Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Dalam negara modern secara garis besar

dikenal tiga pemegang

kekuasaan negara, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan


yudikatif. Dalam penerapan ditemukan berbagai variasi dan bentuk di berbagai
negara, ada yang memakai pola pemisahan kekuasaan (separation of power), ada
yang menggunakan pembagian kekuasaan deviation of power), di beberapa negara
ditemukan bahwa kekuasaan negara ternyata tidak hanya bertumpu pada konsep
trias politica saja sebagai state primery institution (kekuasaan eksekutif, legislatif
dan yudikatif), tetapi ada kebutuhan untuk menyelenggarakan kekuasaan lainya
yaitu kekuasaan bidang perbantuan (state auxiliary institution) yang bersifat
konsultatif,

pertimbangan

atau

kepenasehatan

(consultative

power)

dan

pengawasan (examinative power). Hal ini dikaenakan bahwa penyelenggaraan


negara tidak ditentukan oleh tiga pilar kekuasaan besar itu, tetapi juga dipengaruhi
oleh budaya dan pilihan politik dari negara yang bersangkutan. Namun satu hal
yang sama dan dijumpai dalam setiap Negara yang menganut trias politika, baik
dalam arti pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, khusus untuk
cabang kekuasaan yudikatif, dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah
bebas daricampur tangan badan eksekutif.
Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu Negara
hukum. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan
eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas
yudikatifnya. Cara untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif

yaitu pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim permanen,
seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai saat pensiun, selama berkelakuan baik
dan tidak tersangkut kejahatan. Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif
yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal
Indonesia atas rekomendasi badan legeslatif.
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah
dilembagakan melalui perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945
adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis.
Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Hasil
perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama
lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances),
mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak
asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari
sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Amandemen UUD 1945
menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan
jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem
perwakilannya.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut
merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi
Indonesia sebagai suatu negara hukum.

Prinsip ini menghendaki kekuasaan

kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk
apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,

ada jaminan

ketidak berpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.


Fungsi ini lazimnya dijalankan oleh suatu lembaga yang disebut dengan
lembaga peradilan, yang berwenang melakukan pemeriksaan, penilaian dan
memberikan putusan terhadap konflik. Wewenang yang sedemikian itulah yang
disebut sebagai kekuasaan kehakiman yang dalam peraktiknya dilaksanakan oleh
hakim.1
Sedangkan suatu pengadilan yang mandiri, tidak memihak, kompeten,
transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum,
pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua
non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.
Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakkan hukum dan keadilan dan pada
umumnya kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana penegakan
hukumnya. Hal ini dapat kita lihat dan ketahui dari beberapa Negara maju dan
mulai maju.
Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman disini adalah kekuasaan
untuk mengadili. Berdasarkan Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang pokokpokok kekuasaan kehakiman, kekuasaan kehakiman ini dilakasanakan oleh
lembaga pengadilan yang berpuncak kepada Mahkamah Agung.2
1
2

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 24-25.
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty 2007), hlm 47

Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan diperlukan adanya unsurunsur sebagai berikut:
a. Adanya sengketa yang konkrit
b. Yang bersengketa sekurang-terdiri dari dua pihak.
c. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang dapat di terapkan
terhadap sengketa tersebut.
d. Adanya suatu apratur peradilan yang mempunyai kewenangan
memutus sengketa hukum tersebut.
Dapat disimpulkan, bahwa pengawasaan terhadap perbuatan aparat
pemerintah oleh kekuasaan kehakiman, selalu akan berbentuk pengawasan yang
bersifat reprensif. Maksudnya pengawasaan tersebut dilakukan setelah ada
perbuatan konkrit dari aparat pemerintah yang dianggap merugikan pihak lawan
berbuat.
Berdasarkan UU No. 14/1970 (UU tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman) pengaturan terhadap peradilan indonesia menggunakan multi
jurisdiction system. Maksudnya di Indonesia terdapat lebih dari satu macam
peradilan. Kenyatannya berdasarkan UU tersebut dikenal adanya 4 macam
peradilan, yakni:
a.
b.
c.
d.

