Ibu
Ny. ST
35 tahun
SMA
Ibu Rumah Tangga
Ayah
Sumardi
37tahun
SMA
Pegawai Swasta
saat berkemih. Batuk berdahak, dahak tidak dapat dikeluarkan, nafsu makan OS mulai
berkurang.
Tiga hari SMRS, OS masih demam sama seperti hari-hari sebelumnya. OS juga mual,
muntah-muntah, nyeri ulu hati, batuk berdahak, dan OS mulai mencret-mencret. OS muntah
dengan frekuensi 4-5 kali sehari, muntahan berisi sisa makanan dan cairan dengan volume tiga
perempat gelas aqua, tidak ada lendir, tidak ada darah. OS mencret dengan frekuensi 3-4 kali
sehari, konsistensinya cair, berampas, tidak ada darah, tidak ada lendir, kira-kira sebanyak 1
gelas aqua.
2 hari SMRS, keluhan sudah berkurang namun demam masih dirasakan turun-naik dan
OS masih merasakan mual dan muntah 1 kali isi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah, volume
muntahan setengah gelas aqua. Selain itu OS juga masih mencret 3 kali, cair, hanya berisi air
saja, tidak ada darah, tidak ada lendir, volumenya gelas aqua, serta lidah terasa pahit, dan
masih batuk berdahak.
Satu hari SMRS OS berobat ke IGD karena demam tinggi lagi pada malam hari dan OS
sampai menggigil dan keluar keringat dingin, tapi tidak kejang. OS juga masih batuk berdahak,
nyeri saat menelan, mual, muntah 3 kali isi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah, volume
muntahan 1 gelas aqua dan terdapat nyeri ulu hati, keluhan mencretnya sudah berkurang, OS
BAB 2x, sedikit encer, tidak ada lendir, tidak ada darah, volumenya gelas aqua. OS tidak
mau makan.
Menurut ibu OS, tidak pernah terlihat adanya tanda-tanda perdarahan seperti mimisan,
gusi berdarah atapun muncul ruam merah pada tubuh OS. Tetangga dan orang yang serumah
dengan OS tidak ada yang mengalami gejala yang sama. Tidak ada riwayat berpergian keluar
kota, tidak ada riwayat alergi obat ataupun makanan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sepsis
(-)
Meningoencephalitis (-)
Kejang Demam
(-)
Tuberkulosis (-)
Pneumonia
(-)
ISK
(-)
Asma
(-)
Alergic Rhinitis
(-)
Amoebiasis
(-)
Polio
(-)
Difteri
(-)
Sindrom Nefrotik
(-)
Diare akut
(-)
Diare kronis
(-)
Disentri
(-)
Kolera
(-)
Tifus abdominalis
(-)
DHF
(-)
Cacar air
(-)
Campak
(-)
Batuk rejan
(-)
Tetanus
(-)
Glomerulonephritis
(-)
(-)
Batuk pilek
(+)
Operasi (-)
Lain-lain:
Kecelakaan(-)
Ya
Tidak
Hubungan
Note :
: ibu
: ayah
: anak pertama (laki-laki)
(7 tahun) (2 tahun)
: pasien
:
:
: Tidak ada.
Tempat Kelahiran
: Rumah Bersalin
Keadaan Bayi
Cara Persalinan
Masa Gestasi
: 38 minggu
: 2900 gram
: Tidak ingat
Kelainan Bawaan
NILAI APGAR
: Tidak diketahui, menurut Ibu OS, bayinya langsung menangis saat lahir,
: Usia 7 bulan
: Usia 20 bulan
: Usia 5 bulan
Duduk
: Usia 7 bulan
Berdiri sendiri
: Usia 12 bulan
Susu
Makanan padat
Makanan sekarang
Variasi
Jumlah
Frekuensi
Nafsu makan
: ASI eksklusif
: Mulai usia 6 bulan, diberi bubur saring
: 3 kali makanan utama, dan snack di sela-sela waktu makan.
