Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peserta didik yang duduk di tingkat sekolah dasar adalah anak pada rentang
usia 7-11 tahun. Anak dengan tingkat usia ini sedang berada pada tahap
operasional konkret. Djaali (2008: 70) mengungkapkan, selama tahun-tahun
tersebut anak telah dapat berpikir secara logis, tetapi belum mampu menerapkan
secara logis masalah hipotetik dan abstrak, oleh karena itu maka siswa harus
dibantu untuk mengkonkretkan materi pembelajaran sebab daya khayal dan
imajinasi mereka masih terbilang rendah.
Siswa akan mampu menkonkretkan dan membentuk pengetahuannya sendiri
apabila mereka dapat mengaitkan apa yang ditemukannya selama mengikuti
pembelajaran dengan apa yang dialaminya dikehidupan sehari-hari. Untuk
mampu mengaitkan teori yang abstrak dengan fakta konkret, diperlukan usaha
yang khusus dari guru dalam mengemas materi pembelajaran. Penerapan
berbagai model pembelajaran serta dibantu dengan media pembelajaran yang
sesuai adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru.
Siswa juga diarahkan pada proses penemuan yang memungkinkan mereka
untuk mengembangkan kemampuan berpikir, menganalisa masalah serta
menarik kesimpulan yang sesuai. Melalui kegiatan belajar yang sarat dengan
aktivitas yang menantang rasa ingin tahu sehingga menciptakan nuansa
kegairahan. Proses pembelajaran seperti itu tentu akan memicu keaktifan dan
semangat belajar siswa sehingga tidak akan ada murid yang merasa bosan. Siswa
akan terlibat dalam setiap proses pembelajaran karena mereka diharapkan untuk
memanfaatkan semua inderanya dalam kegiatan belajar, baik dengan bertanya,
menjawab, mencatat, mengamati, mendengar dan lain sebagainya.
Usaha ini tidaklah mudah, butuh kreativitas dan kerja keras guru untuk
dapat menemukan cara untuk memicu keterlibatan aktif siswa dalam
pembelajaran. Misalnya saja dalam pembelajaran IPA, Tri Agustiana (2013:257)
mengungkapkan IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara

sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang


berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut

dalam

menerapkannya

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Proses

pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk


mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar
secara ilmiah.
Kadang sulit menemukan jembatan penghubung antara materi yang abstrak
dengan fakta konkret yang ditemui siswa pada kehidupan sehari-harinya,
sehingga akhirnya beberapa materi pembelajaran IPA akan terlewat begitu saja.
Pembelajaran pun terkesan gagal karena siswa kurang aktif serta tanggap dalam
mengikuti proses pembelajaran dan setelah dilakukan evaluasi tidak semua siswa
mampu mencapai kriteria ketuntasan minimal. Masalah seperti ini banyak
terjadi, salah satunya pada siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pada siswa kelas VI SD Negeri 4
Ketewel, ditemukan bahwa dari 41 orang siswa hanya 65% yang sudah
memenuhi atau di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) sedangkan 35% lagi
belum memenuhi KKM pembelajaran IPA yang ditetapkan yaitu 75. Siswa yang
nilainya belum memenuhi KKM terpaksa harus mengikuti kegiatan remedial,
yang hasilnya seringkali tidak jauh dari nilai yang didapatkan sebelumnya. Hal
ini terjadi sebab materi pembelajaran masih belum dipahami sepenuhnya, masih
ada beberapa bagian yang tidak tersambung dengan nalar mereka karena belum
pernah dialami atau dilihat pada keseharian.
Permasalah kemudian dianalisis dan berdasarkan analasis tersebut ditarik
sebuah kesimpulan, bahwa salah satu penyebab 35% siswa belum mencapai
KKM adalah karena siswa proses pembelajaran yang monoton dan kurang
kontekstual. Pembelajaran yang berlangsung selama ini hanya menggunakan
metode ceramah atau pemberian tugas saja. Metode ceramah dan pemberian
tugas bukanlah metode yang jelek, sesungguhnya penerapan metode ini hampir
tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan pembelajaran. Namun dalam rangka

menyegarkan suasana serta menciptakan pembelajaran yang bersifat kontekstual


dan berpusat pada siswa, tidak ada salahnya dilakukan penerapan metode atau
model pembelajaran lain salah satunya adalah model Brain-Based Learning.
Brain-Based Learning atau Pembelajaran Berbasis Otak bukan hanya
model

pembelajaran

inovatif

semata

namun

juga

merupakan

model

pembelajaran yang langkah-langkah pembelajarannya disesuaikan dengan ritme


kerja otak sehingga penyerapan materi pembelajaran khususnya pada
pembelajaran IPA dapat terjadi secara optimal. Penerapan model Brain-Based
Learning ini juga sejalan dengan paradigma pendidikan masa kini yaitu student
centered (berpusat pada siswa) dalam penerapannya pun model Brain-Based
Learning mengadaptasi teori-teori pembelajaran kontruktivistik dan active
learning dimana siswa diharapkan
Selain pemilihan model pembelajaran yang tepat, penggunaan media
pembelajaran juga memiliki posisi penting. Media atau alat bantu yang
digunakan haruslah mampu menggambarkan atau membantu siswa memahami
materi yang tengah disampaikan guru, sebagaimana hakikat dari media itu
sendiri yaitu manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap
Gerlach & Ely (Arsyad, 2011:4). Media dikategorikan ke dalam banyak jenis
salah satunya adalah media diorama. Media diorama adalah jenis model berupa
pemandangan tiga dimensi mini yang menggambarkan pemandangan yang
sebenarnya (Prastowo, 2011:235). Media diorama ini sangat cocok apabila
diaplikasikan dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) karena diorama
umumnya dibuat sebagai miniatur keaadaan alam, sosial, dan budaya yang
merupakan materi pokok dalam pembelajaran IPA. Pengaplikasian media
diorama dalam pembelajaran diharapkan memotivasi siswa untuk lebih aktif
belajar dan membangun suasana kelas yang mendidik namun menyenangkan.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar balakang di atas dapat diidentifikasi masalah dalam
1)
2)

kegiatan pembelajaran sebagai berikut:


Rendahnya minat belajar IPA siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel.
Rendahnya keaktifan belajar IPA siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel.

3)

Rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas V SDN 4 Ketewel.


1.3. Rumusan dan Pemecahan Masalah
1.3.1. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah melalui model BrainBased Learning berbantuan media diorama dapat meningkatkan hasil belajar IPA
siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel tahun pelajaran 2016/2017?
1.3.2. Pemecahan Masalah
Dalam upaya memecahkan permasalahan rendahnya hasil belajar IPA
siswa dalam proses pembelajaran IPA maka diterapkan model Brain-Based
Learning berbantuan media diorama. Model ini dipilih sebab fase-fasenya
mempertimbangkan bagaimana otak mengambil (takes), mengolah (processes),
dan menginterpretasikan (interprets) informasi yang didapat serta bagaimana otak
mempertahankan pesan atau informasi yang didapat. Brain-Based Learning
mengadaptasi

teori-teori

pembelajaran

aktif

(active

learning)

sehingga

membentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).


1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
adalah untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel
tahun pelajaran 2016/2017 melalui penerapan model Brain-Based Learning
berbantuan media diorama.
1.5. Manfaat Hasil Penelitian
1.5.1. Bagi Siswa
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa untuk
meningkatkan hasil belajar IPA siswa.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memotivasi siswa
agar lebih aktif saat pembelajaran berlangsung.

