Orang barat mengatakan Time is Money, Waktu adalah Uang. Sebuah semboyan yang
setidaknya benar-benar menggambarkan pola pikir mereka yang individualis, materialistis, dan
kapitalis dalam menyikapi arti sebuah waktu. Yang setidaknya hal ini juga tercermin didalam pola
bermuamalah yang mereka terapkan.
Sedangkan orang arab mengatakan di dalam pepatahnya :
Waktu diibaratkan pedang, jika engkau tidak memotongnya maka waktulah yang akan memotongmu,
Dan jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan sesuatu yang halal, maka dia akan
menyibukkanmu dengan sesuatu yang haram serta perbuatan-perbuatan dosa, tentunya sebuah
semboyan yang sangat indah serta menyentuh jiwa.
Lalu seperti apakah ajaran agama Islam dalam memandang dan menyikapi waktu ??, Berikut ini
adalah ulasannya secara singkat,
Nya, mengingat ajal yang pasti akan menjemputnya, dan mempersiapkan bekal bagi
kehidupan di akhiratnya yang kekal dan abadi.
Ketiga : Islam telah memberikan pujiannya serta mensifati orangorang yang mengisi waktunya dengan berfikir dan menjalankan
ketaatan dijalan Alloh dengan sebutan Ulil Albab (Orang yang
berakal).
Alloh Ta'ala telah berfirman :
}
{
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS. Ali Imran : 190)
Berdasarkan ayat diatas, maka orang-orang yang tidak bisa mensyukuri serta mengisi waktunya
dengan berfikir dan menjalankan ketaatan dijalan Alloh maka tidaklah pantas untuk sikatakan
sebagi manusia yang berakal, wal `iyadzu billah.
Ataukah justru kita biarkan berlalu dan terbuang dengan sia-sia dengan berbagai kemaksiatan ??
Renungkanlah sebelum terlambat..,
Kedua : Waktu yang telah habis tak akan pernah kembali dan tak mungkin dapat diganti.
Ketiga : Waktu adalah modal terbaik bagi manusia. Karena waktu adalah wadah bagi setiap
amal perbuatan manusia.
Keempat : Kita akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan Alloh atas waktu yang telah
kita pergunakan.
Renungan Ketiga :
Kuncinya adalah pada bagaimanakah sudut pandang serta sikap seseorang dalam memandang
arti pentingnya sebuah waktu dan cara-cara mengoptimalkannya. Karena secara umum, manusia
terbagi menjadi dua golongan : Golongan manusia sukses dan Golongan manusia gagal. Kesuksesan
dan kegagalan seseorang sangat erat sekali kaitannya dengan kemampuannya di dalam
mengoptimalkan waktu yang dimilikinya.
Jika seseorang mampu mengoptimalkan waktu yang Allah anugerahkan kepadanya untuk
selalu meningkatkan keimanan, ilmu, amal shaleh, dan berdakwah di jalan Allah, maka tentunya dia
akan menjadi orang yang sukses dan beruntung di dunia serta di akhirat.
Namun sebaliknya, jika ia gagal mengoptimalkan waktu yang ia lewati untuk memperkuat
keimanan, memperbanyak ilmu, amal shaleh dan berdakwah di jalan Alloh , maka ia dipastikan akan
menjadi orang yang merugi di dunia dan terlebih lagi di akhirat kelak.
Renungan Keempat :
Terkait dengan larangan untuk menunda-nunda sebuah amal pekerjaan, Rosululloh Shallallahu'alaihi
wa sallam pernah bersabda :
((
, , ,
, ,
))
Bersegeralah dalam beramal (sholih), sesungguhnya datangnya fitnah sebagaimana malam yang
gelap gulita. Seseorang beriman dipagi hari lalu menjadi kafir pada sore harinya, dan seseorang
beriman pada sore hari lalu menjadi kafir pada pagi harinya, menukar agamanya dengan kehidupan
dunia (HR. Muslim)
Kemudian setelah itu, hal terpenting yang harus diperhatikan dalam beramal dan beraktifitas adalah
bukan sekedar bekerja dan beraktifitas sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan kualitas amalan.
