Anda di halaman 1dari 64

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekonomi Lingkungan.
Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23
tahun1997, Lingkungan Hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia

dan

perilakunya,

yang

mempengaruhi

kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.


Menurut Suparmoko dkk, (1997), menjelaskan bahwa ekonomi
lingkungan merupakan ilmu yang mempelajari kegiatan manusia dalam
memanfaatkan lingkungan sedemikian rupa sehingga fungsi atau peranan
lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan dalam
penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang.
Sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu bagian yang
tidak terpisahkan dari ekonomi dan perekonomian. Sebagai tindakan yang
nyata adalah dengan memperhitungkan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup

sebagai

asset

ekonomi,

dimana

semua

penggunaan

dan

pemanfaatannya dimasukkan (diinternalisasi) ke dalam kegiatan ekonomi


(Anonim, 2002).

1. Ciri atau Sifat Lingkungan.


Menurut Suparmoko (2000), menjelaskan ada beberapa ciri
atau sifat yang menonjol dan melekat pada lingkungan adalah :
a. Barang Publik, dengan adanya sifat sebagai barang publik telah
membawa konsekuensi terhadap terbengkalainya sumberdaya
lingkungan, karena tidak akan ada atau sangat langka pihak
swasta atau individu yang mau memelihara atau mengusahakan
kelestariannya. Barang publik mempunyai ciri utama Sebagai
berikut :
1) Tidak akan ada penolakan (exclusion) terhadap pihak atau
orang yang tidak bersedia membayar dalam pengkonsumsian
sumberdaya lingkungan tersebut.
2) Non-rivalry in consumption bagi sumberdaya lingkungan.
artinya

walaupun

lingkungan

itu

telah

dikonsumsi

oleh

seseorang atau sekelompok orang, volume atau jumlah yang


tersedia bagi orang lain tidak akan dikurangi.
b. Pemilikan Bersama atau Milik Umum (Common Property).
Pemilikian bersama dapat diartikan sebagai bukan milik seorang
pun atau juga milik setiap orang (common property is no one
property and is every one properti). Karena sistem pemilikan
seperti itu akan membuat kecenderungan untuk timbulnya
eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan.

c. Eksternalitas. Eksternalitas muncul apabila seseorang melakukan


suatu kegiatan dan menimbulkan dampak pada orang lain dapat
dalam bentuk manfaat eksternal atau biaya eksternal yang
semuanya tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau
melakukan pembayaran. Agar terjadi efisien yang sebenarnya,
maka biaya eksternal itu harus dapat diinternalkan dalam biaya
setiap perusahaan yang melakukan kegiatan yang menimbulkan
dampak.
Sebab utama fungsi atau peranan lingkungan menjadi merosot
adalah karena sifat atau ciri yang melekat pada lingkungan alam itu
sendiri telah menyebabkan manusia mengeksploitasinya secara
berlebihan sehingga menurunkan fungsi lingkungan tersebut.
2. Sistem Ekonomi dan Menurunnya Fungsi Lingkungan.
Pada dasarnya ada dua sistem perekonomian yang ekstrim di
dunia ini yaitu ekonomi kapitalis dan ekonomi sosialis, dalam kedua
sistem ekonomi ekstrim terdapat ketidakmampuan alam mencapai
alokasi faktor produksi secara efesien, artinya tidak memberikan
kesejahteraan sosial yang maksimum. Ketidakmampuan terebut
disebabkan oleh kegagalan mekanisme pasar dan kegagalan dalam
campur tangan pemerintah Suparmoko (2000).

10

Gambar 2.1.

Sistem Ekonomi Sederhana Dengan Lingkungan Alam


Sebagai Komponen Integral (Djajadiningrat, 1997).

Menurut Surna (1997) mengatakan bahwa lingkungan alam


merupakan komponen penting dari sistem ekonomi, dan tanpa
lingkungan alam sistem ekonomi tidak akan berfungsi. Karena itu, kita
perlu

memperlakukan

lingkungan

sama

seperti

kita

perlu

memperlakukan pekerja dan modal yaitu asset dan sebuah sumber.


Keseimbangan

material

(material

balance)

dari

suatu

perekonomian dipandang sebagai suatu keseimbangan umum yang

11

menunjukkan bagaimana perekonomian dan lingkungan berinteraksi


secara

kompleks

sebagai

suatu

sistem

terpadu.

Analisis

keseimbangan umum memusatkan perhatian kepada semua pengaruh


dari setiap perubahan variabel perekonomian. Ekonomi lingkungan
menganalisis pencemaran sebagai eksternalitas, suatu eksternalitas
adalah setiap dampak terhadap tingkat kesejahteraan pihak ketiga
yang timbul karena tindakan seseorang tanpa dipungut kompensasi
atau pembayaran.

Gambar 2.2.

Sistem Keseimbangan Material (Kerry at al.,, 1994,


dalam Suparmoko at al., 2000).

12

3. Lingkungan Sebagai Asimilator.


Menurut Suparmoko (2000), lingkungan sebagai asimilator
karena mampu mengolah limbah secara alami, sehingga tidak terjadi
pencemaran lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan pencemaran
lingkungan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun
1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan komponen lain
kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh
kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan
turun sampai titik tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Kemudian yang dimaksud
dengan limbah adalah segala macam sisa dari adanya suatu kegiatan
yang tidak bermanfaat lagi baik untuk kegiatan produksi lanjut, untuk
konsumsi maupun untuk distribusi, dan sisa tersebut kemudian
dibuang ke badan air, udara ataupun tanah.
Pada saat kegiatan manusia masih terbatas baik karena jumlah
penduduk yang masih relatif kecil ataupun karena teknologi yang
belum begitu berkembang, kegiatan eksploitasi atau pengambilan
sumberdaya alam belum begitu banyak dan limbah yang terbuang ke
dalam alam (lingkungan) juga masih terbatas, maka lingkungan masih
dapat menampung dan mengasimilasi limbah itu sehingga tidak atau

13

belum terjadi pencemaran. Dengan kata lain daya tampung lingkungan


masih memadai.
Namun
peningkatan

dengan
jumlah

berkembangnya
dan

macam

jumlah

kebutuhan

penduduk
manusia

dan
serta

meningkatnya teknologi untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut,


maka volume limbah yang terbuang ke dalam lingkungan meningkat
terus. Di lain pihak kemampuan lingkungan dalam mengasimilasi
limbah terbatas dan tidak pernah meningkat, maka mau tidak mau
sampai suatu batas tertentu pasti kemampuan atau daya tampung
lingkungan akan terlampaui. Kalau daya tampung lingkungan dan
kemampuan

mengasimilasi

limbah

terlampaui

maka

terjadilah

pencemaran. Memang pembuangan limbah dari setiap kegiatan pasti


terjadi, sehingga pencemaran terhadap lingkungan juga cenderung
terjadi bahkan akan meningkat terus bila tidak ada usaha untuk
mengurangi atau menanggulanginya. Dengan adanya baku mutu
lingkungan hidup yang nantinya berkembang menjadi baku mutu
pencemaran air limbah, baku mutu emisi udara, baku mutu air minum
dan sebagainya, diharapkan para pelaksana kegiatan ekonomi akan
dapat menjaga kualitas lingkungan dengan mengusahakan agar
kegiatannya tidak menghasilkan limbah yang dapat mencemari
lingkungan dengan melewati baku mutu yang sudah ditentukan
Suparmoko (2000).

14

4. Kerusakan Lingkungan Marginal dan Biaya Penanggulang


Pencemaran Marginal serta Tingkat Emisi yang Efesien.
a. Kerusakan Lingkungan Marginal.
Menurut Suparmoko (2000), kerusakan adalah semua
dampak negatif yang dialami oleh pengguna lingkungan sebagai
akibat dari menurunnya fungsi lingkungan. Pada umumnya
semakin tinggi volume pencemaran semakin tinggi pula kerusakan
yang ditimbulkannya, hubungan antara pencemaran dan kerusakan
lingkungan akan digunakan apa yang disebut dengan fungsi
kerusakan (damage function), fungsi kerusakan itu menunjukkan
hubungan antara volume limbah dan kerusakan yang disebabkan
oleh limbah tersebut. Fungsi kerusakan dibedakan lagi menjadi
fungsi kerusakan emisi (emission damage function) dan fungsi
kerusakan ambien (ambient damege function). Fungsi kerusakan
emisi menunjukkan hubungan antara volume limbah yang dibuang
dari suatu sumber tertentu dan kerusakan yang ditimbulkannya:
sedangkan fungsi kerusakan ambien menunjukkan hubungan
antara kerusakan itu dengan derajat konsentrasi limbah dalam
lingkungan ambien. Demi kepentingan analisis digunakan fungsi
kerusakan marginal baik itu kerusakan emisi maupun kerusakan
ambien. Beberapa fungsi kerusakan marginal dapat dilihat pada
gambar berikut ini :

15

Gambar 2.3.

Fungsi Kerusakan Marginal (Suparmoko at al.,


2000).

Gambar 2.4.

Kurva Kerusakan Marginal (Suparmoko at al.,


2000).

16

Mengenai penggunaan dari fungsi kerusakan marginal,


analisis dapat berdasarkan pada fungsi emisi ataupun fungsi
ambien, tetapi lebih mudah menggunakan fungsi emisi karena lebih
mudah diukur, tetapi fungsi kerusakan harus dinyatakan dalam
satu periode waktu tertentu. Dalam analisis ini digunakan
anggapan bahwa tidak ada pencemar yang kumulatif sifatnya,
sehingga semua kerusakan dianggap terjadi pada saat emisi itu
terjadi.
b. Biaya Penanggulangan Pencemaran Marginal.
Biaya penanggulangan pencemaran merupakan biaya-biaya
untuk mengurangi volume limbah yang dibuang ke dalam
lingkungan atau untuk memperkecil konsentrasi ambien. Biaya
kegiatan pengolahan limbah dan manajemennya disebut dengan
biaya

penanggulangan

limbah

(abatement

cost).