1.5.2. Bagi Guru


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan yang positif dan
berharga dalam melaksanakan berbagai upaya pembelajaran untuk meningkatkan
hasil belajar siswa.
1.5.3. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan menjadi masukan berharga bagi


Kepala Sekolah selaku pengambil kebijakan yang nantinya kebijakan tersebut
dapat memperlancar kegiatan pembelajaran.
1.6. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian
1.6.1. Asumsi Penelitian
1) Kondisi siswa yang terlibat dalam penelitian sehat secara rohani dan jasmani.
2) Hasil dari tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa, merupakan keadaan
yang sebenarnya pada dalam diri siswa.
1.6.2. Keterbatasan Penelitian
1) Penelitian ini hanya dilaksanakan pada siswa kelas VI SD Negeri 4 Ketewel
tahun pelajaran 2016/2017.
2) Variabel yang digunakan dalam penelitian ini hanyalah model Brain-Based
Learning berbantuan media diorama, serta hasil belajar IPA sebagai variabel
terikat.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Model Brain-Based Learning Berbantuan Media Diorama
2.1.1. Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen utama dalam
menciptakan suasana belajar yang menarik dan variatif. Model pembelajaran yang
menarik dan variatif akan berimplikasi pada minat siswa dalam mengikuti
pembelajaran di kelas. Menurut Joyce (dalam Trianto, 2007:5) model

pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.
Joyce & Weil (1980) menyatakan bahwa model pembelajaran memiliki
lima unsur dasar

yaitu (1) syntax, yaitu langkah-langkah operasional

pembelajaran, (2) social system, adalah suasana dan norma yang berlaku dalam
pembelajaran, (3) principles of reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya
guru memandang, memperlakukan, dan merespon siswa, (4) support system,
segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran,
dan (5) instructional dan nurturant effectshasil belajar yang diperoleh langsung
berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar di luar
yang disasar (nurturant effects) (Santyasa, 2007:7).
2.1.2. Model Brain-Based Learning (BBL)
a. Pengertian Model Brain-Based Learning (BBL)
Brain-Based Learning atau Pembelajaran Berbasis Otak adalah suatu model
pembelajaran yang muncul akibat adanya paradigma baru tentang membangun
koneksi antara fungsi otak dan praktik pendidikan tradisional. Hal ini dilandasi
oleh pendapat-pendapat ahli yang menyatakan bahwa selama ini proses kognitif
sangat dilemahkan oleh ancaman ruang kelas dengan kata lain selama ini
pembelajaran tradisional telah mengabaikan bagaimana cara alami otak bekerja,
sehingga muncul berbagai resiko bagi kesuksesan belajar siswa. Brain-Based
Learning (BBL) seperti diungkapkan Jensen (2011:6) merupakan suatu model
yang mempertimbangkan bagaimana otak belajar dengan optimal. Optimalisasi
yang dimaksud bukan dengan memaksakan otak untuk menerima pembelajaran
sebanyak-banyaknya, namun membiarkan otak belajar dan bekerja sesuai dengan
ritmenya.
Duman

(2006)

berpendapat

bahwa

BBL

adalah

pengajaran

yang

mempertimbangkan bagaimana otak mengambil (takes), mengolah (processes),


dan menginterpretasikan (interprets) informasi yang didapat serta bagaimana otak
mempertahankan pesan atau informasi yang didapat. BBL merupakan
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) yang menggunakan
seluruh bagian otak dan mengakui bahwa tidak semua siswa belajar dengan cara
yang sama. BBL juga merupakan sebuah proses aktif yang membebaskan siswa
membangun pengetahuannya sendiri terhadap situasi pembelajaran yang beragam
6

dan bersifat kontekstual. BBL memfokuskan tentang bagaimana otak belajar dan
bekerja. BBL adalah pembelajaran yang mengadopsi teori-teori dari model
pembelajaran kontekstual dan pembelajaran aktif (active learning), oleh karena itu
guru diharapkan untuk membelajarakan siswa untuk memaknai dan memahami
pembelajaran yang dilakukan. Guru juga diharapkan mampu mengkondisikan
lingkungan belajar dengan kadar ancaman yang rendah serta dukungan yang
tinggi yang mendorong siswa untuk aktif dan memperoleh banyak pengalaman
belajar.
Sapaat (2009) mengungkapkan bahwa Brain-Based Learning menawarkan
sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran yang berorientasi pada upaya
pemberdayaan potensi otak siswa. Tiga strategi utama yang dapat dikembangkan
dalam implementasi Brain-Based Learning yaitu, pertama, menciptakan
lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa. Dalam setiap
kegiatan pembelajaran, sering-seringlah guru memberikan soal-soal materi
pelajaran yang memfasilitasi kemampuan berpikir siswa dari tahap pengetahuan
(knowledge) sampai tahap evaluasi menurut tahapan berpikir berdasarkan
taksonomi Bloom. Soal-soal pelajaran dikemas seatraktif dan semenarik mungkin,
misalnya melalui teka-teki, simulasi, games, dan sebagainya agar siswa dapat
terbiasa

untuk

mengembangkan

kemampuan

berpikir

dalam

konteks

pemberdayaan potensi otak siswa. Kedua, menciptakan lingkungan pembelajaran


yang menyenangkan. Hindarilah situasi pembelajaran yang membuat siswa tidak
nyaman dan tidak senang terlibat di dalamnya. Lakukanlah pembelajaran di luar
kelas pada saat-saat tertentu, diringi kegiatan pembelajaran dengan musik yang
didesain secara tepat sesuai kebutuhan di kelas, lakukanlah kegiatan pembelajaran
dengan diskusi kelompok yang diselingi dengan permainan-permainan menarik,
dan upaya-upaya lainnya yang mengeliminasi rasa tidak nyaman pada diri siswa.
Howard Gardner dalam buku Quantum Learning karya De Porter, Bobby & Mike
Hernacki menyatakan bahwa seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan
apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di
dalamnya. Ketiga, menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna
bagi siswa (active learning). Siswa sebagai pembelajar dirangsang melalui
kegiatan pembelajaran untuk dapat membangun pengetahuan mereka melalui

proses belajar aktif yang mereka lakukakan sendiri. Bangun situasi pembelajaran
yang memungkinkan seluruh anggota badan siswa beraktivitas secara optimal,
misalnya mata siswa digunakan untuk membaca dan mengamati, tangan siswa
bergerak untuk menulis, kaki siswa bergerak untuk mengikuti permainan dalam
pembelajaran, mulut siswa aktif bertanya dan berdiskusi, dan aktivitas produktif
anggota tubuh lainnya. Merujuk pada konsep konstruktivisme pendidikan,
keberhasian belajar siswa ditentukan oleh seberapa mampu mereka membangun
pengetahuan dan pemahaman tentang suatu materi pembelajaran berdasarkan
pengalaman belajar yang mereka alami sendiri.
(1) saja memiliki banyak kesamaan, tapi sebenarnya mereka sungguh berbeda.
b. Fase Brain-Based Learning
Menurut Ozden & Gultekin (2008),
Learners are encouraged to gain some skills during the brain-based learning
process. They learn not only how to use thinking in learning process but also
about the thinking process itself. The teaching and learning process is formed
in three important phases; orchestrated immersion, relaxed alertness and
active processing. Although these phases are not separated from each other
with distinct lines, they invigorate components of each other in the teaching
and learning process.
(1) Fase orchestrated immersion difokuskan untuk membuat pokok bahasan
dalam pelajaran menjadi lebih bermakna dan bertahan dalam ingatan siswa.
Fase ini membantu siswa membuat pola dan berasosiasi dengan otak mereka
masing-masing saat mereka diberikan permasalahan yang kaya pengalaman
belajar, sehingga pembelajaran yang didapat akan lebih bertahan dalam
memori siswa. Dalam fase ini, guru menyampaikan materi serta menampilkan
media pembelajaran yang digunakan, dalam fase ini juga siswa akan
diberikan beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi siswa.
(2) Fase relaxed alertness, pada fase ini siswa ditantang untuk memecahkan
permasalah yang telah diidentifikais di awal pembelajaran, namun pada fase
sangat ditekankan kenyamanan siswa sehingga siswa tidak merasa mendapat
tuntutan yang sangat memaksa dalam memecahkan permasalahan yang
diberikan oleh guru. Pada fase ini juga dilakukan kegiatan membentuk
8

