Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Media Dalam Globalisasi

Terhadap Gaya Hidup Konsumtif Dalam Berbelanja


Berawal dari saat kita terbangun dari tidur, apa yang biasanya kita
lakukan? Mungkin ada beberapa diantara kita setelah bangun menyegerakan diri
untuk mandi menggunakan fasilitas kamar mandi mewah seperti di hotel bintang
lima misalnya. Peralatan dan perlengkapan mandi yang digunakan pun tidak
tanggung-tanggung, bukan sekedar bermerk, tapi yang benar-benar berkualitas
yang hampir mungkin orang awam pun jarang menggunakannya. Selepas itu
berganti pakaian. Model yang akan dipakai pun juga harus pilih-pilih, tergantung
kita akan pergi kemana. Ke mall misalnya. Diantara kita, terutama perempuan
pasti ingin tampil menarik ketika akan jalan-jalan ke mall. Model pakaian dengan
lengan terlihat (u can see) mungkin akan dipilih karena di mall rata-rata
tempatnya termasuk dalam kategori indoor. Jadi tidak perlu khawatir terkena
panas karena di dalamnya terdapat AC yang menyejukkan. Tidak lupa pula dalam
hal menentukan apa yang dipakai untuk bawahan (celana/rok). Kali ini yang akan
dipilih mungkin celana jeans, karena celana jeans yang dirasa lebih bisa membuat
lekuk kaki terlihat daripada menggunakan rok. Mungkin kalau hanya dengan
menggunakan rok saja tidak bisa membuat orang yang memperhatikannya
penasaran, karena sudah jelas bentuk kaki dan warna kulitnya terlihat. Berbeda
ketika menggunakan celana jeans ketat misalnya. Seluruh bagian kaki dari
pinggang sampai tumit terbalut dengan kain jeans, namun bisa menciptakan rasa
penasaran bagi orang yang melihatnya. Walau terbalut dengan jeans, mungkin rasa
penasaran orang lainlah yang dicari sebagai bentuk kepuasan.
Beranjak untuk mulai keluar rumah. Beberapa orang akan memilih
transportasi mobil atau taksi dibandingkan transportasi lain karena dianggap lebih
nyaman. Sesampainya di mall dan perut terasa lapar, mungkin akan lebih baik jika
sarapan terlebih dahulu. Banyak sekali outlet-outlet di mall yang telah menunggu
untuk kita datangi. Memang bagi sebagian orang ketika makan di mall itu terasa
lebih menyenangkan daripada makan di tempat lain, terutama dibandingkan
dengan hanya makan di pinggiran jalan saja. Seraya tak lupa meng-update di
Foursquare pula dimana ia makan hari ini. Setelah perut kenyang, kini giliran

berbelanja barang. Ingin membeli tas misalnya. Tas yang ingin dibeli pun bukan
sembarang merk pula. Merk ternamalah yang akan dipilih jika budget yang
dimiliki dapat men-support pembelian tersebut. Tak puas hanya dengan pergi
mobil, makan di salah satu restoran yang terdapat di mall yang menawarkan
pemandangan sekitar (yang dimaksud adalah tempat makan yang memiliki
dinding kaca, sehingga orang yang ada di luar mall pun dapat melihat apa yang
sedang dilakukan para konsumen di dalamnya), dan juga belanja tas bermerk. Ada
keinginan juga untuk membeli sepatu juga misalnya. Namun budget untuk hari ini
mulai menipis. Terdapat keinginan untuk memakai kartu kredit untuk membeli
barang yang lain, namun sayang juga jika uang digunakan untuk suatu hal yang
sebenarnya tidak penting. Dalam membeli sepatu ini hanya dengan motivasi
mengikuti trend dan juga referensi dari teman (peers group). Mungkin bagi
sebagian orang akan terasa tertekan dalam kehidupan sosialnya jika tidak
mengikuti trend yang ada. Untuk menangani keadaan tersebut, barang asli tidak
perlu dibeli. Masih ada alternatif lain untuk menunjang kehidupan sosial yang
seperti itu, antara lain tersedianya barang KW atau barang tiruan. Dalam
pemilihan barang KW pun yaitu KW premiun misalnya. Pemilihan tersebut dapat
terjadi karena barang KW lebih murah dibandingkan dengan barang yang asli dan
bersertifikasi pula dalam pembeliannya. Sehingga jika kapanpun ada beberapa
teman yang bertanya, dengan percaya diri menegaskan bahwa barang tersebut
barang asli, walaupun sebenarnya barang tersebut merupakan barang KW
premium.
Makna yang dapat kita temukan dari sepenggal ilustrasi di atas antara lain
menyangkut gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup yang dianut setiap orang tentunya
berbeda-beda. Tergantung dengan faktor apa yang dapat mempengaruhi gaya
hidup tersebut. Menurut pendapat Amstrong (Nugraheni: 2003) gaya hidup
seseorang dapat dilihat dari perilaku yang dilakukan oleh individu seperti
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang dan
jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan
kegiatan-kegiatan tersebut. Menurut

