Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obstruksi ileus merupakan salah satu kegawatan daruratan yang paling sering
dijumpai dalam kasus bedah abdomen. Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan
(apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat
akut dengan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon akibat
karsinoma dan pada umumnya perkembangannya lambat. Sebagian besar dari obstruksi justru
mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan
diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.1
Ada dua tipe obstruksi yaitu Obstruksi Mekanis (Ileus Obstruktif) di mana ada
penyebab fisik yang menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif
ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma, misalnya intusepsi,
tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan,
hernia dan abses. Tipe yang kedua adalah Neurogenik/fungsional (Ileus Paralitik), Obstruksi
yang terjadi akibat suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti
sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot,
gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit
Parkinson.2
Penyebab utama obstruksi ileus di negara maju adalah perlekatan pasca operasi (60%)
diikuti oleh keganasan, penyakit Crohn, dan hernia. Namun, beberapa studi telah melaporkan
penyakit Crohn menjadi faktor penyebab yang lebih besar dibandingkan neoplasma. Operasi
yang berhubungan dengan kejadian obstruksi ileus adalah operasi usus buntu, operasi
kolorektal dan kandungan dan prosedur- prosedur gastrointestinal. Obstruksi ileus boleh
terjadi secara simple (non-stragulasi) atau strangulasi. Obstruksi dengan strangulasi
memerlukan tindakan operasi cepat. Jika tidak didiagnosis dan diobati, kompromi pembuluh
darah menyebabkan iskemia usus dan morbiditas lebih lanjut dan kematian. 3
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang penyakit ileus
obstruktif mulai dari penyebab sampai penanganannya. Selain itu juga, dari segi anestesi,
untuk mengetahui tindakan sebelum, selama dan setelah operasi.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi 1,2
Obstruksi ileus (mekanik) adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa
disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan
dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi
pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Ileus obstruktif atau ileus mekanik ataupun ileus dinamik merupakan suatu
penyumbatan mekanis pada usus dimana penyumbatan yang terjadi sama sekali menutup
atau mengganggu jalannya isi usus.
2.2. Epidemiologi 1,2
Hernia strangulata adalah salah satu keadaan darurat yang sering dijumpai oleh dokter
bedah dan merupakan penyebab obstruksi usus terbanyak. Di Amerika Serikat, Mc Iver
mencatat 44% dari obstruksi mekanik usus disebabkan oleh hernia eksterna yang mengalami
strangulasi. Di RSCM, pada tahun 1989, Kartowisastro dan Wiriasoekarta melaporkan 58%
kasus obstruksi mekanik usus halus disebabkan oleh hernia.
Sutjipto (1990) dalam penelitiannya mengungkapkan indikasi relaparatomi karena
obstruksi usus akibat adhesi sebesar 17,7%. Walaupun di negara berkembang seperti di
Indonesia, adhesi bukanlah sebagai penyebab utama terjadinya obstruksi usus. Penyebab
tersering obstruksi usus di Indonesia, khususnya di RSUPNCM, adalah hernia, baik sebagai
penyebab obstruksi sederhana (51%) maupun obstruksi usus strangulasi (63%).
Adhesi pasca operasi timbul setelah terjadi cedera pada permukaan jaringan, sebagai
akibat insisi, kauterisasi, jahitan atau mekanisme trauma lainnya. Dari laporan terakhir pasien
yang telah menjalani sedikitnya sekali operasi intra abdomen, akan berkembang adhesi satu
hingga lebih dari sepuluh kali. Obstruksi usus merupakan salah satu konsekuensi klinik yang
penting. Di negara maju, adhesi intraabdomen merupakan penyebab terbanyak terjadinya
obstruksi usus. Pada pasien digestif yang memerlukan tindakan reoperasi, 30-41%
disebabkan obstruksi usus akibat adhesi. Untuk obstruksi usus halus, proporsi ini meningkat
hingga 65-75%.
2.3. Etiologi 1,2
Penyebab obstruksi pada usus halus dapat dibagi menjadi 3 yaitu obstruksi pada
ekstraluminal, obstruksi intrinsik dan obstruksi intraluminal. Obstruksi ekstraluminal
misalnya adhesi, hernia, karsinoma dan abses. Obstruksi intrinsik pada dinding usus seperti
tumor primer. Dan obstruksi intraluminal seperti enteroliths, gallstones dan adanya benda
asing.
Lesi ekstrinsik pada dinding usus
2

Adhesi (postoperative)
Hernia (inguinal, femoral, umbilical)
Neoplasma
Abses intraabdominal
Lesi intrinsic
a. Kongenital (Malrotasi, kista)
b. Inflamasi (Chrons Disease, Divertikulitis)
c. Neoplasma
d. Traumatik
e. Intusepsi
Obstruksi intraluminal
a. Gallstone
b. Enterolith
a.
b.
c.
d.

Gambar 2.1. Etiologi Ileus Obstruksi


Adhesi, hernia inkarserata dan keganasan usus besar paling sering menyebabkan
obstruksi.Pada adhesi, onsetnya terjadi secara tiba - tiba dengan keluhan perut membesar dan
nyeri perut. Dari 60% kasus ileus obstruksi di USA, penyebab terbanyak adhesi yaitu pada
operasi ginekologik, appendektomi dan reseksi kolorektal. Ileus karena adhesi umumnya
tidak disertai strangulasi. Adhesi umumnya berasal dari rongga peritoneum akibat peritonitis
setempat atau umum atau pasca operasi. Adhesi dapat berupa perlengketan mungkin dalam
bentuk tunggal atau multipel.
Terdapat juga etiologi ini di bagikan berdasarkan klasifikasi ileus obstruksi .
Berdasarkan pembagian tersebut etiologi ileus dapat di bagikan seperti berikut :
1. Ileus Obstruktif
a. Hernia Inkarserata
b. Non Hernia
i. Penyempitan lumen usus
Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis.
3

Dinding Usus : stenosis (radang kronik),


Ekstra lumen : Tumor intraabdomen.

keganasan.

ii. Adhesi
iii. Invaginasi
iv. Volvulus
v.Malformasi Usus
2. Ileus Paralitik
a. Pembedahan Abdomen
b. Trauma abdomen
c. Infeksi: peritonitis, appendicitis, diverticulitis
d. Pneumonia
e. Sepsis
f. Serangan Jantung
g. Ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium
h. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot
i. Obat-obatan: Narkotika, Antihipertensi
j. Mesenteric ischemia
2.4. Klasifikasi Ileus Obstruksi 4
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar, yaitu:
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya
pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau
gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari
jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar suatu
gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis, ileus obstruktif dibagi dua, yaitu:
1. Ileus obstruktif usus halus, termasuk duodenum
2. Ileus obstruktif usus besar
2.5. Patofisiologi 4
Obstruksi ileus merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan

penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus


terganggu.
Akan terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa gas dan cairan, pada bagian
proximal tempat penyumbatan yang menyebabkan pelebaran dinding usus (distensi).
Sumbatan usus dan distensi usus menyebabkan rangsangan terjadinya sekresi kelenjar
pencernaan, dengan demikian akumulasi cairan dan gas akan semakian bertambah yang
menyebabkan distensi usus tidak hanya pada tempat sumbatan tetapi juga dapat mengenai
seluruh panjang usus sebelah proksimal sumbatan. Sumbatan ini menyebabkan gerakan usus
yang meningkat (hiperperistaltik) sebagai usaha kompensasi. Sebaliknya juga terjadi gerakan
anti peristaltik, dimana hal ini menyebabkan terjadinya serangan kolik abdomen dan muntahmuntah.
Perubahan patofisiologi utama pada ileus obstruktif adalah lumen usus yang
tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan)
akibat peningkatan tekanan intralumen,yang menurunkan penyerapan air dan natrium dari
lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap
hari, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyerapan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan
utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan
ekstrasel yang mengakibatkan syokhipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan
perfusi jaringan dan asidosis metabolik.
Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan
absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek local peregangan usus
adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai
absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik yang
menyebabkan bakteriemia.

Gambar 2.2 Patofisiologi Ileus Obstruksi


Segera setelah timbulnya ileus obstruktif pada ileus obstruktif sederhana, distensi
timbul tepat proksimal dan menyebabkan reflex muntah. Setelah itu peristalsik yang melawan
obstruksi akan timbul dalam usaha mendorong isi usus untuk melewatinya yang
menyebabkan nyeri episodik kram (kolik) dengan masa relatif tanpa nyeri di antara episode.
Gelombang peristaltik lebih sering, yang timbul setiap 3 sampai 5 menit di dalam jejunum
dan setiap 10 menit di didalam ileum. Aktivitas peristaltik mendorong udara dan cairan
melalui gulungan usus, yang menyebabkan gambaran auskultasi khas terdengar dalam ileus
obstruktif. Dengan berlanjutnya obstruksi, maka aktivitas peristaltik menjadi lebih jarang dan
akhirnya tidak ada. Jika ileus obstruktif kontinu dan tidak diterapi, maka kemudian timbul
muntah dan mulainya tergantung atas tingkat obstruksi. Ileus obstruktif usus halus
menyebabkan muntahnya lebih dini dengan distensi usus relatif sedikit, disertai kehilangan
air, natrium, klorida dan kalium, kehilangan asam lambung dengan konsentrasi ion
hidrogennya yang tinggi menyebabkan alkalosis metabolik. Berbeda pada ileus obstruktif
usus besar, muntah bisa muncul lebih lambat (jika ada). Bila ia timbul, biasanya kehilangan
isotonik dengan plasma. Kehilangan cairan ekstrasel tersebut menyebabkan penurunan
volume intravascular, hemokonsentrasi dan oliguria atau anuria. Jika terapi tidak diberikan
dalam perjalanan klinik, maka dapat timbul azotemia, penurunan curah jantung, hipotensi dan

