Anda di halaman 1dari 45

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
DAFTAR TABEL...................................................................................................ii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1
1.2 Fokus Penelitian.............................................................................................8
1.3 Rumusan Masalah..........................................................................................8
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................................8
1.5 ManfaatPenelitian...........................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................10
2.1 Penelitian Terdahulu.....................................................................................10
2.2 Landasan Teoretis.........................................................................................14
2.2.1 Teorisasi Gaya Hidup.............................................................................14
2.3Landasan Konseptual....................................................................................15
2.3.1 Gaya Hidup............................................................................................15
2.3.2Pekerja Seks Komersial..........................................................................19
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................23
3.1 Lokasi Penelitian..........................................................................................23
3.2 Pendekatan Penelitian...................................................................................24
3.3 Informan Penelitian......................................................................................24
3.4 Sumber Data.................................................................................................25
3.5 Teknik Pengumpulan Data...........................................................................26
3.6 Teknik Analisis Data.....................................................................................28
3.7 Jadwal Kegiatan Penelitian..........................................................................31
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................32

DAFTAR TABEL

TabelHalaman
3.1

Waktu Penelitian...................................................................................... 31

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Interview...................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah, syariyah,
dan akhlak. Syariat Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
Ketentuan pelaksanaan syariat Islam diatur dengan Qanun Aceh.
Al Yasa Abu Bakar (2004:61)

mengatakan Penerapan Syariat Islam

dideklarasikan tahun 2001. Dasar hukum pelaksaan Syariat Islam di Aceh adalah
UU No. 44 tahun 1999 dan UU No 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor
18 disebutkan bahwa mahkamah Syariah akan melaksanakan Syariat Islam yang
dituangkan ke dalam qanun (Qanun nomor 14 tahun 2003 tentang larangan
khalwat/perbuatan mesum). Lembaga yang terkait penerapan Syariat Islam adalah
Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU) dan Wilayatul
Hisbah (WH).
Banda Aceh dijuluki daerah Serambi Mekkah menerapkan Syariat Islam
yang terdapat dalam Qanun, namun semakin majunya zaman yang disebut sebagai

hasil dari pembangunan telah menyisakan berbagai perubahan gaya hidup dan
memunculkan banyak masalah sosial dalam masyarakat. Salah satunya adalah

terbentuknya bisnis prostitusi, untuk mempertahankan hidup di tengah


hiruk pikuk pembangunan di Indonesia. Bisnis prostitusi merupakan salah satu
pekerjaan tertua di dunia yang kerap disebut sebagai patologi sosial dan
memancing kontra keras dari kalangan masyarakat tradisional dan religius. Usaha
untuk membubarkan bisnis prostitusi ini telah banyak diupayakan, baik melalui
pemerintah maupun organisasi masyarakat berlatar agama dan sosial (Sugiyono,
2015).
Jayanthi dan Ikram (2014) menjelaskan bahwa fenomena prostitusi
merupakan salah satu bentuk kriminalitas yang sangat sulit untuk ditangani dan
jenis kriminalitas ini banyak didukung oleh faktor ekonomi dalam kehidupan
masyarakat. Ketika sumber kepuasan dari semua individu tidak mampu memenuhi
kebutuhan, maka menurut sebagian masyarakat prostitusi dapat digunakan sebagai
alternatif untuk memenuhinya. Lebih lanjut Jayanthi dan Ikram (2014)
menjelaskan bahwa bentuk prostitusi seperti praktek penjualan jasa seksual atau
yang disebut juga pekerja seks komersial selayaknya dianggap sebagai salah satu

penyakit masyarakat yang memiliki sejarah panjang, bahkan dianggap sebagai


salah satu bentuk penyimpangan terhadap norma perkawinan yang suci.
Fenomena prostitusi hingga kini masih menjadi masalah yang belum
terselesaikan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah, baik upaya preventif
maupun upaya yang bersifat represif untuk menanggulangi masalah prostitusi
belum menampakkan hasil maksimal hingga kini. Belum adanya satu program
terpadu dari pemerintah untuk mengatasi masalah prostitusi menyebabkan
fenomena wanita pekerja seks komersial terus tumbuh dengan subur, yang
dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah wanita pekerja seks komersial
setiap tahunnya.
Meningkatnya jumlah pekerja seks komersial merupakan fenomena sosial
tersendiri yang harus dicermati bersama serta dicarikan alternatif penyelesaian
oleh semua pihak, karena selain melanggar norma-norma soaial kemasyarakatan,
norma agama dan norma hukum, keinginan prostitusi atau pelacuran dipandang
dari dunia kesehatan merupakan masalah yang sangat berkaitan erat dengan
masalah sosial yang akan memacu penyakit menular seksual (PMS) yaitu
Gonorrhea, Sifilis, Kandidisis dan sebagainya termasuk infeksi HIV/AIDS.
Praktik prostitusi ini dilakukan secara terang-terangan hingga praktik prostitusi
terselubung. Masalah prostitusi yang dulu dianggap sebagai hal yang tabu oleh
masayarakat Indonesia pada saat ini hal tersebut telah menjadi sesuatu yang biasa.
Gejala demikian bisa dibuktikan dengan semakin banyaknya praktek-praktek
prostitusi baik yang dianggap resmi maupun yang liar.

Secara keseluruhan, para pekerja Seks Komersial (PSK) yang ada di


Banda Aceh berasal dari Sumatera Utara, bahkan ada yang dari Jawa seperti
Jakarta dan Bandung. Jumlahnya pun hingga 500 orang yang 30 persennya
berstatus mahasiswa (Yayasan Daulat Remaja, 28/06/2007). Selain berstatus
mahasiswa, Pekerja Seks Komersial (PSK) yang berada di Banda Aceh 70
persennya merupakan Sales Promotion Girl (SPG). SPG umumnya yang
menjajakan produk tertentu dari suatu tempat dari suatu tempat ke tempat lain,
bahkan dari cafe ke cafe. Prostitusi terjadi dalam interaksi sosial memperlihatkan
adanya hubungan antara pelaku prostitusi Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan
para pelanggan dan hubungan Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan masyarakat
lainnya.
Pada buku patologi sosial sebagian yang melakukan pekerja seks
komersial adalah karena faktor ekonomi dan frustasi dengan keadaan yang ada.
Pekerjaan ini sudah menjadi lumrah bagi mereka yang melakukannya, bahkan ada
sebuah cafe di Banda Aceh yang menjadi sarana dan prasarana mereka untuk
beroperasi tanpa ada kendala dari masyarakat setempat, dan pemilik cafe seperti
tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan, walaupun di daerah tersebut
adanya beberapa papan pengumuman yang melarang keras adanya perbuatan zina
tetapi pekerjaan tersebut sudah menjadi hal biasa bagi pemilik cafe tersebut.
Bahkan para pekerja seks komersial itu mendapatkan izin untuk bertransaksi di
cafe oleh pemilik cafe tersebut.
Pekerja seks komersial adalah salah satu bagian dari dunia pelacuran yang
di dalamnya termasuk gigolo, waria, dan mucikari. Secara tidak langsung

