Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN TUGAS KHUSUS

PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK


KIMIA FARMA

ANALISIS RESEP
PENYAKIT ISPA

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEPTEMBER 2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1.............................................................................................................Latar
Belakang ............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4
2.1.
ISPA
..
4
2.1.1.
Definisi ISPA ..................................................4
2.1.2.
Faktpr Resiko .............................................................5
2.1.3.
Patogenesis.................................................... 5
2.1.4.
Gejala Klinis ....................................................5
2.2........................................................................................................Penat
alaksanaan .....................................................................................7
2.2.1............................................................................................Peraw
atan dirumah.........................................................................8
2.2.2............................................................................................Pence
gahaan dan Pemberantasan ..................................................11
2.3.
Pengetahuan
..
13
2.3.1.Konsep Pengetahuan ...
2.3.2.Aspek Pengetahuan .
2.3.3.Faktor faktor yang mempengaruhi Pengetahuan .

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi
infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas
meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan
infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti
bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi
dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi
saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya penanganan dengan baik
karena dampak komplikasinya yang membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan
faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudah
terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi
saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik
terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor lingkungan
meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan
sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara.17 Perilaku
masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya cuci tangan,
membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran untuk mengisolasi
diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin ataupun menggunakan
masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari orang lain masih rendah.

Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di samping


karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak dan dewasa,
komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari kerja ataupun
hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia).
Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan
bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu
penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun
dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit
karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa
bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada,masa dewasa. dimana
ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.
Tingginya prevalensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) serta dampak
yang ditimbulkannya membawa akibat pada tingginya konsumsi obat bebas (seperti
anti influenza, obat batuk, multivitamin) dan antibiotika. Dalam kenyataan antibiotika
banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini. Peresepan antibiotika yang berlebihan
tersebut terdapat pada infeksi saluran napas khususnya infeksi saluran napas atas
akut, meskipun sebagian besar penyebab dari penyakit ini adalah virus. Salah satu
penyebabnya adalah ekspektasi yang berlebihan para klinisi terhadap antibiotika
terutama untuk mencegah infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang
sebetulnya tidak bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi
bakteri maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan.
Permasalahan-permasalahan di atas membutuhkan keterpaduan semua profesi
kesehatan untuk mengatasinya. Apoteker dengan pelayanan kefarmasiannya dapat
berperan serta mengatasi permasalahan tersebut antara lain dengan mengidentifikasi,
memecahkan Problem Terapi Obat (PTO), memberikan konseling obat, promosi
penggunaan obat yang rasional baik tentang obat bebas maupun antibiotika. Dengan

memahami lebih baik tentang patofisiologi, farmakoterapi infeksi saluran napas,


diharapkan peran Apoteker dapat dilaksanakan lebih baik lagi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ISPA
2.1.1. Definisi ISPA
Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory
Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran
pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah
masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan
adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti
sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran
pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud
adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya
seperti sinus, ruang telinga tengah, dan pleura (Habeahan, 2009).

Menurut

Depkes RI (1996) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran
pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah
sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan

pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran


pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk
jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan
batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiratory tract).
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini.
Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat
berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007).
2.1.2. Klasifikasi ISPA
Mengklasifikasikan penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut (ISPA) atas
infeksi saluran pernapasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernapasan akut
bagian bawah.
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Bagian Atas
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas di sebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai
bagian atas dan bawah secara bersama-sama atau berurutan, tetapi
beberapa di antaranya adalah Nasofaringitis akut (salesma), Faringitis akut
(termasuk Tonsilitis dan Faringotositilitis) dan rhinitis (Fuad, 2008).
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Bawah
Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran
nafas bagian bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakitpenyakit yang tergolong Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) bagian
bawah : Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronis,
Broncho Pneumonia atau Pneumonia (Suatu peradangan tidak saja pada
jaringan paru tetapi juga pada brokioli (Fuad, 2008).
Klasifikasi ISPA Menurut Depkes RI (1999) dibagi menjadi 3 yaitu:
a. ISPA ringan

Tanda dan gejala : batuk pilek, demam, tidak ada nafas


cepat 40 kali permenit tidak ada tarikan dinding dada kedalam.
b. ISPA sedang
Tanda dan gejala : Sesak nafas, suhu lebih dari 39C, bila
bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA berat
Tanda dan gejala : Kesadaran menurun, nadi cepat/tidak
teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru
(sianosis).
2.1.3. Tanda dan gejala ISPA
Menurut Depkes RI (2002), tanda dan gejala klasifikasi penyakit ISPA
dibagi berdasarkan jenis dan derajat keparahanya yang digolongkan dalam 2
kelompok umur yaitu : bayi umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan
sampai dengan umur 5 tahun.
1. Bayi umur kurang 2 bulan
Untuk bayi umur kurang dari 2 bulan, tanda dan gejala penyakit
ISPA digolongkan menjadi dua Klasifikasi penyakit : Pneumonia berat
: batuk atau juga disertai kesulitan bernafas, nafas sesak/penarikan
dinding dada sebelah bawah kedalam (severe care indrowing), dahak
berwarna kehijauan atau seperti karet. Klasifikasi yang kedua yaitu
bukan Pneumonia (batuk pilek) : tidak ada tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam, tidak ada nafas cepat umur 2 bulan sampai umur
<12 bulan, kurang 50 kali permenit> umur 1 tahun sampai 5 tahun
kurang 40 kali permenit, kadang disertai demam.
2. Anak umur 2 bulan sampai umur 5 tahun
Tanda dan gejala ISPA untuk anak yang berumur 2 bulan
sampai 5 tahun digolongkan menjadi 3 klasifikasi penyakit yaitu :

