Pluralisme Hukum Waris Lombok PDF
Pluralisme Hukum Waris Lombok PDF
1. Pengantar
Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah
Timur Bali. Berlainan dengan suku Bali yang beragama Hindu, suku Sasak beragama
Islam, jumlahnya sekarang sekitar 2.878.917 jiwa1
Lombok pada abad ke 16, sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit. Agama Islam ini
dibawa pengikut para wali dari pulau Jawa dengan bahasa pengantar Jawa Kuno.
Sekarang Lombok terkenal dengan nama pulau seribu mesjid, karena banyak mesjid,
tempat suci untuk bersembayang bagi pemeluk agama Islam. Jumlah mesjid sekarang
ini diseluruh pulau Lombok sebanyak 3975 bangunan.2 Namun dalam hal mewaris bagi
wanita, masyarakat Sasak tunduk pada tiga sistem hukum : Hukum Adat, Hukum Islam
yang bersumber kepada Quran dan Hadist, serta hukum negara yang bersumber pada
putusan hakim Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung.
Berdasarkan Hukum Adat, wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris
harta orang tuanya. Ini adalah konsekwensi dari masyarakat Patriachat, yaitu
masyarakat yang menarik garis keturunan menurut garis kebapaan atau pihak laki-laki.
Namun banyak wanita Sasak yang tunduk pada hukum Islam dimana hukum Islam
membagi warisan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita. Semua putusan Pengadilan
Agama Islam mengikuti Al Quran dalam pembagian warisan. Dalam pada itu sejak
Mahkamah Agung Indonesia menyatakan dalam putusannya pada tahun 1978 dan
diulangi dalam putusan tahun 1985, bahwa hak wanita dan pria dalam alam Indonesia
merdeka adalah sama, maka wanita Sasak mempunyai hak yang sama dalam mewaris
harta orang tuanya. Mahkamah Agung berpendapat pula telah terjadi perubahan sosial
mengenai hak wanita pada masyarakat Sasak, yaitu wanita dulunya menurut Hukum
Adat Sasak tidak berhak mewaris, sekarang masyarakat adat Sasak
sendiri
yang
mengakui hak wanita untuk mewaris harta orang tuanya. Namun Mahkamah Agung
tidak menyebutkan apakah kemajuan hak wanita tersebut karena perjuangan kaum
1
2
Data BPS dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2007.
Ibid.
wanita sendiri? Pengakuan masyarakat terhadap hak wanita Sasak dalam zaman yang
sudah modern ini terjadi dengan sendirinya dan pengadilan menjadikan putusannya
sebagai a tool of social engineering.
Paragrap-paragrap berikut ini akan menerangkan perkembangan terjadinya
pluralisme hukum tersebut sebagai hasil wawancara dengan berbagai anggota
masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok, penelitian putusan Pengadilan Agama, dan
Pengadilan Negeri sampai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Begitu juga pihak pria yang kawin dengan wanita luar desa, ia harus meninggalkan desa
Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke pengadilan sampai saat ini dari desa
tersebut. 5
6
Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Pusat
Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek Penelitian Dan Pencatatan, 1977-1978, h. 75
juga Umi bila sudah menjadi hajjah, yaitu pergi naik haji ke Mekkah. Untuk bapak di
panggil Amaq. 7
tuanya karena ia satu-satunya anak perempuan. Warisan tersebut berupa 2 ha sawah dan
rumah. Masalah warisan tersebut diselesaikan setelah mendapat petunjuk dari Tuan
Guru, pemimpin Agama Islam di desa tersebut. Menurut seorang penjual kopiah yang
menjadi ciri khas produksi desa Kediri, mayoritas penduduk Kediri beragama Islam
dimana pembagian harta warisan adalah sepelembah sepersonan dalam bahasa
daerah, yaitu dua untuk laki-laki berbanding satu untuk perempuan.10
Sementara pendapat mengatakan bahwa keadaan itu mungkin disebabkan karena Selong
merupakan tempat para pendidik Agama Islam, sehingga kaum wanita didaerah itu
menuntut haknya mewaris, yang menurut Hukum Adat Sasak Tradisional mereka tidak
mempunyai hak. Adapula yang mengatakan sengketa perkara warisan itu melalui
Pengadilan Agama Selong berjumlah besar, karena adanya para pengacara yang
berjalan ke desa-desa dan menginformasikan hak-hak pria dan wanita mewaris menurut
Hukum Islam.12
12
Pada tahun 2005 Pengadilan Agama Praya memeriksa perkara Sumenah v. Inaq
Sini et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Sumenah, karena dalam perkawinannya
dengan almarhum Insun alias Haji Mahsun telah memiliki harta kekayaan berupa tanah
sawah, tanah kebun, rumah, sepeda motor, dan 8 ekor sapi. Mereka tidak dikaruniai
anak. Almarhum Haji Mahsun meninggalkan 4 saudara kandung yaitu para tergugat.
