
menjadi faktor endogen dan ekstrogen. Faktor endogen antara lain genetik,
metabolic, angiopati diabetic, dan neuropati diabetic. Sedangkan faktor ekstrogen
yaitu trauma, infeksi, dan obat (Fauci et al, 2008).
2.3.3 Patofisiologi
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat
hiperglykemia yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi (Fauci et al, 2008).

Teori Sorbitol
Hyperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel
dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin.
Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara
normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose
reduktasi akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan menumpuk dan

menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.


Teori Glikosilasi
Akibat hyperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada
semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya

proses glikosilasi pada protein membrane basal dapat menjelaskan semua


komplikasi baik makro maupun mikro vaskule.
Terjadinya ulkus diabetikum sendiri disebabkan oleh faktor-faktor yang
disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan pada timbulnya ulkus
diabetikum adalah angipati, neuropati dan infeksi. Adanya neuropati perifer akan
menyebabkan hilang atau menurunnya sensai nyeri pada kaki, sehingga akan
mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki
gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada otot kaki
sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsestrasi pada kaki klien.
Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebnioh besar maka
penderita akan merasa sakit pada tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak
tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan
asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka
yang sukar sembuh (Askandar, 2001).
2.3.4 Manifestasi klinis
Ulkus diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses
mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut
emboli membrikan gejala klinis 5 P yaitu (Fauci et al, 2008):
1.

Pain (nyeri)

2.

Paleness (kepucatan)

3.

Paresthesia (kesemutan)

4.

Pulselessness (denyut nadi hilang)

5.

Paralysis (lumpuh)

Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari
fontaine :
1.

Stadium I

: asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan)

2.

Stadium II

: terjadi klaudikasio intermiten

3.

Stadium III

: timbul nyeri saat istitrahat

4.

Stadium IV

: terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus)

2.3.5 Klasifikasi
Menurut berat ringannya lesi, kelainan ulkus diaberikum dibagi menjadi
enam derajat menurut Wagner, yaitu:
1.

Derajat 0

: tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan

kemungkinan disertai dengan kelainan bentuk kaki "claw,callus"


2.

Derajat I

: ulkus superficial terbatas pada kulit

3.

Derajat II

: ulkus dalam, menembus tendon atau tulang

4.

Derajat III : abses dalam dengan atau tanpa osteomilitas

5.

Derajat IV : ulkus pada jari kaki atau bagian distal kaki atau tanpa selulitas

6.

Derajat V

: ulkus pada seluruh kaki atau sebagian tungkai

2.3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan ulkus diabetikum terdiri dari pengendalian diabetes dan
penanganan terhadap ulkus itu sendiri (Askandar, 2001).
a)

Pengendalian Diabetes
Langkah awal penanganan pasien ulkus diabetikum adalah dengan melakukan
manajemen medis terhadap penyakit diabetes secara sistemik karena
kebanyakan pasien dengan ulkus diabetikum juga menerita mal nutrisi,
penyakit ginjal kronis dan infeksi kronis.
DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapa menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik diabetes salah satunya adalah terjadinya ulkus
diabetikum. Jika keadaan gula darah selalu dapat dikendalikan dengan baik
diharapkan semua komplikasi yang akan terjadi dapat dicegah paling tidak
dihambat.
Mengelola DM langkah yang harus dilakukan adalah pengelolaan non
farmakologis diantaranya perencanaan makanan dan kegiatan jasmani, baru
bila langkah tersebut belum tercapai dilanjutkan dengan langkah berikutnya
yaitu dengan pemberian obat atau disebut pengelolaan farmakologis.

b)