b. Pneumonia berat : batuk atau juga disertai kesulitan


bernafas, nafas sesak/penarikan dinding dada sebelah bawah
kedalam (severe care indrowing), dahak berwarna kehijauan
atau seperti karet.
c. Pneumonia: berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian
bawah kedalam saat bernafas, bersama dengan peningkatan
frekwensi nafas) perkusi pekak, fremitur melemah, suara
nafas melemah dan ronki.
d. Bukan Pneumonia (batuk pilek) : tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah kedalam, tidak ada nafas cepat umur 2
bulan sampai <12 bulan kurang 50 kali permenit> umur 1
tahun sampai 5 tahun kurang 40 kali, kadang disertai
demam.
2.1.4. Faktor faktor yang mempengaruhi ISPA
Beberapa faktor yang dapat mepengaruhi terjadinya ISPA terutama
pada keluarga yaitu meliputi kuman penyebab, keadaan lingkungan, kondisi
keadaan sosial ekonomi, gizi (nutrisi), imunisasi dan perilaku keluarga.
1. Kuman penyebab
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus

dan

riketsia. Bakteri penyebab ISPA adalah antara lain : dari genus


sterptokokus

stalikokus,

pnemokokus,

hemofilus,

bordetella

dan

korenobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan


mikro virus, adeno virus, koronarius, pikornavirus, mikoplasma herpes
virus dan lain-lain (Depkes RI,2002).
2. Keadaan lingkungan
Pemukiman dapat menjadi reservoir penyakit bagi keseluruhan
lingkungan,

pemeliharaan

rumah

pun

dapat

mempengaruhi

penghuninya. Segala fasilitas yang disediakan, apabila tidak dipelihara


dengan baik akan menyebabkan terjadinya penyakit. Contoh : lantai

yang sering kali tidak dibersihkan, banyak mengandung debu dan


tanah yang berasal dari berbagai tempat yang mengandung bakteri atau
pun zat-zat yang menimbulkan alergi. Selain itu dari segi kesehatan
kepadatan

penghuni juga sangat bermakna pengaruhnya, karena

sebetulnya kepadatan sangat menentukan insidensi penyakit maupun


kematian dimana

penyakit menular masih banyak sekali terdapat

penyakit pernafasan dan semua penyakit yang menyebar lewat udara


menjadi mudah sekali menular. Kemudian asap dari dapur maupun dari
udara kotor diluar rumah juga menentukan terjadinya penyakit saluran
pernafasan (Slamet,1998).
Berkaitan

dengan

bagian-bagian

rumah,

ventilasi

rumah

mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah agar aliran udara


dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen
yang diperlukan penghuni rumah tersebut terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam rumah, yang berarti
kadar karbondioksida yang bersifat rawan bagi penghuninya menjadi
meningkat. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
kelembaban udara didalam ruangan naik. kelembaban ini akan menjadi
baik bagi pathogen-patogen (bakteri penyebab penyakit ).
Fungsi

kedua

dari

pada

cahaya matahari pada ruangan

dan

pathogen mati karena disitu selalu

ventilasi

udara adalah masuknya

bakteri-bakteri terutama bakteri


terjadi

aliran

udara yang terus

menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Rumah
yang sehat juga memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya udara yang masuk kedalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan
media/tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit
penyakit. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteribakteri pathogen didalam rumah.luas lantai bangunan rumah sehat harus
cukup, untuk penghuni didalamnya artinya luas lantai bangunan rumah

tersebut

harus

bangunan

disesuaikan

yang

tidak

dengan

sebanding

jumlah

penghuninya.