keberadaan pekerja seks komersial telah menjadi katub penyelamat bagi


kehidupan ekonomi keluarganya. Namun demikian, peran penting ini tak pernah
dilihat secara bijak oleh masyarakat. Masyarakat cenderung melihat hanya dari
satu sisi yang cenderung subjektif, menghakimi dan memandang sebelah mata
para pekerja seks komersial. Pekerja seks komersial merupakan peristiwa
penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan
imbalan pembayaran (Kartini Kartono, 2011:216). Definisi tersebut sejalan
dengan Koentjoro (2004:36) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial
merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan
seks dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi
uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan. Koentjoro (2004:134)
mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi
dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks komersial
diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang
permisif, dan faktor ekonomi.
Fenomena PSK bertentangan dengan nilai moral, susila, hukum dan
agama. Sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah serta
keterampilan yang tidak memadai dari seseorang adalah faktor yang menyebabkan
terjadinya fenomena prostitusi dewasa ini. Menurut Perkins and Bannet dalam
Koentjoro (2004:30), pelacuran atau prostitusi merupakan suatu bentuk transaksi
bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang bersifat jangka

pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks
dengan metode yang beraneka ragam.
Tanpa disadari prostitusi secara tidak langsung berdampak bagi
masyarakat. Masyarakat bisa saja menjadi korban dari prostitusi, terancam terkena
penyakit menular seksual, retaknya rumah tangga, berkembangnya pemikiran
hedonisme yang membuat mereka mudah melakukan perbuatan maksiat.
Pemerintah kurang tegas dalam mengatasi kasus prostitusi, hal itu tercermin pada
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak ditujukan kepada
pelacur akan tetapi ditujukan kepada germo dan calo, sedangkan germo dan calo
tersebut tidak diambil tindakan. Padahal secara nyata telah melanggar pasal 4
tersebut. Pasal yang mengatur tentang prostitusi adalah pasal 296, yang bunyinya:
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul
oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak Rp 15.000,00. Dan pasal 506 yang berbunyi: Barang siapa
menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya
sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Oleh karena tidak tepat jika melakukan
penertiban prostitusi dengan menggunakan pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), hukum tidak dapat lagi memfasilitasi permasalahan
prostitusi. Di Provinsi Yogyakarta sendiri prostitusi diatur dalam PERDA DIY no.
18 tahun 1954 tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum.

Penelitian mengenai prostitusi ini sebelumnya sudah pernah diteliti oleh


Cicie Nazrina Keumala pada tahun 2013, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Syiah Kuala dengan Judul Prostitusi dan Interaksi Sosial di
Kota Banda Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan observasi,
dokumentasi dan wawancara. Disimpulkan bahwa PSK di Banda Aceh terdapat
dua jenis, PSK terkoordinir dan PSK amatir. Mereka berkembang di event-event
yang dilaksanakan oleh beberapa hotel berbintang, menjamurnya cafe atau
warung kopi berdesign modern.
Pada tahun 2007 sudah dikeluarkan UU baru yang berisi tentang peraturan
daerah yang dapat menjerat pidana PSK maupun pemakai jasa PSK yaitu
Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum (Perda DKI 8/2007) Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan
ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau
denda paling sedikit Rp. 500.000 dan paling banyak Rp. 30 juta (Pasal 61 ayat [2]
Perda DKI 8/2007).
Pemerintah Aceh juga sudah membuat Qanun Jinayat yang isinya akan ada
hukuman cambuk bagi siapa saja yang melakukan khalwat, Qanun tersebut baru
di sahkan bulan Oktober 2015. Tetapi itu juga tidak bisa jadi solusi yang begitu
baik karna masih adanya PSK yang melakukan bisnis prostitusi. Pelegangan
agama dalam diri sendiri yang kurang menyebabkan PSK melakukan
bisnisprostitusi, namun disayangkan prostitusi ini terjadi di kota yang telah
menerapkan syarist Islam.

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul penelitian Gaya Hidup Pekerja Seks Komersial (PSK)
di Negeri Syariat Kota Banda Aceh (Studi Kasus di Kota Banda Aceh).

1.2 Fokus Penelitian


Luasnya

permasalahan yang berkaitan dengan penelitian, maka perlu

adanya fokus penelitian agar masalah yang diteliti menjadi terarah. Masalah
dalam penelitian ini difokuskan pada gaya hidup pekerja seks komersial (PSK)
yang ada di Negeri Syariat Kota Banda Aceh.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana gaya hidup Pekerja Seks Komersial (PSK) di Negeri Syariat
Kota Banda Aceh?
2. Bagaimana Pekerja Seks Komersial (PSK) berinteraksi dengan masyarakat
di Negeri Syariat Kota Banda Aceh?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini antara lain :

1. Untuk mengetahui gaya hidup Pekerja Seks Komersial (PSK) di Negeri


Syariat Kota Banda Aceh
2. Untuk mengetahui cara berinteraksi Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan
masyarakat di Negeri Syariat Kota Banda Aceh