: Cukup beragam (nasi, 3-4 lauk (ayam, ikan, telur, sayuran))
: 1 piring kecil
: 2-3 kali sehari
: Baik
Riwayat Imunisasi
VAKSIN
DASAR
ULANGAN
(Umur)
Hepatitis B
(Umur)
6
DPT/DT
bulan
2
bulan
4
bulan
6
Polio
bulan
0
bulan
2
bulan
4
tahun
2
bulan
bulan
bulan
bula
tahun
n
Campak
BCG
bulan
2
bulan
Data Antropometri
Panjang badan
: 85 cm
Berat badan
: 11 Kg
BB/U
PB/U
BB/PB
IMT/U
Usia
: 2 tahun 3 bulan
Kesadaran
: Compos mentis
Tinggi Badan
: 85 cm
Berat Badan
: 11 kg
IMT
: 15,27 kg/m2
Nadi
Suhu
: 38,3 oC
Pernafasaan
: 22 x/menit, reguler
Keadaan gizi
: Baik
Sianosis
: Tidak ada
Udema umum
: Tidak ada
Kulit
Warna
: Kuning langsat
Jaringan Parut
: Tidak ada
Pigmentasi
: Tidak ada
: Lembab
Suhu Raba
: Hangat
Pembuluh darah
Keringat
Turgor
: Kembali cepat
Ikterus
: Tidak ada
Lapisan Lemak
: Merata
Oedem
: Tidak ada
Leher
Supraklavikula
Ketiak
Lipat paha
Kepala
Ekspresi wajah
: Tampak lemas
Simetri muka
Rambut
Mata
Exophthalamus
: Tidak ada
Enopthalamus
: Tidak ada
Kelopak
Lensa
: Jernih
Konjungtiva
: Tidak anemis
Visus
: Normal
Sklera
: Tidak ikterik
Gerakan mata
Lapangan penglihatan
: Normal
: N+
Telinga
Tuli
: Tidak ada
Liang telinga
Penyumbatan
: Tidak ada
Perdarahan
: Tidak ada
Cairan
: Tidak ada
Mulut
Bibir
Tonsil
: T2-T2, hiperemis
Langit-langit
Bau pernapasan
: Fetor odor
Gigi geligi
Trismus
: Tidak ada
Faring
: Hiperemis
Lidah
Sariawan
: Tidak ada
Leher
Kelenjar Tiroid
Kelenjar Limfe
Dada
Bentuk
: Simetris kanan dan kiri, sela iga tidak mencekung atau mencembung
Paru Paru
Inspeksi
Palapasi
Kiri
Anterior
Simetris saat statis dan dinamis
Posterior
Simetris saat statis dan dinamis
Kanan
Kiri
Perkusi
Auskultasi
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Kanan
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di sela iga 4 garis mid-clavicularis kiri
Perkusi :
Batas atas
Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi:
Katup Mitral
: BJ I > BJ II, murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Katup Trikuspid
: BJ I > BJ II, murni reguler, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Katup Aorta
Katup Pulmonal
Perut
Inspeksi: Bentuk perut datar, tidak terlihat lesi kulit.
Palpasi
Dinding perut : Supel, ada nyeri tekan di regio epigastrium, benjolan atau massa tidak
ada, defense muscular tidak ada.