Pada waktu berunding untuk pembagian warisan dimana hadir beberapa tokoh
masyaralat
(Tuan
Guru)
perundingan
tersebut
gagal.
Para
tergugat
tetap
15
10
warisan berupa 2 bidang tanah kebun seluas 6 ha. Orang tua Nursaid sendiri meninggal
pada tahun 1950. Pada waktu Amaq Nawiyah meninggal dunia Le Putrahimah masih
kecil sehingga tanah kebun seluas 6 ha tersebut dikuasai oleh Amaq Itriawan. Setelah
Amaq Itriawan meninggal dunia tanah itu dikuasai oleh Nursaid beserta saudarasaudaranya.
Pengadilan Agama Mataram berpendapat antara lain, bahwa batas-batas tanah
yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dibuktikan oleh penggugat, sedangkan
tergugat telah menunjukkan pipil garuda sebagai tanda bukti hak milik tergugat. Oleh
karena itu Pengadilan Agama Mataram menolak gugatan pengugat.16
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram memutuskan, bahwa
ternyata tanah-tanah kebun sengketa milik Amaq Nawiyah telah dibalikkan namakan
oleh anak perempuannya Le Putrahimah dengan telah memperoleh pipil garuda atas
namanya sendiri. Ternyata tanah sengketa itu belum dibagi waris antara Le Putrahimah
dan saudara laki-laki bapaknya atau pamannya Amaq Itriawan. Amaq Itriawan telah
meninggal dunia tahun 1930 sehingga bagiannya jatuh kepada anak-anaknya. Anakanaknya telah meninggal dunia pula sehingga harta warisan itu jatuh kepada cucucucunya Nursaid et.al. Pengadilan Tinggi Agama kemudian menetapkan tanah kebun
pipil No. 2534/7002, Persil No. 375 luas 3.260 ha dan tanah kebun pipil No. 2532/7002,
Persil No. 375 luas 3.440 ha terletak di Dusun Malimbu Desa Pemenang Barat,
Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat adalah harta peninggalan Amaq
Nawiyah yang belum dibagi waris. Dengan demikian Inaq Putrahimah anak perempuan
Amaq Nawiyah (tergugat) mendapat setengah bagian dari kedua tanah kebun di atas.
Almarhum Amaq Itriawan mendapat setengah bagian juga dari kedua kebun tersebut
tetapi karena telah meninggalkan ahli waris seorang istri, 3 (tiga) orang anak laki-laki
dan 4 (empat) orang anak perempuan, maka masing-masing mendapat seperdelapan.17
Pada tinggkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia berpendapat selama masih ada
anak laki-laki dan anak perempuan maka hak waris dari orang yang mempunyai
hubungan darah dengan pewaris menjadi tertutup. Oleh karena itu Mahkamah Agung
menetapkan Inaq Putrahimah tergugat menjadi ahli waris satu-satunya.18
Pada tahun 1997 Pengadilan Agama di Praya (Lombok Tengah) memeriksa
perkara Amaq Rede v. Serem et.al. Perkara ini bermula dari gugatan Amaq Rede anak
16
11
dari Amaq Rabik yang telah meninggal dunia tahun 1947. Amaq Rabik mempunyai
anak laki-laki Amaq Rede dan saudaranya Amaq Gande. Amaq Gande telah meninggal
dunia dan meninggalkan sepuluh orang anak yang sekarang menjadi para tergugat. Pada
tahun 1996 para tergugat langsung mengambil alih tanah sawah dan tanah kebun yang
semuanya berjumlah 1.0768 ha yang sedang dikerjakan oleh Ibu penggugat Inaq Rabik
bersama dengan penggugat.
Majelis Hakim telah memberikan nasehat kepada kedua belah pihak untuk
berdamai, tetapi tidak berhasil. Majelis Hakim telah melaksanakan pemeriksaan
setempat pada tanggal 19 April 1997 dan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Majelis
Hakim Pengadilan Agama Praya berkeyakinan bahwa tanah-tanah kebun tersebut
adalah milik Amaq Rabik dan bukan peninggalan Amaq Gande. Karena Amaq Rabik
telah meninggal dunia maka bagiannya jatuh kepada Rabik dan Amaq Rede. Setelah
Rabik meninggal dunia bagian Rabik jatuh kepada anak-anaknya, Hamsiah (perempuan)
dan Nuriah (laki-laki). Bahwa tanah sawah dan kebun milik Amaq Rabik yang belum
dibagi waris wajib dibagi kepada ahli waris sesuai Hukum Faraid Islam, yaitu19 :
Tanah Sawah :
a. Rabik mendapat X + 1.000 ha = + 0,500 ha;
b. Amaq Rede mendapat X + 0.0768 ha = + 0.0384 ha.
Menetapkan bagian masing-masing ahli waris Rabik sebagian :
Tanah Sawah :
a. Hamsiah = 1/3 X + 0.500 ha = + 0.1666 ha.
b. Nuriah = 2/3 X + 0.500 ha = + 0.0512 ha.