Peradilan Umum
Peradilan Militer
Peradilan Agama
Peradilan Tata Usaha Negara

Berdasarkan UU No. 14/1970 keempat peradilan tersebut secara


operasional dan fungsional bertanggung jawab kepada Mahkamah Agung, akan
tetapi secara administratif finansial bertanggung jawab kepada departemen

masing-masing. Ini berarti bahwa kualitas keadilan dari putusan hakim,


Mahkamah Agung lah yang berhak menilai, melalui pemeriksaan kasasi.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan
bahwa: Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Yudisial alaha lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di tinjau dari
segi tata negara, kekuasaan kehakiman identik dengan badan yudikatif. Menurut
pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang. Kemudian dalam
penjelasan pasal 24 dan 25 ditegaskan: kekuasaan kehakiman kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah Berhubung dengan

itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tetang kedudukan para


hakim.3 Penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang
merdeka mengandung pengertian bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
lainnya. Walaupun demikian, kebebasaan itu sifatnya tidak mutlak karena hakim
bertugas menegakkan hukum dan keadilan dengan jalan menafsirkan hukum dan
mencari dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya melalui perkara-perkara
yang diproses di pengadilan sehingga putusannya mencerminkan perasaan
keadilan masyarakat.4 Berdasarkan latar belakang ini permasalahan yang tarik
bagaimanakah analisis yuridis terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka?

BAB II
PEMBAHASAAN
Fiat Justitia, ruat coelum (tegakkan keadilan meskipun langit akan
runtuh). Demikian semboyan para penegak hukum, termasuk semboyan dari pada
3

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU NO.


7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),hlm98.
Cik Hasan Bisri, Pengadilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998), hlm 143

korps pemakai toga, yaitu hakim. Karena ditangan para hakum tedapat tugas
mulia dalam menegakkan keadilan, terlebih lagi karena ditangan para hakim
terdapat palu yang akan memutus suatu perkara, sehingga menyebabkan banyak
putusan penting dalam hidup manusia ada di tangan hakim ini.
Dewasa ini, hakim indonesia di lingkungan Mahkamah Agung diikat oleh
kode etik dan pedoman perilaku hakim yang tertuang dalam bentuk keputusan
bersama ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009.5 Kode
etik dan pedoman perilaku hakim ini disusun dengan kesadaran bahwa pengadilan
yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan
berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan
mutlak dalm sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar
utama dalama penegakkan hukum dan keadilan serta proses pembangunan
peradaban bangsa. Tegakknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap
keluhuran nilai kemanusiaan menjadi persyaratan tegakknya martabat dan
integritas Negara. Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dama proses
integritas, kecerdasaan moral dan meningkatkan profosionalisme dalam
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Oleh sebab itu, semua
wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
mengegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak
membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim,
dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum.

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.


047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menurut tanggung
jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah
Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan kewajiban
mengegakkan hukum, kebenanran dan keadilan itu wajib di pertanggungjwabkan
secara

horizontal

kepada

semua

manusia,

dan

secara

vertikal

di

pertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan suatu


pengadilan sebagaimana diatas, perlu terus diupayakan secara maksimal tugas
pengawasaan secara internal dam eksternal oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia. Wewenang dan tugas
pengawasaan tersebut diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim
sebagai sebagai pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi,
jujur, dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan
pencari keadilan.
Salah satu hal penting yang disoroti masyarakat untuk mempercayai
hakim, adalah perilaku yang bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun dalam kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan wewenang
itu, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta etika perilaku hakim. Berdasarkan wewenang dan tugas sebagai
pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim dilambangkan dalam katika,
cakra, candra, sari, dan tirta dimana arti dari lambang tersebut6

Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus), (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 100

Kartika, berarti seorang hakim harus memiliki sifat percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cakra, berarti seorang hakim harus memiliki sikap mampu memusnahkan
segala kebatilan, kezaliman, dan ketidakadilan.
Candra, berarti seorang hakim harus memiliki sifat bijaksana dan
berwibawa.
Sari, berarti seorang hakim harus berbudi luhur dan berkelakuan tidak
tercela.
Tirta, berarti seorang hakim harus bersifat jujur.
Apabila dilihat dari sifat para hakim seperti yang dilambankan dalam
Panca Dara Hakim tersebut, terlihat betapa muliannya sifat korps hakim ini.
memang harus demikian, mengingat di tangan para hakimlah butir-butir keadilan
akan mengalir lewat putusan-putusa yang diberikannya.cerminan perilaku hakim
yang harus senntiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim
dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan para prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa, adil, bijaksana, dan berwibawa, berbudi luhur dan jujur.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keleluhuran martabat
serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan harus diimplementasikan secara konkreat dan konsisten baik dalam
menjalankan tugas yudisialnya maupun diluar tugas yudisialnya, sebab hal itu
berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan dan
kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan
9

sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan.


Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan
pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses pengembalian keputusan
yang bukan saja berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa
keadilan dan kearifan dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedomana Perilaku Hakim
diimplementasikan dala 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai beriku:7
1.
Berprilaku adil
Prinsip berprilaku adil, prinsip yang paling dasar dari keadilan adalah
memberikan perlakuan dan memberi kesamaan yang sama terhadap setiap orang.
Oleh karenannya harus selalu berprilaku adil dan tidak membeda-bedakan orang.
Secara spesifik, hakim diharuskan untuk mendengar kedua belah pihak, hakim
harus memberikan kesemptan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari
keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum
di pengadilan, hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara
diluar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan
demi kepentingan persidangan.
2.
Berprilaku Jujur
Dalam kaidah penerapannya, secara umum, ditentukan bahwa setiap
hakim harus berprilaku jujur dan menghindari perilaku yang tercela, hakim harus
memastikan memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik
didalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan
kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara,
sehingga tercerimin sikap ketikadakpastian hakim dan lembaga peradilan. Hakim
tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah anggota keluarga hakim
untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan pemebrian,
7

Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta:Sinar Grafika,


2014), hlm 162

10

penghargaan, dan pinjaman fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang diadili,
pihak yang mugkin akan diadili, pihak yang berkepentingan langsung maupun
tidak langsung dalam perkara yang diadili, yang dianggap bertujuan atau
mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya. Pemebrin tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana
dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam undang-undang tindak pidana
korupsi.
3.
Berprilaku Arif dan Bijaksana
Dalam kaidah penerapannya secara umum dinyatakan bahwa hakim wajib
menghindari sikap tercela, hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota
profesi hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari
situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap berpihak, hakim dilarang
mengadili perkara dimana anggota keluarga hakim yang bersangkutan yang
bertindak, hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh
seorang suatu profesi hukum, hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisial
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya, hakim dilarang
menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak
ketiga lainnya, hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya
dalam proses pengadilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang
dan tugas yudisialnya, hakim berhak melakukan kegiatan ekstra yudisial, dan
dapat membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim. Sedangkan secara
spesifik, pemberian pendapat atau keterangan kepada publik, hakim dilarang,
mengelurakan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi,
menghambat, atau menganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil,
independen, dan tidak memihak, hakim tidak boleh memberi keterangan atau

11

pendapat mengenai substansi suatu perkara diluar proses persidangan pengadilan.


Terkait dengan kegiatan keilmuan, sosial kemasyarakatan dan kepartaian hakim
dapat menulis, memberi kuliah mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan
keilmuan atau supaya upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum,
administrasi peradilan dan non-hukum, hakim tidak boleh menjabat sebagai
pengurus atau anggota organisasi niralaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum,
sistem hukum, administrasi peraildan, hakim tidak boleh menjadi pengurus atau
anggota partai, hakim dapat beradaptasi dalam kegiatan kemasyarakataan dan
amal yang tidak mengurangi sikap netral hakim.
4.
Bersikap Mandiri
Sikap mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak
lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap
mandiri mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh
pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral ketentuan
hukum yang berlaku.
5.
Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur
dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada haikaktnya terwujud pada sikap setia
dan tangguh berpegangan pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas.
6.
Bertanggung Jawab
ikap bertanggung bermakna

kesediaan

dan

keberanian

untuk

melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan


tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
7.
Menjunjung Tinggi Harga Diri
arga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan
kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

