PENDAHULUAN
Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik di mana
keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa, dan kejadian perilaku tidak
berkembang secara sesuai atau hilang pada masa kanak-kanak awal. Pada umumnya, gangguan
mempengaruhi berbagai bidang perkembangan, bermanifestasi pada awal kehidupan, dan
menyebabkan disfungsi yang persisten1,2.
Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan
dan/atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan ciri kelainan
fungsi dalam tiga bidang, yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan
berulang. Secara epidemiologi tidak ada data yang baik untuk seluruh rentang spektrum autisme
tersebut, yang jelas bahwa kasus autisme jauh lebih sering dibandingkan gabungan semua kasus
yang lain. Meskipun demikian, bahkan kasus autisme sebenarnya relatif jarang terjadi, dengan
perkiraan prevalensi sebanyak 2 sampai 5 per 10.000 orang1,2.
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa data anak yang menderita autis di berbagai
belahan dunia menunjukkan angka yang bervariasi. Diperkirakan terdapat 400.000 individu
dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80-an 3, bayi-bayi yang lahir di California-AS,
diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry
Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh
darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan, seperempat dari anak-anak tersebut
menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities
(NICHCY) memperkirakan bahwa autism pada tahun 2000 mendekati 50 100 per 10.000
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI AUTISME
Gangguan autis (dahulu disebut autisme infantil dini, autisme masa kanak-kanak, atau
autisme kanner) merupakan gangguan yang terkenal,menurut (ICD-X / DSM-IV) merupakan
salah satu jenis gangguan yang terdapat pada kelompok Gangguan Perkembangan Pervasif,
yang ditandai oleh gangguan berlarut-larut pada interaksi sosial timbal balik, penyimpangan
komunikasi, dan pola perilaku (minat dan bakat) yang terbatas, dan stereotipik. Fungsi
abnormal tersebut biasanya ditemukan sebelum apa pada usia 3 tahun 1,2. Dengan kondisi
yang sama, menurut kriteria diagnostik CD 0-3 dikenal sebagai Multisystem Development
Disorder (MSDD)2.
B. ETIOLOGI
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa peneliti mengungkapkan
terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autis disebabkan oleh gangguan
jiwa. Ahli lainnya berpendapat karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang
terkontaminasi zat-zat beracun mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang
mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis2.
Gangguan autis menyebabkan anak-anak penyandang autis semakin lama semakin jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan anak-anak autis yang sebaya ketika usia mereka semakin
bertambah. Bila dibandingkan dengan anak normal, anak-anak autis jauh lebih sedikit belajar
dari lingkungannya1,2,5.
Mereka tidak belajar dengan cara yang sama seperti anak yang lain seusianya. Anak
autis menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan
kurangnya respon terhadap dan atau kurangnya minat kepada orang-orang atau anak-anak di
sekitarnya. Kekhususan pada anak autis adalah sulitnya berkonsentrasi dan memiliki dunia
sendiri, sehingga anak autis sulit berinteraksi dengan lingkungan. Anak autis memiliki cara
berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, menanggapi dunia
berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri, menolak realitas dan memiliki keasyikan yang
ekstrim dengan pikiran dan fantasinya sendiri1,2,5.
Gangguan autis merupakan gangguan perilaku perkembangan. Beberapa bukti yang
telah menyokong subtrak biologis untuk gangguan ini adalah:
1. Faktor Psikososial dan Keluarga
Anak dengan autisme memiliki gejala yang memburuk pada stressor
psikososial termasuk orangtua yang emosional, kaku dan obsesif yang mengasuh
anak mereka dengan suatu atmofir yang secara emosional kurang hangat bahkan
dingin. Pendapat lain mengatakan adanya trauma pada anak yang disebabkan
karena holistisitas yang tidak disadari ibu, yang sebenarnya tidak dikehendaki anak
ini mengakibatkan gejala penarikan diri pada anak dengan autism. Perilaku
orangtua dapat menimbulkan perasaan terancam pada anak. Selain itu, hal lain
seperti perselisihan keluarga, kelahiran saudara kandung, atau pindahnya keluarga.
Beberapa anak dengan autistik dapat sangat sensitif bahkan terhadap perubahan
kecil di dalam keluarga serta lingkungan di sekitarnya2.
