Jenis Budaya
Tari Gending
Sriwijaya
Cencaluk
Keunikan_tarian_ini_bagi_le
laki_terletak_pada_kakinya_
yang_lincah_memainkan/_m
enyuarakan_bunyi_giringgiring_mengikuti_irama_gen
dang_yang_ditabu_oleh_sej
n
Suku Talang Mamak
Aceh
Tari Saman
umlah_wanita_penari._Seda
ngkan_pada_wanita_berupa
_aksesoris_di_kepala,_leher
_dan_tangan_ditambah_keli
ncahan_jarijemari_tangan_menambu_ge
ndang_yang_dililit_disampi
ng_kiri/kanan_sambil_meliu
k-liukkan_tubuhnya.
tersebut.
3. Masih meneruskan
peninggalan adat nenek
moyang mereka .
4. Tidak menganut system
individualisme tetapi
menerapkan system gotong
royong .
5. Masing-masing memiliki
peraturan hukum adat yg
apabila dilanggar akan
mendapatkan sanksi.
Penduduk kabupaten ini pada tahun 1990 diperkirakan berjumlah 883.719 jiwa. Dari jumlah tersebut orang Musi
Banyuasin diperkirakan yang terbanyak jumlahnya. Secara keseluruhan penduduk yang tinggal di kabupaten ini
sering disebut orang Musi, karena tempat tinggal mereka di sekitar aliran sungai Musi. Tetapi penduduk di wilayah
tertentu sering menamakan dirinya dengan sebutan khusus, misalnya yang tinggal di Kecamatan Sekayu sering
menyebut diri mereka orang Musi Sekayu.
Orang Musi Banyuasin menggunakan bahasa Musi sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa
Musi termasuk rumpun bahasa Melayu yang mempunyai ciri-ciri menggunakan bunyi huruf e pada akhir kata,
misalnya 'kemana menjadi kemane'. Selain dipakai oleh orang Musi di kabupaten ini, bahasa Musi juga digunakan
oleh orang Musi yang berdiam di kabupaten Musi Rawas. Menurut penelitian, wilayah asal bahasa Musi adalah di
Kabupaten Banyuasin, terutama di Kecamatan Sekayu, Babat, Toman, Banyu Lincir, Sunhai Lilin, dan Banyuasin
Tiga.
Tempat tinggal orang Musi Banyuasin sebagian besar merupakan dataran rendah yang diselingi rawa-rawa. Di
sebelah barat merupakan dataran tinggi berhutan lebat yang termasuk bagian Pegunungan Bukit Barisan.
Perkampungan orang Musi Banyuasin pada umumnya berada di daerah aliran sungai yang banyak terdapat di daerah
tersebut. Sungai terbesar di daerah tersebut adalah Sungai Musi yang memiliki beberapa anak Sungai. Pada masa
lalu sungai merupakan jalur transportasi penting di daerah ini. Hingga kini beberapa sungai masih dapat dilayari
oleh perahu-perahu motor.
Mata pencaharian pokoknya adalah bertani di sawah dan ladang. Diperkirakan sekitar 95.330 hektar tanah di
Kabupaten Musi Banyuasin merupakan lahan persawahan dan perladangan. Hasil pertaniannya adalah padi dan
berbagai buah-buahan, seperti duku, rambutan, manggis, jambu mete, dan durian.
Di beberapa daerah penduduk juga bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit dan karet atau di perusahaan
tambang minyak bumi. Pekerjaan lainnya adalah menangkap ikan di sungai. Di kecamatan Banyuasin II terdapat
perusahaan pembuat kerupuk udan dan ikan. Hasil hutan dari daerah ini meliputi berbagai jenis kayu, seperti kayu
unglen, tembesa, petangan, medang, dan meranti.