12

Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim akan mendorong dan
membentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan marabat sebagai
apratur peradilan.
8.
Berdisiplin Tinggi
isiplin bermakna ketatanan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang
diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan
masyarakat perncari keadilan.
9.
Berperilaku Rendah Hati
Sikap rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasaan kemampuan diri, jauh
kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
10.
Bersikap Profesional
Sikap profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad
untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang
didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
Dalam hal ini seorang hakim di awasi oleh Lembaga negara Komisi Yudisial yang
disingkat (KY) sudut pandang dan makna keadilan bagi masyarakat dalam menilai
setiap perundang-undangan, dan ataupun putusan pengadilan adalah berdasarkan
pada standar etik yang mereka pahami sebagai sebuah keharusan yang memang
harusnya demikian sebuah norma yang diterapkan. Kontekstualisasi pemaknaan
demikian salah satunya tercermin dari penolakan 31 (tiga puluh satu) orang hakim
agung terhadap keterlibatan KY melakukan pengawasan terhadap hakim
Mahkamah Agung (MA) yang kemudian mereka berusaha menarik hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bagian yang tidak dapat pula diawasi KY,
sehingga muncullah putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian
undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, yang substansinya justru menguatkan

13

peran KY dalam mengawasi hakim MA dan hakim-hakim yang ada di bawah


lingkungan MA serta mengecualikan hakim MK dari pengawasan KY.
Mengingat terjadinya kekosongan hukum pengawsan yang dilakukan KY sebagai
akibat ketidakpastian hukum pelaksanaan kegatan tersebut, DPR bersama presiden
melakukan perubahan terhadap paket UU kekuasaan kehakimana sebagaimana
diserahkan dalam putusan MK
Pengawasan terhadap hakim yang dilakukan KY sebagaimana diatur
dalam UU Kekuasaan Kehakiman 2004, dan perubahan UU KY 2011 diakui
sebagaimana hukum yang sesuai dengan kehendak Pasala 24 B UUD 1945.
Namun demikian, terkait pengawasan yang dilakukan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang dua anggotanya berasal dari unsur DPR dan
pemerintah, terhadap hakim konstitusi sebagiamana diatur dalam Pasal 27 Aayat
(2) UU Nomor 8 tahun 201, yang sejatinya merupakan penjabaran lebih lanjut
dari Pasal 23 UUMK dan Pasal 44 UU Kekuasaan Kehakiman oleh sejumlah
pemikir ketatanegaraan Indonesia dipandang sebagai pilihan politik yang dapat
mempengaruhi independensi MK< karenannya harus dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945.
Fungsi dan kedudukan organ pengawas hakim sebagaimana uraian-uraian
tersebut diatas tersebut diatas apabila dikaitkan dengan sudut pandang Friedman
yang menjadikan fungsi hukum sebagai sistem alokasi menimbulkan beberapa
permasalahan akademik anatara lain: bagaiamana hukum mengatur pengawasa
hakim? Bagaimana hukum mengawasi hakim? Perlakuan hukum bagaimanakah
yang adil dalam mengawasi hakim? Dan apakah mengawasi hakim dapat
memberikan keuntungan atau justru merugikan?

14

Norma Hukum Pengawasan Hakim, kekuasaan kehakiman yang


dilaksanakan MA dan badan kehakiman lainnya merupakan salah satu lembaga
negara yang sejak sebelum kemerdekaan telah eksis, yaitu Mahkamah Agung
Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia (Het Hooggerechtshoof vor Indonesia,
selanjutnya di tulis HGH). HGH merupakan peradilan kasasi dan pengadilan
banding bagi putusan Raad van Justietie (RV).8 Sedangkan bagi pribumi atau yang
dipersamakan, HGH merupakan RV, sebagai peradilan tingkat banding dan
landraad sebagai peradilan tingkat pertama.9 Sebagai pengadilan tertinggi HGH
juga bertugas/berwenang untuk:
a.

Mengawasi jalannya peradilan di seluruh indonesia sehingga dapat

b.
c.
d.

berjalan secara patut dan wajar


Mengawasi perbuatan/kelakuan hakim serta pengadilan-pengadilan
Memberi teguran-teguran apabila diperlukan
Berhak minta laporan, keterangan-keterangan dari semua pengadilan
baik sipil maupun militer, pokok Jendral dan lain pejabat penuntut
umum.