Luas

dengan

penghuninya

akan

menyebabkan penjubelan (over croweded). hal ini tidak sehat sebab


disamping menyebabkan kurangnya oksigen juga bila salah satu keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain (Notoatmojo,1997).
3. Kondisi keadaan sosial ekonomi
Dengan adanya alasan keadaan ekonomi yang kurang akan
menyebabkan

menurunya

kemampuan

menyediakan

lingkungan

pemukiman yang sehat, serta kurangnya untuk memenuhi hidup sehat


mendorong

peningkatan

jumlah

berbagai serangan penyakit menular

balita

yang

termasuk

rentan
ISPA

terhadap
pada

akhirnya akan mendorong meningkatnya penyakit ISPA pada balita


(Depkes RI,2002).
4. Gizi (nutrisi)
Gizi yang baik pada umumnya akan meningkatkan resistensi
tubuh terhadap penyakit-penyakit infeksi, tetapi sebaliknya berkurangnya
gizi berakibat kerentanan seseorang terhadap penyakit penyakit
infeksi (Notoatmojo,1997).
5. Imunisasi
Upaya

pencegahan

merupakan

komponen

strategi

dalam

pemberantasan pneumonia pada anak terdiri atas pencegahan melalui


upaya imunisasi dan pencegahan non imunisasi. Progam pengembangan
imunisasi yang meliputi (PPI) yang meliputi imunisasi DPT dan
campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama dapat menurunkan
proporsi kematian balita akibat pneumonia. Hal ini dapat dimengerti
karena campak, pertusis difteria bisa juga menyebabkan pneumonia ,
merupakan penyakit penyerta terjadi pneumonia balita (Ngastiyah,1998).
6. Perilaku keluarga

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama dalam


pencegahan penyakit ISPA. Perilaku yang sehat dan bersih sangat
dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan pendidikan keluarga. Dengan
makin

meningkatnya

tingkat

pendidikan

berpengaruh positif terhadap meningkatnya


dan

pada

keluarga

pemahaman

akan

masyarakat

keluarga dalam menjaga kesehatan bayi dan balita agar tidak

terkena penyakit ISPA yaitu melalui upaya memperhatikan rumah


sehat dan lingkungan sehat (Depkes RI,2002).
2.1.5. Faktor Risiko
Berdasarkan hasil penelitian, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak
berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan
penghuni rumah, demikian pula terdapat pengaruh pencemaran di dalam rumah
terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran pada kegiatan rumah
tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir
halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk,
membakar kayu di dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama
Balita baik yang bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi
saluran pernafasan dan iritasimata.
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan
ISPA,

dimana

ventilasi

dapat

memelihara

kondisi

atmosphere

yang

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan bahwa


upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan sedang dapat dilakukan di
antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi polusi asap
dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang
tinggal di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA
sebesar 1,75 kali dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak
padat (Achmadi, 1993 dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2004).

Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih


buruknya manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya
deteksi dini kasus ISPA terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh
petugas kesehatan, serta pengetahuan yang kurang dari masyarakat akan gejala
dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus ISPA yang datang ke
sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2004)
2.2. Patofisiologi
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia
bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus streptokokus, stafilikokus,
pnemokokus, hemorilus, bordetelle, adenovirus, korinobakterium. Virus
penyebab ISPA antara lain adalah

golongan miksovirus, adenovirus,

koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpes virus dan lail lain. Virus


merupakan

penyebab tersering infeksi saluran pernafasan, mereka

menginfeksi mukosa hidung trachea dan bronkus. Infeksi virus primer


pertama

kali

ini

akan

menyebabkan

mukosa

membengkak

dan

menghasilkan banyak mucus lendir dan terjadilah akumulasi sputum


dijalan nafas. Pembengkakan mukosa dan produksi lendir yang meningkat
ini akan menghambal aliran udara melalui pipa-pipa dalam saluran nafas.
Batuk

merupakan

tanda

bahwa

paru-paru

sedang

berusaha

mengeluarkan lendir dan membersihkan pipa pernafasan karena batuk


merupakan suatu refleks produktif yang timbul akibat iritasi percabangan
trakheobronkial. kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang
pentung untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Bila seseorang
mengalami

infeksi

saluran

pernafasan

akut

(ISPA).

batuk

akan

menyebabkan sedikit sputum dalam bentuk percikan ke udara. Orang


orang yang berada sangat dekat dengan pasien ini akan menghirup udara
yang sudah tidak bersih ini. Inilah caranya bagaimana infeksi saluran
nafas menyebar keorang lain. karena penularan dapat melalui percikan

ludah (droplet), dan tebaran diudara (aerosol) (Ganong,2000).


Bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa yang sudah
terserang virus, infeksi bakteri sekunder ini menyebabkan terbentuknya
nanah dan memperburuk penyakit. Kadang kadang infeksi ini menyebar
ke bawah laring dan menyebabkan radang paru-paru (pnemonie). Bila
menyerang laring dan saluran nafas bagian bawah sangat berbahaya karena
pipa pipa ini menjadi lebih sempit dan lebih mudah tersumbat.
Tetapi jika laring, bronkus dan bronkiolus tersumbat udara tidak
dapat masuk ke dalam alveoli dan keadaan ini akan membuat sakit lebih
parah

terjadinya akumulasi secret di bronkus dan alveolus dapat

menyimbulkan sesak nafas

dengan tanda-tanda wheezing,

terdapat

tarikan dinding dada ke dalam, pernafasan cepat dan cuping hidung


kembang kempis. Hal tersebut merupakan mekanisme untuk memperoleh
oksigen yang cukup untuk tubuh.kadang-kadang infeksi menyebar ke
telinga tengah dan menyebabkan peradangan telingga bagian tenggah
(otitis media) (Biddulph,1999).
Selain itu infeksi dapat menyebabkan demam, batuk pilek dan sakit
tenggorokan serta mungkin tidak
berasal dari toksin

mau makan.

