Anda di halaman 1dari 28

ACEH

Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM)


untuk
memperoleh
kemerdekaan
dari Indonesiaantara
tahun 1976 hingga
tahun 2005. Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta
kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan
diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya pemberontakan. Amnesty
International merilis laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah
pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian
damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi
jika masalah ini tidak diselesaikan.[4]
Latar belakang
Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktikkan. Hal ini
berbeda dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar wilayah
Indonesia lain. Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan
banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab konflik yang paling
jelas.
Selain
itu,
kebijakan-kebijakan sekuler dalam
administrasi Orde
Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di Aceh, di mana banyak
tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde Baru pusat yang
mempromosikan satu 'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung
Barat Indonesia menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa para
pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti masalah yang dimiliki Aceh dan tidak
bersimpati pada kebutuhan masyarakat Aceh dan adat istiadat di Aceh yang
berbeda.

Garis waktu
Tahap pertama
Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan
keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk
membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan
mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap
melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat
Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan
meningkatnya jumlah migran dari pulauJawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan
yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan
perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil
Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang
mengoperasikan ladang gas Arun.

Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat
terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang
mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa.
[5]
Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung
dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari
desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di
Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat. [5]
Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang
merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. Kabinet
pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979,
terdiri dari tokohpemberontakan Darul Islam berikut ini:

Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima


Agung

Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri

Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan

Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman

Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi

Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan

Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial

Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri

Amir Ishak: Menteri Komunikasi

Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan

Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri
telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalampemberontakan Darul Islam.[5] Banyak
dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer
Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh.[8] Orang
yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama
terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. [8] Beberapa
orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga
atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.

[9]

Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran,


pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin muda
GAM yang berpendidikan.[9]
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia
telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan,
dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi.
[10]
Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik
Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan
GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti
berfungsi.[11]

Tahap kedua:

Foto Teungku Muhammad Daud Beureueh


Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan
mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung
pemberontakan
nasionalis
melalui
[12]
"Mathaba MelawanImperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme". Tidak
jelas
apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah
tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer
yang sangat dibutuhkan.[12] Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama
periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda.
[13]
Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000
sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan
bahwa mereka berjumlah 600-800. [12] Di antara para pemimpin GAM yang
bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi
komandan GAM Pas, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM
di Peureulak, Aceh Timur).[14]
Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta
pelatihan GAM dari Libya.[15]Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi
merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan

pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan


pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.
Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM
yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan
tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal
sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia
meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.[10] Langkah ini, meskipun
secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan
korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari
Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian
memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika
militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah
presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.[16]

Tahap ketiga
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak
efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh
Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan
yang besar dari masyarakat Aceh. [18] Pada tahun 1999 penarikan pasukan
diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian
menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah
meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati
Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70
persen pedesaan di seluruh Aceh.[19]
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda
Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA)
("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara
Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan
bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya. [20]
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai
kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum.
Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM
memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa
dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. [21] Pada tanggal 21 Juli2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese
Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.[22] Dalam deklarasi tersebut, GAM
menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." [23] Impuls hak-

hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari
upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai
tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya
rezim otoriter Soeharto.[24]
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan
pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati
akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik
dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh.
Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan
karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch,[25] militer
Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini
seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh
bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini
masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember
2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di
tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.

Kesepakatan damai dan pilkada pertama


Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan
menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah
Indonesia menyatakangencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama
untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. [26] Namun, bentrokan bersenjata
sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah,
pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja
bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk
upaya bantuan internasional.[27]
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian
manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian
dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya
telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian
akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era
pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan
dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih
menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru
terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat
signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh. [28] Pada saat yang sama,
kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah
menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin

menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi. [29]Perundingan


perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management
Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan
ini menghasilkan kesepakatan damai [30] ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah
Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan
ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya
pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni
Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring
Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15
Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur
Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi
hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk
membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun,
pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh
akan perlu ditangani.[31]
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan
anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan
oleh Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan
anggota GAM.