Tanah Kebun :
a. Hamsiah = 1/3 X + 0.768 ha = + 0.0258 ha.
b. Nuriah = 2/3 X + 0.768 ha = + 0.0512 ha.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram menyatakan bahwa
yang menjadi sengketa adalah apakah tanah sawah seluas 1 ha hak milik ayah
penggugat atau hak milik ayah tergugat. Maka berdasarkan Pasal 50 UU No. 7 Tahun
1989 sengketa tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan Agama, tetapi wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksanya. Oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama
19
12
Mataram tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Agama Praya dan
membatalkan putusan Pengadilan Agama Praya.20
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan Agama
Mataram telah salah menerapkan hukum, karena sengketa harta peninggalan tidak
termasuk sengketa milik.21
Pada tahun 2006 Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa
perkara Lalu Purwadi v. Baiq Nursam et.al. Lalu Purwadi (Penggugat) adalah anak
kandung Mamiq Nursam, begitu juga para tergugat saudara perempuannya dari bapak
dan ibu yang sama yang telah meninggal dunia. Kedua orang tuanya telah
meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah pekarangan. Pengadilan Agama
Selong memutuskan bagian masing-masing penggugat dan tergugat sebagai berikut :
1. Lalu Purwadi bin Mamiq Nursam memperoleh 2/5 bagian.
2. Hajjah Baiq Nursam bin Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
3. Hajjah Baiq Sahnun binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
4. Baiq Hadijah binti Mamiq Nursam memperoleh 1/5 bagian.
Pengadilan Agama Selong juga menetapkan Lalu Purwadi (penggugat) telah menjual 5
are tanah sawah dan 5 are tanah pekarangan, yang kesemuanya itu harus diperhitungkan
menjadi bagiannya.22
Pengadilan Tinggi Agama Mataram telah menguatkan putusan Pengadilan Agama
Selong tersebut.23 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung Indonesia memutuskan bahwa
Pengadilan Agama Selong tidak salah menerapkan hukum sehingga Mahkamah Agung
memperkuat putusan tersebut.24
Pada tahun 2006 juga Pengadilan Agama Praya (Lombok Tengah) telah
memeriksa perkara. Ishak et.al. v. Mahyin et.al. Duduk perkaranya adalah Ishak et.al.
telah menggugat Mahyin et.al. karena yang terakhir ini telah menguasai satu bidang
sawah dan tiga tanah kebun. Para penggugat telah berulang kali meminta bagian secara
kekeluargaan dari tergugat dengan bantuan kepala desa dan camat, tetapi tidak berhasil.
Pengadilan Agama Praya kemudian dalam putusannya tanggal 5 September 200525,
telah mengabulkan gugatan penggugat sebagian. Menetapkan bahwa ahli waris dari
20
1997.
21
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 111 K/AG/1998, tanggal 13 September 1999.
Putusan Pengadilan Agama Selong, No. 121/Pdt.G/2005/PA.SEL., 21 September 2005.
23
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, No. 11/Pdt.G/2006/PTA.MTR, tanggal 23
Februari 2006.
24
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 387 K/AG/2006, tanggal 5 Mei 2008.
25
Putusan Pengadilan Agama Praya, No. 61/Pdt.G/2005/PA.Pra, tanggal 5 September 2005
22
13
Amaq Sediah adalah Amaq Nursidah (anak laki-laki), Amaq Mun (anak laki-laki),
Amaq Muriah (anak laki-laki), Raminah (anak perempuan), dan Amaq Darsiah (anak
laki-laki). Pengadilan Agama Praya juga menetapkan bagian masing-masing ahli waris
sebagai berikut :
1. Amaq Nursidah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya
dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan.
2. Amaq Mun mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
3. Amaq Ariah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
4. Raminah mendapat 1/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anaknya.
5. Amaq Darsiah mendapat 2/9 bagian, selanjutnya diwarisi oleh anak-anaknya, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram membatalkan putusan
Pengadilan Agama Praya tersebut.26 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menguatkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama karena Pengadilan Agama Praya telah keliru dalam
pertimbangan hukumnya. Menurut Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung
masih menjadi pertanyaan apakah obyek sengketa merupakan harta peninggalan Amaq
Sediah atau harta benda milik pribadi dari anak dan/atau cucu Amaq Sediah, karena
tidak terbukti dalam proses pemeriksaan Amaq Sediah meninggalkan harta warisan
yang belum dibagi waris, dan Pengadilan Agama Praya hanya berwenang menetapkan
siapa ahli waris dari Amaq Sediah. Oleh karena obyek sengketa dalam perkara ini
menyangkut hak, maka menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.27
Pengadilan Agama Mataram (Lombok Barat) pada tahun 2007 memeriksa perkara
antara Inaq Illah et.al. v. Lemin et.al. Para penggugat dan para tergugat adalah ahli
waris dari almarhum Amaq Ruminah yang meninggal dunia tahun 1986. Amaq
Ruminah semasa hidupnya telah kawin sebanyak tiga kali. Perkawinan pertama dengan
seorang perempuan Inaq Tilem yang meninggal dunia tahun 1960. Amaq Ruminah
kawin lagi dengan seorang perempuan bernama Inaq Saleha. Kemudian ia kawin lagi
untuk ketiga kalinya dengan Inaq Illah (penggugat I). Dalam perkawinan dengan Inaq
Tilem mereka mempunyai dua orang anak yaitu Ruminah dan Lemin (tergugat).