1.5 ManfaatPenelitian
Beberapa kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan untuk
perkembangan ilmu sosial. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan referensi
untuk penelitian-penelitian lanjutan yang berhubungan dengan gaya hidup
pekerja seks komersial.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaaat bagi peneliti dalam pengembangan
bidang keilmuan, serta diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya
sebagai referensi yang lebih luas lagi, dapat menjadi masukan kepada
lembaga dan pihak lain yang terkait memberi informasi pada lembaga dan
pihak lain yang terkait guna memberikan penanganan tentang masalah
pekerja seks komersial dan bisa memberikan solusi yang baik untuk para
PSK. Pada masyarakat dapat memberi informasi tentang masalah pekerja seks
komersial, agar masyarakat dapat melakukan upaya untuk mengentaskan
pekerja seks komersial.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu


Dari penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan terdapat beberapa
penelitian yang terkait langsung dengan penelitian yang akan peneliti lakukan
antara lain :
1

Penelitian tahun 2013 yang dilakukan oleh Cicie Nazrina Keumala


Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala dengan
Judul Prostitusi dan Interaksi Sosial di Kota Banda Aceh di wilayah Kota
Banda Aceh.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan
analisis data model interaktif. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan
faktor-faktor yang melatar belakangi menjadi PSK yang mampu memenuhi
kebutuhan hidup dan faktor keluarga.
Penelitian yang telah dilakukan ini dapat dijadikan referensi peneliti karena
tema dan objek yang diangkat dalam sebuah penelitian memiliki persamaan
yaitu penelitian mengenai interaksi. Perbedaan penelitian yang akan
dilakukan peneliti dengan penelitian ini adalah terletak pada fokus penelitian.
Fokus penelitian ini mengambil metode para pekerja seks komersial yang
menggunakan komunikasi aplikasi chatting maupun via pertemuan langsung.

10

Penelitian Tahun 2013 yang dilakukan oleh Martha Kristiyana Mahasiswa


Program Studi Pendidikan Luar SekolahJurusan Pendidikan Luar

11

11

SekolahFakultas Ilmu PendidikanUniversitas Negeri Yogyakarta dengan judul


Perilaku Sosial Pekerja Seks Komersial (PSK) di Pasar Hewan Prambanan,
Sleman, Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian observasi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perilaku
PSKadalah segala aktivitas yang dilakukan oleh pekerja seks komersial yang
berkaitan dengan faktor-faktor dan aspek-aspek sosial yang meliputi perilaku
dan interaksi. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa motif seseorang
untuk menjadi PSK adalah faktor ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan
menjadikan mereka menekuni pekerjaan tersebut, karena hanya dengan cara
itu mereka bisa memberantas kemiskinan dan tetap bisa bertahan hidup, juga
karena pendidikan mereka yang rendah menyebabkan mereka terpaksa
bekerja sebagai PSK, dan ada juga karena penghasilan PSK yang cukup
tinggi menyebabkan mereka tergiur oleh pembayaran yang sangat lumayan
tersebut, karena secara tidak langsung perempuan adalah makhluk sosial yang
punya banyak nafsu yang tidak pernah merasa puas untuk memiliki sesuatu.

Penelitian tahun 2002 yang dilakukan oleh Lidza Mayshara yang berjudul
Analisis Tingkat Pendapatan dan Konsumsi WTS (Wanita Tuna Susila) di
Kota Banda Aceh, menjelaskan bahwa praktek prostitusi di Kota Banda Aceh
berjalan secara liar dan terselubung rapi

dibalik bisnis-bisnis terhormat

seperti salon-salon, rumah kecantikan, rumah bilyard, panti pijat, usaha


penginapan, pedagang keliling, pedagang kaki lima, dan sebagainya, sehingga
sepintas lalu sulit memastikan adanya praktek tersebut di Kota Banda Aceh.
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat pendapatan pola konsumsi wanita

12

tuna susila di Kota Banda Aceh dan mengetahui faktor-faktor penyebab


terjunnya wanita tersebut pada praktek prostitusi. Metode yang digunakan
adalah kualitatif dan kuantitatif dengan sampel acak terhadap 20 WTS.
Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang itu menjadi pelacur adalah
faktor ekonomi, faktor psikologi, keamanan dan ketaatan beragama. Penulis
lebih membahas bagaimana pendapatan yang dihasilkan oleh para WTS yang
ada di Banda Aceh. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penulis
ingin melihat semakin banyaknya tempat-tempat hiburan dimana sebahagian
besar tempat hiburan tersebut ada terdapat pekerjaan prostitusi. Sehingga
penulis berfikir daerah Aceh yang sudah memilih Qanun Syariat Islam
mengapa masih ada para pelaku prostitusi Pekerja Seks Komersial (PSK)
terselubung.
5

Penelitian Tahun 2011 oleh Sihombing yang berjudul Gambaran Kecemasan


pada Pekerja Seks Komersial (PSK) di Bandung pada Jurnal Kedokteran
Maranatha, Vol. 11, No. 1. Dengan hasil penelitian menunjukkan nilai
tertinggi pada responden yang khawatir akan masa depannya sebanyak 30%,
ingin memiliki keluarga yang ideal sebanyak 56,66%, takut kepada aparat
penegak hukum adalah 42,33%, berpikir untuk menekuni profesi lain
sebanyak 56,66%, malu akan profesinya sebanyak 43,33%, dan merasa sangat
berdosa sebanyak 60%. Simpulan dari penelitian ini ialah angka kecemasan
pada pekerja seks komersial cukup tinggi dengan faktor yang memungkinkan
untuk terjadinya kecemasan tersebut adalah faktor pribadi, keluarga,
lingkungan, pekerjaan, dan agama.

13

Penelitian Tahun 2015 oleh Silvie Andartyastuti dalam Jurnal LPPM-UISBA


Vol. LPPM-UISBA Vol. 5, No. 1 dengan Judul Hubungan Antara Coping
Strategy Dengan Subjective Well-Being Pekerja Seks Komersial Di Kota
Bandung dengan hasil penelitian menunjukkan 80% pekerja seks komersial
menggunakan problem-focused coping dan 66% memiliki subjective wellbeing yang rendah. Tidak terdapat hubungan antara coping strategy dengan
subjective well-being pekerja seks komersial di Kota Bandung (rxy = 0,111).
Hubungan antara problem-focused coping dengan subjective well-being
sebesar -0,081, sedangkan antara emotion-focused coping dengan subjective
well-being sebesar 0,593. Kontribusi yang diberikan emotion-focused coping
terhadap subjective well-being pada pekerja seks komersial di Kota Bandung
sebesar 35,17%.
Coping adalah cara seseorang dalam menghadapi atau menyelesaikan
masalah, sedangkan Subjective well-being dapat didefinisikan sebagai
penilaian seseorang terhadap kehidupannya, baik penilaian yang bersifat
kognitif maupun penilaian yang bersifat afektif.