Penanganan Ulkus diabetikum


Strategi pencegahan

Fokus pada penanganan ulkus diabetikum adalah pencegahan terjadinya


luka. Strategi yang dapat dilakukan meliputi edukasi kepada pasien,
perawtan kulit, kuku dan kaki serta pengunaan alas kaki yang dapat
melindungi. Pada penderita dengan resiko rendah boleh menggunakan
sepatu hanya saja sepatu yang digunakan jangan sampai sempit atau sesak.
Perawatan kuku yang dianjurkan pada penderita Resiko tinggi adalah kuku
harus dipotong secara tranversal untuk mencegah kuku yang tumbuh
kedalam dan merusak jaringan sekitar.
Penanganan Ulkus Diabetikum
Penangan ulkus diabetikum dapat dilakukan dalam berbagai tingkatan :

Tingkat 0
Penanganan pada tingkat ini meliputi edukasi kepada pasien tentang
bahaya dari ulkus dan cara pencegahan.

Tingkat I
Memerlukan debrimen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,
perawatan lokal luka dan pengurangan beban.

Tingkat II
Memerlukan debrimen antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur,
perawatan luka dan pengurangan beban yang lebih berarti.

Tingkat III
Memerlukan debrimen yang sudah menjadi gangren, amputasi
sebagian, imobilisasi yang lebih ketat dan pemberian antibiotik
parenteral yang sesuai dengan kultur.

Tingkat IV
Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagaian atau
seluruh kaki.

2.4 Tinjauan Tentang Farmakologis


1. Ringer Laktat (RL)
Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan
volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah
komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang
dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma
darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di
plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi
untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk
syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk
mencegah terjadinya ketosis (Tjay dan Raharja, 2002).
Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di
pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3
mEq/L), K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan
yang tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi
dan syok hipovolemik.
Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang
besar, biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan
asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang
tinggi akibat metabolisme anaerob. (Ganiswarna, S.G., dkk. 1995)
2. Cefotaxim
Cephalosporin generasi III yang berikatan dengan membran sel bakteri
dan menginhibisi sintesis dinding sel. Bersifat bakterisid.

Dosis dan sediaan: Vial 500 mg dan 1 gr IV/IM dewasa 1 gr 2x/hari,


bila infeksi ringan-sedang1-2 gr tiap 8 jam, bila infeksi berat 2 gr 3-4x/hari.
Anak berat badan >50kg 1-2 gr 3-4x/hari, 1 bulan-12 tahun, berat badan <50
kg 100-200 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).
Farmakokinetik:
Absorbsi: Distribusi: didistribusi luas, termasuk CSF. Protein binding 30-50%
Metabolisme: dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif
Ekskresi: melalui urine. T 1 jam (Ellsworth, 2005).
Interaksi obat: Aminoglikosida dan loop diuretik meningkatkan efek
nefrotoksik, kloramfenikol menginhibisi cefotaxime, oral antikoagulan
menyebabkan hipoprotrombinemia (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).
Efek samping: Diare ringan, kram perut, jarang menimbulkan
rash,pruritus, urtikaria, kandidiasis oral atau vagina (Ellsworth, 2005; MIMS,
2008).
Perhatian: Hipersensitif penicillin, gangguan ginjal berat, riwayat penyakit
GIT terutama colitis, hamil dan laktasi (Ellsworth, 2005; MIMS, 2008).
3. Metronidazole
Antimikroba yang berfungsi sebagai terapi pada infeksi yang disebabkan
bakteri anaerob, trikomoniasid, dan amubisid terhadap Giardian lamblia serta
tindakan profilaksis pra dan pasca bedah.
Farmakokinetik : Absorbsi metronidazol baik melalui oral. Setelah
diberikan dosis tunggal 500 mg peroral akan diperoleh kadar plasma 10
mikrogram/mL. Untuk bakteri dan protozoa yang sensitif rata-rata diperlukan
kadar 8 mikrogram/mL. Waktu paruhnya 8 10 jam. Dalam beberapa kasus
dapat terjadi kegagalan terapi karena absorbsi yang buruk atau metabolisme
yang terlalu cepat. Ekskresi obat ini melalui urine. Urine dapat menjadi
kemerahan karena pigmen yang berasal dari obat. Eksresi lain melalui saliva,
ASI, cairan vagina dan cairan seminal tetapi kadarnya rendah.