2006.
26
27
14
Perkawinan dengan Inaq Saleha tidak memiliki anak. Perkawinan antara Amaq
Ruminah dengan Inaq Illah (penggugat I) melahirkan tiga orang anak yaitu Sahabudin
laki-laki (penggugat II), Aminullah laki-laki (penggugat III), dan Haeriah perempuan
(penggugat IV). Pada tahun 1982, Ruminah meninggal dunia dan meninggalkan lima
orang anak, yaitu Sajidin (laki-laki), Marjuki (laki-laki), Saeniah (perempuan), Asiah
(perempuan), dan Sapiah (perempuan). Almarhum Amaq Ruminah meninggalkan harta
warisan berupa tanah sawah 3.813 M2 yang dikuasai oleh Lemin. Penggugat meminta
harta warisan tersebut di bagi menurut hukum Islam. Tergugat menyatakan dalam
jawabannya terhadap gugatan itu bahwa penggugat Inaq Illah telah diceraikan oleh
Amaq Ruminah dan kemudian telah kawin lagi dengan Ketut Brata yang beragama
Hindu. Karena keluar dari agama Islam maka menurut tergugat Inaq Illah tidak berhak
terhadap harta warisan. Pengadilan Agama Mataram dalam putusan tanggal 22 Februari
2006 menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya.28
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya
membatalkan putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut dan menetapkan ahli waris
Amaq Ruminah almarhum yaitu Sahabuddin, Aminullah, Haeriah, Lemin, Sajidin,
Marzuki, Saeniah, Asiah, Sapiah.29 Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menyatakan
bahwa Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum dan menolak permohonan
kasasi dari Inaq Illah dan lain-lainnya.30
Pengadilan Agama Selong (Lombok Timur) telah memeriksa sengketa warisan
dalam perkara Amaq Munasih et.al. v. Amaq Subur et.al. Bahwa yang menjadi pewaris
dalam perkara ini adalah almarhum Papuq Sap yang meninggal dunia tahun 1964 dan
isterinya Inaq Herman yang juga telah meninggal dunia tahun 1981. Pewaris
meninggalkan lima orang anak yaitu Amaq Inah, Inaq Samiah, Inaq Nang, Amaq
Kesim, Amaq Munasih, anak-anak itu semua telah meninggal dunia sehingga sekarang
yang menjadi ahli waris adalah cucu-cucunya. Pewaris meninggalkan pula dua bidang
tanah sawah yang luasnya 136 Are atau 1.340 ha. Tanah tersebut sekarang dikuasai oleh
para tergugat yang juga cucu pewaris almarhum. Penggugat yang juga cucu pewaris
meminta pembagain harta warisan tersebut.
2006.
2006.
28
29
30
15
2007.
33
34
16
17
1. Objek sengketa dalam surat gugatan berupa tanah sawah seluas 33 are yang telah
diperjual belikan oleh tergugat I kepada tergugat II harus diperhitungkan sebagai
harta bersama antara pewaris (H. Faturahman) dengan Raedah.
2. Objek sengketa tersebut juga harus dibagi dua antara pewaris (H. Faturahman)
dengan Raedah.
3. (seperdua) bagian pewaris (H. Faturahman) dari objek sengketa tersebut
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada para ahli warisnya.
4. Penyelesaian jual beli terhadap objek sengketa tersebut merupakan urusan antara
tergugat I dengan tergugat II.
5. Oleh karena objek sengketa merupakan harta bawaan harus ditetapkan sebagai harta
bawaan pewaris (almarhum H. Faturahman) yang harus dibagi waris dengan ahli
warisnya.
Mahkamah Agung akhirnya memutuskan, antara lain36 :
a. Menetapkan (seperdua) dari harta warisan merupakan hak Redah dan (seperdua)
lainnya menjadi hak almarhum H. Faturahman yang harus dibagi waris kepada ahli
warisnya.
b. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris H. Faturahman adalah sebagai berikut:
1. Redah (isteri) mendapat 1/8 dari seluruh harta warisan.
2. Rohin (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
3. Hj. Rehanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
4. H. Sajidi (anak laki-laki) 2/5 X 7/8 harta warisan.
5. Hj. Nurhasanah (anak perempuan) 1/5 X 7/8 harta warisan.
4. Penyelesaian Sengketa Warisan di Pengadilan Negeri
Walaupun masyarakat Sasak beragama Islam, mereka yang bersengketa soal
warisan tidak selalu pergi ke Pengadilan Agama, melainkan mencari keadilan ke
Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung Indonesia telah melakukan perubahan terhadap
hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam Inaq Rasini v. Amaq Atimah
et.al, (1978)37. Mahkamah Agung memutuskan bahwa sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), juga di
Lombok adilnya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini
36
37
18
penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak perempuan, mewarisi seluruh harta
peninggalan dari bapaknya.