14

2.2 Landasan Teoretis


2.2.1 Teorisasi Gaya Hidup
George Simmel dan filosofi uang
Dengan kualitasnya yang menjadi alat tukar umum, uang muncul sebagai
sebuah alat universal yang ditujukan untuk semua pemakaian. Uang membuka
berbagai kemungkinan tindakan baru, dan memungkinkan masing-masing orang
merealisasikan tujuan akhir yang khas. Pemakaian uang akan memberi masalah
pada makna mendalam seperti yang kita berikan kepada kehidupan.
Pertama uang memperkuat perkembangan kalkulasi dan intelektualitas.
Selanjutnya sebagai alat, uang akan menjadi tujuan dan pada tataran kedua akan
mengasingkan tujuan lain seperti keluarga dan agama. Kedua, penggunaan uang
juga akan mendukung munculnya kecenderungan psikologis yang memiliki
karakteristik seperti tamak, angkuh, kikir, suka berfoya-foya atau hedonis, miskin
dan kekkurangan. Uang menjadikan segala benda bisa diperbandinkan.
Terakhir, uang ikut berpartisipasi dalam pembentukan gaya hidup
masyarakat yang oleh Simmel diberikan tiga buah konsep, yaitu jarak, ritme, dan
simetri. Karakter uang yang bersifat mobile dan impersonal cenderung
mendukung terjadinya asosiasi yang berjarak dan berada dalam kepentingan yang
sangat terbatas. Uang memungkinkan terjadinya koeksistensi daerah-daerah
aglomerasi yang besar, dimana orang tidak perlu melibatkan seluruh
personalitasnya dalam pertukaran-pertukaran sosial. Di sisi lain uang cenderung
mempercepat dan mengatur ritme masyarakat, terutama dalam masalah ekonomi
karena pembentukan sistem moneter akan mempercepat terjadinya pertukaran.

15

Selanjutnya dengan homogenisasi pasar kerena penurunan harga barang mewah,


berarti uang ikut berpartisipasi dalam memperbandingkan kelas-kelas sosial,
menumbuhkan fenomena-fenomena peniruan (imitasi) dan membedakan serta
menekankan pengaruh cara tipikal masyarakat-masyarakat urban.

2.3Landasan Konseptual
2.3.1 Gaya Hidup
Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini
memiliki arti sosiologi yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup khas
dari berbagai kelompok status tertentu. Dalam budaya konsumen kontemporer
istilah ini mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang
semu. Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu, pilihan makan dan minuman,
rumah, kendaraan dan pilihan hiburan dan seterusnya dipandang sebagai indikator
dari individualitas selera

serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen

(Fatherstone, 2005:201).
Gaya hidup dapat merujuk pada perbedaan cara hidup antara masyarakat
desa dengan masyarakat kota. Gaya hidup dapat pula merujuk pada konstrasnya
cara hidup yang ditemukan pada kelompok-kelompok sosial berbeda dalam
masyarakat misalnya kelompok remaja, pengangguran dan penyimpangan
(Marshall, 1998:370).
Weber (Dalam Sunarto, 2000:93) mengemukakan bahwa persamaan status
dinyatakan melalui persamaan gaya hidup. Dibidang pergaulan gaya hidup ini

16

dapat berwujud pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang yang statusnya
lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber
kelompok status ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli
atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Kelompok status dibedabedakan atas dasar gaya hidup yang tercermin dalam gaya konsumsi. Kelompok
status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua
adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Perbedaan gaya hidup ini tidak hanya dijumpai pada hierarki prestise,
tetapi juga pada hierarki kekuasaan dan privilege. Kita melihat bahwa setiap kelas
sosialpun menampilkan gaya hidup yang khas. Ogburn dan Nimkoff (1958) dalam
buku Sunarto (2000: 97) menyajikan suatu sketsa dari majalah life yang
menggambarkan bahwa lapisan bawah (Low-brow), menengah bawah (lower
middle-brow), menengah atas(Upper middle-brow) dan atas (High-Brow), masingmasing mempunyai selera yang khas didalam pakaian, hiburan, perlengkapan
rumah tangga, makanan, minuman, bacaan, selera, dan seni musik.
Gaya hidup (lifestyle) adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia
yang bisa berubah bergantung zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah
gaya hidupnya. Istilah gaya hidup pada awalnya dibuat oleh psikolog Austria,
Alfred Adler, pada tahun 1929. Pengertiannya yang lebih luas, sebagaimana
dipahami pada hari ini, mulai digunakan sejak 1961. Gaya hidup bisa dilihat dari
cara berpakaian, kebiasaan, dan lain-lain. Gaya hidup bisa dinilai relatif
tergantung penilaian dari orang lain. Gaya hidup juga bisa dijadikan contoh dan
juga bisa dijadikan hal tabu. Contoh gaya hidup baik: makan dan istirahat secara

17

teratur, makan makanan 4 sehat 5 sempurna, dan lain-lain. Contoh gaya hidup
tidak baik: berbicara tidak sepatutnya, makan sembarangan, dan lain-lain.
Kesehatan bergantung pada gaya hidup.
KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rujukan yang sangat
penting dalam bidang bahasa. KBBI juga menjadi salah satu sarana terpenting
dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Bisa dibilang bahwa KBBI adalah kamus
bahasa resmi Bahasa Indonesia. KBBI disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat
Bahasa. Selama ini KBBI menjadi acuan baku dan merupakan kamus terlengkap
dan terakurat. Edisi KBBI pertama diterbitkan pada tahun 1988 dan terus
mengalami

pengembangan

sesuai

dengan

perkembangan

Bahasa

Indonesia.Pengertian "gaya hidup" menurut KBBI adalah: pola tingkah laku


sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan
bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku
di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui
lambang-lambang sosial. Gaya hidup atau life style dapat diartikan juga sebagai
segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam
kehidupan suatu masyarakat tertentu.
Gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara
kasatmata, yang menandai sistem nilai, serta sekap terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Menurut Piliang (1998: 208), Gaya hidup merupakan kombinasi
dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang mendukungnya,
dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan
tertentu. Kita bisa menilai seseorang dengan cara melihat gaya hidup orang