2. Faktor Genetik
Dalam beberapa penelitian, antara 2 sampai 4 persen sanak saudara orang
autistik ditemukan terkena gangguan autistic, suatu angka yang 50 persen lebih
besar dibandingkan pada populasi umum. Angka kesesuaian gangguan autistic pada
dua penelitian besar terhadap anak kembar adalah 36 persen pada pasangan
monozigot dibandingkan 0 persen pada pasangan dizigot pada salah satu penelitian
dan kira-kira 96 persen pada pasangan monozigot dibandingkan kira-kira 27 persen
pada pasangan dizigot pada penelitian yang kedua. Tetapi pada penelitian kedua,
zigositas ditegakkan hanya pada kira-kira separuh sampel. Laporan klinis dan
4
obat-obatan tanpa resep dokter, keracunan selama ibu mengandung, ketika ibu
mengandung jatuh sedemikian rupa sehingga janin menderita gangguan otak,
penyebab cacat mental pada masa prenatal ini juga bisa karena penyinaran radiasi
dengan sinar roentgen dan juga radiasi atom (psikologi perkembangan)1,2,6 .
5. Kelainan organik-neurologis-biologis
Gangguan autis dan gejala autistik berhubungan dengan kondisi yang
memiliki lesi neurologis, terutama rubella kongenital, fenilketonuria (PKU),
sklerosis tuberosus, dan gangguan Rett. Anak autistik menunjukkan lebih banyak
tanda komplikasi perinatal dibandingkan kelompok perbandingan dari anak-anak
normal dan anak-anak dengan gangguan lain1.
Temuan bahwa anak autis secara bermakna memiliki lebih banyak anomaly
fisik congenital yang ringan dibandingkan sanak saudaranya dan kontrol normal
menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dalam trimester pertama adalah
bermakna. 4 sampai 32 persen orang autistic memiliki kejang grand mal pada suatu
saat dalam kehidupannya, dan kira-kira 20 sampai 25 persen orang autistik
menunjukkan pembesaran ventrikular pada pemeriksaan tomografi komputer.
Berbagai kelainan elektroensefalogram (EEG) ditemukan pada 10 sampai 83 persen
anak autistik, dan walaupuntidak ada temuan EEG yang spesifik untuk gangguan
autistik, terdapat indikasi kegagalan lateralisasi serebral. Belakangan ini, satu
pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik (MRI) menemukan hipoplasia pada
lobules vermal VI dan VII serebelar, dan penelitian MRI lain menemukan
abnormalitas kortikal, terutama polimikroglia, pada beberapa pasien autistik.
Kelainan tersebut mungkin mencerminkan migrasi sel yang abnormal dalam enam
bulan pertama gestasi. Suatu pemeriksaan otopsi menemukan penurunan hitung sel
Purkinje, dan pada penelitian lain terdapat peningkatan metabolism kortikal difus
selama pemeriksaan tomografi emisi positron (PET)1.
6. Faktor Neuroanatomis
Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai bagian penting dalam otak yang
mungkin abnormal dalam gangguan autistik. Perkiraan tersebut didasarkan pada
laporan sindroma mirip autistik pada beberapa orang yang mengalami kerusakan
lobus temporalis. Jika daerah temporalis binatang dirusak, perilaku sosial yang
diharapkan menghilang, dan kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan kumpulan
perilaku terbatas ditemukan. Temuan lain pada gangguan autistik adalah penurunan
sel Purkinje di serebellum, kemungkinan menyebabkan kenainan atensi, kesadaran
dan proses sensorik1.
7. Faktor Biokimia
Sejak ditemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada
sepertiga anak autistik (1961), fungsi neurotransmitter pada autisme menjadi focus
perhatian banyak peneliti. Dengan anggapan bila disfungsi neurokemistrinyang
ditemukan merupakan dasar dari perilaku dan kognitif yang abnormal, tentunya
dengan terapi obat diharapkan disfungsi sistem neurotransmitter ini akan dapat
dikoreksi. Beberapa jenis neurotransmitter yang diduga mempunyai hubungan
dengan autism a.l.: serotonin, dopamine, dan opioid endogen2.
