Anda di halaman 1dari 19

Kontak Pertama Islam

dengan Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Yunani

Secara substansial maupun historis, filsafatlah yang menjadi cikal


bakal atau yang melatarbelakangi kelahiran ilmu pengetahuan. Dalam proses
perkembangannya, filsafat dan ilmu pengetahuan tetap menjadi dua hal yang
tidak terpisahkan. Kelahiran ilmu pengetahuan tidak terlepas dari peranan
filsafat,

dan

sebaliknya

perkembangan

ilmu

pengetahuan

semakin

memperkuat keberadaan atau eksistensi filsafat. Islam sangat menganjurkan


kepada pemeluknya untuk banyak berpikir (menggunakan akal), dan
memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya. Allah SWT berfirman:





Sungguh pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orangorang yang berakal. (Q.S. Al-Imran [3]: 190)
Fakta sejarah juga telah membuktikan bahwa kemajuan dan
perkembangan peradaban Islam, salah satunya ilmu pengetahuan, tidak
terlepas dari pengaruh masuknya filsafat ke dalam dunia Islam, yaitu filsafat
dan ilmu pengetahuan Yunani.

Pra Keislaman
Dalam rekaman sejarah, terjadinya kontak antara umat Islam dengan
filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani didahului oleh kontak langsung antara
dunia Arab dan Yunani sebelum Islam melalui Syria, Mesopotamia, dan
Mesir. Filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani datang ke daerah-daerah ini
ketika penaklukan Alexander Agung ke timur pada abad ke empat (331 SM).

Alexander Agung mempersatukan orang-orang Yunani dan Persia dalam satu


Negara besar dengan cara (Nasution, 1985:54) :
1. Mengangkat pembesar dan pembantunya dari orang Yunani dan
Persia;
2. Mendorong perkawinan campuran antara Yunani dan Persia;
3. Alexander Agung sendiri menikah dengan Statira, putri Darius, Raja
Persia yang kalah perang;
4. Mendirikan kota-kota dan pemukiman-pemukiman yang dihuni
bersama oleh orang-orang Yunani dan Persia.
Ketika datang ke Timur Tengah (4 SM), Alexander Agung tidak
hanya membawa kaum militer, tetapi juga kaum sipil. Tujuannya buka hanya
melakukan ekspansi daerah kekuasaannya keluar Macedonia, tetapi juga
menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk
itu, ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya dengan
penduduk setempat. Dengan demikian, maka berkembanglah filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah dan timbullah pusat-pusat
peradaban Yunani seperti Iskandariyah di Mesir, Antokia di Suriah, Selopsia
serta Jundisapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran (Boy, 2003:31).
Diantara bekas-bekas pengaruh Helenisme1 di daerah-daerah ini ialah bahasa
administrasi yang dipakai adalah bahasa Yunani, bahkan di Mesir dan Suriah
bahasa ini tetap dipakai sesudah masuknya Islam, hingga abad ke tujuh oleh
Khalifah Abdul Malik Ibnu Marwan (685-705 M) diganti dengan bahasa
Arab (Nasution, 1973:8). Boleh dikatakan hal ini merupakan awal
persentuhan Yunani dengan dunia Arab, yang dapat pula diartikan sebagai
babak pendahuluan masuknya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dunia
Islam.
1

Bisa disebut juga Kebudayaan Yunani. Helenisme berasal dari kata hellenizein,
yang berarti berbahasa Yunani atau menjadikan Yunani. Lihat Wiramihardja, 2006:46-51;
Hadiwijono, 1980:15-69.

Titik Tolak Keilmuan Islam


Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu
kebudayaan yang asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain,
yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan
pemahaman filosofisnya (Bakhtiar, 2009:35). Dan perlu diingat bahwa sejak
zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rasyidin, pertumbuhan ilmu
pengetahuan berlangsung sangat pesat.
Sejak awal kelahirannya, Islam telah memberikan penghargaan yang
begitu besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan filsafat. Jika dilacak awal
sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu pengetahuan tumbuh
bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri, ketika wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yaitu perihal membaca (QS. Al`Alaq, ayat 1-5).
Ilmu dan budaya Islam, dan secara umum peradaban Islam, perlahanlahan tumbuh, berkembang, dan berbuah. Layaknya setiap makhluk hidup
yang awalnya berupa sel dan perlahan-lahan, karena potensi dan modal
kehidupan yang tersembunyi dalam sel tersebut, mulai berkembang dan
seiring dengan perkembangnnya, kemudian menjadi bagian-bagian dan
berbentuk, lalu pada akhirnya menjadi sebuah bentuk yang terhormat.2
Gelora dan gerakan keilmuan umat Islam bermula dari Madinah.
Kitab pertama yang menarik pikiran kaum Muslimin untuk belajar dan
menuntut ilmu pengetahuan adalah al-Qur`an, kemudian hadis. Demikianlah
pusat keilmuan pertama didirika di Madinah. Untuk pertama kalinya, orangorang Arab Hijaz mengenal istilah guru dan murid, duduk di lingkaran
pelajaran, menghafal, dan mencatat apa yang didengar dari guru. Kaum
muslimin, dengan semangat keseriusan yang luar biasa, mempelajari ayat-