Pathogenesis

demam

bakteri. Misalnya : Endotoxin yang bekerja pada

monosit, makrofag dan sel-sel kupffer untuk menghasilkan beberapa


macam

sitoksin

yang bekerja sebagai pirogen endogen kemudian

mengaktifkan daerah preptik hipotalamus, sitokin juga di hasilkan dari selsel ssp (system syaraf pusat) apabila terjadi rangsangan oleh infeksi dan
sitoksin tersebut mungkin bekerja secara langsung pada pusat-pusat
pengatur suhu. Demam yang di timbulkan oleh sitoksin mungkin di
sebabkan oleh pelepasan prostaglandin ke dalam

hipotalamus yang

menyebabkan demam. Infaksi bakteri dalam pembuluh darah juga dapat


menyebabkan komplikasi missal meningitis purulenta dll (Suzanne,2001).
2.3. Komplikasi

Kondisi yang memberat dan tujuan penanganan pada ISPA


Menurut ngastiyah (1996),adalah ISPA merupakan self limited disiese yang
sembuh sendiri 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lain. komplikasi
yang dapat terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eutachi, dan
penyebaran infeksi.
Sinusitis paranasal : komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar
karena pada bayi dan anak kecil sinus paranasal belum tumbuh. Gejala
umum tampak lebih berat, nyeri kepala bertambah, rasa nyeri dan nyeri
tekan biasanya

didaerah sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis

ditegakan dengan pemeriksaan foto rontgen dan transluminasi (pada anak


besar). Kadang- kadang disertai sumbatan hidung, nyeri kepala hilang
timbul, bersin yang terus menerus disertai secret purulen dapat unilateral
maupun bilateral. Bila didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan
rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas perlu dipikirkan
terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan
diberikan antibiotic.
Penutupan tuba Eutachi : Tuba Eutachi yang buntu memberi
gejala tuli, dan infeksi dapat menembus langsung ke daerah telinga tengah
dan menyebabkan otitis media akut (OMA).
Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan
yang tinggi (Hiperpireksia), kadang menyebabkan kejang demam, anak
sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau

memegang

telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan cara
menekan telinganya dan bayi biasanya akan menangis dengan keras).
Kadang kadang hanya ditemui gejala demam, gelisah juga disertai
muntah atau diare. karena bayi yang menderita batuk pilek sering
menderita infeksi pada telinga tengah sehingga menyebabkan terjadinya
OMA dan juga dapat menyebabkan kejang demam, maka bayi perlu
dikonsul dibagian THT. biasanya bayi dilakukan parasintesis jika setelah
48-72 jam diberikan antibiotika jika keadaan tidak membaik. Parasintesis

(penusukan selaput telinga) dimaksudkan untuk mencegah membrana


tympani pecah sendiri dan terjadi otitis media perforata (OMP).
Penyebaran infeksi : penjalaran infeksi skunder dari nasofaring
kearah bawah dapat menyebabkan radang saluran nafas bagian

bawah

seperti laryngitis, trakeitis, bronchitis dan bronkopnemonia. Selain itu


dapat pula terjadi komplikasi jauh misalnya terjadi meningitis purulenta.
2.4. Patogenesis
Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar
dengan dunia luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem
pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap
infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga
unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:
1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.
2. Makrofag alveoli terjadi.
3. Antibodi setempat.
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi
pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu.
Selain itu, hal-hal yang dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak
sila adalah:
1. Asap rokok dan gas SO yang merupakan polutan utama dalam
pencemaran udara.
2. Sindrom immotil.
3. Pengobatan dengan O konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).
Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat
lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag
membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini
(Baum,1980).
Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin
A (IgA). Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi


pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA akan mengalami hal yang serupa
dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti penderita yang
mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas
dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980)
gambaran klinik radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung Pada:
1. Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat
virulensi jasad renik yang masuk.
2. Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa,
gerak mukosilia, makrofag alveoli dan IgA.
3. Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi
akan memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat
tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada bayi dan anak yang
belum memperoleh kekebalan alamiah.
2.5. Gejala Klinis
Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang
beragam, antara lain:
1. Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu penegeluaran cairan (discharge)
nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis
ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior
palatum
1. mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa
kedinginan (chilliness), demam jarang terjadi.
2. Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.
Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang
dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala
koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di
seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness).
3. Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.
Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia

dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang
konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai
dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi epidemi.
4. Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam,
menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia
yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal.
Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi pandemi yang hebat dan
ditumpangi oleh infeksi bakterial.
5. Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit beberapa
hari yang disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering menimbulkan
vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi ulkus.
6. Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (cruop), yaitu suatu kondisi
serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, dan
stridor inspirasi yang disertai sianosis (Djojodibroto, 2009).
2.6. Penatalaksanaan
Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksan ISPA ada tiga:
1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
2. Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol per oral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan
di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat
batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti
kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat
penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila
pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat)
disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai
radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan
tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan
selanjutnya.
2.6.1 Perawatan dirumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya
yang menderita ISPA:
1. Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh,
diberikan tiga kali sehari.
3. Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang
yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI
pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4. Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5. Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung
yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari
komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang
sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama

perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk


membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang
mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang
diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk
penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.
2.6.2. Pencegahan dan Pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
1.
2.
3.
4.

Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.


Immunisasi.
Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

2.7. Pengetahuan
2.7.1 Konsep Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan
ini terjadi setelah orang melakukan pengindaraan terhadap suatu objek tertentu.
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sanagat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman
dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Penelitian Roger
(1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadosi perilaku baru
(berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni:
1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidak baiknya


stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap respon sudah lebih
baik.
4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2.7.2. Aspek Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), tingkat pengetahuan di dalam domain
kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai meningkatkan suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan dan sebagainya. Oleh karena sebab itu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan
meramalkan terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini
diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
lainnya dalam konteks atau situasi yang berbeda.
4. Analisis (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih ada kaitannya satu

sama lain. Kemampuan analisis dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti
dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
lainnya.
5. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dinamakan sintesis. Dengan
kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada, seperti dapat menyusun, merencanakan,
meringkaskan, menyesuaikan dan lainnya terhadap suatu teori atau
rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria yang ada.
2.7.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
perilaku seseorang. Dalam perilaku seseorang banyak faktor yang memengaruhi,
termasuk juga akan memengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Menurut
Green (1980) perilaku dipengaruhi tiga faktor utama yaitu:
a. Faktor predisposisi (Predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang di anut masyarakat, tingkat
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Untuk berprilaku
kesehatan, misalnya pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil, diperlukan
pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan
kehamilan, baik bagi kesehatan ibu itu sendiri maupun janinnya.

b. Faktor pemungkin (Enambling factors)


Faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan
sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi,
dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat sehat,
dokter atau bidan praktik swasta, dan sebagainya. Untuk berprilaku sehat,
masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya
perilaku pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang mau diperiksa kehamilan
tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat periksaan kehamilan
melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas
atau tempat periksaan kehamilan, misalnya puskesmas, polindes, bidan
praktik, ataupun rumah sakit.
c. Faktor penguat (Reinforcing factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan, baik
dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan.
Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu
penegetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan
diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh
agama, para petugas, dan lebih-lebih para petugas kesehatan. Disamping
itu, undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku
masyarakat tersebut. Seperti perilaku periksa kehamilan, dan kemudahan
memperoleh fasilitas periksa kehamilan. Juga diperlukan peraturan atau
perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan periksa
kehamilan.
2.8. Tinjauan Farmakologi Obat Infeksi Saluran Napas

Terapi infeksi saluran napas memang tidak hanya tergantung pada


antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh virus
yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Terapi
suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena
berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa pasien.
Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan obat
bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi. Apoteker
dapat pula berperan dalam pemilihan obat suportif tersebut. Berikut ini akan
ditinjau obat-obat yang digunakan dalam terapi pokok maupun terapi suportif.
2.8.1. ANTIBIOTIKA
Antibiotika digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri dengan tujuan sbb:
Terapi empirik infeksi
Terapi definitif infeksi
Profilaksis non-Bedah
Profilaksis Bedah
Contoh : Penicilin, Cephalosporin, Makrolida, Tetrasiklin, Quinolon,
Sulfonamid.
2.8.2. TERAPI SUPORTIF
2.8.2.1. ANALGESIK-ANTIPIRETIK
Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi,
malaise, demam terkait infeksi pernapasan.
Contoh : Paracetamol, Ibuprofen
2.8.2.2. ANTIHISTAMIN
Antihistamin digunakan dalam terapi rhinitis alergi.

Antihistamin

bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti


histamine serta memblok migrasi sel.
Contoh : CTM, Cetirizine, Loratadine.

2.8.2.3. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi oedema subglotis dengan
cara menekan proses inflamasi lokal. Sampai saat ini efektivitas
kortikosteroid masih diperdebatkan, namun hasil suatu studi meta-analisis
menunjukkan bahwa steroid mampu mengurangi gejala dalam 24 jam
serta mengurangi kebutuhan untuk intubasi endotrakeal. Kortikosteroid
mengatur mekanisme humoral maupun seluler dari respon inflamasi
dengan cara menghambat aktivasi dan infiltrasi eosinofil, basofil dan mast
cell ke tempat inflamasi serta mengurangi produksi dan pelepasan faktorfaktor inflamasi (prostaglandin, leukotrien). Selain itu kortikosteroid juga
bersifat sebagai vasokonstriktor kuat.
Contoh : Deksametason, Prednison.
2.8.2.4. DEKONGESTAN
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi simtomatik pada beberapa
kasus infeksi saluran nafas karena efeknya terhadap nasal yang meradang,
sinus serta mukosa tuba eustachius.
Contoh : Pseudoefedrin, Nafazolin.
2.8.2.5. BRONKHODILATOR
Penggunaan klinik bronkhodilator pada infeksi pernapasan bawah
adalah pada kasus bronkhitis kronik yang disertai obstruksi pernapasan.
Contoh : Aminofilin, Salbutamol, Efedrin.