Mahkamah Agung Indonesia sebelumnya telah melakukan perubahan terhadap
Hukum Adat Batak Karo di Sumatera Utara yang menganut garis keturunan patrilineal,
dalam perkara Sitepu v. Ginting (1961)38. Menurut Hukum Adat Batak Karo di
Sumatera Utara pada waktu itu, harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki
sesuai dengan masyarakat patrilineal. Namun Mahkamah Agung Indonesia dalam
tingkat kasasi telah memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri
Kabanjahe dan Pengadilan Tinggi Medan, dan menetapkan anak perempuan mendapat
warisan dalam perkara itu. Menurut Mahkamah Agung Indonesia, berdasarkan rasa
perikemanusian dan keadilan umum atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria
sebagai hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari
seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti, bahwa
bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan, maka juga di tanah Karo
seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima
bagian atas harta warisan dari orang tuanya. Putusan Mahkamah Agung ini semula
mengguncangkan masyarakat Batak Karo di Sumatera Utara, namun mendapat
sambutan hangat dari kaum wanita masyarakat tersebut. Putusan ini dianggap sebagai
tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan
kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membuat yurisprudensi baru
dalam soal warisan di Tapanuli (Sumatera Utara).
Kembali kepada Putusan Mahkamah Agung di Lombok dalam Inaq Rasini v.
Amaq Atimah et.al (1974), Mahkamah Agung mengutip putusannya dalam Ginting v,
Sitepu di tanah Karo, dengan mengatakan sebagaimana putusan Mahkamah Agung di
Batak Karo, maka wanita Sasak di Lombok juga adalah sebagai ahli waris dari orang
tuanya almarhum.
Kaum laki-laki suku Sasak yang saya tanya tentang putusan Mahkamah Agung
tersebut berpendapat bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut sudah adil dan tepat.
Pada zaman sekarang ini kaum wanita Sasak sudah ikut bekerja seperti kaum laki-laki
untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, maka sudah tepatlah bila wanita Sasak juga
menjadi ahli waris dari orang tuanya.39
38
39
19
Dalam kasus Inaq Supar et.al. v. Amaq Mali et.al. (1976)40, Makamah Agung
Indonesia kembali menyatakan bahwa perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya
almarhum. Dalam perkara ini Inaq Supar (wanita) dan Inaq Kamar (wanita) tinggal di
Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat telah mengajukan gugatan kepada
Amaq Mali (laki-laki), Amaq Sani (laki-laki), Amaq Su (laki-laki), dan Amaq Mulinah
(laki-laki). Duduk perkaranya adalah Amaq Siti (laki-laki) telah meninggal dunia dan
bersaudara kandung dengan Amaq Ipah (laki-laki) dan bersaudara sepupu dengan Amaq
Radiah. Kakek penggugat telah meninggalkan harta warisan berupa tanah sawah
sejumlah 1,060 ha yang dikuasai oleh tergugat I dan tanah kebun jumlahnya 1,225 ha
yang dikuasai oleh tergugat II, tergugat III, dan tergugat IV. Penggugat telah meminta
bagian dari tanah-tanah itu dengan baik-baik tetapi tidak dikabulkan. Pengadilan Negeri
Mataram dalam pertimbangan hukumnya, antara lain menyatakan, bahwa terhadap suku
Sasak di Lombok Barat berdasarkan yurisprudensi maupun kenyataan hukum adat yang
masih hidup menjadi dasar penyelesaian sengketa waris-mewaris. Bahwa menurut
Hukum Adat sekarang ini, diakui bahwa anak perempuan adalah ahli waris. Hal ini
dipertegas oleh hasil penelitian Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat tentang Hukum
Adat Waris di Lombok Barat bulan Pebruari 1974.
Terbukti bahwa Amaq Siti yang meninggal tahun 1956 tidak mempunyai
keturunan yang lain selain Le Siti yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Le Siti
sebelum meninggal telah kawin dan mempunyai dua anak perempuan bernama Inaq
Supar dan Inaq Kamar, para penggugat. Dengan demikian para penggugat adalah cucu
dari almarhum Amaq Siti. Bahwa sekiranya Le Siti masih hidup dan Amaq Siti
meninggal lebih dahulu, maka menurut Hukum Adat Sasak, Le Siti adalah satu-satunya
ahli waris dari almarhum Amaq Siti. Oleh karena para penggugat adalah cucu almarhum
Amaq Siti maka para penggugat adalah ahli waris yang sah dari Amaq Siti.
