Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akibat tingginya tingkat kelahiran, arus
urbanisasi, commuters, dan sebagainya berdampak pada peningkatan kebutuhan manusia
akan pemanfaatan lahan perkotaan dan sarana transportasi semakin meningkat pula. Hal ini
dapat terlihat dari semakin banyaknya penggunaan lahan perkotaan sebagai kawasan
pemukiman, industri dan perdagangan, jalan raya, pusat perbelanjaan, dan peruntukan lainnya
yang mengarah pada tujuan komersial. Sarana transportasi juga mengalami perkembangan
yang sangat cepat terutama di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung,
Surabaya, dan Medan. Perkembangan sarana transportasi yang tidak dapat dikendalikan
akhir-akhir ini menimbulkan banyak kerugian seperti kemacetan lalu lintas, meningkatnya
polusi udara, dan kerugian-kerugian lainnya.
Pembangunan fisik perkotaan yang dilakukan secara besar-besaran dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia seringkali tidak diimbangi dengan daya dukung lingkungan
yang memadai. Banyak lahan terbuka hijau atau lingkungan alami yang diubah menjadi
lingkungan binaan yang padat bangunan dan infrastruktur. Hal ini berdampak pada penurunan
daya dukung lingkungan untuk mendukung aktivitas manusia. Pembangunan lingkungan
binaan yang tidak mempertimbangkan faktor lingkungan dan ketersediaan sumberdaya alam
akan semakin memicu penurunan kualitas lingkungan perkotaan sehingga diperlukan upaya
dalam meminimalkan perusakan lingkungan (Karyono 2010).
Medan merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia dengan

jumlah

penduduk pada tahun 2011 sebesar 2.117.224 jiwa dan luas wilayah 26.510 ha atau sama
dengan 3,6 persen dari total luas wilayah provinsi Sumatera Utara (Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara 2013). Luas Kota Medan dapat dikatakan relatif kecil sedangkan
jumlah penduduknya cukup besar. Dengan luasan kota yang relatif kecil sedangkan jumlah

penduduk setiap tahun semakin meningkat, maka masalah pertambahan jumlah penduduk
yang cepat menjadi

salah satu masalah yang penting untuk diperhatikan. Jumlah, laju

pertambahan, dan kepadatan penduduk Kota Medan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah, laju pertambahan, dan kepadatan Kota Medan tahun 2007-2011
Tahun Jumlah (Jiwa) Laju Pertumbuhan (%) Kepadatan (Jiwa/Km)
2007 2.083.156 0,77 7.858
2008 2.102.105 0,91 7.929
2009 2.121.053 0,90 8.001
2010 2.097.610 0,97 7.958
2011 2.117.224 0,97 7.989
Sumber: BPS (2013)
Dengan peningkatan jumlah penduduk yang terjadi dari tahun 2007 hingga 2011 dan
keinginan untuk menjadikan Kota Medan sebagai kota jasa, perdagangan, keuangan dan
industri berskala regional dan internasional, maka kebutuhan masyarakat Kota Medan
terhadap lahan perkotaan dan sarana transportasi semakin meningkat pula. Hal ini tidak
terjadi pada keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Medan yang sebenarnya
berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem perkotaan. Keterbatasan ruang yang dimiliki Kota
Medan menyebabkan daya dukung lingkungan perkotaan menjadi kurang optimal. Kondisi
ini juga menyebabkan kurang seimbang dan kurang terpadunya penataan ruang di Kota
Medan (Pemerintah Kota Medan 2012). Kondisi RTH di Kota Medan tidak mengalami
penurunan namun keberadaannya dirasakan masih sangat kurang. Hal ini berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan Kota Medan yang dapat dilihat dari beberapa indikator seperti
meningkatnya suhu udara, pencemaran udara oleh kendaraan bermotor dan limbah industri,
iklim yang tidak menentu, banjir, dan masalah lingkungan lainnya. Kualitas lingkungan