2.8.2.6. MUKOLITIK
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus
yang kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai terapi
tambahan pada bronkhitis, pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi
dengan mukolitik hanya berdampak kecil terhadap reduksi dari

eksaserbasi akut, namun berdampak reduksi yang signifikan terhadap


jumlah hari sakit pasien.
Contoh : Acetylcystein.
2.9. Skrining Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Permenkes No. 35,
2014). Tidak ada aturan baku yang sama di seluruh dunia tentang penulisan resep
obat karena setiap negara mempunyai peraturan sendiri-sendiri (de Vries, et al.,
1994). Di Indonesia Permenkes No. 26/Menkes/Per/I/I/ 1984 menyebutkan resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap.
Pelayanan resep didahului proses skrining resep, dalam Permenkes No.35
Tahun 2014 menyebutkan bahwa skrining / pengkajian resep meliputi
administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.
2.9.1. Kajian Administratif
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf;
c. Tanggal penataulisan Resep.
2.9.2. Kajian Kesesuaian Farmasetik
a. Bentuk dan kekuatan sediaan;
b. Stabilitas; dan
c. Kompatibilitas (ketercampuran obat).
2.9.3. Pertimbanganklinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi dan dosis obat;
b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat;
c. Duplikasi dan/atau polifarmasi;

d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,


manifestasi klinis lain);
e. Kontra indikasi;
f. Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep. (Permenkes No.35, 2014).

BAB 3
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian

Pelaksanaan dan pengamatan tugas khusus dilakukan pada saat praktek


kerja profesi apoteker periode bulan September 2016 di Apotek Kimia Farma
No. 2 Senen, Jalan Senen Raya No. 66 Jakarta Pusat 10410.
3.2 Metode Pengkajian
Data yang dianalisa adalah resep ISPA pasien Ny. X yang diterima dan
dilayani oleh Apotek Kimia Farma No. 2 Senen, Jalan Senen Raya No. 66
Jakarta Pusat 10410 pada bulan September 2016, kemudian dianalisis
berdasarkan kriteria skrining resep pada Permenkes No. 35 tahun 2014 di
antaranya meliputi:
a. Kelengkapan administratif
b. Kesesuaian farmasetik
c. Pertimbangan klinis

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Resep

Resep yang dianalisa adalah resep ISPA pasien Ny. X yang diterima dan
dilayani oleh Apotek Kimia Farma No. 2 Senen, Jalan Senen Raya No. 66
Jakarta Pusat 10410 pada bulan September 2016, Resep dapat dilihat pada
Gambar berikut:

1. Profil obat
R/ 1
No.
1
2

Profil obat
Nama dagang
Nama generik

Indikasi

Mekanisme kerja

Dosis lazim

Bentuk Sediaan/ Potensi,

Bentuk Sediaan lain/


Potensi
Penyimpanan

Keterangan
Alpara
Parasetamol 500mg, dekstrometorfan HBr 15
mg, klorfeniramin maleat 2 mg,
fenilpropanolamin hidroklorida 125mg
Meredakan influinza yang disertai gejala
demam, pilek, bersin, sakit kepala dan batuk

Anak 6-12 th: 3 kali sehari kaplet, dewasa: 3


kali sehari 1-2 kaplet
Kaplet
Sirup 60ml
Simpan pada suhu kamar 25C hingga 30C.
Terlindung dari cahaya

R/ 2
No.
1
2
3
4
5

Profil Obat
Nama Generik
Nama Dagang
Indikasi
Mekanisme Kerja
Dosis Lazim

Keterangan
Cefixime
Ceptik
Antiinfeksi
Menghambat sintesis dinding sel bakteri
Dewasa 200mg- 400mg/hr

Bentuk Sediaan/

Kapsul 100mg

Potensi,
Bentuk Sediaan lain/
Potensi

Sirup kering 100mg/ 5ml

Penyimpanan

Simpan pada suhu kamar 20C hingga 25C.