kelompok belajar. Pengetahuan yang didapat siswa pada fase sebelumnya


akan mengalami internalisasi pada fase ini. Pada fase ini siswa dibebaskan
untuk mengemukakan gagasan-gagasan serta ide-ide yang dimiliki dan siswa
dibebaskan mendesain proyek penyelesaian masalah mereka sendiri dengan
melakukan diskusi dalam kelompok
(3) Fase active processing dilakukakan dengan membentuk kelompok belajar
yang memfasilitasi agar siswa mampu menyerap informasi dengan baik,
tetapi siswa harus tetap diberikan penghargaan walaupun kinerjanya belum
maksimal. Pada fase ini teknik yang digunakan diantaranya diskusi
kelompok, simulas, maupun dengan teknik permainan. Guru berperan sebagai
anggota kelompok jika diperlukan. Pada fase ini siswa dituntut berpartisipasi
aktif serta guru memberikan penghargaan kepada seluruh siswa yang telah
belajar dengan baik. Di akhir pembelajaran, siswa melakukan refleksi atas
apa yang telah mereka pelajari.
2.1.3. Media Diorama
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang berarti tengah,
perantara atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971)
menyatakan secara lebih eksplisit bahwa media apabila dipahami secara garis
besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
Berbeda dengan pendapat Gerlach & Elly, Heinich (1972) mengemukakan istilah
medium sebagai perantara yang mengantarkan informasi antara sumber dan
penerima. Jadi, televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang
diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi.
Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan
instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu
disebut media pembelajaran (Arsyad, 2011:4).
Media diorama sendiri secara umum termasuk ke dalam kategori media
realia atau secara khusus termasuk ke dalam jenis model atau maket. Model
adalah salah satu jenis media yang termasuk dalam kategori media realia. Model
dapat diartikan sebagai barang tiruan kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti
yang ditiru. Sudjana dan Rivai (dalam Prastowo, 2011:228) mengungkapkan

bahwa model adalah tiruan tiga dimensi dari beberapa benda nyata yang terlalu
besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu jarang, atau terlalu ruwet
untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari siswa dalam wujud aslinya. Suleiman
(1985:136) mengemukakan bahwa model dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dibuat dengan ukuran tiga dimensi, sehingga menyerupai benda aslinya untuk
menjelaskan hal-hal yang tidak mungkin kita peroleh dari benda sebenarnya.
Benda asli yang dibuat itu bisa sangat besar seperti bumi dan bulan, atau sangat
kecil seperti binatang bersel satu. Model dapat dikelompokkan model penampang
(cutaway model), model susun (built-up model), model kerja (working model),
mock-up, dan diorama.
Prastowo (2011:235) menyatakan diorama adalah jenis model berupa
pemandangan tiga dimensi mini yang menggambarkan pemandangan yang
sebenarnya. Pengetian yang lebih terperinci diungkapkan oleh Suleiman,
menurut Suleiman (1985:144-145),
Diorama merupakan alat peraga yang sangat menarik, yang disebut
dengan diorama adalah suatu skene dalam tiga dimensi untuk
memperagakan suatu keadaan dalam ukuran kecil. Dalam skene itu
terdapat benda-benda tiga dimensi dalam ukuran kecil pula. Benda-benda
kecil itu berupa orang-orangan, pohon-pohonan, rumah-rumahan dan lain
sebagainya, sehingga tampaknya seperti dunia sebenarnya dalam ukuran
mini. Yang dapat dibuatkan diorama misalnya: kampung nelayan di
pantai , komplit dengan perahu dan jala untuk menangkap ikan, di latar
belakangnya gambar laut biru dengan langit yang berawan di atasnya.
Pada umumnya, diorama terdiri atas bentuk-bentuk atau objek-objek
(benda-benda) yang ditempatkan di pentas yang berlatarbelakang lukisan, yang
disesuaikan dengan penyajiannya. Adapun contoh-contoh diorama adalah sebagai
berikut:
1. Peristiwa bersejarah, semisal ditemukannya beberapa negara maju, ilmu
kedokteran dan ilmu pengetahuan; pertempuran-pertempuran besar; peristiwa
politik yang penting; peristiwa kehidupan para sastrawan, artis, serta pemusik;
dan sebagainya.

10

2. Ilmu bumi, semisal interior pada gua, pemandangan suatu padang pasir, hutan
belantara dengan binatang, tiruan dari pemandangan sebuah hutan, tiruan dari
pemandangan sebuah desa di pegunungan, dan sebagainya.
3. Ilmu produksi pabrik dan perindustrian, semisal roda baja, penggergajian,
pabrik gelas, penyaringan minyak, pabrik kaleng, industri pembuatan mobil,
dan sebagainya.
4. Adegan cerita. Peristiwa pokok dari suatu cerita atau sandiwara yang
menggambarkan urutan kejadian dari cerita, misalnya dalam satu rangkaian
diorama kita menciptakan adegan orang-orang penghuni perkampungan
Minangkabau, Kutub Utara, Suku Badui, Suku Asmat, dan sebagainya.
Media diorama ini cocok diterapkan di sekolah dasar yang sedang berada
pada tahap operasional konkret, karena selama tahun-tahun tersebut anak telah
dapat berpikir secara logis, tetapi belum mampu menerapkan secara logis masalah
hipotetik dan abstrak. Maka dari itu guru dapat memanfatkan media diorama
sebagai media untuk mengkonkretkan materi pembelajaran yang bersifat abstrak
sehingga materi pembelajaran dapat dipahami sepenuhnya oleh siswa bukan
hanya sebatas imajinasi mereka saja.

2.2.
Pembelajaran IPA
2.2.1. Pengertian IPA
IPA merupakan singkatan dari Ilmu Pengetahuan Alam yang merupakan
terjemahan dari Bahasa Inggris Natural Science. Natural berarti alamiah atau
berhubungan dengan alam. Science berarti ilmu pengetahuan. Jadi menurut asal
katanya, IPA berarti ilmu tentang alam atau ilmu yang mempelajari peristiwaperistiwa di alam (Srini M. Iskandar, 1996: 2). Tri Agustiana (2013:257)
mengungkapkan IPA berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang
berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan.