Para penggugat baik sejak hidupnya Amaq Siti dan setelah meninggalnya Ibu
penggugat (Le Siti), penggugat tidak pernah menikmati atau memanfaatkan harta-harta
peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, sehingga penggugat ahli waris yang berhak
atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut, keadaanya sangat menyedihkan.
Oleh karena itu dipandang sangat tidak adil, apabila penggugat yang semestinya berhak
atas harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut keadaanya menjadi terlantar,
karena sama sekali tidak menikmati harta peninggalan almarhum Amaq Siti tersebut.
40
20
Oleh karena tergugat telah cukup menikmati dan memanfaatkan harta peninggalan
almarhum Amaq Siti, yang bahkan dari harta-harta itu mereka dapat membeli tanahtanah sawah baru, maka pengadilan berpendapat bahwa sangat adil kalau masa
menikmati atau memanfaatkan harta peninggalan almarhum Amaq Siti sehingga dapat
membeli tanah sawah sendiri dari hasil harta-harta peninggalan almarhum tersebut
sebagai bagian dari tergugat, sehingga terhadap seluruh harta peninggalan almarhum
Amaq Siti, para tergugat tidak berhak lagi dan harus menyerahkan kembali tanah-tanah
sengketa dalam perkara ini kepada para penggugat sebagai ahli waris sah dari almarhum
Amaq Siti yang berhak memiliki tanah-tanah sengketa tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat harus
dikabulkan. Akhirnya Pengadilan Negeri Mataram menyatakan, oleh karena sengketa
ini adalah masalah hak, yakni berdasarkan pertimbangan tersebut di atas bahwa
penggugat adalah yang berhak dan pemilik atas tanah sengketa ini.
Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding dalam putusannya tanggal 27
Juni 1977 menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, dan menyatakan bahwa
para penggugat adalah ahli waris dari Amaq Siti.41
Mahkamah Agung Indonesia pada tingkat kasasi menyatakan bahwa Pengadilan
Tinggi Denpasar tidak salah menerapkan hukum dan memperkuat putusan tersebut,
artinya para penggugat yakni Inaq Supar dan Inaq Kamar berhak atas tanah warisan
itu.42
Pengadilan Negeri Selong pada tahun 1977 dalam perkara Baiq Fadlah et.al., v.
Baiq Saeah menyatakan bahwa penggugat dan tergugat sebagai anak perempuan berhak
mewaris dengan mendapat setengah bagian yang menurut Hukum Adat Sasak disebut
sepersonan. Duduk perkaranya adalah Baiq Fadlah dan Lalu Ahmad yang tinggal di
Desa Labuhan Lombok Timur menggugat saudaranya Baiq Saeah yang tinggal di
daerah yang sama. Sengketa ini bermula dari meninggalnya Ibu para penggugat dan
tergugat dengan meninggalkan beberapa bidang tanah sawah dan tanah kebun. Setelah
40 hari upacara kematian Ibu mereka pada tahun 1977, ternyata baru diketahui tanah
sawah yang jumlahnya 5,670 ha dan tanah kebun seluas 2,200 ha telah dihibahkan oleh
Ibu mereka sebelum meninggal dunia atas bujuk rayuan tergugat, Baiq Saeah tanpa
pengetahuan para penggugat. Para penggugat dengan demikian tidak mendapat harta
warisan. Para penggugat minta kepada Pengadilan Negeri agar memberikan putusan
41
42
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar, No. 102 /PTD/1977/Pdt., tanggal 27 Juni 1977.
Putusan Mahkamah Agung Indonesia, No. 853 K/Sip/1978, tanggal 29 April 1981.
21
yang adil. Menurut para penggugat berdasarkan Hukum Adat Sasak pihak laki-laki
mendapat sepelembah atau 2 bagian dan pihak perempuan mendapat sepersonan atau
satu bagian. Tergugat menjawab bahwa menurut Hukum Adat Sasak perempuan tidak
mendapat warisan dan hibah itu diberi dengan keikhlasan Ibunya sendiri yang
dirawatnya selama sakit. Pengadilan Negeri Selong dalam putusannya menyatakan
bahwa menurut azas hukum yang umum, suatu hibah tidak boleh merugikan ahli waris
yang berhak. Sehingga dengan demikian surat hibah itu dibatalkan oleh pengadilan dan
para penggugat dinyatakan sebagai ahli waris juga. Pengadilan Negeri Selong membagi
harta warisan tersebut sepelembah sepersonan atau dua bagian untuk anak laki-laki
dan satu bagian untuk anak perempuan.