Amstrong pula (Nugraheni: 2003)

menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang ada dua,
yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu (internal) dan faktor yang

berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap, pengalaman, dan
pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif, dan persepsi. Sedangkan faktor
eksternalnya yaitu keluarga, kelompok referensi dan juga kelas sosial.
Jika kita kaji lebih dalam, memang benar adanya bahwa faktor-faktor
tersebut berpengaruh terhadap gaya hidup sehari-hari seseorang. Mari kita ulas
lagi sepenggal cerita yang telah diilustrasikan di atas. Esay ini menekankan pada
gaya hidup sehari-hari kita sebagai konsumen, yaitu bagaimana memaknai apa
yang dilakukan sebagai konsumen dalam merepresentasikan gaya hidup apa yang
dianut. Perilaku konsumtif terkadang menjadi seperti racun yang terus
menggrogoti manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, hal tersebut
dikarenakan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya dan
kita hanya cenderung pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat tersier sehingga
tidak

menutup

kemungkinan

justru

kebutuhan

yang

primer

menjadi

terkesampingkan. Pola konsumtif yang semakin marak menjadi gaya hidup


masyarakat di era ini dimana hal tersebut dilakukan hanya untuk mengejar
eksistensi sosial dihadapan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, bagi yang benarbenar mampu, maka ia akan cenderung untuk memperoleh segala sesuatu secara
orisinil walau budget yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan dengan
barang dengan brand yang belum terlalu terkenal namun memiliki fungsi yang
sama. Brand menjadi suatu hal yang penting dalam memenuhi eksistensi sosial di
khalayak umum, oleh karena itu, maka timbulah fenomena-fenomena barang KW
atau barang yang menyerupai bentuk aslinya walau dengan brand yang berbeda,
barang KW tersebut tetap laku karena konsumen dengan budget minimum yang
tetap ingin menjaga eksistensi sosial masih sangat banyak. Mereka ingin terlihat
sama dengan mengejar eksistensinya walaupun diketahui barang yang dimiliki
bukan merupakan brand yang asli. Lokasi jual-belinya pun mengikuti arus gaya
hidup yang ada dimana dahulu orang-orang melakukan kegiatan jual-beli di pasar
maupun took-toko di pinggiran jalan. Gaya hidup yang dianut-oleh orang orang
pada era ini ialah mall-mall sebagai tempat kegiatan jual-beli ataupun hanya
sekedar tempat ajang untuk berkumpul ataupun menunjukkan eksistensi diri, di
mana gaya hidup berbelanja di mall tersebut menjadi nilai berharga dalam
meningkatkan eksistensi sosial pada suatu individu. Berbelanja di mall tidak