11

IPA sering disebut juga dengan sains. Sains merupakan terjemahan dari
kata science yang berarti masalah kealaman (nature). Sains adalah pengetahuan
yang mempelajari tentang gejala-gejala alam (Usman Samatowa, 2010:19). Sains
menurut Suastra (2009:1) merupakan bagian kehidupan manusia dari sejak
manusia itu mengenal diri dan alam sekitarnya. Manusia dan lingkungan
merupakan sumber, obyek dan subyek sains. Fisher (dalam Suastra, 2009:3)
menyatakan bahwa sains adalah suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh
melalui metode-metode yang berdasarkan observasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa IPA
atau sain adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa di alam dimana
manusia dan lingkungan merupakan sumber, obyek dan subyek ilmu ini. IPA juga
merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang bukan hanya berupa fakta, konsep,
atau prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan yang diperoleh
melalui metode-metode yang berdasarkan observasi.
2.2.2. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Ada beberapa alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran dimasukkan
ke dalam kurikulum suatu sekolah, IPA salah satunya. Alasan itu dapat
digolongkan menjadi empat golongan yakni: a) Bahwa IPA berfaedah bagi suatu
bangsa, b) Bila diajarkan menurut cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu
mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis, c) Bila IPA diajarkan
melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak, maka IPA
tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hapalan belaka, d) Mata
pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang
dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih
lanjut

dalam

menerapkannya

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Proses

pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk


mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara

12

ilmiah. Pembelajaran IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga membantu
siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Tujuan pembelajaran IPA di SD tidak menjadikan siswa ahli bidang IPA,
tetapi dimaksudkan agar siswa menjadi orang yang melek ilmu atau literasi IPA.
Secara esensial tujuan pembelajaran IPA adalah pemahaman terhadap disiplin
keilmuan IPA dan keterampilan berkarya (proyek) untuk menghasilkan suatu
produk, yang akan merefleksikan penguasaan kompetensi seseorang sebagai hasil
belajarnya. Berangkat dari tujuan ini, pembelajaran IPA di SD seharusnya
diorientasikan pada berbagai aktivitas yang mendukung terjadinya pemahaman
atas konsep, prinsip, dan prosedur dalam kaitannya dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari di luar sekolah, sehingga pembelajaran IPA menjadi bermakna
dan pada akhirnya menjadi proses pembelajaran yang menyenangkan.
Perkembangan kognitif siswa sekolah dasar masih dalam tahap operasional
konkret sehingga belum mampu melakukan proses berpikir abstrak seperti
membayangkan bagaimana proses fotosintesis atau peristiwa osmosis itu terjadi.
Kemampuan berpikir abstrak mereka selalu harus didahului oleh pengalaman
konkret. Dengan kata lain, saat proses belajar berlangsung siswa harus terlibat
secara langsung dalam kegiatan nyata. Pada proses pembelajaran inilah peran guru
sebagai pembimbing dan fasilitator sangat diperlukan. Guru harus mmapu
membimbing

siswa

untuk

mencari,

menemukan,

dan

mengembangkan

pengalaman belajar melalui keterampilan proses. Pengembangan yang dapat


dilakukan salah satunya dengan penerapan berbagai media pembelajaran yang
mampu menghubungkan konsep yang abstrak menjadi pengalaman yang konkret.
2.3.

Hasil Belajar

2.3.1. Pengertian Hasil Belajar


Hasil belajar merupakan salah satu patokan yang digunakan untuk
mengukur keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran. Menurut Dimyati dan
Mudjiono (2006:250),
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Hasil belajar juga
merupakan hasil proses belajar, atau proses pembelajaran. Dengan

13

demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi
yaitu

sisi

siswa

dan

dari

sisi

guru.

Dari

sisi

siswa, hasil

belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila


dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental
tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya
bahan pelajaran.
Menurut Benyamin S. Bloom, dkk hasil belajar dapat dikelompokkan ke
dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Setiap domain disusun
menjadi beberapa jenjang kemampuan, mulai dari hal yang sederhana sampai
dengan hal yang kompleks, mulai dari hal yang mudah sampai dengan hal yang
sukar, dan mulai dari hal yang konkret sampai dengan hal yang abstrak. Adapun
rincian domain tersebut adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif (cognitive domain), yaitu suatu wilayah kecakapan yang
diperoleh yang memengaruhi tingkah laku seseorang. Domain ini memiliki
enam jenjang kemampuan, yaitu:
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
siswa untuk dapat mengenali atau mengetahui adanya konsep, prinsip,
fakta atau istilah tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya.
2) Pemahaman (comprehension), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
siswa untuk memahami atau mengerti tentang materi pelajaran yang
disampaikan

guru

dan

dapat

memanfaatkannya

tanpa

harus

menghubungkannya dengan hal-hal lain.


3) Penerapan (application), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa
untuk menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode, prinsip,
dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret.
4) Analisis (analysis), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk
menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur
atau komponen pembentuknya.
5) Sintesis (synthesis), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa
untuk menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan
berbagai faktor.

14

6) Evaluasi (evaluation), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa


untuk dapat mengevaluasi suatu situasi, keadaan, pernyataan atau konsep
berdasarkan kriteria tertentu.
b. Domain afektif (affective domain), yaitu internalisasi sikap yang menunjuk ke
arah pertumbuhan batiniah dan terjadi bila siswa menjadi sadar tentang nilai
yang diterima, kemudian mengambil sikap sehingga menjadi bagian dari
dirinya dalam membentuk nilai dan menentukan tingkah laku. Domain afektif
terdiri atas beberapa jenjang kemampuan, yaitu:
1) Kemauan menerima (receiving), yaitu jenjang kemampuan yang
menuntut siswa untuk peka terhadap eksistensi fenomena atau
rangsangan tertentu.
2) Kemauan menanggapi/

menjawab

(responding),

yaitu

jenjang

kemampuan yang menuntut siswa untuk tidak hanya peka pada suatu
fenomena, tetapi juga bereaksi terhadap salah satu cara.
3) Menilai (valuing), yaitu jenjang kemampuan ynag menuntut siswa untuk
menilai suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu secara
konsisten.
4) Organisasi (organization), yaitu jenjang kemampuan yang menuntut
siswa untuk menyatukan nilai-nilai yang berbeda, memecahkan masalah,
membentuk suatu sistem nilai.
5) Menginternalisasi nilai. Pada taksonomi afektif tertinggi ini, nilai-nilai
yang dimiliki siswa telah mendarah daging serta memengaruhi pola
kepribadian dan tingkah lakunya. Dengan demikian, ia dapat
digolongkan sebagai orang yang memegang nilai.
c. Domain psikomotor (psychomotor domain), yaitu kemampuan siswa yang
berkaitan dengan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya, mulai dari gerakan
yang sederhana sampai dengan gerakan yang kompleks. Domain psikomotor
ini terdiri dari lima jenjang keterampilan, yaitu:
1) Peniruan (imitation), yaitu kemampuan untuk menirukan suatu
keterampilan tertentu.
2) Pemanfaatan (utilization), yaitu kemampuan untuk menggunakan
keterampilan-keterampilan yang telah berhasil ditirukan dalam situasi
yang tepat.
3) Kecermatan/

ketepatan

menghubung-hubungkan

(accurary),
antara

yaitu

keterampilan

kemampuan
yang

satu

untuk
dengan

keterampilan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan kegiatan.


15

4) Penyangkutpautan (connection), yaitu kemampuan untuk menghubunghubungkan antara keterampilan yang satu dengan keterampilan yang
lainnya sehingga merupakan satu kesatuan kegiatan.
5) Naturalisasi (naturalization), yaitu kematangan dari keterampilanketerampilan tersebut sehingga menjadi otomatis dan natural (tidak kaku)
(Arifin, 2009:21).
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya melalui proses pembelajaran, yang mengakibatkan terjadinya
perubahan tingkah laku pada siswa tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi
tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Hasil Belajar
Menurut Djamarah (2011:176) terdapat dua faktor yang memengaruhi
hasil belajar, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1) Faktor-faktor eksternal yang memengaruhi hasil belajar, yaitu:
a) Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan siswa. Dalam lingkunganlah
siswa hidup dan berinteraksi. Lingkungan yang memengaruhi hasil belajar
siswa dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) Lingkungan Alami adalah lingkungan tempat siswa berada dalam arti
lingkungan fisik. Yang termasuk lingkungan alami adalah lingkungan
sekolah, lingkungan tempat tinggal, dan lingkungan bermain.
(2) Lingkungan Sosial Budaya, makna lingkungan dalam hal ini adalah
interaksi siswa sebagai makhluk sosial, makhluk yang hidup bersama atau
homo socius. Sebagai anggota masyarakat, siswa tidak bisa melepaskan
diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat tempat
siswa tinggal mengikat perilakunya untuk tunduk pada norma-norma
sosial, susila, dan hokum. Contohnya ketika anak berada di sekolah, ia
menyapa guru dengan sedikit membungkukkan tubuh atau memberi salam.
b) Faktor Instrumental
Setiap penyelenggaraan pendidikan memiliki tujuan instruksional yang
hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan seperangkat
kelengkapan atau instrument dalam berbagai bentuk dan jenis. Instrument
dalam pendidikan dikelompokkan menjadi: kurikulum, program, sarana
prasarana, seta guru.
2) Faktor-faktor internal yang memengaruhi hasil belajar, yaitu:
a) Fisiologis
16

