DEMAM TIFOID
Oleh:
Dr. Eka Yunita Wulandari
Pembimbing:
Dr. Ania Soplanit
Pendamping:
DR. Dr. Yusuf Huningkor, Sp.PD, FINASIM
Wahana:
RS Sumber Hidup - GPM Ambon
PORTOFOLIO
Kasus-1
Topik : Demam tifoid
Tanggal (Kasus) : 17 April 20146
Presenter : dr. Eka Yunita Wulandari
Tanggal Presentasi : 30 April 2016
Pendamping : dr. Yusuf, Sp. PD
Tempat Presentasi : RS Sumber Hidup - GPM Ambon
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan
Diagnostik
Bayi
Manajemen
Anak
Masalah
Dewasa
Lansia
Pustaka
Istimewa
Bumil
Neonatus
Remaja
Deskripsi : Wanita 43 tahun, demam tifoid
Tujuan : Tatalaksana demam tifoid
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan :
Cara membahas
Pos
Pustaka
Diskusi
Data
Nama: Ny. Y
Pasien:
Alamat: Amahusu
Umur: 43 tahun
Pekerjaan: IRT
No. Reg : -
Terdaftar sejak :
- GPM Ambon
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keadaan umum tampak sakit sedang dengan keluhan utama demam terus-menerus
selama 7 hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada pagi
dan siang hari tanpa fase menggigil, disertai gejala konstitusional (malaise, anoreksia,
dan nyeri perut) dan gejala gastrointestinal yang mendominan (mual-muntah dan
buang air besar cair)
2. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan selama demam
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Sejak 7 hari sebelum berobat ke rumah sakit, pasien mengeluh demam yang
dirasakan terus-menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada malam hari dan
tidak begitu panas pada pagi dan siang hari. Menggigil tidak ada, berkeringat tidak
ada, batuk pilek tidak ada. Pasien tampak lesu dan tidak nafsu makan. Lidah terasa
pahit. Pasien juga mengeluh nyeri di daerah ulu hati, mual, dan muntah dengan
frekuensi 2 kali/hari, banyaknya - gelas belimbing, isi muntahan apa yang
dimakan.
Sejak 5 hari sebelum berobat, demam masih dirasakan. Pasien juga mengeluh
buang air besar dengan konsistensi cair, frekuensi 3x/hari, darah tidak ada, lendir
tidak ada. Mual-muntah (+). Buang air kecil normal.
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau TB paru disangkal
5. Riwayat Pekerjaan : 6. Lain-lain :
Riwayat bepergian ke luar kota dalam 1 bulan terakhir disangkal
Daftar Pustaka:
1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2009. Salmonellosis: Principles of Internal Medicine:
Harrison 16th Ed. p.897-900.
2. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www.emedicine.medscape.com.
3. Djoko Widodo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Hasil Pembelajaran
1. Epidemiologi dan Etiologi
2. Patofisiologi demam tifoid
3. Penegakan diagnosis demam tifoid
4. Penatalaksanaan demam tifoid
1. Subjektif :
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh demam yang terus-menerus
selama 7 hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas pada
pagi dan siang hari tanpa fase menggigil, disertai gejala konstitusional (malaise,
anoreksia, dan nyeri perut) dan gejala gastrointestinal yang mendominan (mualmuntah dan buang air besar cair). Keluhan tersebut dicurigai dapat disebabkan oleh
demam tifoid atau malaria.
2. Objektif :
Hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium) sangat
mendukung diagnosis demam tifoid. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
penemuan:
Lidah tampak kotor dengan tepi hiperemis (typhoid tongue)
3.
sakit dengan keluhan demam yang dirasakan sejak 7 hari sebelum berobat. Demam
terus menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu
panas pada pagi dan siang hari, tidak menggigil, disertai keluhan gastrointestinal
seperti mual, muntah, nyeri perut, tidak nafsu makan, dan BAB cair. Dari keluhan
utama berupa demam lama dapat dipikirkan beberapa kemungkinan penyebab,
antara lain demam tifoid, malaria, atau TB paru.
Berdasarkan anamnesa, kemungkinan TB paru dapat disingkirkan karena sifat
demam pada penyakit ini biasanya subfebris. Selain itu penderita juga menyangkal
adanya batuk kronis, penurunan berat badan yang signifikan, dan riwayat kontak
dengan penderita Tb paru. Kemungkinan malaria masih belum dapat disingkirkan
meskipun dari anamnesis didapatkan bahwa pola demam tidak khas untuk malaria,
tidak ada keluhan menggigil, dan riwayat bepergian ke wilayah endemik malaria
disangkal. Untuk memastikan diagnosis malaria perlu dilakukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis. Dari sifat demam yang remitten dan
diikuti oleh adanya keluhan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri perut, dan BAB
cair), maka kecurigaan sementara diagnosa pasien ini adalah demam tifoid,
Diet bubur
Edukasi keluarga :
1.
2. Menjaga pola makan pasien dengan diet lunak (bubur saring) yang diberikan
dalam porsi sedikit tapi sering, mengandung kalori dan protein yang tinggi, serta
tidak merangsang (mengandung gas, pedas, asam, dan bebas serat)
3.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. 1
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.2 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Etiologi
Demam tifoid adalah suatu infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel dan dinamakan endotoksin.1
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi.
Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu
apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi Salmonella typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage,
dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber
kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel Peyers Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyers Patch, nodus limfatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri
bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.1
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2), namun
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam
usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi
minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung
yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat-obatan seperti
antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.4
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ RES ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda-tanda
dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare
diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anakanak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi
dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyers patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan
(S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar Peyers patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor
sel
endotel
kapiler
dengan
akibat
timbulnya
komplikasi
seperti
gangguan
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Banyak
orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut
atau delirium, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, mialgia, dan nyeri perut. Gejala gastrointestinal pada kasus
demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, onbstipasi, atau obstipasi
kemudian disusul episode diare dan banyak dijumpai meteorismus. Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga.
Pembesaran hepar lebih banyak dijumpai dibandingkan pembesar limfa.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
10
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri.6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1.
2.
3.
11
12
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid
yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak
dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode
Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan
inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis nontifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa
Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga
dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum
ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum
pasien.6
d) Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen
13
14
15
Dosis Trimetoprim 10
16
17