syok. Pada ileus obstruktif strangulata yang melibatkan terancamnya sirkulasi pada usus
mencakup volvulus, pita lekat, hernia dan distensi. Disamping cairan dan gas yang
mendistensi lumen dalam ileus obstruksi sederhana, dengan strangulasi ada juga gerakan
darah dan plasma ke dalam lumen dan dinding usus. Plasma bisa juga dieksudasi dari sisi
serosa dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Mukosa usus yang normalnya bertindak
sebagai sawar bagi penyerapan bakteri dan produk toksiknya, merupakan bagian dinding usus
yang paling sensitif terhadap perubahan dalam aliran darah. Dengan strangulasi memanjang
timbul iskemi dan sawar rusak. Bakteri (bersama dengan endotoksin dan eksotoksin) bisa
masuk melalui dinding usus ke dalam cavitas peritonealis. Disamping itu, kehilangan darah
dan plasma maupun air ke dalam lumen usus cepat menimbulkan syok. Jika kejadian ini tidak
dinilai dini, maka dapat cepat menyebabkan kematian
Ileus obstruktif dengan gulungan tertutup timbul bila jalan masuk dan jalan keluar
suatu gulung usus tersumbat. Jenis ileus obstruktif ini lebih berbahaya dibandingkan
kebanyakan ileus obstruksi, karena ia berlanjut ke strangulasi dengan cepat serta sebelum
terbukti tanda klinis dan gejala ileus obstruktif. Penyebab ileus obstruktif gelung tertutup
mencakup pita lekat melintasi suatu gelung usus, volvulus atau distensi sederhana. Pada
keadaan terakhir ini, sekresi ke dalam gelung tertutup dapat menyebabkan peningkatan cepat
tekanan intalumen, yang menyebabkan obstruksi aliran keluar vena. Ancaman vaskular
demikian menyebabkan progresivitas cepat gejala sisa yang diuraikan bagi ileus obstruksi
strangualata.
Ileus obstruktif kolon biasanya kurang akut (kecuali bagi volvulus) dibandingkan
ileus obstruksi usus halus. Karena kolon bukan organ pensekresi cairan dan hanya menerima
sekitar 500 ml cairan tiap hari melalui valva ileocaecalis, maka tidak timbul penumpukan
cairan yang cepat. Sehingga dehidrasi cepat bukan suatu bagian sindroma yang berhubungan
dengan ileus obstruksi kolon. Bahaya paling mendesak karena obstruksi itu karena distensi.
Jika valva ileocaecalis inkompeten maka kolon terdistensi dapat didekompresi ke dalam usus
halus. Tetapi jika valva ini kompeten, maka kolon terobstruksi membentuk gelung tertutup
dan distensi kontinu menyebabkan ruptura pada tempat berdiameter terlebar, biasanya sekum.
Ia didasarkan atas hukum Laplace, yang mendefenisikan tegangan di dalam dinding organ
tubular pada tekanan tertentu apapun berhubungan langsung dengan diameter tabung itu.
Sehingga karena diameter terlebar kolon di dalam sekum, maka ia area yang biasanya pecah
pertama sekali.
2.6. Manifestasi Klinis 4
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif
1. Nyeri abdomen
7

2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas(konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus
Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok hypovolemik,
pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap setiap penyakit yang
dicurigai ileus obstruktif, semua kemungkinan hernia harus diperiksa.
Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi bersifat
kolik. Ia sekunder terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus melawan obstruksi.
Frekuensi episode tergantung atas tingkat obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit
dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15 sampai 20 menit pada ileus obstruktif usus besar.
Nyeri dari ileus obstruktif usus halus demikian biasanya terlokalisasi supraumbilikus di
dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar biasanya tampil dengan
nyeri intaumbilikus. Dengan berlalunya waktu, usus berdilatasi, motilitas menurun, sehingga
gelombang peristaltik menjadi jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda
dan diganti oleh pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen
menjadi terlokalisasi baik, parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata
harus dicurigai.
Muntah refleks ditemukan segera setelah mulainya ileus obstruksi yang memuntahkan
apapun makanan dan cairan yang terkandung, yang juga diikuti oleh cairan duodenum, yang
kebanyakan cairan empedu. Setelah ia mereda, maka muntah tergantung atas tingkat ileus
obstruktif. Jika ileus obstruktif usus halus, maka muntah terlihat dini dalam perjalanan dan
terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning. Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga
tak terlihat distensi. Jika ileus obstruktif usus besar, maka muntah timbul lambat dan setelah
muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk (fekulen), sebagai hasil pertumbuhan
bakteri berlebihan sekunder terhadap stagnasi. Karena panjang usus yang terisi dengan isi
demikian, maka muntah tidak mendekompresi total usus di atas obstruksi.
Distensi pada ileus obstruktif derajatnya tergantung kepada lokasi obsruksi dan makin
membesar bila semakin ke distal lokasinya. Gerakan peristaltic terkadang dapat dilihat.
Gejala ini terlambat pada ileus obstruktif usus besar dan bisa minimal atau absen pada
keadaan oklusi pembuluh darah mesenterikus
Konstipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konstipasi absolut ( dimana feses dan
gas tidak bisa keluar) dan relatif (dimana hanya gas yang bisa keluar). Kegagalan
mengeluarkan gas dan feses per rektum juga suatu gambaran khas ileus obstruktif. Tetapi
8

setelah timbul obstruksi, usus distal terhadap titik ini harus mengeluarkan isinya sebelum
terlihat obstipasi. Sehingga dalam ileus obstruktif usus halus, usus dalam panjang bermakna
dibiarkan tanpa terancam di usus besar. Lewatnya isi usus dalam bagian usus besar ini
memerlukan waktu, sehingga mungkin tidak ada obstipasi, selama beberapa hari. Sebaliknya,
jika ileus obstruktif usus besar, maka obstipasi akan terlihat lebih dini. Dalam ileus obstuksi
sebagian, diare merupakan gejala yang ditampilkan pengganti obstipasi.
Dehidrasi umumnya terjadi pada ileus obstruktif usus halus yang disebabkan muntah
yang berulang-ulang dan pengendapan cairan. Hal ini menyebabkan kulit kering dan lidah
kering, pengisian aliran vena yang jelek dan mata gantung dengan oliguria. Nilai BUN dan
hematokrit meningkat memberikan gambaran polisitemia sekunder

Hipokalemia bukan

merupakan gejala yang sering pada ileus obstruktif sederhana. Peningkatan nilai potasium,
amilase atau laktat dehidrogenase di dalam serum dapat sebagai pertanda strangulasi, begitu
juga leukositosis atau leucopenia. Pireksia di dalam ileus obstruktif dapat digunakan sebagai
petanda:
1. Mulainya terjadi iskemia
2. Perforasi usus
3. Inflamasi yang berhubungan dengan penyakit obsruksi
Hipotermi menandakan terjadinya syok septikemia. Nyeri tekan abdomen yang
terlokalisir menandakan iskemia yang mengancam atau sudah terjadi. Perkembangan
peritonitis menandakan infark atau prforasi.Sangat penting untuk membedakan antara ileus
obstruktif dengan strangulasi dengan tanpa strangulasi, karena termasuk operasi emergensi.
Penegakan diagnosa hanya tergantung gejala kilnis. Sebagai catatan perlu diperhatikan:
1.
2.
3.
4.

Kehadiran syok menandakan iskemia yang sedang berlangsung


Pada strangulasi yang mengancam, nyeri tidak pernah hilang total
Gejala-gejala biasanya muncul secara mendadak dan selalu berulang
Kemunculan dan adanya gejala nyeri tekan lokal merupakan tanda yang sangat
penting, tetapi, nyeri tekan yang tidak jelas memerlukan penilaian rutin. Pada ileus
obstruktif tanpa strangulasi kemungkinan bisa terdapat area dengan nyeri tekan lokal
pada tempat yang mengalami obstruksi; pada srangulasi selalu ada nyeri tekan lokal

yang berhubungan dengan kekakuan abdomen..


5. Nyeri tekan umum dan kehadiran kekakuan abdomen/rebound

tenderness

menandakan perlunya laparotomy segera.


6. Pada kasus ileus obstruktif dimana nyeri tetap asa walaupun telah diterapi konservatif,
walaupun tanpa gejala-gejala di atas, strangulasi tetap harus didiagnosa.
7. Ketika srangulasi muncul pada hernia eksternal dimana benjolan tegang, lunak,
iresponsibel, tidak hanya membesar karena reflek batuk dan benjolan semakin
membesar.