Efek Samping : Tidak ada efek samping yang berat untuk pemberian
metronidazol. Efek samping yang biasa timbul adalah sakit kepala, mual,
mulut kering, dan rasa kecap logam. Muntah, diare dan spasme usus jarang
terjadi. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis berkaitan dengan moniliasis.
Efek samping lain adalah vertigo, ataksia, parestesia ekstremitas, urtikaria,
flushing, pruritus, disuria, sistitis, nyeri tekan pelvis, kering pada mulut,
vagina dan vulva. Jika pemakaian lebih dari 7 hari lakukan monitoring
leukosit untuk mengetahui bila terjadi neutropenia. Neutrofilnya akan kembali
normal jika pengobatan dihentikan. Jika ditemukan ataksia, kejang atau gejala
sistem saraf pusat yang lain, obat yang dihentikan.
Indikasi : Digunakan untuk infeksi amubiasis, trikomoniasis, dan
infeksi bakteri anaerob. Metronidazol efektif untuk abses hati. Metronidazol
bermanfaat bagi ulkus peptikum akibat infeksi H. Pylori.
Kontraindikasi : Tidak dianjurkan pada pasien yang memiliki kelainan
darah, dan gangguan sistem saraf pusat. Metronidazol tidak bersifat
teratogenik, tidak menyebabkan prematuritas, dan kelainan pada bayi baru
lahir.
Jika terdapat obstruksi hati yang berat dan gangguan fungsi ginjal dosis harus
dikurangi.
Sediaan : Tersedia dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg; suspensi 125
mg/5 mL dan suppositoria 500 mg dan 1 g. Untuk dosis dewasa amubiasid 3 x
750 mg/hari selama 5 10 hari sedangkan untuk anak 35 50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam tiga dosis. Trikomoniasis untuk wanita 3 kali 250 mg/hari
selama 7 10 hari bila perlu ulang selang waktu 4 6 minggu.
4. Reguler Insulin
Insulin ini merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat
meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan
mempengaruhi pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam
jaringan melalui ikatan dengan reseptor insulin di jaringan. Dapat diberikan

pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II (Sweetman, 2005; MIMS,
2008).
Dosis dan sediaan: Vial 40 IU/ml x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml, vial
cartridge 100 IU/ml x 3 ml. Dapat diberikan SC atau IV pada kondisi
ketoasidosis. Dosis tergantung kondisi pasien dan kadar gula darah
(Sweetman, 2005; MIMS, 2008).
Farmakokinetik:

Absorpsi: cepat diabsorbsi melalui suntikan SC, di abdomen lebih


cepat dari lengan , bokong atau paha. Meningkat dengan latihan
fisik. IM lebih cepat daripada SC. Mulai kerja jam, durasi 6-8 jam,
puncak 2-4 jam

Distribusi: ke hepar, otot, jaringan lemak

Metabolisme: di hepar, ginjal dan otot

Ekskresi: di ginjal, hanya sedikit yang utuh. T 3-5 menit


(Sweetman, 2005; MIMS, 2008).

Interaksi obat: Kortikosteroid, diuretik, oral kontrasepsi, tiroksin


meningkatkan kebutuhan insulin, bloker, MAO Inhibitor, alkohol
meningkatkan efek hipoglikemik dari insulin (Sweetman, 2005; MIMS, 2008).
Efek samping: Hipoglikemi. Jarang menyebabkan lipodistrofi, resisten
terhadap insulin, reaksi alergi lokal atau umum (Sweetman, 2005; MIMS,
2008).
Perhatian: Pemindahan dari insulin lain, sakit atau gangguan emosi,
diberikan bersama obat hiperglikemi aktif (Sweetman, 2005; MIMS, 2008).
5. Ranitidine
Ranitidin merupakan antagonis H2 reseptor. Obat ini

menduduki

reseptor H2 di sel parietal sehingga menghambat sekresi asam lambung dan


pepsin (Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).
Farmakokinetik:
Ranitidine diberikan dalam bentuk injeksi IV.