Telindungi dari cahaya

R/ 3
No.
1
2
3
4

Profil Obat
Nama Generik
Nama Dagang
Indikasi
Mekanisme

Keterangan
dexamethasone
Dexamethason, dexaharsen
Mengatasi gejala inflamasi akut, penyakit alergi,
Mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil,

Kerja
Dosis Lazim

penurunan produksi mediator inflamasi


Dewasa: 0,75-9 mg / hari dalam dosis terbagi setiap 6-12 jam

Bentuk Sediaan/

Kaplet 0,5 mg . 0,75 mg

Potensi,

Bentuk Sediaan
7

lain/ Potensi
Penyimpanan

Simpan pada suhu kamar 20C hingga 25C. Telindungi dari


cahaya

R/4
No.
11
2
3

Profil Obat
Nama Generik
Nama Dagang
Indikasi

Keterangan
Ambroxol
Mucopect
Mukolitik penyakit saluran pernafasan akut dan kronis,

Mekanisme Kerja

khususnya exsaserbasi bronkus kronis dan asma bronchial


Mengurangi ketebalan mucus dengan cara memutus ikatan
yang ada dalam mukopolisakarida menghasilkan molekulmolekul yang lebih kecil sehingga mucus menjadi lebih

Dosis Lazim

encer dan mudah untuk dikeluarkan.


Dosis dewasa : 60mg- 120 mg dalam 2 dosis terbagi

Bentuk Sediaan/
Potensi,

Tablet 30mg
Sirup 15mg/mL, 30mg/5mL, kapsul 75mg

Bentuk Sediaan
lain/ Potensi
7

Penyimpanan

Simpan pada suhu kamar 15C hingga 30C. Telindungi


dari cahaya

2. Skrining Resep
A. Skrining Administratif
No
Persyaratan Administratif
Ada
Tidak Ada
1 Nama Dokter

2 Nomor Surat Izin Praktek Dokter

3 Alamat Praktek Dokter

4 Tanggal Penulisan Resep

5 Paraf Dokter

6 Nama Pasien

7 Alamat Pasien

8 Umur Pasien

9 Jenis Kelamin Pasien

10 Berat Badan Pasien

11 Nama Obat

Kesimpulan: Secara administratif resep kurang lengkap karena tidak ada nama dokter
SIP namun dapat dilayani karena dokter praktek di poliklinik.

B. Skrining Farmasetik
Penulisan Bentuk Sediaan Yang Diminta
No.
1
2

Nama Obat
Alpara
Sefixime

Bentuk Sediaan
Kaplet
Tablet

Sediaan yang diminta


Ada
Tidak Ada

3
Dexamethasone
Tablet

4
Ambroxol
Tablet

Kesimpulan: bentuk sediaan yang diminta tersedia


C. Pertimbangan klinis
1) Interaksi Obat
Interaksi

Bentuk

Mekanisme

Obat

Interaksi

Rekomendasi

2) Kesesuaian Dosis Obat


No

Nama obat

Dosis lazim

.
1.
2.

Dosis resep
Sekali
Sehari

Alpara
Cefixime

1 kaplet
100mg

Dewasa: 1-2 kaplet 3kali sehari Sesuai


Dewasa: 200mg- 400mg/hr
Sesuai

3.

Dexamethason

0,5 mg

e
4.

Ambroxol

30mg

1x3= 3 kaplet
100mgx2:

200mg
0,5 mg x 3: 1,5 Dewasa: 0,75-9 mg / hari
dalam dosis terbagi setiap 6-12
mg
jam

2 dosis terbagi

3) Kontra indikasi obat dengan pasien


Nama Obat
Alpara
Cefixime
Dexamethasone
Ambroxol

Sesuai

30 mg x 3 : 90 Dewasa: 60 120 mg/hr dalam Sesuai


mg

No.
1.
2.
3.
4.

Ket.

Kontra Indikasi
-

3. Penyiapan obat
a. Penyiapan Obat
1) Ambil alpara sebanyak 10 tablet masukkan ke dalam klip obat dan beri
etiket warna putih kemudian tandai 3 x sehari 1 tablet.

2) Ambil cefixime sebanyak 10 tablet masukkan ke dalam klip obat dan beri
etiket warna putih kemudian tandai 2 x sehari 1 tablet. Obat harus
dihabiskan
3) Ambil dexamethasone sebanyak 10 tablet masukkan ke dalam klip obat
dan beri etiket warna putih kemudian tandai 3 x sehari 1 tablet.
4) Ambil ambroxol sebanyak 10 tablet masukkan ke dalam klip obat dan beri
etiket warna putih kemudian tandai 3 x sehari 1 tablet.
b. Etiket

c. Pengemasan
Masing- masing obat dikemas pada plastik terpisah dan diberi etiket sesuai
dengan nama obat yang tercamtum pada etikat. Kemasan plastik harus bersih, tidak
berbau dan tertutup sehingga obat tidak keluar/jatuh.
d. Penyerahan obat
Pemberian Informasi Obat
No
1.

Nama Obat
Alpara

2.

Cefixime

3.

Dexamethasone

4.