Biaya

penanggulangan ini akan berbeda dari satu jenis limbah ke jenis


limbah yang lain, ataupun antara jenis teknologi yang satu dengan
teknologi yang lain, meskipun jenis limbahnya sama, yang
dimaksud dengan penanggulangan limbah mencakup semua jenis
kegiatan seperti perubahan teknologi produksi, penggantian
masukan (inputs), pendaurulangan limbah, pengolahan limbah dan
memindah lokasi penampungan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada gambar 2.5. berikut ini :

17

Gambar 2.5.

Biaya Penanggulangan Pencemaran Marginal


(Suparmoko at al., 2000).

c. Tingkat Emisi yang Efesien.


Setelah mengetahui fungsi kerusakan marginal dan fungsi
biaya penanggulangan pencemaran marginal secara terpisah,
untuk menyatukannya kedua fungsi itu sebagai alat analisis untuk
mencapai efesiensi dalam penanggulangan pencemaran karena
limbah, agar tampak hubungan antara biaya penanggulangan
pencemaran dan volume kerusakan yang dihubungkan oleh tinggi
rendahnya tingkat emisi (Suparmoko, 2000). Tingkat emisi yang
efesien dinyatakan sebagai tingkat emisi dimana biaya kerusakan

18

maginal

sama

dengan

biaya

marginal

penanggulangan

pencemaran. Kiranya harus dipahami bahwa masyarakat dengan


tingkat emisi limbah yang rendah memikul beban (pengorbanan)
dalam bentuk biaya penanggulangan pencemaran. sedangkan
masyarakat dengan tingkat emisi yang tinggi juga memikul beban
tetapi dalam bentuk biaya kerusakan akibat pencemaran.

Gambar 2.6.

Tingkat Emisi Yang Efesien (Suparmoko at al.,


2000).

Target dari kebijakan pemerintah adalah tingkat emisi yang


efesien tersebut yaitu biaya kerusakan marginal sama dengan
biaya penanggulangan pencemaran. Tingkat emisi yang efesien itu

19

seringkali merupakan target yang ingin dicapai pemerintah dengan


menterapkan berbagai kebijakan baik kebijakan fiskal sebagai
pendekatan

insentif

ekonomi

atau

dengan

komando

dan

pengawasan yang berupa peraturan dan sanksi-sanksi hukumnya.


Beberapa faktor dapat mempengaruhi tingkat emisi yang efesien
diantaranya

adalah

meningkatkan
menggeser

pertumbuhan

volume

kurva

limbah

biaya

jumlah

dalam

kerusakan

penduduk

masyarakat,
marginal,

yang

sehingga

kurva

biaya

kerusakan marginal bergeser ke kiri dan menyebabkan tingkat


efesiensi menghendaki volume emisi yang lebih rendah tetapi
dengan biaya yang lebih tinggi. Demikian pula kurva biaya marginal
penanggulangan pencemaran juga dapat bergeser ke kiri kalau
ada penemuan baru dalam pengolahan limbah. Akibatnya volume
emisi akan berkurang dan diikuti dengan biaya penanggulangan
dan biaya kerusakan yang lebih rendah pula.

20

B. Penentuan Nilai (Valuation) Lingkungan dan Aplikasi Metode


Penilaian.
1. Penentuan Nilai (Valuation) Lingkungan.
Pemberian nilai (harga) terhadap dampak suatu kegiatan atau
kebijakan terhadap lingkungan, dampak dari suatu kegiatan dapat
bersifat langsung ataupun tidak langsung, dapat juga dampak itu
dinyatakan sebagai dampak primer dan dampak sekunder, Dampak
langsung atau dampak primer merupakan dampak yang timbul
sebagai akibat dari tujuan utama kegiatan kegiatan atau kebijakan,
baik itu berupa biaya ataupun manfaat, tanpa pemberian nilai dalam
rupiah akan sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa kegiatan atau
kebijakan itu layak adanya. Penilaian lingkungan berkaitan dengan
kebijakan ekonomi makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi
demi efisiensi pada tingkat mikro. Pada tingkat mikro nilai manfaat dan
kerusakan yang timbul dari suatu produk proyek dapat dinyatakan
dalam presentase tertentu dari nilai Produk Domestik Bruto, sehingga
dapat digunakan untuk menyatakan layak atau tidak layak proyek
tersebut dari ekonomi makro secara keseluruhan. Sedangkan pada
tingkat makro perhitungan biaya dan manfaat suatu proyek sangat
menentukan layak atau tidaknya suatu proyek bagi pelaksana ekonomi
(pemrakarsa) sebagai investor individual (Suparmoko, 2000). Jadi
dalam menetukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai

21

totalnya, kita dapat menjumlahkan nilai penggunaan langsung, nilai


penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya,
dapat dilhat pada gambar 2.4 berikut ini :

Gambar 2.7.

Diagram Nilai Sumberdaya Alam dan Lingkungan


(Suparmoko at al., 2000).

2. Aplikasi Metode Penilaian Lingkungan.


Menurut Suparmoko (2000), mengatakan bahwa urutan dalam
memberikan penilaian terhadap hasil dari suatu kegiatan atau proyek
yaitu : Mengidentifikasi dampak penting lingkungan, Mengkuantifikasi

22

besarnya dampak tersebut, Perubahan kuantitatif fisik kemudian diberi


harga atau nilai uang dalam rupiah. Dan beberapa pendekatan dalam
menilai lingkungan antara lain adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan Harga Pasar. Langkah-langkah dalam penilaian
dampak

lingkungan

itu,

terlihat

bahwa

sesungguhnya

kita

memberikan nilai ekonomi terhadap dampak perubahan kualitas


lingkungan terhadap barang dan jasa alami maupun barang dan
jasa buatan manusia. Dalam hal ini kualitas lingkungan dapat
dianggap sebagai salah satu faktor produksi dalam pembangunan.
Perubahan kualitas lingkungan akan menyebabkan perubahanperubahan dalam produktivitas maupun dalam biaya produksi,
yang pada gilirannya menyebabkan perubahan dalam harga
maupun tingkat produksi. Suatu kegiatan dapat menimbulkan
perubahan kualitas lingkungan, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi kualitas faktor produksi alami ataupun faktor
produksi buatan manusia.
b. Pendekatan Modal Manusia atau Pendapatan yang Hilang.
Pendekatan

ini

memandang

manusia

sebagai

salah

satu

sumberdaya kapital, pada prinsipnya pendekatan ini mencoba


untuk menilai dampak lingkungan terhadap produktivitas manusia
sebagai hilangnya penghasilan (foregone ernings), timbulnya biaya
pengobatan dan biaya rumah sakit karena rusaknya lingkungan,

23

dan hilangnya nilai manusia karena meninggalnya lebih awal atau


tidak mampu bekerja lagi.
c. Pendekatan Atas Dasar Biaya Kesempatan (oportunity Costs).
Pendekatan atas dasar biaya alternatif ini pada umumnya mencoba
memberikan nilai manfaat dari konservasi sumberdaya alam atau
pelestarian lingkungan, kemudian membandingkan apakah proyek
yang baru akan mampu menciptakan manfaat sebesar nilai
konservasi atau pelestarian lingkungan, masalahnya akan menjadi
sangat kompleks apabila kita sudah memperhitungkan manfaat
lingkungan yang dilestarikan untuk masa yang akan datang, karena
melibatkan prefensi generasi yang akan datang yang belum kita
ketahui saat ini. Pendekatan atas dasar biaya alternatif atau biaya
kesempatan (oportunity Costs) ini merupakan cara yang dapat
digunakan apabila melibatkan nilai manfaat sosial dari berbagai
penggunaan yang sulit untuk diperkirakan secara langsung.
d. Pendekatan Pengganti Pasar (Nilai Barang Pengganti dan Barang
Pelengkap). Dalam pendekatan harga barang pengganti atau
barang pelengkap ini juga digunakan nilai atau harga pasar tetapi
secara tidak langsung, dengan kata lain menggunakan pasar
pengganti (surrogate market), ada beberapa cara pendekatan
dengan pasar pengganti ini diantaranya menggunakan :
1). Barang dan jasa yang dipasarkan sebagai pengganti lingkungan.

24

2). Nilai kekayaan (rumah atau tanah).


3). Nilai lahan.
4). Perbedaan tingkat upah.
5). Biaya perjalanan.
e. Pendekatan Perbedaan Tingkat Upah. Di daerah atau tempat kerja
yang kurang menyenangkan dengan resiko tinggi atau kadar
pencemaran yang tinggi biasanya diberikan tingkat upah yang
tinggi pula dibanding dengan tenaga kerja yang sama kualitasnya
yang berkerja ditempat lain. Apabila perbedaan tingginya tingkat
upah itu dapat diperoleh dengan cara mengurangkan tingkat upah
yang rendah dari tingkat upah yang tinggi, maka perbedaan itu
menunjukkan nilai atau harga dari perbedaan kualitas lingkungan
yang ada, dua aspek lingkungan yang sangat mempengaruhi
tingkat upah terutama dapat dikelompokkan dalam aspek resiko
kesehatan dan kehidupan dan aspek kesenangan lingkungan yang
berupa keindahan, kenikmatan, dan kenyamanan yang diperoleh
dari lingkungan.
f. Pendekatan Biaya perjalanan (Travel Costs). Pada mulanya
pendekatan biaya perjalanan ini digunakan untuk menilai manfaat
yang diterima mayarakat dari penggunaan barang dan jasa
lingkungan.

Pendekatan

ini

juga

mencerminkan

kesediaan

mayarakat untuk membayar barang dan jasa yang diberikan

25

lingkungan dibandingkan dengan jasa lingkungan dimana mereka


berada pada saat tersebut.
g. Pendekatan Atas Dasar Survei. Pendekatan ini mendasarkan diri
pada pendapat pemakai atau pengguna lingkungan mengenai
kesediannya untuk membayar atau memilih jumlah atau kualitas
barang dan jasa tertentu, pendekatan ini juga dapat dipakai untuk
mengumpulkan data mengenai kesediaan orang atau pengguna
lingkungan untuk menerima pembayaran bagi kegiatan yang akan
dilaksanakan dan dapat merusak lingkungan sebagai berikut :
1). Pendekatan dengan leleng.
2). Permainan dengan tukar-menukar (trade-off game).
3). Pendekatan delphi.
h. Rente Ekonomi. Nilai kompensasi yang dibutuhkan oleh seseorang
agar mau menerima kualitas lingkungan yang lebih buruk. atau
untuk menentukan kesediaan membayar agar memburuknya
lingkungan dapat dicegah.
Dalam melakukan perhitungan nilai dapat dilakukan beberapa
cara diantaranya sebagai berikut ini :
a. Metode Garis Lurus (Straight Line Method). Dalam metode ini
penentuan besar penyusutan setiap tahun selama umur ekonomis
sama besar, sehingga jika dibuatkan grafiknya terhadap waktu, dan
akumulasi biaya akan berupa garis lurus.