Kemungkinan penyebab konflik


Sejarah
Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah
Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan munculnya separatisme
Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia
berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi
berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan
peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh
para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah
kemerdekaan Indonesia.[32]
Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara
berkembangnya separatisme Aceh:

1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang


kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji
dari PresidenSoekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan
diizinkan
untuk
menerapkan hukum
Islam (atau syariah)
setelah perang
[33]
kemerdekaan Indonesia.
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh
akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara
Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk
mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi.
Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian dikenal
sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan
pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan panIndonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme. [34]
Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama
sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa
kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada
1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan
atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat. [35] Tim Kell juga menunjukkan
bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah
dengan
niat
bergabung
dengan Angkatan
Bersenjata
Republik
Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI)
pada tahun 1965 dan 1966.[36]

Agama:
Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun,
secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk
ke kepulauan
Melayu.
Kerajaan
Islam
pertama
yang
dikenal
adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan
pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk
mendukung pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang
meninggal pada tahun 1297.
Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran
agama Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan
Melayu melihat untuk belajar.[37] Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah
lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh
untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.
Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa
dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) tahun 1939oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara
eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian

besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi


terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat
terobosan di Aceh di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya beretnis
non-Aceh.[38] Namun, juga perlu dicatat bahwa meskipun organisasi PUSA
bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi berhaluan pan-Islamisme di mana
tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di bawah syariah.[39]
Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan
yang didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde
Baru rezim Presiden Soeharto. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai
politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tahun1973. Anggota dan simpatisan partai politik Islam
di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan. [40] Walaupun Aceh mempunyai status
wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah atau untuk
mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah) dengan sekolahsekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini
diabaikan oleh pemerintah pusat. [41]
Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan
membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan
adanya sikap bermusuhan Orde Baru terhadap pengaruh sosial dalam bentukbentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan
pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad" menurut
Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang
Kafir" (atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini
adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang Sabi ("Cerita Perang
Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi
perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda
melawan pemerintah Indonesia.
Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an,
telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk
malah menyanyikan lagu Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional
Indonesia, Indonesia
Raya.[42] Bahan
publikasi
politik
GAM
juga
menggambarkan Pancasila,
ideologi
negara
resmi
Indonesia
sebagai
[43]
"ajaranpoliteistik" yang dilarang oleh Islam.
Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya
Soeharto pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme
Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa
Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa
kelompok-kelompok
baru
yang
muncul
tersebut
jarang
menyerukan
pelaksanaan syariah di
Aceh.
Sebaliknya,
mereka
menekankan
perlunya referendum kemerdekaan Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) di Aceh.[44] Demikian


pula, posisi GAM pada syariah juga bergeser. Ketika pemerintah pusat
mengeluarkan UU Nomor 44/1999 tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan
pelaksanaan syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia
tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau
menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama. [45] Meskipun
mengubah sikap terhadap syariah, posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat
oleh International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi
beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan
penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki
pengaruh. [46] Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang
berubah-ubah terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan
internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan
mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak
ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan
sangat ditekankan.[47]

Keluhan ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait
pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson
berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan
pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab
pemberontakan Aceh.[48] Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh
telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut
provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama
bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang
signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga
setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[49] Meskipun demikian, hampir semua
pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan
ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil
dengan perusahaan minyak negara Pertamina.[50] Selain itu, pemerintah pusat tidak
kembali menginvestasikan
cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh. [51] Hal ini
menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk
mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan
bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran. [52]

Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil


di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG,

ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik
yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan
di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan
tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974, namun
dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat.[53] Robinson mencatat waktu
deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama
GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika
fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan. [54] Memang, dalam
deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:
"Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar
dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka
gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa."[55]
Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini
menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan
1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan
tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu. [56] Aspinall
juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan
mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai
penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi
Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama
atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan
pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik. [57] Dia melanjutkan
bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi
GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan
harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang
untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan. [58]

Peran GAM dalam memprovokasi keluhan


Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di
pengasingan di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah
dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh
karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM
pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka
ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik
terhadap GAM.
Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar
berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan
penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara
Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan

Kesultanan Aceh pada masa lampau. [59] Sesuai dengan logika ini, Aceh yang
berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh
yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (18731914).[59] Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai
perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada
tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh
Belanda tersebut.[59] Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh
sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum
internasional.
Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda
GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:
""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism.
Since the world begun [sic], there never was a people, much less a
nation, in our part of the world by that name."[60] (BI: ""Indonesia" adalah
sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa.
Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam
bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.")
Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari
mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah
mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim
yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui
modus penyebaran ini.[61]Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah Aceh")
menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara
tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah
intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang
kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara.
[62]
Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal
pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau
menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka. [63]
Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric
Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat
bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada
sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih
adil oleh pemerintah pusat.[64]Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa
daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan
Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif
Indonesia tahun 1977.[65] Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti
GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang

sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.
[65]

Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan


Daya tahan jaringan GAM
Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau
anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara
ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk
solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi. [66] Banyak yang merasa bahwa mereka
sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau sepupu laki-laki yang
biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM; dan
orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan negara
telah mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM. [66] Konstituen GAM juga
sering merupakan penduduk masyarakat pedesaan di mana semua orang tahu dan
kenal erat dengan tetangga mereka. [66] Adanya pertalian erat ini memungkinkan
kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi terhadap infiltrasi oleh aparat intelijen
negara.
Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang
seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer
regional (ataupanglima wilyah) adalah satuan yang diperintah oleh komandan
junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah (Panglima
Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan mereka di
daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas
mereka.[67] Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai sebuah
organisasi meskipun ada di bawah upaya penekanan kuat oleh aparat keamanan
negara Indonesia.

Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia


aksi

Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam


kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde

Baru pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan


meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer
Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan
mendukung GAM.[68] Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek
meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang
ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan. [68] Amnesty International mencatat:
Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar bahkan
dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama
keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas
untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu untuk
menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan
nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM. [69]
Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan
sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumihangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun
1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh Amnesty
International adalah
pembuangan
publik
mayat-mayat
korban
eksekusi
(atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh
untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM.
Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh Amnesty International:
"Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai berikut.
Mayat-mayat korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di samping jalan utama,
di ladang dan perkebunan, sungai atau tepi sungai - tampaknya sebagai peringatan
kepada orang lain untuk tidak bergabung atau mendukung pemberontak. Sebagian
besar jelas adalah tahanan ketika mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadangkadang kaki mereka, diikat dengan jenis simpul tertentu. Sebagian besar telah
ditembak dari jarak dekat, meskipun peluru jarang ditemukan di tubuh mereka.
Kebanyakan juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli dengan benda tumpul
atau disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali. Dalam banyak
kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman, baik karena
takut pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya dibuang agak jauh dari
desa asal mereka.[69]
Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi
sipil-militer" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan
operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar
Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty International berikut:
.Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" - digunakan
sebelumnya di Timor Timur - di mana penduduk desa biasa dipaksa menyapu
melalui daerah tertentu di depan pasukan bersenjata, baik dalam rangka untuk

menghalau pemberontak dan juga untuk menghambat mereka untuk membalas


tembakan. Elemen penting dalam
keberhasilan operasi ini adalah kelompok-kelompok lokal yang "main hakim
sendiri" dan patroli malam yang terdiri dari warga sipil, tetapi dibentuk di bawah
perintah dan pengawasan militer. Antara 20 dan 30 pemuda dimobilisasi dari setiap
desa di daerah yang dicurigai daerah pemberontak. Dalam kata-kata seorang
komandan militer setempat: "Para pemuda adalah garis depan. Mereka adalah yang
terbaik dalam mengetahui siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian
menyelesaikan masalah tersebut." Menolak untuk berpartisipasi dalam kelompokkelompok tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen yang cukup untuk
menghancurkan musuh dengan mengidentifikasi, menangkap atau membunuh
terduga pemberontak kadang-kadang mengakibatkan hukuman oleh pasukan
pemerintah, termasuk penyiksaan umum, penangkapan dan eksekusi. [69]

Kepentingan militer Indonesia di Aceh


Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM
di Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer
Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja
menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran
mereka di provinsi bergolak tersebut.

ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh
(adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat
bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran.Kingsbury
menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer
Indonesia di Aceh:[72]

Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk


menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar
gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi
pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut
40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh
Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau
Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada
bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi
di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja.
Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan
para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata
mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama

penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan


senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran.
Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas
akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta
amunisi.
Pembalakan liar: Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan
penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar
wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni
Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar
sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang
seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya
malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan
ilegal tersebut.
Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan"
liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar
seperti Mobil Oildan PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta
perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk
pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk
"mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.
Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka
kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum
militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih
tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat kapalkapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.
Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi
kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya
dengan harga tinggi.