Dari bentuk keluarga-keluarga batih yang terdapat di dalam masyarakat, orang Musi boleh dikatakan cenderung
menjalan prinsip keturunan patrilineal. Dalam tata cara perkawinannya pun dikenal upacara yang disebut 'melerai
pengantin', yaitu 'mengarak pengantin' dari rumah mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Tetapi kini tidak
sedikit keluarga yang mengakui garis keturunan dari kedua belah pihak. Adat menetap sesudah menikahnya pun kini
kebanyakan disesuaikan dengan keinginan masing-masing atau sesuai perjanjian sebelum menikah. Seorang ayah
bertindak sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Ia bertugas
mengatur dan memimpin musyawarah dalam memecahkan persoalan dalam rumah tangga. Kaum perempuan
bertugas mengatur rumah tangga, misalnya menjaga anak, memasak makanan untuk keluarga dsb.
Sekarang orang Musi Banyuasin dikenal sebagai pemeluk agama Islam. Walaupun demikian, pengaruh kepercayaan
tradisional masih terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka masih percaya terhadap berbagai takhayul, tempattempat keramat, dan benda-benda berkekuatan gaib. Sehubungan dengan keyakinan tersebut, orang Musi Banyuasin
menjalankan berbagai upacara dan pantangan. Setiap kegiatan bercocok tanam selalui didahului dan diakhiri dengan
upacara. Selain itu, dalam bertanam juga dikenal berbagai pantangan yang sebagian besar masih dijalankan oleh
masyarakat.
Mata pencaharian utamanya adalah menanam padi di ladang, sayur-sayuran dan palawija tertentu. Kaum lakilakinya masih sering melakukan kegiatan berburu dan meramu di hutan, serta menangkap kan di sungai-sungai.
Mereka berdiam di rumah sederhana dengan lantai tinggi yang ditopang tiang-tiang kayu. Peralatan dan kebutuhan
hidup sehari-hari yang tidak bisa mereka penuhi sendiri diperoleh dari tukar-menukar dengan pedagang melayu.
Pada masa sekarang kehidupan ekonomi mereka banyak didukung oleh hasil penyadapan getah karet. Kalau padi
hasil ladang sudah habis, maka uang hasil menyadap getah mereka gunakan untuk membeli beras dari luar.
Sayangnya tanaman komoditi tersebut tumbuh secara liar, dan masih amat sedikit yang menanamnya dengan benar.
Orang Kemak menggunakan bahasa Ekmak, dengan ciri-ciri yang berbeda dengan dialek bahasa lain di sekitarnya. Pada
tahun 1984, jumlah orang Kemak sekitar 35.000 jiwa, yang sebagian besar berdiam di Kecamatan Tasifeto Barat dan
selebihnya di Kecamatan Tasifeto Timur dan Kecamatan Lamaknen. Ciri-ciri fisik orang Kemak terlihat dari bentuk kepala
delichosephal, kulit cokelat kehitam-hitaman, rambut keriting, dan tubuh lebih tinggi dari rata-rata suku bangsa lain di
Pulau Timor.
Mata pencaharian pokoknya bercocok tanam di ladang dan beternak. Tanaman utama di ladang adalah padi dan jagung,
yang sekaligus menjadi makanan pokok. Mereka juga menanam keladi, ubi kayu, labu, sayur-sayuran. Hewan peliharaan
yang terpenting adalah sapi, kerbau, kuda, dan kambing. Ternak perliharaan itu digunakan untuk konsumsi sendiri,
kepentingan upacara, dan keperluan mempertahankan gengsi. Mata pencaharian tambahan adalah berburu, bertenun, dan
membuat anyaman. Berburu dilakukan pada waktu senggang sesuah pasa panen.
Struktur pemerintahan menurut adat yang pernah berlaku pada masyarakat Kemak, seperti halnya pada suku bangsa
lainnya di Pulau Timor, dikuasai oleh kelompok kerabat tertentu. Kelompok kerabat ini menganggap dirinya sebagai
keturunan pembuka pertama daerah yang didudukinya. Mitologi mereka menggambarkan golongan itu sebagai keturunan
dewa yang turun dari langit dan kemudian mendirikan kerajaan. Penguasa adat yang tertinggi adalah loro (raja).
Stratifikasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada dekat atau jauhnya hubungan darah dengan raja, yaitu keturunan raja,
kaum bangsawan, golongan tua-tua adat, dan rakyat biasa.
Komentar :
Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang
terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua
mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau
budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.