Merupakan faktor internal yang berhubungan dengan proses-proses yang


terjadi pada jasmaniah.
(1) Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologis umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan
belajar individu. Siswa dalam keadaan lelah akan berlainan belajarnya
dari siswa dalam keadaan tidak lelah.
(2) Kondisi Panca Indra
Kondisi panca indra merupakan kondisi fisiologis yang dispesifikkan
pada kondisi indra. Kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium,
meraba, dan merasa memengaruhi hasil belajar. Anak yang memiliki
hambatan pendengaran akan sulit menerima pelajaran apabila ia tidak
menggunakan alat bantu pendengaran.
b) Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor dari dalam diri individu yang
berhubungan dengan rohaniah. Faktor psikologis yang memengaruhi hasil
belajar, yaitu:
1) Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal
atau aktivitas, tanpa ada yang memerintahkan. Minat pada dasarnya
adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan
sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin
besar minat.
2) Kecerdasan
Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan siswa untuk beradaptasi,
menyelesaikan masalah dan belajar dari pengalaman kehidupan.
Kecerdasan dapat diasosiasikan dengan intelegensi. Siswa dengan nilai
IQ yang tinggi umumnya mudah menerima pelajaran dan hasil belajarnya
cenderung baik.
3) Bakat
Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih
perlu dilatih dan dikembangkan. Bakat memungkinkan seseorang untuk
mencapai prestasi dalam bidang tertentu.
4) Motivasi
Motivasi adalah suatu kondisi psikologis yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu.
5) Kemampuan Kognitif
Ranah kognitif merupakan kemampuan intelektual yang berhubungan
dengan pengetahuan, ingatan, pemahaman, dan lain-lain.
17

2.4.

Kerangka Berpikir
Penelitian ini disusun dengan membangun kerangka pikir bahwa guru

menguasai materi mata pelajaran IPA dengan baik tetapi belum menerapkan
metode atau model pembelajaran yang bervariasi sehingga berpengaruh pada hasil
belajar. Keterlibatan dan keaktifan siswa kurang karena kegiatan belajar lebih
menekankan pada ketertiban dan pengendalian guru kepada siswa. Pemilihan
model pembelajaran yang tepat merupakan alternatif yang baik untuk merubah
pembelajaran yang membosankan menjadi sesuatu yang diminati oleh siswa,
sehingga siswa lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. Begitu juga dalam
pembelajaran keseimbangan ekosistem dibutuhkan suatu model pembelajaran
serta ditunjang dengan media pembelajaran yang tepat yang dapat membantu
siswa untuk mengembangkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam pemecahan
masalah. Dalam hal ini, model dan media pembelajaran yang tepat adalah model
pembelajaran Brain-Based Learning dengan berbantuan media diorama yaitu model

pembelajaran yang mempertimbangkan ritme kerja otak serta mengadaptasi teoriteori pembelajaran kontekstual yang mengarahkan proses pembelajaran berpusat
pada siswa (student centered) serta sebuah media realia yang menggambarkan
suatu objek atau peristiwa dalam ukuran yang lebih kecil sehingga siswa mampu
mengamati suatu objek atau peristiwa bukan hanya membayangkannya.
2.5. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka pikir, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan
sebagai berikut. Penerapan model Brain-Based Learning berbantuan media
diorama dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas VI SD Negeri 4
Ketewel tahun pelajaran 2016/2017 pada ranah kognitif apabila langkah-langkah
Brain-Based Learning dan penerapan media diorama dilakukan secara tepat.
2.6. Definisi Operasional Variabel
Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang perlu didefinisikan
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA adalah perubahan
kemampuan pada siswa tentang konsep IPA sebagai hasil proses belajar

18

sehingga bertambah pengetahuannya baik yang bersifat kognitif, afektif


dan psikomotor setelah siswa melakukan pengalaman belajar.
2) Model Brain-Based Learning berbantuan media diorama adalah model
pembelajaran yang dapat digunakan untuk memberikan konsep
pemahaman materi yang sulit kepada siswa, karena mengarahkan
pembelajaran berpusat pada siswa dan bersifat kontekstual. Media
diorama sendiri adalah media realia yang menggambarkan keadaan
sebenarnya namun dalam ukuran mini.

19

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Subjek Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri 4 Ketewel pada
tahun pelajaran 2016/2017. SD ini terletak di Banjar Kucupin, Desa Ketewel,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Jumlah kelas yang terdapat di SD ini
sebanyak 6 kelas.
3.1.2 Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas VI dengan subjek penelitian yang
berjumlah 41 orang yang terdiri dari 21 orang siswa laki-laki dan 20 orang siswa
perempuan, nama siswa dan kode subjek siswa terlampir (lampiran 01).
3.2 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
tindakan kelas (PTK). Menurut Arikunto (2009:3) PTK merupakan suatu
percermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja
dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas bersama, tindakan tersebut diberikan
oleh guru atau arahan oleh guru yang dilakukan siswa.
Menurut Suhardjono (2009:73) prinsip-prinsip dalam PTK yaitu tidak
menggangu proses pembelajaran, harus dipersiapkan dengan rinci dan matang,
tindakan harus konsisten dengan rancangan, masalah benar-benar ada dan
dihadapi oleh guru. Lebih lanjut dipaparkan juga bahwa PTK bertujuan untuk
menjadikan adanya perubahan atau peningkatan hasil belajar (IPA) melalui
serangkaian bentuk tindakan pembelajaran (penerapan model pembelajaran
Brain-Based Learning berbantuan media diorama).

20

Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu refleksi awal, siklus 1,


dan siklusII 2. Refleksi awal dilakukan untuk mengetahui data awal hasil belajar
SIKLUS
IPS sebelum diterapkannya model Brain-Based Learning berbantuan media
SIKLUS I

diorama. Setelah diperoleh data hasil belajar IPA saat refleksi awal maka akan
Siklus ke-n

dilanjutkan dengan siklus I.