Kemungkinan faktor resolusi damai


Melemahnya posisi militer GAM
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada
Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM.
ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi
GAM terganggu secara serius.[73] GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan
keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya. [73] Akibatnya,
komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan
melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi
militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai
izin komandan wilayah.[73] Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe-

nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi
militer atas kemauannya sendiri.[73]
Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal
ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM
sebanyak 9.593 orang yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri,
ditangkap, dan tewas dalam baku tembak. [74] Meski meragukan keakuratan jumlah
tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM
pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM. [75]

Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia
wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU
Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah. [76] Mantan pemimpin
GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung
tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru
membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga
anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka. [76] Walaupun pasukan GAM tetap
komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa
membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan
pemerintah Indonesia.
Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober
2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang
sangat merugikan".[77] Saat diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui
MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya,
Malik menjawab:
"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di
lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak,
tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi
perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah
dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan
melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi
semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi
kenyataan. Inilah yang kami lakukan.[78]

Tekanan internasional
Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai
Helsinki yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak
mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada

dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani bulan


Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat junior.
Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak
ada komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh.
[79]
Tentang hal ini, Malik berkata:
Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka,
jadi kami berpikir selama proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan
pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di hadapan kami. [79]
Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan
tawaran pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para
petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut
kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh
komunitas internasional.[80]
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004
Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu
langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu
langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu
antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai dan
negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa
GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong
kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama. [81]
Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri
dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan
terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM.
[81]
Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung dimulainya
kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat militer masih
diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung). [82] Saat itu, Kalla,
melalui orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus
pemimpinnya di Swedia.[81] Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang lebih
memilih jalur negosiasi sebagai solusi pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk
mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki. Kingsbury, penasihat resmi
untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa
upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi. [83] Selain itu, ia menyebut
penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai
faktor penting, dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umumGolkar, partai
mayoritas di DPR saat itu, sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi
penolakan dari anggota DPR lainnya. [84]

PAPUA
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang
didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan
Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian
Jaya,[1] dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan
bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. [2] Sejak awal OPM
telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera
Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua.
Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari
kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang
negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia
dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.

Sejarah

Graffiti OPM di Sentani,Papua

Selama Perang Dunia II, Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia) dipandu
oleh Soekarno untuk menyuplai minyak demi upaya perang Jepang dan langsung
menyatakan merdeka dengan nama Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945. Nugini Belanda(Nugini Barat) dan Australia yang menjalankan pemerintahan
di teritori Papua dan Nugini Britania menolak penjajahan Jepang dan menjadi sekutu
pasukan Amerika Serikat dan Australia sepanjang Perang Pasifik.
Hubungan Belanda dan Nugini Belanda sebelum perang berakhir dengan
diangkatnya warga sipil Papua ke pemerintahan [3] sampai pemerintahan Indonesia
diaktifkan
tahun
1963.
Meski
sudah
ada
perjanjian
antara Australia dan Belanda tahun 1957 bahwa teritori milik mereka lebih baik
bersatu dan merdeka, ketiadaan pembangunan di teritori Australia dan
kepentingan Amerika Serikat membuat dua wilayah ini berpisah
. OPM didirikan bulan Desember 1963 dengan pengumuman, "Kami tidak mau
kehidupan modern! Kami menolak pembangunan apapun: rombongan pemuka
agama, lembaga kemanusiaan, dan organisasi pemerintahan. Tinggalkan kami
sendiri!
Nugini Belanda mengadakan pemilu pada Januari 1961 dan Dewan
Nugini dilantik pada April 1961. Akan tetapi, di Washington, D.C., Penasihat
Keamanan Nasional McGeorge Bundy melobi Presiden A.S. John F. Kennedy untuk
menegosiasikan transfer pemerintahan Nugini Barat ke Indonesia. [5] Perjanjian New
York dirancang oleh Robert Kennedy dan ditandatangani oleh Belanda, Indonesia,
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 1962.
Walaupun Belanda menuntut agar rakyat Nugini Barat boleh menentukan
nasib sendiri sesuai piagam PBB dan Resolusi 1514 (XV) Majelis Umum PBB
dengan nama "Act of Free Choice", Perjanjian New York memberikan jeda tujuh
tahun dan menghapuskan wewenang PBB untuk mengawasi pelaksanaan Akta
tersebut.[6] Kelompok separatis mengibarkan bendera Bintang Kejora Papua Barat
pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Tanggal tersebut mereka anggap
sebagai hari kemerdekaan Papua. Kepolisian Indonesia berspekulasi bahwa orangorang yang melakukan tindakan seperti ini bisa dijerat dengan tuduhan
pengkhianatan yang hukumannya berupa kurungan penjara selama 7 sampai 20
tahun di Indonesia.[7]
Pada bulan Oktober 1968, Nicolaas Jouwe, anggota Dewan dan Komite
Nasional Nugini yang dipilih Dewan pada tahun 1962, melobi PBB dan mengklaim
30.000 tentara Indonesia dan ribuan PNS Indonesia menindas penduduk Papua.
[8]
Menurut Duta Besar Amerika Serikat Francis Joseph Galbraith, Menteri Luar
Negeri Indonesia Adam Malikjuga meyakini bahwa militer Indonesia adalah
penyebab munculnya masalah di teritori ini dan jumlah personelnya harus dikurangi
sampai separuhnya. Galbraith menjelaskan bahwa OPM "mewakili orang-orang