26

b. Metode Tarif Tetap Atas Nilai Buku. Pada metode ini, penentuan
besar penyusutan dilakukan dengan cara pengalokasian harga
perolehan aktiva tetap dengan persentase tertentu dari nilai buku
untuk setiap periode akuntansi. Ada dua cara yakni dengan metode
saldo menurun dan metode saldo menurun ganda.
c. Metode Jumlah Angka Tahun (Sum of the years Digits method).
Penggunaan metode jumlah angka tahun menetapkan nilai
penyusutan semakin lama semakin kecil berdasarkan pada
perhitungan bahwa aktiva yang digunakan pada proses produksi
semakin lama semakin berkurang dalam menghasilkan produksi.
d. Metode Unit Produksi (Unit of production method). Pada metode ini
penyusutan dihitung atas satuan unit produktif selama masa umur
ekonomisnya, dapat berupa jumlah barang yang diproduksi, jam
pemakaian, kilometer pemakaian dan sebagainya.
e. Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai total baik dari
potensi secara langsung atau tidak langsung serta nilai manfaat
pilihan atau keberadaan. Salah satu teknik untuk menilai adalah
dengan memakai formula yang dikemukakan oleh TURNER dan
ADGER

(1995)

dalam

Anonim

(2002),

yaitu

dengan

menjumlahkan nilai penggunaan aktual (Use Value) dan bukanaktual (Non Use Value). Use Value terdiri dari nilai langsung (Direct
Use-value/ DUV) dan tidak langsung (Inderect Use-value/IUV).

27

Non-use Value meliputi nilai pilihan (Option Value/OV) serta nilai


keberadaan (Existence Value/EV). Total Economic Value (TEV)
dapat dihitung sebagai berikut (Perrings et al., 1996 dalam
Anonim, 2002) :

TEV = DUV + IUV + OV + EV


Dimana :
DUV = Nilai manfaat yang diperoleh secara langsung.
IUV

= Nilai manfaat yang diperoleh secara tidak langsung.

OV

= Nilai manfaat yang diperoleh dari nilai pilihan.

EV

= Nilai keberadaan.

C. CO2, Emisi CO2 dan Dampak Terhadap Kesehatan serta Bahan Bakar
Kendaraan bermotor di Kota Samarinda.
1. CO2 dan Emisi CO2 Kendaraan Bermotor.
Karbon dioksida pertama kali diidentifikasi pada tahun 1750
oleh Joseph Black, seorang dokter dan ahli kimia Skotlandia. Pada
suhu kamar (20-25oC), karbon dioksida merupakan tanpa bau, warna
gas yang sedikit acidic dan tidak mudah terbakar. Karbon dioksida
adalah molekul dengan rumus molekul CO2. Linear molekul terdiri dari
atom karbon yang sangat penting untuk disimpan dalam gudang dua
atom oksigen, O = C = O. Walaupun CO2 terutama terdiri dalam
bentuk gas, yang juga memiliki solid dan bentuk cair, dapat terbentuk

28
secara kuat ketika berada di bawah suhu -78oC. CO2 dapat berbentuk
cair terutama ketika ada CO2 yang larut dalam air.

CO2 hanya

terdapat pada air yang mengalir dengan tekanan yang dikelola.


Setelah tekanan turun maka gas CO2 akan mencoba untuk
melepaskan diri dari air ke udara, dengan, dengan ditandai adanya
pembentukan gelembung CO2 yang masuk ke air (Miller, 2008).
Berikut ini merupakan sifat fisika dan kimia CO2 yaitu:
Tabel 2.1. Sifat Fisika dan Kimia Karbon Diokasida.
Keterangan
Molecular weight
Specific gravity
Critical density
Concentration in air
Stability
Liquid
Solid
Henry constant for solubility
Water solubility

Nilai
44,01
1,53 pada 21oC
468 kg/m 3
370,3 * 10 7 ppm
Tinggi
Tekanan < 415,8 KPA
Suhu < -78oC
298,15 mol/kg * bar
0,9 vol/vol di 20oC

Sumber : Miller (2008) (www.lennetch.com)

CO2 dapat ditemukan terutama di udara, tetapi juga di dalam air


yang merupakan sebagai bagian dari siklus karbon. Dalam kondisi
alami atau natural dapat terlihat bahwa karbon dioksida dapat
teroksidasi secara sempurna dalam siklus karbon (Miller, 2008).
Karbon dioksida merupakan salah satu gas yang paling banyak di
atmosfer diantara gas-gas lainnya. Karbon dioksida berperan sangat
penting dalam proses pertumbuhan tanaman dan binatang, seperti
fotosintesis dan respirasi, berikut ini merupakan proses pengontrolan

29

keseimbangan karbon dioksida pada ekosistem daratan adalah


sebagai berikut :

Gambar 2.8.

Proses Pengontrolan Keseimbangan Karbon Dioksida


Pada Ekosistem Daratan (Barnes et al., 1998 dalam
Josua, 2003).

Proses fotosintesis dalam tanaman dengan mengkonversi


karbon dioksida dan air ke dalam gabungan makanan, seperti gula,
dan oksigen. Reaksi dari fotosintesis adalah sebagai berikut : 6CO2 +
6H2O C6H12O6 + 6O2. Tumbuhan dan hewan, pada gilirannya,

30

mengkonversikan

gabungan

dengan

menggabungkan

makanan

dengan oksigen untuk melepaskan energi untuk pertumbuhan dan


aktivitas kehidupan lainnya yang disebut proses respirasi, kebalikan
dari fotosintesis. Dengan reaksi dari proses respirasi adalah sebagai
berikut: C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O. Fotosintesis dan respirasi
memainkan peran yang sangat penting dalam siklus karbon dan
menjaga keseimbangan antara satu dengan lainnya. Pada negara
dengan dua musim dan empat musim dimana terjadi proses
fotosintesis yang mendominasi pada musim hangat selama bagian
dari tahun dan respirasi mendominasi selama musim dingin yang
merupakan bagian dari tahun, namun kedua proses yaitu fotosintesis
dan respirasi terjadi seluruhnya dalam setahun tahun secara
keseluruhan, kemudian karbon dioksida di atmosfer mengalami
penurun selama musim pertumbuhan dan meningkat selama sisa
musim

dalam

setahun,

karena

musim

di

utara

dan

selatan

hemispheres yang berlawanan, maka karbon dioksida di atmosfer


terjadi peningkatan di utara sedangkan penurunan di sebelah selatan,
demikian sebaliknya. Siklus karbon lebih jelas terasa di belahan bumi
bagian utara, karena itu relatif lebih banyak massa tanah dan wilayah
vegetasi daripada belahan bumi bagian selatan yang didominasi oleh
lautan. Sedangkan pada daerah katulistiwa proses fotosintesis dan

31

respirasi terjadi setiap saat karena tidak adanya perbedaan musim


yang jelas (Miller, 2008).
Pada alkalinity juga dipengaruhi oleh karbon dioksida sehingga
karbon dioksida dapat mengubah pH air dengan cara kerjanya yaitu
sedikit karbon dioksida larut dalam air kemudian membentuk asam
lemah disebut asam karbonat, H2CO3, dimana dengan reaksi kimianya
sebagai berikut: CO2 + H2O H2CO3, setelah itu, asam arang
bereaksi reversibly sedikit dan dalam air untuk membentuk sebuah
hydronium cation, H3O+, dan ion bikarbonat, HCO3 -, dengan reaksi
yang terjadi sebagai berikut ini: H2CO3 + H2O HCO3- + H3O+ , Hal ini
lebih menjelaskan mengapa perilaku kimia air, yang biasanya memiliki
pH netral dari 7 memiliki acidic pH sekitar 5,5 bila sudah terkena udara
(Miller, 2008). Akibat aktivitas manusia, volume CO2 yang dilepaskan
ke atmosfir telah meningkat secara drastis selama 150 tahun terakhir.
Akibatnya, CO2 melampaui jumlah yang terasing di biomassa, lautan,
dan lainnya. Telah terjadi peningkatan dalam konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer dari sekitar 280 ppm pada tahun 1850 ke 364
ppm pada tahun 1998, terutama akibat aktivitas manusia selama dan
setelah revolusi industri, yang dimulai pada tahun 1850. Manusia telah
meningkatkan jumlah karbon dioksida di udara oleh pembakaran dari
bahan bakar fosil, dengan memproduksi semen dan melaksanakan
pembukaan lahan dan pembakaran hutan. Sekitar 22% dari yang

32

sekarang konsentrasi CO2 di atmosphir meningkat karena adanya


kegiatan manusia, sedangkan karbon dioksida dari alam tidak berubah
jumlahnya. Kegiatan pembakaran bahan bakar fosil untuk energi
menjadi menyebabkan sumber utama emisi karbon dioksida dengan
peningkatan sekitar 70-75% dan sisa emisi sekitar 20-25% disebabkan
oleh pembukaan lahan dan pembakaran dan emisi dari kendaraan
bermotor exhausts. Kebanyakan emisi karbon dioksida berasal dari
proses industri di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat dan
Eropa. Namun, emisi karbon dioksida dari negara-negara berkembang
akan meningkat, dengan peningkatanya terlihat sebagai berikut :

Gambar 2.9.

Meningkatnya Konsentrasi Karbon Dioksida di Udara


Dalam Dekade Terakhir (Miller, 2008).