Ghulam Reza Awani, et.al., Islam, Iran, dan Peradaban (Yogyakarta: Rausyan
Fikr Institute, 2012), hlm. 38.

ayat al-Qur`an yang secara bertahap diturunkan, menghafal, dan menanyakan


hal-hal yang tidak diketahui kepada orang-orang yang ditugaskan Nabi
Muhammad SAW untuk menulis ayat-ayat al-Qur`an, yang dikenal dengan
kuttab (para penulis) wahyu. Disamping itu, berdasarkan pesan-pesan Nabi
Muhammad SAW yang disampaikan berulang kali, mereka mendiskusikan
sabda-sabda yang dikenal dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW,
membentuk perkumpulan-perkumpulan belajar di Mesjid, dan Nabi dapat
melakukan pembahasan serta dialog mengenai permasalahan agama Islam
dan aktifitas belajar-mengajar.3
Setelah Madinah, Irak menjadi tempat perkembangan ilmu. Di Irak,
dua kota terkenal, Basrah dan Kufah, awalnya merupakan pusat ilmu.
Namun, setelah didirikannya Baghdad, kota tersebut menjadi pusatnya, dan
disitulah ilmu-ilmu bangsa lain berpindah ke dunia Islam. Setelah itu, Rey,
Khorasan, Mesopotamia, Mesir, Syam, Andalusia, dan lain-lain, masingmasing menjadi sebuah sekolah ilmu pengetahuan.4
Jurji Zaydan, setelah menyebutkan semangat dan motivasi umara dan
penguasa Muslim sebagai faktor yang sangat efektif, mengatakan, Didikan
dan kecintaan ilmu oleh para pembesar Islam menyebabkan hari demi hari,
karya dan buku dalam area Islam bertamabh dan lingkaran penelitian
semakin luas. Raja, menteri, pejabat, yang mampu dan tdak mampu, orang
Arab, Iran, Romawi, India, Turki, Yahudi, Mesir, Kristiani, Dailami, Suryani,
Syam, Mesir, Irak, Persia, Khorasan, Transoxiana, Sand, Afrika, Andalusia,
dan lain-lain, siang dan malam sibuk menulis, menyusun, dan mengarang.
Ringkasnya, dimananpun Islam berkuasa, ilmu dan adab akan maju pesat
dengan cepat. Ringkasan penelitian manusia dan pembahasan-pembahasan
penting dari ilmu pengetahuan alam, teologi/akidah, tekstual, matematika,

3
4

Ghulam Reza Awani, et.al., Islam, Iran, dan Peradaban, hlm. 39.
Ghulam Reza Awani, et.al., Islam, Iran, dan Peradaban, hlm. 39.

sastra, rasional terkumpul dalam buku-buku. Dari hasil riset-riset ulama


Islam, ilmu-ilmu tersebut memiliki berbagai cabang.5
Pada mulanya ketika ilmu-ilmu luar diterjemahkan dan dinukil,
mayoritas ilmuwan terdiri dari ilmuwan Kristen, terutama Kristen Suryani.
Akan tetapi, kaum muslimin mengambil alih secara perlahan. Jurji Zaydan
berkata, Para khalifah Abbasyiah menabur benih ilmu dan adab di Baghdad
pada periode kebangkitan dan hasilnya didapat secara perlahan di Khorasan,
Rey, Azarbaijan, Transoxiana, Mesir, Syam, Andalusia, dll. Sementara itu,
pada saat yang sama, Baghdad yang menjadi pusat khilafah dan kekayaan
Islam hingga beberapa lama, tetap sama seperti sebelumnya, masih menjadi
pusat para cendikiawan dan ilmuwan. Terlepas dari para tabib/dokter
Kristiani yang bekerja melayani para khalifa dalam penerjemahan dan
pengobatan, beberapa ilmuwan Muslim juga beranjak ke Baghdad. Akan
tetapi secara keseluruhan, ilmuwan besar yang bermukin di Baghdad
mayoritas Kristiani yang datang dari Irak dan seluruh penjuru lain untuk
diperbantukan di instansi para khalifah. Ilmuwan Islam biasanya muncul di
luar Baghdad, terutama ketika kerajaan-kerajaan kecil Islam bermunculan
dan para rajanya, dengan mengikuti para khalifah, berusaha dalam
menyebarkan ilmu dan adab serta memanggil para ilmuwan ke pusat-pusat
pemerintahan mereka, seperti Kairo, Ghazni6, Damaskus, Nishabur, Estakhr7,
dll. Hasilnya, muncullah Razi dari Rey, Ibn Sina dari Bukhara (Turkestan),
Biruni dari Birun (Sand), Ibn Jalil ahli botani, Ibn Bajah sang filsuf, Ibn

Torikh va Tamaddon-e Eslom (Sejarah dan Peradaban Islam), terjemahan Persia,

hlm. 264.
6

Di pusat timur Afghanistan.