Pasca perubahan empat kali UUD Tahun 1945, struktur organisasi negara
dibentuk dengan separation of power menempatkan MA dan lembaga negara
lainnya sederajat, tidak lagi terdapat nomenklatur lembaga tinggi dan tertinggi
negara. Secara radikal, hakim di semua tingkat merupakan pejabat negara, dengan
pembinaan dan pengawasan teknis yudisial dan non yudisial berada dalam kendli
MA/MK. Disamping itu, untuk menjaga agar peradilan dijalankan secara seksama
dan sewajarnya, ketua pengadilan negeri dan banding melakukan pengawasan
8

A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal MA: Redefensi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung
Untuk Membangun Indonesia Baru, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001), hlm 181.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tatanegara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakjat,
1983), hlm 97

15

terhadap pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim. Akan tetapi, untuk tidak
terjadi semangat melindungi lembaga dan penyalahgunaan independensi dalam
menjalankan wewenangnya, pengawasan perilaku hakim tidak lagi merupakan
monopoli lembaga peradilan, melainkan dibentuk organ konstitusi lain, Komisi
Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Disamping pengawasan dilakukan organ konstitusi tersebut, terhadap
perbuatan dan pelayananan umum pejabat publik termasuk badan peradilan,
terhadap pengawasan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang dilakukan
Komisi Ombudsman Nasional (KON).
Adapun tolak ukur pengawasan perilaku hakim selain dalam bentuk
syarat administratif kelayakan jabatan, norma larangan-larangan tertentu
disertai sanksi dalam undang-undang paket kekuasaan kehakiman, juga
terdapat

dalam

Kode

Kehormatan

Hakim

(KKH) Tahun

1966,

yang

selanjutnya disempurnakan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) XIII


Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) 2002. Hanya saja, KKH tersebut bersifat
umum (general) dan tidak aflikatif.

16

BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis pada kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka
hakim juga mempunyai sebuah kode etik yang masing-masing mencerminkan
bagaimana sifat dan sikap serta perilaku seorang hakim, karena hakim memiliki
kekuasaan yang bebas undang-undang menyatakan harus ada lembaga yang
mengawasi Mahkamah Agung yang dalah hal ini diberikan kepada Komisi
Yudisial yang sifatnya lembaga independen, dimana prosedur pengawasan hakim
diatur dengan mekanisme internal oleh MA sebagai pembina institusi melalui
mekanisme upaya hukum dan pengawasan perilaku, serta KY sebagai pengawas
eksternal terhadap perilaku hakim agung dan hakim di bawah MA. Sedangkan
hakim konstitusi diawasi secara internal tanpa keterlibatan lembaga luar. Terdapat
ketidakadilan pengaturan norma pengawasan hakim. Jiks hakim agung dan badan
peradilan dalam lingkungan MA diawasi secara eksternal oleh KY dan internal
oleh MA, MK hanya diawasi lembaga buatan internal sendiri.
Kedudukan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian
dari kekuasaan negara dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang
Undang Dasar telah memiliki kemerdekaan dan kemandirian, karena sudah tidak
tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi keorganisasian, keuangan,
administrasi yang sebelumnya tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan
berpengaruh pada aspek yudisial. Suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan
mandiri merupakan kunci berfungsinya sistem hukum dengan baik dalam suatu
17

negara hukum. Maka untuk itulah ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim
dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat
dan mendalam kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya
bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi
lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
undang-undang dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini seorang hakim
dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam melaksanakan
aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim
terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak
langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak
lain di luar peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap
kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif
yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan
memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi
hukum materiil. Hukum formil atau acara merupakan batas normatif yang bersifat
absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Oleh karena batas normatif
yang bersifat absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh
disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan
memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak
sahnya putusan hakim.

18

Daftar Pustaka
Arto, A Mukti, 2001. Konsepsi Ideal MA: Redefensi Peran dan Fungsi
Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Asshiddiqie, Jimly, 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta:Sinar
Grafika.
Bisri, Cik Hasan, 1998. Pengadilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Fuady, Munir, 2005. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya, 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU NO. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
047/KMA/SKB/IV/2009

dan

Ketua

Komisi

Yudisial

No.

02/SKB/P.KY/IV/2009
Lubis, Suhrawardi K., 1994. Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
Muchsan, 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Prodjodikoro, Wirjono, 1983. Asas-asas Hukum Tatanegara Indonesia, Jakarta:
Dian Rakjat.

19

Anda mungkin juga menyukai