8. Pada ileus obstruksi usus besar juga menimbulkan sakit kolik abdomen yang sama
kualitasnya dengan sakit ileus obstruktif usus halus, tetapi intensitasnya lebih rendah.
Keluhan rasa sakit kadang-kadang tidak ada pada penderita lanjut usia yang pandai
menahan nafsu. Muntah-muntah terjadi lambat, khususnya bila katup ileocaecal
kompeten. Muntah-muntah fekulen paradox sangat jarang. Riwayat perubahan
kebiasaan berdefekasi dan darah dalam feses yang baru terjadi sering terjadi karena
karsinoma dan divertikulitis adalah penyebab yang paling sering. Konstipasi menjadi
progresif, dan obstipasi dengan ketidakmampuan mengeluarkan gas terjadi. Gejalagejala akut dapat timbul setelah satu minggu.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Secara klinik obstruksi ileus umumnya mudah ditegakkan. 90% obstruksi ileus
ditegakkan secara tepat hanya dengan berdasarkan gambaran klinisnya saja. Pada foto polos
abdomen, 60-70% dapat dilihat adanya pelebaran usus dan hanya 40% dapat ditemukan
adanya air fluid level. Walaupun pemeriksaan radiologi hanya sebagai pelengkap saja, namun
pemeriksaan sering diperlukan pada obstruksi ileus yang sulit atau untuk dapat
memperkirakan keadaan obstruksinya pada masa pra-bedah. Beberapa tanda radiologik yang
khas untuk ileus obstruktif adalah:5
1. Pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar, penebalan valvulae coniventes
yang memberi gambaran fish bone appearance.
2. Pengumpulan cairan dengan gambaran khas air-fluid level. Pada obstruksi yang cukup
lama, beberapa air fluid level memberikan gambaran huruf U terbalik.
Pada radiografi polos abdomen, ileus muncul sebagai dilatasi gas berlebihan dari usus
kecil dan usus besar. Dengan enteroclysis, media kontras pada pasien dengan ileus paralitik
harus mencapai sekum dalam waktu 4 jam, jika media kontras tetap diam selama lebih dari 4
jam, kemungkinan telah terjadi obstruksi mekanik.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan tanda tanda infeksi, kelainan elektrolit
akibat anoreksia dan kegagalan usus berfungsi sebagai penyerap nutrient dan kelainan
metabolic.6
2.8. Diagnosis
Gambaran klinik obstruksi ileus sangat mudah dikenal, tidak tergantung kepada
penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan strangulasi, nyeri biasanya lebih hebat dan
menetap. Ileus obstruksi ditandai dengan gejala klinis berupa nyeri abdomen yang bersifat
kolik, muntah-muntah dan obstipasi, distensi intestinalis, dan tidak adanya flatus. Rasa nyeri
perut dirasakan seperti menusuk-nusuk atau rasa mulas yang hebat, umumnya nyeri tidak
menjalar. Pada saat datang serangan, biasanya disertai perasaan perut yang melilit dan
10

terdengar semacam suara dari dalam perut. Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat
proyektil dengan cairan muntah yang berwarna kehijauan. Pada obstruksi rendah, muntah
biasanya timbul sesudah distensi usus yang jelas . Pada umumnya persiapan penderita dapat
sekali. Muntah tidak proyektil dan berbau feculent, warna cairan muntah kecoklatan. Pada
penderita yang kurus /sedang dapat ditemukan dan contour atau darm steifung; biasanya
nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik. Pada saat itu, dalam pemeriksaan
bising usus dapat didengarkan bising usus yang kasar dan meninggi (borgorygmi dan metalic
sound). Untuk mengetahui ada tidaknya strangulasi usus, beberapa gambaran klinik dapat
membantu:5
1.
2.
3.
4.

Rasa nyeri abdomen yang hebat, bersifat menetap, makin lama makin hebat.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan ascites.
Terdapatnya abdominal tenderness.
Adanya tanda-tanda yang bersifat umum, demam, dehidrasi berat, tachycardi,
hipotensi atau shock.
Pada inspeksi ditemukan perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung.

Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata.
Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat
dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Pada auskultasi dijumpai hiperperistaltik,
bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah
sampai hilang.

Pada perkusi ditemukan suara hipertimpani pada lapangan perut yang

disebabkan oleh volume udara yang banyak. Pada palpasi dapat teraba massa seperti pada
tumor, invaginasi, hernia dan tergantung pada penyebab ileus pada pasien tersebut. 5
Pada pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan beberapa kondisi yang dapat
membantu dokter untuk mendiagnosis penyebab ileus pada pasien. Apabila dilakukan colok
dubur dan yang ditemukan adalah isi rektum menyemprot, maka diduga penyebabnya adalah
Hirschprung disease. Jika adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, atau
neoplasma. Feses yang mengeras menggambarkan penyebabnya adalah skibala, jika tidak
ditemukan feses pada pemeriksaan colok dubur kemungkinan obstruksi usus letak tinggi.
Pada perabaan ditemukan ampula rekti yang kolaps maka dicurigai akibat obstruksi ampula
rekti. Apabila terdapat nyeri tekan maka diduga telah terjadi lokal atau general peritonitis.5
2.9. Diagnosis Banding 5
Diagnosis banding untuk ileus adalah pseudo-obstruksi, juga disebut sebagai sindrom
Ogilvie, dan obstruksi usus mekanik.
Pseudoobstruksi didefinisikan sebagai akut, ditandai dengan distensi dari usus besar.
Seperti ileus, itu terjadi dalam adanya patologi mekanik ditentukan. Beberapa teks dan artikel
11

cenderung menggunakan ileus sinonim dengan pseudo-obstruksi atau untuk menggambarkan


"ileus kolon." Namun, 2 kondisi ini adalah berbeda. Pseudo-obstruksi jelas terbatas pada usus
besar saja, sedangkan ileus melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Obstruksi pada usus
besar kanan merupakan pseudoobstruksi yang klasik, yang biasanya terjadi pada pasien
lanjut usia yang terbaring di tempat tidur dengan penyakit ekstraintestinal yang serius atau
pada pasien trauma. Agen farmakologis, aerophagia, sepsis, dan perbedaan elektrolit juga
dapat berkontribusi pada kondisi ini.
Kondisi yang disebut pseudo-obstruksi usus kronis juga diamati pada pasien dengan
penyakit kolagen-vaskular, miopati visceral, atau neuropati. Bentuk kronis pseudo-obstruksi
melibatkan dysmotilitas baik dari usus besar dan kecil. Hal ini disebabkan hilangnya
migrating motor complex dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. entitas ini bermanifestasi
sebagai obstruksi usus klinis kecil.
Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan

distensi perut tanpa rasa sakit atau

tenderness, namun, pasien mungkin memiliki gejala mirip obstruksi. Distensi kolon dapat
mengakibatkan perforasi sekum, terutama jika diameter cecal melebihi 12 cm. Tingkat
kematian untuk pseudo-obstruksi adalah 50% jika terjadi nekrosis iskemik dan perforasi.
Mekanik obstruksi usus dapat disebabkan oleh adhesi, volvulus, hernia,
intussusception, benda asing, atau neoplasma. Pasien datang dengan nyeri kram perut yang
parah adalah tanda paroksismal . Pemeriksaan fisik menunjukkan suara borborygmi hadir
dengan kram perut. Pada pasien kurus, gelombang peristaltik dapat ditemukan. Auskultasi
dapat bernada tinggi, seperti gurgles, yang berbeda dengan usus hypoactive atau tidak ada
suara ileus. Jika obstruksi komplit, pasien mengeluhkan konstipasi atau sembelit. Muntah
mungkin ada atau mungkin tidak terjadi jika katup ileocecal masih kompeten dan dapat
mencegah refluks. Tanda-tanda Peritoneal dijumpai apabila terjadi strangulasi atau perforasi.
2.10. Penatalaksanaan7
Ileus obstruktif dapat diterapi dengan baik selama feses dan flatus masih dapat
melewati usus. Dekompresi dapat menggunakan nasogastric tube atau long intestinal tube.
Tindakan bedah diperlukan bila obstruksi berlanjut beberapa hari selama beberapa hari
meskipun obstruksi tidak komplit.
Ada pengecualian untuk aturan umum bahwa operasi harus dilakukan segera:
obstruksi tidak lengkap, obstruksi pasca operasi, riwayat operasi sebelumnya, terapi radiasi,
inflammatory bowel disease, dan abdominal carcinomatosis.
Persiapan
Nasogastric suction
Nasogastric tube (NGT) harus segera dipasang untuk mencegah muntah, menghindari
aspirasi, dan mengurangi tertelannya udara agar tidak terjadi distensi abdomen.
12

Resusitasi cairan dan elektrolit


Tergantung level dan durasi obstruksi, defisit cairan dan elektrolit dapat ringan sampai
berat. Hemokonsentrasi yang diakibatkan obstruksi berlama-lama tidak dapat dikoreksi hanya
dengan cairan dekstrosa saja. Konsentrasi serum elektrolit dan analisa gas darah adalah
panduan untuk terapi elektrolit.
Operasi
Operasi dapat dilakukan setelah pasien direhidrasi dan organ vital berfungsi dengan
baik. Prosedur operasi secara detail berbeda tergantung penyebab obstruksi. Perlekatan harus
dilisis, tumor yang mengobstruksi harus direseksi, dan benda asing yang mengobstruksi harus
dibuang dengan enterotomi. Gangren usus harus dibuang, tapi sulit menentukan apakah usus
yang obstruksi masih viabel atau tidak. Penggunaan USG Doppler selama operasi dapat
menentukan viabilitas dari usus yang obstruksi. Laparoskopi adhesiolisis dapat dilakukan
pada pasien yang diseleksi ketat oleh dokter bedah yang kompeten dalam hal ini.
Pengangkatan lesi obstruksi tidak mungkin dilakukan pada sebagian pasien dengan
karsinoma atau trauma radiasi. Anastomosis usus halus proksimal ke usus yang kecil atau
besar yang lebih distal dari obstruksi adalah prosedur yang terbaik.
Dekompresi lumen usus halus yang dilatasi membantu penutupan abdomen dan dapat
mempersingkat waktu untuk pemulihan fungsi usus pasca operasi. Dekompresi dilakukan
dengan memasukkan selang melalui mulut atau aspirasi dinding usus menggunakan jarum.
Upaya untuk mencegah pembentukan perlekatan yang tidak terkontrol dengan
penjahitan lumen usus sehingga tetap dalam hubungan yang stabil (Nobel placation
procedures) tidak berhasil. Namun, prosedur lain di mana sebuah tabung panjang dimasukkan
melalui gastrostomi atau jejunostomi selama 10 hari untuk memberikan stenting intraluminal
dianut oleh beberapa ahli. Upaya untuk mencegah adhesi dengan penempatan berbagai jenis
zat dalam rongga peritoneal telah menunjukkan beberapa keberhasilan, larutan polietilen
glikol 4000 adalah salah satu contohnya.
2.11. Komplikasi 3
Komplikasi ileus obstruktif berupa :
Sepsis
Abses intra abdominal
Wound dehiscence
Aspirasi
Short-bowel syndrome (akibat bedah multipel)
Kematian (akibat penanganan yang telambat)
2.12. Prognosis 3,7