Estakhr (dalam bahasa Parsi: )adalah sebuah kota kuno yang terletak di Iran
selatan, Provinsi Fars, lima kilometer sebelah utara Persepolis.
7

Zuhreh seorang dokter dan keluarganya, Ibn Rusyd filsuf, serta Ibn Rumiah
ahli botani dari Andalus.8

Filsafat Islam
Secara Etimologi, fiIsafat yang dalam bahasa Inggrisnya philosophy,
berasal dari kata Yunani Philosophia yang lazim diterjemahkan dengan cinta
kearifan. Akar katanya adalah philia yang artinya cinta, dan sophia yaitu
kearifan. Menurut pengertian semula dari zaman Yunani kuno, filsafat
berarti cinta kearifan. Namun cakupan pengertian Sophia yang semula itu
ternyata luas sekali. Sophia tidak hanya berarti kearifan, melainkan juga
meliputi kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebijakan intelektual,
pertimbangan sehat sampai sampai kepandaian pengrajin, dan bahkan
kecerdikan dalam memutuskan hal yang praktis.9
Menurut Cicero, seorang penulis Romawi (106 - 43 SM) orang
yang pertama memakai kata filsafat adalah Pythagoras (497 SM), sebagai
reaksi terhadap cendikiawan dimasanya yang menamakan dirinya ahli
pengetahuan. Pythagoras mengatakan bahwa pengetahuan dalam artinya
yang lengkap tidak sesuai dengan manusia. Tiap-tiap orang mengalami
kesukaran dalam memperolehnya meskipun ia telah menghabiskan segala
umurnya, namun ia tidak akan sampai ketepinya. Karena itu kita ini
menurutnya bukan ahli pengetahuan, namun pencari dan pencinta
pengetahuan atau filosof.10

Torikh va Tamaddon-e Eslom (Sejarah dan Peradaban Islam), terjemahan Persia,

hlm. 257.
9

The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 29.,
dalam Jon Pamil, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 7, no. 2, (Juli-Desember, 2012), hlm. 104.
10
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 3.,
dalam Jon Pamil, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 7, no. 2, (Juli-Desember, 2012), hlm. 104.

Sedangkan
defenisi-defenisi

pengertian
yang

filsafat

dikemukakan

secara
para

terminologi,
ahli,

The

mengutip

Liang

Gie

mengemukakan pengertian filsafat sebagai berikut:11


1. Thales (640-546 SM), filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam
semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya, dan
kaidah-kaidahnya;
2. Socrates (469-369 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah suatu
peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap
asas-asas kehidupan yang adil dan bahagia;
3. Plato (427-347 SM) berpendapat bahwa pencarian yang bersifat
spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh
kebenaran;
4. Aristoteles (348-322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu
tentang asas-asas pertama atau suatu ilmu yang menyelidikan
terhadap sesuatu yang ada sebagai yang ada dan ciri-ciri yang
tergotong pada objek itu berdasarkan sifat alaminya sendiri.
Sebelum lahirnya pemikiran ilmiah manusia menggunakan mitos
dalam menjawab segala pertanyaan tentang alam yang mengitarinya.
Mitologi menjawab pertanyaan tentang alam semesta ini dengan jawaban
dalam bentuk mitos, yang terlepas sama sekali dari kegiatan rasio.12 Namun
lama kelamaan manusia tidak lagi puas dengan jawaban mitotogi tersebut dan
mencoba mencari jawaban yang rasional dari pertanyaan-pertanyaan tentang
11

The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hlm. 31-33.


Teori perkembangan pemikiran manusia yang dikemukakan Van Pausen
barangkali relevan untuk menjelaskan hal ini. Beliau mengatakan bahwa perkembangan
pemikiran manusia melalui tiga tahap, yaitu tahap mitis, ontologis dan fungsional. Dalam
tahap mitis, apa yang disebut dengan kebenaran atau kenyataan adalah sesuatu yang given,
mistis, dan tidak perlu dipertanyakan. Dalam tahap antologis manusia atau masyarakat
mendambakan kebenaran substansial. Sedangkan dalam tahap fungsional apa yang dikatakan
kebenaran atau kenyataan diletakkan pada fungsi dan relasi kemanfaatannya. Wibisano
Siswo Miharja dalam M.Thoyibi, Filsafat Islam (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 1999), hlm. 18.
12