sentimen yang anti-Indonesia" dan "kemungkinan 85-90 persen [penduduk Papua]


mendukung OPM atau setidaknya sangat tidak menyukai orang Indonesia". [9]
Brigadir Jenderal Sarwo Edhie mengawasi perancangan dan pelaksanaan Act
of Free Choice pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Perwakilan PBB Oritiz Sanz
tiba pada 22 Agustus 1968 dan berulang-ulang meminta agar Brigjen Sarwo Edhie
mengizinkan sistem satu orang, satu suara (proses yang dikenal dengan nama
referendum atau plebisit), namun permintaannya ditolak atas alasan bahwa aktivitas
semacam itu tidak tercantum dalam Perjanjian New York 1962. [10] 1.025 tetua adat
Papua dipilih dan diberitahu mengenai prosedur yang tercantum dalam Perjanjian
New York. Hasilnya adalah kesepakatan integrasi dengan Indonesia.
Deklarasi Republik Papua Barat
Menanggapi hal tersebut, Nicolaas Jouwe dan dua komandan OPM, Seth
Jafeth Roemkorem dan Jacob Hendrik Prai, berencana mendeklarasikan
kemerdekaan Papua pada tahun 1971. Tanggal 1 Juli 1971, Roemkorem dan Prai
mendeklarasikan Republik Papua Barat dan segera merancang konstitusinya.
Konflik strategi antara Roemkorem dan Prai berujung pada perpecahan OPM
menjadi dua faksi: PEMKA yang dipimpin Prai dan TPN yang dipimpin Roemkorem.
Perpecahan ini sangat memengaruhi kemampuan OPM sebagai suatu pasukan
tempur yang terpusat.
Sejak
1976,
para
pejabat
perusahaan
pertambangan Freeport
Indonesia sering menerima surat dari OPM yang mengancam perusahaan dan
meminta bantuan dalam rencana pemberontakan musim semi. Perusahaan menolak
bekerja sama dengan OPM. Mulai 23 Juli sampai 7 September 1977, milisi OPM
melaksanakan ancaman mereka terhadap Freeport dan memotong jalur
pipaslurry dan bahan bakar, memutus kabel telepon dan listrik, membakar sebuah
gudang, dan meledakkan bom di sejumlah fasilitas perusahaan. Freeport
memperkirakan kerugiannya mencapai $123.871,23. [1]
Tahun 1982, Dewan Revolusi OPM (OPMRC) didirikan dan di bawah
kepemimpinan Moses Werror, OPMRC berusaha meraih kemerdekaan melalui
kampanye diplomasi internasional. OPMRC bertujuan mendapatkan pengakuan
internasional untuk kemerdekaan Papua Barat melalui forum-forum internasional
seperti PBB, Gerakan Non-Blok, Forum Pasifik Selatan, dan ASEAN.
Tahun 1984, OPM melancarkan serangan di Jayapura, ibu kota provinsi dan
kota yang didominasi orang Indonesia non-Melanesia. Serangan ini langsung
diredam militer Indonesia dengan aksi kontra-pemberontakan yang lebih besar.
Kegagalan ini menciptakan eksodus pengungsi Papua yang diduga dibantu OPM ke
kamp-kamp di Papua Nugini.