Hati
Perkusi
Auskultasi
Lengan
Kanan
Kiri
Otot
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
Lain-lain
CRT < 2s
CRT < 2s
Kanan
Kiri
Tidak ada
Tidak ada
Varises
Tidak ada
Tidak ada
Tonus
Normotonus
Normotonus
Massa
Eutrofi
Eutrofi
Sendi
Gerakan
Aktif
Aktif
Kekuatan
Oedem
Tidak ada
Tidak ada
Lain-lain
Akral hangat
Akral hangat
Otot
Refleks
Kanan
Kiri
Refleks Tendon
Positif
Positif
Bisep
Positif
Positif
Trisep
Positif
Positif
Patela
Positif
Positif
Achiles
Positif
Positif
Refleks patologis
Negatif
Negatif
Pemeriksaan Neurologis
Tingkat Kesadaran
: GCS 15
Delirium
: Tidak ada
: Kaku kuduk (-), Kernig Sign (-), Brudzinsky Sign (-), Laseque
Sign (-)
Saraf Kranialis I-XII
Refleks Patologis
: Babinsky -/-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal
Darah Rutin
Hemoglobin
Jumlah Leukosit
Hematokrit
Jumlah Trombosit
Hasil
8,7
4000
29,4
343000
Satuan
g/dL
/mm3
%
ribu/uL
Nilai Rujukan
10.7 14.7
5000 145000
32.0 47.0
150000 450000
Imunoserologi
WIDAL
S. typhi O
S. typhi H
S. paratyphi A-O
S. paratyphi B-O
S. paratyphi C-O
S. paratyphi A-H
S. paratyphi B-H
S. paratyphi C-H
Hasil
(+) 1/80
(+) 1/80
(-) Negatif
(+) 1/160
(-) Negatif
(+) 1/160
(+) 1/160
(-) Negatif
Rujukan
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
(-) Negatif
Resume
Seorang anak berusia 2 tahun 3 bulan dengan keluhan demam sejak 6 hari SMRS. Sejak 6
hari SMRS, pasien demam naik-turun. Demam lebih tinggi terutama pada sore sampai malam
hari dan disertai dengan menggigil dan keringat dingin. OS juga mengeluh mual, muntah 4-5 kali
isi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah, volume muntahan tiga perempat gelas aqua dan
nyeri di bagian ulu hati. OS sempat mengalami diare selama 3 hari, dengan frekuensi 3-4 kali
sehari, konsistensinya cair, berampas, tidak ada darah, tidak ada lendir, kira-kira sebanyak 1/2
gelas aqua. Nafsu makan mulai berkurang dan OS mulai tampak lesuh, selama sakit BAK OS
masih sering yaitu 4 kali sehari, warna kuning muda, tidak ada nyeri saat berkemih. OS juga
mengalami batuk berdahak, tetapi dahaknya tidak dapat dikeluarkan. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan adanya fetor odor, coated tongue, dan nyeri tekan epigastrium. Dari hasil pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil pemeriksaan lab hematologi ditemukan leukopeni dan hasil tes
imunoserologi Widal (+) yang mendukung diagnosa demam tifoid.
Diagnosis Kerja
Demam tifoid
Dasar Diagnosis :
Berdasarkan anamnesis OS mengalami demam yang naik turun sejak 6 hari SMRS,
demam terutama tinggi pada sore-malam hari disertai dengan menggigil, mual, dan muntah.
Selain itu, OS juga mengalami diare selama 4 hari dan merasakan nyeri di perut terutama di ulu
hati. Ibu OS juga diketahui memiliki personal higiene yang rendah yaitu tidak mencuci tangan
sebelum menyiapkan makanan untuk OS, dan sering membeli makan di luar untuk OS.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya fetor odor, coated tongue, dan nyeri tekan epigastrium.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan lab hematologi ditemukan
leukopeni, dan serologi Widal S. typhi O (+) 1/80, S.typhi H 1/80 (+), S. Paratyphi B O 1/160
(+), S. Paratyphi A H 1/160 (+), S. Paratyphi B H 1/160 (+) yang mendukung diagnosis
demam tifoid.
Tonsilofaringitis Akut
Dasar Diagnosis :
Pada anamnesis Os mengeluh batuk berdahak 5 hari SMRS kemudian pada pemeriksaan fisik
ditemukan faring yang hiperemis, tonsil yang membengkak T2-T2 dan hiperemis.
Diagnosa Banding
-
Dengue Fever
Malaria
Darah Rutin
Kultur darah
Kultur feses
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
-
Tirah baring
Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Diet makanan lunak
Medika Mentosa
-
Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: bonam
Ad sanationam
: bonam
Edukasi
-
Tidak jajan di pinggir jalan, usahakan makan makanan dari rumah yang dicuci dengan
Follow up
Tanggal 28 Juni 2016 pukul 05.00 wib
S
: Masih demam, sulit tidur, tidak mual, tidak muntah, nyeri ulu hati masih ada, ada batuk
berdahak, terdapat nyeri saat menelan, tidak mau makan, BAB dan BAK normal.