Sumber pencemaran yang berasal dari transportasi merupakan


penghasil terbesar dengan rata-rata emisi setiap tahun adalah 54,5%

33

dengan suatu pola penyebaran spasial yang meluas yang keluar dari
knalpot atau saluran pembuangan kendaraan bermotor dengan rincian
sumber pencemar karbon dioksida sebagai berikut :
Tabel 2.2. Sumber Pencemar Karbon Dioksida.
No.
1
2
3
4
5
6

Sumber Pencemaran
Pembakaran BBM stasioner
Industri
Transportasi
Pembakaran limbah pertanian
Pembuangan sampah
Lain-lain
Total

Sumber

Emisi Tahunan (%)


16,9
15,3
54,5
7,3
4,2
1,8
100

: Emisi Kementerian Lingkungan Hidup (www.Asdep.go.id). Tahun 2008. (25


Maret 2009).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan


Lingkungan Hidup (KEPMEN KLH) No. Kep..02/Men-KLH/1988, yang
dimaksud

dengan

pencemaran

udara

adalah

masuk

atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke


udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau
proses alam sehingga kualitas udara turun hingga ke tingkat tertentu
yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukkannya. Karbon dioksida merupakan
komponen yang diperlukan untuk fotosintesis dan jika beban di
atmosfir sangat banyak maka akan berubah menjadi polutan yang
sangat

berbahaya

bagi

manusia.

Emisi

standar

merupakan

persyaratan yang ditetapkan batas-batas tertentu untuk jumlah polusi

34

yang dapat dilepaskan ke lingkungan. Banyak emisi difokuskan pada


standar emisi peraturan polusi dirilis oleh produsen pembuat
kendaraan bermotor (motor & mobil) dan lainnya, serta kekuatan
kendaraan tetapi juga dapat mengatur emisi dari industri, listrik,
peralatan kecil dan diesel generator. Sering kebijakan alternatif untuk
emisi standar merupakan teknologi standar (yang mandat penggunaan
teknologi tertentu) dan perdagangan emisi. Saat ini tidak ada standar
untuk emisi CO2, sehingga emisi sebuah standar kinerja adalah batas
yang menentukan di atas thresholds yang berbeda jenis teknologi
kontrol emisi mungkin diperlukan.
Menurut D.Elst et.al (2004) mengatakan bahwa standar karbon
dioksida berubah menjadi target pengurangan karbon dioksida untuk
kendaraan bermotor dimana setiap jangka waktu (tahun) memiliki
target yang berbeda ini dilakukan agar karbon dioksida yang berasal
dari kendaraan bermotor beserta penggunaan bahan bakar mencapai
karbon dioksida terendah yang dapat diasimilasi oleh lingkungan
secara alami, pada tahun 2020 (uni eropa) untuk menjaga ketaat akan
peraturan

mengenai

standar

karbon

diokasida

maka

perlu

diberlakukan sanksi-sanksi pada tingkat yang cukup tinggi untuk


memastikan kepatuhan penuh. Sandar atau target diberlakukan uni
eropa terhadap CO2 sebagai berikut :

35

Tabel 2.3. Rata-rata CO2 Untuk


Vehicels Engine).
Rata-rata CO2 (g/km)
ACEA*
JAMA*
KAMA*
Sumber
(*) Ket.

Kendaraan

2002
Gasoline
Solar
225
192
259
203
261
236

Bermotor

(weight

2006

2007

160
161
164

157
159
161

: (D. Elst at.al, 2004).


: ACEA = Association des Constructeurs Europens d Automobiles (European
Automobile manufacturers Organisation).
JAMA = Japanese Automobile Manufacturer Organisation.
KAMA = Korean Automobile Manufacturer Organisation.

Pencemaran mempunyai kepentingan ekonomi, informasi yang


tepat menangani tingkat gas fitotoksik dalam atmosfir yang tercemar
masih kurang (Fitter dan Hay, 1994 dalam Wardhana, 1995). Pada
suatu tempat tertentu, konsentrasi akan tergantung atas sejumlah
besar faktor-faktor lingkungan termasuk jarak dari sumber pencemar,
topografi, altitude (ketinggian dari permukaan laut), pencemar udara,
hujan, radiasi matahari, serta arah dan kecepatan angin. Menurut
Anonim (2007), mengatakan bahwa pengukuran langsung kualitas
dan aliran emisi dari suatu kegiatan tidak praktis ataupun tidak
mungkin untuk dilakukan terhadap setiap sumber pencemar. Apalagi
pengukuran langsung terhadap kendaraan bermotor yang jumlahnya
mencapai jutaan. Oleh karena itu dirumuskan suatu pendekatan untuk
memperkirakan besarnya beban pencemar dengan menggunakan
persamaan dasar berikut :
(1) Beban pencemar = f {Intensitas kegiatan, Faktor emisi}

36

Kemudian

berdasarkan

bagaimana

data

intensitas

kegiatan

direpresentasikan, maka beban pencemar dari kendaraan bermotor


dapat diperkirakan dengan dua pendekatan berikut :
Metode A: Pendekatan konsumsi bahan bakar dalam NKLD
n

(2) Et = Volt FEt , j 10 6


t =1

Dimana:
Ei

= Beban pencemar untuk polutan i (ton/tahun).

Voll

= Konsumsi bahan bakar tipe l (liter/tahun).

FEi,l = Besarnya polutan i yang diemisikan dari setiap (liter)


pengunaan bahan bakar tipe l (g/liter bahan bakar).
Tabel 2.4. Faktor Besarnya Polutan Emisi Berdasarkan Bahan Bakar.
Bahan Bakar
Bensin (kg/ton)
Solar (kg/ton)
Sumber

CO
337
43,5

NOX
10,3
11

HC
14,5
26

TSP
2
2,4

SO2
0,54
19

CO2
3.150
3.150

: Emisi Kementerian Lingkungan Hidup (www.Asdep.go.id). Tahun 2008. (25


Maret 2009).

Sedangkan

faktor

emisi

yang

ditetapkan

oleh

Energy

Information Administration (EIA) tahun 2001 untuk emisi premium


adalah 2,3 gram CO2/liter dan solar adalah 2,7 gram CO2/liter,
sedangkan minyak tanah adalah 2,52 gram CO2/liter.
Metode B: Pendekatan panjang perjalanan kendaraan bermotor
n

(3) Ei = VKT j FEi , j 10 6


j =1

37

Dimana:
Ei

= Beban pencemar untuk polutan i (ton/tahun).

VKTj = Total panjang perjalanan kendaraan bermotor kategori j (km


kendaraan/tahun).
FEi,j = Besarnya polutan i yang diemisikan untuk setiap (kilometer)
perjalanan yang dilakukan kendaraan bermotor kategori j
(g/km kendaraan).
Polutan yang akan dihitung (i) adalah CO, NO2, HC, PM10,
SO2, CO2. Kategori kendaraan bermotor (j) terdiri dari : mobil
penumpang pribadi, taksi, pick-up, mobil penumpang umum, sepeda
motor serta kendaraan roda tiga. Masing-masing polutan serta
kategori kendaraan dihitung berdasarkan jenis bahan bakar yaitu
bensin, solar dan BBG). Data yang diperlukan adalah konsumsi bahan
bakar, panjang jalan umum berdasarkan fungsi dan status, volume
lalu-lintas, jumlah penduduk, dan populasi kendaraan bermotor.
Untuk mengetahui emisi CO2 setiap satu kendaraan bermotor
per satu hari berdasarkan pengkonsumsian bahan bakar dalam
melakukan

aktivitas

minimum

dapat

dilakukan

dengan

cara

mengetahui ppmnya. Part per million (PPM) atau bagian per sejuta
bagian

merupakan

menunjukkan

satuan

kandungan

konsentrasi

senyawa

yang

dalam

digunakan

suatu

larutan,

untuk
atau

konsentrasinya yang merupakan perbandingan antara beberapa

38

bagian senyawa dalam satu juta bagian suatu sistem, sama halnya
dengan prosentase yang menunjukkan bagian perseratus, jadi rumus
ppm adalah sebagai berikut :
ppm =

jumlah bagian spesies ( senyawa )


satu juta bagian sistem dim ana spesies ( senyawa ) itu berada

ppm adalah satuan konsentrasi yang dinyatakan dalam satuan mg/kg


karena 1 kg = 1.000.000 mg, namun untuk satuan yang sering
dipergunakan dalam larutan adalah mg/l.
Setiap kendaraan dalam melakukan pembakaran bahan bakar
memerlukan oksigen. Menurut Duryatmo (2008), mengatakan bahwa
berdasarkan data Departemen Perhubungan pada 2007 di Indonesia
terdapat 63,8 juta kendaraan bermotor. Kebutuhan oksigen kendaraan
bermotor 0,03 kg per jam. Artinya total kebutuhan oksigen untuk
kendaraan bermotor 1,9 juta kg per jam. Kendaraan bermotor mungkin
tak hidup selama 24 jam. Ketika mesin tak diaktifkan, kendaraan tak
membutuhkan oksigen. Namun, manusia memerlukan oksigen selama
24 jam penuh.
Tabel 2.5. Kebutuhan Oksigen Kendaraan Bermotor.
Jenis Bahan
Bakar

Bensin
Diesel
Sumber

Rata-rata Pemakaian Bahan Bakar


(Kg/PS jam)

Kebutuhan Oksigen Tiap 1 Kg


Bahan Bakar

0,21
0,16

2,77
2,86

: Dinas Pekerjaan Umum (www.penataanruang.net) Tahun 2008 (anonim 2006a).

39

Tabel 2.6. Kebutuhan Oksigen Menurut Klasifikasi Jenis Kendaraan


Bermotor.
Daya
Kebutuhan
Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan
Minimal Bahan Bakar Oksigen Tiap Oksigen
Oksigen
(PS)
(kg/PS)
1 Liter BB
(kg/hari) (gram/hari)

Klasifikasi
Sepeda Motor
Kendaraan penumpang

Kendaraan Truk
Kendaraan Bus

Sumber

1
2
50
100
Jumlah
Rata-rata

0,21
0,21
0,21
0,16

2,77
2,77
2,77
2,86

0,5817
11,634
29,085
45,76
87,0607
21,7652

581,7
11.634
29.085
45.760
87.061
21.765,18

: Dinas Pekerjaan Umum (www.penataanruang.net) Tahun 2008 (anonim 2006a).

