Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Masalah aqliyah atau nazharriyah; yaitu masalah yang berkaitan dengan aqidah.
Bidang aqliyah dalam kajian ini dibagi dalam dua masalah:
1.
Masalah paling dasar dalam agama yang seandainya salah dalam bidang ini, dapat
menghilangkan keimanan dan menyimpang dari ketentuan agama. Umpamanya tentang
2.
keberadaan Allah SWT dengan segala sifat-sifat-Nya dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
Masalah aqliyah yang seandainya salah dalam hal ini, tidak sampai menghilangkan keimanan
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Umpamanya masalah kemungkinan manusia melihat Allah
atau tidak, Alquran sebagai makhluk atau Bukan, dan sebagainya.
Mayoritas Jumhur Ulama sependapat dalam bidang aqliyah tersebut, bahwa yang betul hanya
satu, yaitu yang mencapai kebenaran Allah, sedangkan yang lainnya adalah salah.
Mereka berbeda pendapat dalam menyatakan kafir (keluar dari islam) terhadap
mujtahid yang salah dalam berijtihad:
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa mujtahid yang salah dalam hal ini hanya berdosa
namun tidak kafir, karena dasar keimanannya tetap ada. Ia hanya berdosa dari segi bahwa ia
telah menyimpang dari kebenaran; dinilai sesat serta salah dari segi telah menyalahi sesuatu
yang benar dan meyakinkan; dan dianggap pembuat bidah dari segi ia menyalahi sesuatu yang
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan
suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan
untuk dalil.
2.2.3
Mengerti tentang sunah
As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut
mazhab asy-Syafiiah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa
argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu;
Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara, ada yang ditolak oleh syara dan ada
pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan
yang ditolak oleh syara) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori
pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua
harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga
diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang
lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi
kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam
yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat,
bahwa memandangmaslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan
penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam
karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya
mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat
dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa
nafsu.
Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan
maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip
kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan
sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan
hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan
situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum
Islam
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat
(kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan
beberapa alasan.
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan
hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian
banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah
menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-amal biz-zann, beramal berdasarkan
kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat
dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjahberarti memilih dua
kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syaradengan
maslahat yang ditolak oleh syara, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara jauh lebih
banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara. Dengan demikian jika ada suatu
kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat
tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahahmursalahberarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat
dijadikan
sebagai
hujjah,
maslahah-mursalah
harus
memenuhi
persyaratan-persyaratan
tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak
terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan
sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua
masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-lasalah baru yang belum disinggung
hukumnya oleh al-Quran dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan
prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip
universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.
Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat
Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam,
sama sekali tidak logis dan tidak realistis.
Jelaskan pandangan ulama tentang Maslahah selain dari imam maliki yang terdapat
dlm makalah anda, apakah mereka menentang atau tidak !
Al Ghazali menjelaskan asalnya Maslahah itu berarti mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudarat, namun hakekat dari Maslahah itu adalah memelihara tujuan syara yaitu
memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.
Al-Khawarismi menjelaskan bahwa memelihara tujuan syara dengan cara menghindarkan
kerusakan dar manusia .
Apakah yang dimaksud dengan
Berikan contoh produk-produl hukum yang telah dihasilkan seorang mujtahid dengan
menggunakan metode hukum Maslahah Mursalah yang ada di indonesia?
Jika kita memperhatikan produk-produk hukum para Ulama saat ini , maka akan didapatkan
bahwa produk-produk hukum tersebut banyak dilandasi pertimbangan Maslahah Mursalah ,
seperti :
1.
fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, misalnya, fatwa tentang keharusan Sertifikat Halal
bagi produk makanan , minuman dan kosmetik. Majelis Ulama Indonesia melalui lembaga
pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik (LP-POM MUI) berupaya melakukan penelitian
terhadap produk pangan, obat-obatan dan kosmetik yang diproduksi oleh suatu pabrik untuk
dipasarkan . Hal yang seperti ini tidak pernah ada teks Nash yang menyinggungnya secara
langsung, namun dilihat dari ruh syariat sangat baik sekali dan hal ini merupakan langkah positif
dalam melindungi umat manusia ( khususnya umat islam ) dari makanan , minuman obat-obatan
serta kosmetika yang tidak halal untuk dikonsumsi, .
2.
Begitu pula halnya dengan bunga Bank, tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Quran dan
Al-Hadits. Mayoritas ulama menetapkan bunga Bank itu haram untuk mengqiyaskan kepada riba
karena menurut mereka unsur tambahan yang menjadi illat haramnya riba juga terdapat pada
bunga Bank. Dalam kehidupan modern ini , Bank sudah merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan masyarakat , Bank dengan segala konsesuensinya telah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat modern yang tidak mungkin dipisahkan lagi. Praktek perbankan sudah
menjadi sarana tolong menolong sesama umat manusia , karena hampuir semua masyarakat
modern saat ini berkepentingan dengan Bank, baik itu menabung, meminjam uang, membayar
tagihan listrik, telepon, uang kuliah, transfer uang , bahkan menjadi penyalur dana bantuan bagi
masyarakat yang terkena musibah, baik individu maupun sosial. Dan syariat sangat
mengutamakan pemeliharaan harta kekayaan umat sebagai salah satu dari lima hal pokok yang
sangat dipelihara oleh syariat. Bunga Bank bermaksud dalam hal ini sebagai ganti rugi atas kurs
Rupiah yang selalu turun tiap tahunnya, Dalam keadaan demikian , Fuqaha meninggalkan
hukum yang dihasilkan oleh Qiyas dan menetapkan hukum lain dengan menggunakan metode
Maslahah Mursalah. Praktek perbankan malahan menjadi sarana untuk saling tolong menolong
sesama manusia dimana hal ini sangat sesuai dengan Maqashi Syariah Ammah.
3.
Kesaksian anak-anak (yang belum baligh), atas dasar kemaslahatan. Kesaksian anak-anak
dapat dipertimbangkan oleh hakim dalam suatu perkara, walaupun tidak ada dalam ketetapan
syara. As-Syari hanya mengatakan bahwa kesaksian yang sah adalah berasal dari orang
dewasa. Banyaknya kasus penganiayaan dikalangan anak-anak , yang sulit mencari persaksian
orang dewasa , maka dalam hal ini persaksian anak-anak dapat menjadi bahan pertimbangan..
Bila diperhatikan produk-produk yang dihasilkan oleh para sahabat , tabiin dan para Ulama itu
semuanya adalah merupakan hasil Ijtihad dengan pertimbangan Maslahah Mursalah meskipun
mereka tidak menggunakan istilah tersebut.