Absorbsi: cepat dan baik tidak dipengaruhi makanan, bioavailabilitas

50-60%, T 2 jam,
Distribusi : melewati barier otak, dan plasenta.
Metabolisme: hepar
Ekskresi: renal (Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).
Indikasi: peptic ulcer, refluks esofagitis, sindroma zolinger Ellison
(Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).
Peringatan : gangguan fungsi hepar dan ginjal dosis dikurangi
(Sukandar, 2009; Tjay, 2007; Dewoto, 2007).
Efek samping obat: pusing, rash, sakit kepala, konstipasi (Sukandar, 2009;
Tjay, 2007; Dewoto, 2007).
6. Metamizole Na (Antrain)
Antrain mengandung Metamizole Na. Metamizole Na adalah derivat
metansulfonat

dari

aminopirin

yang mempunyai khasiat analgesik.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf


pusat dan perifer. Metamizole Na bekerja sebagai analgesik (Farmasiku,
2010; MIMS, 2008).
Farmakokinetik:

Absorbsi: diabsorbsi disaluran cerna

Metabolisme: -

Distribusi: -

Ekskresi: melalui urin. T 1-4 jam (Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).

Indikasi: untuk meringankan rasa sakit terutama nyeri kolik operasi


(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap metamizole Na, wanita hamil
dan menyusui, penderita dengan TD sistolik < 100 mmHg, dan bayi usia < 3
bulan atau berat badan < 5 kg (Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).
Efek samping: rush (kemerahan) dan agranulositosis (Farmasiku, 2010;
MIMS, 2008).
Perhatian:

Tidak untuk mengobati sakit otot pada gejala-gejala flu dan tidak
untuk mengobati rematik, sakit punggung, bursitis, sindroma bahu
lengan.

Karena dapat menimbulkan agranulositosis yang berakibat fatal,


maka sebaiknya tidak digunakan dalam jangka panjang.

Hati-hati pada penderita yang pernah mengalami gangguan


pembentukan darah/kelainan darah. gangguan fungsi hati atau ginjal.
Karena itu perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati dan darah pada
penggunaan yang lebih lama dari penggunaan untuk mengatasi rasa
sakit akut.

Pada

pemakaian jangka lama dapat menimbulkan

sindrom

neuropathy yang akan berangsur hilang bila pengobatan dihentikan


(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).
Interaksi obat:

Bila Metamizole Na diberikan bersamaan dengan

Chlorpromazine dapat mengakibatkan hipotermia (Farmasiku, 2010; MIMS,


2008).
Dosis: Tablet : 1 tablet jika sakit timbul, berikutnya 1 tablet tiap 6-8
jam,maksimum 4 tablet sehari. Injeksi: 500 mg jika sakit timbul, berikutnya 1
tablet tiap 6-8 jam maksimum 3 kali/hari. Diberikan secara injeksi baik IM/IV
(Farmasiku, 2010; MIMS, 2008).
7. Paracetamol
Obat ini memiliki efek antipiretik dan analgesi melalui mekanisme
sentral yang dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Efek
antiinflamasinya sangat rendah, bahkan tidak ada. Paracetamol dapat
menghambat sintesis prostaglandin di daerah jejas, meskipun lemah (Wilmana
& Sulistia, 2007).
Farmakokinetik:

Absorbsi: diabsorpsi baik melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi


dalam plasma dicapai dalam waktu jam

Metabolisme :dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosom hati (80% oleh


asam glukoronat dan sisanya oleh asam sulfat)

Distribusi: tersebar ke seluruh cairan tubuh. 25% terikat oleh protein


plasma.

Ekskresi : melalui ginjal 3% dalam bentuk utuh dan siasnya dalam bentuk
terkonjugasi. T 1-3 jam (Wilmana & Sulistia, 2007).
Perhatian : penderita gagal ginjal dan gagal hati, konsumsi alcohol.

