Tugas PKN
Tugas PKN
Garis waktu
Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan
keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk
membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap
melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat
Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan
meningkatnya jumlah migran dari pulauJawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan
yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan
perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil
Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang
mengoperasikan ladang gas Arun.
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat
terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang
mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa.
[5]
Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung
dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di
Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. [5]
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang
merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. Kabinet
pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979,
terdiri dari tokohpemberontakan Darul Islam berikut ini:
Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri
telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalampemberontakan Darul Islam.[5] Banyak
dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer
Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh.[8] Orang
yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama
terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. [8] Beberapa
orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga
atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.
[9]
Tahap kedua:
Tahap ketiga
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak
efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh
Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan
yang besar dari masyarakat Aceh. [18] Pada tahun 1999 penarikan pasukan
diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian
menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah
meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70
persen pedesaan di seluruh Aceh.[19]
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan
bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya. [20]
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai
kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum.
Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM
memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa
dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. [21] Pada tanggal 21 Juli2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese
Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.[22] Dalam deklarasi tersebut, GAM
menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." [23] Impuls hak-
hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari
upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai
tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya
rezim otoriter Soeharto.[24]
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan
pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati
akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik
dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh.
Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan
karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch,[25] militer
Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini
seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh
bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini
masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember
2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di
tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.
Agama:
Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun,
secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk
ke kepulauan
Melayu.
Kerajaan
Islam
pertama
yang
dikenal
adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan
pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk
mendukung pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang
meninggal pada tahun 1297.
Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran
agama Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan
Melayu melihat untuk belajar.[37] Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah
lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh
untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.
Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa
dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) tahun 1939oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara
eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian
Keluhan ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait
pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson
berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan
pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab
pemberontakan Aceh.[48] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh
telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut
provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama
bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang
signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga
setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[49] Meskipun demikian, hampir semua
pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan
ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil
dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[50] Selain itu, pemerintah pusat tidak
kembali menginvestasikan
cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh. [51] Hal ini
menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk
mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan
bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran. [52]
ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik
yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan
di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan
tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974, namun
dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[53] Robinson mencatat waktu
deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama
GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika
fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan. [54] Memang, dalam
deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
"Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar
dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka
gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa."[55]
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini
menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan
1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan
tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu. [56] Aspinall
juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan
mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai
penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi
Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama
atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan
pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik. [57] Dia melanjutkan
bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi
GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan
harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang
untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan. [58]
Kesultanan Aceh pada masa lampau. [59] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang
berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh
yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (18731914).[59] Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai
perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada
tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh
Belanda tersebut.[59] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh
sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum
internasional.
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda
GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism.
Since the world begun [sic], there never was a people, much less a
nation, in our part of the world by that name."[60] (BI: ""Indonesia" adalah
sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa.
Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam
bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.")
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari
mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah
mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim
yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui
modus penyebaran ini.[61]Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah Aceh")
menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara
tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah
intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang
kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara.
[62]
Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal
pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau
menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka. [63]
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric
Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat
bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada
sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih
adil oleh pemerintah pusat.[64]Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa
daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan
Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif
Indonesia tahun 1977.[65] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti
GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang
sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.
[65]
ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh
(adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat
bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran.Kingsbury
menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer
Indonesia di Aceh:[72]
nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi
militer atas kemauannya sendiri.[73]
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal
ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM
sebanyak 9.593 orang yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri,
ditangkap, dan tewas dalam baku tembak. [74] Meski meragukan keakuratan jumlah
tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM
pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM. [75]
Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia
wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU
Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah. [76] Mantan pemimpin
GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung
tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru
membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga
anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka. [76] Walaupun pasukan GAM tetap
komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa
membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan
pemerintah Indonesia.
Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober
2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang
sangat merugikan".[77] Saat diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui
MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya,
Malik menjawab:
"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di
lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak,
tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi
perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah
dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan
melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi
semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi
kenyataan. Inilah yang kami lakukan.[78]
Tekanan internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai
Helsinki yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak
mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada
PAPUA
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang
didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan
Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian
Jaya,[1] dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan
bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. [2] Sejak awal OPM
telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera
Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari
kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang
negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia
dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.
Sejarah
Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu
oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945. Nugini Belanda(Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan
di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu
pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan
diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan [3] sampai pemerintahan Indonesia
diaktifkan
tahun
1963.
Meski
sudah
ada
perjanjian
antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik
bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan
kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah
. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau
kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka
agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami
sendiri!
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan
Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat
Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk
menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia. [5] Perjanjian New
York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia,
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan
nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB
dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh
tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta
tersebut.[6] Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat
pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap
sebagai hari kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orangorang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan
pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20
tahun di Indonesia.[7]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite
Nasional Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim
30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.
[8]
Menurut Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar
Negeri Indonesia Adam Malikjuga meyakini bahwa militer Indonesia adalah
penyebab munculnya masalah di teritori ini dan jumlah personelnya harus dikurangi
sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang
seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4
tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur
ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil. [16]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. [17]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu
korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia
8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada. [18]
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima
Tertinggi' OPM adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto
Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.
[19]
Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah
kemerdekaan.[19] Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap
utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil,
dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini
jauh lebih besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat. [19]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA),
yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi
Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.
AMBON
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang
didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh
rujukan]
RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di
Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam
pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris
Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan
dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete,
pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.
Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada
abad ke-19 dengan didirikannyaHindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui
ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang
tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan
Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada
November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau
Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari
pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[2] Tahun
berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".
Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah
penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari
pemerintah Belanda.[3]
Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di
Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan
kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain
di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang
berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977,
terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar
di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands
Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi
tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh
pasukan BBE. Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan
RMS.
Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (19661993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2
Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi
pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans
Tutuhatunewa M.D. pada tahun 19932010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan
terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa
generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika
benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia,
mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi
pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan. [4][5]
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang
berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang
presiden-presiden sebelumnya.
Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi 2:3.
Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian,
pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan
kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah
nenek moyang dan darah rakyat.
Lambang
Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih
dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang,
sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya
bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.
Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa
Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung
perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi
lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya
pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.
Pada bulan April 2010 John Wattilete menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah presiden
pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih
pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan
kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak
1970,[9] Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan
kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal,
Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[10]
dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil
membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi
tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang
memperjuangkan berdirinya RMS.
Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan
perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis
gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia
berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS. [11]
Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi
di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum.
Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan
kemerdekaan.