Pada beberapa anak autistik, peningkatan hormon vanillic acid (suatu
metabolit utama dopamin) dalam cairan serebrospinalis adalah disertai dengan
peningkatan penarikan diri dan stereotipik. Beberapa bukti menyatakan bahwa
keparahan gejala menurun saat rasio 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA,
metabolit serotonin) cairan serebrospinalis mungkin berbanding secara terbalik
dengan kadar serotonin darah; kadar tersebut meningkat pada sepertiga pasien
dengan gangguan autistik, suatu temuan nonspesifik yang juga ditemukan pada
pasien dengan retardasi mental1.
C. GAMBARAN KLINIS
1. Ciri Khas Fisik
Anak dengan gangguan autis sering digambarkan dengan anak yang atraktif, dan
pada pandangan pertama tidak menunjukkan adanya tanda fisik yang menunjukkan
gangguan autis. Mereka memiliki angka kelainan fisik minor yang tinggi, seperti
malformasi telinga. Anomali fisik minor mungkin menunjukkan cerminan periode
tertentu perkembangan janin saat munculnya kelainan, karena pembentukan telinga
terjadi kira-kira pada waktu yang sama dengan pembentukan bagian otak. Anak autistik
juga memiliki insiden yang lebih tinggi untuk mengalami dermatoglifik (contoh.,sidik
jari) yang abnormal dibandingkan populasi umum. Temuan ini dapat mengesankan
adanya gangguan perkembangan neuroektodermal1.
2. Gejala Perilaku Terkait
a. Gangguan kualitatif pada interaksi sosial.
Semua anak autistik gagal menunjukkan keakraban yang lazimnya
terhadap orangtua mereka dan orang lain. Saat bayi, banyak yang tidak memiliki
senyum sosial dan sikap tidak mau digendong jika seorang dewasa mendekati.
Kontak mata yang abnormaladalah temuan yang sering. Perkembangan sosial
anak autistik ditandai oleh tidak adanya (tetap tidak selalu tidak ada sama sekali)
perilaku melekat dan kegagalan yang relatif awal pada pertalian terhadap orang
tertentu. Anak autistik sering kali tidak terlihat mengenali atau membedakan
orang-orang yang paling penting dalam kehidupannya ~ orangtua, sanak saudara,
dan guru. Dan mereka mungkin hampir tidak menunjukkan cemas perpisahan saat
ditinggal di dalam lingkungan yang asing dengan orang asing1.
Jika anak autistik telah mencapai usia sekolah, penarikan diri mereka
mungkin telah menghilang atau tidak begitu jelas, terutama pada anak-anak yang
berfungsi lebih baik1.
Pada masa remaja akhir, anak autistik tersebut yang paling berkembang
sering kali memiliki keinginan untuk bersahabat. Tetapi kecanggungan
pendekatan mereka dan ketidakmampuan mereka untuk berespon terhadap minat,
emosi, dan perasaan orang lain manjadi hambatan yang utama dalam
mengembangkan persahabatan. Remaja dan dewasa autistik memiliki perasaan
seksual, tetapi tidak adanya kompetensi dan keterampilan sosial menghalangi
sebagian besar dari mereka untuk mengembangkan hubunga seksual. Sangat
jarang bagi orang autistik untuk menikah1.
b. Gangguan komunikasi dan bahasa.
Defisit dan penyimpangan yang jelas dalam perkembangan bahasa adalah
salah satu kriteria utama untuk mendiagnosis gangguan autistik. Anak-anak
autistik bukan hanya tidak mau berbicara, dan kelainan bicara mereka bukan
karena tidak adanya motivasi. Penyimpangan bahasa, seperti keterlambatan
bahasa, adalah karakteristik untuk gangguan autistik. Anak autis sedikit
menggunakan arti dalam daya ingat dan proses berpikir mereka. Jika anak autis
belajar untuk fasih berbicara, mereka tidak memiliki kompetensi sosial, dan
percakapan mereka tidak ditandai oleh saling tukar yang responsif dan timbal
balik1.
Dalam tahun pertama kehidupan, beberapa anak mengeluarkan bunyi
dalam cara yang stereotipik tanpa terlihat minat untuk berkomunikasi. Anak autis
verbal mungkinlebih banyak berkata dibandingkan yang dimengertinya.
