Anda di halaman 1dari 14

~ Pemanfaatan Batubara Untuk PLTU

Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah satu
diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk
memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran telah
dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat ini juga
akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang diharapkan akan
dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang terus meningkat.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik memang dapat
menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun dampak pencemaran
yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya mendapat perhatian yang seksama,
agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhnya.
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon monoksida),
NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa
karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan
hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan
segala efek sampingannya.
Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga
dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan
konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan
konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah masuk
ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun melalui rantai
makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif.
Polutan radioaktif yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada
umumnya adalah cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat
dikatakan bahwa pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di
lingkungan, bukan hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang industri,
maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V telah
meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun. Laju
pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di Asia

yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik
dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus
meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk
menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU
dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen.
Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat dilihat dari data yang diperoleh
dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia adalah
sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di Kalimantan sekitar
11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang
benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tercermin dari
kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik di Indonesia (data diperoleh dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa pemakaian
batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar meningkat dan hal ini
sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai kemungkinan dampaknya
terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan konvensional akibat pembakaran
batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar terhambur bersama-sama dengan
polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen),
SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke udara sebagai
bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.

Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik, karena
selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di atas, ternyata
juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan partikel-partikel
radioaktif.
Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang terjebak
dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang
menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan gas
emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena unsur
radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon
yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada
zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi
terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu.
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan
masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara
muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang
terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan
menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat
pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan hasil emisi
batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat banyak dan ini
tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil penelitian terakhir
menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan pencemar udara
lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak polutan radioaktif yang ke
luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif yang tampak pada Tabel 3.

Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam berat
yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang berdampak
buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi paparan radiasi,
radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi eksterna dan interna
terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari Polonium-210 sampai
dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap tubuh manusia. Bahaya
radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada di luar tubuh manusia tetap
dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau sampai masuk ke dalam tubuh
manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat

pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila dilihat
dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1 sampai
degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas sangat tinggi,
sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok
radiotoksisitas rendah.
Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah, namun
kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas alam yang dapat menurunkan
(meluruh/beranak-cucu) sampai banyak. Thorium-232 akan menurunkan 11 unsur radioaktif
alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-208, sedangkan Uranium-238 akan menurunkan 17
unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-206. Sedangkan Karbon-14 yang ke
luar dari batubara dapat berupa abu karbon (fly ash) atau dalam bentuk gas CO2 dan senyawa
hidrokarbon lainnya, akan tetapi atom karbonnya adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon14 termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D} tidaklah
hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang menyebabkan
timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel pencemar udara saja, akan
tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah satu
diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk
memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran telah
dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat ini juga
akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang diharapkan akan
dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang terus meningkat.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik memang dapat
menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun dampak pencemaran
yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya mendapat perhatian yang seksama,
agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhnya.
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon monoksida),
NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa
karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan
hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan
segala efek sampingannya. Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti
tersebut di atas, ada juga dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama

dengan polutan konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana
halnya polutan konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun
melalui rantai makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif
yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan
kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah
cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa
pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan
hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang industri,
maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V telah
meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun. Laju
pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di Asia
yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik
dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus
meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk
menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU
dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen.
Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat dilihat dari data yang diperoleh
dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia adalah
sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di Kalimantan sekitar
11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang
benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tercermin dari
kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik di Indonesia (data diperoleh dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa pemakaian
batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar meningkat dan hal ini
sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai kemungkinan dampaknya
terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan konvensional akibat pembakaran
batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar terhambur bersama-sama dengan

polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen),
SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke udara sebagai
bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.

Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik, karena
selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di atas, ternyata
juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan partikel-partikel
radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang
terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang
menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan gas
emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena unsur
radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon
yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada
zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi
terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu. Batubara
masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan masih
terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih terbentuk
batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara muda juga
masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang terbentuk
jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan menjebak unsur
radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di dalam batubara
tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan hasil emisi
batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat banyak dan ini
tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil penelitian terakhir
menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan pencemar udara
lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak polutan radioaktif yang ke
luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif yang tampak pada Tabel 3.

Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam berat
yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang berdampak
buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi paparan radiasi,
radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi eksterna dan interna
terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari Polonium-210 sampai
dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap tubuh manusia. Bahaya
radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada di luar tubuh manusia tetap
dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau sampai masuk ke dalam tubuh
manusia. Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya
kalau hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang
sangat pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila
dilihat dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1
sampai degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas
sangat tinggi, sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah. Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk
kelompok radiotoksisitas rendah, namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk
radioaktivitas alam yang dapat menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak.
Thorium-232 akan menurunkan 11 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal208, sedangkan Uranium-238 akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan satu unsur
stabil yaitu Timbal-206. Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara dapat berupa abu
karbon (fly ash) atau dalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon lainnya, akan tetapi
atom karbonnya adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14 termasuk kelompok
radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D} tidaklah
hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang menyebabkan
timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel pencemar udara saja, akan
tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan
Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah satu
diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk
memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran telah
dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat ini juga
akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang diharapkan akan
dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang terus meningkat.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik memang dapat
menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun dampak pencemaran
yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya mendapat perhatian yang seksama,

agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.


Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhnya.
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon monoksida),
NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa
karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan
hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan
segala efek sampingannya. Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti
tersebut di atas, ada juga dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama
dengan polutan konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana
halnya polutan konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan
mudah masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun
melalui rantai makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif
yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan
kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah
cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa
pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan
hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang industri,
maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V telah
meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun. Laju
pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di Asia
yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik
dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.
Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus
meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk
menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU
dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen.
Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat dilihat dari data yang diperoleh
dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia adalah

sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di Kalimantan sekitar
11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang
benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tercermin dari
kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik di Indonesia (data diperoleh dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa pemakaian
batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar meningkat dan hal ini
sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai kemungkinan dampaknya
terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan konvensional akibat pembakaran
batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar terhambur bersama-sama dengan
polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen),
SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke udara sebagai
bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.

Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik, karena
selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di atas, ternyata
juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan partikel-partikel
radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang
terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang
menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan gas
emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena unsur
radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon
yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada
zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi
terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan
masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara
muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang

terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan
menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat
pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan hasil emisi
batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat banyak dan ini
tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil penelitian terakhir
menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan pencemar udara
lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak polutan radioaktif yang ke
luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif yang tampak pada Tabel 3.
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam berat
yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang berdampak
buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi paparan radiasi,
radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi eksterna dan interna
terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari Polonium-210 sampai
dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap tubuh manusia. Bahaya
radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada di luar tubuh manusia tetap
dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau sampai masuk ke dalam tubuh
manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat
pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila dilihat
dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1 sampai
degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas sangat tinggi,
sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok
radiotoksisitas rendah.
Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok radiotoksisitas rendah, namun
kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas alam yang dapat menurunkan
(meluruh/beranak-cucu) sampai banyak. Thorium-232 akan menurunkan 11 unsur radioaktif
alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-208, sedangkan Uranium-238 akan menurunkan 17
unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal-206. Sedangkan Karbon-14 yang ke
luar dari batubara dapat berupa abu karbon (fly ash) atau dalam bentuk gas CO2 dan senyawa
hidrokarbon lainnya, akan tetapi atom karbonnya adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon14 termasuk kelompok radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D} tidaklah
hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang menyebabkan
timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel pencemar udara saja, akan
tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah polutan radioaktif yang ke luar

dari hasil pembakaran batubara. Pendahuluan


Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang
industri telah mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan tenaga listrik yang makin meningkat ini antara lain diperoleh dari usaha
diversifikasi berbagai macam sumber energi yang dapat diperoleh di Indonesia. Salah satu
diversifikasi energi yang dilakukan adalah pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar untuk
memperoleh tenaga listrik.
Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara secara besar-besaran telah
dibangun di Suralaya (Jawa Barat) dan di Paiton (Jawa Timur). Dalam waktu dekat ini juga
akan dibangun PLTU batubara di daerah Ujung Jati (Jawa Tengah) yang diharapkan akan
dapat mencukupi keperluan tenaga listrik bagi kegiatan industri yang terus meningkat.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik memang dapat
menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relatif murah, namun dampak pencemaran
yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya mendapat perhatian yang seksama,
agar pembangunan berwawasan lingkungan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Gagasan \x{201C}clean coal combustion\x{201D} perlu didukung sepenuhnya.
Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa pemakaian batubara sebagai bahan
bakar dapat menimbulkan polutan yang mencemari udara berupa CO (karbon monoksida),
NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx (oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa
karbon), fly ash (partikel debu). Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan
hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan
efek rumah kaca yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan
segala efek sampingannya.
Sebenarnya selain dari dampak pencemaran lingkungan seperti tersebut di atas, ada juga
dampak pencemaran dari hasil pembakaran batubara bersama-sama dengan polutan
konvensional yang selama ini sudah diketahui lebih dulu. Sebagaimana halnya polutan
konvensional yang ke luar dari batubara, polutan radioaktifpun dapat dengan mudah masuk
ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup oleh paru-paru, maupun melalui rantai
makanan yang telah terkontaminasi oleh polutan radioaktif. Polutan radioaktif yang
terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan gangguan
kesehatan, terutama karena sifat polutan radioaktif yang pada umumnya adalah
cocarcinogenik atau perangsang timbulnya kanker. Jadi secara jujur dapat dikatakan bahwa
pemakaian batubara juga dapat menaikkan kontribusi zat radioaktif di lingkungan, bukan
hanya dari kegiatan-kegiatan teknologi nuklir saja.
Meningkatnya Pemakaian Batubara
Pemakaian batubara di seluruh dunia terus meningkat, begitu juga dengan pemakaian
batubara di Indonesia. Meningkatnya pemakaian batubara kiranya tidak terlepas dari
meningkatnya kebutuhan tenaga listrik yang sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan
industri. Seperti diketahui bahwa akibat dari pembangunan yang pesat dalam bidang industri,
maka laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia selama PELITA V telah
meningkat menjadi 17,5 er tahun, melebihi yang direncanakan yaitu 14,6 er tahun. Laju
pertumbuhan konsumsi tenaga listrik di Indonesia ternyata di atas angka rata-rata di Asia
yang hanya sekitar 7,9 tahun dan jauh di atas angka rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik
dunia yang hanya sekitar 3,6 er tahun.