Tanggal 14 Februari 1986, Freeport Indonesia mendapatkan informasi bahwa


OPM kembali aktif di daerah mereka dan sejumlah karyawan Freeport adalah
anggota atau simpatisan OPM. Tanggal 18 Februari, sebuah surat yang
ditandatangani "Jenderal Pemberontak" memperingatkan bahwa "Pada hari Rabu,
19 Februari, akan turun hujan diTembagapura". Sekitar pukul 22:00 WIT, sejumlah
orang tak dikenal memotong jalur pipa slurry dan bahan bakar dengan gergaji,
sehingga "banyak slurry, bijih tembaga, perak, emas, dan bahan bakar diesel yang
terbuang." Selain itu, mereka membakar pagar jalur pipa dan menembak polisi yang
mencoba mendekati lokasi kejadian. Tanggal 14 April 1986, milisi OPM kembali
memotong jalur pipa, memutus kabel listrik, merusak sistem sanitasi, dan membakar
ban. Kru teknisi diserang OPM saat mendekati lokasi kejadian, sehingga Freeport
terpaksa meminta bantuan polisi dan militer.[1]
Dalam insiden terpisah pada bulan Januari dan Agustus 1996, OPM
menawan sejumlah orang Eropa dan Indonesia; pertama dari grup peneliti,
kemudian dari kamp hutan. Dua sandera dari grup pertama dibunuh dan sisanya
dibebaskan.
Bulan Juli 1998, OPM mengibarkan bendera mereka di menara air kota Biak
di pulau Biak. Mereka menetap di sana selama beberapa hari sebelum militer
Indonesia membubarkan mereka. Filep Karma termasuk di antara orang-orang yang
ditangkap.[11]
Tanggal 24 Oktober 2011, Dominggus Oktavianus Awes, kepala polisi Mulia,
ditembak oleh orang tak dikenal di Bandara Mulia, Puncak Jaya. Kepolisian
Indonesia menduga sang penembak adalah anggota OPM. Rangkaian serangan
terhadap polisi Indonesia memaksa mereka menerjunkan lebih banyak personel di
Papua.[12]
Pada tanggal 21 Januari 2012, orang-orang bersenjata yang diduga anggota OPM
menembak mati seorang warga sipil yang sedang menjaga warung. Ia adalah
transmigran asal Sumatera Barat.[13]
Tanggal 8 Januari 2012, OPM melancarkan serangan ke bus umum yang
mengakibatkan kematian 3 warga sipil dan 1 anggota TNI. 4 lainnya juga cedera. [14]
Tanggal 31 Januari 2012, seorang anggota OPM tertangkap membawa 1 kilogram
obat-obatan terlarang di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Obat-obatan tersebut
diduga akan dijual di Jayapura.[15]
Tanggal 8 April 2012, OPM menyerang sebuah pesawat sipil Trigana Air setelah
mendarat yang akan parkir di Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua. Lima militan
bersenjata OPM tiba-tiba melepaskan tembakan ke pesawat, sehingga pesawat
kehilangan kendali dan menabrak sebuah bangunan. Satu orang tewas, yaitu Leiron
Kogoya, seorang jurnalis Papua Pos yang mengalami luka tembak di leher. Pilot
Beby Astek dan Kopilot Willy Resubun terluka akibat pecahan peluru. Yanti Korwa,

seorang ibu rumah tangga, terluka di lengan kanannya dan anaknya yang berusia 4
tahun, Pako Korwa, terluka di tangan kirinya. Pasca-serangan, para militan mundur
ke hutan sekitar bandara. Semua korban adalah warga sipil. [16]
Tanggal 1 Juli 2012, patroli keamanan rutin yang diserang OPM mengakibatkan
seorang warga sipil tewas. Korban adalah presiden desa setempat yang ditembak di
bagian kepala dan perut. Seorang anggota TNI terluka oleh pecahan kaca. [17]
Tanggal 9 Juli 2012, tiga orang diserang dan tewas di Paniai, Papua. Salah satu
korban adalah anggota TNI. Dua lainnya adalah warga sipil, termasuk bocah berusia
8 tahun. Bocah tersebut ditemukan dengan luka tusuk di bagian dada. [18]
Hirarki organisasi dan otoritas pemerintahan
Organisasi internal OPM sulit untuk ditentukan. Pada tahun 1996 'Panglima
Tertinggi' OPM adalah Mathias Wenda.[19] Juru bicara OPM di Sydney, John Otto
Ondawame, mengatakan telah lebih atau kurang dari sembilan titah kemerdekaan.
[19]
Jurnalis lepas Australia, Ben Bohane, mengatakan telah ada tujuh titah
kemerdekaan.[19] Tentara Nasional Indonesia mengatakan OPM memiliki dua sayap
utama, 'Markas Besar Victoria' dan 'Pembela Kebenaran'. Mantan yang lebih kecil,
dan dipimpin oleh ML Prawar sampai ia ditembak mati pada tahun 1991. Terakhir ini
jauh lebih besar dan beroperasi di seluruh Papua Barat. [19]
Organisasi yang lebih besar, atau Pembela Kebenaran (selanjutnya PEMKA),
yang diketuai oleh Jacob Prai, dan Seth Roemkorem adalah pemimpin Fraksi
Victoria. Selama pembunuhan Prawar, Roemkorem adalah komandannya.