18

tersebut. Itulah mengapa bagian departemen marketing sebuah produk selalu


melakukan pengamatan terhadap gaya hidup seseorang yang menjadi target
pasarnya untuk bisa mendapatkan hasil penjualan yang maksimal. Karena
memang melalui gaya hidup lah seseorang bisa dengan tanpa sadar
memperlihatkan kepada khalayak siapa diri mereka sebenarnya.
Gaya hidup adalah suatu titik tempat pertemuan antara kebutuhan ekspresi
diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak, yang tertuang
dalam norma-norma kepantasan. Terdapat norma-norma kepantasan yang
diinternalisasikan dalam diri individu, sebagai standar dalam mengekspresikan
dirinya. Estetika realitas melatarbelakangi arti penting gaya yang juga didorong
oleh dinamika pasar modern dengan pencarian yang konstan akan adanya model
baru, gaya baru, sensasi dan pengalaman baru.
Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan
antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam
bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui
macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya
hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya.
Adler (dalam Hall dan Lindzay, 1985) menyatakan bahwa gaya hidup
adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang dalam
hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan yaitu pekerjaan, persahabatan,
dan cinta.

19

2.3.2Pekerja Seks Komersial


2.3.2.1 Pengertian Pekerja Seks Komersial
Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit
masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha
pencegahan dan perbaikan. Mudji Sutrisno (2005: 341) mengatakan bahwa,
pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan
pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan
istilah wanita tuna susila (WTS) atau pekerja seks komersial Kartini Kartono
(2011:207). Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua usia
kehidupan manusia itu sendiri (Kartini Kartono, 2011:208). Di banyak negara
pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai
perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Pelacuran adalah salah satu
bentuk dari zina, maka agama pun melarang keras tentang itu. Akan tetapi, sejak
adanya masyarakat manusia pertama sehingga dunia akan kiamat nanti, mata
pencaharian pelacuran ini akan tetap ada, sukar, bahkan hampir-hampir tidak
mungkin diberantas dari muka bumi, selama masih ada nafsu-nafsu seks yang
lepas dari kendali kemauan dan hati nurani. Maka timbulnya masalah pelacuran
sebagai gejala patologis yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan
diberlakukannya norma-norma perkawinan Kartini Kartono (2011:208). Pekerjaan
melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak beberapa abad lampau ini
terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa.
Susilo Budi (2009) Dalam bukunya Patologi Sosial, Kartini Kartono (2011: 216)

20

menuliskan bahwa pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri


baik perempuan maupun laki-laki dengan jalan memperjualbelikan badan,
kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu
seks dengan imbalan pembayaran. Definisi tersebut sejalan dengan Koentjoro
(2004: 36), yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian
dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacammacam orang yang melibatkan beberapa pria dilakukan demi uang dan dijadikan
sebagai sumber pendapatan. Helen Buckingham dalam Sutrisno (2005: 343),
mengatakan bahwa perempuan menghargai dirinya sendiri dan menolong dirinya
sendiri dengan bekerja untuk dirinya sendiri, nampak pada profesinya sebagai
pelacur. Sebagai pelacur merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang
perempuan memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuhnya sendiri,
menjual dirinya sendiri dalam kedudukan ekonomi yang sulit. Lanjut dikatakan
pula bahwa perempuan memanfaatkan tubuhnya untuk meraup lembaran uang,
sehingga mendapatkan julukan penjaja seks oleh masyarakat.
PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual dengan
tujuan

untuk

mendapatkan

upah

atau

imbalan

dari

yang

telah

memakai jasa mereka tersebut (Koentjoro, 2004:26). Di beberapa negara


istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia,
para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK). Ini artinya bahwa
para perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu
pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam
masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap

21

buruk(stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi
orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar
dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. Jika dilihat dari pandangan
yang lebih luas. Kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan
pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan
yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa uang.
Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak.
Jaringan perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadangkadang tidak hanya di dalam satu negara tetapi beberapa negara.
Perlu diakui bahwa eksploitasi seksual, pelacuran dan perdagangan
manusia semuanya adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan karenanya
merupakan pelanggaran martabat perempuan dan adalah pelanggaran berat hak
asasi manusia. Jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) meningkat secara dramatis
di seluruh dunia karena sejumlah alasan ekonomis, sosial dan kultural.
Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat telah mengalami
kekerasan patologis atau kejahatan seksual sejak masa anak, terjeremus ke dalam
pelacuran untuk mendapat nafkah cukup untuk diri sendiri atau keluarganya.
Beberapa mencari sosok ayah atau relasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya
mencoba melunasi utang yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan
kemiskinan di negeri asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang
ditawarkan akan mengubah hidup mereka. Jelaslah bahwa eksploitasi perempuan
yang meresapi seluruh dunia adalah konsekuensi dari banyak sistem yang tidak
adil.