(Wilmana & Sulistia, 2007).


Efek samping: reaksi hipersensitivitas (Wilmana & Sulistia, 2007).
Kontra indikasi : penderita insufisiensi hati dan ginjal (Wilmana &
Sulistia, 2007).
Interaksi obat: alkohol, anti koagulan, kloramfenikol, aspirin,
fenobarbital (Wilmana & Sulistia, 2007).
Sediaan: paracetamol tablet 500 mg, sirup 120 mg/5 ml x 60 ml (MIMS,
2008).

BAB III
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada pasien ini, maka pasien didiagnosa Diabetes Melitus tipe II,
Abses Pedis, dan Ulkus Pedis
Diagnosa
Teori
DM dapat dipertimbangkan bila ada
keluhan khas berupa poliuria, polidipsi,

Kasus

Riwayat DM 1 tahun terakhir


Pemeriksaan kadar Glukosa

polifagia dan penurunan berat badan

Darah Sewaktu (01/09/2011) :

yang tidak dapat dijelaskan.

252 mg/dl
Terdapat luka di digiti I 1

Kriteria diagnostik DM adalah sebagai

minggu terakhir dan di daerah

berikut (Sudoyo, 2006):

Kadar glukosa darah sewaktu

(plasma vena) 200 mg/dl, atau


Kadar glukosa darah puasa

sekitar maleolus
Terdapat demam dan badan

lemas beberapa hari terakhir


Terdapat keadaan anemis yang

(plasma vena) 126 mg/dl

ditunjukkan pada pemeriksaan

(puasa berarti tidak ada asupan

fisik

kalori sejak 10 jam terakhir),

konjungtiva

atau
Kadar glukosa plasma 200

pemeriksaan Hb yang berjumlah

dengan
anemis

keadaan
dan

7,3 g/dl

mg/dl pada 2 jam sesudah beban


glukosa 75 gram pada TTGO.

Pada pasien ini didiagnosa dengan DM tipe 2, abses pedis, dan ulkus
pedis ditambah keadaan anemis pada awal.
Penatalaksaan pasien ini meliputi:

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yang
bertujuan untuk penurunan berat badan. (Depkes, 2005)
Terapi Farmakologis
Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.

Obat

yang

diberikan

harus

tepat

indikasi

sesuai

dengan

standar

medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh


penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non
2.
3.

spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut.


Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis
Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak
diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak

4.

diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung


Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan,
penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan

5.

minum, sesudah atau sebelum makan, dll)


Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui
dipantau dengan baik.
Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum

secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis,


Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman
Rasional Murah dan Mudah didapat.
1. Ringer Laktat
Pada pasien ini, terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat. Biasanya
cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya yang isotonis,
dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati membran semi
permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan onkotiknya yang
rendah, cairan ini dapat dengan cepat terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler.
Pada pasien ini diberikan 20 tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus

akan habis dalam waktu + 8 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari
keadaan pasien. Karena keadaan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda terjadi
gangguan keseimbangan cairan maka cukup diberikan cairan infus RL dengan
kecepatan 20 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batasbatas fisiologis.
No Teori

kasus

sebagai terapi rumatan

3
4

Indikasi: mengembalikan
keseimbangan
elektrolit
pada keadaan dehidrasi
dan syok hipovolemik
Kontraindikasi:
hipernatremia,
kelainan
ginjal, kerusakan sel hati,
asidosis laktat.
Dosis : sesuai dengan
kondisi penderita
Efek samping: edema
jaringan pada penggunaan
dengan
volume
yang
besar, biasanya pada paruparu hiperkloremia dan
asidosis metabolic

Rasional
Ya
Tidak

tidak ada kontraindikasi


pada pasien
20 tpm habis dalam 8
jam
-

2. Cefotaxim
Merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ke III yang bersifat
bakterisid serta bekerja sebagai antibiotik Broad Spectrum. Pada pasien
ini, hasil kultur yang seharusnya menjadi pedoman untuk terapi
antimikroba belum didapatkan sehingga diperlukan pemberian antibiotik
golongan broad spectrum.
no
1