Setiap siklus dilaksanakan selama tiga kali pertemuan, dua kali
pertemuan untuk pemberian perlakukan berupa model pembelajaran Brain-Based
Learning berbantuan media diorama dan satu kali pertemuan untuk pemberian tes
hasil belajar siswa. Hal ini dilakukan selama tiga kali pertemuan karena didasari
oleh telaah kurikulum, alokasi waktu, dan muatan materi yang sebelumnya telah
dianalisis.
Menurut Supardi (2009:104) PTK dilaksanakan dalam bentuk siklus
berulang yang didalamnya terdapat empat tahapan yaitu diawali dengan
perencanaan tindakan (planning), pelaksanaan tindakan (action), mengobservasi
dan mengevaluasi proses tindakan dan hasil tindakan (observation and evalution),
dan melakukan refleksi (reflecting), dan seterusnya sampai perbaikan atau
peningkatan yang diharapkan tercapai (kriteria keberhasilan). Adapun empat
tahapan siklus penellitian tindakan kelas digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.1 Siklus dalam PTK

Perencanaan

Refleksi

Pengamatan

Perencanaan

Pe

Refleksi

21

Pengamatan

Sumber: Arikunto (2009:16)


Tahapan pelakanaan tindakan kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan
skenario model pembelajaran Brain-Based Learning berbantuan media diorama,
penjabarannya sebagai berikut.
3.2.1

Kegiatan awal
a. Guru memasuki ruangan kelas dan mengucapkan salam kepada siswa.
Guru kemudian memimpin doa sebelum pelajaran dimulai, setelah itu
guru mengecek kehadiran siswa.
b. Guru mengkondisikan kelas, agar siswa siap mengikuti pembelajaran.
c. Guru melakukan apersepsi dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas, dan menggali
pengetahuan awal siswa mengenai materi tersebut. Guru dapat
menggunakan berbagai media yang sesuai dengan materi tersebut.
d. Saat guru melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut maka akan
timbul rasa keinggin tahuan siswa tentang materi yang akan dibahas.
e. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran pada siswa.

3.2.2

Kegiatan inti
a.

Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan


demonstrasi atau melalui bacaan.

b.

Guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai manfaat materi


pembelajaran tersebut.

c.

Guru membagi siswa ke dalam 8 kelompok belajar yang terdiri dari 56 siswa setiap kelompoknya. Seluruh anggota kelompok dipilih oleh
guru secara heterogen.

d.

Guru mengajukan pertanyaan dapat berupa pertanyaan secara lisan


ataupun tertuang dalam LKS kelompok.

e.

Guru menyampaikan aturan diskusi dan menugaskan seluruh anggota


dalam kelompok berpikir bersama untuk memecahkan pertanyaan

22

dalam LKS kelompok dan memantapkan setiap anggota kelompok


mengetahui jawaban LKS kelompok.
f.

Guru mengamati cara kerja kelompok dan melihat kedisiplinan


kelompok atau individu saat mengerjakan LKS.

g.

Setelah

waktu

diskusi

selesai

Guru meminta

masing-masing

perwakilan kelompok umtuk mempresentasikan hasil diskusinya.


h.

Guru membimbing diskusi kelas yang terjadi kemudian membimbing


siswa menyimpulkan jawaban kelas untuk setiap pertanyaanya.

i. Guru memberikan penegasan terkait dengan pembelajaran yang telah


dibahas.
j. Siswa yang dapat menyelesaikan tugas dengan baik diberi penguatan
dan siswa yang kurang dimotivasi untuk di perbaiki dan ditingkatkan.
k.

Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila


ada hal-hal yang belum dimengerti berkaitan mengenai pembelajaran
tadi.

3.2.3

Kegiatan akhir
a. Siswa di bawah bimbingan guru membuat rangkuman/simpulan
mengenai materi yang sudah dipelajari.
b. Guru melaksanakan evaluasi individu dengan memberikan tes objektif
c. Sebelum pembelajaran di tutup guru memberikan motivasi untuk terus
belajar guna meningkatkan keterampilan dan kecerdasan sebagai bekal

dihari esok.
3.3 Pelaksanaan Tindakan
Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu refleksi awal, siklus 1,
dan siklus 2. Refleksi awal dilakukan untuk mengetahui data awal mengenai hasil
belajar IPA sebelum diterapkannya model Brain-Based Learning berbantuan
media diorama. Setelah diperoleh data hasil belajar IPA saat refleksi awal maka
akan dilanjutkan dengan siklus I dan siklus II. Berikut akan disampaikan secara
lebih rinci mengenai ketiga tahapan tersebut.
3.3.1

Refleksi Awal
Pada tahap refleksi awal diadakan pengambilan data dan hasil belajar IPA

sebelum diterapkannya perlakuan berupa model pembelajaran Brain-Based

23

Learning berbantuan media diorama. Hal ini dengan memberikan tes hasil belajar
IPA. Tes hasil belajar ini berbentuk objektif pilihan ganda 20 soal.

3.3.2

Pelaksanaan Siklus I
Pelaksanaan siklus I dilaksanakan sesuai dengan telaah kurikulum yang

telah dilakukan yaitu tiga kali pertemuan, dua kali pertemuan untuk perlakuan dan
satu kali pertemuan untuk tes hasil belajar siswa. Siklus I dilaksanakan sesuai
dengan empat tahapan yaitu sebagai berikut.
a.

Perencanaan tindakan
Dalam tahapan ini dimulai menganalisis kurikulum mengenai standar

kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai untuk selanjutnya


dituangkan dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) sesuai dengan
Model Pembelajaran Brain-Based Learning berbantuan media diorama,
menyiapkan lembar kerja siswa (LKS), kisi-kisi soal, membuat jadwal
pelaksanaan yaitu penelitian dilaksanakan sesuai jadwal pelajaran, membagi siswa
menjadi 8 kelompok yang terdiri 5-6 siswa yang dipilih secara acak.
b.

Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan adalah melaksanakan tahapan perencanaan

tindakan yang telah dicanangkan. Guru melaksanakan tindakan berupa penerapan


RPP model pembelajaran Brain-Based Learning berbantuan media diorama.
Pelaksanaan tindakan ini dilakukan sebanyak dua kali pertemuan yaitu pertemuan
pertama melaksanakan RPP 1 Siklus I, pertemuan kedua melaksanakan RPP 2
siklus I.
c.

Observasi dan Evaluasi


Observasi dilakukan dengan pengamatan aktifitas siswa dalam proses

pembelajaran. Evaluasi dilakukan setiap akhir pertemuan dan akhir siklus,


evaluasi setiap pertemuan dilakukan agar guru mengetahui kemampuan siswa
setelah menerima perlakuan disetiap pertemuannya. Sejalan dengan itu tes akhir

24

siklus juga dilakukan untuk mengetahui keberhasilan siswa dalam memahami


pelajaran yang telah diberikan melalui penerapan model pembelajaran BrainBased Learning berbantuan media diorama disetiap akhir siklus, dalam hal ini
hasil tes yang dianalisis adalah tes akhir siklus.

d.

Refleksi
Setelah melaksanakan siklus I dengan menerapkan model Brain-Based
Learning berbantuan media diorama dapat diketahui hasil belajar IPA. Data
tersebut memang telah mengalami peningkatan dari data refleksi awal namun
belum mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan, oleh karena itu harus
dilanjutkan menuju siklus II.
Guru juga melakukan refleksi terhadap kendala-kendala atau kelemahankelemahan yang ditemui selama pelaksanaan siklus I yang menyebabkan kriteria
keberhasilan belum dapat dicapai secara maksimal, sehingga kelemahankelemahan ini dapat diperbaiki pada siklus II.
3.3.3

Pelaksanaan Siklus II
Pelaksanaan siklus II dilakukan dengan menyempurnakan kelemahan-

kelemahan yang ditemui selama siklus I. Siklus II juga dilaksanakan dalam tiga
kali pertemuan, dua kali pertemuan untuk proses pembelajaran dan satu kali
pertemuan untuk tes akhir siklus. Tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut.
a.

Perencanaan tindakan
Dalam perencanaan siklus II peneliti beserta guru melakukan diskusi dan

merencanakan tindakan pada siklus II. Kelemahan-kelemahan yang ditemui pada


siklus I disempurnakan agar pelaksanaan pada siklus II dapat berlangsung
maksimal. Perencanaan yang dilakukan adalah analisis kurikulum dan melakukan
diskusi mengenai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai
untuk selanjutnya dituangkan dalam RPP sesuai dengan model Brain-Based
Learning berbantuan media diorama, menyiapkan LKS, kisi-kisi soal, membuat
jadwal pelaksanaan sesuai jadwal pelajaran IPA, membagi siswa menjadi 8
kelompok yang terdiri 5-6 siswa yang dipilih secara acak.