alam semesta. Dari usaha mencari jawaban rasional13 terhadap pertanyaan


tentang alam semesta itulah munculnya filsafat.14
Menurut Aristoteles, filsafat dimulai dengan adanya rasa thaumagien, yaitu
ketika akal budi dicengangkan oleh apria (problem). Filosof-filosof Lonia
yang pertama menyingkap tabir rahasia alam semesta ini dengan
menjawab, menerangkan gejala--gejala yang terdapat didalamnya agar
terhindar dari ketidaktahuan. Sejak itu mitos mulai ditinggalkan, bahkan
ketika Pythagoras yang terkenal sampai sekarang dengan hukum dalil
Pythagoras berpendapat bahwa gejala-gejala fisis dikuasai oleh hukum
matematis mitologi makin jauh ditingggalkan.15
Keinginan yang kuat para pemikir Yunani untuk keluar dari
kekuasaan golongan agama bersahaja (agama berhala) serta kekuasaan
pemerintah yang zaIim16 semakin mempercepat perkembangan filsafat. Para
pemikir/filosof waktu itu menguji ajaran agama, apa yang dapat dibenarkan
oleh akal pikiran dinamakan filsafat, dan yang tidak dimasukkan kedalam
cerita-cerita agama. Sehingga di masa lalu, filsafat sempat dilarang oleh
13

Dalam hal ini Abdul Mun im Muhammad Khalaf mengemukanan bahwa dalam
stuktur rasio manusia terdapat tiga macam potensi, yaitu potensi penalaran, potensi
penetapan dan potensi keyakinan. Potensi penalaran meliputi objek-objek alam kosmos, alam
psikis dan rahasia-rahasia maupun penemuan-penemuan yang ada pada dua alam tersebut.
Kemampuan ini melahirkan apa yang disebut dengan falsafah, yang dapat difahami sebagai
usaha intelektual untuk dapat mencapai dan menemukan suatu ilustrasi yang komprehensif
dan rasional mengenai realitas alam semesta, penciptanya dan prases serta tujuan
keterciptaannya. Abdul Mun im Muhammad Khallaf, Agama Dalam Perspektif Rasional,
terj. Ahmad Shodiq dan Noor Rahmat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 80.
14
Muchlis Hamidi dalam M.Thoyibi, Filsafat Islam, hlm. 52.
15
Muchlis Hamidi dalam M.Thoyibi, Filsafat Islam, hlm. 52.
16
Sebagai contoh dari hal tersebut adalah apa yang dialami Plato. Ia hidup dalam
suatu periode gelap kehidupan politik Athena. la dilahirkan dalam pemerinthan otoriter dan
militer Sparta yang menghancurkan kebesaran dan masa jaya Athena dibawah Perikles lewat
perang Peloppenesus. Situasi dan keadaan politik yang suram ini mencapai puncaknya pada
pengadilan dan hukuma mati terhadap Socrates. Pengalaman politik yang negatif ini sungguh
mempengaruhi Plato, khasusnya mengenai pandangan dan filsafatnya sendiri tentang hidup.,
dalam Kondrad Kebung Beoang, Plato: Jalan Menuju Pengetahuan Yang Benar
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997), hlm. 15.

kaum agamawan, bahkan dianggap sesat. Tidak hanya oleh ulama Islam, tapi
juga oleh otoritas agama Nasrani. Ini karena dalam filsafat tidak ada tabu
untuk mempertanyakan apa pun, termasuk konsep-konsep yang dianggap suci
dan sakral serta dianggap final adanya oleh para agamawan.
Dalam sejarah filsafat ada masa kosong antara filsafat Yunani (sekitar
3-4 abad SM) dengan filsafat modern (abad 16 M). Ternyata, di masa itulah
masa keemasan Islam, dimana selama 14 abad kekhalifahan Islam timur dan
barat menguasai dunia.
Dalam masa kejayaan kekhalifahan Islam, dunia ilmu-pengetahuan
berkembang luas di berbagai wilayah yang dikuasai Islam. Tidak hanya di
wilayah yang hingga sekarang masih dikuasai Islam seperti kawasan TimurTengah, namun juga di Eropa. Spanyol misalnya, adalah salah satu negara
Islam di masa lalu. Hanya karena reconquista yang dilakukan pasukan Ratu
Issabela dari Spanyol bekerjasama dengan Raja Ferdinand dari Jerman,
kemudian Islam tersapu habis dari negeri matador itu, dengan tindakan
genocide yang menewaskan jutaan orang Spanyolterutama suku bangsa
Mooryang telah sukarela memeluk Islam.
Dalam hal penamaan, ada yang menyarankan nama filsafat muslim,
alih-alih filsafat Islam. Alasannya karena para filsufnya beragama Islam,
sementara kajiannya tidak melulu soal Islam. Ini berbeda dengan filsafat
Kristen dimana kajiannya hampir semua bersifat teologia. Sementara dalam
filsafat Islam, para filsuf tertarik mempelajari berbagai hal, bahkan seringkali
menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan agama. Ada
pula yang mengusulkan nama filsafat Arab, tapi ini jelas tidak tepat karena
seperti diterangkan tadi, filsafat Islam tidak hanya berkembang di jazirah
Arab. Sehingga, penamaan filsafat Islam lebih tepat karena ini adalah corak
filsafat yang dihasilkan dan bersumber dari agama Islam.