Teori

kasus

rasional
Ya
tidak
Indikasi : infeksi bakteri Pasien
mengalami
gram positif dan negatif, infeksi pada ekstremitas
bawah sinistra dan hasil
misalnya infeksi saluran

nafas, kulit dan jaringan kultur


lunak, saluran kemih, didapatkan

belum

intra-abdomen, tulang dan


sendi.
2

Bakteremia,

septikemia, dan meningitis


Dosis : Vial 500 mg dan Diberikan
injeksi
1 gr IV/IM dewasa 1 Cefotaxim 1 gr 3x/hari
gr 2x/hari, bila infeksi
ringan-sedang1-2
gr
tiap 8 jam, bila infeksi
berat 2 gr 3-4x/hari

Efek samping: Diare


ringan, kram perut, jarang
menimbulkan
rash,pruritus,
urtikaria,
kandidiasis
oral
atau
vagina
Interaksi
obat:
Aminoglikosida dan loop
diuretik
meningkatkan
efek
nefrotoksik,
kloramfenikol
menginhibisi cefotaxime,
oral
antikoagulan
menyebabkan
hipoprotrombinemia
Cara Pemakaian: dapat
digunakan
secara
parenteral

Tidak didapatkan obat


yang
dapat
menimbulkan interaksi

Pada
pasien
ini
diberikan
secara
parenteral

3. Metronidazole
Merupakan Antimikroba yang berfungsi sebagai terapi pada infeksi yang
disebabkan bakteri anaerob serta diperlukan untuk tindakan profilaksis pra
dan pasca bedah. Pada kasus ini, pasien mengalami infeksi serta
mendapatkan penanganan perawatan pada lukanya tersebut. Hasil kultur
bakterinya belum didapatkan sehingga perlu penggunaan antibiotik Broad
Spectrum yang dikombinasikan dengan Metronidazole.

No Teori
1

Kasus

Indikasi: infeksi Infeksi yang


yang
disebabkan diketahui
kulturnya;
bakteri
anaerob,
perawatan luka
trikomoniasid,
dan
amubisid

rasional
Ya
tidak
belum
hasil
dalam

terhadap

Giardian lamblia serta


tindakan

profilaksis

pra dan pasca bedah.


2

Dosis : dws: tab: 500 mg diberikan

3x/hari 5-7 hari; inf: Metronidazole tab 500


500mg tiap 8 jam IV; mg 3x/hari
supp: 1 g supp 3x/hari 7
hari
Efek
samping:
sakit

kepala,

mual,

mulut

kering, dan rasa kecap


logam. Muntah, diare dan
spasme
berselaput,

usus,

Lidah

glositis

dan

stomatitis, vertigo, ataksia,


parestesia
urtikaria,

ekstremitas,
flushing,

pruritus, disuria, sistitis,


nyeri tekan pelvis, kering
pada mulut, vagina dan
vulva, ataksia, kejang.
4

Cara Pemakaian: dapat Pada


pasien
ini
digunakan secara oral, diberikan secara oral
parenteral, suppositoria.

4.

Reguler Insulin
Merupakan insulin dengan kerja short acting yang dapat meningkatkan
penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi pertumbuhan
sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan reseptor
insulin di jaringan. Dapat diberikan pada pasien Diabetes Mellitus tipe I dan tipe II.
Pada pasien ini, ditegakkan diagnosa yaitu DM tipe II sejak setahun terakhir dan rutin
mengkonsuksi Glibenclamide. Namun pada pemeriksaan kadar gluksa didapatkan
hasil kadar glukosa yang sangat tinggi sehingga tatalaksana OHO dihentikan dan
memerlukan reguler Insulin.

