Anda di halaman 1dari 2

Dalam menanggapi resume diatas nampaknya pentingnya etika dalam praktik dapat

digambarkan dalam

menangani nasib para korban kasus dugaan pelanggaran hak asasi

manusia (HAM) berat di masa lalu hingga kini yang masih belum menemukan titik terang.
Alhasil, mereka terus berupaya tanpa henti menuntut keadilan kepada pemerintah. Wakil
Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Yati Andriyani mengungkapkan, para korban
mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak gugatan
permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia (Undang-Undang Pengadilan HAM) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Ia menilai, jika keputusan MK yang menolak judical review para korban pelanggaran
HAM membuat pertimbangan dalam putusan mengalami ketidakpastian hukum. Pasalnya,
mereka harus terus bolak balik berkas ke Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk meminta
keadilan. "Putusan ini secara tegas menyatakan aparat penegak hukum salah menerapkan
norma. Akibatnya tidak ada kepastian hukum bagi korban. Namun, kita tetap apresiasi
keputusan MK. Hanya saja, membuat kasus ini hanya bolak balik," kata Yati belum lama ini.
Menurutnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) hanya memberikan alasan yang tidak konsisten
saat mengembalikan berkas penyidikan ke Komnas HAM. Dalam pengembalian berkas itu
pun, KontraS merasa jika Korps Adhyaksa itu hanya mempersoalkan belum terbentuknya
pengadilan HAM adhocsebagai landasan dalam melakukan penyidikan. "Para korban datang
ke Komnas HAM namun katanya berkas sudah dilimpahkan ke Jaksa Agung. Begitu pun
sebaliknya. Seharusnya Jakasa Agung sebagai orang yang di tunjuk pemerintah harus sigap
menyelesaikan kasus ini," tukasnya. Sehingga, KontraS mendesak Kejagung dan Komnas
HAM untuk menindaklanjuti pertimbangan MK dengan menghentikan praktik bolak-balik
atau pengembalian berkas.
Senada, Koordinator KontraS, Haris Azhar mengapresiasi keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk kasus pelanggaran HAM berat antara Komnas HAM dan Kejagung.
Kasus tersebut kini masuk ke dalam tindakan hukum yang tidak sesuai dengan norma yang
ada. "Tindakan ini mengakibatkan peniadaan hak konstitusi penggugat, yang juga keluarga
korban orang hilang peristiwa pelanggaran HAM berat pada 1997-1998, untuk mendapatkan
keadilan, pemulihan, dan kebenaran. Situasi telah terjadi selama lebih dari 13 tahun," kata
Haris. Kontras menilai, Komnas HAM dan Jaksa Agung menunjukkan ketidakmampuan
politik pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Presiden pun diminta
turut serta mengambil keputusan untuk membantu para korban. "Presiden segera memanggil
dan mengkoordinasikan Jaksa Agung sebagai penyidik dan Komnas HAM untuk mengakhiri

perbedaan pendapat antara kedua institusi itu. Keputusan diambil dengan mengacu pada
norma hukum yang telah mengatur kewenangan dan tugas penyelidik dan penyidik," ujarnya.
Kendati demikian, KontaS tetap menghormati putusan majelis hakim konstitusi sekaligus
memberi apresiasi atas penegasan norma hukum berikut pertimbangannya.

Anda mungkin juga menyukai