2. Dampak Karbon Dioksida Terhadap Kesehatan.


Permasalahan lingkungan yang kerap kali mengancam kotakota besar di Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama
yang bersumber dari emisi kendaraan bermotor dengan pola
penyebaran spasial yang meluas dari emisi CO2 yang keluar dari
knalpot

atau

saluran

pembuangan

kendaraan

bermotor

kota

Samarinda. Dampak negatif dari pencemaran udara terhadap


kesehatan manusia sangatlah signifikan, terutama bagi mereka yang
tinggal di daerah urban di mana mobilitas dan kepadatan kendaraan
bermotor di jalan sangat tinggi. Gangguan yang disebabkan oleh
pencemaran udara bagi manusia antara lain gangguan pada sistem
pernafasan,

peredaran

darah,

iritasi

mata

bahkan

berpotensi

mengakibatkan kanker.
Menurut Tjandra, (1995) dalam Anonim, (2006b), mengatakan
juga bahwa ada tiga cara masuknya polutan dari udara ke dalam

40

tubuh manusia, yaitu inhalasi, ingesti dan penetrasi kulit. Inhalasi


bahan polutan dari udara ke paru dapat menyebabkan gangguan di
paru dan saluran napas, dan selain itu bahan polutan dapat kemudian
masuk dalam peredaran darah dan menimbulkan akibat di alat tubuh.
Bahan polutuan tersebut, juga tidak jarang masuk ke saluran cerna.
Reflek batuk akan mengeluarkan bahan polutan dari paru yang
kemudian ditelan dan akan masuk ke saluran cerna. Bahan polutan
dari udara masuk ketika makan atau minum.
Seperti halnya di paru maka bahan polutan yang masuk ke
saluran cerna dapat menimbulkan efek lokal dan dapat disebarkan ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Permukaan kulit dapat
menjadi pintu masuk bahan polutan dari udara. Sebagian besar
polutan hanya menimbulkan akibat buruk pada bagian permukaan kulit
seperti dermititis dan alergi saja, tetapi sebagian lain-khususnya
polutan organik dapat melakukan penetrasi kulit dan menimbulkan
efek sistemik. CO2 terpapar di udara dapat menghasilkan berbagai
efek

kesehatan.

Ini

mungkin

termasuk

sakit

kepala,

pusing,

kegelisahan, yang geli atau pin atau jarum rasa, kesulitan bernapas,
berkeringat, tiredness, peningkatan denyut jantung, meninggikan
tekanan darah, koma, asphyxia ke sawan dan bahkan radang dingin
jika terkena es kering (Anonim, 2008)

41

Tabel 2.7. Tingkat CO2 Di Udara dan Potensi Masalah-masalah


Kesehatan.
The levels of
CO2 in the air
250 350
350 1.000
1.000 2.000
2000 5000
> 5000
Sumber

Potential Health Problems


Background (normal) outdoor air level
Typical level found in occupied spaces with good air exchange
Level associated with complaints of drowsiness and poor air
Level associated with headaches, sleepiness, and stagnant,
stale, stuffy air. Poor concentration, loss of attention, increased
heart rate and slight nausea may also be present
Exposure may lead to serious oxygen deprivation resulting in
permanent brain damage, coma and even death

: Anonim (2008).

WHO Inter Regional Symposium on Criteria for Air Quality and


Method of Measurement menentapkan beberapa tingkat konsentrasi
polusi udara terhadap kesehatan maupun lingkungan yaitu :
Tingkat I

: Konsetrasi dan waktu expose yang tidak ditemui akibat


apa-apa, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tingkat II

: Konsentrasi yang mungkin dapat ditemui iritasi pada


pencaindera, akibat berbahaya pada tumbuh-tumbuhan,
pembatasan penglihatan atau akibat-akibat lain yang
merugikan pada lingkungan (adverse level).

Tingkat III : Konsentrasi yang mungkin menimbulkan hambatan pada


fungsi-fungsi faal yang fital serta perubahan yang
mungkin dapat menimbulkan penyakit menahun atau
pemendekan umur (serious level).

42

Tingkat IV : Konsentrasi yang mungkin menimbulkan penyakit akut


atau kematian pada golongan populasi yang peka
(emergency level).
Pada konsentrasi 3% berdasarkan volume di udara, bersifat
narkotik ringan dan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
denyut nadi, dan menyebabkan penurunan daya dengar. Pada
konsentrasi sekitar 5% berdasarkan volume menyebabkan stimulasi
pusat

pernafasan,

pusing-pusing,

kebingungan,

dan

kesulitan

pernafasan yang diikuti sakit kepala dan sesak nafas. Pada


konsentrasi 8% menyebabkan sakit kepala, keringatan, penglihatan
buram, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah paparan selama
lima sampai sepuluh menit. Oleh karena bahaya kesehatan yang
diasosiasikan dengan paparan karbon dioksida maka bahwa paparan
rata-rata untuk orang dewasa yang sehat selama waktu kerja 8 jam
sehari tidak boleh melebihi 5.000 ppm (0,5%). Batas aman maksimum
untuk balita, anak-anak, orang tua, dan individu dengan masalah
kesehatan kardiopulmonari (jatung dan paru-paru) secara signifikan
lebih kecil. Untuk paparan dalam jangka waktu pendek (di bawah 10
menit) adalah 30.000 ppm (3%). Konsentrasi karbon dioksida yang
melebihi 4% dan langsung maka berbahaya bagi keselamatan jiwa
dan kesehatan (Yasa, 2009).

43

Karbon dioksida merupakan gas penting pada suatu proses


pernapasan di dalam tubuh. Pernapasan internal adalah suatu proses,
dimana oksigen diangkut menuju keseluruh jaringan badan dan karbon
dioksida membantu pengangkutan oksigen. Secara umum manusia
yang terkena dampak pencemaran emisi kendaraan bermotor
terutama emisi karbon diokasida (CO2) jika kandungan atau
banyaknya unsur kimia karbon diokasida yang terhisap melalui hidung
dan mulut terus kesaluran pernapasan tenggorokan dan menuju paruparu melebihi kemampuan tubuh manusia menetralisirnya dimana
seharusnya bermanfaat bagi tubuh manusia dikarenakan berkelebihan
karbon diokasida (CO2) maka menyebabkan iritasi dan infeksi saluran
pernapasan atau iritasi dan infeksi pada saluran tenggorokan yang
sering disebut sindruma nyeri tenggorokan atau pernapasan nyeri
tenggorokan (Moerad, 2008), jika terus masuk kedalam darah melalui
paru-paru maka akan menyebakan kematian.
Karbon diokasida menjaga pH dalam darah agar konstant, yang
mana peran terpenting untuk pertahanan. Pada sistem penyangga di
mana karbon diokasida berperan sangat penting dalam jaringan yang
disebut

penyangga

karbonat.

terdiri

dari

ion

bikarbonat

dan

menghancurkan karbon diokasida, dengan asam karbon. Asam karbon


dapat menetralkan ion hidroksida, yang akan mengikat pH dalam
darah ketika terjadi peningkatan. Bikarbonat ion dapat menetralkan ion

44

hidrogen, yang akan menyebabkan suatu penurunan pH darah ketika


terjadi penambahan. Dengan adanya peningkatan dan menurunkan
pH dalam darah maka hidup seseorang akan terancam. Terlepas dari
menjadi penyangga atau bantalan penting di dalam sistem manusia,
karbon diokasida adalah juga dikenal untuk menyebabkan kesehatan
mempengaruhi ketika konsentrasi melebihi suatu batas tertentu.
Bahaya kesehatan CO2 yang utama adalah (Miller, 2008) :
a. Asphyxiation : disebabkan oleh pelepasan karbon dioksida di
dalam suatu area yang tidak terdapat gas oksigen dan tertutup. Ini
dapat menurunkan konsentrasi oksigen terhadap suatu tingkatan
yang sangat berbahaya untuk kesehatan manusia.
b. Frostbite : karbon dioksida padat yang terdapat di bawah - 78oC
pada tekanan udara reguler, dengan mengabaikan temperatur
udara. Penanganan material ini untuk lebih dari seperdetik atau
yang kedua tanpa perlindungan sesuai dapat menyebabkan
melepuh, dan lain efek tak dikehendaki. Gas karbon diokasida
dilepaskan bebas dari suatu silinder baja, seperti suatu pemadam
api, penyebab efek serupa.
c. Kidney damage or coma : disebabkan oleh suatu gangguan di
dalam

keseimbangan

konsentrasi

karbon

kimia
diokasida

penyangga
meningkat

karbonat.
atau

Dimana

berkurang,

45

menyebabkan keseimbangan tersebut terganggu, dan kehidupan


manusia terancam dalam situasi yang mencemaskan.
Sekitar 0.5 juta hingga 1 juta orang di negara berkembang
mengalami kematian dini akibat dari pencemaran udara setiap
tahunnya (Kojima dan lovei dalam Adnan, 2006). Pencemaran udara
selain merusak lingkungan dan kesehatan, juga merugikan secara
ekonomi. Hasil kajian Studi RETA ADB tahun 2002 menemukan
dampak ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta sebesar Rp 1.8
triliun dan jumlah tersebut akan membengkak menjadi Rp 4.3 triliun
pada tahun 2015 (Anonim, 2005).
3. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di Kota Samarinda.
Data statistik energi yang dilakukan oleh Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral, menunjukkan bahwa ketergantungan
sektor transportasi pada sumber minyak bumi lebih dari 99,9%,
sedangkan sisanya adalah menggunakan bahan bakar gas. Sehingga
kualitas

bahan

bakar

minyak

sangatlah

menentukan

kualitas

pembakaran dalam mesin serta tingkat polusi yang ditimbulkannya.


Keberadaan

bensin

yang

dipasarkan

sekarang

ini

disamping

menimbulkan debu timbal dari gas buangnya, juga menjadi kendala


utama bagi mesin-mesin teknologi baru yang memiliki sistem kontrol
mesin yang modern seperti Close loop multi point injection, DISI (direct
Injection Spark Ignition) atau teknologi mesin berCatalytic Converter,

46

yang bertujuan menurunkan kandungan pollutan dari gas buangnya.