No Teori
1

Kasus

Indikasi : Diabetes Mellitus Diabetes Melitus tipe II

Rasional
Ya
Tidak

tipe I dan tipe II

Dosis
:
0,2-1 diberikan RI 3x4 iu
iu/kgBB/hari. Vial 40 IU/ml

x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml,


vial cartridge 100 IU/ml x 3
ml. Dapat diberikan SC atau
IV pada kondisi ketoasidosis.
Dosis tergantung kondisi
pasien dan kadar gula darah.

Interaksi

obat: Tidak didapatkan obat


dapat
Kortikosteroid, diuretik, oral yang
menimbulkan interaksi
kontrasepsi,

tiroksin

meningkatkan

insulin,

kebutuhan
bloker,

Inhibitor,

MAO
alkohol

meningkatkan

efek

hipoglikemik dari insulin

Efek

samping

obat

Hipoglikemi.

Jarang

menyebabkan

lipodistrofi,

resisten
reaksi
umum

terhadap
alergi

insulin,

lokal

atau

Cara Pemakaian: dapat Pada


pasien
ini
digunakan
secara diberikan
secara
parenteral
parenteral
Ranitidin
Merupakan

antagonis

H2

reseptor

sehingga bekerja sebagai

menghambat sekresi asam lambung dan pepsin . Pada pasien ini ditemukan

gejala nyeri ulu hati yang dianalisa disebabkan pemberian Antrain yang
memiliki efek samping pada GIT. Sehingga pada pasien ini dibutuhkan
pemberian Ranitidin.
No

Teori

Kasus

Indikasi:

peptic

refluks
2

ulcer, Nyeri ulu hati

rasional
Ya
tidak

esofagitis,

sindroma zolinger Ellison


Dosis dan sediaan: 150 Diberikan inj Ranitidin
mg 2x/hari selama 4 2x1 amp
minggu; 300 mg 1x/hari
selama 4-8 minggu. Tab
150

mg;

Amp

50

mg/2mL
3

Efek

samping

obat:

pusing, rash, sakit kepala,


4

6.

konstipasi
Cara Pemakaian: dapat Pada
pasien
ini
digunakan secara oral, diberikan
secara
parenteral
parenteral

Metamizole Na (Antrain)

Merupakan derivat metansulfonat dari aminopirin yang mempunyai khasiat


analgesik. Pada pasien ditemukan rasa nyeri dari luka pada kaki kirinya sehingga
dibutuhkan analgesik untuk mengatasi nyerinya.

no

Teori

kasus

Indikasi:

Nyeri pada ulkus

untuk
meringankan rasa sakit,
pasca operasi, nyeri kolik
Dosis
2 Dosis dan sediaan : Tablet

rasional
Ya
tidak

Pada pasien diberikan


: 1 tablet jika sakit timbul, inj Antrain 3x1 amp

berikutnya 1 tablet tiap 6-8


jam,maksimum

tablet

sehari. Injeksi: 500 mg jika


sakit timbul, berikutnya 1
tablet

tiap

6-8

maksimum

Diberikan

secara

jam

kali/hari.
injeksi

baik IM/IV

IO: Bila Metamizole Na Tidak didapatkan obat


dapat
diberikan
bersamaan yang
menimbulkan interaksi
dengan

Chlorpromazine

dapat

mengakibatkan

hipotermia

Efek

samping:

(kemerahan)

rush

dan

agranulositosis

7.

Cara Pemakaian: dapat Pada


pasien
digunakan secara oral diberikan injeksi
dan parenteral

ini

Paracetamol
Merupakan terapi yang memiliki efek antipiretik dan analgesi melalui

mekanisme sentral yang dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang.


