Anda di halaman 1dari 9

A.

KOLELITHIASIS
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005).
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam
usus (Reeves, 2001).
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedi, tetapi
batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran
empedu sekunder (Lesmana, 2014).
1. Anatomi
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang
panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan
batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu
merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah
advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai
fundus, korpus, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari
kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian
yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan daerah
duktus sistika (Schwartz, 2000).
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu
membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah
hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung
dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus (Price dan Lorraine,
2006).
2. Patogenesis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu
saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1)

batu kolesterol di mana komposisi kolesterol melebihi 70% 2) batu


pigmen coklat atau batu kalsium yang mengandung Ca-bilirubinate
sebagai komponen utama 3) batu pigmen hitam yang kaya akan residu
hitam tak terekstraksi (Lesmana, 2014).
Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah
kolesterol, sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didaptkan batu
pigen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien (Lesmana,
2014).
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenensis batu
koleseterol: 1) hipersaturasi kolesterol dalam kandung emoedu, 2)
percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol, dan 3) gangguan motilitias
kandung empedu dan usus. Adanya pigmen di dalam inti batu kolesterol
berhubungan dengan lumpur kandung empedu pada stadium awal
pembentukan batu (Lesmana, 2014).
Patogenesis pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis
empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim
glucoronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peranan kunci
dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis
bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi
yang akan mengendap sebagai kalsium bilirubinate. Enzim
glucoronidase bakteri berasal dari kuman E. Coli dan kuman lainnya di
saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang
konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan
rendah lemak (Lesmana, 2014).
3. Faktor risiko
Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu:
a. Usia
Risiko

untuk

terkena

kolelitiasis

meningkat

sejalan

dengan

bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung


untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang
lebih muda. Di Amerika Serikat, 20% wanita lebih dari 40 tahun

mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu


empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:
1) Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
2) Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan
bertambahnya usia.
3) Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita
batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita (Robbins, 2007; Oswari,
2006).
c. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya
BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan
juga

mengurasi

garam

empedu

serta

mengurangi

kontraksi/

pengosongan kandung empedu.


d. Makanan.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani
berisiko

untuk

menderita

kolelitiasis.

Kolesterol

merupakan

komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam


cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat
mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida,
kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap
unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik.

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko


terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi (Oswari, 2006; Hayes dan Mackay, 1997).
4. Gambaran Klinis
Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien
dengan batu asimptomatik, pasien dengan batu simptomatik, dan pasien
dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan
pankreatitis).
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik
waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit
dari 1407 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan
bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimptomatik, 30% mengalami kolik
bilier, dan 20% mendapat komplikasi.
Gejala batu empedu yang dapat dipercata adalah keluhan kolik bilier.
Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih
dari 30 menit dan kkurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas
atau epigastrim tetapi bisa juga di kiri dan prekordial (Lesmana, 2014).
Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut
terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain (Reeves, 2001).
5. Diagnosis kolelitiasis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai
intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan
utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Lebih kurang seperempat
penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan

antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan


bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
b. USG atau Pemeriksaan Ultrasonografi
USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk
menegakkan diagnosa Batu Kantong Empedu. Kebenaran dari USG
ini dapat mencapai 95% di tangan Ahli Radiologi.
c. CT Scanning.
Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu berada di dalam
saluran empedu.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan ini apabila ada komplikasi
sakit kuning.
e. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak
menunjukkan kelainan laboratorik. Kenaikan ringan bilirubin serum
terjadi akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dan penjalaran
radang ke dinding yang tertekan tersebut (Sjamsuhidajat dan De Jong,
2005).
6. Komplikasi
a. Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung
empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan
peradangan kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah
saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.

d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005; Schwartz, 2000)
5. Pencegahan Kolelitiasis
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada
orang sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis.
Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu yang memiliki
risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan
makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan
kadar

kolesterol

dengan

mengurangi

asupan

lemak

jenuh,

meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain


yang akan mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga
menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung empedu ,
minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang
tepat dari cairan empedu.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini
terhadap penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu
yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan
pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non
bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan
dengan bedah disebut kolesistektomi.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan
tujuan mempertahankan kualitas hidup penderita dan memperlambat
progresifitas penyakit dan mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain.

Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan memerhatikan asupan


makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu (Sjamsuhidajat dan De Jong, 2005).
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan non bedah
1) Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu
kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik
paten.
2) Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP
terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik
ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang sebagai
standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan
basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar
tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar
bersama tinja. Untuk batu saluran empedu sulit (batu besar, batu
yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas
saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
3) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan
batu dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan
beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien

yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini


(Beckingham IJ, 2001).
b. Penanggulangan bedah, yaitu:
1) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut.
2) Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu
empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu
diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah
bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau
semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan
stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan
kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7
Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk
pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang
diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (210 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.48 Jika ukuran batu
empedu sudah membesar, yakni sekitar 3-4 cm, sudah selayaknya
batu itu diangkat. Kalau ukuran batu besar, kandung empedu harus
cepat diangkat dan segera dibuang. Tapi, jika ukuran batu empedu
masih tergolong kecil atau berkisar 2-3 mm, langkah operasi
pengangkatan kandung empedu tidak perlu dilakukan (Beckingham
IJ, 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Reeves C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Lesmana LA. 2014. Penyakit batu empedu. Dalam: Setiasti S, Alwi I, Sudoyo AW
et al., (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2, Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing. Hal: 2020-5.
Schwartz et al. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Price S, Lorraine M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
volume 1, Edisi 6. Jakarta: EGC.
Robbins et al. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC.
Oswari E. 2006. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hayes P, Mackay T. 1997. Diagnosis dan Terapi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Beckingham IJ. 2001. ABC of diseases of liver, pancreas, and biliary system.
Gallstone disease. BMJ. 322 (7278): 914.

Anda mungkin juga menyukai