22

Banyak perempuan PSK yang berperan sebagai pelacur dalam dunia


pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan keempat. Di Eropa dan di tempat lain
banyak dari mereka diperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan
jumlah pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru. Organisasi
Internasional Pekerja (ILO) menaksir 12.3 juta orang diperbudak dalam kerja
paksa dan 2.4 juta dari mereka adalah kurban industri perdagangan, dan
penghasilan tahunannya ditaksir sejumlah $10 milyar.
Dalam dunia protitusi yang ada hal-hal yang menyebabkan terjadinya
kegiatan tersebut, karena banyak orang-orang yang orientasi hidunya pada materi.
Karena tingginya aspirasi terhadap materi, maka pelacuran yang berhasil
mengumpulkan banyak materi menjadi model atau contoh. Modeling adalah salah
satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan dan efektif. Modeling
biasanya bermula dari perasaan bangga kepada mereka yang bekerja sebagai PSK.
Terdapat banyak pelacuran yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di
komunitas yang menghasilkan PSK, sehingga mereka yang berada di lokalisasi
dengan mudah dapat menemukan model yang diinginkan. (Koentjoro, 2004:135)
Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa pekerja seks
komersial adalah orang yang melakukan kegiatan seks di luar nikah, dengan jalan
memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang
untuk memuaskan nafsu-nafsu seks, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai
sumber pendapatan.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di Kota Banda Aceh dengan titik pusat penelitian
di daerah Peunayong. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa di kawasan
tersebut sering adanya PSK yang berkeliaran. Hal itu juga didukung beberapa
pendapat, antara lain pendapat Ibu Illiza Sa'aduddin Djamal yang menjabat sebagai
Walikota Banda Aceh tahun 2016, dalam koran Serambi (2014) beliau mengatakan
Sejumlah lokasi yang dijadikan tempat mangkal dan transaksi seksual di antaranya
kawasan Peunayong, jalan Merduati, Simpang Surabaya dan beberapa penginapan
bahkan hingga hotel berbintang. Informasi Selanjutnya didatangkan dari koran
Prohaba Aceh (2013) yang berisi Petugas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH)
Banda Aceh, menyegel dua salon kecantikan di kawasan Peunayong dan terakhir
pendapat Afif, dari situs Merdeka.com (2014) yang mengatakan Sebuah gang
sempit hanya berukuran 2 meter yang dihimpit pertokoan, menghubungkan satu antar
jalan di kawasan Peunayong, Banda Aceh, itulah gang mabuk. Gang yang banyak
berkeliaran wanita malam menjajakan pelayanan seks untuk pria hidung belang yang
mencari kepuasan seks sesaat.

23

24

3.2 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah
penelitian yang memberikan gambaran secara jelas dan sistematis terkait dengan
objek yang diteliti. Penelitian deskriptif kualitatif juga merupakan penelitian yang
memberikan informasi dan data yang sesuai dengan fenomena di lapangan. Hal ini
sejalan dengan pendapat dari Muhammad Idrus (2009:24) bahwa penelitian kualitatif
akan melakukan gambaran secara mendalam tentang situasi atau proses yang diteliti.
Miles dan Huberman dalam (Usman dan Setiadi Akbar, 2008:78) mengemukakan
bahwa metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa
interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui, mengungkap dan
menjelaskan bagaimana gaya hidup seorang PSK pada umumnya. Pendekatan yang
penulis gunakan adalah pendekatan fenomenologis. Penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode pendekatan secara bersahabat dengan subjek, dan menggali
informasi dengan cara mengerti dengan gaya hidup mereka agar peneliti bisa
mengetahui apa yang terjadi pada PSK, apa saja keseharian PSK agar peneliti bisa
mengetahui kondisi informan dan menggali informan tersebut lebih dalam lagi.

3.3 Informan Penelitian


Di kalangan peneliti kualitatif, istilah subjek penelitian disebut dengan istilah
informan, yaitu orang yang memberi informasi tentang data yang diinginkan peneliti

25

berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan (Muhammad Idrus, 2009:91).


Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah para Pekerja Seks Komersial
(PSK) yang berada disekitaran daerah Peunayong Kota Banda Aceh. Subjek
penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan informasi yang diperlukan
selama proses penelitian (Suyanto dan Sutinah, 2005:171).
Informan dalam penelitian ini dipilih secara snowball untuk mengeksplorasi
pengalamannya. Penelitian ini menggunakan teknik snowball atau dilakukan secara
berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau yang
dihubungi sebelumnya, peneliti juga mendapat sumber dari hasil wawancara dengan
PSKnya langsung (Poerwandari, 1998). Melalui teknik snowball sampling, subjek
dipilih berdasarkan rekomendasi dari orang yang telah dipilih terlebih dahulu
(Sukardi, 2011:65).

3.4 Sumber Data


Data menurut asal sumbernya dapat dibagi menjadi dua yaitu.
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek yang akan diteliti
(Bagong Suyanto dan Sutinah, 2006:55). Dengan data primer, peneliti dapat
memperoleh data secara langsung dari informan dan pihak terkait. Data
primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan
dokumentasi.

26

Pada penelitian ini, peneliti memadukan hasil wawancara dengan kenyataan


yang ada di lapangan. Wawancara dengan informan penelitian dilakukan
dengan menggunakan pedoman wawancara.
Data primer yang didapatkan melalui wawancara dalam penelitian ini yaitu
mengenai. Dokumentasi dalam penelitian ini berupa foto-foto ketika peneliti
melakukan wawacara dengan informan terkait gaya hidup seorang PSK.
2. Data sekunder adalah data yang diproleh dari lembaga atau institusi tertentu
(Bagong Suyanto dan Sutinah, 2006:55). Data sekunder sebagai data
pendukung dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dari catatan, artikel, internet dan tulisan ilmiah.
Data sekunder dalam penelitian ini terkait dengan Pekerja Seks Komersial
(PSK) yang ada di daerah Peunayong Kota Banda Aceh. Selain itu juga data
sekunder diperoleh dari catatan, artikel, internet dan tulisan ilmiah yang
terkait dengan teori yang dipakai oleh peneliti.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
sebagai berikut.
1. Observasi

27

Observasi adalah pengamatan, pengamatan adalah alat pengumpulan data


yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistimatik gejalagejala yang diselidiki (Supardi, 2006: 88). Observasi juga dapat dipahami sebagai
proses pemeran serta sebagai pengamat (Moleong, 2005: 326-332) artinya,
peneliti hanya berperan sebagai pengamat dan menafsirkan atas apa yang terjadi
dalam sebuah fenomena. Namun demikian, untuk memperoleh tujuannya,
observasi tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, observasi ini lebih
membutuhkan keberanian untuk terjun langsung dan mengamati seorang
narasumber yang belum tentu mau dan terima saat ingin di teliti. Dan masalah
terbesarnya juga peneliti juga harus terjun langsung dan harus berbaur terlebih
dahulu dengan mereka untuk bisa dipercaya dalam mengungkap realita gaya
hidup mereka.
2. Interview
Metode ini disebut juga dengan metode wawancara, yaitu suatu metode
pengumpulan data yang dilakukan melalui tanya jawab secara langsung dengan
sumber data.
Sehubungan dengan hal ini Margono (2003: 165) mengemukakan bahwa:
interview merupakan alat pengumpulan informasi dengan cara mengajukan
pertanyaaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan juga, ciri utama dari
interview adalah kontak langsung dengan tatap muka antara pencari informasi
dengan sumber informasi.