13

Angka kematian pada obstruksi tipe non strangulasi adalah 2%, kebanyakan kematian
terjadi pada orang tua. Obstruksi strangulasi memiliki angka mortalitas sekitar 8% jika
operasi dilakukan dalam waktu 36 jam setelah munculnya gejala dan menjadi 25% jika
operasi dilakukan setelah lebih 36 jam. Obstruksi lengkap yang diterapi secara non operatif
memiliki kecenderungan berulang yang tinggi dibandingkan terapi operatif. Obstruksi
berulang setelah lisis jarang terjadi.

14

BAB 3
ANESTESI PADA BEDAH DARURAT ILEUS OBSTRUKSI
3.1. PEMERIKSAAN AWAL
Pasien-pasien dengan ileus obstruksi umumnya datang dengan rasa nyeri yang hebat
dan memerlukan penanganan yang segera. Oleh itu, evaluasi terhadap keadaan umum pasien
dan pertolongan pertama untuk menyamankan pasien sebaik mungkin. Dari aspek anestesi
pasien ditentukan mengikut ASA.
Tujuan utama anestesi pada kasus ileus obstruksi adalah untuk mengurangi rasa nyeri
dan memberikan sedasi yang optimal untuk bedah laparatomi yang bakal dijalankan. Selain
itu, ahli anestesi juga berperan memperbaiki dehidrasi dan lain-lain kelainan hemodinamik
yang dijumpai pada pasien.
Pemeriksaan awal pada pasien ileus obstruksi meliputi ABCD yaitu:
Airway
Pastikan jalan nafas bebas dari obstruksi
Dipasang selang oksigen 2-4 l/i
Breathing RR yang meningkat adalah tanda awal dari acidosis maupun hipoksia.
Takipnoe bisa disebabkan oleh nyeri, anxietas atau pireksia. Periksa saturasi oksigen
dan awasi RR secara regular.
Circulation Pantau nadi, tekanan darah, T/V yang cukup atau tidak, dan capillary
refill time. Periksa akral untuk perfusi perifer. Tentukan derajat dehidrasi. Pasang iv
kanule
Disability

Menilai status mental pasien.

Tujuan utama dari terapi preoperative adalah untuk mengoptimalisasi kondisi pasien
dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Resusitasi awal yang efektif meningkatkan delivery
oksigen ke jaringan dan mengurangkan mortalitas pasien.
Masalah-masalah yang sering dialami pada operasi laparotomi darurat:
\
Kardiovaskular

-Hipovolemia
- Dehidrasi
- Sepsis dan syok septic
Respiratorik
- Hipoksia
- Takipnoe
- Atelektasis
Kelainan darah - Anemia
- Kalau septik masalah koagulopati
Renal
- Oliguri atau anuria akibat gagal ginjal akut
CNS
- Penurunan kesadaran
- Anxietas
- Nyeri
- Cenderung intoksifikasi
Gastrointestinal - Lambung penuh
- Distensi abdominal
- Perforasi atau obstruksi usus
Metabolik
- Pireksia
15

- Asidosis
- Hipotermia
- Gangguan elektrolit
- Hipoglikemik
3.2. MANAJEMEN JALAN NAFAS
Ahli anestesi memainkan peran penting dalam manajemen dini untuk pasien ileus
obstruksi untuk mengamankan jalan napasnya:
3.2.1. Hipoksia
Hipoksia pada pasien ileus obstruksi pada umumnya disebabkan oleh status sirkulasi
yang buruk. Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan analisis gas darah
arterial harus didapatkan secara dini jika terdapat keraguan. Oksigen supplemental harus
diberikan, dan intervensi jalan napas definitif diambil jika terdapat kecurigaan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat.
Intervensi awal meliputi oksigen supplemental, chin lift dengan jaw thrust,
pembersihan orofaring dan pemasangan jalan napas oral atau nasal.
3.2.2. Resiko Aspirasi
Aspirasi isi lambung sewaktu induksi anestesi harus sejauh mungkin dicegah. Waktu
pengosongan memanjang oleh makanan berlemak tinggi (810 jam), gangguan emosionil,
dan obat narkotik. Interval waktu makan terakhir dengan awal sakit sangat penting sebab
lambung berhenti bekerja waktu timbulnya nyeri.
Hiperventilasi atau gangguan pernafasan, menyebabkan penderita menelan udara
sehingga timbul perut kembung, yang memudahkan regurgitasi atau muntah.Sekalipun telah
dipasang Nasogastric tube, pengosongan lambung secara lengkap melalui NGT tidak dapat
dijamin. Rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan lambung. Isi perut
terdorong ke arah kepala, menekan sfingter kardia dan memudahkan regurgitasi atau muntah..
Bila akan menguras lambung maka jalan pernafasan harus diamankan dulu dengan tube
endotrakeal yang memakai cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak menjamin
perlindungan terhadap aspirasi.
3.2.3. Teknik anestesi pasien yang dicurigai mempunyai lambung penuh.
Intubasi dalam keadaan sadar. Dilakukan Crash induction, dengan cara seperti di
bawah ini :
Posisi Trendelenburg.
1. Posisi Trendelenburg dalam, sehingga isi lambung akan turun ke faring dan tidak ke paruparu.
2. Oksigenasi minimal 5 menit
3. Tubokurarin 3 mg atau pankuronium 1 mg disuntikkan secara intravena untuk mencegah
fasikulasi yang menaikkan tekanan intragastrik dan menimbulkan regurgitasi.
4. Obat induksi anestesi disuntikkan dengan cepat, diikuti oleh suksinilkolin (bila tidak ada
kontra indikasi).
16

5. Jangan diventilasi, dan pembantu harus menekan trakhea secara keras terhadap esofagus
segera setelah pasien tidur.
6. Segera setelah otot lemas maka tube endoktrakheal harus dimasukkan ke dalam, dan
balonnya segera ditiup.
7. Syarat penting bahwa suction disiapkan
Paling aman jika kita beranggapan bahwa setiap penderita yang akan menjalani anestesi
darurat mempunyai lambung yang terisi dan bertindak dengan tepat.
Beberapa kewaspadaan yang dapat dilakukan :

Pipa nasogastrik (NGT; ukuran 16 untuk orang dewasa) dapat dimasukkan.


Sesungguhnya

NGT berguna

dalam

mengeluarkan

cairan

dibiarkanditempatnya, NGT tersebut dapat menyebabkan

atau

gas.

Jika

inkompetensi sfingter

esofagusbagian bawah dan menaikkan resiko aspirasi


Metoklopramid (10 mg intramuskular atau intravena) akan meningkatkanmotilitas
lambung dan meningkatkan tonus sfingter esofagus inferior, tetapi keefektifannya
berkurang karena pemberian atropin sebelumnya. Disritmia dapat terjadi jika suntikan

intravena terlalu cepat.