sembarangan seperti kita membeli sesuatu di pasar maupun toko biasa. Gaya
hidup berbelanja dalam mall ini menuntut konsumen untuk berpenampilan
menarik, karena mall didesain untuk kalangan menengah ke atas dengan
penampilan yang elegan sehingga penampilan mall yang dinilai sebagai tempat
yang berkelas menuntut pembelinya untuk berpenampilan yang berkelas juga.
Produk-produk yang ditawarkan pun bisa dikatakan merupakan kreatifitas dari
suatu produk yang biasa tetapi yang membuat harga jualnya menjadi lebih tinggi
adalah brand suatu produk itu sendiri, entah produk tersebut merupakan produk
fashion, gadget, elektronik, hingga makanan. Harga juga menjadi tidak masalah
bagi pemenuh kebutuhan yang menjadi gaya hidup yang sudah biasa, karena
brand sendiri menjadi sesuatu yang berharga bagi suatu individu. Maraknya gaya
hidup berbelanja yang seperti ini, menuntut pengembang-pengembang mall untuk
terus meningkatkan fasilitas serta membangun beberapa mall baru untuk
memfasilitasi gaya hidup masyarakat. Pengelolaan mall sendiri tidak dapat
dilakukan dengan sembarangan, karena segala tata letak serta pengaturan kioskios yang dapat menjajakan kebutuhan para konsumen dibuat sedemikian rupa
dengan tujuan meningkatkan kebutuhan dan pemenuhan gaya hidup dalam
berbelanja yang telah merebak di kalangan masyarakat. Sebenarnya gaya hidup
seperti ini memiliki sisi positif dan negatifnya sendiri. Sisi positifnya salah
satunya adalah mall memiliki magnet dalam menarik konsumen dengan gaya
hidup tinggi untuk semakin meningkatkan eksistensi sosial individu tersebut
walaupun sisi negatifnya adalah dalam gaya hidupnya mall tidak dapat dinikmati
seluruh elemen masyarakat karena jika memasuki mall dengan gaya pakaian yang
tidak sesuai (tidak berpakaian dengan baik) akan timbul sikap diskriminasi dari
orang lain terhadap individu tersebut. Gaya hidup berbelanja di mall ini telah
marak dan setiap orang yg hendak ke mall selalu memperhatikan penampilan
mereka.
Fenomena-fenomena yang seharusnya menjadi telaah yang mendasar
dalam kehidupan kita, karena perlu adanya kesadaran bahwa gaya hidup
konsumtif seperti hal tersebut hanya akan menyakiti diri sendiri bagi yang
memang tidak mampu. Setiap manusia memiliki kemampuannya masing-masing,
maka tidak tepat bagi kita untuk selalu mengikuti trend yang berkembang tetapi

tidak sesuai dengan kemampuan kita. Penggunaannya sebaiknya dapat


disesuaikan dengan kebutuhan dan fungsinya daripada mengejar eksistensi
sosialnya semata. Gaya hidup yang memang sudah terlanjur pada pola pikir
manusia pada era ini memang sulit untuk dikembalikan lagi pada hal yang
sebaiknya. Sikap konsumtif para konsumen di era ini dalam berbelanja lebih
kepada untuk menjaga eksistensi sosialnya dengan kalangannya karena dianggap
jika tidak dapat mengikuti perkembangan zaman yang ada tidak menutup
kemungkinan dapat dikucilkan dari komunitas bergaulnya. Perlu adanya solusisolusi alternatif yang diciptakan untuk mengubah gaya hidup yang semakin boros
dari tahun ke tahun ini, hal tersebut karena semakin lama maka zaman pun akan
semakin berkembang dengan gaya hidup dan pola pikir yang berkembang pula,
tinggal bagaimana gaya hidup tersebut berkembang kearah yang lebih efisien atau
justru kearah yang boros. Sebaiknya kita dapat menjaga diri kita dari arus
perkembangan zaman ini karena era globalisasi ini merupakan era yang banyak
sekali membawakan paham-paham yang bisa saja tidak cocok dengan kulturitas
maupun pribadi kita. Bagaimana kita jeli dalam mem-filter gaya hidup mana saja
yang tidak merugikan.
Selain hal-hal yang telah dipaparkan tersebut, gaya hidup sekarang ini
sangat dipengaruhi oleh arus globalisasi. Arus globalisasi ini merupakan arus yang
membawa gaya hidup yang terkadang masih asing dihadapan kita. Terkadang kita
pun dapat menyalahartikan arus-arus globalisasi yang ada, sehingga akan
menimbulkan kerisauan dalam masyarakat. Hal ini seharusnya dilakukan
filterisasi arus globalisasi yang masuk dan disesuaikan dengan gaya hidup kultural
yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut juga harus didukung oleh pengetahuan
masyarakat sendiri dalam memilah gaya hidup yang sesuai untuk dirinya sendiri,
gaya hidup seharusnya menjadi sesuatu yang dapat memudahkan seseorang dalam
melakukan segala sesuatu hal, bukan justru mempersulit diri sendiri dalam
menjalani kehidupan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini media
massa juga berperan sebagai penyebaran pengaruh gaya hidup pada masyarakat.
Kekuatan media massa saat ini adalah kemampuannya untuk memproduksi dan
mereproduksi pengetahuan dalam masyarakat. Saat ini, tingakat melek media
masyarakat Indonesia secara umum masih rendah sehingga terpaan dari media