Filsafat Islam telah memasuki usia 1200 tahun. Dinamika rasional


dalam dunia Islam dimulai dengan gerakan penerjemahan karya-karya
Yunani dan Alexandria pada abad kedua, ketiga, dan keempat.17 Disebutkan
pula bahwa sebagian dari buku-buku terjemahan itu tidak lolos dari distorsi
dan kekeliruan yang fatal, seperti buku Tasuat atau Ontologia yang ditulis
dengan nama Aristoteles, padahal tidak sepenuhnya sesuai dengan
pandangannya. Namun gerakan ini mencapai puncaknya pada abad ketiga,
dan tidak dapat dielakkan lagi bahwa pemikiran Yunani telah memberikan
motivasi kepada perkembangan peradaban Islam.
Dalam peta sejarah pemikiran, filsafat bercorak Islam disinyalir baru
menemukan bentuknya yang sistematis dan tertulis sejak Ab Ysuf Yaqb
bin Ishq al-Kind18 yang dijuluki sebagai filsuf Arab pertama. Salah satu
perannya yang paling signifikan dalam mengembangkan corak filsafat Islam
17

Disebutkan bahwa setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan


penerjemahan yang sudah dimulai sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan
puncaknya pada dinasti Abbasiyyah. Pertama, motivasi praktis dan kedua motivasi kultural.
Dalam motivasi yang pertama (baits amali), ada kebutuhan pada bangsa Arab saat itu untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut
secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat
hidup umat Islam ketika itu. Pengetahuan-pegetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam
saat itu adalah seperti ilmu-ilmu kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak
(astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubngan dengan hajat hidup
umat islam dalam menyelesaikan masalah-masalah, seperti penentuan waktu shalat, hukum
faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya. Motivasi yang
kedua adalah motivasi kultural (bits tsaqfi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk
mempelajari kebutuhan-kebutuhan Persia dan Yunani untuk menguatkan sistem hukum
Islam dan menangkal akidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang
kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi akidah kaum Majusi (penyembah api) dan
kaum Dahriah, kekhalifahan Abbasiyah menganggap perlu bagi kaum muslim untuk
mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal
akidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika
Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar, dalam Jamil
Shaliba, al-Falsafah al-Arabiyyah, Dar al-Kitab al-Lubnani (Beirut, 1973), hlm. 106, 107,
sebagaimana dikutip Sunaryo dalam artikel Transmisi Kebudayaan Yunani dalam Peradaban
Islam, Jurnal Pemikiran Islam Vol. 1, No. 3 (September, 2003) .
18
Ab Ysuf Yaqb bin Ishq bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad al
As bin Qais al-Kind dilahirkan pada permulaan abad kesembilan hijriah atau sekitar tahun
185 H/809 (801) M di kota Kurfah, Irak. Al Kindi berasal dari suku bangsawasan Arab dan
memainkan peran utama dalam dunia Islam. Ia diperkirakan wafat antara tahun 252-260
H/866-873 M.

adalah menjembatani pemikiran Islam dengan filsafat Yunani Kuno.19


Misalnya, dengan menggunakan pemikiran Aristoteles (dari bukunya yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab) sebagai basis karya-karya
filsafatnya.20
Sepeninggalan al-Kindi, muncul filsuf Islam kenamaan, yaitu alFarabi (257-339/870-950). Ia sangat berjasa dalam mengenalkan dan
mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai
karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second
Analysis telah diterjemahkan al-Farabi ke dalam bahasa Arab. Al-Farabi telah
membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun
induktif. Di samping itu, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu
musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan
sebelumnya oleh Phytagoras. Karena jasanya ini, maka al-Farabi diberi gelar
Guru Kedua, sedangkan gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.21
Kontribusi lain dari al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usaganya
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi
dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al19

Menurut Wallace Provost dalam artikel online-nya, God, Science, and Reason, al
Kindi dan pemikiran di masanya tidak melihat filsafat Plato dan Aristoteles sebagai sesuatu
yang berbeda.
20
Craig, Edward (ed.), Routledges Encyclopedia of Islamic Philosophy, rearranged
into Islamic, version by Dr. Mulyadhi Kartanegara (London & New York: Routledge, 1998),
p. 20.
21
Penyebutan Filsafat Arab merupakan kesalahkaprahan, karena kenyataannya
filsafat Islam berkembang di luar jazirah dan negara-negara Arab. Lihat Ibrahim Dinani, Ma
Jaraha-ye Tafakkor-e Falsafi dar Jahan-e Islam atau The Adventure of Philosophical
Thought in the Muslim World, Tarh-e No (Tehran, 2000), vol. 1, hlm. 66. Hal itu menurut
penulis, mungkin diakibatkan oleh banyak faktor, antara lain: pertama, karya-karya filsafat
dan para filsuf non-Arab, terutama Persia, ditulis dalam bahasa Arab; kedua, fanatisme etnis
sebagian besar penguasa di Jazirah Arab yang cenderung menganggap Islam sebagai Arab
dan sebaliknya. Sebenarnya sengketa ini hingga sekarang masih ada. Salah satunya adalah
sengketa nama untuk Teluk. Sejak lama teluk yang menjadi pemisah antara Iran dan Jazirah
Arab diberi nama Teluk Persia. Namun belakangan, negara-negara Arab bersikeras
menyebutnya Teluk Arab. Sentimen ini diperparah oleh analisis sebagian penulis orientalis
yang menyebut Sunni, terutama Wahabi, sebagai Islam Arab, sedangkan Syiah sebagai
Islam Persia dan non Arab.