Ambroxol

Informasi Obat
Aturan Pakai : 3 kali sehari 1 tablet
Cara Penyimpanan : Simpan pada suhu kamar 20C hingga
25C. Telindungi dari kelembaban.
Lama Terapi : 3 hari
Aturan Pakai : 2 kali sehari 1 tablet (habiskan)
Cara Penyimpanan : Simpan pada suhu kamar 20C hingga
25C. Telindungi dari kelembaban.
Lama Terapi : 5 hari
Aturan Pakai : 3 kali sehari 1 tablet
Cara Penyimpanan : Simpan pada suhu kamar 20C hingga
25C. Telindungi dari kelembaban.
Lama Terapi : 3 hari
Aturan Pakai : 3 kali sehari 1 tablet

Cara Penyimpanan : Simpan pada suhu kamar 20C hingga


25C. Telindungi dari kelembaban.
Lama Terapi : 3 hari
Rencana Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut:
1. Rekomendasi terapi
Dalam rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan / penggantian
obat, perubahan dosis, interval dan bentuk sediaan.
2. Rencana Monitoring
Rencana monitoring terapi obat meliputi:
a. Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran pernapasan,
dilakukan dengan memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada
infeksi yang disertai kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya
akan menurunkan temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan
tanda kesuksesan terapi seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis
dan pneumonia yang menurun; produksi sputum pada bronchitis,
pneumonia, faringitis yang berkurang; produksi sekret hidung berkurang
dan nyeri muka pada kasus sinusitis menghilang; nyeri tenggorokan pada
faringitis menghilang.
b. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi :
efek samping obat, alergi, interaksi obat. ROB yang banyak dijumpai
pada penanganan infeksi saluran napas adalah:

Alergi akibat pemakaian kotrimoksazol, ciprofloxacin, dan

penicillin V.
Gangguan saluran cerna seperti mual, diare pada pemakaian

eritromisin, klindamisin, tetrasiklin.


Efek samping pemakaian antihistamin derivat H1- Bloker seperti
kantuk, mulut kering.

Pelaksanaan monitoring terapi obat bagi pasien di apotek memiliki


keterbatasan bila dibandingkan dengan di rumah sakit, antara lain kesulitan
untuk mengikuti perkembangan pasien setelah keluar dari apotek. Metode yang
paling tepat digunakan adalah monitoring melalui telpon baik Apoteker telpon
kepada pasien maupun sebaliknya pasien melaporkan pertelpon tentang kejadian
yang tidak diharapkan kepada Apoteker. Khususnya dalam memonitor terjadinya
ROB, perlu disampaikan ROB yang potensial akan terjadi serta memiliki
signifikansi secara klinik dalam konseling kepada pasien. Selain itu pasien
dihimbau untuk melaporkan kejadian yang dicurigai ROB kepada Apoteker.
Selanjutnya Apoteker dapat menyusun rekomendasi terkait ROB tersebut.
3. Rencana Konseling
Rencana konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan
disampaikan. Pada kasus infeksi saluran pernapasan, pokok-pokok materi
konseling meliputi:

Tanda-tanda

alergi/hipersensitivitas,

Steven-Johnson

pada

antibiotika yang dicurigai berpotensi besar, contoh: kotrimoksazol.


Penghentian terapi bila dijumpai tanda hipersensitivitas
Kontinuitas terapi sampai dengan antibiotika habis untuk

meminimalkan risiko resistensi.


Langkah-langkah penanganan ROB, agar pasien tidak begitu saja

menyetop terapi setelah mengalami ROB.


Perhatian (caution) yang harus disampaikan pada saat meminum
antibiotika seperti cara minum ( sebelum atau sesudah makan),
harusdiminum dengan air minum yang banyak untuk preparat

sulfonamide untuk menghindari kristaluria.


Terapi suportif pada faringitis, bronchitis

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis lembar resep ISPA pasien Ny. X yang diterima dan
dilayani oleh Apotek Kimia Farma No. 2 Senen, Jalan Senen Raya No. 66 Jakarta
Pusat 10410 pada bulan September 2016 dapat disimpulkan bahwa:

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari.


Saluran nafas yang dimaksud adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli

paru beserta organ adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah, dan pleura.
Berdasarkan hasil kajian pertimbangan klinis, resep yang diterima rasional
sehingga dapat diproses untuk penyiapan obat dan diserahkan ke pasien,
namun masih ada data yang perlu dilengkapi seperti berat badan pasien dan

nomor telepon dokter pada bagian kelangkapan adminsitratif, bentuk dan


kekuatan sediaan pada bagian kesesuaian farmasetik.
5.2 Saran

Sebaiknya apoteker berperan aktif dalam menjalin komunikasi dan kerjasama


dengan dokter penulis resep terkait terutama pada saat ditemukannya resep

yang kurang jelas atau kurang sesuai menurut literatur yang valid.
Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien tidak hanya mengenai
terapi yang sedang diterima tetapi juga mengenai terapi non farmakologi yang
dapat memperbaiki kualitas hidup pasien serta motivasi untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani terapinya.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (2006). Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Djuanda, Adhi., et al. (2015). MIMS Petunjuk Konsultasi. (Ed 15). Jakarta:
Infomaster Lisensi
Ikatan Apoteker Indonesia. (2014). Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: ISFI
Penerbitan

Anda mungkin juga menyukai