Pengadilan Tinggi Denpasar pada tingkat banding menguatkan putusan
Pengadilan Negeri tersebut.43 Mahkamah Agung Indonesia memperkuat putusan
Pengadilan Tinggi Denpasar karena sudah sesuai dengan Hukum Adat setempat.44
Pada tahun 1982, Putusan Pengadilan Negeri Selong menyatakan bahwa wanita
Sasak tidak saja sebagai ahli waris, tetapi juga mendapat bagian yang sama dengan
kaum laki-laki sepertinya mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Sasak di
Lombok. Dalam perkara Inaq Sanah et.al v. Kadirun et.al (1982)45, Pengadilan Negeri
Selong di Lombok Timur menyatakan perlu dikaji latar belakang sosiologis keadaan
Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, khususnya mengenai Hukum Waris Adat di
daerah Lombok Timur. Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga di daerah ini,
khususnya warga masyarakat persekutuan adat suku Sasak di Pulau Lombok, bahwa
didalam tiga dasawarsa terakhir ini telah terjadi banyak kemajuan yang telah dicapai
didalam hidup dan kehidupan mereka baik di bidang sosial, ekonomi, budaya,
pendidikan, dan lain sebagainya. Menurut Pengadilan Negeri Selong lagi, kemajuankemajuan di atas ternyata telah banyak berpengaruh terhadap pola dan cara berpikir
anggota masyarakat adat suku Sasak. Pengadilan Negeri Selong berpendapat, kita dapat
melihat status dan derajat wanita telah mengalami perubahan-perubahan, yaitu menjadi
setarap dan sejajar dengan kaum lelaki. Kesempatan yang sama diberikan untuk
memperoleh pendidikan antara anak laki-laki dan anak wanita, kemudian diikuti pula
dengan kesempatan dan hak yang sama dalam memperoleh lapangan pekerjaan dan
sebagainya. Maka bukan hal yang aneh lagi berbagai jabatan dan profesi juga terisi oleh
43
22
wanita-wanita suku ini. Logis dan sudah sewajarnyalah diikuti pula dengan hak dan
kedudukan yang sama dalam hukum, khususnya dalam Hukum Waris.
Menurut Pengadilan Negeri Selong, merupakan suatu ilusi yang kosong jika ada
sementara anggapan yang mau dan akan tetap mempertahankan pola dan nilai-nilai
hidup sebagaimana tercermin didalam ketentuan Hukum Adat lama yang telah usang,
ketinggalan zaman, yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan
masa sekarang dan tidak pula sesuai dengan rasa keadilan hukum dari masyarakat Sasak
sendiri di zaman sekarang. Kalaupun ada yang beranggapan nilai-nilai hukum Waris
lama itu masih tetap hidup dan tetap terpelihara, itu hanya hidup dalam pola berpikir
sementara orang-orang yang mempunyai pamrih material semata-mata yang ingin
mendominier harta warisan untuk diri sendiri tanpa memberikan hak waris kepada anak
wanita atau saudara-saudara wanitanya.
Pengadilan Negeri Selong mengutip pula penelitian Perkembangan Hukum Adat
Suku Sasak yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Mataram pada tahun
1979. Sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok, khususnya di daerah Kecamatan
Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris Adat
khususnya tentang kedudukan anak wanita. Jika menurut Hukum Adat yang lama anak
wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris barang-barang tidak bergerak
seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui dimana kedudukan
wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan peninggalan orang
tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
Keadaan-keadaan di atas mau tidak mau haruslah ditafsir sebagai telah terjadi
pergeseran pola berpikir di kalangan warga suku ini kearah kemajuan (modernisasi).
Dari realita-realita yang terjadi di dalam masyarakat adat tersebut di atas, maka secara
filosifis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan kedudukan antara anak laki-laki
dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita tidak lagi sebagai selalu
berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya mempunyai harkat dan
martabat yang sama.
Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat tersebut ternyata diikuti pula dengan perkembangan akan kebutuhan hukum.
Di dalam masyarakat adat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilainilai hukumnya.
23
24
mewarisi tanah sawah dan kebon sengketa peninggalannya, dalam hal ini kepada
penggugat dan tergugat, bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak wanita.
Cara yang tepat untuk melakukan pembagian warisan atas tanah sengketa adalah
dengan terlebih dahulu mengangkat kembali ke posisi semula dari si peninggal warisan
(almarhum Amaq Seniah). Setelah itu baru dibagi sama terhadap semua anak-anak
kandungnya, dan selanjutnya masing-masing bagiannya diteruskan kepada turunan
berikutnya menurut garis ke bawah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan pada
akhirnya memperoleh kesimpulan, bahwa pihak penggugat telah dapat membuktikan
dalil gugatannya. Oleh karena itu gugatan penggugat sudah selayaknya dikabulkan.
Pengadilan Negeri Selong akhirnya menetapkan dan mensahkan para penggugat
dan para tergugat, kedua pihak adalah ahli waris dari almarhum Amaq Seniah dan
berhak mewaris tanah sawah dan kebun sengketa tersebut dengan pembagian yang
sama.