10

Farabi mengkalasifikasikan ilmu ke dalam tujuh cabang, yaitu: logika,


percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fikih (hukum).
Buku al-Farabi tentang anatomi ilmu telah diterjemahkan kedalam bahasa
Latin untuk dikonsumsi bangsa Erpa dengan judul de Divisione Philosophae.
Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul De
Scientist atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu,
seperti ilmu kimia, optik, dan geologi.22
Memasuki masa setelahnya, filsafat Islam semakin menemukan
bentuknya yang khas, kendati pengaruh filsafat Yunani masih terasa disanasini. Misalnya adalah Ab Ali al-Hosain bin Sn (337-429/980-1037).
Menurut Fakhry, kedua filsuf tersebut merupakan filsuf-filsuf Muslim
pertama yang membangun sistem metafisika yang sangat terperinci dan
rumit.23
Inilah era kematangan filsafat Peripatetik (masyaiyyah)24 yang
cenderung

berporos

pada

Mazhab

Aristotelian

daripada

Platonian.

Karakteristik filsafat ini adalah penggunaa argumentasi yang bersifat rasional


(burhni) daripada intuisional (irfani) atau teologikal (kalmi)kendati
secara pribadi, keduanya juga mempraktikan gaya hidup zuhud dan tekun
dalam beribadah. Juga, penggunaan deduksi rasional (silogisme), pendasaran
pada premis kebenaran primer, fokus pada penelaahan eksistens qua
eksistens, serta menurut Murtadha Muthahhari25, mencuatkan problem

22

Hosein, O.A., Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 106; J.S. Praja,
Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam (Jakarta: Teraju, 2002); Sarton, Introduction to
the History of Science (Baltimore, 1927).
23
Hosein, O.A., Filsafat Islam, hlm. 107.
24
Berasal dari kata masy yang berarti berjalan dan lalu lalang.
25
Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam (Bandung: Yayasan
Muthahhari/Mizan, 1993), hlm. 29.

11

eksistensialisme (ashlat al-wujd) versus esensialisme (ashlat almhiyyah)26, dan seterusnya.27


Kehadiran dan kiprah Ibn Rusyd telah memperpanjang nafas filsafat
Islam, apalagi setelah memberikan bantahan terhadap al-Ghazali dan para
penentang filsafat melalui karyanya yang monumental, Tahfut at-Tahfut
(kerancuan Buku Tahfut al-Falsifah).
Ibn Rusyd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol, meskipun
seorang dokter dan telah mengarang buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget,
yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibn Sina, tetapi lebih
dikenal sebagai seorang filsuf. Ibn Rusyd juga diakui sebagai salah satu juru
bicara fikih mazhab Maliki, dan karyanya, Bidyat al-Mujtahid hingga kini
dijadikan sebagai salah satu sumber utama fikih mazhab Maliki.28
Ibn Rusyd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu:
komentar besar, komentar menengah, dan komentar kecil. Ketiga komentar
tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Ibrani. Dalam
komentar besar, Ibn Rusyd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya
Aristoteles dengan bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian
26

Yaitu aliran dalam ontologi yang berpandangan bahwa esensi mendahului


eksistensi, dan bahwa sesuatu yang nyata adalah yang mempunyai hakikat atau esensi. Salah
satu alasannya, ialah apabila wujud adalah asal, maka wujud pasti ada dalam realitas objektif,
dan ia pasti mempunyai wujud, dan wujud-wujudnya itu pasti mempunyai wujud, dan
begitulah seterusnya. Dualisme, yaitu aliran dalam ontologi yang konon menganggap wujud
dan esensi sebagai asal sekaligus. Para penganut dualisme juga tidak berada dalam satu
pandangan dan aliran. Lihat Ridha ash-Shadr, al-Falsafah al-Ulya (Qom: The Center of
Publication of the Office of Islamic Propagation, 1999), hlm. 80.
27
Istilah Eksistensialisme terbagi empat macam: 1) Eksistensialisme Modern, yaitu
aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, dan bahwa
eksistensi lebih sejati dari esensi. Aliran ini berasal dari para filsuf Yunani dan berkembang
di Eropa pada abad pertengahan melalui Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche; 2)
Eksistensialisme Ateistik, yaitu aliran yang dipelopori oleh Jean Paul Sartre yang menjadi
cikal bakal Humanisme; 3) Eksistensialisme Peripateik. Ibn Sina menegaskan ashlah alwujd dan memperlakukan wujud sebagai ragam realitas yang berlainan; 4) Eksistensialisme
Shadra yang berporos pada wahdah al-wujd wa katrah al-maujd. Hal inilah yang
membedakan Mull Sadr dengan Ibn Sina.
28
Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, (Le post-averroisme. Mollah Shadra, matre
de la saesse Trancendantale) (Beirut: al-Ghadeer, 2000), hlm. 66.

12

akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aristoteles


sebagai Magister Digit, sedangkan pada komentar kecil filsafat yang diulas
murni pandangan Ibn Rusyd.29
Pandangan Ibn Rusyd yang menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan
yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemukapemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah
di Spanyol untuk menyatakan Ibn Rusyd sebagai ateis. Sebenarnya apa yang
dikemukakan oleh Ibn Rusyd sudah dikemukakan pula oleh al-Kindi dalam
bukunya al-Falsafah al-l (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa
kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna karena
pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.30
Pertentangan antara filsuf yang diwakili oleh Ibn Rusyd dan kaum
ulama yang diwakili oleh al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan al-Ghazali yang berjudul The Inconsistency of the Philosophers
(Tahfut al-Falsifah), yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja
untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropa pada zaman
Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi ateis. Menurut al-Ghazali, hanya ada satu
cara untuk mencapai kebenaran sejati, yaitu melalui tasawuf (mistisisme).
Buku karangan al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibn Rusyd dala
karyanya, Tahfut at-Tahfut (The Incoherence of the Incoherence).31
Dukungan ulama tradisional dan penguasa saat itu terhadap kampanye
anti filsafat yang diancarkan al-Ghazali telah menyebabkan dilarangnya
29

Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 61.


Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 62. Padahal bantahan Ibn Rusyd,
menurut Jalal al-din Asytiani tidak sepenuhnya filsufis. (Lihat Jalal al-din Asytiani, Naqdi
bar Tahafut al-Falasifah (Qom: The Center of Publication of the Office of Islamic
Propagation, 2000), hlm. 167.
31
Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 61.
30

13

pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan Islam. Pelarangan penyebaran


filsafat Ibn Rusyd merupakan titik awal peradaban Islam yang didukung oleh
maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dalam
peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalai
kemuduran dengan kematian filsafat.
Seiring dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropa mengalami
kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan
karangan dan terjemahan filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
dan Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Pada zaman itu, bahasa
Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropa. Penerjemahan
karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund
menjadi Uskup Besar Kristen di Toledo (1130-1150 M). Hasil terjemahan
dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia.32
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya
filsafat ajaran Ibn Rusyd dianggap dapat membahayakan iman Kristiani oleh
para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit
pada tahun 1209, kemudian disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun
1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibn Rusyd. 33
Pada tahun 1215, saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran
filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada tahun 1214, Frederick mendirikan
Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas
menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Pada
tahun 1217, Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa Latin karya para
sarjana Muslim. Berkembangnya ajaran filsafat Ibn Rusyd di Eropa Barat
tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan
32

Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 63.


Murtadha Muthahhari, Muhadhart fil Falsafah al-Islamiyyah (Qom: The Center
of Publication of the Office of Islam Propagation, 1987), hlm. 35.
33

14

bahwa Michael Scot telah berhasil menerjemahkan komentar Ibn Rusyd


dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.34
Kaisar Frederick II menerjemahkan karya-karya filsafat Islam
kedalam bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di
Eropa Barat. Setalah itu, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan
diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini, putranya mengutus orang Jerman
bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann
kemudian menerjemahkan Ikhtisar al-Manthiq karya al-Farabi dan Ikhtisar
Syair karya Ibn Rusyd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibn
Rusyd telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, termasuk buku Tahfut atTahfut yang diterjemahkan oleh Colonymus pada tahun 1328.35
Pada pertengahan abad 12, kalangan gereja melakukan sensor
terhadap karangan Ibn Rusyd, sehingga saat itu berkembang 2 paham, yaitu
paham pembela Ibn Rusyd (Averroisme) dan paham yang menentangnya.
Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibn Rusyd ini, antara lain, adalah
pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan, dan Roger Bacon. Mereka yang
menentang Avorroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang
dikemukakan oleh al-Ghazali dalam Tahfut al-Falasifah. Dari hal ini dapat
dikatakan bahwa yang diperdebatkan oleh kalangan filsuf di Eropa Barat
pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh
filsuf Islam.36
Terlepas dari pertentangan yang terjadi, hadirnya buku-buku
terjemahan filsafat Yunani betul-betul menjadi stimulus yang sangat kuat
bagi para pemikir Muslim, baik yang pro maupun yang kontra terhadap isi
buku-buku tersebut untuk melakukan aktivitas keilmuan berupa kegiatan
34

Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 67.


Hani Idris, M bada ar-Rusydiyyah, hlm. 67.
36
Sarton, G. Introduction to the History of Science, 3 vols. In 5, (Baltimore:
Published for the Carnegie Institution of Washington by Williams and Wilkins, 1927-1947),
1, p.3
35

15

tulis-menulis. Hal ini menyebabkan lahirnya karya-karya ilmiah dan filsafat


dikalangan umat Islam, baik sekedar memberi penjelasan, mengulas,
meringkas, membuat karya baru, bahkan berisi hal-hal yang membantah isi
buku-buku Yunani tersebut.37 Menurut Harun Nasution (1986:56), kegiatan
penerjemahan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani berlangsung
selama 150 tahun, yaitu dari tahun 750 M sampai tahun 900 M.38

Tonggak-tonggak filsafat Islam.


Ada beberapa faktor yang sangat signifikan peranannya dalam
perkembangan filsafat Islam, hingga layak dikatakan sebagai tonggaktonggak perkembangan filsafat Islam. Faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Bait al-Hikmah (akademi penerjemahan) yang didirikan oleh khalifah
al- Mamun. Lembaga ini sangat besar perannya dalam aktivitas
penerjemahan buku-buku ilmiah dan filsafat Yunani yang bakal
menyemarakkan kegiatan ilmiah dan filsafat dikalangan umat Islam.
Untuk mengarahkan lembaga dan perpustakaan resmi ini kepada
kegiatan

penelitian

dan

penerjemahan,

khalifah

Al-Mamun

mengirimkan para pegawai sampai ke Binzantium untuk mencari dan


membeli karya-karya ilmiah dan filsafat.;39
2. Berdirinya perkumpulan cendikiawan di Baghdad pada tahun 970 M.
Pendiri perkumpulan ini adalah salah seorang murid AI-Farabi yang
bernama Abu Sulaiman Muhammad ibn Thaher al-Sajastany. Nama
perkumpulan

tersebut

bernama

al-Jamiyyah

al-Sajastaniyyah.

Tujuan didirikannya perkumpulan ini adalah untuk membahas

37

Jon Pamil, Jurnal Pemikiran Islam, hlm. 109.


Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta, UI Press, 1986, hal 56.
39
Hoodbhoy, Pervez, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, ter.
Luqman (Bandung: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 128.
38

16

masalah-masalah filsafat. Anggota perkumpulan ini tidak dibatasi


daerah asal bahkan agama;40
3. Berdirinya perkumpulan rahasia yang terdiri dari para ulama dan
filosof. Perkumpulan tersebut benama Ikhwan Al-Shafa. Didirikan
tahun 983 M di Bashrah. Latar belakang berdirinya perkumpulan ini
adalah

ketidaksenangan

mereka

terhadap

penyimpangan-

penyimpangan yang ada pada pemerintahan (khalifah) waktu itu,


diantaranya ketidak makmuran rakyat serta rusaknya akhlak elit
politik dan militer. Kelompok ini ingin mereformasi keadaan tersebut.
Dalam pandangan mereka cara antuk merefeormasi keadaan tesebut
adalah dengan memadukan Filsafat Yunani, Filsafat Masehi,
Tashawuf Islam, teori politik Syiah dan syariat Islam itu sendiri.
Mereka punya semboyan bahwa pencapaian melalui sinergi berbagai
pemikiran akan jauh lebih efektif ketimbang melalui pemikiran
pribadi. Itulah sebabnya mereka berkumpul untuk mengadakan kajian
secara sangat bebas menjelajahi sendi-sendi yang sangat mendasar.
Perkumpulan ini akhirnya mampu menghasilkan risalah seputar ilmu
kedokteran, agama dan fiisafat. Da1am karya-karya tersebut terdapat
1134 halaman yang berisi penjelasan ilmiah tentang fenomana pasang
surut (air laut), gempa, gerhana matahari dan bulan, gelombang suara
serta fenomena-fenomena juga tentang sihir dan masalah-masalah
akidah.41

Berhubung pemikiran filsafat dimasa dulu tidak dipisahkan dari ilmuilmu lain, baik kealaman, kemanusiaan maupun keagamaan, maka untuk
mencari pemikir murni filsafat Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin.
40

Will Durant, Qadhiyyatu al-Hadharah, terj. Muhammad Badran (Dar al-Jil, Jilid
2, 1998), hlm. 206.
41
Will Durant, Qadhiyyatu al-Hadharah, hlm. 206-208.

17

Bahkan Ibrahim Madkour mengatakan bahwa gerakan filsafat yang hakiki


dalam Islam seharusnya dicari dalam berbagai aliran teolagi, karena Filsafat
Islam adalah filsafat religius-spritual.42 Oleh karena itu tema-tema pemikiran
filsafat para filosof Muslim tidak terlepas dari masalah keagamaan,
kemanusiaan dan kelaman.

42

Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, terj. Yudian Masduki
et.al. (Jakarta: CV. Rajawali, 1993), hlm. 5.

18

Anda mungkin juga menyukai