Untuk mencukupi kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dari tahun ke tahun,
Indonesia menempuh kebijaksanaan menggalakkan pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi yang mungkin terdapat di Indonesia. Produksi batubara selama ini terus
meningkat, terutama sekali sesudah ada himbauan dari Presiden RI pada tahun 1976 untuk
menggunakan batubara sebagai prioritas utama dalam pembangkitan tenaga listrik oleh PLTU
dan juga sebagai bahan bakar utama untuk industri berat seperti industri baja dan semen.
Peningkatan produksi batubara yang terus meningkat dapat dilihat dari data yang diperoleh
dari Departemen Pertambangan dan Energi (Tabel 1).
Tabel 1
Produksi batubara di Indonesia tahun 1973/1974-1990/1991 (dalam ribu ton) Tahun
1973/1974 Tahun 1983/1984 tahun 1990/1991
145,8 614,7 11.211,6
Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik kiranya akan terus
bertahan, mengingat bahwa perkiraan cadangan sumber daya batubara di Indonesia adalah
sekitar 36,3 miliar ton yang tersebar di Sumatera 24,7 miliar ton dan di Kalimantan sekitar
11,6 miliar ton. Pemakaian batubara sebagai energi alternatif penyedia tenaga listrik memang
benar telah meningkatkan produksi tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tercermin dari
kenaikan produksi maupun daya terpasang tenaga listrik di Indonesia (data diperoleh dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN)) seperti pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dan Tabel 2 tersebut di muka, tampak jelas bahwa pemakaian
batubara sebagai penyedia tenaga listrik di Indonesia memang benar meningkat dan hal ini
sudah barang tentu menjadi pemikiran kita bersama mengenai kemungkinan dampaknya
terhadap lingkungan, baik yang berasal dari polutan konvensional akibat pembakaran
batubara maupun polutan radioaktif yang juga ke luar terhambur bersama-sama dengan
polutan konvensional.
Polutan Radioaktif
Polutan konvensional dari hasil pembakaran batubara yang selama ini diketahui oleh
masyarakat adalah gas-gas berupa CO (karbon monoksida), NOx (oksida-oksida nitrogen),
SOx (oksida-oksida belerang) dan juga partikel-partikel yang terhambur ke udara sebagai
bahan pencemar udara. Partikel-partikel tersebut antara lain adalah:
a. Karbon dalam bentuk abu atau fly ash (C)
b. Debu-debu silika (SiO2)
c. Debu-debu alumia (Al2O3)
d. Oksida-oksida besi (Fe2O3 atau Fe3O4)
Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan, selain
timbulnya hujan asam maupun efek rumah kaca yang disebabkan oleh gas-gas hasil
pembakaran batubara seperti tersebut di atas.

Penelitihan lebih jauh mengenai dampak pemakaian batubara ternyata sangat menarik, karena
selain mengeluarkan gas-gas maupun partikel-partikel seperti telah diuraikan di atas, ternyata