Pada tingkat banding Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengambil alih
pertimbangan dan kesimpulan hakim Pengadilan Negeri Selong, menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Selong tersebut.46 Pada tingkat kasasi pemohon-pemohon kasasi
dahulu para tergugat menyatakan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri Selong dan
Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan alasan :
1. Di Pulau Lombok, di Lombok Timur khususnya di Kecamatan Sukamulia, di desa
Padamara seorang wanita bukanlah sebagai ahli waris, karena menganut sistem
perkawinan yang ditarik dari garis keturunan laki-laki sebab menganut sistem
Patrilineal. Wanita tidak bisa mewarisi harta pusaka yang berasal dari orang tua baik
berupa tanah sawah maupun tanah kebun. Wanita hanya bisa mewarisi terbatas pada
harta benda yang bergerak, misalnya, perhiasan-perhiasan dan barang-barang
kebutuhan sehari-hari.
2. Dasar putusan hakim yang menyamakan kedudukan seorang wanita dan laki-laki ini
hanya berpatokan kepada kemajuan zaman saja. Menurut pemohon-pemohon kasasi
dahulu para tergugat, bagaimanapun kemajuan zaman, kaum wanita tidak bisa
menjadi Kepala Keluarga dan untuk ini selalu dipegang oleh kaum pria. Atas dasar
ini pula maka timbullah suatu perbedaan hak mewaris yang berhubungan dengan
harta pusaka.
46
25
3. Bila ditinjau lebih jauh, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah bertentangan
dengan hukum waris yang diatur dalam Kitab Al quran surat An Nissa ayat 11, dan
bertitik tolak dari kedua sumber hukum tadi yaitu baik ditinjau dari Hukum Adat
maupun Hukum Islam, maka Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah salah
menerapkan hukum materialnya, apalagi di Lombok Timur. Khususnya di desa
Padamara masih kuat berlaku Hukum Adat maupun Hukum Islam sampai sekarang
dan perlu pemohon-pemohon kasasi dahulu para tergugat menjelaskan bahwa
Hukum Waris yang dipergunakan untuk membagi harta warisan yang dipakai adalah
Hukum Adat.
Mahkamah Agung tidak dapat membenarkan keberatan-keberatan tersebut.
Berdasarkan apa yang dipertimbangkan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak
salah menerapkan hukum.47
Setelah putusan Mahkamah Agung itu keluar, gugatan-gugatan perkara waris
lainnya yang dibawa kaum wanita bertambah ke Pengadilan Negeri di Lombok.48
5. Kesimpulan
Masyarakat Sasak dalam hal mewaris terbagi atas tiga macam yaitu pertama,
mereka yang tetap patuh kepada Hukum Adat Tradisional yang bercirikan sistem
patrilineal murni. Pada masyarakat ini, kaum wanita tidak mendapat warisan. Walaupun
golongan ini sudah dalam jumlah yang kecil, misalnya, seperti penduduk desa Sade
(Lombok Tengah), tetapi sistem ini masih tetap berlaku di desa tersebut. Kedua,
golongan masyarakat yang tetap patuh kepada Hukum Islam, dimana wanita mendapat
satu bagian berbanding dua bagian untuk pria. Pengadilan Agama di Lombok selalu
memegang teguh pembagian warisan menurut Hukum Islam ini. Mahkamah Agung
dalam putusan-putusannya belum ada yang mengubah pembagian warisan yang
dilakukan oleh Pengadilan Agama ini pada tingkat kasasi. Mahkamah Agung
kelihatannya berhati-hati benar bila berhadapan dengan Hukum Islam yang bersumber
kepada Quran dan Hadist. Ketiga, golongan masyarakat Sasak yang beragama Islam
tetapi membawa sengketa warisannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam
suatu putusannya berpendirian bahwa telah terjadi perubahan sosial di Lombok terhadap
kaum wanita. Sekarang ini menurut Pengadilan Negeri dalam putusan tersebut, hak
wanita dan pria adalah sama. Pernah Pengadilan Negeri di Selong memutuskan hak
47
48
26
wanita dan pria itu dalam mewaris adalah sama, satu berbanding satu. Putusan ini
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Dengan demikian
pemeriksaan tingkat kasasi dari putusan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan
Agama tingkat pertama, Mahkamah Agung tetap mengikuti Hukum Islam. Akan tetapi
pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap perkara waris yang datang dari
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri sudah menerapkan putusan bahwa wanita dan
laki-laki mempunyai hak yang sama, satu berbanding satu. Dalam masyarakat Sasak
sendiri sudah terjadi laki-laki yang kasihan kepada adik perempuannya yang miskin,
sehingga adiknya itu mendapat harta warisan lebih besar. Ada juga bapak yang lebih
sayang kepada anak perempuannya sehingga sewaktu ia hidup telah memberikan
hartanya (hibah) kepada anak perempuannya tersebut.
Perubahan hukum berlangsung secara kualitatif dan bukan kuantitaitf. Artinya
satu putusan Mahkamah Agung saja pada permulaan, berarti telah terjadi perubahan
hukum, seperti putusan Mahkamah Agung pada masyarakat Batak Karo di Kabanjahe.
Dapat dikatakan, pluralisme hukum dalam mewaris bagi wanita Sasak Lombok telah
terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini.
________
27