Pembicaraan mereka mengandung ekolalia, baik segara maupun terlambat, atau
dengan
keterampilan
verbal
dan
abstraksi,
bukannya
dengan
11
Anak kecil dengan gangguan autisme memiliki insiden infeksi saluran napas atas
dan infeksi ringan lain yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan. Gejala
gastrointestinal lazim ditemukan pada anak dengan gangguan autis mencakup
bersendawa, konstipasi, dan hilangnya gerakan usus. Terdapat pula meningkatnya insiden
kejang demam. Pada beberapa kasus, masalah perilaku dan hubungan tampak membaik
hingga suatu derajat yang jelas pada anak selama penyakit yang ringan, dan pada
beberapa kasus, perubahan tersebut merupakan petunjuk adanya penyakit fisik1.
D. DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik DSM IV (Diagnostic Statistical Manual) yang dikembangkan oleh
para psikiater dari Amerika menggambarkan anak autis sebagai berikut1,2,5:
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurangkurangnya: dua item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b
dan kelompok c.
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit
dua diantara berikut:
1) Memiliki kesulitan dalam menggunakan berbagai perilaku nonverbal
seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya
yang mengatur interaksi sosial.
2) Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.
3) Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan
secara spontan dengan orang lain (seperti: kurang tampak adanya perilaku
memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).
4) Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal
balik.
b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit
satu dari yang berikut:
12
terjadi sebelum umur tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam
interaksi sosial, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek yang mana mereka
memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.
Adapun pemeriksaan medis yang dilakukan pada anak dengan autisme (disesuaikan
dengankebutuhan anak)2:
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologis
Tes neuropsikologis
Tes pendengaran dengan BERA atau tes lain
Berbagai rating scales, misalnya CARS (Childhood Autism Rating Scale),
E. TERAPI
Tujuan terapi untuk anak autis adalah untuk meningkatkan perilaku prososial dan
perilaku yang secara sosial dapat diterima, untuk mengurangi gejala perilaku yang aneh, dan
untuk memperbaiki komunikasi verbal serta nonverbal, untuk mengajarkan cara menghadapi
suatu situasi, untuk mengurangi kebiasaan yang menghalangi proses belajar, serta
membimbing keluarga untuk terbiasa dengan autisme2,5.
Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain :
1. Terapi Obat (Medikamentosa)
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki
komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilakuperilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang, melukai diri sendiri. Pemberian obat
pada anak autistik harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang
tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat dan mengenali cara kerja obat. Perlu
14
diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat,
dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehati-hatian dari orang tua dalam
pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang. Periode istirahat dari obat,
setiap 6 bulan, dianjurkan untuk menilai lagi apakah obat masih diperlukan dalam
terapi2,5.
Obat-obatan yang biasa digunakan yaitu obat anti psikotik (memblokir reseptor
dopamin), SSRI (menghabat reseptor serotonin), Methylphenidate (menurunkan
hiperaktivitas, inatensi), Naltrexone (antagonis apioida), Clomipramine (anti depresan),
Clonidin (menurunkan aktivitas noradrenergik)2.
Risperidone (anti psikotik) efektif untuk terapi anak autistik yang disertai dengan
tantrums, agresivitas, dan perilaku yang membahayakan diri sendiri, irritable, stereotipik,
hiperaktif, dan gangguan komunikasi. Olanzapine (anti psikotik) menunjukkan perbaikan
dalam iritabilitas, hiperaktivitas, bicara yang berlebihan, dan komunikasi. Namun obatobat anti psikotik tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut2.
Saat ini pemakaian obat diarahkan untuk memperbaiki respon anak sehingga
diberikan obat-obat psikotropika jenis baru seperti obat-obat anti-depresan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) yang bisa memberikan keseimbangan antara
neurotransmitter serotonin dan dopamine. Yang diinginkan dalam pemberian obat ini
adalah dosis yang paling minimal namun paling efektif dan tanpa efek samping.
Pemakaian obat ini akan sangat membantu untuk memperbaiki respon anak terhadap
lingkungan sehingga ia lebih mudah menerima tata laksana terapi lainnya. Bila kemajuan
yang dicapai cukup baik, maka pemberian obat dapat dikurangi bahkan dihentikan.
Sangat efektif untuk mengatasi perilaku stereotipik, meningkatkan perilaku umum
menjadi lebih terkendali, interest yang terbatas, inatensi, hiperaktif, labilitas mood, proses
belajar, bahasa dan sosialisasi2,5.