28

Dalam wawancara secara mendalam ini dilakukan oleh peneliti terhadap


informan yang menjadi objek dari penelitian ini yaitu pekerja seks komersial
(PSK). Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang ada
relevansinya dengan pokok persoalan penelitian yaitu mengetahui kebenaran dari
gaya hidup seorang PSK.

3. Dokumentasi
Metode dokumentasi ini merupakan salah satu bentuk pengumpulan data
yang paling mudah, karena peneliti hanya mengamati benda mati dan apabila
mengalami kekeliruan mudah untuk merevisinya karena sumber datanya tetap dan
tidak berubah.
Menurut Arikunto (2000:234) metode dokumentasi adalah mencari data
mengenai hal-hal variasi yang berupa catatan, transkip buku, surat kabar, majalah
kabar, majalah prasasti, notulen, raport, leger dan sebagainya.
Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi notulen yang
berisi pengakuan tentang bagaimana gaya hidup seorang PSK.

29

3.6 Teknik Analisis Data


Miles dan Huberman dalam (Muhammad Idrus, 2009:148) mengungkapkan
bahwa dalam penelitian kualitatif dilakukan analisis data secara interaktif yang
terdiri dari tiga hal utama yaitu.
1. Pengumpulan data
Dalam proses analisis interaktif, kegiatan pertama yang dilakukan adalah
proses pengumpulan data. Data dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai
sumber. Pada proses pengumpulan data peneliti mengumpulkan data primer
dan data sekunder yang diperoleh.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan teknik wawancara
terbuka (open interview) dengan menggunakan pedoman wawancara
(interview guide). Data primer yang didapatkan melalui wawancara dalam
penelitian ini yaitu mengenai gaya hidup pekerja seks komersial di daerah
Peunayong Kota Banda Aceh. Dokumentasi dalam penelitian ini berupa fotofoto ketika peneliti melakukan wawacara dengan informan terkait.
Data sekunder diperoleh dari catatan, artikel, internet dan tulisan ilmiah yang
relevan dengan topik penelitian yang dilakukan. Data sekunder dalam
penelitian ini terkait dengan gaya hidup pekerja seks komersial di daerah
Peunayong Kota Banda Aceh dari lembaga yang dilakukan penelitian oleh
peneliti. Selain itu juga data sekunder diperoleh dari catatan, artikel, internet
dan tulisan ilmiah yang terkait dengan teori yang dipakai oleh peneliti.

30

2. Reduksi data
Reduksi data berarti proses memilih, merangkum dan menyederhanakan halhal pokok yang sesuai dengan permasalahan penelitian dengan tujuan untuk
memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti dalam
melakukan pengumpulan data. Data yang telah diseleksi dan disederhanakan,
peneliti melakukan pengelompokkan data sesuai dengan topik permasalahan.
Pada tahap ini, peneliti memilih data primer yang terkait dengan gaya hidup
pekerja seks komersial di daerah Peunayong Kota Banda Aceh dan data
sekunder dari artikel, internet dan catatan ilmiah yang terkait dengan topik
permasalahan yang diteliti.
3. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi yang memberikan
kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Proses
penyajian data ini belum berakhir sebelum laporan hasil akhir penelitian
disusun sehingga peneliti tidak boleh terburu-buru untuk menghentikan
kegiatan ini sebelum yakin bahwa semua hal yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian telah dipaparkan atau disajikan oleh peneliti. Pada
tahap ini, peneliti membandingkan data dari hasil studi lapangan dengan data
yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan untk memperoleh hasil yang
relevan.

31

Pada tahap ini peneliti menemukan bahwa data hasil studi lapangan berkaitan
atau berjalan searah dengan hasil studi kepustakaan mengenai teori yang
diungkapkan oleh beberapa ahli tentang pekerja seks komersial yang
dijabarkan pada bab pembahasan.
4. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Tahap akhir dari proses pengumpulan data adalah verifikasi dan penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan bisa saja dilakukan saat proses
pengumpulan data berlangsung, kemudian dilakukan reduksi dan penyajian
data. Tetapi kesimpulan yang dilakukan di awal akan menjadi kesimpulan
awal belum menjadi kesimpulan final. Simpulan perlu diverifikasi agar data
relevan dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu
dilakukan aktifitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data
kembali dengan cepat. Verifikasi juga dapat dilakukan dengan melakukan
replikasi dalam satuan data yang lain.

32

3.7 Jadwal Kegiatan Penelitian


Tabel 3.1 Waktu Penelitian
No
.

Kegiatan

Persiapan proposal

Seminar proposal

Perbaikan proposal

Pengumpulan data

Pengolahan data

Penyusunan skripsi

Sidang skripsi

Waktu Penelitian
Apr

Mei

Juni

Juli

Agt

Sept

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini diperoleh melalui proses wawancara mendalam yang
dilakukan dengan informal yang dilakukan secara berantai dengan meminta
informasi pada orang yang telah diwawancarai atau yang dihubungi sebelumnya,
peneliti juga mendapat sumber dari hasil wawancara dengan Pekerja Seks Komersial
(PSK) secara langsung langsung.
Wawancara dilakukan di warung kopi dan rumah kos informal. Sebelum
melakukan wawancara peneliti terlebih dahulu mengunjungi kantor Satpol PP dan
Wilayatul Hisbah kota Banda Aceh, Dinas Sosial Kota Banda Aceh dan Dinas
Syariat Islam Kota Banda Aceh untuk mendapatkan izin penelitian di lokasi
penelitian.
Sedangkan observasi dilakukan sebelum dilakukan sebelum peneliti
melakukan penelitian dan juga secara bersamaan saat melakukan penelitian dengan
mengamati para Pekerja Seks Komersial (PSK) melakukan kegiatan sehari-hari.
Data yang didapat dari hasil wawancara dan observasi selama penelitian tersebut
kemudian dianalisis dan dirangkum yang kemudian hasil dari analisis tersebut
diuraikan menjadi beberapa bagian pembahasan.

32

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Peunayong Kota Banda Aceh,
pemilihan lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut sering
adanya PSK yang berkeliaran. Hal itu juga didukung beberapa pendapat, antara lain
pendapat Ibu Illiza Sa'aduddin Djamal yang menjabat sebagai Walikota Banda Aceh
tahun 2016, dalam koran Serambi (2014) beliau mengatakan Sejumlah lokasi yang
dijadikan tempat mangkal dan transaksi seksual di antaranya kawasan Peunayong,
jalan Merduati, Simpang Surabaya dan beberapa penginapan bahkan hingga hotel
berbintang. Informasi Selanjutnya didatangkan dari koran Prohaba Aceh (2013)
yang berisi Petugas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Banda Aceh, menyegel
dua salon kecantikan di kawasan Peunayong dan terakhir pendapat Afif, dari situs
Merdeka.com (2014) yang mengatakan Sebuah gang sempit hanya berukuran 2
meter yang dihimpit pertokoan, menghubungkan satu antar jalan di kawasan
Peunayong, Banda Aceh, itulah gang mabuk. Gang yang banyak berkeliaran wanita
malam menjajakan pelayanan seks untuk pria hidung belang yang mencari kepuasan
seks sesaat.
Secara Administrasi Gampong Peunayong merupakan salah satu kelurahan
dari 9 kelurahan yang terdapat di kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi
Aceh. Secara geografis letak Gampong Peunayong berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Gampong Mulia
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Kuta Alam
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Laksana
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Krueng Aceh Kecamatan Kuta Raja

33

Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Kuta Alam adalah:


1) Sebelah Utara Selat Malaka
2) Sebelah Timur Kecamatan Syiah Kuala
3) Sebelah Selatan Kecamatan Baiturrahman
4) Sebelah Barat Kecamatan Kuta Raja
Luas Wilayah Gampong Peunayong:
Luas Wilayah

: 6,2 ha/m2

Luas Perkarangan

: 2,9 ha/m2

Luas Taman

: 1,8 ha/m2

Luas Perkantoran

: 3,6 ha/m2

Luas Prasarana Umum dan Lainnya

: 21,8 ha/m2

Berikut disajikan Jumlah Penduduk Gampong Peunayong Bulan Mei Tahun


2016:
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Gampong Peunayong
Dusun

Laki-Laki

Perempuan

Jumlah

Garuda

287

243

530

Cendrawasih

286

244

530

Merpati

816

732

1.548

Gajah Putih

225

206

431

1.614

1.425

3.039

Jumlah

Sumber: Situs Website www.peunayong.desa.id

34

Susunan Keuchik dan Lurah dari masa ke masa sejak tahun 1963 berdasarkan
keterangan dari website Gampong Peunayong sebagai berikut:
Tabel 4.1 Pimpinan Gampong Peunayong dari Masa ke Masa
No.
Nama
Jabatan
1. H. Rahman
Keuchik
2. H. Ridwan
Keuchik
3. Zakaria
Keuchik
4. Misnan Khalidi
Lurah
5. Mohd. Thaher
Lurah
6. Sulaiman Abdullah
Lurah
7. Fuadi Hasan
Lurah
8. Said Fauzan, S. Stp
Pj. Lurah
9. Harapan M. Husin
Lurah
10. Drs. Kurnia Lahna, MT
Pj. Keuchik
11. Reza Kamilin, S. Stp
Pj. Keuchik
12. Sharifuddin Adi
Keuchik
Sumber: Situs Website www.peunayong.or.id

4.1.2 Deskripsi Temuan Penelitian


4.2 Pembahasan

35

Periode
1963-1970
1970-1976
1976-1981
1981-1991
1991-1993
1993-2005
2005-2008
2008
2008-2009
2010
2010
2010-2016

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

36

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arikunto Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
George. Ritzer. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Pranada Media Group
Hamdani, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Darussalam: Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Kartini. Kartono. 2011. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Margono. 2003. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Moleong. 2005. Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Supardi. 2006. Metodologi Penelitian. Mataram: Yayasan Cerdas Press
Sutrisno. Hadi. 2000. Metode Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset
Suyanto,dkk. 2008. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. 2008. Metode Penelitian Sosial
Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

32

33

Skripsi dan Majalah:


Cicie. Nazrina. 2013. Prostitusi dan Interaksi Sosial di Kota Banda Aceh. Banda
Aceh: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala
Martha. Kristiyani. 2013. Perilaku Sosial Pekerja Seks Komersial (PSK) di Pasar
Hewan Prambanan Sleman. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
Mayshara. Lidzia. 2002. Analisis Tingkat Pendapatan dan Konsumsi WTS di
Banda Aceh
Tabloid KONTRAS Nomor:526. Tahun XI 28 Januari 3 Febuari 2010

Jurnal
Sihombing. 2011. Gambaran Kecemasan pada Pekerja Seks Komersial (PSK) di
Bandung. Jurnal Kedokteran Maranatha, Vol. 11, No. 1.
Sivie, dkk. 2015.Hubungan Antara Coping Strategy Dengan Subjective WellBeing Pekerja Seks Komersial Di Kota Bandung. Jurnal LPPM-UISBA
Vol. LPPM-UISBA Vol. 5, No. 1
Internet
Yuanda.

2016.
Masalah
Prostitusi
di
Banda
Aceh.http://dokumen.tips/documents/masalah-prostitusi-di-bandaaceh.html. Diakses Juli 2016

Afif. 2014. Ada gang prostitusi di kota syariah Aceh.


http://www.merdeka.com/peristiwa/ada-gang-prostitusi-di-kota-syariahaceh.html. Diakses Juli 2016

Nurhamidah. 2014. Adakah Gang Dolly di


Aceh.http://aceh.tribunnews.com/2014/06/21/adakah-gang-dolly-di-aceh.
Diakses Juli 2016

34

Hasyim, Ibnu. 2014. Cara Baru Bagaimana Mencari Pelacur di Banda


Aceh.http://www.ibnuhasyim.com/2014/03/cara-baru-bagaimanamencari-pelacur-di.html. Diakses Juli 2016

Anda mungkin juga menyukai