massa masih sangat berkuasa penuh. Media semakin mengintervensi dan


menghegemoni kesadaran khalayak untuk ikut dalam arus utama dari realitas yang
ditampilkan media. Media massa pun selalu menjadi arena pertarungan dalam
sebuah kontruksi sosial yang eksistensinya terbentuk melalui interaksi berbagai
tindakan agen dan struktur. Selain itu, media massa juga mengusung realitas
simbolik, yaitu ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai realitas objektif.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa saat ini media massa telah menjadi
suatu institusi pelembaga yang paling efektif. Melalui realitas simboliknya, media
massa mengkonstruksi realitas subjektif. Berger dan Luckmann berpendapat
bahwa realitas subjektif adalah konstruksi definisi realitas seputar pasar yang
dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi (Hidayat: 2003).
Pengaruh

dari

media

tersebut

sangat

berperan

besar

terhadap

perkembangan gaya hidup masyarakat luas, dimana media massa mudah sekali
untuk mengaksesnya dan menjadi makanan setiap harinya bagi individu. Media
massa dengan memampangkan gaya hidup yang tidak sesuai dengan kultur yang
ada pada suatu daerah akan berakibat terjadinya ketimpangan pada daerah tersebut
maupun ketidaksesuaian. Oleh karena itulah masyarakat harus dapat melakukan
filterisasi dengan tepat terhadap pola penyebaran media massa terhadap
pengaruhnya pada gaya hidup yang akan berkembang nantinya. Media massa pun
dapat menjadi media iklan, hal tersebut memiliki efek positif dan negatifnya.
Dalam hal ini efek positifnya adalah masyarakat dapat mengakses media iklan
dengan mudah untuk mencari kebutuhan yang memang diperlukan tanpa harus
repot untuk mencari-carinya lagi. Sedangkan, efek negatifnya adalah akan
mendorong timbul rasa ingin memiliki dari barang yang ditampilkan media iklan
dan bisa jadi menjadi sebuah trend di masyarakat sehingga masyarakat tersebut
cenderung berbelanja karena tertarik dengan penampilan yang disajikan dalam
media massa. Semula hanya untuk memenuhi keinginan untuk memiliki suatu
barang, tetapi lambat-laun menjadi perilaku konsumtif hanya demi mengikuti
gaya hidup yang dianggap menjadi trend di masa tersebut walaupun sebenarnya
individu tersebut tidak terlalu memikirkan kegunaan kedepannya dari apa yang
mereka beli, kembali lagi mereka cenderung untuk mempertahankan eksistensi
sosialnya di khalayak sebagaikepuasan pribadi yang akhirnya hanya menjadi

keunikan dalam dinamika gaya hidup. Hal tersebut alangkah lebih baiknya
pandangan terhadap media massa dapat menjadi filter yang menyeleksi berbagai
hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi
atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolannya. Di sini kita
dipilihkan oleh media tentang apa saja yang layak diketahui dan mendapatkan
perhatian. Selain itu media massa seringkali dipandang sebagai guide, penunjuk
jalan atau intrepeter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai
ketidakpastian, atau alternatif yang beragam. Hal-hal tersebut seharusnya dapat
menjadi tolak ukur dalam mengawal perkembangan gaya hidup yang terjadi
ataupun yang akan terjadi selanjutnya. Sehingga dengan arus penyebaran media
kita dapat memprediksi gaya hidup apa saja dalam pola berbelanja untuk
menunjukkan eksistensi sosial suatu individu.
Dari paparan di atas jelas bahwa gaya hidup seseorang dalam hal
pengukuran status, mereka cenderung memiliki sifat konsumerisme. Dalam
bahasan ini sikap konsumtif ditunjukkan dengan adanya pengaruh globalisasi,
media massa, dan jega keberadaan barang-barang yang memiliki brand maupun
barang KW. Sikap konsumerisme telah mampu menggeser gaya hidup yang
beraspirasi ke atas dewasa ini, dibandingkan dengan pemerkayaan intelektualitas,
kreatifitas dalam berproduksi masih dikesampingkan sebagai pendukung status
sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Miller, Daniel., Jackson, Peter., Thrift, Nigel., Holbrook, Beverley., Rowlands,


Michael. 1998. Shopping, Place and Identity. London, New York: Routledge
Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan
Rakyat: Sabtu, 6 november
Susanto Sunario, Astrid. S. 1993. Globalisasi dan Komunikasi. Jakarta: Sinar
Harapan
DAFTAR LAMAN
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24146/4/Chapter%20II.pdf?

Faktor-

faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup (Lifestyle) yang diakses pada tanggal
25 Desember 2013 pukul 20.25 WIB oleh Verry Octa K.

Anda mungkin juga menyukai