perkotaan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan ditengah maraknya pembangunan
yang hanya berorientasi pada aspek ekonomi. Kualitas lingkungan yang memburuk
menandakan tidak seimbangnya pembangunan yang dilakukan dengan daya dukung
lingkungan itu sendiri. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi suatu daerah untuk dapat tetap
melakukan pembangunan tanpa merusak lingkungannya. Untuk itu, pembangunan kota yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (urban sustainable development, sustainable
cities) perlu untuk diterapkan. Berdasarkan Joga dan Ismaun (2011), pembangunan kota yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan merupakan pembangunan kota yang tetap
mempertimbangkan fungsi kelestarian lingkungan atau fungsi ekologis. Salah satu konsep
yang dapat diterapkan dalam pembangunan kota yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan adalah dengan mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH
di perkotaan. Keberadaan RTH di wilayah perkotaan menjadi penting untuk diperhatikan dan
dikendalikan oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan serta kesadaran masyarakat
terhadap kualitas lingkungan perkotaan.
Penerapan RTH di perkotaan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan bahwa proporsi minimal RTH di setiap kota
adalah sebesar 30 persen dari total luas wilayahnya meliputi 20 persen RTH publik dan 10
persen RTH privat. Penerapan proporsi RTH ini dimaksudkan untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Joga dan Ismaun 2011).
Kota Medan dengan luas wilayah 26.510 ha berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 20112031 membutuhkan RTH minimal 30,58 persen dari total luas wilayahnya. RTH Kota Medan
tidak mengalami penurunan luasan dari tahun ke tahun namun luas RTH tersebut belum

mencapai standar kebutuhan Kota Medan yakni sebesar 8.106,76 ha atau 30,58 persen dari
total luas wilayahnya.
Berdasarkan Badan Lingkungan Hidup Kota Medan (2013), kawasan RTH Kota
Medan saat ini meliputi RTH pulau jalan, berm jalan, lapangan olahraga, tanah pemakaman,
taman kota, dan hutan kota, yang dikelola oleh Dinas Pertamanan Kota Medan, serta RTH
kawasan konservasi yang dikelola oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan. Luasan
RTH Kota Medan saat ini masih jauh dari standar kebutuhan Kota Medan berdasarkan
Peraturan Daerah Kota Medan yaitu hanya mencapai angka 1.666,55 ha atau sebesar 6,28
persen dari total luas wilayahnya. Kota Medan masih membutuhkan RTH seluas 6.440,21 ha
atau sebesar 24,3 persen dari total luas wilayahnya. Luas RTH Kota Medan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Hutan Kota Taman Beringin merupakan salah satu RTH yang terdapat di Kota Medan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan tahun 2011, Hutan Kota Taman Beringin
ditetapkan sebagai salah satu RTH hutan kota yang dikelola oleh Dinas Pertamanan Kota
Medan. Tujuan awal pembangunan Hutan Kota Taman Beringin adalah sebagai penyeimbang
kualitas lingkungan perkotaan serta sebagai wadah interaksi sosial masyarakat Kota Medan
(Dinas Pertamanan Kota Medan 2013). Keberhasilan suatu RTH dalam mengatasi masalah
lingkungan ditentukan oleh kualitas lingkungan dari RTH itu sendiri, fasilitas pendukung
yang memadai, dan juga peran serta dari seluruh elemen masyarakat dalam menjaga dan
mempertahankan kelestarian lingkungan RTH tersebut. Peran serta seluruh elemen
masyarakat sangat dibutuhkan dalam mempertahankan keberadaan Hutan Kota Taman
Beringin agar tidak mengalami penurunan fungsi di masa yang akan datang. Penelitian ini
perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana preferensi masyarakat Kota Medan terhadap
Ruang Terbuka Hijau dengan menggunakan pendekatan Willingness to Pay (WTP).

Beringin adalah masalah kebersihan, keindahan, dan kondisi fasilitas pendukung


taman. Kebersihan merupakan salah satu permasalahan yang terdapat di Hutan Kota Taman
Beringin yang perlu diperhatikan. Tidak jarang terlihat sampah-sampah plastik hasil
konsumsi manusia berserakan di sekitar taman padahal pihak pengelola telah mempekerjakan
petugas kebersihan dan menyediakan fasilitas tempat sampah yang cukup memadai.
Kebersihan air kolam dan toilet juga dirasa masih sangat kurang. Banyak keluhan
pengunjung kepada pihak pengelola terhadap kondisi air kolam dan toilet di Hutan Kota
Taman Beringin.
Keindahan juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan di Hutan Kota Taman
Beringin. Masih banyak terdapat tindakan-tindakan masyarakat yang tidak menjaga
kelestarian vegetasi tumbuhan di kawasan Hutan Kota Taman Beringin seperti perusakan
pohon-pohon yang ada di sekitar taman. Kondisi fasilitas pendukung di Hutan Kota Taman
Beringin juga perlu untuk diperhatikan. Tidak jarang terjadi perusakan-perusakan fasilitas
taman seperti pagar pembatas, sarana bermain, dan lampu-lampu taman.

Selain

permasalahan lingkungan juga terdapat permasalahan sosial di sekitar Hutan Kota Taman
Beringin. Permasalahan sosial tersebut antara lain masih adanya petugas parkir dan pedagang
tidak resmi, serta disalahgunakannya Hutan Kota Taman Beringin menjadi tempat untuk
melakukan perbuatan tidak terpuji. Kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi penting
Hutan Kota Taman Beringin dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan Hutan Kota
Taman Beringin di masa yang akan datang. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi dari
seluruh masyarakat pengguna taman agar keberadaan Hutan Kota Taman Beringin dapat tetap
dipertahankan. Berdasarkan uraian diatas, maka timbul beberapa pertanyaan penelitian di
antaranya:
1. Bagaimana persepsi pengunjung terhadap kondisi kualitas lingkungan Hutan Kota
Taman Beringin?

2. Berapa besar nilai WTP pengunjung terhadap upaya perbaikan kualitas lingkungan di
Hutan Kota Taman Beringin?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai WTP pengunjung terhadap
perbaikan kualitas lingkungan Hutan Kota Taman Beringin?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan umum penelitian ini adalah
untuk mengestimasi besarnya nilai WTP masyarakat terhadap upaya perbaikan kualitas Hutan
Kota Taman Beringin, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi persepsi pengunjung terhadap kondisi kualitas lingkungan Hutan
Kota Taman Beringin.
2. Mengestimasi besarnya nilai WTP pengunjung terhadap perbaikan kualitas
lingkungan Hutan Kota Taman Beringin.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai WTP
pengunjung terhadap perbaikan kualitas lingkungan Hutan Kota Taman Beringin.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat dalam berbagai hal,
antara lain bagi:
1. Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih
baik kepada masyarakat terhadap kondisi dan fungsi penting Hutan Kota Taman
Beringin dalam memperbaiki kualitas lingkungan Kota Medan sehingga Hutan Kota
Taman Beringin dapat tetap terjaga keberadaannya di masa yang akan datang.
2. Pemerintah Kota Medan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi atau
bahan acuan bagi pemerintah (stakeholder) dalam pengambilan kebijakan serta
pengelolaan Hutan Kota Taman Beringin di masa yang akan datang.
3. Civitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam disiplin ilmu
ekonomi sumberdaya dan lingkungan serta sebagai bahan rujukan bagi penelitianpenelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penataan Ruang
Menurut Rustiadi et al. (2011) definisi penataan ruang adalah upaya aktif
manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu
keseimbangan menuju kepada keseimbangan baru yang lebih baik. Penataan
ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Sebagai proses
perubahan kearah kehidupan yang lebih baik maka penataan ruang secara formal
adalah bagian dari proses pembangunan, khususnya menyangkut aspek-aspek
spasial dari proses pembangunan. Urgensi atas penataan ruang timbul sebagai
akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik atau collective
action terhadap kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam menciptakan
pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama. Dengan kata lain
penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial dan
lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penataan ruang
dilakukan sebagai:
1. Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan
sumberdaya) guna terpenuhinya efisiensi dan produktivitas
2. Alat dan wujud distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan,
keberimbangan dan keadilan
3. Menjaga keberlanjutan (sustainability) pembangunan
4. Menciptakan rasa aman
5. Kenyamanan ruang
Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana
pihak pemerintah dianggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang
amanat yang legitimate. Padahal dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah
juga berkewajiban berkomunikasi dengan masyarakat yang berkepentingan secara
langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya ruang yang ada. Proses penataan
ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menciptakan berbagai
keseimbangan.
Secara normatif, penataan ruang harus dipandang sebagai upaya
pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (UU Nomor 5 tahun 1960 pasal 2 ayat 3). Dengan demikian
perencanaan tata ruang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan
pembangunan secara keseluruhan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, penataan ruang
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah Kota Medan memiliki interpretasi
yang sama dengan pemerintah pusat. Hal ini dibuktikan dengan merumuskan
suatu peraturan daerah yang sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor
26 tahun 2007 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Didalam Undang-Undang Nomor 26
tahun 2007 Bab VI pasal 20 tersebut sudah dipaparkan bahwa Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi pedoman untuk penataan ruang
wilayah provinsi, kabupaten, dan kota. Pada pasal 28 juga dijelaskan bahwa
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota. Hal
yang sama juga tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008
Bab II pasal 3 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dimana