Sebelum pemisahan ini, TPN/OPM adalah satu, di bawah kepemimpinan


Seth Roemkorem sebagai Komandan OPM, kemudian menjadi Presiden
Pemerintahan Sementara Papua Barat, sementara Jacob Prai menjabat sebagai
Ketua Senat. OPM mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam
istilah modern) karena sebagai struktural terorganisasi. Selama ini,
Pemerintah Senegal mengakui keberadaan OPM dan memungkinkan OPM untuk
membuka Kedutaan di Dakhar, dengan Tanggahma sebagai Duta Besar.
Karena persaingan, Roemkorem meninggalkan markasnya dan pergi ke
Belanda. Selama ini, Prai mengambil alih kepemimpinan. John Otto Ondawame
(waktu itu ia meninggalkan sekolah hukum di Jayapura karena diikuti dan diancam
untuk dibunuh oleh ABRI Indonesia siang dan malam) menjadi tangan kanan dari
Jacob Prai. Itu inisiatif Prai untuk mendirikan Komandan Regional OPM. Dia
menunjuk dan memerintahkan sembilan Komandan Regional. Sebagian besar dari
mereka adalah anggota pasukannya sendiri di kantor pusat PEMKA, perbatasan
Skotiau, Vanimo-Papua Barat.

Komandan regional dari mereka , Mathias Wenda adalah komandan untuk


wilayah II (Jayapura - Wamena), Kelly Kwalik untuk Nemangkawi (Kabupaten
Fakfak), Tadeus Yogi (Kabupaten Paniai), Bernardus Mawen untuk wilayah Maroke
dan lain-lain. Komandan ini telah aktif sejak itu. Kelly Kwalik ditembak dan dibunuh
pada 16 Desember 2009.[20]
Pada tahun 2009, sebuah kelompok perintah OPM yang dipimpin oleh
Jenderal Goliat Tabuni (Kabupaten Puncak Jaya) sebagai fitur pada laporan
menyamar tentang gerakan kemerdekaan Papua Barat. [21]

AMBON
Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang
didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh
rujukan]

RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di

Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada
pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam
pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris
Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan
dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete,
pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.
Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada
abad ke-19 dengan didirikannyaHindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui
ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang
tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Tidak semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.[1]Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku


Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan
awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara federal.

Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada
November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau
Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari
pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[2] Tahun
berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan
pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".
Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah
penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari
pemerintah Belanda.[3]
Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di
Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan
kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain
di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang
berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977,

terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar
di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands
Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi
tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh
pasukan BBE. Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan
RMS.

Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (19661993).
Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2
Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi
pada tanggal 12 April 1966.
Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans
Tutuhatunewa M.D. pada tahun 19932010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan
terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa

generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika
benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.
Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia,
mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi
pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan. [4][5]
John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang
berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang
presiden-presiden sebelumnya.

Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi 2:3.
Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian,
pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan
kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah
nenek moyang dan darah rakyat.

Bendera RMS sebelum 2011

Bendera RMS sejak 2011

Lambang

Lambang Republik Maluku Selatan

Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih
dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang,
sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya
bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.
Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa
Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung
perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi
lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya
pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.

Perkembangan RMS saat ini


Perkembangan politik di Belanda
Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio Netherlands
Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak lagi
memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak
otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku.
Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John Wattilete,
mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski kemerdekaan
masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di
Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya
sendiri."[7][8]

Pada bulan April 2010 John Wattilete menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah presiden
pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih
pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan
kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak
1970,[9] Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan
kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal,
Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[10]

Perkembangan politik di Indonesia


Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di
Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim Maluku
pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak
mendukung separatisme,[butuh rujukan] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih
bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku,

dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil
membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi
tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang
memperjuangkan berdirinya RMS.
Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan
perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis
gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia
berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS. [11]
Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi
di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum.
Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan
kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai