Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman
PENDAHULUAN
Dalam negara modern secara garis besar
pertimbangan
atau
kepenasehatan
(consultative
power)
dan
yaitu pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim permanen,
seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai saat pensiun, selama berkelakuan baik
dan tidak tersangkut kejahatan. Hakim biasanya diangkat oleh badan eksekutif
yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas persetujuan senat atau dalam hal
Indonesia atas rekomendasi badan legeslatif.
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah
dilembagakan melalui perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945
adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis.
Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali. Hasil
perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama
lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances),
mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak
asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari
sebuah negara demokrasi dan negara hukum. Amandemen UUD 1945
menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan
jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem
perwakilannya.
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut
merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi
Indonesia sebagai suatu negara hukum.
kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk
apapun sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,
ada jaminan
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 24-25.
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty 2007), hlm 47
Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan diperlukan adanya unsurunsur sebagai berikut:
a. Adanya sengketa yang konkrit
b. Yang bersengketa sekurang-terdiri dari dua pihak.
c. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang dapat di terapkan
terhadap sengketa tersebut.
d. Adanya suatu apratur peradilan yang mempunyai kewenangan
memutus sengketa hukum tersebut.
Dapat disimpulkan, bahwa pengawasaan terhadap perbuatan aparat
pemerintah oleh kekuasaan kehakiman, selalu akan berbentuk pengawasan yang
bersifat reprensif. Maksudnya pengawasaan tersebut dilakukan setelah ada
perbuatan konkrit dari aparat pemerintah yang dianggap merugikan pihak lawan
berbuat.
Berdasarkan UU No. 14/1970 (UU tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman) pengaturan terhadap peradilan indonesia menggunakan multi
jurisdiction system. Maksudnya di Indonesia terdapat lebih dari satu macam
peradilan. Kenyatannya berdasarkan UU tersebut dikenal adanya 4 macam
peradilan, yakni:
a.
b.
c.
d.
Peradilan Umum
Peradilan Militer
Peradilan Agama
Peradilan Tata Usaha Negara
BAB II
PEMBAHASAAN
Fiat Justitia, ruat coelum (tegakkan keadilan meskipun langit akan
runtuh). Demikian semboyan para penegak hukum, termasuk semboyan dari pada
3
korps pemakai toga, yaitu hakim. Karena ditangan para hakum tedapat tugas
mulia dalam menegakkan keadilan, terlebih lagi karena ditangan para hakim
terdapat palu yang akan memutus suatu perkara, sehingga menyebabkan banyak
putusan penting dalam hidup manusia ada di tangan hakim ini.
Dewasa ini, hakim indonesia di lingkungan Mahkamah Agung diikat oleh
kode etik dan pedoman perilaku hakim yang tertuang dalam bentuk keputusan
bersama ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009.5 Kode
etik dan pedoman perilaku hakim ini disusun dengan kesadaran bahwa pengadilan
yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan
berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan
mutlak dalm sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar
utama dalama penegakkan hukum dan keadilan serta proses pembangunan
peradaban bangsa. Tegakknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap
keluhuran nilai kemanusiaan menjadi persyaratan tegakknya martabat dan
integritas Negara. Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dama proses
integritas, kecerdasaan moral dan meningkatkan profosionalisme dalam
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Oleh sebab itu, semua
wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
mengegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak
membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim,
dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum.
Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menurut tanggung
jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah
Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan kewajiban
mengegakkan hukum, kebenanran dan keadilan itu wajib di pertanggungjwabkan
secara
horizontal
kepada
semua
manusia,
dan
secara
vertikal
di
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus), (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 100
Kartika, berarti seorang hakim harus memiliki sifat percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Cakra, berarti seorang hakim harus memiliki sikap mampu memusnahkan
segala kebatilan, kezaliman, dan ketidakadilan.
Candra, berarti seorang hakim harus memiliki sifat bijaksana dan
berwibawa.
Sari, berarti seorang hakim harus berbudi luhur dan berkelakuan tidak
tercela.
Tirta, berarti seorang hakim harus bersifat jujur.
Apabila dilihat dari sifat para hakim seperti yang dilambankan dalam
Panca Dara Hakim tersebut, terlihat betapa muliannya sifat korps hakim ini.
memang harus demikian, mengingat di tangan para hakimlah butir-butir keadilan
akan mengalir lewat putusan-putusa yang diberikannya.cerminan perilaku hakim
yang harus senntiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim
dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan para prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa, adil, bijaksana, dan berwibawa, berbudi luhur dan jujur.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keleluhuran martabat
serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan harus diimplementasikan secara konkreat dan konsisten baik dalam
menjalankan tugas yudisialnya maupun diluar tugas yudisialnya, sebab hal itu
berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan dan
kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan
9
10
penghargaan, dan pinjaman fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang diadili,
pihak yang mugkin akan diadili, pihak yang berkepentingan langsung maupun
tidak langsung dalam perkara yang diadili, yang dianggap bertujuan atau
mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya. Pemebrin tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana
dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam undang-undang tindak pidana
korupsi.
3.
Berprilaku Arif dan Bijaksana
Dalam kaidah penerapannya secara umum dinyatakan bahwa hakim wajib
menghindari sikap tercela, hakim dalam hubungan pribadinya dengan anggota
profesi hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari
situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap berpihak, hakim dilarang
mengadili perkara dimana anggota keluarga hakim yang bersangkutan yang
bertindak, hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh
seorang suatu profesi hukum, hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisial
wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya, hakim dilarang
menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak
ketiga lainnya, hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya
dalam proses pengadilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang
dan tugas yudisialnya, hakim berhak melakukan kegiatan ekstra yudisial, dan
dapat membentuk atau ikut serta dalam organisasi para hakim. Sedangkan secara
spesifik, pemberian pendapat atau keterangan kepada publik, hakim dilarang,
mengelurakan pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi,
menghambat, atau menganggu berlangsungnya proses peradilan yang adil,
independen, dan tidak memihak, hakim tidak boleh memberi keterangan atau
11
kesediaan
dan
keberanian
untuk
12
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim akan mendorong dan
membentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan marabat sebagai
apratur peradilan.
8.
Berdisiplin Tinggi
isiplin bermakna ketatanan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang
diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan
masyarakat perncari keadilan.
9.
Berperilaku Rendah Hati
Sikap rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasaan kemampuan diri, jauh
kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
10.
Bersikap Profesional
Sikap profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad
untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang
didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
Dalam hal ini seorang hakim di awasi oleh Lembaga negara Komisi Yudisial yang
disingkat (KY) sudut pandang dan makna keadilan bagi masyarakat dalam menilai
setiap perundang-undangan, dan ataupun putusan pengadilan adalah berdasarkan
pada standar etik yang mereka pahami sebagai sebuah keharusan yang memang
harusnya demikian sebuah norma yang diterapkan. Kontekstualisasi pemaknaan
demikian salah satunya tercermin dari penolakan 31 (tiga puluh satu) orang hakim
agung terhadap keterlibatan KY melakukan pengawasan terhadap hakim
Mahkamah Agung (MA) yang kemudian mereka berusaha menarik hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bagian yang tidak dapat pula diawasi KY,
sehingga muncullah putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian
undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 4
Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, yang substansinya justru menguatkan
13
14
b.
c.
d.
Pasca perubahan empat kali UUD Tahun 1945, struktur organisasi negara
dibentuk dengan separation of power menempatkan MA dan lembaga negara
lainnya sederajat, tidak lagi terdapat nomenklatur lembaga tinggi dan tertinggi
negara. Secara radikal, hakim di semua tingkat merupakan pejabat negara, dengan
pembinaan dan pengawasan teknis yudisial dan non yudisial berada dalam kendli
MA/MK. Disamping itu, untuk menjaga agar peradilan dijalankan secara seksama
dan sewajarnya, ketua pengadilan negeri dan banding melakukan pengawasan
8
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal MA: Redefensi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung
Untuk Membangun Indonesia Baru, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001), hlm 181.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tatanegara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakjat,
1983), hlm 97
15
terhadap pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim. Akan tetapi, untuk tidak
terjadi semangat melindungi lembaga dan penyalahgunaan independensi dalam
menjalankan wewenangnya, pengawasan perilaku hakim tidak lagi merupakan
monopoli lembaga peradilan, melainkan dibentuk organ konstitusi lain, Komisi
Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Disamping pengawasan dilakukan organ konstitusi tersebut, terhadap
perbuatan dan pelayananan umum pejabat publik termasuk badan peradilan,
terhadap pengawasan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang dilakukan
Komisi Ombudsman Nasional (KON).