25

b.

Pelaksanaan Tindakan
Tahap pelaksanaan tindakan adalah melaksanakan tahapan perencanaan

tindakan yang telah dicanangkan. Proses pembelajaran dilaksanakan dua kali


sesuai dengan RPP yang telah disiapkan. Pelaksanaan tindakan ini dilakukan
sebanyak tiga kali pertemuan yaitu pertemuan pertama melaksanakan RPP 1
Siklus II, pertemuan kedua melaksanakan RPP 2 siklus II.
c.

Observasi dan Evaluasi


Observasi dilakukan dengan pengamatan aktifitas siswa dalam proses

pembelajaran. Evaluasi dilakukan setiap akhir pertemuan dan akhir siklus,


evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam memahami
pelajaran yang telah disampaikan. Dalam hal ini tes yang dianalisis adalah tes
akhir siklus.
d.

Refleksi
Setelah melaksanakan siklus II maka diperoleh data hasil belajar IPA. Data

ini akan dijadikan acuan keberhasilan sebuah penelitian tindakan, karena data
yang diperoleh sudah mencapai kriteria keberhasilan yang dicanangkan maka
penelitian tindakan tersebut dapat dikatakan berhasil dan penelitian sudah
berakhir.
3.4 Observasi
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data hasil belajar IPA.
Agung (2005:52) menyatakan bahwa data adalah bahan mentah atau informasi
dapat berupa angka-angka dan kategori-kategori mengenai objek tertentu.
Informasi dalam bentuk angka-angka biasa disebut data kuantitatif. Data
mengenai hasil belajar IPA merupakan data yang berbentuk angka-angka, maka
dari itu jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif. Untuk
mengumpulkan data digunakan metode dan intrumen yaitu sebagai berikut.
3.4.1

Metode Pengumpulan Data

a. Metode Observasi
Agung (2005:54) menyatakan metode observasi ialah suatu cara memperoleh
data dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
tentang suatu objek tertentu. Lebih lanjut ditegaskan kembali bahwa syarat-syarat
metode observasi adalah: (a) harus mengacu pada tujuan penelitian, (b) harus
26

menggunakan rencana yang sistematis (materi, teknik pencatatan, waktu), (c) hasil
observasi harus dapat dikontrol validitas (kebenaran data) dan reliabilitasnya
(konsistensi).
Dari paparan tersebut maka dapat dirangkum bahwa metode observasi adalah
suatu cara yang dilakukan untuk mengamati objek tertentu dan mencatat secara
sistematis hasil dari pengamatan yang telah dilakukan. Metode pengumpulan data
dengan teknik observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang keaktifan
belajar IPA siswa.
b. Metode Tes
Agung (2005:59) mengemukakan bahwa metode tes adalah cara memperoleh
data yang berbentuk suatu tugas yang dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang
atau sekelompok orang yang dites (testee) dan hasil dari tes tersebut dapat
menghasilkan suatu data berupa skor. Tes dalam penelitian ini digunakan untuk
mengukur tingkat kemampuan siswa dalam aspek kognitif, atau tingkat
penguasaan materi pembelajaran.
Dari paparan tersebut maka dapat dirangkum metode tes adalah pengumpulan
data berupa tes dan hasil dari tes tersebut dapat berupa skor. Dalam penelitian ini
tes digunakan untuk memperoleh data mengenai hasil belajar IPA.
3.4.2

Intrumen Pengumpulan Data


Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPS. Untuk

memperoleh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan instrumen


penelitian sebagai berikut.
a. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mencatat data keaktifan belajar siswa
berdasarkan hasil observasi selama proses pembelajaran. Dalam penelitian ini
lembar observasi yang digunakan berisikan 4 indikator keaktifan belajar siswa,
masing-masing indikator memiliki 5 deskriptor. skor maksimal ideal (SMI) = 20.
b. Tes Hasil Belajar
Agung (2010:7) tes adalah cara memperoleh data yang berbentuk suatu tugas
yang harus dikerjakan oleh seseorang atau kelompok orang yang di tes (testee),
dan dari tes dapat menghasilkan suatu skor. Sudjana (2010:3) mengemukakan
penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar
27

yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Tes sebagai alat penilain hasil belajar
ada yang bersifat speed test (mengutamakan kecepatan) dan ada pula yang
sifatnya power test. Peneliti memutuskan untuk menggunakan tes yang bersifat
speed test yaitu tes objektif.
Menurut Rakhmad dan Suherdi (1999:90)

kelebihan tes bentuk objektif

adalah.
1) Waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal objektif relatif
singkat.
2) Item tes objektif yang dikontruksikan dengan intensif dapat
mencakup hampir seluruh bahan pembelajaran yang diberikan oleh
guru di kelas.
3) Proses penskoran dapat dilakukan secara mudah, karena kunci
jawaban dapat dibuat secara pasti, bahkan pemeriksaan oleh orang
lainpun dapat dilakukan secara akurat.
4) Proses penilaian dapat dilakukan secara objektif, karena jawaban
dan kunci jawaban sudah dapat dientukan secara pasti.
5) Item tes objektif yang sudah dibuat terpisah antara lembar soal dan
lembar jawaban, dapat dipakai secara berulang-ulang.
Selanjutnya dijelaskan pula kaidah-kaidah penulisan tes objektif yaitu.
1) Persoalan yang digambarkan dalam sistem harus jelas dan tegas.
2) Alternatif jawaban yang disediakan hendaknya konsisten dengan
pokok persoalan.
3) Hindarkan penggunaan kata-kata atau kalimat yang tidak perlu dan
tidak relevan dengan persoalan.
4) Kemungkinan jawaban hendaknya disusun secara homogin.
5) Tidak ada syarat tertentu yang memberikan petunjuk tentang
jawaban yang benar.
3.4.3

Validitas Instrumen
Menurut Mahendra (2011:5) validitas berasal dari kata validity yang

mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Menurut Nurkancana (1990: 141) mengemukakan

28

bahwa suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat
pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya
barometer adalah suatu alat yang valid untuk mengukur tekanan udara, tetapi
menjadi tidak valid apabila digunakan untuk mengukur suhu. Sejalan dengan hal
tersebut Sutikno (2009: 119) menjelaskan bahwa suatu tes memiliki validitas
apabila tes tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak dicapai.
Data mengenai hasil belajar IPA merupakan data yang berbentuk angkaangka, maka dari itu jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif.
Menurut Sugiyono (2009: 363) dalam penelitian kuantitatif validitas merupakan
derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang
dapat dilaporkan oleh peneliti. Dijelaskan pula bahwa data yang valid adalah data
yang tidak berbeda antara data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang
sesungguhnya terjadi pada objek penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tindakan haruslah memiliki
validitas isi yang sesuai. Nurkancana (1990: 142) suatu tes dikatakan valid apabila
materi tes tersebut betul-betul merupakan bahan-bahan representatif terhadap
bahan-bahan pelajaran yang diberikan. Untuk menilai apakah suatu tes memiliki
validitas isi atau tidak, dapat dilakukan dengan jalan membandingkan materi tes
tersebut dengan analisis rasional yang kita lakukan terhadap bahan-bahan yang
seharusnya digunakan dalam menyusun tes tersebut. Apabila materi tes tersebut
telah cocok dengan analisis rasional yang telah dilakukan, berarti tes yang dinilai
sudah mempunyai validitas isi.
Menurut Sudjana (2010:13) validitas isi berkenaan dengan kesanggupan alat
penelitian dalam mengukur isi yang seharusnya, artinya tes tersebut mampu
mengungkapkan isi suatu konsep atau variabel yang hendak diukur. Dijelaskan
pula bahwa tes yang telah disusun sesuai kurikulum (materi dan tujuannya) agar
memenuhi validitas isi, dapat pula dimintakan bantuan ahli bidang studi untuk
menelaah apakah konsep materi yang diajukan telah memadai atau tidak.
Sehingga validitas isi tidak perlu uji coba dan analisis statistik atau dinyatakan
dalam bentuk angka-angka.