Akan tetapi kita juga harus melihatnya dari sisi waktu dan tempatnya. Apakah suatu amalan yang kita
kerjakan sudah sesuai dengan tempat serta waktu yang seharusnya, ataukah tidak . Dikatakan
didalam sebuah pepatah :
,
Di setiap kondisi ada ucapan (yang layak untuk diucapkan), dan setiap ucapan ada waktunya (yang
cocok)
Oleh sebab itu, disebutkan oleh para ulama bahwa amalan yang paling utama adalah amalan
yang dikerjakan sesuai dengan waktunya. Sebagai contoh, ketika datang waktu sholat, maka yang
paling utama adalah melakukan sholat, ketika datang waktu Ramadlan, maka amalan yang paling
utama dikerjakan adalah puasa. Ketika datang waktu haji, maka yang paling utama dikerjakan adalah
haji . Dan ketika waktu ujian, maka amalan yang paling utama dikerjakan adalah belajar untuk
menghadapi ujian.
Dan terkait pembahasan ini, kita bisa merujuk kepada kitab :
(Pengetahuan tentang amalan-amalan bagi setiap musim ) karya Ibnu Rajab Al-Hambali (736-795 H)
yang menerangkan tentang amalan-amalan berdasarkan urutan waktunya.
Ketiga : Beramal pada waktu-waktu yang memiliki keutamaan.
Waktu yang diberikan oleh Alloh begitu terbatas, sedangkan kewajiban yang harus kita tunaikan
begitu banyak. Oleh sebab itu, seorang Muslim harus mensiasati keterbatasan waktu yang dimilikinya
dengan cara memperhatikan beberapa waktu khusus yang telah Alloh siapkan bagi para hambanya.
Sesungguhnya Alloh dengan rahmatnya telah menyiapkan waktu-waktu tertentu yang mempunyai
keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki oleh waktu-waktu lainnya. Dan hal ini merupakan
keuntungan tersendiri bagi seorang hamba untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pundi-pundi
pahala dan amalan-amalan kebaikan dengan cara yang cukup instan. Diantaranya :
a. Keutamaan bulan Ramadhon, di dalamnya terdapat 10 malam terakhir yang yang apabila kita
bersungguh-sungguh beribadah didalamnya, maka kita akan mendapatkan Lailatul Qadr yang
keutamaannya melebihi 1000 bulan pada malam-malam lainnya.
b. Keutamaan 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, puncaknya pada tanggal 10 Dzulhijjah,
(( ,))
: !!
(( )) :
Tidak ada hari, amal shalih padanya yang lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (Dzul Hijjah).
Mereka berkata; wahai Rasulullah, tidak pula berjihad di jalan Allah? Beliau berkata: Tidak pula
berjihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak
kembali membawa sesuatupun. (HR. Abu Dawud)
c. Hari Jumat, merupakan hari terbaik tiap pekan dan terdapat di banyak keutamaan didalamnya. Di
dalamnya suatu waktu yang jika seorang muslim berdoa, maka Allah akan mengabulkannya.
))
(( , ,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan pada hari Jumat dengan bersabda: Di dalamnya
terdapat satu waktu, tiada seorang hamba muslim yang menepatinya dengan berdiri shalat memohon
sesuatu pada Allah, melainkan Allah pasti akan memberi apa yang dia minta. (HR. Bukhori)
d. Sepertiga malam terakhir (Waktu Sahur).
(( , , , :
))
Rabb Tabaaraka wa Taala kita turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir
dan berfirman: Siapa yang berdoa kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu
pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni. (Muttafaqun Alaihi)
Oleh karenanya, para ulama menggambarkan sholat 5 waktu sebagai timbangan harian, hari Jumat
sebagai timbangan mingguan, bulan Ramadhon sebagai timbangan tahunan, sedangkan haji sebagai
timbangan seumur hidup.