Sekresi asam dalam cairan lambung dapat dikurangi oleh penghambat reseptor
histamin H2. Kerusakan paling buruk terhadap jaringan paru berasal dari inhalasi isi
lambung dengan pH kurang dari 2,5. Obat yang paling memuaskan adalah Ranitidin
150 mg intramuskular, atau melalui mulut sekurang-kurangnya dua jam sebelum

pembedahan.
Antasid dapat diberikan tetapi harus dipilih dengan cermat
Penanganan lambung penuh harus lebih difokuskan pada keamanan dan

penatalaksanaan yang cepat untuk jalan napas, dibandingkan dengan kepentingan untuk
menurunkan resiko aspirasi secara farmakologis.
Penekanan cricoid yang sesuai (manuver Sellick), dengan stabilisasi satu garis pada
spinal cervical, dapat menurunkan resiko aspirasi pulmoner. Tekanan cricoid diperlukan
untuk menurunkan resiko aspirasi. Intubasi cepat dengan agen hipnotik dan relaksan otot
merupakan teknik yang lebih disukai pada pasien stabil tanpa cedera oral, maksilofasial atau
cervical yang parah.
Adapun teknik yang biasanya digunakan pada pasien dengan risiko yang mengalami
aspirasi lambung dan risiko terjadinya intubasi sulit yaitu dengan Rapid Sequence Induction
(RSI). Reflek jalan nafas yang ditumpulkan dengan pemberian obat anestesia, pada pasien
lambung penuh sangat berisiko mangalami aspirasi lambung (asam atau makanan yang belum
tercerna) akan menghasilkan morbiditas dan mortalitas. Risiko aspirasi asam berkaitan
dengan volume ( >0,4 ml/kg) dan keasaman ( pH < 2,5) dari cairan lambung. Aspirasi dari
material partikel menyebabkan obstruksi jalan napas.
17

3.2.4. Teknik Rapid Sequence Induction


Teknik melakukan RSI berbeda dari induksi yang rutin dilakukan, yaitu :
1. Pasien selalu dilakukan preoksigenasi sebelum dilakukan induksi. 4 kali tarikan nafas
maksimal dari oksigen sudah cukup untuk denitrogenasi paru normal. Pasien dengan
penyakit paru memerlukan 3-5 menit preoksigenasi.
2. Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin mencegah
peningkatan tekanan intraabdomen yang berhubungan dengan fasikulasi yang
disebabkan oleh suksinilkolin. Jika rocuronium dipilih untuk relaksasi, dosis kecil
(0,1 mg/kgbb) diberikan 2-3 menit sebelum induksi mungkin mempercepat onset dari
aksi.
3. Blade yang besar dan tube endotracheal disiapkan sebelumnya. Sebaiknya dimulai
dengan memakai stilet dan nomor tube endotracheal satu sampai setengah nomor
dibawah biasanya, untuk memaksimalkan kemudahan melakukan intubasi.
4. Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat setelah induksi
(Sellicks Manuver). Karena kartilago krikoid terbentuk cincin yang tidak putus dan
tidak kempes, tekanan diatas menekan jaringan dibawahnya. Oesophagus lalu kolaps,
dan secara pasif regurgitasi cairan lambung tidak dapat mencapai hipofaring.
5. Tidak ada pemberian tes dosis dari tiopental. Dosis induksi diberikan secara bolus.
Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwa sistem kardiovaskular
pasien tidak stabil. Agen RSI lain dapat menggantikan thiopental.(seperti propofol,
ketamin)
6. Suksinilkolin (1,5 mg/kgbb) atau recuronium (0,9 -1,2 mg/kgbb) dapat diberikan
segera setelah tiopenthal, walaupun pasien belum hilang kesadarannya.
7. Pasien tidak dilakukan ventilasi secara artifisisal, untuk menghindari pengisian udara
perut dimana hal ini dapat meningkatkan risiko emesis. Setelah refleks spontan
pasien berhenti atau respon otot terhadap rangsang hilang, pasien segera mulai di
intubasi. Penekanan pada cricoid dipertahankan sampai cuff tube endotracheal sudah
dikembangkan dan posisi tube sudah pasti.
8. Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahankan sampai dan
pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha intubasi berikutnya
dapat dilakukan. Bila intubasi tetap tidak berhasil, spontan ventilasi seharusnya
diadakan dan dilakukan intubasi sadar.
9. Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek jalan napas
kembali dan kesadaran sudah pulih.
Procedure Rapid Sequence Induction
1. Preparasi
Obat
: Thiopenthone, suxamethonium, efedrin, atropin
18

Endotracheal tube
Laringoskope
Suction
Stilet
Canule intravenous

: dengan ukuran yang ada dan bervariasi, dan dicek ( yakin


insersi cuffnya intake, tidak bocor.
: dengan 2 ukuran blade yang bervariasi
: bila endotracheal tube mengalami kesulitan untuk penempatannya.

2. Monitoring
Tekanan darah, EKG, pulse oximetry, end tidal CO2 (jika ada)
3. Assisten
Seseorang yang diperlukan untuk memberikan krikoid pressure selama proses RSI. Krikoid
kartilago adalah kartilago yang berbentuk cincin dibawah laring. Jika dipindahkan lebih
posterior dan dibentuk sirkuler dan solid, ini akan menekan dan menutup esopagus. Ini
mencegah regurgitasi pasif dari isi lambung.
4. Induksi
Pasien diberikan preoksigenasi secara penuh dalam waktu 3 menit untuk membuang semua
nitrogen dari paru dan memberikan kembali O2.
Penekanan krikotiroid (perasat Sellick).
Krikoid adalah tulang rawan laring yang melingkari laring secara menyeluruh.
Krikoid berbentuk segi tiga pada potongan melintang dengan permukaan posterior datar.
Tekanan langsung ke belakang pada krikoid, diarahkan ke arah vertebrae servikalis yang
kemudian akan menyumbat esofagus dan mencegah cairan memasuki laring. Walaupun
perasat ini tampak mudah tetapi membutuhkan keahlian dan ketepatan penempatan tangan
asisten yang bisa saja menyumbat laringoskop sehingga mengganggu anatomi normal laring
atau gagal menutup esofagus. Pasien tidur ketika reflek bulu mata hilang, dan relaxasi
setelah hilangnya fasikulasi. Pasien di intubasi kemudian cuff diinflasikan dan tube terkunci.
Cricoid presure tidak dilepaskan sebelum anestesi yakin bahwa tube sudah tepat
penempatannya. Untuk meyakinkan bisa didengarkan suara nafas bilateral, diamati gerakan
kedua dada, dan bekas CO2 (jika ada).
5. Anestesi
Ketika ahli anestesi yakin dengan jalan nafas yang sudah dikuasai, kemudian akan
memberikan agent : fentanyl, depolarising, volatile agent (isoflurane) untuk maintanance
anesthesia. Non depolarisasi sekarang dapat ditambahkan untuk menjaga selama relaksasi
otot.
6. Emergence
Jika pembedahan sudah selesai, semua agen anestesia diturunkan dan kemudian
dimatikan, oksigen 100 % diberikan, neuromuskular blok dekembalikan, dan pasien di
19

bangunkan dari anestesia. Permulaan risiko terjadinya regurgitasi isi lambung sangat besar.
Jalan nafas dibersihkan secara hati-hati dengan menggunakan suction, dan ET tetap
ditinggalkan sebelum pasien sadar penuh.
Pemilihan agen hipnotik untuk intubasi didasarkan pada status hemodinamik pasien.
Propofol atau thiopental dapat diterima pada pasien euvolemik dimana depresi myokardial
dan vasodilatasi bisanya dapat ditoleransi dengan baik. Etomidate dan ketamin lebih disukai
pada pasien dengan hipovolemia sedang dan parah.
Penggunaan relaksan otot tergantung pada kondisi klinis pasien.
Suksinilkolin merupakan pilihan yang jelas karena onset aksinya yang cepat namun
harus dihindari pada pasien dengan luka bakar atau cedera medulla spinalis lebih dari 24 jam
dari cedera karena potensi terjadinya respon hiperkalemia massif.
Rocuronium (1-1,5 mg/kg) memberikan kondisi intubasi pada 60-90 detik dan dapat
diberikan jika suksinilkolin dikontraindikasikan.
Penggunaan obat-obat hipnosis dan opioid untuk RSI serta penggunaan premedikasi,
dipengaruhi oleh pemilihan obat pelumpuh otot. Obat anestesi mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap kualitas intubasi ketika RSI dicapai tanpa menggunakan pelumpuh otot.
Premedikasi sangat penting, selama penggunaan propofol dosis besar (2,5mg/kgbb atau lebih)
dan opioid aksi pendek seperti alfentanil (30-40 g/kgbb) atau remifentanil (sampai 4
g/kgbb). Ketika pelumpuh otot digunakan pemilihan dari obat anestesi tergantung dari onset
aksi dari obat pelumpuh otot.
3.3. MANAJEMEN VENTILASI
Jika jalan napas telah diamankan, maka perhatian selanjutnya difokuskan pada
ventilasi dan oksigenasi. Pemeriksaan

gas darah arterial (AGDA) dapat membantu

menentukan adekuatnya ventilasi dan oksigenasi.


3.4. MANAJEMEN DEHIDRASI
Pasien-pasien akut abdomen umumnya dianggap mengalami dehidrasi kecuali
dibuktikan sebaliknya, oleh itu setiap pasien yang datang dengan keluhan akut abdomen
haruslah di lakukan pemeriksaan untuk menilai status dehidrasi sebelum dilakukan tindakan
anestesi . Pasien pasien akut abdomen sering mengalami dehidrasi karena :
-

Tidak adanya asupan oral

Muntah dan diare


Demam
third space loss (cairan dalam tubuh yang tidak terlibat dalam sirkulasi seperti edema
dan asites)

20

Terdapat beberapa kriteria untuk menilai derajat dehidrasi, yaitu:

Turgor Kulit
Nadi
Tensi
Urine
Rasa haus

RINGAN
3-5% BB
Berkurang
N/
N/
pekat
+

Lidah

Mata
Ubun-ubun
Kesadaran

N
N
Baik

GEJALA

SEDANG
6-8% BB
Lambat
lemah kecil

Pekat, vol
+
Lunak, kecil dan

BERAT
10% BB
Sangat lambat
Tak teraba

(-)
++
Lunak, kecil dan

keriput
Cowong
Cekung
gelisah

keriput
Sangat Cowong
Sangat Cekung
Menurun

Manajemen dehidrasi adalah berdasarkan dari terapi cairan yang terdiri dari
replacement dan maintenance ( 2cc/kgbb/jam ). Pada pasien-pasien dengan dehidrasi
dilakukan replacement cairan mengikut defisit cairan dan derajatnya.
Derajat Ringan 3-5% BB dan Derajat sedang 6-8% BB
-