Penghapusan bensin bertimbal dari pasaran, merupakan pintu masuk
bagi peningkatan kualitas mesin kendaraan yang lebih ramah
lingkungan. Spesifikasi bahan bakar bensin saat ini yang beredar
masih mengandung unsur timbal yang digunakan sebagai peningkat
nilai oktan pada bahan bakar bensin s/d 0,13 gr/liter, dan tekanan uap
Reid 62 kPa pada suhu 37,8 C. Tekanan uap (VOC) menentukan
penguapan bahan bakar saat penyimpanan ataupun saat pemindahan
bahan bakar dari tangki ke tangki (refueling process) lainnya,
berdasarkan studi jumlah penguapan untuk bensin Reid vapor
pressure 62 kPa, pada suhu 24 degC, diperkirakan 3,92 g/liter akan
hilang teruapkan dalam proses penyimpanan atau pada proses
refueling (Weaver and Chang, 1995 dalam Anonim, 2006b).
Sedangkan untuk minyak solar memiliki kandungan belerang s/d 5000
ppm wt. Kondisi seperti ini sangat berpotensi pada terbentuknya jelaga
atau asap yang banyak pada mesin diesel, sedangkan untuk
spesifikasi yang lebih maju, kandungan belerang ini sudah dibatasi
maximum 500 ppm wt, bahkan untuk negara Industri sudah menurun
lagi hingga max 10 ppm wt (Anonim, 2006b).
Menurut

Anonim

(2006b),

mengatakan

bahwa

dalam

penurunan polusi per unit kendaraan, teknologi mesin dan kualitas


bahan

bakar

merupakan

dua

faktor

yang

paling

berperan.

47

Penghapusan bensin bertimbal dianggap sebagai langkah awal dari


upaya peningkatan kualitas udara tersebut. Dengan pengunaan bensin
tanpa timbal, maka berbagai upaya penanggulangan emisi kendaraan
bermotor

dapat

dimungkinkan,

misalnya

penggunaan

mesin

kendaraan yang lebih efisien maupun penggunaan Catalytic Converter


(katalis

pengubah

gas

buang

berbahaya

menjadi

gas

tidak

berbahaya).
Semakin meningkatnya perhatian terhadap isu emisi kendaraan
sehingga menghasilkan peraturan lingkungan yang semakin ketat,
misalnya dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 141/2003 tentang penerapan standar emisi EURO II
untuk kendaraan tipe baru. Dengan asumsi komponen penguapan
bensin sebesar 0,39% volume teruapkan sebelum dipakai dalam
proses pembakaran dalam mesin biasa, spesifikasi bensin bertimbal
dan minyak solar terlihat pada tabel 2.9 dan 2.10 sebagai berikut :
Tabel 2.8.

Faktor Emisi Untuk Menghitung Karbon Dioksida dari


Konsumsi Minyak.

Fuel Type
Natural Gas
Gas/ Diesel Oil
Petrol
Hevy Fuel Oil
Rata-rata
Sumber

Gram CO2/Liter
0,19
0,25
0,24
0,26
0,24

: Worlds Resources Institute (WRI) and World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD, 2001) dalam Riswandi (2006).

48

Tabel 2.9. Spesfifikasi Bensin Bertimbal.


Spesifikasi
RON
Lead Content
Distilasi : - 10%
- 50% vol
- 90% vol
- Titik didih akhir
Residue
Tekanan uap reid pada 37,8 0 C
Sulphur Content
Copper Strip Corrosion
Mercaptane SUlphur
Doctor Test
Induction Period
Existent Gum
Colour
Odour
Sumber

Min
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max
Max

Premium
88
0,30 gr Pb/liter
74 0 C
88 125 0 C
180 0 C
205 0 C
2% vol
62 kPa
0,1% wt
1 No.
0,002% wt
Negatif
240 minm
4 mg/ 100 ml
Yellow
Marketable

: SK Dirjen Migas No. 108K/72/DDJM/1997 Tanggal 28 Agustus 1997 dalam


Anonim, 2006b.

Tabel 2.10. Spesfifikasi Minyak Solar.


Propertis
Specific Garavity at 60/60 0 F
Color ASTM
Centane Number or
Altematively Calculated Centane Index
Kinematical Viscosity at 100 0 F
or Viscosity SSU at 100 0 F
Pour Point
Sulphur Content

Limits Test Methode


Min Max ASTM Lain

0,82
45
48
cST
1,6
secs
0
35
C
% wt
Copper Strip Corrosion(3 hrs/ 50 0 C)
Conradson Carbon Residue(on 10% vol. bott End Point)
% wt
Water Content
% vol
Sediment
% wt
Ash Content
% wt
Naturalization Value : Strong Acid Number mgKOH/gr Total Acid Number
mgKOH/gr 0
150
Flash Point
F

Distillation
Recovery at 300 0 C
Sumber

0,87
3
5,8
45
65
0,5
0,5
No. 1
0,1
0,05
0,01
0,01
Nil
0,6
-

D1298
D1500
D613
D976
D445
D88
D976
D1151/
D1552
D130
D189
D93
D473
D782
D93

D86
40
% vol
: SK Dirjen Migas No. 108K/72/DDJM/1997 Tanggal 28 Agustus 1997 dalam
Anonim, 2006b.

49

Tabel 2.11.

Faktor Emisi Untuk Bahan Bakar.

Jenis Bahan Bakar Cair


Bensin
Diesel
Sumber

Gram CO2/gallon
8,9
10,1

Gram CO2/Liter
2,3
2,7

: Worlds Resources Institute (WRI) and World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD, 2001) dalam Riswandi (2006).

D. Ruang Terbuka Hijau.


1. Pengertian Umum Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurut Anonim (2006a), sebagai salah satu unsur kota yang
penting khususnya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit
atau kecilnya ukuran ruang terbuka hijau Kota (Urban Green Open
Space) yang ada, termasuk halaman rumah atau bangunan pribadi,
seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami
tetumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi
nyata sehari-hari, maka ruang terbuka hijau dapat dijabarkan dalam
berbagai pengertian, antara lain pengertian ruang terbuka hijau, (1)
adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada
berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon
(tanaman tinggi berkayu). (2) Sebentang lahan terbuka tanpa
bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis
tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya
terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody
plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan

50

tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup


tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain
yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi ruang terbuka
hijau yang bersangkutan (Purnomohadi, 1994).
Pengertian ruang terbuka hijau menurut Peraturan Pemerintah
Pasal 26 tahun 2008 adalah area memanjang atau jalur dan atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam. Secara hukum (hak atas tanah), RTH bisa berstatus
sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan usaha
(lingkungan skala permukiman atau neighborhood), seperti: sekolah,
rumah sakit, perkantoran, bangunan peribadatan, tempat rekreasi,
lahan pertanian kota, dan sebagainya), maupun milik umum, seperti:
Taman-taman Kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang,
Taman Hutan Kota atau Urban Forest Park, Lapangan Olahraga
(umum), Jalur-jalur Hijau (green belts dan atau koridor hijau): lalulintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaringan tenaga
listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/ SUTET, Taman
Pemakaman Umum (TPU), dan daerah cadangan perkembangan kota
(bila ada). Lebih jelasnya, bila berdasar pada status penguasaan lahan
adalah sebagai berikut :

51

a. Lahan Kawasan Kehutanan, yurisdiksinya diatur oleh UU Nomor:


5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP
No. 63/2002, tentang Pengelolaan Hutan Kota. Berdasarkan fungsi
hutannya, RTH Kawasan Hutan Kota dapat berupa Hutan Lindung,
Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun Bibit Kehutanan.
b. Lahan

Non-Kawasan

Hutan,

yurisdiksinya

diatur

oleh

UU

No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria. Menurut


kewenangan pengelolaannya berada di bawah unit-unit tertentu,
seperti: Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan, dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain
yang dimiliki atau dikelola penduduk.
Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pengelolaan,
meskipun sudah ada beberapa peraturan daerah khusus RTH kota
dan peraturan lain terkait, namun tetap masih diperlukan pengaturan
lebih lanjut, yang dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang
lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan menjadi UU
No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992 tentang

52

Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU


No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. (Anonim, 2006a).
Definisi hutan kota (urban forest) menurut Fakura (1987) yang
dikutip oleh Dahlan (1992) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu
diwilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang
sebesar-besarnya dan dalam penggunaan khusus lainnya. Sementara
itu berdasarkan PP No. 63 Tahun 2002 tentang hutan kota
didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan bertumbuhan pohonpohon yang kompak dan rapat didalam wilayah perkotaan baik pada
tahanh negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota
oleh pejabat berwewang. Secara umum dapat disepakati bahwa
kawasan hutan kota minimum adalah 0,4 ha, jika berbentuk jalur
minimum 30 m dengan catatan bahwa penutupan vegetasi minimum
10% dari luas kawasan hutan. Hutan perkotaan (urban forest) menurut
Grey dan Deneke (1978) yang dikutip oleh Irawan (1992) meliputi
semua vegetasi berkayu di dalam lingkungan tempat penduduk, mulai
dari kampung yang kecil sampai dengan kota besar.
2. Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Menurut Anonim (2006a), dalam masalah perkotaan, ruang
terbuka hijau merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari
sistem kota secara keseluruhan. ruang terbuka hijau sengaja dibangun

53

secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai


fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi :
a. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan
ruang terbuka hijau menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara
(paru-paru kota), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara
dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh,
produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa,
penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta
penahan angin.
b. Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu
menggambarkan ekspresi budaya lokal, ruang terbuka hijau
merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat
pendidikan, dan penelitian.
c. Ekosistem perkotaan. produsen oksigen, tanaman berbunga,
berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha
pertanian, kehutanan, dan lain-lain.
d. Fungsi

estetis,

meningkatkan

kenyamanan,

memperindah

lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan


permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan).
Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.
Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain,
berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus

54

menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. Dapat


tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan
gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman
kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur
hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.
3. Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Manfaat ruang terbuka hijau kota secara langsung dan tidak
langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau
kondisi alami ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai
faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan
perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang
sehat dan manusiawi. Manfaat tanaman sebagai komponen kehidupan
(biotik) dan produsen primer dalam rantai makanan, bagi lingkungan
dan sebagai sumber pendapatan masyarakat, semua orang sudah
mengetahuinya. Proses fotosintesis telah diajarkan sejak sekolah
dasar, di mana zat hijau (khlorofil) yang banyak terdapat dalam daun
dengan bantuan energi matahari dan air, menghasilkan makanan,
berupa karbohidrat, protein, lemak juga vitamin dan mineral, sangat
berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Tanaman
adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar fosil, bahkan dia adalah
sumber karbon itu, sama juga tidak membutuhkan energi listrik atau
api untuk memasak makanannya agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini

55

tidak

mencemari

media

lingkungan,

bahkan

membantu

membersihkan media udara yang kotor serta menyegarkan udara.