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menjadi pedoman bagi


penataan ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Ruang terbuka mencakup pengertian ruang terbuka hijau dan ruang
terbuka lainnya yang berupa kawasan tanpa bangunan di antara kawasan terbangun. Ruang
terbuka berperan sebagai penyeimbang antara daerah terbangun
dan daerah terbuka. Fungsi ruang terbuka diantaranya adalah sebagai pencipta
lingkungan udara sehat dan menurunkan polutan di udara, penyedia ruang untuk
kenyamanan hidup (amenity) seperti tempat untuk rileks, interaksi sosial dan
olahraga, serta sebagai pendukung estetika lingkungan (Sadyohutomo 2009).
RTH merupakan lahan atau kawasan yang mengandung unsur dan struktur
alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, seperti pengendali
pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan sebagainya. Unsur
alami inilah yang menjadi ciri RTH di wilayah perkotaan, baik unsur alami berupa
tumbuh-tumbuhan atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya. Dalam
penataan ruang, RTH diartikan sebagai kawasan yang mempunyai unsur dan
struktur alami yang harus diintegrasikan dalam rencana tata ruang kota, tata ruang
wilayah, dan rencana tata ruang regional sebagai satu kesatuan sistem (Joga dan
Ismaun 2011).
Secara fisik, RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami dan RTH nonalami
(binaan).
RTH
alami
dapat
berupa
habitat
liar
alami,
kawasan
lindung,
dan
taman-taman
nasional,
sedangkan
RTH
non-alami
berupa
taman,
hutan
kota,
lapangan
olahraga,
tanah
pemakaman,
dan
jalur

hijau
jala Berdasarkan kepemilikannya, RTH terdiri atas RTH publik dan RTH
privat. RTH publik merupakan RTH untuk umum yang dikelola oleh pemerintah,
sedangkan RTH privat merupakan RTH yang dimiliki oleh badan swasta atau
perorangan.
Kondisi pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang semakin tinggi
dan perkembangan pembangunan fisik kota yang sangat pesat menyebabkan
perencanaan RTH untuk masa yang akan datang baik dari segi kualitas maupun
kuantitas menjadi sebuah hal yang sangat penting sehingga keselarasan
lingkungan alam dan lingkungan binaan dapat terwujud (Rijal 2008).

Anda mungkin juga menyukai