Dilakukan rehidrasi lambat untuk 8 jam pertama deficit cairan + maintenance


Dilakukan rehidrasi lambat untuk 16 jam kedua deficit cairan + maintenance

Dehidrasi lambat 10% BB


-

Dilakukan rehidrasi cepat = 20-40cc/kgBB/1/2-1jam , deficit cairan = 10% x BB (g) ,


kemudian dilalukan evaluasi hemodinamik dengan memantau tekanan darah, nadi
dan urine output sekiranya buruk diulangi lagi rehidrasi cepat dan sekiranya baik yaitu

T 100 mmHg , N<100X/i , URINE1/2CC/KgBB/JAM


Dilakukan rehidrasi lambat untuk 8 jam pertama deficit cairan + maintenance
Dilakukan rehidrasi lambat untuk 16 jam kedua deficit cairan + maintenance

Pemilihan Cairan
Kontroversi masih berlangsung dalam hal apakah cairan kristaloid ataukah koloid
yang lebih dipilih untuk resusitasi awal. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai hal ini.
Banyak dokter yang meyakini bahwa koloid tidak memiliki manfaat yang besar pada keadaan
akut. Resusitasi cairan awal harus dimulai dengan larutan garam seimbang seperti ringer
laktat. Normal saline pada volume yang sangat besar berhubungan dengan kelebihan beban
klorida dan dapat memperparah asidosis intraseluler
3.5. PELAKSANAAN ANESTESI PADA ILEUS OBSTRUKSI

21

Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang untuk mengevaluasi
pasien selama operasi. Anestesi umum biasanya merupakan teknik yang dipilih. Tujuan dari
anestesi umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari ventilasi dan oksigenasi, stabilitas
kardiovaskuler, kontrol hipertensi intracranial, normalisasi asam-basa/ elektrolit dan
pencegahan untuk terjadinya hipotermia dan koagulopati.
Obat- Obat Yang Digunakan :
1. Obat induksi
a. Thiopental
Deskripsi : Thiopental adalah obat golongan barbiturat dengan aksi ultra pendek, mempunyai
onset cepat dengan induksi dari hipnosis dan amnesia tapi bukan analgesia, dan thiopental
tidak menimbulkan nyeri. Pulih sadar setelah pemberian bolus adalah cepat dan baik, meski
pemberian dosis ulangan mungkin menimbulkan akumalasi dan

pemanjangan durasi.

Depresi jantung dan vasodilatasi dengan hipotensi bisa menjadi berat. Thiopental merupakan
pendepresi pernapasan yang poten. Thiopental menurunkan aliran darah ke otak, dan juga
menurunkan laju metabolik otak untuk oksigen dan glukosa. Meski demikian, kejadian
hipotensi lebih menonjol daripada penurunan konsumsi osksigen, dan sudah seharusnya
hipotensi dicegah pada trauma cedera otak.
Indikasi : obat induksi, anti kejang, sedatif, pengontrol tekanan intrakranial.
Kontraindikasi : Poriphiria.
Peringatan:Tiopental menyebabkan hipotensi dan depresi jantung dan harus menjadi
peringatan atau pengurangan dosis jika digunakan pada pasien dengan risiko hipovolemia dan
atau hipotensi, hipertensi, riwayat penyakit jantung dan pasien tua.
Dosis: Dewasa 3-5mg/kg, pediatrik/neonatus 5-6mg/kg. Rute: Intravena
b. Etomidate
Deskripsi : Obat induksi non barbiturat yang kurang memiliki analgesik yang baik.
Etomidate mempunyai efek minimal terhadap kardiovaskular dan menjaga tekanan darah.
Juga memiliki efek depresi pernapasan yang poten. Etomidate dilaporkan menurunkan
hormon steroid adrenal. Myoklonus(kontraksi otot) mungkin terlihat setelah pemberian
etomidate. Etomidate mempunyai onset cepat dengan durasi aksi pendek.
Indikasi : Induksi, terutama berguna pada pasien hipovolemik dengan penyakit jantung atau
hipertensi.
Peringatan: pasien dengan hipertensi, hipovolemia, atau pasien tua mungkin memerlukan
pengurangan dosis.
Dosis : 0,1-0,4mg/kgbb, rute: intravena
c. Ketamine
Deskripsi : Ketamine adalah turunan phencyclidine yang menghasilkan aksi cepat anestesia
disosiatif, dengan sedasi, amnesia, menghasilkan analgesia dan immobilitas. Mempunyai
efek minimal depresi jantung dan meningkatan denyut nadi dan tekanan darah melalui
22

stimulasi sentral simpatis. Induksi dengan ketamine menyebabkan peningkatan hampir 25%
tekanan darah arteri. Ketamin merupakan bronkodilator dan mempunyai efek minimal
depresi pernapasan. Mempunyai karakteristik meningkatkan sekresi saliva. Ketamine
mempunyai efek analgesik.
Indikasi: obat induksi, analgesia
Kontraindikasi : pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
Perhatian : Hipotensi mungkin tampak pada pasien yang bergantung pada symphatetic
drive-nya, pasien dengan hipertensi dan penyakit jantung, halusinasi dan reaksi emergence
biasa terjadi
Dosis: 1-2mg/kgbb, Rute: intravena
d. Propofol
Deskripsi : Putih seperti susu, emulsi alkohol yang menghasilkan onset cepat dengan tanpa
analgesik. Dimetabolisme dan diredistribusikan secara cepat sehingga memberikan durasi
aksi yang pendek. Propofol merupakan vasodilator poten depresi jantung dengan hipotensi
yang tampak setelah pemberian. Propofol menghasilkan penurunan arteri sistemik hampir 30
% pada orang sehat dan lebih drastis lagi pada hipovolemia. Juga pendepresi pernapasan
yang poten.
Indikasi : agen induksi, sedatif
Kontraindikasi : pasien dengan alergi telur atau susu kedelai.
Perhatian: pasien tua, hipovolemia, hipertensi kurangi dosis jika diperlukan, mungkin
menyebabkan iritasi vaskular jika diberikan pada vena kecil, campuran emulsi memicu
pertumbuhan bakteri dan dianjurkan untuk sekali pemakaian
Dosis : 1-2mg/kgbb. Rute:intravena
2. Obat pelumpuh otot
a. Suksinilkolin
Deskripsi : Merupakan obat pelumpuh otot golongan depolarisasi. Dibentuk oleh kombinasi
dua molekul asetilkolin bersama-sama. Ini melepaskan reseptor asetilkolin dari saraf dan
menyebabkan saraf menjadi depolarisasi yang tampak sebagai fasikulasi otot. Bukan obat
yang kompetitif, sehingga akan menetap sampai di metabolisme oleh enzim kolinesterase
plasma. Merupakan obat yang mempunyai aksi ultrapendek hampir kurang lebih 5 menit.
Mempunyai onset aksi yang pendek dibanding obat pelumpuh manapun. Efek kardiovaskular
minimal, meskipun bradikardi dan aritmia tampak. Fasikulasi dapat menyebabkan
peningkatan sementara konsentrasi kalium serum pada pasien normal. Hanya sebagai agen
pelumpuh, tidak mempunyai efek sedasi atau analgesi.
Indikasi: pelumpuh otot skeletal cepat.
Kontraindikasi: pasien dengan defisiensi enzim pseudokolinesterase, pasien riwayat atau
riwayat hipertermi maligna, trauma mata penetrasi.
Perhatian: digunakan dengan perhatian jika sama sekali, pada setiap pasien dicurigai
mempunyai jalan nafas sulit. Pada pasien dengan hiperkalemia, seperti: cedera tulang
23

belakang, luka bakar,stroke, crush injury masif, penyakit otot degeneratif, pasien yang
terekspos pada temperatur yang ekstrim dan kelumpuhan pada periode waktu lama yang
tidak diketahui, serta pasien penyakit ginjal, hiperkalemia menyebabkan fibrilasi ventrikel
dengan kolaps kardiovaskuler. Waktu puncak onset dari mulai timbul tidak diketahui tetapi
secara primer terlihat setelah 7 hari pasca cedera, dan durasi dari respon tidak diketahui.
Secara umum aman diberikan dalam 24 jam dari cedera. Fasikulasi menyebabkan tekanan
intraokuler meningkat dan merusak bola mata terbuka; mungkin juga meningkatkan tekanan
intrakranial (secara klinis tidak signifikan)
Dosis: 1-2mg/kg . rute : intravena
b. Rocuronium
Deskripsi : mempunyai onset cepat (60 detik). Onset dan durasi tergantung dosis. Secara
umum antara 15-20 menit untuk durasinya. Efek rocuronium dilawan dengan pemberian
antikolinesterase dimana akan meningkatkan sejumlah asetilkolin pada resptor untuk
kompetisi dengan rocuronium. Efek kardiovaskular minimal, mungkin terlihat takikardi.
Rocuronium mempunyai onset yang diharapkan sehingga menjadi obat pilihan untuk obat
RSI ketika suksinilkolin menjadi kontraindikasi.
Indikasi : pelumpuh otot.
Perhatian : digunakan dengan perhatian, jika sama sekali, pada pasien dengan
kemungkinan intubasi sulit.
Dosis: intubasi pada RSI 1mg/kgbb, pemeliharaan 0,1mg/kgbb. Rute: Intravena
3. 3. Sedatif/ Analgesik
a. Midazolam
Deskripsi: Merupakan golongan benzodiazepin, sama seperti diazepam. Penggunaan
midazolam untuk induksi intravena memerlukan dosis tinggi yang mempunyai korespondensi
dengan efek kardiovaskuler yang dramatis. Mempunyai efek pendepresi pernapasan yang
baik. Efek dilawan dengan pemberian antagonis flumazenil. Golongan benzodiazepin
seharusnya tidak digunakan untuk obat induksi intravena RSI.
Indikasi: sedatif
Perhatian : depresi pernapasan mungkin memperburuk tekanan intrakranial. Gunakan
pengurangan dosis pada pasien tua dan hipovolemia.
Dosis: 0,5-1 mg/kgbb, titrasi untuk mencapai efek yang diharapkan.
Rute : intravena
b. Fentanyl
Deskripsi : Merupakan analgesik opioid dengan potensi sangat tinggi. 100 kali lebih poten
dari morphin. Mempunyai onset cepat dan durasi aksi pendek. Pengaruh pada kardiovaskular
relatif stabil dan mendukung tekanan darah. Tidak bersifat mengeluarkan histamin seperti
morphin. Biasa terjadi depresi nafas dan tergantung dosis. Memiliki efek sedasi. Efek
fentanyl dapat dilawan dengan nalokson.
24

Indikasi: analgesik/sedasi, premedikasi sebelum dilakukan intubasi.