O
: TSS CM HR 110/menit
-
Mata
Bibir
Mulut
Thoraks pulmo
- Cor
: Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
: Supel, bising usus normoperistaltik, ada nyeri tekan epigastrium,
organomegali tidak ditemukan.
- Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < 2s
A
: Demam Tifoid
- P : IVFD ringer laktat 10 tpm
- Inj. Cefotaxime 3 x 500 mg
- Ambroxol 3x1 cth
- Elkana 2x1 cth
- Infus Paracetamol 3x1 cth
Pemeriksaan Penunjang:
Hb 9,2 g/dL
Leukosit 8000/ mm3
Ht 30 %
Trombosit 308.000 ribu/uL
: Bebas demam H 1, masih sulit tidur, tidak mual, tidak muntah, nyeri ulu hati sudah
tidak ada, masih batuk berdahak, masih terdapat nyeri saat menelan, tidak mau makan, BAB dan
BAK normal.
O
: HR 100/menit
TSS
CM
- Mata
: sklera ikterik tidak ada, konjungtiva tidak anemis
- Bibir
: kering, pecah-pecah
- Mulut
: faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis
- Thoraks pulmo
: Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Cor
: Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
: Supel, bising usus normoperistaltik, nyeri tekan epigastrium tidak
ada, organomegali tidak ada.
- Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < 2s
A
: Demam Tifoid
: Bebas demam H 2, batuk berdahak berkurang, nyeri saat menelan berkurang, mau
: HR 114/menit
Mata
Bibir
TSS
CM
- Mulut
: faring hiperemis, tonsil T2-T2, mukosa lidah basah
- Thoraks pulmo
: Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Cor
: Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
: Supel, bising usus normoperistaltik, nyeri tekan epigastrium tidak
ada, organomegali tidak ada.
- Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < 2s
A
: Demam Tifoid
: Th/ lanjut
: Bebas demam H 3, sudah tidak ada keluhan, sudah mau makan. BAB dan BAK normal.
: HR 110/menit
- Mata
: sklera ikterik tidak ada, konjungtiva tidak anemis
- Bibir
: sedikit kering
- Mulut
: mukosa lidah basah, faring tidak hiperemis, tonsil T2-T2 tenang
- Thoraks pulmo
: Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Cor
: Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
: Supel, bising usus normoperistaltik, nyeri tekan epigastrium tidak
ada, organomegali tidak ada.
- Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < 2s
A
: Demam Tifoid
: Pasien dipulangkan
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah.1
Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia
tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.2
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis
sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3
bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri)
dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).2
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas.2 Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya
masih sangat luas sehingga sukar didiagnosis. Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia
disebabkan oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. parathypi. Keduanya merupakan
bakteri Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. 4
Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun
di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.2
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es,
debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup
kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(temp 63oC).2
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).2
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.2
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multiple antibiotik.2
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch, (2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ
ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan
(4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan
menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri
kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut Peyers
patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika
hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotelial
(hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air
ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia II)
dan menginvasi organ lain, baik intra maupun ekstraintestinal.3
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch merupakan tempat
internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES
di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.2
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal.
Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde
dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.2
Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik.2
Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji hambatan migrasi leukosit.
Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja,
tanpa memasuki epitel pejamu.2
Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan
faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.2
-
Stadium evolusi: demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama.
Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada
dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).3
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi,
gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus
atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.5
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit
kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus.2,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pda
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan
lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa
demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut dan delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma.2
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan
klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai
penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan
cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien
dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak
dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih
banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.2
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 710 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardia
relatif jarang dijumpai pada anak. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai
dengan peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 1C diikuti oleh peningkatan denyut
nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 1C
tidak diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.2
Penyulit (Komplikasi)
-
Peritonitis dan perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah,
nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau menghilang, ditemukan defans
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus
pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit,
walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan
suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh
nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang
menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muscular,
hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.2
Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi
gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain
adalah thrombosis serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer
maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillan-Barre. Dari berbagai penyulit
neurologic yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).2
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).2
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada
saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit
demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravascular diseminata,
hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia
misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.2
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens,
saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan
antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan
lebih singkat.2
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.6
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting
di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan
diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala
klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama
pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium
untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.7
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat,
mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini
penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi
penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat
menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan
kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.7
-
kasus berat);3,6
Peningkatan laju endap darah;3
Peningkatan enzim transaminase;3
Serologi: serologi Widal terjadi kenaikan titer S.typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens); kadar IgM dan IgG (Typhi-dot) / antibody
perjalanan penyakit; biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.6
Pemeriksaan radiologi: rontgen toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia,
rontgen abdomen bila dicurigai terjadi komplikasi intraintestinal (peritonitis, perforasi
usus atau perdarahan saluran cerna). Pada perforasi usus tampak distribusi udara tidak
merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, udara bebas pada
abdomen.3,6
Gambaran Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal
atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.8
Anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada
sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/uL 3. Apabila terjadi abses
piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL3. Trombositopenia
sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.2
Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.4
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.4
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 24 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan
sudah
mendapatkan
terapi
antibiotika
sebelumnya.
Media
pembiakan
yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.4,8
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.3,4,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah
dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.7
Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan
ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam
tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX ; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4)
metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.7
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).8
-
Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.7,8
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.7,8
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada
kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.7
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.8
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
- Tes Tubex
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.7
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.7,8
Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian
yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Diagnosa Banding6
Dengue fever merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus
flavivirus. Famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN3, dan DEN-4. Dan ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti, atau Aedes
allbopictus.setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, penderita akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot,
pegal seluruh badan, faring yang hiperemis, dan kelainan yang mungkin timbul pada
sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar getah bening, hati, dan limpa.
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebabkan oleh
parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk
aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.
Keluhannya berupa demam hilang timbul, pada saat demam hilang disertai dengan
menggigil, berkeringat, dapat disertai dengan sakit kepala, nyeri otot dan persendian,
Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4
hari.
Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Deksametason 10-3 mg/kgBB/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan
antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella
typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.2
perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan
untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan
perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan
intervensi bedah.2
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral ditambah dengan
probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat
kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan
setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari,
setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis per oral
selama 30 hari.2
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam
tifoid serangan pertama.2
Indikasi Rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.6
a. Cairan dan Kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori
-
cukup.
Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus.
Pemantauan
Terapi6
-
Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.2
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 oC untuk beberapa menit
atau dengan proses iodinasi/klorinasi.2
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan
angka kejadian demam tifoid.2
Jadi pada kasus ini diare yang terjadi merupakan kesatuan gejala klinis yang digambarkan dari
demam tifoid itu sendiri.
OS juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan anoreksia. Hal ini sesuai dengan gejala
sistemik yang menyertai timbulnya demam tifoid. Oleh sebab itu dari anamnesis, dapat dilihat
bahwa apa yang dialami OS sesuai dengan gambaran gejala klinis pada demam tifoid.
Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan lab hematologi ditemukan
leukopeni, dan serologi Widal S. typhi O (+) 1/80, S.typhi H 1/80 (+), S. Paratyphi B O 1/160
(+), S. Paratyphi A H 1/160 (+), S. Paratyphi B H 1/160 (+) yang mendukung diagnosis
demam tifoid.
Daftar Pustaka
1. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Ed 16. Philadelphia: WB Saunders; 2000.h.842-8.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.h.338-45.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.h.74-5.
4. Diagnosis of typhoid fever. Dalam: Background document: The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003.h.7-18.
5. Darmowandowo D. Demam tifoid. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya: Surabaya Intellectual Club; 2003.h.19-34.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2009.h.47-9.
7. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam tifoid. Dalam: Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan. Ed 1. Jakarta: Salemba Medika;
2002.h.1-43.
8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.