15
terhadap
hiperaktivitas
dan
inatensi2.
Obat
stimulans
seperti
16
4. Psikoterapi
Dengan adanya pengetahuan tentang faktor biologi pada autisme, psikodinamik
psikoterapi yang dilakukan pada anak yang masih kecil termasuk di sini terap bermain
yang tidak terstruktur, adalah tidak sesuai lagi.psikoterapi individual, baik dengan atau
tanpa obat, mungkin lebih sesuia pada mereka yang telah mempunyai fungsi yang lebih
baik, saat usia mereka meningkat, mungkin timbul perasaan cemas dan depresi ketika
mereka menyadari kelainan dan kesukaran dalam membina hubungan dengan orang lain2.
5. Terapi Okupasi
17
Terapi okupasi umumnya menekan pada kemampuan motorik halus, selain itu
terapi okupasi juga bertujuan untuk membantu seseorang agar dapat melakukan kegiatan
keseharian, aktivitas produktivitas dan pemanfaatan waktu luang8.
Terapi ini terpusat pada pendekatan sensori atau motorik atau kombinasi
keduanya untuk memperbaiki kemampuan anak untuk merasakan sentuhan, rasa, bunyi
dan gerakan. Tetapi juga meliputi permainan dan keterampilan sosial, melatih kekuatan
tangan, genggaman, kognitif dan mengikuti arah8.
Terapi seperti ini diperlukan oleh anak/orang dewasa yang mengalami kesulitan
belajar, hambatan motorik (cedera, stroke, traumatic brain injury), autisme, sensory
processing disorders, cerebral palsy, down syndrome, Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD), genetic disorders, aspergers syndrome, kesulitan belajar,
keterlambatan wicara, gangguan perkembangan, Pervasive Developmental Disorder
(PDD) dan keterlambatan tumbuh kembang8.
6. Terapi Sensori Integrasi
Sensori intergral berarti kemampuan untuk mengolah dan mengartikan seluruh
rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun lingkungan, dan kemudian
menghasilkan respons yang terarah. Aktivitas fisik yang terarah, bisa menimbulkan
respons yang adaptif yang makin kompleks. Dengan demikian efisiensi otak makin
meningkat8.
Terapi sensori integrasi meningkatkan kematangan susunan saraf pusat, sehingga
ia mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya. Juga merangsang koneksi sinaptik
yang lebih kompleks, dengan demikian bisa meningkatkan kapasitas untuk belajar8.
Dapat diterapkan pada anak dengan gangguan perilaku, Autism Spectrum
Disorder
(ASD),
down
syndrome,
Attention
Deficit
Hyperactivity
Disorder
18
perkembangan,
Pervasive
Developmental
Disorder
(PDD)
dan
keterlambatan
perkembangan lainnya8.
F. PROGNOSIS
Gangguan autis umumnya merupakan gangguan seumur hidup dengan prognosis yang
terbatas. Anak autisme dengan IQ (Intelligence Question) di atas 70 dan mereka yang
menggunakan bahasa komunikatif saat usia 5 hingga 7 tahun cenderung memiliki prognosis
terbaik1.
Area gejala yang tidak tampak membaik seiring waktu adalah gejala yang terkait dengan
perilaku berulang atau ritualistik. Umumnya, studi hasil dewasa menunjukkan bahwa kirakira dua pertiga orang dewasa dengan autistik tetap mengalami hendaya berat dan hidup
benar-benar bergantung atau agak bergantung, baik dengan kerabatnya atau di institusi
jangka panjang. Prognosisnya membaik jika lingkungan atau rumah bersifat suportif dan
dapat memenuhi kebutuhan ekstensif anak tersebut. Meskipun pengurangan gejala dicatat
pada banyak kasus, mutilasi diri yang berat atau agresivitas serta regresi dapat terjadi pada
yang lain1.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis, Jilid II. 5th ed. Jakarta: EGC. 2013. h.728-43
2. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. 2013. h.156-82
3. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article/PMC4455890/. The Study to Explore
Early Developmental (SEED): A Multisite Epidemiologic Study of Autism by The
Center for Autism and Develpomental Disabilities Research and Epidemiology
(ADDRE) Network. (diakses tanggal 05 Oktober 2015)
19
20