Perhatian : Pasien tua, hipovolemia atau pasien dengan obat sedatif lain harus ada
pengurangan dosis.
Dosis : 25-100mcg titrasi untuk memperoleh efek 3-5 mcg/kgbb 3-5 menit sebelum
dilakukan intubasi.
Rute : intravena.
c. Lidokain
Deskripsi: Merupakan anestesi lokal golongan amida. Mekanisme aksi dengan stabilisasi
membran dari jaringan saraf melalui penghambatan jalur natrium yang diperlukan untuk
penjalaran impuls. Juga digunakan sebagai obat antidisritmia terutama untuk aritmia
ventrikel.
Indikasi: anestesi lokal, menumpulkan respon hemodinamik pada intubasi, pengobatan
aritmia ventrikel.
Perhatian : pasien dengan blokade jantung, hipovolemia berat, gagal jantung kongestif.
Dosis : 1-2mg/kgbb 3-5 menit sebelum dilakukan intubasi
Rute : intravena, endotracheal.
3.6. INDUKSI ANESTESI PADA PASIEN ILEUS OBSTRUKSI
Preoksigenasi
Penting sebelum dilakukannya anestesi induksi berurutan secara cepat.
Tindakan ini memiliki tiga tujuan :

Nitrogen dihilangkan, sehingga dapat meningkatkan cadangan

O2 dan

memungkinkan periode apnea yang lebih panjang.


Tangan ahli anestesi tidak perlu memegang masker untuk memberi ventilasi
pada penderita setelah hambatan neuromuskular berhasil dilaksanakan.Sehingga tidak
akan terjadi penundaan sebelum intubasi trakea, dan oksigen tidak perlu dipaksa
masuk kedalam lambung, yang dapat menimbulkan peninggian tekanan intra gastrik

dan resiko regurgitasi.


Pada waktu yang lebih lama, Nitrogen yang terdapat dalam saluran cerna yang
dapat menurun sehingga tekanan abdomen berkurang.
Induksi cepat dengan menggunakan propofol dan rocuronium sering dilakukan pada

pasien dengan Ileus Obstruksi. Titrasi yang hati-hati dengan infus loading mungkin
dibutuhkan untuk meminimalisir efek samping kardiovaskuler.Induksi menghasilkan
penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan resistensi
vaskuler sistemik.
Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi yang vang berisi 10% soya
bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% gliserol. Dosis yang dianjurkan 1-2mg/KgBB
untuk induksi secara intravena. Propofol menurunkan tekanan darah sistemik kira-kira 80%
karena vasodilatasi perifer dan penurunan curah jantung, menurunkan aliran darah ke otak,
tekanan intrakranial serta metabolisme otot. Keunggulan : tidak menimbulkan aritmia

25

maupun iskemi otot jantung, tidak merusak fungsi hati dan ginjal, mempercepat induksi dan
cepat recovery.
Rocuronium (1-1,5 mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang
lebih baik dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal onset kerjanya, yang menghasilkan
kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki durasi aksi yang hampir sama dengan
vecuronium (digunakan secara hati-hati pada pasien dengan jalan napas yang sulit).
3.7 PEMELIHARAAN ANESTESI PADA PASIEN ILEUS OBSTRUKSI
Anestesi dipelihara dengan kombinasi oksigen, agen volatile, relaksan otot non
depolarisasi, dan opioid aksi cepat. Agen inhalasi diantaranya isofluran, sevofluran, dan
desfluran. Semua agen volatile menghasilkan penurunan tekanan darah yang tergantung dosis
karena ia mempengaruhi tonus vaskuler dan atau curah jantung. Agen yang dipilih harus
dititrasi untuk memelihara tekanan aterial rata-rata dan tekanan perfusi serebral. Nitrous
Oxide harus diberikan dengan sangat selektif dan harus dihindari pada kasus-kasus dimana
terjadi pneumothorax, pneumocephali atau

lengkung usus yang terisi udara.

Ketika

diekstubasi pada ruang operasi, pasien harus dalam keadaan bangun dan bernapas secara
spontan, memililki refleks batuk yang
adekuat, dan dapat mengikuti perintah.
3.8. PENGAWASAN TINDAKAN ANESTESI
Pengawasan Tindakan Anestesi yang wajib di awasi dari pasien adalah tanda tanda
vital, ukuran pupil, lakrimasi,kehilangan darah, urin yang keluar, cairan yang masuk, dan
lain-lain. Hal lain yang tak kalah penting adalah perlunya pemasangan alat pulse oximetri,
monitoring end tidal CO2, EKG, CVP dan Temperatur.Mengawasi Fungsi neuromuscular
juga sangat membantu untuk pasien tersebut yang tidak dapat bernafas setelah pemberian
muscle relaxan. Akhir dari pembedahan adalah tantangan tersendiri untuk pihak anastesi,ini
membutuhkkan perencanaan yang matang,misalnya dengan pemberian atropine dan
neostigmin supaya mendapatkan nafas spontan,kemudian suction mulut hingga faring dan
lakukan ekstubasi dengan halus dari pasien.
Reversal Countdown
Check Equipment
Check drugs
Assistant ready
Turn off agents
Give 100% oxygen
Suction
Reverse relaxant
Check Observations
Wait for adequate breathing
Wait until patient wakes up
Extubate
26

Give 100% O 2 by mask


Perawatan Post OP dilakukan hingga pasien bernafas spontan dan pulih kembali.
Recovery Care
Check vital signs/monitors
Check level of consciousness
Continue oxygen
Check wound
Check urine output
Check respiratory rate, sedation, pain score
Check temperature
Give analgesics as required IV
Check fluids and IV sites
3.9. MONITORING PASIEN PASCA BEDAH
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan
dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan
ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di
ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga
kondisi stabil. Pasien yang sudah di recovery harus terus mendapatkan suplai oksigen, harus
terus di monitor airway,breathing dan circulation nya,dan diberikan analgesik yang
dibutuhkan
Masalah utama post Op adalah Rasa Sakit Setelah Operasi, sehingga harus terus
diawasi karena kebanyakan pasien mengalami mual muntah yang hebat, harus dipikirkan
penggantian cairan dan memulai mobilisasi awal dan merujuk fisioterapi untuk mencegah
adanya komplikasi seperti atelektasis, pneumonia dan deep vein thrombosis.

27

BAB 4
LAPORAN KASUS
Pasien laki-laki, umur 70 tahun dengan berat badan 60 kg datang ke IGD RSUP HAM pada tanggal 18
Mei 2011 dengan :
Keluhan Utama
Telaah

: Tidak bisa buang air besar


: Hal ini telah dialami o.s. sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Mual (+), Muntah (-). Perut terasa sakit bila ditekan dan kembung. O.s. juga
tidak bisa buang angin sejak 5 hari yang lalu. O.s. juga telah pernah menjalani
operasi laparatomi sekitar 4 tahun yang lalu karena kebocoran usus di rumah
sakit luar. Sebelumnya O.s. telah dirawat di rumah sakit luar dan dirujuk ke

RPT
RPO

RSUP HAM
: Perforasi usus
: Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam, Inj.Ranitidine 1amp/8 jam.