Akar pohon berfungsi untuk menarik bahan baku dari dalam
media tanah, antara lain berbagai macam mineral yang larut dalam air.
Zat-zat

tersebut

dimasak

dalam

pabrik

daun

menghasilkan

karbohidrat (tepung, gula, selulosa/ serat), oksigen, yang seringkali


disimpan dalam gudang berbentuk buah dan biji untuk sebagai agen
pertumbuhan

selanjutnya

(Anonim,

2006a).

Tanaman

sebagai

penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2)


dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari, merupakan
pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan
(absorbsi) dan penjerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang
terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang,
bunga, dan buah).
Pembuktian, bahwa tumbuhan dapat efektif membentuk udara
bersih, dapat dicermati dari hasil studi penelitian Bernatzky (1978: 2124) dalam Anonim, (2006a), yang menunjukkan bahwa setiap 1
hektar ruang terbuka hijau, yang ditanami pepohonan, perdu, semak
dan penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun seluas 5 hektar,
maka sekitar 900 Kg CO2 akan dihisap dari udara, dan melepaskan
sekitar 600 Kg O2 dalam waktu 12 jam. Hasil penelitian Hennebo

56

(1955)

dalam

Anonim, (2006a) menyimpulkan, bahwa terjadi

pengendapan debu (aerosol) pada lahan terbuka dan khususnya pada


hutan kota. Pengendapan debu dipengaruhi jarak ruang terbuka hijau
terhadap sumber debu, jenis dan konsentrasi debu, kondisi iklim,
topografi, jenis, dan kelompok tanaman, serta struktur arsitektural
ruang terbuka hijau (Anonim, 2006a). Tujuan penyelenggaraan hutan
kota dalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem
perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya
(Anonim, 2002 yang dikutip oleh Biantary, 2003). Dahlan (1992),
mengemukanan bahwa hutan kota bukan sekedar program. Terdapat
beberapa manfaat yang bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat
perkotaan diantaranya adalah :
1.

Identitas Kota.

2.

Pelestarian Plasma Nutfah.

3.

Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara.

4.

Penyerap dan Penjerat partikel Timbal dan Debu Semen.

5.

Peredam Kebisingan.

6.

Mengurangi Bahaya Hujan Asam.

7.

Penyerap Karbon-monoksida,

8.

Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen.

9.

Penahan Angin.

10. penyerap dan Penapis Bau.

57

11. Mengatasi Genangan.


12. Mengatasi Intrusi Air Laut.
13. Produksi Terbatas.
14. Ameliorasi Iklim.
15. Pengelolaan Sampah.
16. Pelestarian Air Hutan.
17. Penapis Cahaya Silau.
18. Meningkatkan Keindahan.
19. Habitat Burung.
20. Mengurangi Stress.
21. Mengamankan Pantai terhadap Abrasi.
22. Daya Tarik Wisatawan Domestik maupun Mancanegara.
23. Sarana hobi dan Pengisi Waktu Luang.
4. Perhitungan Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Terdapat beberapa macam cara untuk menetapkan keluasan
ruang terbuka hijau kota, ditinjau dari berbagai kebutuhan penduduk
kota sebagai berikut :
a. Pendekatan Gerakis melalui Perhitungan Kebutuhan Oksigen
(O2).
Pada kota berpenduduk padat, dengan jumlah kendaraan
bermotor dan industri yang tinggi, maka luas ruang terbuka hijau
kota

yang

dibangun

dapat

dihitung

berdasar

pendekatan

58

pemenuhan oksigen (Kunto, 1986 dalam Risawandi, 2006),


dengan rumus :

L =

a V + b W
20

Keterangan :
L = luas ruang terbuka hijau kota (m2).
a = kebutuhan oksigen per orang (kg/jam).
b = rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor
(Kg/jam).
V = jumlah penduduk.
W = jumlah kendaraan bermotor.
20 = tetapan (kg/jam/Ha).
Kemudian rumus tersebut dimodifikasi oleh Dahlan (2004)
sebagai berikut :

L =

Ai

Vi +

Bi

Wi +

Ci

Zi

20

Keterangan :
L = luas hutan kota (Ha).
Ai = kebutuhan oksigen (O2) per orang (kg/jam).
Bi = kebutuhan oksigen (O2) per satuan kendaraan bermotor
(kg/jam).
Ci = kebutuhan oksigen (O2) per satuan industri (kg/jam).

59

Vi = jumlah penduduk.
Wi = jumlah kendaraan bernotor dari berbagai jenis.
Zi = jumlah industri dari berbagai jenis.
20 = konstanta (rerataan oksigen atau O2) yang dihasilkan
(20kg/jam/Ha).
Selain menggunakan pendekatan Metode Kunto, penentuan
luasan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen, juga
dapat dilakukan dengan Metode Gerakis (1974) yang dimodifikasi
dalam Wisesa (1988) dalam Riswandi (2006) dengan rumus :
Lt =

Pt + Kt + Tt
(54 ) (0 ,9375

Keterangan :
Lt

= luas ruang terbuka hijau kota pada tahun ke-t (m2).

Pt

= jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun


ke-t.

Kt

= jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor


pada tahun ket.

Tt

= jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke-t

54

= tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan


menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari.

60

0,9375 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering


tanaman adalah setara dengan produksi oksigen
0,9375.
b. Perhitungan Berdasarkan Kebutuhan Air :
Berdasarkan pertimbangan isu-isu penting, luas ruang
terbuka hijau yang harus dibangun, khususnya pada kota-kota
yang

memiliki

masalah

kekurangan

air

bersih,

sebaiknya

ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air seperti


rumus berikut (Sutisna et.al, 1987 dalam Dahlan, 1992) :
1) kebutuhan air bersih per tahun.
2) jumlah air yang dapat disediakan oleh PAM.
3) Potensi air saat ini.
4) Kemampuanhutan kota menyimpan air.
Dari faktor-faktor yang terdapat di atas maka dapat ditulis
dalam persamaan :

Po K ( 1 + R C )t PAM Pa
La =
z
Dengan :
La

= luas hutan kota yang diperlukan untuk mencukupi


kebutuhan air (Ha).

Po

= jumlah penduduk kota pada tahun ke 0.

= konsumsi air per kapita (liter/hari).

61

= laju peningkatan pemakaian air (biasanya seiring dengan


laju pertambahan penduduk kota setempat).

= faktor

koreksi

pemerintah

(besarnya

dalam

tergantung

penurunan

laju

dari

upaya

pertambahan

penduduk).
t

= tahun ke.

PAM = kapasitas suplai air oleh PAM (dalam m3/tahun).


Pa

= potensi air tanah saat ini (m3/th).

= kemampuan hutan kota dalam menyimpan air (m3/ha/th).

c. LAI diduga dengan menggunakan rumus:

LAI = CT [Ls 0,27 EXP {0,035 CS 0.15 / ((CS / 1,25)2)}]


Keterangan :
LS

= Koefisien Bentuk Daun Rata-Rata (Mean Leaf-Shape


Coefficient) untuk masing-masing kelompok tumbuhan
pembentuk hutan kota yang merupakan nisbah antara
lebar daun dan panjang daun rata-rata.

CS = Koefisen Bentuk Tajuk Rata-Rata (Mean Crown-Shape


Coefficient) untuk masing-masing kelompok tumbuhan
pembentuk hutan kota, yang merupakan nisbah antara
lebar tajuk dan tinggi tajuk rata-rata.

62

CT = Koefisien Model Arsitektur Tumbuhan (Plant Architectural


Mode Coefficient), yang diperhitungkan berkisar antara 1025, dengan rata-rata sebesar 19,72. LS, CS dan CT tidak
diukur secara langsung di lapangan, melainkan dianaslisis
(dirisalah) berdasarkan Model Arsitektur Pohon yang
diperkenalkan pada tahun 1975 oleh Halle & Oldeman
(Purnomohadi, 1994).