Adapun tolak ukur pengawasan perilaku hakim selain dalam bentuk
syarat administratif kelayakan jabatan, norma larangan-larangan tertentu
disertai sanksi dalam undang-undang paket kekuasaan kehakiman, juga
terdapat
dalam
Kode
Kehormatan
Hakim
(KKH) Tahun
1966,
yang
16
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis pada kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka
hakim juga mempunyai sebuah kode etik yang masing-masing mencerminkan
bagaimana sifat dan sikap serta perilaku seorang hakim, karena hakim memiliki
kekuasaan yang bebas undang-undang menyatakan harus ada lembaga yang
mengawasi Mahkamah Agung yang dalah hal ini diberikan kepada Komisi
Yudisial yang sifatnya lembaga independen, dimana prosedur pengawasan hakim
diatur dengan mekanisme internal oleh MA sebagai pembina institusi melalui
mekanisme upaya hukum dan pengawasan perilaku, serta KY sebagai pengawas
eksternal terhadap perilaku hakim agung dan hakim di bawah MA. Sedangkan
hakim konstitusi diawasi secara internal tanpa keterlibatan lembaga luar. Terdapat
ketidakadilan pengaturan norma pengawasan hakim. Jiks hakim agung dan badan
peradilan dalam lingkungan MA diawasi secara eksternal oleh KY dan internal
oleh MA, MK hanya diawasi lembaga buatan internal sendiri.
Kedudukan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai salah satu bagian
dari kekuasaan negara dan penyelenggara negara setelah amandemen Undang
Undang Dasar telah memiliki kemerdekaan dan kemandirian, karena sudah tidak
tergantung lagi kekuasaan eksekutif yang meliputi keorganisasian, keuangan,
administrasi yang sebelumnya tergantung pada eksekutif dan hal tersebut akan
berpengaruh pada aspek yudisial. Suatu kekuasaan kehakiman yang bebas dan
mandiri merupakan kunci berfungsinya sistem hukum dengan baik dalam suatu
17
negara hukum. Maka untuk itulah ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim
dalam menjalankan keadilan sebagai suatu pertanggung jawaban yang lebih berat
dan mendalam kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya
bertanggung jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi
lebih dari itu harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
undang-undang dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari frasa ini seorang hakim
dalam pelaksanaan tugasnya bersifat bebas dan mandiri dalam melaksanakan
aturan hukum dan peristiwa yang terjadi yang diajukan kepadanya.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim
terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak
langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak
lain di luar peradilan. Hukum materiil merupakan batas normatif terhadap
kebebasan kekuasaan kehakiman yang bersifat relatif. Oleh karena batas normatif
yang bersifat relatif, maka dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan
memutuskan suatu perkara, dalam keadaan tertentu hakim dapat menyimpangi
hukum materiil. Hukum formil atau acara merupakan batas normatif yang bersifat
absolut terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman. Oleh karena batas normatif
yang bersifat absolut, maka hukum acara harus dilaksanakan dan tidak boleh
disimpangi oleh hakim dalam melaksanakan tugas mengadili, memeriksa dan
memutus suatu perkara. Pelanggaran terhadap hukum acara mengakibatkan tidak
sahnya putusan hakim.
18
Daftar Pustaka
Arto, A Mukti, 2001. Konsepsi Ideal MA: Redefensi Peran dan Fungsi
Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Asshiddiqie, Jimly, 2014. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta:Sinar
Grafika.
Bisri, Cik Hasan, 1998. Pengadilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Fuady, Munir, 2005. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya, 2009, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU NO. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika.
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
047/KMA/SKB/IV/2009
dan
Ketua
Komisi
Yudisial
No.
02/SKB/P.KY/IV/2009
Lubis, Suhrawardi K., 1994. Etika Profesi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.
Muchsan, 2007. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah
dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Prodjodikoro, Wirjono, 1983. Asas-asas Hukum Tatanegara Indonesia, Jakarta:
Dian Rakjat.
19