Pemeriksaan Fisik Pukul 15.30 WIB


B1 : Airway Clear, Snoring (-), Gargling (-), Crawing (-).
RR : 32 x/i, SP : Vesikular, ST (-).
Malampati 1, Gerak leher bebas dan JMH > 6 cm.
B2 : Akral : H/M/K, Tekanan Darah : 140/70 mmHg
HR : 78 x/i, T/V : kuat/cukup, turgor berkurang, bibir kering (+) mata cekung (-), temperature
36,70C, haus (+)
B3 : Sensorium : CM, Pupil isokor kiri = kanan, Refleks Cahaya +/+
B4 : Urin output (+), warna kuning pekat, volume 30cc residu.
B5 : Abdomen : distensi, Hiperperistaltik (+), Darm Countour (+), Nyeri tekan (+), NGT terpasang dari
RS luar, warna : kehijauan. MMT tanggal 17 Mei 2011 pukul 05.00 WIB.
B6 : Oedema (-), Fraktur (-).
Penanganan di IGD
a) Pasien NPO
b) Pasang Oksigen dengan nasal canule 2L/i
c) Pasang Abocath ukuran 18 G pastikan IV line lancer
d) Pasang NGT
e) Rehidrasi
Pasien mengalami dehidrasi sedang oleh sebab itu perlu dilakukan rehidrasi dengan cara rehidrasi
lambat.
Dehidrasi sedang kehilangan cairan 8% dari berat badan
Defisit cairan : 8% X 60.000 = 4800 cc
Sebelumnya O.S. telah menerima 2 flash RL 1000 cc
Jadi defisit cairan o.s. sekarang adalah 3800 cc
Rehidrasi lambat
8 jam pertama : defisit cairan + Maintanance
: 1900 cc + 960 cc
: 2860 cc/8jam 358 cc/jam 120 gtt/i (16.00 s/d 00.00 WIB)
16 jam kedua : defisit cairan + Maintanance
: 1900 cc + 1920 cc
28

: 3820 cc/16 jam 240 cc/jam 80 gtt/i (00.00 s/d 16.00 WIB)
f) Pemeriksaan darah laboratorium
g) Foto thoraks dan foto polos abdomen
h) EKG
Hasil Pemeriksaan Laboratorioum 18 Mei 2011
Hb
: 11,20 gr/dl
Ht
: 34 %
Leukosit
: 5030/mm3
Trombosit
: 176000/ mm3
PT/aPTT/TT/INR
: 22,8/24,5/18,4/1,8
SGOT/SGPT
: 28/16
Ureum / Kreatinin
: 75,6/0,96
Na/K/Cl
: 137/3,8/106
KGD ad random
: 98,5
Analisa Gas Darah
FiO2
pCO2
pO2
Bikarbonat (HCO3)
Total CO2
Kelebihan basa (BE)
Saturasi 02

: 28 %
: 33,6 mmHg
: 133,9 mmHg
: 22,5 mmol/L
: 23,5 mmol/L
: -1,1
: 99%

EKG 18 Mei 2011

29

Kesan EKG : Sinus Rithme, Axis LAD

Foto Thorax PA dan Foto Polos Abdomen 18 Mei 2011

30

Kesan :

31

Foto Thorax PA

: Kedua sinus costofrenicus lancip, tidak tampak infiltrate di kedua lapangan


paru, trakea medial, CTR <50%, tulang dan soft tissue baik. Kesan Thorax

Foto Polos Abdomen

foto normal
: Colon tidak terisi udara, Terlihat dilatasi usus halus disertai air fluid level.
Tidak tampak udara bebas. Kesan suatu ileus obstruktif.

Foto Thorax Post Pemasangan CVC

CVC terpasang dengan CVP 15cmH20


Pemeriksaan Fisik Pukul 21.00 WIB
B1 : Airway Clear, Snoring (-), Gargling (-), Crawing (-).
RR : 32 x/i, SP : Vesikular, ST (-).
Malampati 1, Gerak leher bebas dan JMH > 6 cm.
Riwayat alergi/asma/sesak : - / B2 : Akral : H/M/K, Tekanan Darah : 130/70 mmHg
HR : 78 x/i, T/V : kuat/cukup, turgor baik, mata cekung (-), temperature 36,7 0C, haus (+), CVC
17cmH2O
B3 : Sensorium : CM, Pupil isokor kiri = kanan, Refleks Cahaya +/+
B4 : Urin output (+), warna kuning pekat, volume 30cc residu.
B5 : Abdomen : distensi, Hiperperistaltik (+), Darm Countour (+), Nyeri tekan (+), NGT terpasang dari
RS luar, warna : kehijauan. MMT tanggal 17 Mei 2011 pukul 05.00 WIB.
B6 : Oedema (-), Fraktur (-).
Diagnosa
Tindakan
PS ASA
Anastesi
Posisi

: Ileus Obstruksi
: Laparatomy Emergency
: 2E
: GA ETT
: Supine

Problem List

Masalah

Pemecahan
32

Pre operasi
Pasien emergensi dianggap
lambung penuh
Pasien dengan dehidrasi sedang
Pasien dengan kondisi abdomen
distensi
Pasien dengan peningkatan fungsi
ginjal dan usia tua

NPO sejak direncanakan operasi.


Rehidrasi dengan kristaloid
Pasang NGT untuk dekompresi ,suction
aktif.
Monitoring balans cairan, perhatikan
kecukupan intravaskular, monitoring
urin output perjam pasang cvc

Masalah

Pemecahan

Durante operasi
Pasien dengan tindakan laparatomy
penguapan besar
Pasien dengan usia tua dg EKG
abnormal
Pasien dilakukan tindakan GA dengan
explorasi laparatomi kemungkinan
perdarahan banyak
Pasien dengan obstruksi usus

Monitoring balans cairan,pakai blanket


penghangat,hangatkan cairan infuse
Prinsip cegah 4H + 1P

Monitoring
hemodinamik
durante
operasi, siapkan koloid dan darah

Hindari penggunaan N2O dapat


berdifusi ke rongga-rongga usus dan
peritoneum
Dosis obat disesuaikan
Pilhan obat : disesuaikan

Pasien dengan usia tua


Pasien dengan gangguan fungsi ginjal

Masalah
Post Operasi
Incisi tinggi nyeri post op

Pemecahan

takut batuk retensi sputum


infeksi
Potensial terjadi infeksi post operasi
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal

Tehnik Anastesi
1. Suction aktif
2. Premedikasi Petidin 50 mg, Midazolam 2,5 mg
3. Oksigenasi O2 8 lpm
4. Induksi propofol 100 mg sellick manuever
5. Inj. Rocuronium 50 mg
6. Intubasi ETT no 7,5 Cuff (+), SP ka=ki, fixasi
7. Maintenance Air:O2 = 2l:2l, Isoflurane o,5 - 1 %
33

Pemberian analgetik kuat pilihan


opioid
Fisioterapi nafas
Pemberian AB adekuat
Cek ulang nilai RFT post operasi

8. Maintenance dengan Atracurium 10 mg/30 menit


9. Forced diuresis lasix 2 ampul (40mg) (0,5-1cc/kgbb)
Durante Operasi
a. Lama operasi : 3 jam
b. TD : 104-149/68-98 mmHg
c. HR : 80-102 x/i
d. SpO2: 98 100 %
e. Durante op RL 2000 cc
f. PRC 175 cc
g. Perdarahan + 200 cc
h. Maintenance + penguapan : 1800 cc
i. UOP : 1000cc/ 3jam

Pada pembedahan dilakukan Eksplorasi dari Treitz


ligamen ke distal tampak band adhesive yang berasal dari
omentum ke ileum 44 cm dari ileosecal junction.
Kemudian jeratan band dibebaskan(adhesiolisis).

Pemeriksaan Fisik Post Operasi


B1 : Airway Clear, Snoring (-), Gargling (-), Crawing (-).
RR : 22 x/i, SP : Vesikular, ST (-). SpO2 = 97-99%
B2 : Akral : H/M/K, Tekanan Darah : 140/84 mmHg
HR : 88 x/i, T/V : kuat/cukup, temperature 36,70C, CVC 15 cmH2O
B3 : Sensorium : CM, Pupil isokor kiri = kanan, Refleks Cahaya +/+
B4 : Urin output (+), warna kuning jernih, volume 100cc/jam.
B5 : Abdomen : soepel, peristaltic (-), NGT terpasang warna : kuning. Luka operasi tertutup verban.
B6 : Oedema (-), Fraktur (-).
Terapi Post Operasi

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Bed rest head up 30 derajat


O2 nasal kanul 2l/i
Diet Puasa ; jika peristaltik (+) Diet SV
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Pethidine 200 mg dlm 50 cc NaCl 0,9 % 4 cc/jam via infus pump.
Inj. Tramadol 100 mg/8 jam/ iv
Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam
Cek darah rutin, RFT, elektrolit

Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 19 Mei 2011


Hb
: 12,30 gr/dl
Ht
: 35,9 %
Leukosit
: 1680/mm3
Trombosit
: 232.000/mm3
Ur/ Cr
: 65 /0,91
34

Na/ K/ Cl
KGD ad Random

: 134/4,1/104
: 143 mg/dl

Analisa Gas Darah


pH
pCO2
pO2
Bikarbonat (HCO3)
Total C02
Kelebihan basa (BE)

: 7,346
: 39,1 mmHg
: 108,9 mmHg
: 20,9 mmol/L
:22,1 mmol/L
: -4,4 mmol/L

35

BAB 5
KESIMPULAN
Pada kasus ini seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan berat badan 60 kg ditegakkan
diagnose ileus obstruktif melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung oleh hasil
pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pada pasien ini dilakukan tindakan laparatomi
emergency atas indikasi ileus obstruktif. Sebelum anestesi dilakukan, dilakukan evaluasi dan
persiapan., hasil evaluasi kemudian disimpulkan untuk menentukan prognosis pasien perioperatif
menurut The American Society of Anesthesiologists (ASA). Pada pasien ini kami menilai pasien
dengan ASA 2E yaitu pasien dengan penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang yaitu pasien mengalami dehidrasi sedang. Pada pasien ini dilakukan
anastesi umum dengan metode intubasi menggunakan pipa endotrakeal nomor 7,5. Pada durante
operasi dilakukan Eksplorasi dari Treitz ligamen ke distal tampak band adhesive yang berasal
dari omentum ke ileum 44 cm dari ileosecal junction. Kemudian jeratan band
dibebaskan(adhesiolisis)

36

Anda mungkin juga menyukai