29

Sehingga dapat dirangkum bahwa validitas isi adalah kesesuaian antara


materi tes (kisi-kisi dan butir soal) dengan analisis rasional (telaah kurikulum)
mengenai bahan-bahan pelajaran yang telah diberikan, hal ini dilakukan agar
terdapat kesesuaian antara apa yang telah diajarkan dengan apa yang hendak di
ukur.
3.5 Evaluasi dan Refleksi
3.5.1

Analisis data Hasil Belajar IPA


a. Setelah mendapatkan jumlah skor hasil belajar pada setiap siswa maka
skor tersebut akan dianalisis dengan menggunakan rumus seperti di
bawah ini.
Nilai=

Skor perole h an
x 100
Skor maksimal

Sumber: Suwandi (2010:68)


b. Menentukan rata-rata hasil belajar siswa dengan cara mencari mean
sebagai berikut.
Me=

Xi
n
Sumber: Agung (2005:95)

Keterangan.
Me

: Mean (rata-rata)
: Zigma

Xi
: Jumlah nilai x ke i sampai ke n
n

: Jumlah Individu

c. Menghitung persentase rata-rata (M%) digunakan rumus sebagai


berikut.

30

M ( )=

M
X 100
SMI
Sumber: Agung (2010:12)

Keterangan.
M(%)
: persentase hasil belajar
M
: angka rata-rata
SMI
: skor maksimal ideal hasil belajar siswa
d. Persentase rata-rata tersebut kemudian dikonversikan ke dalam kriteria
hasil belajar IPS di bawah ini.
Tabel 3.1 Persentase Kriteria Hasil Belajar IPA Siswa

No

Persentase

Kriteria Hasil Belajar IPA

90-100

Sangat tinggi

80-89

Tinggi

65-79

Sedang

55-64

Rendah

0-54

Sangat Rendah
Sumber: Agung (2005:97)

e. Ketuntasan klasikal hasil belajar IPA


Ketuntasan Klasikal=

Banyak Siswa memperole h Nilai 65


X 100
Jumla h Siswa yang mengikutiTes

3.6 Kriteria Keberhasilan


Tujuan penetapan kriteria keberhasilan adalah untuk menentukan tingkat
keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas. Kriteria keberhasilan
merupakan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan penelitian tindakan kelas. Adapun
kriteria keberhasilan dalam penelitian ini adalah (1) persentase rata-rata hasil

31

belajar IPA siswa berada dalam kelas interval 80-89 berada yaitu kriteria tinggi,
(2) ketuntasan klasikal hasil belajar IPS siswa yaitu 80% siswa mencapai
ketuntasan minimal yang ditetapkan yaitu 75.

DAFTAR RUJUKAN

Agung, A.A.Gede.
diterbitkan).

2005. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah (Tidak

Agung, A.A.Gede.
diterbitkan).

2010. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah (Tidak

Agustiana, I Gusti Ayu Tri. 2013. Konsep Dasar IPA Aspek Fisika dan Kimia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, Suhadjono, dan Supardi. 2009. Penellitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Tinggi.
Djaali, H. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar.
Banjarmasin: Rineka Cipta.
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Duman, B. 2006.The Effect of Brain-Based Instruction to Improve on Students
Academic Achievement in Social Studies.9th International Conference
on Engineering Education 23-28 July 2006 in San Juan.Tersedia pada
http://www. ineer.org/Event/ICEE2006/papers/3380/pdf. (diakses pada
19 Januari 2013).
32

Iskandar, Srini. 1996. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta:Depdiknas


Jensen, Eric. 2011. Pembelajaran Berbasis-Otak. Jakarta: PT. Indeks.
Mahendra, Eka. 2011. Analisis Butir Soal. Makalah (Tidak diterbitkan).
Nurkancana, dan Sunartana. 1990. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya: Usaha
Nasional
Ozden, M & M. Gultekin. 2008. The Effect of Brain Based Learning on
Academic Achievement and Retention of Knowledge in Science
Course.Electronic Journal of Science Education 12 (1), 1-16. Tersedia
pada http://ejse.southwestern.edu/volumes/V12n1/articles/art1-ozden.pdf.
(diakses pada 19 Januari 2013).
Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta:
DIVA Press.
Rakhmad,Cece dan Suherdi. 1999. Evaluasi Pengajaran. Jakarta:Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Samatowa, Usman. 2010. Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar. Jakarta: PT
Indeks.
Santyasa, I Wayan.2007.Model-Model Pembelajaran Inovatif. Makalah
disajikan dalam Pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas Bag GuruGuru SMP dan SMA di Nusa Penida, Fakultas Pendidikan MIPA
Undiksha, Nusa Penida29 Juni-1 Juli 2007.
Sapaat, A. 2009. Brain Based Learning. Tersedia pada
http://matematika.upi.edu/index.php/brain-based-learning. (diakses pada
19 Januari 2013).
Suastra, I Wayan. 2009. Pembelajaran Sains Terkini. Singaraja: Universitas
Pendidikan Ganesha.
Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar
Mengajar.Bandung: Sinar Baru.
______. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suleiman, Amir Hamzah. 1985. Media Audio Visual. Jakarta: PT. Gramedia.
Sutikno, Sobry. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect Bandung.
Suwandi, Sarwiji. 2010. Model Assesment dalam Pembelajaran. Surakarta: Yuma
Pressindo.

33

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisme.


Jakarta : Prestasi Pustaka.

Lampiran 01. Nama dan Kode Siswa

KODE SISWA
A01
A02
A03
A04
A05
A06
A07
A08
A09
A10
A11
A12
A13
A14
A15
A16
A17
A18
A19
A20
A21
A22
A23
A24
A25
A26
A27
A28
A29
A30
A31
A32

NAMA SISWA
Ni Luh Sulastri
Dewa Nyoman Adi Guna Karang
I Komang Aditya
I Made Gede Eta Supartama
I Wayan Muliawan
I Kadek Adi Pranata
I Komang Diantara
I Kadek Prayadi
I Made Setiawan
Dewa Putu Surya Dwipayana
Ni Putu Candra Juliantari
Dewa Ayu Gek Septia Utari
Ni Wayan Tatia Pratiwi
Ni Putu Indriani
Ni Made Elni
Ni Wayan Luh Eliana
Gede Aditya Andika Putra
Luh Nikita Destriana
I Putu Agus Prayoga
Ni Wayan Vivi Maldini
I Made Pandhu Maesa Bayu
Ni Putu Widia Sari
I Wayan Roni
Ni Kadek Arwati
Ni Putu Hanita Noviliani
Ni Putu Surya Antini
Ni Kadek Purnami
Komank Dignity Ano
Ni Putu Eva Cahyani
I Gede Adithya
Ni Ketut Alit Triyanti Dewi
I Putu Indra Putra

34

A33
A34
A35
A36
A37
A38
A39
A40
A41

Ni Kadek Ari Leoni


I Wayan Ayun Pranata
Achmad Faisal Ramdani
I Putu Yudi Primayoga
I Made Yandinata
Ni Wayan Lyota Lestari
Hendra Maulana
Ni Luh Putu Oca Aprilia
Ni Kadek Diantari

35

Anda mungkin juga menyukai