juga dari hasil cracking akibat pembakaran batubara juga dilepaskan partikel-partikel
radioaktif. Hal ini terjadi karena batubara juga mengandung unsur radioaktivitas alam yang
terjebak dalam batubara, kemudian pada saat pembakaran terjadi cracking (pembelahan) yang
menyebabkan unsur radioaktivitas alam tersebut akan ikut ke luar bersama-sama dengan gas
emisi lainnya. Mengapa unsur radioaktif terjebak di dalam batubara, tidak lain karena unsur
radioaktif lebih dulu terbentuk di bumi ini dibandingkan dengan terbentuknya batubara.
Menurut para ahli radiogeologi, unsur radioaktif seperti batuan Uranium terbentuk pada
zaman geologi yang disebut Pra Kambrium yang terjadi pada 3900 juta tahun yang lalu,
sedangkan batubara terbentuk jauh sesudah zaman Pra Kambrium, yaitu pada zaman Devon
yang terjadi pada 405 juta tahun yang lalu, kemudian diikuti terbentuknya batubara pada
zaman Missisipan yang terjadi pada 345 juta tahun yang lalu, kemudian dikuti lagi
terbentuknya batubara pada zaman Pensilvanian sekitar 320 juta tahun yang lalu.
Batubara masih terus terbentuk lagi pada zaman Triasik sekitar 230 juta tahun yang lalu, dan
masih terbentuk lagi pada zaman Jurasik sekitar 180 juta tahun yang lalu, juga masih
terbentuk batubara pada zaman Kretasius sekitar 135 juta tahun yang lalu, bahkan batubara
muda juga masih terbentuk pada zaman Tersier sekitar 63 juta tahun yang lalu. Batubara yang
terbentuk jauh sesudah terjadinya unsur radioaktif di bumi ini, akan menangkap dan
menjebak unsur radioaktif yang sudah terbentuk lebih dulu. Unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara tersebut akan ke luar pada saat terjadi pembelahan (cracking) akibat
pembakaran batubara.
Pada saat batubara dibakar terjadilah pembelahan (cracking) molekul-molekul besar menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dan pada saat inilah unsur radioaktif yang terjebak di
dalam batubara selama berjuta-juta tahun akan ke luar bersama-sama dengan hasil emisi
batubara lainnya. Unsur radioaktif yang ke luar dari cracking batubara sangat banyak dan ini
tergantung pada jenis dan asal tempat penambangan batubara. Hasil penelitian terakhir
menyebutkan bahwa unsur radioaktif yang ke luar sebagai polutan pencemar udara
lingkungan sekitar 36 macam unsur radioaktif. Dari sekian banyak polutan radioaktif yang ke
luar dari batubara yang paling dominan adalah unsur radioaktif yang tampak pada Tabel 3.
Polutan radioaktif nomor urut 1 sampai dengan 6 termasuk ke dalam golongan logam berat
yang apabila masuk ke dalam tubuh manusia akan mengikuti lever route yang berdampak
buruk terhadap kesehatan manusia. Perlu kiranya diketahui bahwa dari segi paparan radiasi,
radiasi Beta yang ke luar dari Timbal-210 merupakan bahaya radiasi eksterna dan interna
terhadap tubuh manusia, sedangkan radiasi Alpha yang ke luar dari Polonium-210 sampai
dengan Uranium-238 merupakan bahaya radiasi interna terhadap tubuh manusia. Bahaya
radiasi eksterna artinya unsur radioaktif tersebut walaupun berada di luar tubuh manusia tetap
dapat merupakan sumber bahaya radiasi, apalagi kalau sampai masuk ke dalam tubuh
manusia.
Sedangkan bahaya radiasi interna artinya unsur radioaktif tersebut tidak berbahaya kalau
hanya berada di luar tubuh manusia karena daya tembusnya (jangkauannya) yang sangat
pendek, akan tetapi menjadi berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia. Apabila dilihat
dari segi daya racunnya atau radiotoksisitasnya, maka polutan radioaktif nomor 1 sampai
degan nomor 4 pada Tabel 3 tersebut di atas termasuk kelompok radiotoksisitas sangat tinggi,
sedangkan polutan radioaktif Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok
radiotoksisitas rendah. Walaupun Thorium-232 dan Uranium-238 termasuk kelompok

radiotoksisitas rendah, namun kedua unsur radioaktif tersebut adalah induk radioaktivitas
alam yang dapat menurunkan (meluruh/beranak-cucu) sampai banyak.
Thorium-232 akan menurunkan 11 unsur radioaktif alam dan satu unsur stabil yaitu Timbal208, sedangkan Uranium-238 akan menurunkan 17 unsur radioaktif alam dan satu unsur
stabil yaitu Timbal-206. Sedangkan Karbon-14 yang ke luar dari batubara dapat berupa abu
karbon (fly ash) atau dalam bentuk gas CO2 dan senyawa hidrokarbon lainnya, akan tetapi
atom karbonnya adalah Karbon-14 yang radioaktif. Karbon-14 termasuk kelompok
radiotoksisitas sedang.
Mengingat akan hal tersebut di atas, maka pemakaian batubara sebagai salah satu
diversifikasi energi alternatif untuk sumber energi pembangkit tenaga listrik, hendaknya
diikuti pula dengan usaha menambah alat penangkap (filter) polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara. Proyek \x{201C}coal clean combustion\x{201D} tidaklah
hanya untuk mengurangi pencemaran lingkungan berupa gas-gas yang menyebabkan
timbulnya hujan asam dan efek rumah kaca serta partikel-partikel pencemar udara saja, akan
tetapi lebih jauh lagi harus sudah mulai memikirkan masalah polutan radioaktif yang ke luar
dari hasil pembakaran batubara.

Anda mungkin juga menyukai