Efek antiinflamasinya sangat rendah, bahkan tidak ada. Pada awal kasus

ini didapatkan demam pada pasien sehingga diperlukan pemberian


antipiretik.
no
1

Teori

kasus

rasional
Ya
tidak
Indikasi:
untuk Terdapat demam dan
menghilangkan demam dan nyeri
meredakan nyeri

Dosis
2
Dosis dan sediaan : Pada pasien diberikan
paracetamol tablet 500 mg, Paracetamol 500 mg
3x/hari bila demam
sirup 120 mg/5 ml x 60 ml,
supp 125 mg dan 250 mg.
Dws: 1-2 tab 3-4x/hari

InteraIO:
3

anti Tidak didapatkan obat


dapat
koagulan, kloramfenikol, yang
menimbulkan interaksi
aspirin, fenobarbital

4
5

8.

alkohol,

Efek samping: reaksi

hipersensitivitas
Cara Pemakaian: dapat Pada
pasien
digunakan secara oral diberikan oral
dan suppositoria

ini

Packed Red Cells (PRC)

Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan untuk mengobati


anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi jaringan.
Pada pasien ini ditemukan keadaan anemis yang diperlihatkan pada hasil
pemeriksaan lab hemoglobinnya hanya 1,9 gr/dl.
no
1

Teori

kasus

rasional
Ya
tidak
Indikasi : Hb < 8 Terdapat hasil Hb 1,9
g/dL
g/dL
Hb 8 10 g/dL,
normovolemik disertai
tanda-tanda

gangguan

miokardium,

serebral

dan respirasi
Perdarahan hebat: 10
ml/kg

pada

jam

pertama atau > 5 ml/kg


pada 3 jam pertama
2

Risiko transfusi:

Acute:

reaksi

Pada pasien diberikan


overload, PRC 2 unit

alergi,

hemolitik,

reaksi
demam,

emboli udara.
Delayed: infeksi dan
imunosupresi

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Penggunaan RL dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
b. Pemberian Cefotaxim dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
c. Penggunaan Metronidazole dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
d. Penggunaan Regular Insulin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
e. Penggunaan Ranitidin dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
f. Penggunaan Antrain dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping
(rasional).
g. Penggunaan Paracetamol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).
h. Pemberian transfusi PRC dilihat dari Indikasi (rasional), dosis
(rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek
samping (rasional).

2. Saran
Dalam menyelesaikan ada sedikit kendala terutama untuk klinis pasien
yang tidak dievaluasi tetapi mungkin mendukung untuk follow up dan
pencatatan data rekam medis atas setiap tindakan yang diberikan pada pasien.

Diharapkan ke depannya pencatatan tersebut lebih lengkap lagi sehingga akan


lebih mudah untuk dianalisis dan juga dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Meislin HW, Guisto JA. Soft tissue infections. In: Marx JA, ed. Rosen's
Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia,
PA: Mosby Elsevier; 2006:chap 135
Fauci, Anthony S., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed.
United States: McGraw-Hill Professional, 2008.
Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Millitus Klasifikasi Diagnosa dan Terapi.
PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Belkin M, et al. 2008. Sabiston Textbook of Surgery. In: Townsend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, eds.. 18th ed. Philadelphia, Pa:
Saunders Elsevier; chap 66.
Anonim. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI), Direktorat.
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Soegondo, Sidartawan. 2005. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini.
Dalam: Subekti, Imam et al. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.
Jakarta: FKUI.
Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI). 1998. Konsensus Pengelolaan Diabetes
Melitus di Indonesia. Jakarta: Perkeni.
Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosbys Medical Drug Reference. USA.
Elsevier Mosby. 2005

Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian


Farmakologi FKUI
Irnizarifka. Manajemen

Dasar

Cairan.

Nizar

MD

Medical

Articles.

http://nizarmd.wordpress.com/2010/07/09/manajemen-dasar-cairan, [diakses,
tanggal 9 Agustus 2011]
Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001: 518
McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo
DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrisons. Principles of Internal Medicine.
Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi
dari CMP Medica. 2009/2010
Pramonohadi Prabowo; Penyakit Jantung Koroner, Lab/UPF Ilmu Penyakit
Jantung;FK Unair RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
Sukandar, E.Y., dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. PT ISFI Penerbitan-Jakarta
Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo

Anda mungkin juga menyukai