E. Vegetasi Ruang Terbuka Hijau dan Nilai Ekonomi Kayu Pada Ruang
Terbuka Hijau Beserta Nilai Estetikanya.
1. Vegetasi Ruang Terbuka Hijau.
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya
terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu
tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat
interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun vegetasi
itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan
suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Marsono, 1977
dalam Irwanto, 2007).
Vegetasi, tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap
tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu
tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda
faktor lingkungannya. Dengan analisis vegetasi dapat diperoleh

63

informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas


tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas
vegetasi dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan
komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan
membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun
waktu pengamatan berbeda. (2) menduga tentang keragaman jenis
dalam suatu areal. dan (3) melakukan korelasi antara perbedaan
vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor
lingkungan (Greig-Smith, 1983 dalam Irwanto, 2007).
Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) dalam Irwanto (2007)
membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya,
yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup,
struktur floristik, struktur tegakan. Menurut Kershaw (1973) dalam
Irwanto (2007), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu :
1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan
diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan,
semai dan herba penyusun vegetasi.
2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan
letak dari suatu individu terhadap individu lain.
3. Kelimpahan (abudance) setiap jenis dalam suatu komunitas.
Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam
suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekwensi suatu jenis

64

tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis


tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi
dinyatakan dalam besaran persentase. Basal area merupakan suatu
luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan.
Untuk pohon, basal areal diduga dengan mengukur diameter batang
(Kusuma, 1997 dalam Irwanto, 2007). Suatu daerah yang didominasi
oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan
memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis
terdiri dari 2 komponen. Jumlah jenis dalam komunitas yang sering
disebut kekayaan jenis dan Kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan
bagaimana kelimpahan species itu (yaitu jumlah individu, biomass,
penutup tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak species itu
(Ludwiq dan Reynolds, 1988 dalam Irwanto, 2007).
Sifat alami organisme tanaman dalam ruang terbuka hijau
melalui mekanisme rekayasa lingkungan, mampu memperbaiki
kualitas lingkungan, sehingga dapat menjadi pedoman dalam memilih
jenis tanaman pengisi ruang terbuka hijau dari berbagai fungsi. Dari
segi efektivitas menekan pencemaran udara, menyerap dan menjerap
debu, mengurangi bau, meredam kebisingan, mengurangi erosi tanah,
penahan angin dan hujan secara menyeluruh, maka fungsi tanaman
antara lain sebagai berikut :

65
Dedaunan berair dapat meredam suara.
Cabang-cabang tanaman yang bergerak dan bergetar dapat
menyerap dan menyelubungi suara, demikian pula daun yang tebal
menghalangi suara dan daun yang tipis, dapat mengurangi suara.
Trikoma daun dapat menyerap butir-butir debu, melalui gerakan
elektrostatik dan elektromagnetik.
Pertukaran gas melalui mulut daun.
Aroma bunga dan daun mengurangi bau.
Percabangan (dan ranting) beserta dedaunannya dapat menahan
angin dan curah hujan.
Penyebaran akar dapat mengikat tanah dari bahaya erosi.
Cabang yang melilit dan berduri menghalangi gangguan manusia.
Bentuk dan tekstur daun berpengaruh terhadap daya serap
sinar/hujan, dan daya ikat cemaran.
Bentuk kanopi tajuk pohon berpengaruh terhadap arus dan arah
angin turbulensi lokal dan peredaman bunyi.
Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14/ 1988
tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan, memuat kriteria jenis
tanaman yang disesuaikan peruntukkan lahan, perlu perhatian pada
kepekaan pengaruh berbagai zat cemaran. Pemilihan jenis tanaman
pelindung bagi ruang terbuka hijau kota tentu akan berlainan antar

66

berbagai kota di Indonesia, tergantung ekosistem setempat. Masih


banyak fungsi ekologis ruang terbuka hijau terhadap kualitas udara
kota yang perlu diteliti dan dikembangkan. Berikut ini tabel kreteria
tumbuhan berdasarkan status vegetasinya untuk ruang terbuka hjau
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.12.

Kriteria Jenis Tanaman Untuk Ruang Terbuka Hijau.

Status Vegetasi
A.

B.

RTH-Pertamanan
(1) Taman
(2) Jalur Hijau Jalan
(3) Jalur Hijau Kota
RTH Lain

Sumber

Kreteria Tumbuhan
II
III
IV

I
1,2,3,4,7,8
1,2,3,6,7
1,2,3,5,7,8
7,8

1
1,2,3
2
3

1,2
2
2
1,2

1,2
2
2
1,2

V
1
2,3
2
3

: Purnomohadi, 1994.

Notasi:
I. Karakteristik Umum
1. Tidak bergetah/beracun
2. Dahan tidak mudah patah
3. Perakaran tidak mengganggu fondasi
4. Struktur daun, setengah rapat
hingga rapat
II. Kecepatan Tumbuh
1. Sedang
2. Cepat
3. Bervariasi
IV. Tipe Tumbuhan
1. Musiman
2. Tahunan
3. Setengah rapat hingga rapat

5.
6.
7.
8.

Struktur daun setengah rapat


Struktur daun rapat
Ketinggian tumbuhan bervariasi
Warna dominan hijau, warna
lain seimbang
III. Habitat
1. Tumbuhan hijau local
2. Tumbuhan hijau budidaya
V.

Kerapatan Tanam
1. Setengah rapat
2. Rapat

Berikut ini adalah tabel tanaman (pohon) peneduh jalan dan


tanaman taman hutan serta tanaman kebun dan halaman yang
dipergunakan dalam ruang terbuka hjau adalah (Yunus, 2005) :

67

Tabel 2.13.

Beberapa Jenis Tanaman Untuk Ruang Terbuka Hijau.

Tanaman Ruang Terbuka Hijau


Peneduh Jalan
Flamboyan
Nyamplung
Anting-anting
Angsana
Jakaranda
Asam Kranji
Ketapang
Liangliu
Cemara
Kupu-kupu
Kismis
Pinus
Kere Payung
Ganitri
Beringin
Bungur
Damar
Taman Hutan
Bungur
Pala Hutan
Matoa/ Kasai
Jening
Cemara Sumatra
Ebony/ Kayu Hitam
Khaya
Palur Raja
Kempas
Pingku
Kibeusi Leutik
Sawo Kecik
Lamtorogung
Kaliandra
Asam
Puspa
Balam Sudu
Johar
Kenanga
Sawo Duren
Angsanan
Locust
Kedinding
Kecapi
Kisireum
Dadap
Palem raja
Manglid
Salam
Kalak
Cengal
Sungkai
Saputangan
Kawista
Khaya
Bacang
Kenanga
Blabag
Kayu Manis
Kebun dan Halaman
Nangka
Jambu Monyet
Jambu Bol
Kenanga
Durian
Jambu Air
Sirsak
Manggis
Sawo Manila
Srikaya
Cokelat
Sawo Kecik
Pala
Duwet
Kopi
Alpokat
Cengkeh
Randu
Belimbing
Jeruk

Johar
Tanjung
Saga
Mahoni
Akasia

Flamboyan
Tanjung
Trembesi
Beringin
Kepuh
Merbau Pantai
Tengkawangmajau

Angsert
Nyamplung
Leda
Tengkawanglayer
Johar
Merawan
Mangga
Rambutan
Kedondong
Kemiri
Wuni
Petai

Sumber : Yunus, 2005.

2. Nilai Ekonomi Kayu Pada Ruang Terbuka Hijau Beserta Nilai


Estetikanya.
Nilai ekonomi kayu ruang terbuka hijau terbagi berdasarkan
nilai kayu bulat itu sendiri dan nilai estetika kayu bulat. Untuk nilai
ekonomi kayu bulat berasal dari perhitungan volume kayu bulat (m3)
dimana patokan harga kayu bulat berasal dari kelompok meranti yang
termasuk dalam wilayah I (sumatera, kalimantan, sulawesi dan

68

maluku) dipilihnya harga kayu meranti berdasarkan asumsi bahwa


kayu

meranti

merupakan

kayu

bulat

perdagangan

yang

diperdagangkan di Indonesia. Untuk menentukan harga kayu yang


terdapat diruang terbuka hijau merupakan setengah dari harga kayu
kelompok meranti sedangkan setengahnya lagi harga kayu kelompok
meranti adalah nilai estetika dari kayu bulat yang terdapat dalam ruang
terbuka hijau, jadi harga kayu kelompok meranti secara menyeluruh
berarti harga kayu bulat beserta nilai estetikanya yang terdapat pada
ruang terbuka hijau. Patokan harga kayu pada ruang terbuka hijau
berdasarkan pada penetapan harga patokan kayu kelompok meranti
wilayah I dimana berasal dari perhitungan provisi sumber daya hutan
(PSDH) kayu dan bukan kayu berdasarkan peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 08/M-DAG/PER/2/2007
tanggal 7 Pebruari 2007, daftar harga kayu tersebut tersajikan pada
lampiran 16.

F. Alur Pikir Valuasi Ekonomi Pencemar Emisi Kendaraan Bermotor


dan Kapasitas Asimilasi Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda.
Alur pikir penelitian valuasi ekonomi pencemar emisi kendaraan
bermotor dan kapasitas asimilasi ruang terbuka hijau di kota Samarinda
dipergunakan

untuk

menganalisis

emisi

CO2

dan

beban

biaya

pencemaran berdasarkan banyaknya orang sakit dan biaya kesehatan

69

baik pemerintah (masyarakat) maupun pribadi (perorangan) serta beban


biaya penanggulangan berdasarkan volume CO2 vegetasi ruang terbuka
hijau dan nilai keseluruhan ruang terbuka hijau sedangkan hasil yang
ingin diketahui adalah kemampuan asimilasi lingkungan volume CO2
vegetasi ruang terbuka hijau dan valuasi ekonomi keseluruhan ruang
terbuka hijau terhadap volume dan valuasi ekonomi emisi CO2 kendaraan
bermotor serta tingkat emisi yang efesien antara valuasi ekonomi volume
CO2 vegetasi ruang terbuka hijau dan valuasi ekonomi keseluruhan ruang
terbuka hijau dengan valuasi ekonomi emisi CO2 kendaraan bermotor
sebagai bahan acuan oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan
insentif ekonomi emisi CO2 kendaraan bermotor.
Meskipun telah diketahuinya kemampuan asimilasi lingkungan
secara volume dan nilai ekonomi serta tingkat emisi yang efesien antara
biaya pencemaran dengan biaya penanggulangan maka perlu juga
diketahui kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk,
dan emisi CO2 kendaraan bermotor, serta kesesuaian jumlah kendaraan
bermotor dengan ruang terbuka hijau berdasarkan dimana emisi CO2
yang berasal dari kendaraan bermotor dengan kemampuan menyerap
CO2 oleh vegetasi (pohon) yang terdapat pada ruang terbuka hijau.
Berikut ini merupakan gambar alur pikir tahapan valuasi ekonomi
pencemar emisi kendaraan bermotor dan kapasitas asimilasi lingkungan
ruang terbuka hijau di kota Samarinda, tersaji sebagai berikut :

70

Gambar 2.10. Alur Pikir Tahapan Valuasi Ekonomi Pencemar Emisi


Kendaraan Bermotor dan Kapasitas Asimilasi
Lingkungan Ruang Terbuka Hijau di Kota Samarinda
(Peneliti, 2009).

Anda mungkin juga menyukai