Oleh karenanya, mereka begitu memperhatikan bagaimana hariannya bisa terjaga dengan baik,
setelah berhasil maka mereka berusaha menjaga mingguannya, setelah berhasil maka mereka
berusaha untuk menjaga tahunannya, setelah berhasil mereka menjaga umurnya, dan itulah
penutup yang baik.
Keempat : Mensiasati keterbatasan waktu dengan cara menjalankan beberapa aktifitas
didalam satu waktu yang sama.
Aktifitas, kebutuhan, tuntutan hidup, kewajiban, serta tujuan yang hendak diraih oleh manusia
sangatlah banyak. Akan tetapi waktu yang tersedia sangatlah terbatas dan seakan berputar dengan
sangat cepat.
Oleh karenanya, agar tidak terus tertinggal dari yang lain dan agar tidak tergerus oleh waktu, maka
ada baiknya kita bercermin dari kisah para ulama terdahulu yang sampai saat ini nama mereka masih
harum mengenai bagaimana mereka mensiasati keterbatasan waktu yang mereka miliki.
Mari kita lihat bersama, bagaimana seorang Khatib Al-Baghdadi senantiasa berjalan dengan sebuah
buku yang senantiasa dibawa dan dibaca olehnya.
Kita lihat juga, bagaimana Abu Al-Wafa Ibnu `Uqail Al-Hambali yang menyingkat waktu makan
dengan memilih makanan yang praktis, beliau bisa memanfaat perbedaan waktu makan roti kering
dengan roti yang diberi air, untuk membaca 50 ayat Al-Quran.
Dan bagaimana Abul Barakat Majiduddin (kakek dari Abul Abbas Ibnu Taimiyah) jika ia masuk kamar
mandi/WC, ia menyuruh saudaranya untuk membacakan sebuah buku dengan suara keras agar dia
bisa mendengarnya.
Kelima : Menjadikan waktu kita lebih lebih diberkahi oleh Alloh dengan cara menjadikan
aktifitas kita bermanfaat bagi orang banyak.
Misalnya dengan cara mengisi aktifitas kita dengan mencari ilmu yang bermanfaat, kemudian
mendakwahkannya kepada orang lain, serta menjadikan diri kita lebih bermanfaat bagi orang
banyak. Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir :
(())
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (Mu`jam al-Ausath:6/58)
Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaknya kita selalu memilih kegiatan dan amalan yang
manfaatnya bisa dirasakan oleh orang banyak. Karena amalan yang bermanfaat bagi orang
banyak jauh lebih utama dan memiliki nilai manfaat yang lebih besar bila dibanding dengan
amalan yang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Salah satunya adalah At-Tafaqquh fi Dien (belajar agama) jauh lebih utama dibanding dengan sholat
malam atau puasa sunnah, karena manfaat ilmu yang didapatnya tersebut akan bisa dirasakan oleh
orang lain. Sedang sholat malam dan puasa sunnah manfaatnya hanya terbatas pada diri sendiri.
Disamping itu, ilmu adalah pemimpin bagi amalan karena dengan ilmu amalan bisa diluruskan, lain
halnya orang yang beramal tanpa ilmu, maka dia akan terus menerus tenggelam dalam ibadat yang
salah, dan otomatis tidak akan diterima oleh Allah.
Dikatakan oleh Abu Darda :
Sungguh, aku mempelajari satu masalah (dalam pembahasan Ilmu) adalah lebih aku sukai dari pada
sholat semalaman
Dan dikatakan juga oleh Al-Hasan Al-Bashri :
Sungguh, aku mempelajari ilmu satu bab, lalu aku ajarkan kepada seorang Muslim,
hal itu lebih aku cintai daripada aku memiliki dunia seluruhnya lalu saya infakkan di jalan Alloh
Dan pada akhirnya nanti, kebaikan ilmu serta faidah yang telah diberikannya untuk orang lain akan
kembali kepada dirinya sendiri, sebagaimana sabda Rosululloh Shallallahu'alaihi wa sallam:
((
,
: ))
Apabila anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara : Shodaqoh Jariyah,
atau Ilmu yang bermanfaat, atau anak Sholih yang mendoakannya (HR. Muslim)